Anda di halaman 1dari 21

A.

PENGERTIAN
Lupus Eritematous Sistemik (SLE) atau dikenal dengan lupus adalah suatu
penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh.
Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam – macam, bersifat sementara,
dan sulit untuk didiagnosis karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang
yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan kira-
kira delapan kali lebih sering dari pada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai
pada akhir masa remaja atau awal dewasa. Di Amerika Serikat, penyakit ini
menyerang perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih sering daripada perempuan
Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada usia di atas 60 tahun, biasanya
akan lebih mudah untuk diatasi (Sylvia & Lorraine, 2005).
Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun
1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-
kupu”, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai
gigitan serigala (lupus adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti serigala).
Lupus discoid adalah nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini apabila
kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit. SLE adalah salah satu
kelompok penyakit jaringan ikat difusi yang etiologinya tidak diketahui.
Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma, polimiositis, artritis rheumatoid, dan
sindrom Sjogren. Gangguan – gangguan ini seringkali memiliki gejala yang
saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat menjadi semakin slit
untuk ditegakkan secara akurat. (Sylvia & Lorraine, 2005).
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan
sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena
autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh
dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang

1
terikat pada antigen) di dalam jaringan (Underwood, 1999).
SLE merupakan prototipe kelainan autoimun sistemik, ditandai dengan
bermacam-macam antibodi, terutama antibodi antinukleus. Antibodi antinukleus
tidak memasuki sel utuh. Namun, nukleus sel yang rusak bereaksi dengan
antibodi antinukleus, kehilangan pola kromatinnya, dan menjadi badan LE yang
homogen, (badan hematoksilin). Fagositosis badan LE oleh neutrofil atau
makrofag in vitro akan membentuk sel LE smapai kira-kira 70 % penderita SLE.
Selain antibodi antinukleus, penderita SLE juga menunjukkan adanya berbagai
macam autoantibodi antara lain terhadap elemen darah (sel darah merah,
trombosit, leukosit). Juga antara 20%-40% mempunyai antibodi terhadap
fosfolipid (Robbins dkk; 1999).
Terlihat terutama pada wanita, SLE adalah suatu penyakit generalisata yang
mengekspresikan dirinya sebagai vaskulitis yang melibatkan beberapa sistem
organ. Sel sasaran primernya adalah sistem hematopoetik, kulit, sendi dan ginjal.
Organ-organ ini dilibatkan dalam aneka macam cara oleh banyak sekali antibodi.
Antibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit masing-masing
menyebabkan anemia hemolitik, leukopenia dan trombositopenia (Joseph, 1993).
B. PATOGENESIS
Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena
komponen komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur
membran, dapat dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus
eritematosus sistemik (Robbins dkk; 1999).
Pada manusia normal, sistem kekebalan tubuh biasanya akan membuat
anti-bodi yang fungsinya melindungi tubuh dari berbagai macam serangan virus,
kuman, bakteri maupun benda asing lainnya (anti-gen). Pada penyakit autoimun
seperti lupus, sistem kekebalan tubuh seperti kehilangan kemampuan melihat
perbedaan antara substansi asing dengan sel maupun jaringan tubuhnya sendiri.
Pada lupus, produksi anti-bodi yang seharusnya normal menjadi berlebihan.

2
Akibatnya, anti-bodi ini tidak lagi berfungsi untuk menyerang virus, kuman atau
bakteri yang ada di tubuh, tetapi justru menyerang sistem kekebalan sel dan
jaringan tubuhnya sendiri. Anti-bodi seperti ini disebut auto anti-bodi. Ia bereaksi
dengan anti-gen membentuk immune complex/ komplek imun (Joseph, 1993).
Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemrosesan komplek imun dalam hati dan penurunan uptake kompleks imun
pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen
yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang
inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat
yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan
sebagainya (Joseph, 1993).
Patogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self-
tolerance bersama aktivasi sel B. Hal ini dapat terjadi sekunder terhadap
beberapa faktor:
a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B.
b. Hiperaktivitas sel T helper.
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor (Robbins dkk; 1999).
C. PENYEBAB
Faktor yang diduga sangat berperan untuk seseorang terserang penyakit
lupus adalah faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa
jenis obat, dan virus. Faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor
kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi, pemakaian obat-obatan,
terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan stres. Penyakit ini
kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun namun ada juga
pria yang mengalaminya. Oleh karena itu diduga penyakit ini berhubungan

