Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus
bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000
kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia
6-10 tahun.

Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum usia
sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi setelah dilakukan operasi.
Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik,
appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka
morbiditas yang signifikan. Diagnosis appendicitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis
yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka appendectomy
negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik
merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendisitis

Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix yang terinflamasi, baik
dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka
angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan shock. Reginald Fitz pada
tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa Appendicitis acuta merupakan salah satu
penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3- 15cm), dan
berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun
demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis pada usia itu. Pada 65%
kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
4
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya . Pada kasus selebihnya, apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral
4
colon ascendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak apendiks . Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilicus5. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi apendiks akan
5
mengalami gangren .

2.2 FISIOLOGI

Gambar 1. Variasi lokasi Appendix

Apendiks menghasilkan lender 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan
selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan pada
pathogenesis appendicitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limf disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

2.3 INSIDENSI

Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan
terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena
dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim
panas. Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi
beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan
pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi
2.4 ETIOLOGI

Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi kongseti
vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi
bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20%
anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel
lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang parasit 1 Penyebab lain
yang diduga menimbulkan Appendisitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica.
7
Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu : Bakteri aerob fakultatif
Bakteri anaerob Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa Enterococcus
Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila species Lactobacillus species

2.5 PATOGENESIS

Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah
munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess setelah 2-3 hari Appendicitis dapat
terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau
bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh
fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan
bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis
akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga
dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah
jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general
misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti
Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga
dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan
cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat
perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi
appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda
asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma,
stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis5 Awalnya, pasien akan
merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB
yang minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis,
khususnya pada anak-anak5. Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri

dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan
mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum
nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain5. Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan
aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi
vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke
dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator
inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan
dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal
pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan
bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri
somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat
terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di
punggung atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat
menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau
vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi
retensi urine5. Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis umum.
Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon
terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC,
leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala
sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum,
semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering
dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja
lebih memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada
5
pemeriksaan fisik Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering
didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum.
5
Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis

2.6 GAMBARAN KLINIS

Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada neonatus dan bayi,
appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis appendicitis jauh lebih sulit dan kadang
tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri
tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di
abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan
penyakit. Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-
anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan
bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada
testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau pelvis1. Jika
inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejal dapat berupa nyeri saat kencing atau
perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih. Anorexia, mual, dan
muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan.
Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala
gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain
appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit
dapat terjadi pada anak dengan appendicitis1. Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam
ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan
appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha
kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan
tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang. Anak dengan appendicitis biasanya
menghindari diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang
1
lutut diflexikan . Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendicitis, kecuali
pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.

2.7 PEMERIKSAAN FISIK

Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis
4
ini biasa ditemukan distensi perut9. Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik Rovsing’s
sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah
4
kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik · Psoas sign:
dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan diekstensikan.
Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan
retroperitoneal dari phlegmon atau abscess.Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks
yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan
manuver ini · Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi
tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan peradangan pada M.
obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan
lokasi Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi.Dasar anatomis terjadinya Obturator sign
· Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ) · Wahl’s
sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun. · Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai
kanan ditekuk. · Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix. · Nyeri
pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau Appendix letak pelvis. · Nyeri
pada pemeriksaan rectal tooucher. · Dunphy sign: nyeri ketika batuk10. Skor Alvarado Semua
penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu: skor <6>6. Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu:
radang akut dan bukan radang akut. Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis
Manifestasi Skor Gejala Adanya migrasi nyeri 1 Anoreksia 1 Mual/muntah 1 Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1 Febris 1 Laboratorium Leukositosis 2 Shift to the left 1 Total poin 10 Keterangan: 0-4 :
kemungkinan Appendicitis kecil 5-6 : bukan diagnosis Appendicitis 7-8 : kemungkinan besar
Appendicitis 9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di
rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan11.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium

Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan appendicitis akuta. Jumlah
leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000- 18.000/mm3. Peningkatan persentase
jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis
appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis1.
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu
ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi
di dekat ureter1.

