Anda di halaman 1dari 19

Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

Public Health Perspective Journal


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/phpj

Analisis Pengaruh Fase Pengobatan, Tingkat Depresi dan Konsumsi Makanan Terhadap
Status Gizi Penderita Tuberkulosis (TB) Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas se-
Kecamatan Genuk Kota Semarang

Nurjannah, I Made Sudana

Universitas Negeri Semarang, Indonesia.

Info Artikel Abstrak

SejarahArtikel: Infeksi Mycobacterium tuberculosis dapat menyebabkan penurunan berat badan. Status gizi yang buruk meningkatkan resiko
infeksi dan penyebaran penyakit tuberculosis (TB). Selain itu, seseorang yang telah didiagnosis dengan penyakit TB paru
Diterima12 Agustus 2017 akan secara langsung maupun tidak langsung mengubah pola kesehariannya. Kenyataan harus mengonsumsi obat
Disetujui 15Oktober 2017 sepanjang hidupnya menyebabkan lama kelamaan sebagian dari penderita TB Paru akan mengalami depresi.Tujuan
Dipublikasikan 20 penelitian ini adalah menganalisis pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung fase pengobatan, tingkat depresi dan
konsumsi makanan terhadap status gizi penderita TB paru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
Desember 2017 pendekatan Cross Sectional Study serta menggunakan analisis jalur (Path Analysis). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien TB paru yang terdaftar sebagai pasien rawat jalan di Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan Genuk
sejumlah 46 orang, sedangkan sampelnya menggunakan sampel minimal sejumlah 30 orang yang tersebar di 2 puskesmas
Keywords: yaitu Puskesmas Bangetayu dan Puskesmas Ganuk. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik accidental sampling. Hasil
Fase Pengobatan, Tingkat penelitian menunjukan fase pengobatan berpengaruh langsung terhadap kadar hemoglobin sebesar 15,7% dan kadar
Depresi, Konsumsi albumin sebesar 34,9%, namun fase pengobatan tidak berpengaruh langsung terhadap IMT dan LILA. Tingkat depresi
tidak berpengaruh langsung terhadap IMT, LILA, kadar albumin dan kadar hemoglobin. Konsumsi makanan berpengaruh
Makanan, Status Gizi
secara langsung terhadap IMT sebesar 40,1%, LILA sebesar 29,6% dan kadar hemoglobin sebesar 23,3%, namun konsumsi
Penderita TB . makanan tidak berpengaruh secara langsung terhadap kadar albumin. Fase pengobatan berpengaruh secara tidak langsung
terhadap kadar hemoglobin yaitu melalui konsumsi makanan sebesar 7%. Sehingga pengaruh total fase pengobatan, tingkat
depresi dan konsumsi makanan terhadap IMT sebesar 40,1%, LILA sebesar 29,6%, kadar hemoglobin sebesar 46% dan
kadar albumin sebesar 34,9%.

Abstract

Mycobacterium tuberculosis infections can cause weight loss. Poor nutritional status increases the risk of infection and
spread of the disease tuberculosis (TB). In addition, someone who has been diagnosed with
pulmonary TB disease will either directly or indirectly change the pattern of her everyday. The fact should be taking drugs
all his life cause he Pulmonary TB sufferers from some will experience depression. The purpose of this study was to analyze
the effect of direct and indirect influences of the treatment phase, the level of depression and food consumption against
pulmonary TB sufferer nutritional status. This research uses a quantitative approach with approach Cross Sectional Study
and using path analysis (Path Analysis). The population in this research is the entire pulmonary TB patients are
registered as outpatients Clinics in the region all-Sub Genuk a number of 46 people, while the number of the
samples use the sample at leasta number of 30 people scattered 2 clinics Bangetayu health centersand clinics,
namely Ganuk. Sampling is done by accidental sampling techniques. The research results show the phases of the treatment
effect directly against the levels of hemoglobin and albumin levels 15.7% of 34.9%, however the treatment phase has no
effect directly against the IMT and LILA. The rate of depression has no effect directly against the IMT, LILA, the levels of
albumin and hemoglobin levels. Food consumption take effect directly against IMT amounting to 40.1%, LILA of 29.6%
and hemoglobin levels of 23.3%, but do not affect food consumption directly against the levels of albumin. Phases of
treatment effect in directly against the levels of hemoglobin that is through food consumption amounted to 7%. So the
influence of the total phase of the treatment, the level of depression and food consumption towards IMT of 40.1%, LILA of
29.6%, 46% of hemoglobin levels and albumin levels amounted to 34.9%.

