Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lupus atau yang biasa dikenal dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi atau
autoimun multiorgan yang penyebabnya belum secara jelas ditemukan. Munculnya SLE dikarenakan adanya
penyimpangan dari reaksi imunologik yang menyebabkan tubuh menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi
yang dihasilkan secara terus menerus menyebabkan adanya kerusakan sitotosik. Bagian dari antibodi ini kemudian
menyebabkan terbentuknya kompleks imun, dimana kompleks ini merupakan pencetus penyakit inflamasi imun
(Darmawan, Nasution, Kalim & Sidabutar, 1997). Penyakit Lupus menyerang hampir 90% perempuan. Tercatat bahwa
kurang lebih 5 juta pasien Lupus tersebar di seluruh dunia dan setiap tahunnya mengalami peningkatan sebanyak 100.000
pasien baru. Data di Amerika menunjukkan indisiden penyakit Lupus Ras Asia lebih tinggi dibandingkan ras Kaukasia.
Di Indonesia jumlah penderita lupus yang tercatat sebagai anggota YLI >10.000 orang, tetapi bila kita melakukan
pendataan lebih seksama jumlah pasien Lupus di Indonesia akan lebih besar dari Amerika ( 1.500.000 orang) (Yayasan
Lupus Indonesia, 2011). Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi pada berbagai
populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk. SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras
tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus
per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi. Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1:1000.
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata
sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus
per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE
secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang
(Yayasan Lupus Indonesia, 2011). Prevalensi penyakit iflamasi sistemik berdasar diagnosis naskes di Indonesia adalah
11,9%. Prevalensi tertinggi di Bali 19,3%, Aceh 18,3%, Jawa Barat 17,5 dan Papua 15,4%. Prevalensi penyakit sendi
beradasarkan jenis kelamin, diperoleh lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pada laki3 laki yaitu 13,4% dan 10,3%
(Riskesdas, 2013). Pada saat seseorang divonis menderita SLE, maka keadaan ini akan mengubah pola hidup nya. Pasien
yang divonis SLE mungkin akan mengalami kehilangan pekerjaan, kehilangan kepercayaan diri yang dapat menjadi
penyebab terjadinya gangguan emosional. Tidak hanya itu saja, bagi pasien wanita pada usia dewasa awal akan
mengalami perubahan citra diri dan konsep diri mereka, pada umumnya hal ini akan menyebabkan terjadinya dampak
psikologis yang berat bagi pasien terutama dalam penerimaan dirinya. Perbedaan kondisi pasien sebelum dan sesudah
divonis SLE pasti sangat berbeda, sehingga pasien dituntut untuk dapat beradaptasi dengan baik dengan kondisi yang
dialaminya. Perubahan pola hidup yang disebabkan oleh sakit ini dapat menjadi faktor sulitnya penerimaan diri pada
pasien dengan SLE (Hidayat, 2005).

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana definisi systemic lupus erithematosus ?
2. Apa saja etiologi dan faktor prediposisi SLE?
3. Bagaimana gambaran klinis SLE?
4. Terapi apa yang bisa dilakukan untuk SLE?

C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui secara rinci systemic lupus erithematosus
2. Mengetahui etiologi dan faktor predIposisi SLE
3. Mengetahui gambaran klinis SLE
4. Mengetahui terapi yang dapat dilakukan untuk SLE
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Lupus
1. pengertian lupus
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedang kaperythematosus dalam bahasa
Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupuserythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus
erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE).
Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga
dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE
adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan
penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai
jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang
terlibat. Beberapa jenis kelainan kulit yang dialami biasanya bersifat sementara dan tidak meninggalkan bekas ketika
sembuh. Akan tetapi untuk kelainan kulit yang bersifat akut biasanya setelah sembuh akan meninggalkan bekas di
kulit dan susah hilang dalam jangka waktu yang cukup lama (Darmawan, Nasution, Kalim, & Sidabutar, 1997).
Bentuk manifestasi klinik lainnya yang dialami oleh penderita Lupus adalah apoleksia. Apoleksia adalah tanda yang
umum terjadi pada SLE dimana terjadi kerontokan rambut secara luas dan subtotal. Rambut yang rontok dapat
diasosiakan dengan kambuhnya SLE dan rambut yang rontok ini akan tumbuh lagi setelah SLE dalam remisi.
Kebotakan permanen yang dialami oleh pasien SLE ini biasanya disebabkan karena kortikos teroid atau obat
sitotosik. Secara fisik, penderita SLE mengalami keluhan secara sistemik yang berhubungan dengan fungsi fisiknya.
Badan terasa lemas, lesu, dan mudah capek yang amat sangat menjadi penghalang bagi penderita SLE untuk dapat
melakukan kegiatan normal sehari-harinya. Bentuk keluhan lain yang dirasakan adalah demam 38° Celsius, badan
terasa pegal dan nyeri otot serta penurunan berat badan. Gangguan penyakit SLE yang meningkat dari waktu ke
waktu dan penyembunyian gejala yang dialami, dapat menyebabkan depresi pada SLE (Schattner, Shahar, Lerman &
Shakra, 2010).

2. Etiologi lupus
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam
patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui
faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang
berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan.
Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-
5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah
58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, Human Leukosit Antigen (HLA)
DR-2, FC (Factor Complement) reseptor 3A, Protein fosfat non reseptor 22, Cytotoxic T limfosit turunan antigen, telah
dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu
faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan
berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1,
akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
b. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
1. Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan
antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
2. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3. Kelainan antibodi Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu
banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara
peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen
yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan
berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1. Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
2. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh
darah.
3. Stres Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini.
Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan
SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
4. Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced
Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