Ultrasonografi

Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang diagnosis pada
kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas
USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria
diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih,
didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix1. False positif dapat muncul
dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel
disease. False negatif juga dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang
terisi banyak udara yang menghalangi appendix1. CT-Scan CT scan merupakan pemeriksaan yang
dapat digunakan untuk mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan
spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga
adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik1. Diagnosis
appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya.
Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”

2.9 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis kelamin Pada
anak-anak balita àntara lain intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut. Intususepsi paling
sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika
dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya
berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass
di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut,
karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan
ditemukan leukosit pada feses. · Pada anak-anak usia sekolah à gastroenteritis, konstipasi, infark
omentum. Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi tidak
dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-
anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan
gejala- gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark omentum, dapat terraba massa pada
abdomen dan nyerinya tidak berpindah · Pada pria dewasa muda Diagnosis banding yang sering pada
pria dewasa muda adalah Crohn’s disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada
skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit
pada skrotumnya. · Pada wanita usia muda Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda
lebih banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease
(PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada
abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi. · Pada usia
lanjut Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang sering
terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi,
divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya
muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan
dengan appendicitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat
diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan
CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.

2.10 KOMPLIKASI

1. Appendicular infiltrat: Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus besar.

2. Appendicular abscess: Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang
meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar.
3. Perforasi

4. Peritonitis

5. Syok septik

6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar

7. Gangguan peristaltik

8. Ileus

2.11 PENATALAKSANAAN

Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis : Puasakan dan Berikan analgetik dan antiemetik jika
diperlukan untuk mengurangi gejala n Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik. n Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia
reproduksi. Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan
Laparotomy Perawatan appendicitis tanpa operasi n Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika
intravena dapat berguna untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi
(misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko tinggi untuk dilakukan
operasi Rujuk ke dokter spesialis bedah. Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan
terjadinya infeksi post opersi. Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan
anaerob Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah. Antibiotik profilaksis harus
diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan
Clindamycin, atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang
terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans,
Klebsiella, dan Bacteroides. Teknik operasi Appendectomy 2,,5 A. Open Appendectomy 1. Dilakukan
tindakan aseptik dan antiseptik. 2. Dibuat sayatan kulit: Horizontal Oblique 3. Dibuat sayatan otot, ada
dua cara: a. Pararectal/ Paramedian Sayatan pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot
disisihkan ke medial.

Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena fascia ada 2 supaya jangan
tertinggal pada waktu penjahitan karena bila terjahit hanya satu lapis bisa terjadi hernia cicatricalis. 2
lapis M.rectus abd. sayatan b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting Sayatan berubah-ubah
sesuai serabut otot. Lokasi insisi yang sering digunakan pada Appendectomy B. Laparoscopic
Appendectomy Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai sarana diagnosis
dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopic
kemungkinan sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah.
Membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta sangat mudah dengan menggunakan
laparoskop

BAB III KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus
bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja Gejala appendicitis akut
pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak
bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anaka
akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, appendicitis sering diketahui
setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90% appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam
mendiagnosis appendicitis.
BAB 3 TATALAKSANA PERIOPERATIF ANESTESI PADA KASUS APENDISITIS
3.1 Evaluasi Perioperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi pada appendisitis baik pad orang dewasa maupun ansk-anak,
sangat penting dilakukan persiapan preoperatif. Tujuan dilakukannya evaluasi ini adalah
memperkirkan keadaan fisik dan psikis dari pasien, menghindari kejadian salah identitas seta salah
operasi, mengetahui adanya kelainan yang berhubun gan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestansinya baik berupa dyspnea atau urtikaria) pada pasien
dengan
apendisitis akut, mengetahui riwayat operasi pasien seta pengobatan pasien sebelumnya,
mengetahui tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status preoperasi
(pemeriksaan tambahan dan terapi yang diperlukan), mengetahui pemilihan jenis ancstesi yang
digunakan serta penjelasan persetujuan operasi (informed consent) kepada pasien dan mengetahui
pemberian obat-obatan premedikasi yang digunakan sehingga dapat mengurangi doss obat induksi
yang akan digunakan pada pasien.
Evaluasi preoperatif yang dilakukan, meliputi anamnesis kepada pasien dengan menanyakan keluhan
utama yang dialami pasien sat ini seta AMPLE (Allergen, Medication, Past Medical History, Last Meal,
Elicit History), pemeriksaan isik dengan 6B (Brain. Breath, Blood, Rowel, Bladder, Bone/Body), serta
pemeriksaan penunjang (darab lengkap, C-reactive Protein, USC, dan lainnya untuk mendukung
diagnosis kerja dari apendisits). Selanjutnya dokter anestesi juga harus menjelaskan kepada pasien
mengenai manajemen anestesi yang akan dilakukan yang tercermin dalam informed consent serta
memberitahukan Kepada pasien untuk puasa sebelum dilakukan operasi jika pasien tersebut setuju
untuk dioperasi untuk menghindari regurgitasi pada esofagus serta aspirasi.

