Anda di halaman 1dari 6

Perbandingan Efektivitas antara Rifampisin Ofloxin-Minocycline Terapi

Regimen dan terapi Multidrug-WHO pada Pasien Lepra Multibasiler


ABSTRAK
Latar Belakang: Terapi multidrug (MDT) yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) untuk pasien Lepra multibasiler (MB) memiliki beberapa efek samping; diberikan
dalam 12 dosis selama 12-18 bulan. Pasien yang menolak atau dikontraindikasikan dalam
mendapatkan MDT-WHO dapat diberi rejimen rifampicin-ofloxacin-minocycline (ROM)
alternatif selama 24 bulan, yang efek sampingnya kurang tapi lebih mahal. Penelitian ini
dilakukan untuk membandingkan keefektifan rejimen ROM dan MDT-WHO dalam 12 bulan
pertama berdasarkan derivasi indeks morfologi (MI) dan basil tahan asam (AFB) pada pasien
lepra MB.
Metode: Ini adalah penelitian analitik observasional dengan metode kohort retrospektif. Data
dikumpulkan dari rekam medis pasien lepra MB di Instalasi Rekam Medis dan Klinik Morbus
Hansen, Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin Bandung. Turunan keseluruhan MI dalam 12
bulan dinilai sesuai dengan jenis terapi yang dilakukan oleh pasien. Data dianalisis dengan Uji U
Mann-Whitney.
Hasil: Sebanyak 59 data dipilih dari 800 data pasien lepra baru berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi. Di antara mereka, 20 pasien dirawat dengan ROM dan 39 dengan MDT-WHO. Turunan
MI terjadi di antara kedua kelompok, namun rejimen ROM memiliki persentase yang lebih tinggi
(94,83%) dibandingkan dengan rejimen MDT-WHO (79,57%) dengan p value = 0,003 (p <0,05).
Kesimpulan: rejimen ROM memiliki efektivitas yang lebih baik dibandingkan rejimen MDT-
WHO pada 12 bulan pertama pada pasien lepra MB.

PENDAHULUAN
Lepra adalah penyakit menular yang menyerang saraf perifer, kulit, dan organ tubuh lainnya
seperti mata, saluran pernafasan, dan ginjal. Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), 232.857 kasus baru ditemukan pada tahun 2012, yang dapat dianggap tinggi. Upaya
pengendalian lepra dilakukan oleh WHO untuk mengatasi masalah dengan pemberian obat
antilepra. Pada tahun 1982, Kelompok Studi WHO tentang Kemoterapi Lepra untuk Kontrol
Progam merekomendasikan terapi multidrug (MDT) yang diberikan berdasarkan jenis lepra.
Untuk pasien multibasiler (MB), rifampisin 600 mg, clofazimine 300 mg, dan dapson 100 mg
diberikan setiap bulan, dilanjutkan dengan clofazimine 50 mg dan dapson 100 mg setiap hari.
Rejimen diberikan dalam 12 dosis selama 12-18 bulan secara gratis. Rifampisin adalah obat
bakterisida kuat, yang dapat menghilangkan Mycobacterium leprae (M. leprae) dengan cepat,
sementara dapson dan klofazimin adalah obat bakteriostatik.
MDT-WHO untuk lepra tipe MB memiliki beberapa kelemahan, seperti menggelapkan warna
kulit (seperti tembaga), anemia hemolitik, methemoglobinemia, hipersensitivitas, dan kepatuhan
pasien rendah. Oleh karena itu, untuk pasien lepra yang menolak atau memiliki kontraindikasi
dalam menggunakan MDT-WHO, pada tahun 1997, WHO merekomendasikan rejimen alternatif
yang terdiri dari 600 mg rifampisin, 400 mg ofloxacin 400 mg, dan minocycline 100 mg
diberikan setiap bulan selama 24 bulan. Obat-obatan tersebut memiliki efek bakterisidal pada M.
leprae dan rifampisin memiliki efek bakterisida terbaik. Selain itu, rejimen ROM memiliki efek
samping yang kurang, seperti mual dan muntah, kepatuhan pasien yang lebih baik, namun harga
yang lebih tinggi dibandingkan dengan rejimen MDT-WHO.
Evaluasi pengobatan lepra dapat dilakukan dengan mengevaluasi pemeriksaan kulit hasil
pemeriksaan apusan, terutama indeks morfologi (MI) basil tahan asam (AFB) yang mungkin
memberikan informasi yang berguna tentang respon pengobatan.
Selanjutnya, Villahermosa dan rekan melakukan sebuah studi yang membandingkan keefektifan
rejimen ROM dan MDT-WHO selama 24 bulan pada pasien lepra tipe MB di Filipina. Kedua
regimen menunjukkan hasil yang sama pada kedua kelompok di setiap aspek yang diteliti seperti
pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis. Selain itu, Lockwood dan rekan
menyarankan bahwa sebuah studi yang membandingkan kedua rejimen pada pasien lepra tipe
MB selama 12 bulan untuk meningkatkan kepatuhan pasien, diperlukan.
Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan efektivitas antara rejimen ROM dan MDT-WHO
selama 12 bulan pertama berdasarkan Skor MI pada pasien lepra tipe MB.