3
dengan hormon estrogen (Aulawi, 2008).
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering diduga
berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan
perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang
berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala lupus. Sering
dijumpai gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan. Tubuh
memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun,
dalam penyakit ini kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat.
Penyakit Lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Dalam
tubuh seseorang terdapat antibodi yang berfungsi menyerang sumber penyakit
yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya, penyakit Lupus ini antibodi yang
terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi justru menyerang
sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas .
Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara
yaitu :
Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti
pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang
mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia.
Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan
antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun. Gabungan antibodi
dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh darah
kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini
akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan abnormal,
kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Sel-sel radang tersebet bertambah
banyak sambil mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar
kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak
organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat
sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi

4
organ tubuh akan terganggu (Joseph, 1993).
Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan
dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan. Namun sampai saat ini
masih menjadi perdebatan faktor mana yang menjadi penyebab utama sehingga
masih menjadi fokus utama penelitian.
1. Genetik
Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang
mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita
penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya
seperti arthritis reomathoid atau Sjorgen’s Syndrome. Pada kembar identik,
risiko lupus meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang
menyandang lupus (Djoerban, 2002).
2. Hormon
Penyandang lupus wanita:pria adalah 9:1. Dan sebagian besar penyandang
wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh
faktor hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi
aktifnya lupus dalam penelitian hewan baik secara invitro maupun invivo.
Sehingga harus benar-benar dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan
alat kontrasepsi yang mengandung estrogen pada Odapus (Djoerban, 2002).
3. Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus,
diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.
a. Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat
adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar
(mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus ini
dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system imun
mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel

5
tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan
dengan penyebab lupus.
b. Zat kimia dan racun
Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia
dan racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.
c. Merokok
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan
munculnya lupus. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun
lainnya seperti arthritis reumathoid dan multiple sclerosis.
d. Sinar matahari
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan
perburukan manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit
dan munculnya gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar
matahari dan menggunaka tabir surya (sun block) adalah hal yang tidak
mudah namun mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat
bermanfaat (Djoerban, 2002).
D. PENCEGAHAN
Dalam melakukan pencegahan ada berbagai masalah yang dihadapi
pengidap lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat
diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak
mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus dan dampak lupus
terhadap kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi dokter untuk
mendiagnosis penyakit secara dini dan mengobati penyakit lupus dengan tepat
tercermin dari pendeknya survival 10 tahun yang masih sekitar 50 persen,
dibandingkan dengan negara maju, yang 80 persen (Djoerban, 2002).
Biasanya paramedis akan melakukan pemeriksaan ANA (Anti Nuclear
Antibodi) bisa positif, di laboratorium dan patologi. Bila sudah diketahui
diagnosanya lupus, maka pihak medis akan memberikan pengobatan berupa terapi,