3. Manifestasi SLE pada Rongga Mulut


Sekitar 20-45% pasien SLE dilaporkan memiliki lesi oral. Beberapa manifestasi oral yang timbul pada pasien SLE, antara
lain :
a. Xerostomia
Xerostomia merupakan salah satu manifestasi SLE pada rongga mulut. Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan
gejala pada rongga mulut seperti rasa kering terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Adanya infiltrasi limfosit
pada kelenjar saliva mayor telah ditemukan pada 50-75% pasien SLE, baik pada pasien yang mengeluhkan adanya rasa
kering di mulut ataupun tidak. Laju aliran saliva yang tidak distimulasi terlihat menurun pada beberapa penderita SLE.
Hal ini dapat dikaitkan pada penyakit autoimun lain yaitu Sjogren’ Syndrome yang menyerang kelenjar saliva mayor.
SLE juga menjadi komponen diagnosis dari Sjogren’ sSyndrom. Kelainan pada kuantitas saliva pasien SLE dapat
ditemukan pada saat pemeriksaan kadar imunoglobulin (Ig) dalam saliva. Pada pasien SLE dapat terlihat adanya
peningkatan konsentrasi Ig A dan Ig M, sedangkan konsentrasi Ig G biasanya dalam batas normal. Hal ini dapat terjadi
karena Ig A dan Ig M disintetis secara lokal dan disekresikan ke dalam saliva, sedangkan Ig G diinfiltrasi oleh plasma.
Kejadian ini ditemukan pada 30% pasien lupus. Peningkatan Ig A dan Ig M pada saliva dapat disebabkan oleh penurunan
kuantitas saliva.
b. Lesi Ulserasi
Berdasarkan kriteria ACR 1997, ulser rongga mulut merupakan salah satu kriteria untuk penegakan diagnosis
SLE. Dalam suatu studi, prevalensi ulserasi orofaringeal berjumlah 15% pada pasien lupus. Lesi ulser pada SLE
berukuran lebih dari 1 cm, dengan tepi ireguler, berbatas jelas, dan dikelilingi dengan eritema halo. Ulser ini dapat timbul
sebelum, saat ataupun setelah lesi kulit timbul. Ulser pada pasien lupus sering ditemukan pada mukosa bukal, gingiva,
palatum, serta meluas ke daerah faring. Lesi juga dapat tidak spesifik, asimtomatik, dan bila semakin parah akan
menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman, namun pada pasien lupus, ulser biasanya timbul pada saat lupus teraktifasi
(flare up) Biasanya, ulser pada pasien lupus lebih lama mengalami masa penyembuhan. Penyembuhan lesi ini cenderung
membentuk jaringan parut dan fibrosis. Selain ulser, juga sering terlihat lesi berwarna merah dan putih, berbentuk garis-
garis yang sejajar dan multipel pada beberapa permukaan mukosa. Lesi ini dapat dikatakan mirip dengan lichen planus.
Hal ini disebabkan karena keduanya merupakan kelainan inflamasi mukokutaneus imunologik kronik yang memiliki
gambaran keratotik, berwarna kemerahan, dan disertai ulser. Pada pemeriksaan histopatologi, juga terlihat kesamaan
antara SLE dan lichen planus, yaitu terdapat kerusakan pada sel basal, sel limfosit, perivaskular, hiperkeratotis, dan atrofi
perifer. Pada dasarnya, butterfly rash yang terdapat di pipi dan hidung dapat membantu dalam menyingkirkan diagnosa
lichen planus. Selain itu, pada pemeriksaan histopatologi juga dapat terlihat perbedaan antara SLE dan lichen planus,
yaitu
pada SLE terlihat edema submukosa dan vasodilatasi pembuluh darah, sementara pada lichen
planus, sama sekali tidak terlihat hal tersebut Lesi ulserasi lainnya juga sering dijumpai di daerah vermilion bibir, seperti
lesi ulser yang biasanya disebabkan oleh virus herpes. Lesi awal terlihat berupa vesikel berukuran kecil dan
berkelompok, kemudian dalam hitungan jam vesikel akan pecah dan menjadi ulserasi yang pada permukaannya terlihat
lapisan berwarna kekuningan.
c. Lesi Mirip Lichen Planus
Pada pasien SLE dapat terlihat beberapa lesi mirip lichen planus, namun tidak disertai ulserasi. Lesi terlihat
berupa garis-garis atau papula-papula putih halus berkilauan yang tersusun dalam satu jaringan mirip jala dan pada
umumnya tidak sakit. Lesi biasanya dapat terlihat di pipi, lidah, bibir, gusi dan palatum. Lesi lain yang juga dapat terlihat
pada pasien SLE merupakan lesi bercakbercak pada mukosa yang berwarna merah, tanpa disertai ulserasi. Striae sering
terlihat di tepi lesi. Dapat terlihat di pipi, lidah, gusi, dan palatum. Lesi diskoid pada bibir pasien SLE . , Lesi bibir
bersisik dan merah pada Trush. Lesi mirip lichen planus retikuler
d. Kandidiasis Oral
Kandidiasis pseudomembran akut (trush) merupakan suatu infeksi opurtunistik yang
disebabkan oleh jamur candida albicans superfisial dan menjadi komplikasi paling sering
akibat penggunaan obat imunosupresif seperti kortikosteroid sistemik yang sering digunakan
oleh pasien SLE. Secara klinis, thrush terlihat sebagai plak-plak putih, berkelompok,
mempunyai tepi eritematosus, dan jika dikerok akan meninggalkan permukaan yang merah,
kasar atau berdarah.
Kandidiasis hiperplastik kronis disebabkan oleh jamur candida sp. yang masuk
melalui permukaan.
3. patofisiologi lupus

Faktor genetik Faktor imunologi Faktor hormonal Faktor lingkungan

SLE

Sytem lupus erythematosus

Gejala dan gambaran acr

American collage of rheumatologi 1997

Oral Laboratorium
sistemik Kulit

1. gangguan darah
1. butterfly rush 1. xerostomia 2. gangguan imun
1. arthritis 2. diseol rash 2. lesi ulserasi 2. antiboodinanti
2. serosis 3. fotosensitive 3. lesi diskoid uklir (ANA)

3. ganguan ginjal 4. lesi mirip lichen


planus
4. gangguan saraf
Kerangka konsep

1. xerostomia
Odapus
2. lesi ulserasi
Orang pnderita lupus
3. lesi merah dan putih

4. lesi diskoid

Jenis kelamin

4. Penatalaksanaan lupus
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi edukasi tentang penyakitnya dan terapi non farmakologis berupa
istirahat, menghindari kelelahan,dan perlindungan terhadap sinar matahari .1 Perlindungan terhadap sinar matahari,
seperti menggunakan pakaian dan tabir surya, menghindari paparan matahari langsung, dan eliminasi obat yang
berpotensi fotosensitisasi sangat penting dalam pencegahan perburukan dari manifestasi kelainan kulit.
Aktivitas fisik yang cukup tetap diperlukan pada pasien ini untuk mempertahankan densitas tulang dan 754
berat badan normal, terlebih pada pasien ini memperoleh terapi steroid jangka panjang. Terapi farmakologis utama yang
diberikan pada pasien ini berupa kortikosteroid (metilprednisolon) 0,8 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam tiga dosis dan
klorokuin 4 mg/kg BB/hari dan OAINS.1 Pemantauan berkala fungsi ginjal pada pasien ini sangat diperlukan melalui
pemeriksaan urin rutin terutama sedimen, proteinuria; kadar kreatinin darah, albumin serum, dan klirens kreatinin.
Pemberian kortikosteroid lebih dari 7,5 mg/hari dalam jangka panjang (lebih dari 3 bulan) memerlukan suplementasi
kalsium. Perlu dilakukan pemantauan fungsi mata pada pasien lewat pemeriksaan funduskopi dan perimetri setiap 3-6
bulan mengingat efek samping dari klorokuin yang diberikan pada pasien. Terapi yang diberikan pada pasien ini sudah
sesuai dengan rekomendasi lupus Indonesia pada pasien dengan LES derajat ringan diberikan terapi kloroquin ditambah
dengan OAINS serta kortikosteroid. Prognosis pada pasien ini baik mengingat angka 5 years survival rate mencapai 97
%, di RSCM sendiri 5 years survival rate mencapai 88%.1 Pada pasien LES angka mortalitas 5 kali lipat lebih tinggi
dibanding populasi normal, pada 5 tahun pertama hal ini dihadapkan kepada angka infeksi dan aktifitas penyakit itu
sendiri sehingga diharapkan dengan kontrol yang rutin 5 years survival rate akan sangat baik.4 Angka kematian lebih
tinggi akibat perburukan dari fungsi ginjal yang sering terjadi pada pasien LES pria dengan keterlibatan organ ginjal.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 9,7 gr/dL, Combs test DCT positif, pemeriksaan imunologi Anti ds-DNA :
502,26 IU/ml (positif) dan Ana profile test positif dan didukung dengan pemeriksaan biopsi kulit pada wajah dan
punggung dengan suatu Subacute Cutaneus Systemic Luphus erytematosus (SCLE).