METODE
Ini adalah studi analitik observasional menggunakan metode kohort retrospektif dari Catatan
medis pasien lepra tipe MB yang menerima rejimen pengobatan ROM atau MDT-WHO selama
12 bulan (12 dosis). Penelitian ini ditinjau dan disetujui oleh Komite Etik Kesehatan, Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Data diambil dari Instalasi Rekam Medis dan
Klinik Morbus Hansen, Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini
dilakukan dari bulan Maret sampai November 2012. Periode data yang termasuk dalam
penelitian ini adalah dari tahun 1999 sampai 2013, termasuk identitas pasien, jenis pengobatan,
dan skor MI.
Semua sampel dimasukkan secara metode sampel keseluruhan. Kriteria inklusi dalam penelitian
ini adalah pasien lepra tipe MB baru yang menerima terapi rejimen ROM selama minimal 12
bulan (12 dosis) dan rejimen MDT-WHO selama 12 bulan (12 dosis), berusia di atas 15 tahun,
dan telah menyelesaikan MI. Pasien yang terapi awalnya berbeda dengan terapi terakhir (terapi
rejimen MDT-WHO diubah menjadi terapi regimen ROM atau sebaliknya) dikeluarkan dari
penelitian ini.
Data terakhir dibagi menjadi dua kelompok, kelompok rejimen ROM dan kelompok rejimen
MDT-WHO. Data minimal dari masing-masing kelompok adalah 20 sampel berdasarkan rumus
ukuran sampel untuk studi kategoris analitik tidak berpasangan. Semua skor AFB MI kelompok
ditentukan sebelum pengobatan dimulai dan setelah pengobatan selesai setelah bulan kedua belas
pengobatan.
Setelah semua data yang dibutuhkan selesai, sebuah analisis dimulai dengan data dari uji
normalitas dilanjutkan dengan analisis bivariat, yaitu uji U Mann-Whitney. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik sedangkan tabel dibuat di Microsoft
Excel.