A. Anamnesis
Pada kasus apendisitis, perlu ditanyakan kepada pasiennya mengenai nyeri perut yang dirasakannya,
awal mula timbulnya nyeri tersebut, serta gejala penyerta yang dialaminya (mual, muntah, anorexia,
demam subfebris). Di samping itu, periu juga ditanyakan kepada pasien mengenai riwayat penyakit
terdahulu yang dialaminya untuk mengetahui apakah da penyulit lain yang bisa menyehabkan
timbulnya appendisitis., Riwayat makanan juga perlu ditanyakan untuk mengetahui penyebab
timbulnya appendisits, apakah berasal dari fecealith atau dari infeksi hematogen. Riwayat lainnya
seperti riwayat pengobatan serta riwayat operasi sebelumnya juga perlu ditanyakan untuk
mengetahui kemungkinan penyulit tau komplikasi lainnya yang dapat dialami pasien appendisitis.

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeniksaan fisik yang dapat dilakukan kepada pasien dengan apendisitis, meliputi tanda-tanda vital
(tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu, skala nyeri), pemeriksaan paru-paru, pemeriksaan
jantung, pemeriksaan abdomen, serta pemeriksaan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis
juga penting dilakukan terutara pada pengguanan anestesi regional schingga bisa diketahui adanya
deficit neurologis sebelum dilakukan anestesi regional. Pemeriksaan airway juga perlu dilakukan
untuk mengetahui jalan nafas pasien. Pemerksaan gigi geligi, tindakan buka mulat, lidah relatif besar,
leher pendek, serta kaku pada otot, juga sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah ada
penyulitan dalam melakukan intubasi Ketika dilakukan general anesthesia baik pada pasien anak-
anak maupun orang dewasa. Kesesunian masker untuk anestesi harus sudah diperkirakan pada
pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan.
Dalam kasus apendisitis, pemerksaan fisik lebih diutamakan pada pemeriksaan abdomen serta nyeri
pada titik McBurney. Pada pemeriksaan abdomen, hampir keseluruhan dalam batas normal. Tetapi,
akan ada nyeri tekan pada titik McBurney di regio kuadran bawah kanan abdomen mengindikasikan
bahwa pasien tersebut menderita apendisitis.
Skor Mallampati juga perlu dilakukan untuk mengetahui level kesulitan pada intubasi pasien yang
sedang menjalani proses pembedahan dengan general anesthesia.
Skor ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis
Mallampati I: Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
Mallampati Il : Terlihat palatum mole dan durum, serta hagian atas tonsil dan uvula,
Mallampati Ill : Terlihat palatum mole dan durum, serta dasar uvula,
Mallampati IV = Hanya terlihat palatum durum.

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam preoperasi pada kasus appendisitis meliputi darah
lengkap, C-reactive protein, seta USG. Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosit
mengalami peningkatan (leukositosis). Hal ini disebabkan oleh karena adamya proses infeksi yang
terjadi pada daerah appendiks sehingga dapat menimbulkan peradangan. Pada hail C-reactive
protein, dapat ditemukan > 1 mg/dL. yang mengindikasikan terjadi appendisitis. Pada USG, dapat
ditemukan juga adanya pembesaran pada appendiks dengan struktur tubular yang bersifat non
kompresif, diameternya 7-9 mm.