© 2017 Universitas Negeri Semarang


Alamatkorespondensi: p-ISSN 2528-5998
Kampus Unnes Kelud Utara III, Semarang, 50237, Indonesia
e-ISSN 2540-7945
E-mail: Nurjannah.002@yahoo.com
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

PENDAHULUAN yang dideritanya akan bermunculan, serta


kenyataan harus mengonsumsi obat sepanjang
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit hidupnya menyebabkan lama kelamaan
infeksi menular yang disebabkan oleh sebagian dari penderita TB Paru akan
Mycobacterium tuberculosis, yang dapat mengalami depresi.
menyerang berbagai organ terutama paru-paru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Penyakit ini bila tidak diobati atau oleh Nurkhalesa (2014) terhadap 30 responden
pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan di Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember
komplikasi berbahaya hingga kematian menunjukkan bahwa pada responden yang
(Kemenkes RI, 2015). mengalami TB Paru selama 10-12 bulan
World Health Organization (WHO) cenderung mengalami depresi ringan sebanyak 2
menyatakan bahwa TB adalah pembunuh orang (6,7%), yang menderita selama 7-9 bulan
nomor dua di dunia setelah HIV/AIDS (Human cenderung mengalami depresi ringan yaitu
Immuno Deficiency Virus/ Acquired Immuno sebanyak 5 orang (16,7%), menderita selama 4-6
Deficiency Syndrome). Pada tahun 2013, 9 juta bulan cenderung mengalami depresi sedang
penduduk di dunia menderita Tuberkulosis dan yaitu sebanyak 9 orang (30%), dan yang
1,5 juta diantaranya meninggal dunia karena menderita selama 1-3 bulan cenderung
penyakit tersebut. Dalam hal jumlah penderita mengalami depresi sedang 7 orang (23,3%).
kasus baru TB di dunia, Indonesia menempati Hasil tersebut menunjukkan bahwa depresi
urutan kedua setelah India yakni 0,4 sampai 0,5 lebih banyak muncul pada masa awal menderita
juta penduduk terinfeksi penyakit TB paru ( Tuberkulosis Paru.
WHO, 2015). Menurut Pachi et al. (2013) pasien
Pada tahun 2014 di Kota Semarang telah cenderung mengalami shock saat pertama kali
tercatat 1.182 kasus TB paru yang tersebar di terdiagnosis menderita TB Paru. Selanjutnya,
beberapa rumah sakit dan puskesmas, dimana pasien akan mengalami fase-fase berat pada
di kecamatan Genuk merupakan wilayah kerja bulan-bulan berikutnya. Sering kali ada periode
puskesmas dengan jumlah kasus kelima penolakan, diikuti oleh pengunduran diri dan
terbanyak di Kota Semarang yakni sebanyak 46 depresi, yang mengarah ke persepsi terdistorsi
kasus (Dinkes. Kota Semarang, 2014). tentang penyakit. Pasien digambarkan
TB paru merupakan penyakit infeksi yang menunjukkan emosi yang kuat seperti rasa
sampai saat ini masih menjadi masalah, baik takut, cemburu, kemarahan, mengucilkan diri,
dalam diagnosis maupun pengobatan. TB paru adanya rasa bersalah, atau rasa malu. Bunuh diri
dapat disembuhkan dengan Obat Anti juga dapat terjadi, terutama ketika seluruh
Tuberculosis (OAT) melalui strategi DOTS keluarga mencoba untuk memisahkan penderita
(Direct Observed Treatment Short-Course) (WHO, di lembaga yang jauh.
2015), namun keberhasilan pengobatan TB paru Selain depresi, status nutrisi yang rendah
sangat dipengaruhi oleh banyak faktor juga sering terjadi pada penderita penyakit
diantaranya adanya kepatuhan penderita, infeksi (Chandra, 2010). Infeksi tuberkulosis
komorbid, kebiasaan merokok dan termasuk dapat menyebabkan penurunan berat badan,
juga salah satunya yaitu status gizi (Kurniawan, status gizi yang buruk, meningkatkan resiko
2015). infeksi dan penyebaran penyakit TB.
Arjana (2009) memaparkan bahwa lama Infeksi TB meningkatkan kebutuhan
seseorang menderita TB Paru akan berpengaruh energi untuk mempertahankan fungsi normal
terhadap kehidupan sehari-hari pasien. Sesorang tubuh, ini ditandai dengan peningkatan
yang telah didiagnosis dengan penyakit TB Paru penggunaan energi saat istirahat atau resting
akan secara langsung maupun tidak langsung energy expenditure (REE). Peningkatan ini
mengubah pola kesehariannya. Berbagai mencapai 10-30% dari kebutuhan energi orang
masalah kesehatan terkait Tuberkulosis Paru normal. Proses ini menimbulkan anoreksia