6. Diagnosis keperawatan lupus


Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1982, diagnosis SLE dapat ditegakkan secara
pasti jika dijumpai empat kriteria atau lebih dari 11 kriteria,
yaitu:
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat
nasilabial Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan kerato k dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang
dilihat oleh dokter pemeriksa Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnta tidak terasa nyeri dan dapat terlihat
oleh pemeriksa Artritis Atritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak
atau efusia
Serosis
- Pleuritis
- perikarditis
a. riwayat penyakit pleuritik berdasarkan anamnesa atau terdapat efusi pleura
b. dapat dilihat pada rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat efusi pleura
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram/hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular, atau campuran
Gangguan neurologi
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidakseimbangan elektrolit)
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau

gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,


atau ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan hematologik
a. Anemia hemolitik dengan retikulus
b. Lekopenia <4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih, atau
c. Limfopenia <1500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih, atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
obat-obatan
Gangguan imunologik
a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal, atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nukluear Sm, atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
- Kadar serum antibodi antikordiolipin abnormal baik IgG atau IgM
- Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar, atau
- Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absropsi antibodi
Treponema Antibodi antinuklear positif (ANA) Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang
diketahui berhubungan dnegan sindrom lupus
yang diinduksi obat

. Therapy/tindakan penanganan Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan secara
erkesinambungan. Pilar pengobatan yang bisa dilakukan:
a. Edukasi dan konseling Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
seluruh keluarga dan lingkungannya. Pasien memerlukan informasi tentang aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah
kekambuhan misalnya dengan cara melindungi kulit dari sinar matahari dengan menggunakan tabir surya atau pakaian
yang melindungi kulit, serta melakukan latihan secara teratur. Pasien juga memerlukan informasi tentang pengaturan diet
agar tidak mengalami kelebihan berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Informasi yang bisa diperlukan kepada
pasein adalah:
- Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya
- Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe penyalit SLE
- Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan terutama yang terkait dengan pengobatan steroid seperti
osteoporosis, kebutuhan istirahat, pemakaian alat bantu, pengaturan diet, serta cara mengatasi infeksi
- Masalah psikologis yaitucara pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa leleah, stres, emosional, trauma psikis,
masalah terkait dengan hubungan dengan keluarga, serta cara mengatasi nyeri.
- Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama pemberian, dan yang lainnya. Kebutuahn pemberian vitamin dan
mineral.
- Kelompok pendukung bagi penderita SLE Edukasi juga perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis akibat
adanya anggota keluarga yang menderita SLE
b. Program rehabilitasi
Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk mempertahankan kestabilan sendi karena jika pasien SLE diberikan
dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu dapat mengakibatkan penurunan massa otot hingga 30%. Tujuan,
indikasi, dan teknis pelaksanaan program rehabilirasi melibatkan beberapa hal, yaitu:
- Istirahat
- Terapi fisik
- Terapi dengan modalitas
- Ortotik, dan yang lainnya.