HASIL
Dalam penelitian ini, ada 800 kasus lepra baru selama periode 1999 sampai 2013. Ada 59 dari
800 data pasien lepra baru yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang terdiri dari 20
pasien yang termasuk dalam kelompok rejimen ROM, sementara 39 pasien dimasukkan ke
dalam kelompok rejimen MDT-WHO. Selanjutnya, penyakit ini menyerang pria lebih banyak
daripada wanita di kedua kelompok, dengan tidak banyak perbedaan usia rata-rata antara kedua
kelompok tersebut. Mayoritas pendidikan terakhir pasien untuk kedua kelompok adalah sekolah
menengah atas, dengan berbagai pekerjaan di masing-masing kelompok. Sementara, garis batas
lepromatous adalah tipe lepra dengan prevalensi tertinggi untuk kedua kelompok menurut
klasifikasi Ridley-Jopling (Tabel 1).
Nilai rata-rata MI awal dan terakhir dari kedua kelompok menunjukkan bahwa setiap rejimen
mengalami penurunan skor MI secara bertahap. Berdasarkan nilai tersebut, penurunan persentase
MI dihitung. Penurunan skor MI untuk rejimen ROM dan kelompok rejimen MDT-WHO
masing-masing adalah 94,83% dan 79,97% (Tabel 2).
Selain itu, uji normalitas dilakukan pada kedua kelompok menggunakan uji Shapiro Wilk. Nilai
P dari uji Shapiro Wilk untuk kedua regimen di bawah 0,05, sehingga data tersebut diasumsikan
didistribusikan secara abnormal.
Kemudian, uji U Mann-Whitney dilakukan untuk membandingkan kedua kelompok.
Perbandingan keefektifan rejimen ROM dan nilai p rejimen MDT-WHO pada bulan terakhir
adalah 0,003 (p <0,05). Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas rejimen ROM secara bermakna
lebih baik dibandingkan dengan rejimen MDT-WHO selama 12 bulan pertama berdasarkan
penurunan skor MI pada pasien lepra MB.

PEMBAHASAN
Berdasarkan karakteristik pasien ditunjukkan pada Tabel 1, kebanyakan pasien yang menerima
terapi rejimen MDT-WHO adalah pengangguran. Harga obat bisa menjadi faktor pembeda dalam
memilih rejimen obat untuk penderita lepra tanpa melihat efek sampingnya dan frekuensi
pemakaian obat. Regimen ROM memiliki harga lebih tinggi dengan efek samping yang kurang
(mual dan muntah), dengan konsumsi obat sekali dalam sebulan, menjadikannya lebih sederhana
untuk pasien dibandingkan dengan rejimen MDT-WHO yang perlu dikonsumsi setiap hari
dengan efek samping yang lebih banyak (hiperpigmentasi kulit, anemia hemolitik,
methemoglobinemia, reaksi hipersensitivitas), namun diberikan secara gratis. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, pekerjaan mungkin dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi dalam
memilih rejimen pengobatan lepra, oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut.
Tabel 1. Karakteristik pasien yang mendapatkan terapi rejimen ROM dan MDT-WHO
Karakteristik Rejimen ROM Rejimen MDT-WHO
(n=20) % (n=39) %
Jenis Kelamin
Laki-laki 17 85.0 32 82.1
Perempuan 3 15.0 7 17.9
Kelompok Umur (Tahun) 34.2 34.2 34.8 34.8
Pendidikan
SD 4 20.0 12 30.8
SMP 4 20.0 8 20.5
SMA 10 50.0 19 48.7
S1 2 10.0 0 0.0
Pekerjaan
Fotografer 0 0.0 1 2.6
Guru 0 0.0 1 2.6
Tenaga Kerja 0 0.0 1 2.6
Pensiunan 0 0.0 1 2.6
Penjual Buah 0 0.0 1 2.6
Penjual Makanan 0 0.0 1 2.6
Penjual sate 0 0.0 1 2.6
Penjual keliling 0 0.0 1 2.6
Penjual bakso 1 5.0 0 0.0
Petani 1 5.0 0 0.0
Pembuat batu bata 1 5.0 0 0.0
Buruh pabrik 1 5.0 2 5.1
Tantara 1 5.0 2 5.1
Karyawan 1 5.0 3 7.7
Pengusaha 1 5.0 4 10.3
Pengangguran 1 5.0 9 23.1
Ibu rumah tangga 2 10.0 5 12.8
Pelajar 5 25.0 2 5.1
Pekerja professional 5 25.0 4 10.3
Tipe Lepra
BB 4 20.0 1 2.6
BL 14 70.0 27 69.2
LL 2 10.0 11 28.2