216
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

akibat peningkatan produksi leptin sehingga untuk mengaktifasi makrofaganemia berat juga
terjadi penurunan asupan makanan (Pratomo berhubungan dengan penurunan kadar retinol,
dkk., 2012). karotenoid dan selenium karena stress oksidatif
Pernyataan sejenis juga diungkapkan oleh yang mengganggu produksi hemoglobin (Gupta,
Chandra (2010) bahwa penyakit infeksi 2009).
umumnya menyebabkan anoreksia dan Berdasarkan teori dan beberapa penelitian
peningkatan kebutuhan metabolik sel oleh yang telah dilakukan di atas, maka peneliti
inflamasi yang berdampak bukan hanya sekedar tertarik untuk melakukan penelitian tentang
penurunan berat badan tetapi juga akan analisis pengaruh fase pengobatan, tingkat
mempengaruhi system kekebalan tubuh yang depresi dan konsumsi makanan terhadap status
memberi perlindungan terhadap penyakit gizi penderita tuberkulosis (TB) paru di Wilayah
infeksi. Tuberkulosis dapat menyebabkan berat Kerja Puskesmas Se-Kecamatan Genuk Kota
badan dibawah normal dan defisiensi Semarang.
mikronutrien (multivitamin dan nutrient) karena
terjadi malabsorbsi, meningkatnya kebutuhan METODE
energi, terganggunya proses metabolik dan
berkurangnya asupan makanan karena Penelitian ini merupakan jenis penelitian
penurunan nafsu makan dan dapat mengarah kuantitatif dengan menggunakan desain
terjadinya kondisi wasting (penurunan massa penelitian analitik korelasi yaitu untuk mencari
otot dan lemak). arah dan kuatnya hubungan antara dua variabel
Infeksi TB juga mengakibatkan atau lebih (Sugiyono, 2011). Pada penelitian ini
malabsorbsi nutrient serta perubahan peneliti menggunakan pendekatan cross sectional
metabolism tubuh. Hal tersebut mengganggu study, yaitu peneliti melakukan observasi atau
sintesis protein dan lemak endogen sehingga pengukuran pada suatu saat tertentu
terjadi peningkatan proteolisis dan lipolisis yang (Sastroasmoro, 2011).
mengakibatkan REE meningkat. Keadaan ini Populasi dalam penelitian ini adalah
disebut sebagai blockade formasi energi (anabolic seluruh penderita Tuberkulosis Paru yang
block) dan berhubungan dengan proses wasting terdaftar sebagai pasien rawat jalan di wilyah
sehingga terjadi malnutrisi (Pratomo dkk., kerja puskesmas se-Kecamatan Genuk Kota
2012). Malnutrisi pada infeksi TB memperberat Semarang yang tersebar di 2 Puskesmas yaitu
perjalanan penyakit TB dan mempengaruhi Puskesmas Genuk dan Puskesmas Banget Ayu
prognosis pengobatan dan tingkat kematian yakni 46 orang.
(Papathakis, 2008). Sampel dalam penelitian ini adalah
Supariasa (2010) menyatakan bahwa sebagian dari populasi yang dianggap mewakili
status gizi adalah ekspresi dari keadaan populasi. Menurut Roscoe (1982) dalam
keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, Sugiono (2011), menyatakan bahwa ukuran
atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk sampel yang layak dalam penelitian adalah
variabel tertentu. Kurangnya asupan dan deplesi antara 30 sampai dengan 500. Berdasarkan
akibat infeksi TB maupun pemberian OAT pernyataan di atas dan keterbatasan peneliti
menyebabkan defisiensi mikronutrient sehingga maka sampel dalam penelitian ini menggunakan
selanjutnya akan mempengaruhi status imun sampel minimal yaitu berjumlah 30 orang.
penderitan TB. Anemia sering ditemukan pada Dalam penelitian ini teknik pengambilan
penderita TB dengan angka insiden 76,9%. sampel yang digunakan adalah non-probability
Kejadian itu dihubungkan dengan perdarahan sampling (non random sampling), yakni teknik
akibat hemoptisis dan gangguan hematopoiesis. pengambilan sampel yang tidak memberi
Infeksi TB mengakibatkan penurunan kadar besi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur
serum dan peningkatan cadangan besi (iron atau anggota populasi untuk dipilih menjadi
overloading) sehingga jumlah zat besi berkurang sampel. Teknik sampel yang dipilih adalah