c. Pengobatan medikamentosa
Jenis obat yang dapat digunakan pada pasein SLE adalah:
- OAINS
- Kortikosteroid
- Klorokuin
- Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia di Indonesia)
- Azatioprin
- Siklofosfamid
- Metotreksat
- Siklosporin A
- Mikofenolat mofetil Jenis obat yang paling umum digunakan adalah kortikosteroid yang dipakai sebagai antiinflamasi
dan imunosupresi. Namun, penggunaan kortikosteroid menimbulkan efek samping. Cara mengurangi efek samping dari
penggunaan kortikosteroid adalah dengan mengurangi dosis obatnya segera setelah penyakit terkontrol. Penurunan dosis
harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari aktivitas penyakit muncul kembali dan terjadinya defisiensi kortikol
yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal kronis. Penurunan dosis yang dilakuakn secara
bertahap akan memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Penggunaan sparing agen kortikosteroid dapat diberikan
untuk memudahkan menurunkan dosis kaortokosteroid dan mengobtrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan
sebagai sparing agen kortokosteroid adalah azatioprin, mikofenolat mofenil, siklofosfamid, danmetotrexate.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
A. pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses pengumpulan data yang sistematis
dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi suatu kesehatan pasien ( Lyer et.al, 1999 dalam Nursalam
2009).
1) Tipe Data
Ada dua tipe pengkajian yaitu, data subjektif dan data objektif kedua tipe tersebut adalah sebagai berikut :
a) Data Subjektif
Data subjektif adalah data yang didapatkan dari pasien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian.
Data tersebut tidak dapat ditentukan oleh perawat secara independent tetapi harus melalui suatu interaksi atau
komunikasi. Data subjektif diperoleh dari riwayat keperawatan termasuk persepsi pasien, perasaan dan ide tentang
status 36 kesehatannya. Misalnya penjelasan pasien tentang nyeri, lemah,frustasi, mual atau muntah. Data yang
diperoleh dari sumber lainnya, seperti dari keluarga, konsultan, dan profesi kesehatan lainnya juga dapat
dikategorikan sebagai data subjektif jika didasarkan pada pendapat klien (Nursalam, 2009).
b) Data Objektif
Data objektif adalah data yang didapat dari observasi dan dapat diukur oleh perawat. Dan ini diperoleh melalui
kepekaan perawat selama melakukan pemeriksaan fisik. Yang termasuk data objektif adalah frekuensi pernafasan,
tekanan darah, adanya edema dan berat badan (Nursalam, 2009).
c) Sumber Data
Sumber data yang dikumpulkan dapat diperoleh tidak hanya dari pasien tetapi dari orang terdekat (keluarga), catatan,
riwayat penyakit terdahulu, konsultasi dengan terapis, hasil pemeriksaan diagnostik, catatan medis, dan sumber
kepustakaan. Penjelasan mengenai sumber-sumber data tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Pasien
Pasien adalah sumber data yang utama dan perawat dapat menggali informasi yang sebenarnya mengenai masalah
kesehatan pasien. Banyak klien yang senang memberikan informasi kepada perawat, jika pasien mengetahui bahwa
informasi yang telah
disampaikan akan membantu memecahkan masalahnya sendiri maka pasien akan dengan mudah memberikan informasi
kepada perawat. Perawat harus mampu mengidentufikasi masalah maupun kesulitan-kesulitan klien agar dapat
memperoleh data yang benar (Nursalam,2009).
(2) Orang Terdekat
Informasi dapat diperoleh dari orang tua, suami atau istri, anak atau teman pasien. Jika klien mengalami gangguan
keterbatasan dalam berkomunikasi ataupun kesadaran yang menurun. Hal ini dapat terjadi pada klien anak-anak, dimana
informasi diperoleh dari ibu atau yang menjaga anak selama dirumah sakit (Nursalam,2009).
(3) Catatan Pasien
Catatan pasien ditulis oleh anggota tim kesehatan dan dapat dipergunakan sebagai sumber informasi dalam riwayat
keperawatan. Untuk menghindari pengulangan yang tidak perlu maka sebelum mengadakan interaksi kepada pasien,
perawat hendaknya membaca catatan pasien terlebih dahulu. Hal ini membantu perawat untuk fokus dalam mengkaji data
dan memperluas data yang akan diperoleh dari pasien (Nursalam,2009).
(4) Riwayat Penyakit
Pemeriksaan fisik dan cacatan perkembangan merupakan riwayat penyakit yang diperoleh dari terapis. Informasi yang
diperoleh adalah hal-hal yang difokuskan pada identifikasi patologis dan untuk menentukan rencana intervensi medis
(Nursalam,2009).
(5) Konsultasi
Kadang-kadang terapis memerlukan konsultasi dengan anggota tim kesehatan spesialis, khususnya dalam menentukan
diagnosis medis atau dalam merencanakan dan melakukan tindakan medis. Informasi tersebut dapat diambil guna
membantu menegakkan diagnosis medis (Nursalam,2009).
(6) Hasil Pemeriksaan Diagnostik
Hasil pemeriksaan laboraturium dan tes diagnostic dapat digunakan perawat sebagai data objektif yang disesuaikan
dengan msalah kesehatan klien. Hasil pemeriksaan diagnostik dapat membantu terapis untuk menetapkan diagnosis
medis dan membantu perawat untuk mengevaluasi keberhasilan asuhan keperawatan (Nursalam,2009).
(7) Catatan Medis dan Anggota Tim Kesehatan Lainya
Anggota tim kesehatan lain juga merupakan personel yang berhubungan dengan klien. Mereka memberikan intervensi,
mengevaluasi, dan mendokumentasikan hasil pada status klien 39
sesuai dengan spesialisnya masing-masing. Catatan kesehatan yang terdahulu dapat dipergunakan sebagai sumber data
yang mendukung rencana asuhan keperawatan (Nursalam,2009).
(8) Perawat lain
Jika pasien adalah rujukan dari pelayanan kesehatan lain, maka perawat harus meminta informasi kepada yang telah
merawat pasien sebelumnya, hal ini dimasudkan untuk kesinambungan dari tindakan keperawatan yang telah diberikan
(Nursalam,2009).
(9) Kepustakaan
Untuk melaporkan data dasar klien yang komperhensif, perawat dapat membaca literature yang berhubungan dengan
masalah klien. Memperoleh literature sangat membantu perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang benar dan
tepat (Nursalam,2009).
2) Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada tahap pengkajian dapat dilakukan dengan menggunakan 3 metode, yaitu komunikasi
(wawancara), observasi, pemeriksaan fisik, metode tersebut sangat bermanfaat bagi perawat dalam melakukan
pendekatan kepada klien pada tahap pengumpulan data, perumusan diagnose keperawatan, dan perencanaan secara
rasional dan siatematik.
Penjelasan mengenai metode-metode tersebut sebagai berikut
a) Komunikasi (wawancara)
Wawancara merupakan metode komunikasi yang direncanakan dan meliputi tanya jawab antara perawat dengan pasien
yang berhubungan dengan masalah kesehatan klien untuk itu kemampuan komunikasi sangat dibutuhkan oleh perawat
agar dapat memperoleh data yang diperlukan (Nursalam,2009).
b) Observasi
Menurut Nursalam (2009), metode pengumpulan data yang kedua adalah observasi. Observasi adalah mengamati
perilaku dan keadaan pasien untuk memperoleh data tentang masalah dan keperawatan klien.
c) Pemeriksaan Fisik
Menurut Nursalam (2009) pemeriksaan fisik dapat dilakukan melalui empat teknik yaitu inspeksi, palpasi, perkusi,dan
auskultasi (IPPA). Penjelasan mengenai teknik-teknik pemeriksaan fisik tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Inspeksi
Inspeksi merupakan proses observasi yang dilakukan secara sistematik. Inspeksi dilakukan dengan menggunakan indra
pengelihatan, pendegaran, dan penciuman sebagai alat untuk mengumpulkan data. Inspeksi dimulai pada awal
berinteraksi dengan pasien dan diteruskan pada pemeriksaan selanjutnya
penerangan yang cukup sangat diperlukan agar perawat dapat membedakan warna, bentuk, dan kebersihan tubuh.
(2) Palpasi
Palpasi merupakan teknik pemeriksaan yang menggunakan indera perabaan tangan dan jari-jari adalah instrument yang
positif dan dapat digunakan untuk mengumpulkan data tentang suhu, turgon, batuk, kelembaban, vibrasi dan ukuran
(Nursalam,2009).
(3) Perkusi
Perkusi merupakan teknik pemeriksaan dengan mengetuk-ngetuk jari perawat (sebagai alat untuk menghasilkan suara)
kebagian tubuh klien yang akan dikaji untuk membandingkan bagian yang kiri dan yang kanan. Perkusi bertujuan untuk
mengidentifikasi lokasi, ukuran, bentuk dan konsistensi jaringan.
Menurut Nursalam (2009) suara-suara yang akan ditemui perkusi :
a. Sonor : suara perkusi jaringan normal

b. Pekak : suara perkusi jaringan padat yang terdapat jika ada cairan dirongga pleura

c. Redup :suara perkusi jantung yang lebih padat atau konsolidasi paru-paru.