Perbandingan keefektifan terapeutik antara rejimen ROM dan rejimen MDT-WHO berdasarkan
penurunan skor MI dalam 12 bulan untuk pasien lepra tipe MB dilakukan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor MI menurun pada kedua regimen, namun lebih
signifikan pada rejimen ROM (p value = 0,003).
Kedua regimen ROM dan MDT-WHO memiliki rifampisin sebagai bakterisida kuat, oleh karena
itu membandingkan obat lain di kedua regimen (ofloxacin dan minocycline dengan dapson dan
clofazimine) perlu dilakukan. Studi eksperimental sebelumnya pada neonates tikus tanpa
kelenjar timus dan terinfeksi M. leprae menunjukkan bahwa ofloxacin dan minocycline adalah
secara signifikan lebih kuat dibandingkan dapson dan clofazimine dalam menghilangkan M.
leprae. Dapson dan klofazimin adalah agen bakteriostatik sementara minocycline dan ofloxacin
adalah agen bakterisida yang kuat, sehingga kedua obat tersebut dapat menghilangkan M. leprae
dengan cepat dan signifikan.
Selanjutnya, sebuah studi uji coba klinis tentang pefloxacin dan ofloxacin yang dilakukan oleh
Fajardo dan rekan di Cebu, Filipina pada tikus yang disuntikkan M. leprae menunjukkan bahwa
viabilitas M. leprae menurun pada hari keempat belas sampai dua puluh delapan. Pada hari
keenam puluh enam, semua pasien yang menerima ofloksasin tidak menyelesaikan pemeriksaan
kulit M. leprae secara morfologis. Ini menyiratkan bahwa obat fluoroquinolon, yang meliputi
pefloxacin atau ofloxacin adalah bakteri bakterial yang kuat dan bertindak untuk menghilangkan
M. leprae lebih cepat dibandingkan dapson dan clofazimin. Namun, fluoroquinolon yang
diberikan dalam dosis tunggal tidak signifikan dalam menghilangkan M. leprae dan ini menjadi
lebih signifikan bila digabungkan ke rifampisin. Moxifloxacin dan pefloxacin miliki kemampuan
menghilangkan bakteri lebih baik dibandingkan dengan ofloxacin. Meski begitu, akhir-akhir ini,
ofloxacin masih lebih banyak digunakan dibanding dua obat lainnya. Hasil ini bisa menjadi
pertimbangan penggunaan moxifloxacin atau pefloxacin di masa depan.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Gelber dan Grosset juga menunjukkan bahwa minocycline
dapat menghilangkan M. leprae lebih cepat dibandingkan dapson dan clofazimin, lebih lambat
dari pada rifampisin, dan serupa dengan ofloxacin / pefloxacin. Berdasarkan studi klinis pada
tikus, menunjukkan bahwa kurang M. leprae hidup pada tikus yang mendapat minocycline
dibandingkan dengan tikus yang menerima dapson dan clofazimine.
Meski memiliki bakterisida yang kuat, rejimen ROM juga memiliki efek samping yang lebih
rendah dibandingkan rejimen MDT-WHO. Beberapa penelitian menyatakan bahwa efek samping
rejimen ROM kurang umum pada MDT-WHO yang mengandung dapson dan clofazimin.
Keterbatasan penelitian ini adalah hilangnya banyak catatan medis yang menghasilkan ukuran
sampel lebih kecil, catatan MI yang tidak lengkap, dan perbedaan kepatuhan pasien untuk
mengendalikan penyakit mereka secara teratur. Dianjurkan untuk melakukan studi serupa dengan
pemeriksaan histopatologis dan serologis menggunakan rancangan kohort prospektif.
Kesimpulannya, rejimen ROM lebih banyak efektif dibandingkan dengan rejimen MDT-WHO
selama 12 bulan pertama berdasarkan skor MI pada pasien lepra tipe MB. Studi ini menunjukkan
bahwa rejimen ROM dapat dipertimbangkan selama 12 bulan dalam praktik klinis.

Anda mungkin juga menyukai