D. Penentuan status ASA


Klasifikasi status fisik AS bukan merupakan alat perkiraan risiko anestesi karena efek amping anestesi
tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5
kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap adanya brain-dead organ
donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Klasifikasi status fisik ASA digunakan dalam perencanaan manajemen anestesi serta teknik
monitoring
ASA I
Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri
ASA II
Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa keterbatasan aktivitas sehari-hari
ASA III
Pasien dengan penyakit sistemik berat, serta aktivitas fisik normal yang terbatas
ASA IV
Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan
maupun tapa operasi
ASA V
Pasien dengan penyakit berat yang memiliki harapan hidup kecil
dengan atau tapa operasi
ASA VI
Pasien dengan kematian balang otak yang organ tubuhnya akan diambil untuk tujuan donor (brain-
dead organ donor)

Pada kasus appendisitis, lebih sering ditemukan ke dalam klasifikasi ASA II. Hal ini disebabkan oleh
karena appendisitis tidak sering dapat mengalami gangguan sistemik yang berat dan penyulit yang
sering ditemukan berupa leukositosis. Akan tetapi, status ASA pada pasien appendisitis dapat
berubah menjadi AS Ill atau IV jika ada mengalami penyulit komplikasi yang lain seperti gangguan
pada sistem liver, ginjal, paru-paru, dan organ sistem lainnya,

E. Informed Consent
Informed consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter dari
tuntutan. Dalam hal ini, perl dipastikan bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup
mengenai prosedur yang akan dilakukan beserta risikonya.
Jika pasien tersebut setuju untuk dilakukan tindakan appendektomi, maka operasi tersebut dapat
segera dilaksanakan. Jika pasien tersebut tidak setuju, maka dapat diberikan bat antibiotik untuk
mengatasi infeksi pada appendiks tersebut. Pemberian antibiotik dapat diberikan pada pasien dengan
appendisitis tanpa komplikasi. Akan tetapi, tindakan operasi masih merupakan gold standard dalam
penanganan appendisitis.

3.2 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian bat selama 1-2 jam sebelum dilakukan induksi anestesi kepada pasien
dalam menjalani operasi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, serta bangun dari
anesthesin. Di samping itu, premedikasi juga bertujuan untuk meredakan kecemasan, mengurangi
sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual muntah
pasca bedah, membuat pasien menjadi hipnotik, serta mengurangi reflek yang membahayakan.
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara suntikan intramuskular (30-45 menit sebelum induksi
anestesia), atau suntikan intravena (5-10 menit sebelum indukst anestesia). Komposisi dan dosis obat
premedikasi yang akan iberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalahi
yang dijumpai pada pasien
Obat-obatan yang dapat digunakan dalam premedikasi pada pasien dapat
dijabarkan pada tabel di bawah ini :

3.3 Pemilihan Teknik Anestesi


Dalam pemilihan teknik anestesi, perlu dipertimbangkan faktor-faktor yang berperan dalam
keamanan dan Kenyamanan pasien.
1. Usia pasien
Pada usia bayi dan anak, lebih baik dilakukan teknik general anesteshia oleh karena pasicn usia
demikian lehih sering tidak kooperatif, Sedangkan pada pasien dewasa, jika digunakan untuk
tindakan singkat, dapat dilakukan teknik anestesi regional tau general anesteshia,
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdaholu, sangat penting untuk ditanyakan beserta kompliknsi
sebelum maupan pasca pembedahan yang dialami pasien saat itu. Penggunaan anestesi regional
sebaiknya dibindan pada pasien dengan diabetik neuropati karena dapat memperburik gejala yang
ada
b. Pada pasien dengan adanya penyulit gangguan kardiovaskular yang berat, hindari penggunaan
genera/ anesthesia karena dapat mengakibatkan depresi nafas serta gangguan hemodinamik pada
kardiovaskular. Oleh sebab itu, sebaiknya dipilih menggunakan anestesi lokal tau regional.
c. Pada pasien yang tidak kooperatif tau mengalami gangguan psikiatri lainnyn, sebaiknya dilakukan
general anesteshia,
d. Pada pasien obesitas dengan leher pendek dan besar sehingga menimbulkan
risiko gangguan sumbatan jalan natas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional
3. Posisi pembedahan
Posisi miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan general anesthesia dengan endotrakea
untuk menjamin ventilasi sclama pembedahan. Akan tetapi, pada posisi demikian, dapat juga
digunakan pada anestesi regional.
4. Keterampilan dan pengalaman dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesunikan dengan keterampilan dan kebutuhan dokter
bedah, seperti teknik hipotensif untuk mengurangi pendarahan, relaksasi tot pada laparotomi,
pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dan lainnya
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesi sangat menentukan pilhan teknik anestesi.
Sebaiknya lidak melakukan teknik ancsiest tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan dipertimbangkan bila keadaan
pasien memungkinkan dan membahayakan keberhasilan operasi,
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian bat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah pilihan utama pada
pembedahan dengan memakai alat elektroknuter.