d. Hipersonor atau timpani : perkusi pada daerah yang mempunyai rongga-rongga kosong seperti pada daerah caverna-
caverna paru dank lien dengan asma kronik.
42
(4) Auskultasi
Auskultasi adalah pemeriksaan dengan jalan mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh dengan menggunakan
stetoskop (Nursalam, 2009).
Menurut Hidayat (2012) dalam Endarsari (2015), data yang ditemukan pada pasien Lupus adalah :
(a) Sistim musculoskeletal : artalgia, artritis, pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
(b) Sistim integumen : lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal serta pipi.
(c) Sistim kardiak : pericarditis merupakan manifestasi kardiak.
(d) Sistim pernafasan : pleuritis atau efusi pleura.
(e) Sistim vaskuler : iflamasi pada arteriole, dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku, serta permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjur nekrosis.
(f) Sistim perkemihan : biasanya yang terkena glomerulus renal.
(g) Sistim saraf : spektum gangguan sistim saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologic,
sering terjadi depresi dan psikosis.
(h) Pola nutrisi-metabolik : status gizi masukan nutrisi, belance cairan dan elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet,
fluktuasi berat 43
badan dalam 6 bulan terakhir, kesulitan menelan, mual dan muntah, kebutuhan jumlah zat gizi, masalah penyembuhan
kulit, makanan kesukaan.
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2010), pengkajian pada pasien Lupus dengan Risiko Infeksi meliputi :
(a) Hemoglobin
(b) leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED).
(c) Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin.
(d) Tes imunologik awal tes ANA dan pengukuran suhu tubuh.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia (status kesehatan / resiko
perubahan pola) dari individu / kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberi
intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, dan mengubah
(Nursalam,2009). Diagnosa keperawatan menurut NANDA, (2015-2017) dapat dibedakan menjadi 5 kategori : aktual,
resiko, sindrom, sejahtera (wellness), promosi kesehatan
1) Aktual
Menjelaskan masalah yang sedang terjadi saat ini dan harus sesuai dengan data-data klinik yang diperoleh.
2) Resiko
Menjelaskan masalah kesehatan yang akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi keperawatan.
3) Sindrom
Diagnosis keperawatan sindrom adalah diagnosis yang terdiri dari kelompok diagnosis keperawatan aktual dan resiko
tinggi yang akan diperkirakan muncul karena suatu kejadian atau situasi tertentu.
4) Wellness
Diagnosis Keperawatan kesejahteraan adalah kemampuan klinik tentang keadaan individu, keluarga dan atau masyarakat
dalam transisi dari tingkat sejahtera tertentu ke tingkat sejahtera yang lebih tinggi.
5) Promosi Kesehatan
Diagnosa keperawatan promosi kesehatan adalah penilaian klinis mengenai motivasi seseorang, keluarga, kelompok atau
komunitas dan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan serta mewujudkan potensi kesehatan manusia.
Komponen diagnosa keperawatan :
a) Masalah (problem) : tujuan menuliskan masalah pada diagnosis keperawatan adalah untuk menjelaskan status
kesehatan klien dengan jelas dan singkat.
b) Penyebab (etiologi) : faktor klinik dan personal yang dapat mengubah statsus kesehatan atau mempengaruhi
perkembangan masalah.
c) Definisi karakteristik (tanda/gejala) : data subjektif dan data objektif yang diperoleh sebagai komponen pendukung
menurut teori Nurarif. A dan Kusuma. H, (2015) diagnose keperawatan yang muncul pada pasien SLE, yaitu : (1) Resiko
Infeksi berhubungan dengan imunosuperesi.
c. Perencanaan Keperawatan
Melalui pengkajian keperawatan akan mampu mengidentifiksi respon pasien yang aktual atau potensial yang
memerlukan suatu tindakan. Dalam melakukan perencanaan perlu menyusun suatu sistem untuk menentukan diagnosa
yang diambil tindakan pertama kali, salah satu sistem yang bisa digunakan adalah hirarki maslow “kebutuhan manusia”
(Nursalam,2009).
Menurut Nurarif. A dan Kusuma, H, (2015) rencana keperawatan pada pasien Lupus :
1) Resiko Infeksi berhubungan dengan Imunosupresi.
NOC. Knowledge : Risk Control
Kriteria Hasil :
a) Klien bebas dari tanda dan gelaja infeksi
b) Mendeskripsikan proses penularan penyakit.
c) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.
d) Jumlah leukosit dalam batas normal.
NIC : Infection control
a) bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien.
b) Pertahankan teknik isolasi.
c) Batasi pengunjung bila perlu.
d) Instruksikan pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung.
e) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan.
f) Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung.
g) Tingkatkan intake nutrisi.
h) Berikan terapi antibiotik bila perlu.
d. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi
dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditunjukkan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan
yang diharapkan. Tindakan perawat dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab perawat secara professional
sebagaimana terhadap dalam standar praktik keperawatan (Nursalam,2009).
C. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari
diagnosis keperawatan, rencana intervensi dan evaluasinya (Nursalam,2009).
D. Dokumentasi Keperawatan
Salah satu tugas dan tanggung jawab perawatan adalah melakukan pendokumentasian mengenai intervensi yang telah
dilakukan. Tetapi akhir-akhir ini tanggung jawab perawat terhadap dokumentasi telah dimodifikasi. Oleh karena
perubahan tersebut, maka perawat perlu menyusun suatu model dokumentasi yang baru, lebih efisien, dan lebih
bermakna dalam pencatatan dan penyimpanannya (Nursalam,2009). Prinsip Dokumentasi SOAP pada Risiko Infeksi
menurut Nursalam (2009)
S : Subjektif Menggambarkan pendokumentasian hanya pengumpulan data klien melalui anamnesa
O : Objektif Menggambarkan pendokumentasian hasil analaisa dan fisik klien, hasil laboratorium, dan test diagnostik
A : Assesment Masalah atau diagnosa yang ditegakkan berdasarkan data atau informasi subjektif maupun objektif
yang dikumpulkan atau disimpulkan
P : Planning Menggambarkan pendokumentasian dari perencanaan dan evalusi berdasarkan Assesment

E. Analisa data

No Analisa data Etiologi Masalah


1. Ds Reaksi inflamasi Gangguan
Klien mengeluh termoregulasi
demam Merangsang
D0 38.5 c hipotalamus

Ili

Demam

Gangguan
termoregulasi

2. Ds klien mengeluh Infalamasi Gangguan integritas


kulitnya mudah kulit
terkena sinar
matahari Kalor rubor
Do
Pada kulit muncul
ruam merah yang Kulit mudah gosong
membentang butter rush
dikedua pipi (butter
rush) yang
Integritas kulit
menyerupai cakram
menonjol dan
kadang kadang
3. Ds Inflamasi nyeri
Klien mengeluh
bengkak disendi
tangan dan kaki
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Hasil studi kasus