217
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

teknik sampel insidental yang dimana teknik HASIL DAN PEMBAHASAN


insidental adalah teknik penentuan sampel
berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang Hasil
secara kebetulan/insidental bertemu dengan Sejumlah 30 responden penderita
peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila tuberkulosis (TB) paru yang berada di wilayah
dipandang orang yang kebetulan ditemui itu kerja Puskesmas se-Kecamatan Genuk kota
cocok sebagai sumber data. (Sugiyono, 2011). Semarang yang terdiri dari 2 puskesmas yakni
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari Puskesmas Bangetayu dan puskesmas Genuk
variabel bebas (independen) yakni fase telah dipilih sebagai responden guna meneliti
pengobatan, tingkat depresi dan konsumsi tentang analisis pengaruh fase pengobatan,
makanan penderita Tuberkulosis (TB) Paru dan tingkat depresi dan konsumsi makanan terhadap
variabel terikat (dependen) yakni status gizi yang status gizi penderita tuberculosis (TB) paru di
yang diukur dari Indeks Masaa Tubuh (IMT), wilayah kerja Puskesmas se-Kecamatan Genuk
Lingkar Lengan Atas (LILA) kadar hemoglobin kota Semarang. Kemudian berdasarkan
(Hb) dan kadar albumin penderita TB paru. perhitungan maka diperoleh hasil-hasil sebagai
Penelitian ini menggunakan teknik berikut ini.
analisis jalur (path analysis), yakni teknik analisis
yang meruapakan pengembangan dari teknik Gambaran Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru
analisis regresi. Analisis jalur digunakan untuk di Wilayah Kerja Puskesmas Se Kecamatan
melukiskan dan menguji model hubungan antar Genuk Kota Semarang Berdasarkan Jenis
variabel yang berbentuk sebab akibat. Melalui Kelamin
analisis jalur akan dapat ditemukan jalur mana
yang paling tepat dan singkat suatu variabel Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan
independen menuju variabel dependen terakhir Jenis Kelamin
(Sugiyono, 2011). Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Adapun skema path analysis dapat di Laki-Laki 19 63.3
gambarkan sebagai berikut: Perempuan 11 36.7
Jumlah 30 100

Berdasarkan tabel 1. diketahui bahwa dari


30 responden penderita TB paru , sebanyak 19
responden (63,3%) berjenis kelamin laki-laki dan
sebanyak 11 responden (36,7%) berjenis kelamin
perempuan.