6
theraphy sintomatik (penghilangan gejala), kortikortiroid (antipenurun kekebalan
tubuh), serta menekan daya tahan tubuh berlebihan, dengan pemberian obat
demam dan penghilang rasa sakit. Hanya saja, untuk terapi yang dilakukan
berbeda-beda dengan setiap penderita. Penyembuhannya pun bisa memakan waktu
berbulan-bulan, itupun dengan catatan penderita rajin memeriksakan diri. Bahkan
tak jarang, terkadang diagnosa baru didapat justru setelah penderita meninggal.
Atau penyakit lupusnya tiba-tiba sembuh sendiri. Karena itulah, fokus pengobatan
dokter adalah dengan melakukan pencegahan dengan meminimalisir meluasnya
penyakit sehingga tidak menyerang organ vital tubuh lainnya. Oleh karena itu,
untuk melakukan upaya preventif terhadap penyakit lupus perlu ditingkatkan
pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun semua pihak
yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Selain itu, peningkatan kompetensi
petugas-petugas pelayan kesehatan juga harus di tingkatkan agar tidak terjadi
kesalahan-kesalahan yang akan membahayakan jiwa pasien (Djoerban, 2002).
Pengembangan metode pengobatan yang lebih baik dan efisien juga perlu
dilakukan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, apa
bahayanya dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut berperan aktif dalam
upaya pencegahan penyakit lupus. Masalah berikutnya adalah belum terpenuhinya
kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan
dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali meningkatkan
kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus terhadap
kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan pasien,
namun juga mempunyai dampak psikologi dan sosial yang cukup berat untuk
pasien maupun keluarganya. Dalam hal ini peran sarjana kesehatan masyarakat
selaku tenaga kesehatan yang berorientasi pada upaya preventif dan promotif
sangat diperlukan. Masyarakat harus secara intensif diberi penyuluhan tentang apa
itu lupus, gejala yang ditimbulkan, dampak yang ditimbulkan,serta bagaimana cara
pencegahannya. Kebersihan dan kesehatan lingkungan juga harus diperhatikan

7
karena, seperti yang telah dijelaskan dalam subbab “penyebab” bahwa faktor yang
diduga menyebabkan lupus ada berberapa macam diantaranya faktor lingkungan
(Djoerban, 2002).
Masalah lain adalah kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk
menemukan obat-obat penyakit lupus yang baru, yang aman dan efektif,
dibandingkan dengan penelitian penyakit-penyakit lain, yang sebanding besaran
masalahnya. Upaya preventif yang harus dilakukan adalah berusaha
mengembangkan penelitian-penelitian mengenai penyakit lupus mengingat bahaya
dan dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh penyakit ini.
Hal yang harus dilakukan penderita lupus (odipus) agar penyakit lupusnya tidak
kambuh adalah :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu (Djoerban, 2002).
Odipus dapat memeriksakaan diri pada dokter-dokter pemerhati penyakit
ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultasi hematologi, rheumatology, ginjal,
hipertensi, alergi imunologi, jika lupus dapat tertanggulangi, berobat dengan
teratur, minum obat teratur yang di berikan oleh dokter (yang biasanya diminum
seumur hidup), odipus akan dapat hidup layaknya orang normal. Dukungan
keluarga juga sangat dibutuhkan, mengingat keluarga adalah orang yang paling
dekat dan yang selalu berinteraksi dengan odipus. Dukungan (social support)
dalam teori ilmu psikologi merupakan salah satu media bertahan dari stress
(coping stress) yang mampu memberi pengaruh besar (Djoerban, 2002).

E. JENIS-JENIS PENYAKIT LUPUS


1. Lupus Eritematosis Diskoid (DLE)
Paling sering menyerang dan merupakan lupus kulit dengan manifestasi

8
beberapa jenis kelainan kulit. Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di muka
(terutama hidung, pipi), telinga atau leher. Penyakit yang terbatas pada lesi kulit
yang makroskopik dan mikroskopik menyerupai SLE. Hanya 35% penderita
mengalami antibodi antinukleus positip. Berbeda dengan SLE, hanya lesi kulit
yang menunjukkan deposit Ig-komplemen pada membran basal. Setelah
beberapa tahun, 5%-10% penderita bermanifestasi sistemik. Diskoid Lupus
tidak serius dan jarang sekali melibatkan organ-organ lain (Robbins dkk; 1999).
2. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
SLE merupakan penyakit demam sistemik, kronik, berulang dengan gejala
yang berhubungan dengan semua jaringan, terutama sendi, kulit, dan membran
serosa. Dapat menimbulkan komplikasi seperti lupus otak, lupus paru-paru,
lupus pembuluh darah jari-jari tangan atau kaki, lupus kulit, lupus ginjal, lupus
jantung, lupus darah, lupus otot, lupus retina, lupus sendi, dan lain-lain
(Robbins dkk; 1999).
3. Lupus Eritematosus yang disebabkan obat
Obat-obatan seperti hidralazin (obat hipertensi), prokainamid (untuk
mengobati detak jantung yang tidak teratur), isoniazid, dan D-penisilamin
sering menyebabkan ANA positip, kurang sering menyebabkan sindrom seperti
LE. Pada sindrom seperti LE, meskipun melibatkan banyak organ, penyakit
ginjal dan susunan saraf pusat jarang terjadi. Penyakit mempunyai hubungan
dengan HLA-DR4. Penyakit ini timbul akibat efek samping obat dan akan
sembuh sendiri dengan memberhentikan obat terkait (Robbins dkk; 1999).
F. DIAGNOSIS PENYAKIT LUPUS
Pasien dengan Lupus Eritematosus Sistemik bisa memiliki gejala yang
sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak ada
pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk membantu
keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria diterbitkan
oleh asosiasi reumatik Amerika.. Beberapa pasien yang dicurigai menderita lupus