a. pengkajian
1. keluhan
Demam
2. riwayat penyakit sekarang
Klien mengeluh nyeri disertai bengkak disendi tangan dan kaki
3. riwayat penyakit dahulu
Klien mengeluh bintik bintik merah dikaki dan tangan panas sejak 1 minngu yang lalu
4. riwayat penyakit keluarga
Tidak ada riwayat penyakit keluarga
5. riwayat psikososial
Tidak ada
6. pola fungsi kesehatan
a. pola persepsi
klien satu tahun yang lalu klien sering mengeluh nyeri sendi terutama pada jari tangan dan kaki nyeri hilang
timbul rambut rontok sariawan yang sering timbul dirongga mulut
b. pola nutrisi
tidak ada
c. pola eliminasi
tidak ada
d. pola aktifitas
klien harus menjauhi sinar matahari
e. nilai dan keyakinan
tidak ada
7. pemeriksaan fisik
a. status kesehatan umum
keadaan umum sedang n 100x/m rr 24x/m suhu 38.5 c td 130/80 mmhg ptike dikaki dan tangan terdapat
stomatitis malar rash bengkak disendi tangan dan kaki
b. pemeriksaan head to to
a. Kepala : wajah dan kulit kepala bentuk muka, ekspresi wajah gelisah dan pucat, rambut, bersih/
dan rontok/tidak, ada/tidak nyeri tekan.
b. Mata : mata kanan dan kiri simetris/tidak, mata cekung/tidak, konjungtiva anemis/tidak, selera
ikterit/tidak, ada/tidak sekret, gerakan bola mata normal/tidak, ada benjolan/tidak, ada/tidak
nyeri tekan/ fungsi pengelihatan menurun/tidak.
c. Hidung : ada/tidak polip, ada/tidak sekret, ada/ tidak radang, ada/ tidak benjolan, fungsi
penghidu baik/buruk,
d. Telinga : canalis bersih/kotor, pendengaran baik/menurun, ada/tidak benjolan pada daun telinga,
ada/tidak memakai alat bantu pendengaran,
e. Mulut : gigi bersih/kotor, ada/tidak karies gigi, ada /tidak memakai gigi palsu, gusi ada/ tidak
peradangan, lidah bersih/kotor, bibir terdapat stomatitis
f. Leher : ada/tidak pembesaran thyroid, ada/tidak nyeri tekan , ada/tidak bendungan vena
jugularis dan ada/tidak pembesaran kelenjar limfe.
g. Paru : bentuk dada normal chesr simetris/tidak, kanan dan kiri. Inspeksi : pada paru-paru
didapatkan data tulang iga simetris/tidak kanan, payudara normal/tidak, RR normal atau tidak,
pola nafas regular/tidak, bunyi vesikuler/tidak, ada/tidak sesak napas. Palpasi : vocal fremitus
anteria kanan dan kiri simetris/tidak, ada/tidak nyeri tekan. Auskultasi : suara napas
vesikuler/tidak, ada/ tidak ronchi maupun wheezing, ada/tidak. Perkusi : suara paru-paru
sonor/tidak pada paru kanan da kiri.
h. Abdomen : abdomen simetris/tidak, datar dan ada/tidak luka auskultasi: peristaltik 24x/menit.
Palpasi ada/tidak nyeri, dan kuadran kiri atas. Perkusi : suar hypertimpani.
i. Genitalia data tidak terkaji, terpasang kateter/tidak.
j. Musculoskeletal : ekstremitas atas : simetris /tidak, ada/tidak odema atau lesi, ada/tidak nyeri
tekan, ekstremitas bawah : kaki kanan dan kaki kiri simetris ada bengkak / Ada atau tidak luka
k. Integumentum : warna kulit, turgor kulit baik/jelek/kering ada lesi/tidak, ada/tidak pengurasan
kulit, ada/tidak nyeri tekanan.
8. pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 9,7 gr/dL, Combs test DCT positif, pemeriksaan imunologi Anti
ds-DNA : 502,26 IU/ml (positif) dan Ana profile test positif dan didukung dengan pemeriksaan biopsi
kulit pada wajah dan punggung dengan suatu Subacute Cutaneus Systemic Luphus erytematosus
(SCLE)

b. analisa data

N Analisa Etiologi Masalah


o data
1. Ds Reaksi Gangguan
Klien inflamasi termoregulas
mengeluh i
demam Merangsan
D0 38.5 c g
hipotalamus

Ili

Demam

Gangguan
termoregulas
i

2. Ds klien Infalamasi Gangguan


mengeluh integritas
kulitnya kulit
mudah Kalor rubor
terkena
sinar
matahari Kulit
Do mudah
Pada kulit gosong
muncul butter rush
ruam merah
yang
membentan Integritas
g dikedua kulit
pipi (butter
rush) yang
menyerupai
cakram
menonjol
dan kadang
kadang
3. Ds Inflamasi nyeri
Klien
mengeluh
bengkak
disendi
tangan dan
kaki

c. diagnosa keperawatan
1. hipertemi (sdki: d. 0130) definisi suhu tubuh meningkat diatas rentang normal tubuh penyabab dehidrasi
terpapar lingkungan panas ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan peningkatan laju metabolisme
respon trauma aktivitas berlebihan gejala dan tanda minor subjektif tidak tersedia objektif kulit merah kejang
takikardi takipne kulit terasa hangat kondisi klinis terkait proses infeksi hipertiroid stroke dehidrasi
prematuritas
2. intoleransi aktivitas (sdki d.0056) definisi ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas penyebab
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen tirah baring kelemahan imobilitas gaya hidup
monoton gejala dan minor subjektif dsipnea saat setelah aktivitas merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
merasa lemah objektif tekanan darah >20%ndari kondisi istirahat gambaran ekg menunjukkan aritmia saat dan
setelah aktivitas gambaran ekg munjukkan iskemia sianosis
3. nyeri akut (sdki: d.0077) definisi pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusukan
jaringan aktual atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung penyebab agen pencedera fisiologi agen pencedera kimiawi agen pencedera fisik subjektif
mengeluh nyeri objektif tampak meringis

d. intervensi keperawatan
1. gangguan termoregulasi berhubungan dengan adanya suhu tubuh meningkat
Definisi mengajarkan pasien untuk mendukung keseimbangan anatara panas atau kehilangan panas
Tindakan observasi
Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
Terapeutik
a. ajarkan kompres hangat jika demam
b. ajarkan cara mengukur suhu
c. anjurkan tetep memandikkan pasien jika memungkinkan
d. anjurkan pemberian antipiretik sesuai indikasi
e. anjurkan banyak minum
f. anjurkan menciptakan lingkungan yang nyaman
g. anjurkan melakukan pemeriksaan darah jika demam > 3 hari.
Luaran keperawatn termoregulasi ski (l.14134 )
Definisi pengaruh suhu tubuh agar tetap berada pada rentang normal
Ekspektasi membaik
Kriteria hasil
Menggigil menurun
Kulit merah meningkat
Kejang menurun
Suhu tubuh cukup membaik
Tekanan darah

2. Nyeri berhubungan dengan agen cidera biologis

Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive

Luaran utama: Manajemen Nyeri (SIKI: I.14518)

Defenisi: mengidentifikasi dan mengelola sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau
fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan.
Tindakan observasi

a. Identifikasi lokasi, karakteristik,durasi, frekuensi, kualitas, insensitas, nyeri

b.Identifikasi skala nyeri

c. Identifikasi respons nyeri non verbal

d. Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri

e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri

f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri

g. Identifikasi pengaru nyeri pada kualitas hidup

h. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah di berikan

i. Monitor efek samping penggunaan obat analgesic

j. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.

k. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri

L. Fasilitasi istirahat dan tidur


m. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi:

1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri


2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgesic
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi: Kolaborasi pemberian analgesic.
Luaran utama: pemberian analgesic (SIKI: I.08243)
Defenisi: menyiapkan dan memberikan agen farmakologis untuk mengurangi atau menghilangkan rasa
sakit.