Gambar 1. Skema Path Analysis. Pengaruh Fase


Pengobatan (X1), Tingkat Depresi (X2) dan
Konsumsi Makanan (X3) Terhadap Status Gizi
(Y) Penderita Tuberkulosis Paru.

Bersadarkan skema analisis di atas, maka


dapat dibuat persamaan sebagai berikut:
Y = Pyx1 X1 + Pyx2 X2 + Pyx3 X3 + Ɛ

218
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

Gambaran Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan


di Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan Tingkat Depresi
Genuk Kota Semarang Berdasarkan Usia Tingkat Depresi Jumlah Persentase
Depresi Berat 5 16,7
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Depresi Sedang 5 16,7
Usia Depresi Ringan 9 30,0
Usia Jumlah Persentase Normal 11 36,7
12 – 25 tahun 4 13,3 Jumlah 30 100
26 – 45 tahun 7 23,3
46 – 65tahun 15 50,0 Berdasarkan tabel 4. diketahui bahwa dari
˃ 65 tahun 4 13,3 30 responden penderita TB paru paling banyak
Jumlah 30 100 berada di tingkat depresi normal yakni sebayak
Berdasarkan tabel 2. diketahui bahwa dari 11 responden (36,7%) sedangkan paling sedikit
30 responden penderita TB paru, paling banyak berada di tingkat depresi berat dan sedang yakni
ditemukan pada rentang usia 46 - 65 tahun yakni masing-masing sebanyak 5 responden (16,7%).
sebanyak 15 responden (50,0%), sedangkan
paling sedikit ditemukan pada rentang usia 12 Gambaran Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru
– 25 tahun dan ˃ 65 tahun yakni masing-masing di Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan
sebanyak 4 responden (13,3%). Genuk Kota Semarang Berdasarkan Konsumsi
Makanan
Gambaran Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan
Genuk Kota Semarang Berdasarkan Fase Konsumsi Makanan
Pengobatan Konsumsi Makanan Jumlah Persentase
Defisit 4 13,3
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Kurang 8 26,7
Fase Pengobatan Sedang 12 40,0
Fase Pengobatan Jumlah Persentase Baik 6 20,0
Intensif 11 36,7 Jumlah 30 100
Lanjutan 19 63,3
Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 5. diketahui bahwa dari
30 responden penderita TB paru paling banyak
Berdasarkan tabel 3. diketahui bahwa dari mengkonsumsi makan dalam jumlah sedang
30 responden perderita TB paru, sebanyak 11 yakni sebanyak 12 responden (40,0%) sedangkan
responden (36,7%) berada di fase pengobatan paling sedikit mengkonsumsi makanan dalam
intensif dan sebanyak 19 responden (63,3%) jumlah defisit yakni sebanyak 4 responden
berada di fase pengobatan lanjutan. (13,3%).

Gambaran Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru Gambaran Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan di Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan
Genuk Kota Semarang Berdasarkan Tingkat Genuk Kota Semarang Berdasarkan Kadar
Depresi Hemoglobin (Hb)

219
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Hasil analisis dan koefisien jalur di atas
Kadar Hemoglobin (Hb) dapat ditunjukan pada gambar 2.
Hb Jumlah Persentase
Beresiko 16 53,3
Tidak Beresiko 14 46,7
Jumlah 30 100