3.4 Durante Operasi dan Monitoring


Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan
kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tapa glukosa,
sedangkan cairn koloid mengandung zat high molecular weight seperti protein tau glukosa polimer
bear. Cairan koloid berfungsi untuk menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan dapat digunakan
untuk sebagian bear intravaskular, sedangkan cairn kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
mendistribusikan seluruh ruang cairn ekstrascluler. Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan
cairan yang digantikan. Untuk kehilangan cairn terutama yang melibatkan air, penggantian dengan
cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. lika melibatkan air dan elektrolit,
penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, disebut sehagai cairan jenis replacement. Karena
kebanyakan kehilangam cairn intraoperatif adalah cairan isotonic maka cairan jenis replacement yang
urum digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah tartan Ringer Laktat. Meskiput sedikit
mengandung hipotonik, cairan in menyediakan sekitar 100 ml free water per liter dan cenderung
dapat menurunkan serum atrium sebanyak 130 mEq/L. Ringer Laktat umumnya memiliki efek yang
paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan cairan yang paling fisiologis ketika
volume bear diperlukan. Kehilangan darah pada durante operasi ini biasanya digantikan dengan cairn
RI schanyak 3 hingga 4 kali dari jumlah volume darah yang hilang.
Titik transfusi dapat ditentukan seat prepperasi dari hematokrit dan estimated blood volume
(EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi apabila kehilangan lebih dari 10-20%
dari volume damh. Waktu yang tepat untuk trans fusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedar
operas yang dilakukan. Proses monitoring sangat perlu dilakukan oleh dokter anestesi dalam
membantu mempertahankan kendisi pasien. Standard monitoring intraoperatif yang digunakan,
diadopsi dan ASA, yaitu Standard Barie Inesthetie Nonitoring. Standard in diterapkan di semua
perawatan anastesi walaupun pada kondisi emergensi, appopriate life support harus diutamakan.
Standar in ditujukan tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen
perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim, beberapa metode monitoring
ini mungkin tidak praktis secara klinis dan penggunaan yang sesuai dengan metode monitoring
mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan klinis sclanjutnya. Parameter yang biasanya
digunakan untuk monitor pasien selama anestesi, adalah: Frekuensi nafas serta kedalaman nafas,
Denyut nadi, jantung, seta kualitasnya Waa membran mukosa dan capillary refill time.
Kedalaman/stadium anestest (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra) Kadar aliran
oksigen dan hat anestesi inhalasi. Pulse oximetry = tekanan darah, saturasi oksigen, serta denyut
nadi.

3.5 Manajemen Anestesi Pasca Operasi


Pada pasien dengan regional anestesi, lebils mudah mengalami recovery dibandingkan dengan
general anesteshia, Hal in dischabkan oleh karena pasien dengan regional anestesi mash dalam
kondisi sadar, schingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih sedikit
dibandingkan dengan general anesthesia. Meskipun demikian, perl dilakukan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi oksigen, dan frekuensi nafas hingya pasien tersebut stabil. Fungsi
neuromuskular juga harus dinilai untuk mengetahui adanya kaku pada otot terutama pada otot di
daerah abdomen pasca appendektomi Evaluasi post operatif juga harus dilakukan dalam 24-48 jam
setelah operasi dan
dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam medis, anamnesis
terakhir terkait keluhan subjektif post operasi pada pasien, pemeriksaan fisik secara keseluruhan,
serta pemeriksaan penunjang. Komplikasi yang kemungkinan akan dialami pasien seperti muntah,
nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cedera saraf, cedera pada daerah okular, pneumonia, serta
perubahan status mental, juga harus diperhatikan.
PORTOFOLIO PASIEN IBS30 Januari 2022