1. Identifikasi karakteristik nyeri


2. Identifikasi riwayat alergi obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesic
3. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesic
4. Monitor efektifitas analgesic

Terapeutik:
1. Diskusikan jenis analgesic yang disukai untuk mencapai analgesia optimal,jika perlu.
2. Pertimbangkan penggunaan infus kontinu atau bolus obloid untuk mempertahankan kadar
dalam serum.

3. Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan respon pasien.


4. Dokumentasikan respons terhadap efek analgesic dan efek yang tidak di inginkan
Edukasi: Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi: Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesic, sesuai indikasi.

BAB IV

PEMBAHASAN
Kesenjangan antara teori di BAB II dengan kasus pada BAB III terkait
proses keperawatan

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan
perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri Systemic
lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat
berubah – ubah, penuakit ini terutama menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan jantung. (Robins, 2007)

Dari kasus pada Nn u usia 20 thn didapatkan tidak ada anggota keluarga yang menderita
penyakit sama seperti Nn u tetapi menderita nyeri sendi ditangan dan kaki 1 tahun yang lalu
namun tidak pernah periksa ke pelayanan terdekat.sudah mencoba minum obat tetap saja
sama

BAB V
KESIMPULAN DAN
SARAN
A. Kesimpulan
Lupus erythematosus (LE) merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapatkelainan sistem imun
yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh.Mekanisme sistem kekebalan
tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri,
virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam
jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam
jaringan. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki
korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, Human Leukosit Antigen
(HLA) DR-2, FC (Factor Complement) 􏁧 reseptor 3A, Protein fosfat non reseptor 22, Cytotoxic T
limfosit turunan antigen, telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur
komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.
Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi
menderita SLE. Manifestasi dapat berbeda dari satu pasien dengan pasien lainnya tergantung dari target
organ yang terkena. Gejala yang timbul dapat menyerupai penyakit lain seperti multiple sclerosis,
arthritis reumathoid, atau bahkan demam berdarah, sehingga sering menyulitkan dalam penegakkan
diagnosa. Para tenaga medis sangat berhati-hati dalam mendiagnosa lupus eritematosus, pemeriksaan
status sistem imun yang lengkap dan menyeluruh, termasuk mengetahui seluruh riwayat penyakit
pasien mutlak diperlukan sebelum diagnosa lupus eritematosus ditegakkan. Perkembangan penelitian
penyebab dan pengobatan lupus eritematosus di dunia cukup menjanjikan dalam 3 dekade terakhir,
terlihat bahwa pendekatan pengobatan mulai berubah, diagnosa dini mulai dapat ditegakkan,
manifestasi penyakit pada sebagian besar pasien mulai dapat dikontrol sehingga jumlah dan jenis obat-
obatan yang dikonsumsi dapat dikurangi. Lupus erythematosus (LE) merupakan penyakit autoimun
kronis dimana terdapat kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan
sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh
sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang
jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun
(antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi
beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility
Complex) kelas II, Human Leukosit Antigen (HLA) DR-2, FC (Factor Complement) 􏁧 reseptor 3A,
Protein fosfat non reseptor 22, Cytotoxic T limfosit turunan antigen, telah dikaitkan dengan timbulnya
SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko
tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan
berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur
komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE. Manifestasi dapat berbeda dari satu
pasien dengan pasien lainnya tergantung dari target organ yang terkena. Gejala yang timbul dapat
menyerupai penyakit lain seperti multiple sclerosis, arthritis reumathoid, atau bahkan demam berdarah,
sehingga sering menyulitkan dalam penegakkan diagnosa. Para tenaga medis sangat berhati-hati dalam
mendiagnosa lupus eritematosus,pemeriksaan status sistem imun yang lengkap dan menyeluruh,
termasuk mengetahui seluruh riwayat penyakit pasien mutlak diperlukan sebelum diagnosa lupus
eritematosus ditegakkan. Perkembangan penelitian penyebab dan pengobatan lupus eritematosus di
dunia cukup menjanjikan dalam 3 dekade terakhir, terlihat bahwa pendekatan pengobatan mulai
berubah, diagnosa dini mulai dapat ditegakkan, manifestasi penyakit pada sebagian besar pasien mulai
dapat dikontrol sehingga jumlah dan jenis obat-obatan yang dikonsumsi dapat dikurangi.

B. Saran

a. Bagi Penulis

Menambah wawasan dan sebagai saran untuk menerapkan ilmu


dalam bidang keperawatan tentang asuhan keperawatan medikal bedah
lupus
b. Bagi Institusi

Hasil laporan diharapkan dapat menambah literatur perpustakaan


dalam bidang keperawatan medikal bedah.
c. Bagi Institusi RS

Diharapkan dengan adanya penelitian ini memberikan gambaran


untuk setiap permasalahan yang terjadi pada pasien. Tenaga kesehatan
khususnya perawat perlu menggunakan pendekatan proses keperawatan
dengan tepat dan fokus, dan memberikan pendidikan kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan bagi pasien dan keluarga mengenai penyakit
yang dialami.
LAMPIRAN

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)


Lupus

HARI / TANGGAL : Kamis, 19 Mei 2022


JAM / WAKTU : ( 30 menit )
POKOK BAHASAN : lupus
SASARAN : Klien dan Keluarga
TEMPAT : RSUD Cimacan Ruang Bedah (Ruang hcu )
PENYULUH :- Nenden firtiyah
- Soffie Seftiani
- Reddy Ramadhan
- Derri Amarila