Berdasarkan tabel 6. diketahui bahwa dari


30 responden perderita TB paru, sebanyak 16 Gambar 2. Hubungan Struktural antara
responden (53,3%) memiliki Hb beresiko dan Konsumsi Makanan terhadap IMT
sebanyak 14 responden (46,7%) memiliki Hb Berdasarkan gambar 2. terlihat bahwa
tidak beresiko. variabel IMT (Y) hanya dipengaruhi oleh
variabel konsumsi maknan (X3), sehingga
Analisis Jalur koefisien jalur dan konstribusi pengaruh
Koefisien Jalur dan Konstribusi Pengaruh Fase konsumsi maknan terhadap IMT dapat dilihat
Pengobatan, Tingkat Depresi dan Konsumsi pada table berikut.
Makanan Terhadap Indeks Massa Tubuh
(IMT) Tabel 8. Koefisien Jalur dan Konstribusi
Berdasarkan hasil interpretasi Pengaruh Konsumsi Makanan terhadap IMT
menggunakan SPSS Statistic 23 diperoleh hasil Koefisien R
Variabel Sig.
sebagai berikut: Beta Square
Konsumsi 0.00
0,633 0,401
Tabel 7. Koefisien Jalur dan Konstribusi Makanan 0
Pengaruh Fase Pengobatan, Tingkat Depresi
dan Konsumsi Makanan Terhadap Indeks Berdasarkan tebel 8. diketahui bahwa
Massa Tubuh (IMT) nilai Rsquare (R2) sebesar 0,401, sedangkan nilai
Koefisien R koefisien jalur variabel konsumsi makanan (X 3)
Variabel Sig.
Beta Square terhadap IMT (Y) (pYX3) = 0,633 dan p-value =
0,60 0,000 ˂ 0,05. Nilai p-value lebih kecil
Fase Pengobatan 0,121 0,451
8 dibandingkan dengan 0,05 artinya H0 ditolak.
0,56 Penolakan H0 dapat diartikan bahwa variabel
Tingkat Depresi 0,141
5 konsumsi makanan dapat diartikan berpengaruh
Konsumsi 0,00 langsung terhadap IMT.
0,528
Makanan 3 Hasil analisis dan koefisien jalur di atas
dapat digambarkan sebagai berikut:
Berdasarkan tabel 7. diketahui bahwa
nilai Rsquare (R2) sebesar 0,451, sedangkan nilai
koefisien jalur variabel fase pengobatan (X 1),
tingkat depresi (X2) dan konsumsi makanan (X3)
secara berturut-turut sebesar 0,121; 0,141 dan
0,528 dengan nilai signifikansi (p-value ) X1 =
0,608 ˃ 0,05; X2 = 0,565 ˃ 0,05; dan X3 = 0,003
˂ 0,05. Dikarenakan nilai p-value X1 dab X2 ˃ Gambar 3. Model Hubungan Kausal Konsumsi
0,05 maka Ha ditolak dan Ho diterima. Makanan dan IMT
Penolakan Ha berarti variabel fase pengobatan
dan tingkat depresi tidak berpengaruh secara Berdasarkan gambar 3. diketahui bahwa
langsung terhadap Indeks Massa Tubuh (IMT). nilai koefisien jalur konsumsi maknan terhadap
IMT adalah sebesar 0,663 sehingga besarnya

220
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

pengaruh langsung variabel konsumsi makanan


terhadap IMT yakni koefisien jalur (pYX3)2 ×
100% = (0,633)2 × 100% = 40,1%. Hal ini
menunjukan bahwa konsumsi makanan
memberikan pengaruh sebesar 40,1% terhadap
IMT. Sedangkan besarnya pengaruh koefisien
jalur diluar model (error) yakni Ɛ = √ =
= 0,774. Nilai error 0,774 Gambar 4. Hubungan Struktural antara