9
eritematosus sistemik mungkin tidak pernah memenuhi kriteria yang cukup untuk
diagnosis defenitif. Pasien yang lain mungkin mengumpulkan kriteria yang
cukup hanya dalam beberapa bulan atau tahun setelah observasi. Jika seseorang
memenuhi empat atau lebih kriteria berikut, diagnosis lupus eritematosus
sistemik sangat mungkin. Namun demikian, diagnosis lupus eritematosus
sistemik dapat ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya
sedikit kriteria yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang
lain dapat berkembang kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian
(Sjaiffoellah, 1996).
Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya.
Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui dengan
melakukan pemeriksaan adanya protein dan eritrosit (RBC) atau silinder di
dalam air kemih. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti mungkin perlu
dilakukan biopsy ginjal. SLE juga dapat menyerang system saraf pusat maupun
perifer. Gejala-gejala yang ditimbulkannya meliputi perubahan tingkah laku
(depresi, psikosis), kejang-kejang, gangguan saraf otak, dan neutropati panifer.
Perubahan-perubahan pada system saraf pusat seringkali diakibatkan oleh bentuk
penyakit yang ganas dan seringkali bersifat fatal. Antibody terhadap untai ganda
DNA (dsDNA) dan terhadap kompleks protein asam ribonukleat (RNA) yang
disebut Sm, hanya ditemukan pada pasien SLE. Gangguan reumatologik lain
dapat menyebabkan antibody antinuclear menjadi positif (ANA), namun anti-
dsDNAdan anti-Sm jarang ditemukan kecuali pada SLE (Sylvia & Lorraine,
2005).
Gejala-gejala penyakit lupus dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik
(LES). Eritomatosus artinya kemerahan, sedangkan sistemik bermakna menyebar
luas keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut LES atau Lupus. Gejala-gejala
yang umum dijumpai adalah:
1. Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta timbulnya gangguan

10
pencernaan.
2. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan yang berlebihan,
demam dan pegal-pegal. Gejala ini terutama didapatkan pada masa aktif,
sedangkan pada masa remisi (nonaktif) menghilang.
3. Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi, mirip
kupu-kupu. Kadang disebut (butterfly rash). Namun ruam merah menyerupai
cakram bisa muncul di kulit seluruh tubuh, menonjol dan kadang-kadang
bersisik. Melihat banyaknya gejala penyakit ini, maka wanita yang sudah
terserang dua atau lebih gejala saja, harus dicurigai mengidap Lupus.
4. Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang dihancurkan oleh
penyakit lupus ini.
5. Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang berlebihan (Sjaiffoellah, 1996).
Menurut American College Of Rheumatology 1997, diagnosis SLE harus
memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari 11
gejala spesifik tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang berhubungan
dengan scalling dan penyumbatan folikel rambut (Discoid Rash).
3. Fotosensitif, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari.
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90 % odapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi
cairan.
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8. Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan

11
lain-lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia.
10. Tes ANA (Antinuclear Antibody), sebagai pertanda aktifnya lupus bila
ditemukan dalam darah pasien.
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh (Sylvia & Lorraine, 2005).
Adapun gejala klinis yang sering muncul antara lain:
1. Kulit : Ruam, sariawan, rambut rontok
2. Persendian : Nyeri, kemerahan, bengkak
3. Ginjal : Kelainan urine, gagal ginjal
4. Membran (selaput organ) : Radang selaput paru (pleurisy), selaput jantung
(pericarditis), selaput dinding perut (peritonitis)
5. Darah : Anemia, Leukopenia, Trombositopenia
6. Paru-paru : Batuk, sesak nafas
7. Sistem Saraf : Kejang, psikosa (Djoerban, 2002).
Adapun gejala non spesifik antara lain:
1. Fatigue/lelah, merupakan gejala yang paling sering muncul.
2. Weight Loss/penurunan berat badan.
3. Weight Gain/penambahan berat badan, dapat disebabkan oleh pembengkakan
pada kedua tungkai atau pembersaran perut akibat organ ginjal yang terkena.
4. Fever/demam, indikasi saat lupus menjadi aktif.
5. Swollen Glands/pembengkakan kelenjar (Djoerban, 2002).
Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus Sistemik)
a. Uji Imunologik
Sel lupus eritematosus (sel LE) adalah leukosit polimorfonuklear yang
telah mengingesti bahan-bahan nukleus yang bergabung dengan antibodi
antinuklear. Uji untuk adanya sel-sel ini dapat digunakan untuk membuktikan
diagnosis SLE. Darah perifer atau sumsum tulang diinkubasi pada suhu 37

12
derajat dan kemudian dicari sel LE. Yang lebih sering, dicari dalam diagnosis
SLE antibodi yang melawan protein atau bahan-bahan nukleus lain. Beberapa
antibodi ditemukan dengan fluoresensi, yang lain ditemukan dengan teknik
presipitasi amonium sulfat (Joseph, 1993).
Antibodi antinuklear (ANA) mempunyai kemampuan bergabung dengan
antigen dan mengikat komplemen. Bila penyakitnya sangat aktif, terutama
bila ginjal terlibat, ada pengurangan komplemen dalam sirkulasi (misalnya
C3) yang mempunyai arti penting baik diagnosit maupun terapeutik karena
kadarnya menjadi normal bila terapi berhasil. Uji untuk ANA sekarang sedang
digunakan untuk menyaring SLE. Kadar komplemen dapat memberi pegangan
yang berguna dalam diagnosis maupun pengelolaan penyakit, terutama dengan
keterlibatan ginjal. Antibodi anti-DNA dan pengikatan DNA merupakan uji
tambahan yang mempunyai spesifitas yang tinggi untuk SLE dan digunakan
secara seri untuk menilai aktivitas penyakit. Di antara antibodi-antibodi ini
ada antibodi terhadap antigen nukleus yang diekstraksi (ENA), seperti antigen
ribonukleoprotein (RNP), antigen Sm, antigen Ro, dan antigen La (Joseph,
1993).

G. TATA LAKSANA PENYAKIT LUPUS


Penatalaksanaan lupus tidak mudah. Penyakit ini memiliki banyak
manifestasi dan setiap orang memiliki pola tersendiri yang berubah dari waktu
ke waktu, yang terkadang berlangsung cepat. Secara umum, pasien dengan
lupus berat, misalnya lupus ginjal atau sistem saraf pusat (SSP), dan mereka
yang menderita lebih dari satu jenis penyakit autoantibodi cenderung memiliki
gejala yang serius dan menetap. Pasien yang memiliki gejala ringan dapat terus
mengalami gejala ringan atau berkembang menjadi lebih serius. Sehingga
penting untuk memperhatikan semua gejala baru yang timbul sebagai