A. LATAR BELAKANG
Lupus erythematosus (LE) merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapatkelainan sistem imun yang
menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh.Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak
dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena
autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan
terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan. Studi mengenai
genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II, Human Leukosit Antigen (HLA) DR-2, FC (Factor Complement) 􏁧
reseptor 3A, Protein fosfat non reseptor 22, Cytotoxic T limfosit turunan antigen, telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Manifestasi dapat berbeda dari satu pasien dengan pasien lainnya tergantung dari target organ
yang terkena. Gejala yang timbul dapat menyerupai penyakit lain seperti multiple sclerosis, arthritis
reumathoid, atau bahkan demam berdarah, sehingga sering menyulitkan dalam penegakkan diagnosa. Para
tenaga medis sangat berhati-hati dalam mendiagnosa lupus eritematosus,pemeriksaan status sistem imun yang
lengkap dan menyeluruh, termasuk mengetahui seluruh riwayat penyakit pasien mutlak diperlukan sebelum
diagnosa lupus eritematosus ditegakkan. Perkembangan penelitian penyebab dan pengobatan lupus
eritematosus di dunia cukup menjanjikan dalam 3 dekade terakhir, terlihat bahwa pendekatan pengobatan
mulai berubah, diagnosa dini mulai dapat ditegakkan, manifestasi penyakit pada sebagian besar pasien mulai
dapat dikontrol sehingga jumlah dan jenis obat-obatan yang dikonsumsi dapat dikurangi.
B. Tujuan
I. Tujuan Umum
Setelah mengikuti pendidikan kesehatan tentang Lupus selama 30 menit, diharapkan klien dan keluarga
mampu memahami tentang lupus secara menyeluruh baik pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta cara
perawatan ataupun mencegah lupus tersebut.
II. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan tindakan pendidikan kesehatan diharapkan klien dan/atau keluarga :
a. Menjelaskan kembali pengertian lupus dengan kalimatnya sendiri
b. Menyebutkan pengertian lupus
c. Menjelaskan penyebab terjadinya lupus
d. Menjelaskan tanda dan gejala lupus

C. Materi : (terlampir)
D. Metoda : Ceramah dan tanya jawab
E. Media : Leaflet, power point
F. Strategi Pelaksanaan
No Kegiatan Respons klien Waktu
Pendahuluan : a. Membalas salam
a. Menyampaikan salam. b. Mendengarkan
1 3 menit
b. Menjelaskan tujuan c. Memberi respons
c. Kontrak waktu
Penjelasan materi :
a.Memahami dan mengerti
tentang hiperglikemi dan Mendengarkan dan
2 7 menit
penyebabnya memperhatikan
b. Mengetahui gejala dan
pencegahan hiperglikemi
Penutup :
a. Menanyakan hal yang
belum jelas a. Tanya jawab
3 b. Menyimpulkan hasil b.Menyimpulkan 5 menit
penyuluhan c. Membalas salam
c. Memberi salam

G. Evaluasi: Lisan dengan mengajukan beberapa pertanyaan


1) Jelaskan pengertian lupus ?
2) Sebutkan penyebab lupus ?
3) Sebutkan klasifikasi lupus ?

Daftar pustaka

Aulawi, Dede Farhan, 2008, Mengenal Penyakit Lupus. Diakses 2 mei 2014
http://www.panduankesehatan.com.
Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM, 2002, Systemic Lupus Erythematosus. Yayasan
Lupus Indonesia, Jakarta.
Joseph A. Bellanti, M.D, 1993, Imunologi III. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Michelle Petri, M.D.,M.P.H, 1998, Treatment of Systemic Lupus Erythematosus. Johns
Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Maryland.
Robbins, S.L, Cotran R.S & Kumar, V, 1999, Dasar Patologi Penyakit. EGC, Jakarta.
Sjaiffoellah, Noer, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI, Jakarta.
Sylvia, A.P & Lorratine, M.W, 2005, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
EGC, Jakarta.
Underwood, J.C.E, 1999, Patologi Umum dan Sistematik. EGC, Jakarta.
Wallace, J.D, 2007, The Lupus Book : Panduan Lengkap Bagi
MATERI PENYULUHAN

a. pengertian lupus
lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa
Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus
erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda
dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat
menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah
penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks
imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE
bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ
yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang
menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terlibat
b. etiologi
utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa
faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan
berperan dalam timbulnya penyakit ini.
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan.
Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-
5% anak kembar dizigotberisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%.
Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan
pada populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi
dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, Human Leukosit Antigen (HLA) DR-2, FC (Factor
Complement) 􏁧 reseptor 3A, Protein fosfat non reseptor 22, Cytotoxic T limfosit turunan antigen, telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi
yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi
menderita SLE.
b. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel b
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan
risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi
lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan
sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan
Clebsiella.
Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan
SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan
Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan
DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi dan remisi.
Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf,
kardiovaskular, serta rongga mulut.
Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada ginjalnya. Keterlibatan
ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pada populasi ini.
Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik yang kemudian
berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif disertai dengan gagal ginjal.
Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada muskuloskeletal.
Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporomandibular dan nekrosis avaskular telah
dilaporkan terjadi pada pasien SLE.
Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Lupus dermatitis dapat
dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan subacute cutaneous lupus
erythematosus (SCLE). Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit berupa lesi diskoid yang
umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah bagian pipi dan
sekitar hidung yang disebut buterfly rash karena membentuk seperti sayap kupu-kupu
(Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan.
Sebanyak 5% individu dengan DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan SLE,
sebanyak 20% memiliki DLE.
c. klasifikasi
Ada tiga jenis type lupus :
a. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas pada kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam
yang muncul pada muka, leher, atau kulit kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit yang
terkena sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat beberapa macam tipe ruam pada lupus,
tetapi yang umum terdapat adalah ruam yang timbul, bersisik dan merah, tetapi tidak gatal.
b. Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ. Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini
hanya terbatas pada gangguan kulit dan sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ
dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya tidak
muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat menjadi aktif (flare).
c. Drug-induced lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat yang umumnya dapat menyebabkan druginduced
lupus adalah jenis hidralazin (untuk penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan detak
jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang memakan obat ini akan terkena drug-induced lupus.
Hanya 4 persen dari orang yang mengkonsumsi obat itu yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen
itu, sedikit sekali yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan
dihentikan, maka gejala lupus ini biasanya akan hilang dengan sendirinya Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering
menyerang. Namun, Systemic Lupus selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus, dan dapat menyerang organ
atau sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan persendian yang diserang. Meski begitu, pada orang lain bisa
merusak persendian, paru-paru, ginjal, darah, organ atau jaringan lain. Terdapat perbedaan antara klasifikasi dan
diagnosis SLE. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kombinasi gambaran klinis dan temuan laboratorium dan mungkin
tidak memenuhi kriteria klasifikasi American College of Rheumatology (ACR)
c. Tanda dan gejala lupus
1. rambut rontok yang tidak biasa
2. ruam merah pada wajah
3. kelelahan ekstrim
4. bengkak sendi
5. demam
6. kepekeaan terhadap matahari
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN LUPUS

Diajukan untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah KMB II

Kelompok 3 :
Nenden fitryani
Soffie Seftiani
Reddy Ramadhan
Derri amarilla

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN KELAS TRANSFER CIMACAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BUDI LUHUR CIMAHI

2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karenaatas berkat dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Nn u
dengan lupus”
Penulis menyadari bahwa selama penulisan makalah ini penulis banyak
mendapatkan dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik itu berupa
bantuan melalui tenaga, pikiran, dan dukungan moril.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa makalah kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu segala saran dan kritik sangat penulis harapkan dalam
penyempurnaan makalah kasus ini.

Cianjur, 19 Mei 2022

Penulis,

Kelompok 2

39
40

Anda mungkin juga menyukai