menunjukan bahwa besarnya pengaruh variabel Konsumsi Makanan terhadap LILA
selain konsumsi makanan terhadap IMT adalah
0,774 atau mencapai 77,4%. Berdasarkan gambar 4. terlihat bahwa
Koefisien Jalur dan Konstribusi Pengaruh Fase variabel LILA (Y) hanya dipengaruhi oleh
variabel konsumsi maknan (X3), sehingga
Pengobatan, Tingkat Depresi dan Konsumsi
koefisien jalur dan konstribusi pengaruh
Makanan Terhadap Lingkar Lengan Atas
konsumsi maknan terhadap LILA dapat dilihat
(LILA)
pada table berikut.
Berdasarkan hasil interpretasi
menggunakan SPSS Statistic 23 diperoleh hasil
Tabel 10. Koefisien Jalur dan Konstribusi
sebagai berikut:
Pengaruh Konsumsi Makanan terhadap LILA
Koefisien R
Tabel 9. Koefisien Jalur dan Konstribusi Variabel Sig.
Beta Square
Pengaruh Fase Pengobatan, Tingkat Depresi
dan Konsumsi Makanan Terhadap LILA Konsumsi 0,00
0,544 0,296
Makanan 2
Koefisien R
Variabel Sig.
Beta Square
Berdasarkan tebel 10. diketahui bahwa
Fase 0,16
0,355 0,389 nilai Rsquare (R2) sebesar 0,296, sedangkan nilai
Pengobatan 3
koefisien jalur variabel konsumsi makanan (X 3)
0,05
Tingkat Depresi 0,504 terhadap LILA (Y) (pYX3) = 0,544 dan p-value =
8
Konsumsi 0,01 0,002 ˂ 0,05. Nilai p-value lebih kecil
0,456 dibandingkan dengan 0,05 artinya H0 ditolak.
Makanan 3
Penolakan H0 dapat diartikan bahwa variabel
konsumsi makanan dapat diartikan berpengaruh
Berdasarkan tabel 9. diketahui bahwa
langsung terhadap LILA.
nilai Rsquare (R2) sebesar 0,389, sedangkan nilai
Hasil analisis dan koefisien jalur di atas
koefisien jalur variabel fase pengobatan (X 1),
dapat digambarkan sebagai berikut:
tingkat depresi (X2) dan konsumsi makanan (X3)
secara berturut-turut sebesar 0,355; 0,504 dan
0,456 dengan nilai signifikansi (p-value ) X1 =
0,163 ˃ 0,05; X2 = 0,058 ˃ 0,05; dan X3 = 0,013
˂ 0,05. Dikarenakan nilai p-value X1 dab X2 ˃
0,05 maka Ha ditolak dan Ho diterima.
Penolakan Ha berarti variabel fase pengobatan
dan tingkat depresi tidak berpengaruh secara Gambar 5. Model Hubungan Kausal Konsumsi
langsung terhadap LILA. Makanan dan LILA
Hasil analisis dan koefisien jalur di atas
dapat ditunjukan pada gambar 4. Berdasarkan gambar 5. diketahui bahwa
nilai koefisien jalur konsumsi maknan terhadap
IMT adalah sebesar 0,544 sehingga besarnya

221
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

pengaruh langsung variabel konsumsi makanan


terhadap IMT yakni koefisien jalur (pYX3)2 ×
100% = (0,544)2 × 100% = 29,6%. Hal ini
menunjukan bahwa konsumsi makanan
memberikan pengaruh sebesar 29,6% terhadap
IMT. Sedangkan besarnya pengaruh koefisien
jalur diluar model (error) yakni Ɛ = √ =
Gambar 6. Hubungan Struktural dari X1 dan X2
√ = 0,839. Nilai error 0,839 terhadap Y
menunjukan bahwa besarnya pengaruh variabel Berdasarkan gambar 6. terlihat bahwa
selain konsumsi makanan terhadap IMT adalah variabel kadar hemoglobin (Y) hanya
0,839 atau mencapai 83,9%. dipengaruhi oleh variabel fase pengobatan (X 1)
dan variabel konsumsi maknan (X3), sehingga
koefisien jalur dan konstribusi pengaruh fase
Koefisien Jalur dan Konstribusi Pengaruh Fase
pengobatan dan konsumsi maknan terhadap
Pengobatan, Tingkat Depresi dan Konsumsi kadar hemoglobin dapat dilihat pada table
Makanan Terhadap Kadar Hemoglobin berikut.
Berdasarkan hasil interpretasi
menggunakan SPSS Statistic 23 diperoleh hasil Tabel 12. Koefisien Jalur dan Konstribusi
sebagai berikut: Pengaruh Fase Pengobatan dan Konsumsi
Makanan Terhadap Kadar Homoglobin
Tabel 11. Koefisien Jalur dan Konstribusi Koefisien R
Variabel Sig.
Pengaruh Fase Pengobatan, Tingkat Depresi Beta Square
dan Konsumsi Makanan Terhadap Fase 0,01
0,396 0,529
KadarHemoglobin Pengobatan 0
Koefisien R Konsumsi 0,00
Variabel Sig. 0,482
Beta Square Makanan 2
Fase 0,00
0,676 0,584 Berdasarkan tebel 12. diketahui bahwa
Pengobatan 3
nilai Rsquare (R2) sebesar 0,529, sedangkan nilai
0,07 koefisien jalur variabel fase pengobatan (X1)
Tingkat Depresi 0,388
6 terhadap kadar hemoglobin (Y) (pYX1) = 0,396
Konsumsi 0,00 dengan p-value = 0,010 ˂ 0,05 dan nilai
0,547 koefisien jalur konsumsi makanan (X3) terhadap
Makanan 1
kadar hemoglobin (Y) (pYX3) = 0,482 dan p-
value = 0,002 ˂ 0,05. Nilai p-value variabel fase
Berdasarkan table 11. diketahui bahwa pengobatan dan konsumsi makanan lebih kecil
nilai Rsquare (R2) sebesar 0,584, sedangkan nilai dibandingkan dengan 0,05 artinya H0 ditolak.
koefisien jalur variabel fase pengobatan (X 1), Penolakan H0 dapat diartikan bahwa variabel
tingkat depresi (X2) dan konsumsi makanan (X3) fase pengobatan dan variabel konsumsi
secara berturut-turut sebesar 0,676; 0,388 dan makanan dapat diartikan keduanya berpengaruh
langsung terhadap kadar hemoglobin.
0,547 dengan nilai signifikansi (p-value ) X1 = Hasil analisis dan koefisien jalur di atas
0,003 ˃ 0,05; X2 = 0,076 ˃ 0,05; dan X3 = 0,001 dapat digambarkan sebagai berikut:
˂ 0,05. Dikarenakan nilai p-value X2 ˃ 0,05
maka Ha ditolak dan Ho diterima. Penolakan Ha
berarti variabel tingkat depresi tidak
berpengaruh secara langsung terhadap kadar
hemoglobin.
Hasil analisis dan koefisien jalur di atas
dapat ditunjukan pada gambar 6.