13
manifestasi dari penyakit tersebut karena penatalaksanaan lupus sangat
berkaitan dengan gejala klinis dan organ tubuh yang terkena (Michelle, 1998).
Sehingga pada prakteknya, Lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu
ringan, sedang, dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul.
1. Lupus Ringan
Manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap
cahaya matahari, sariawan di mulut, Raynaud’s syndrome (perubahan warna
pada ujung jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan kelelahan. Seringkali
gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar
matahari dengan menggunakan tabir surya. Hidroksikloroquin umumnya
digunakan dalam gejala ini. Kelelahan merupakan gejala lain dari tingkatan
ini yang terkadang menjadi alasan digunakannya steroid dosis rendah,
walaupun hasilnya kadang tidak maksimal. Nyeri sendi atau ruam kulit dapat
juga menggunakan dosis tersebut. Dosis steroid yang tinggi harus dihindari
jika resiko efek samping yang timbul cenderung lebih besar dari manfaatnya.
Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam membuat keputusan
pemberian steroid karena efek samping obat lebih umum terjadi pada orang
dengan lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola hidup sehat (makanan
sehat dan olah raga ringan yang teratur) juga sangat dianjurkan (Michelle,
1998).
2. Lupus Sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis
(radang selaput jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti
trombositopenia atau leukopenia. Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya
sudah dibutuhkan, namun dengan penggunaan dosis yang cukup untuk
mengendalikan penyakit dan kemudian menguranginya menjadi dosis
pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit untuk menstandarisasi dosis,
namun pada umumnya Pleuritis dapat dikontrol dengan 20mg prednisolon

14
per hari, kelainan darah membutuhkan dosis 40mg atau lebih.
Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang
obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan
Methotrexate. Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam
pengobatan trombositopenia, tetapi karena kecendrungan menyebabkan
hipertensi dan merusak fungsi ginjal harus digunakan secara hati-hati. Obat-
obat immunosupresan ini membutuhkan waktu 1-3 bulan sampai efeknya
muncul, sehingga dalam periode tersebut steroid masih dibutuhkan dalam
dosis yang cukup untuk mengontrol penyakit. Jika pasien sudah dapat
distabilkan dengan obat imunosupresan, dosis steroid harus segera
diturunkan ke dosis terendah untuk pengendalian penyakit (Michelle, 1998).
3. Lupus Berat
Ginjal, SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat
termasuk ke dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini
dengan tambahan obat immunosupresan. Prednisolon atau metilprednisolon
intravena mungkin dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit ini.
Azathioprin, methotrexate, atau mychophenolate dapat digunakan sebagai
imunosupresif dan dapat mengurangi dosis steroid yang diperlukan.
Pengobatan dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu: induksi awal dimana penyakit
aktif dikendalikan, dan fase pemeliharaan agar penyakit tetap terkontrol.
Pengobatan tambahan yang digunakan untuk lupus berat meliputi
immunoglobulin intravena, plasma exchange, dan antibodi monoclonal (agen
biologi) mengalami penurunaan penggunaannya dibandingkan waktu yang
lalu tapi banyak yang masih percaya bahwa pengobatan tersebut sangat
membantu pada lupus akut, penyakit berat, dan sebagian lupus yang
mengenai otak. Antibodi monoklonal, terutama rituximab sangat
menjanjikan dan cenderung memainkan bagian penting dalam pengelolaan
penyakit sedang dan berat (Michelle, 1998).

15
Pengobatan Penyakit Lupus
Pengobatan Lupus tergantung dari :
1. Tipe Lupus.
2. Berat ringannya Lupus.
3. Organ tubuh yang terkena.
4. Komplikasi yang ada (Wallace, 2007).
Tujuan pengobatan Lupus adalah :
1. Mengurangi peradangan pada jaringan tubuh yang terkena.
2. Menekan ketidaknormalan sistem kekebalan tubuh.
Pada pengobatan Lupus digunakan dua kategori obat :
1. Kortikosteroid. Golongan ini berfungsi untuk mencegah peradangan dan
merupakan pengatur kekebalan tubuh. Bentuknya bisa salep, krem, pil
atau cairan. Untuk Lupus ringan, digunakan dalam bentuk tablet dosis
rendah. Jika kondisi sudah berat, digunakan kortikosteroid bentuk tablet
atau suntikan dosis tinggi. Bila kondisi teratasi maka penggunaan dosis
diturunkan hingga dosis terendah untuk mencegah kambuhnya penyakit
(Wallace, 2007).
2. Nonkortikosteroid. Kegunaan obat ini adalah untuk mengatasi keluhan
nyeri dan bengkak pada sendi dan otot (Wallace, 2007).
Adapun Obat-obat Lupus secara umum adalah :
1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan
ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan
efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal.
Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan
jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika
digunakan dalam 6 kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu

16
fungsi ginjal janin (Djoerban, 2002).
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang
disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada
Odapus. Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti
pemriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang
efektif seperti kalsium dan bifosfonat. Steroid juga dapat memperburuk
hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk pada profil
lipid yang mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat
penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan
gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika
digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup
umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan
steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun
memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat
yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu,
obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat
merupakan kunci pengobatan yang baik (Djoerban, 2002).
3. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah.
Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif.
Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan
untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini
kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi

17
hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan
untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar
kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera
jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan (Djoerban, 2002).
4. Immunosupresan
a. Azathioprine
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan:
mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan
sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh. Mual adalah efek samping
yang umum terjadi, sedangkan leukopenia dan trombositopenia terjadi
hanya pada sekitar 4% kasus. Pemantauan efek obat bisa menjadi
masalah jika odapus sudah memiliki gejala klinis tersebut. Azathioprine
dianggap aman digunakan selama kehamilan (Djoerban, 2002).
b. Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis
purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium
(indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia
atau alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih
baik ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalam
kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur bila
disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena
panjangnya waktu paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam
minggu sebelum konsepsi yang direncanakan (Djoerban, 2002).
c. Methotrexate
Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang
diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki
banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi

18
produksi sitokin. Digunakan seminggu sekali dan jika diperlukan
diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada hari yang sama
dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi risiko efek
samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi, leukopenia,
trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal kadang-kadang dapat
terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama kehamilan dan harus
dihentikan penggunaannya tiga bulan sebelum konsepsi (Djoerban,
2002).
d. Cyclosporin
Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan
kreatinin serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi
sehingga pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting. Obat
ini dianggap aman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis
efektif terendah dengan memonitor secara seksama tekanan darah dan
fungsi ginjal (Djoerban, 2002).
e. Cyclophosphamide
Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang
mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah terbukti
meningkatkan efek pengobatan terhadap pasien lupus ginjal
dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat ini juga banyak
digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan
penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau
sebagai infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit. Efek
samping utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko
infeksi, kegagalan fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan
peningkatan risiko keganasan. Obat ini teratogenik dan mengganggu
fungsi organ reproduksi baik pada pria maupun wanita. Sehingga

19
penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan sebelum konsepsi
(Djoerban, 2002).
f. Rituximab
Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial
dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan
kombinasi dengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan
penurunan tingkat autoantibodi. Rituximab telah menyebabkan
kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini Rituximab termasuk
salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus (Djoerban, 2002).
Obat-obat yang dapat digunakan sesuai manifestasi penyakit:
1. Ruam kulit
a. Sun block/tabir surya
b. Topikal kortikosteroids
2. Nyeri dan bengkak pada sendi
a. Analgesik sederhana seperti: Parasetamol, NSAID
b. Topikal analgesik
c. Amitriptiline: golongan antidepresan yang diresepkan bersama
analgesik pada pasien sekunder fibromyalgia untuk mengatasi stress
akibat rasa nyeri yang berkepanjangan
3. Mata kering
Tetes air mata buatan untuk mengatasi kekeringan bola mata
4. Sariawan dan kekeringan rongga mulut
a. Salivary substitute : air liur buatan dalam bentuk cair atau semprot
berbahan dasar methylcellulose atau gastric mucin
b. Obat kumur steroid
5. Trombositopeni
Danazol (Danocrine) atau vincristine (Oncovin) adalah terapi
jangka panjang bagi penderita trombositopenia berat.

20
6. Osteoporosis
a. Vitamin D
b. kalsium
7. Risiko penyakit jantung koroner
a. Asam folat
b. Obat penurun kadar lemak darah (Djoerban, 2002).

21

Anda mungkin juga menyukai