4. Identitas : Verri Helvira/332485 /P/25 th/TB: 155 cm/BB: 55 kg/BSA: 1.5 m 2

MRS Tgl 30 Januari 2022 di IGD RSDS


 Subyektif • Keluhan Utama: nyeri perut kanan bawah dan mual
• Riwayat Penyakit Sekarang : pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah
dan mual. Awalnya tanggal 21/01/22 nyeri perut kanan bawah, nyeri ulu
hati, mual, demam, muntah 3x/ hari. Tanggal 23 januari 2022 MRS di
BinaSehat, sempat dikatakan akan operasi usus buntu namun tidak jadi
karena saat di USG hasilnya tidak ada kelainan. Tangal 25 jan 2022 KRS di
Bina sehat. Tgl 27 januari nyeri lagi di perut kanan bawah tapi tidak ada
demam dan muntah. Mual + BAK saat ini terasa sedikit panas. BAB sulit 2
minggu terakhir. Tidak bisa BAB 1 minggu. Flatus +
• Riwayat Penyakit Dahulu : apendisitis
 Obyektif • B1 : Airway : Paten (+) tanpa alat
RR : 20 x/m Adekuat (+/+) SaO2 : 99 %

• B2 : Akral : Anemis: (-) CRT < 2 ” TD /; 125/ 83MmHg


HR : 77/m S1-S2 Single, ekstrasistol (-), Murmur (-), Gallop (-)

• B3 : Kesadaran (Composmentis/Alert) GCS : 4-5-6


Reflek cahaya (+/+) Pupil diameter (3/3) Ikterik (-)
• B4 : Prod Urine (+)

• B5 : Bising usus (+)


Distensi abdomen (-) Peritonism (-)
Nyeri tekan abdomen (+)
• B6 : Edema : (-)
• Lab :
DL : Hb 11.7 Leu 8.4 Hct 35.4 Trom 350
Faal renal : SK 0.7
Faal hepar: OT / PT 14/9
Urin: protein –BHCG -
Antigen : Negatif
• Ro :
Chest-x ray: Cor Pulmo dalam batas normal

 Asessment Bedah : susp apendisitis + konstipasi dd ISK


Anesthesi PS-ASA 1
 Planning • Diagnostik : -

• Terapi :
- Pro apendiktomi (Minggu, 30/01/22)
- Inf. PZ 20 tpm
- Inj. OMZ iv

Advice dr. Haris Sp. An :


- Rehidrasi RL 1000 cc selama 1 jam
- Tidak perlu usaha darah
- Rencana op 18.00

DURANTE OPERATION

TTV/ Menit HR TD RR SpO2

20.15 70 130/80 16 100%


20.30 75 131/83 14 100%
20.45 78 126/81 15 100%
21.00 80 125/80 17 100%

POST OPERATIVE ASSSESMENT


 ALDRETTE PASCA ANESTESI

Skor Aldrette Nilai


Nilai Warna  ·Merah muda (2) 2
 ·Pucat (1)
 ·Sianosis (0)
Pernapasan  ·Dapat bernapas dalam dan batuk (2) 2
 ·Dangkal namun pertukaran udara adekuat (1)
 ·Apnoea atau obstruksi (0)
Sirkulasi  ·Tekanan darah menyimpang <20% dari normal (2) 2
 ·Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal (1)
 ·Tekanan darah menyimpang >50% dari normal (0)

Kesadaran  ·Sadar, siaga dan orientasi (2) 2


 ·Bangun namun cepat kembali tertidur (1)
 ·Tidak berespons (0)

Aktivitas  ·Seluruh ekstremitas dapat digerakkan (2) 2


 ·Dua ekstremitas dapat digerakkan (1)
 ·Tidak bergerak (0)

Terapi pasca bedah:


- Tofedex 3x25 mg
- Granicetron 1x2 mg
- Tramadol1 x 100 mg

 MONITORING PASCA

ANESTESI Infus : RL
Tabel monitoring

TTV/ Menit TD HR RR SpO2

21.15 120/70 100 17 100%


21.30 125/72 97 20 100%
21.45 116/74 98 19 100%
22.00 123/69 80 20 100%

Anda mungkin juga menyukai