222
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

dan konsumsi makanan terhadap kadar


hemoglobin adalah sebesar 46%.
Besarnya pengaruh koefisien jalur diluar
model (error) yakni Ɛ = √ =√
= 0,686. Nilai error 0,686 menunjukan bahwa
besarnya pengaruh variabel 0,529 selain fase
pengobatan dan konsumsi makanan terhadap
Gambar 7. Model Hubungan Kausal dari Fase kadar hemoglobin diluar model adalah 0,686
Pengobatan dan Konsumsi Makanan terhadap atau mencapai 68,8%.
Kadar Hemoglobin
Koefisien Jalur dan Konstribusi Pengaruh Fase
Berdasarkan gambar 7. diketahui bahwa Pengobatan, Tingkat Depresi dan Konsumsi
nilai koefisien jalur fase pengobatan (X1) Makanan Terhadap Kadar Albumin
terhadap kadar hemoglobin (Y) adalah sebesar Berdasarkan hasil interpretasi
0,396 sehingga besarnya pengaruh langsung menggunakan SPSS Statistic 23 diperoleh hasil
variabel fase pengobatan terhadap kadar sebagai berikut:
hemoglobin yakni koefisien jalur (pYX1)2 ×
100% = (0,396)2 × 100% = 15,7%. Hal ini Tabel 13. Koefisien Jalur dan Konstribusi
menunjukan bahwa fase pengobatan Pengaruh Fase Pengobatan, Tingkat Depresi
memberikan pengaruh sebesar 15,7% kadar dan Konsumsi Makanan Terhadap Kadar
hemoglobin. Nilai koefisien jalur konsumsi Albumin
makanan (X3) terhadap kadar hemoglobin (Y) Koefisien R
adalah sebesar 0,482 sehingga besarnya Variabel Sig.
Beta Square
pengaruh langsung variabel konsumsi makanan Fase 0,00
terhadap kadar hemoglobin yakni koefisien jalur 0,739 0,415
Pengobatan 5
(pYX3)2 × 100% = (0,482)2 × 100% = 15,7%. Hal 0,23
ini menunjukan bahwa fase pengobatan Tingkat Depresi 0,303
4
memberikan pengaruh sebesar 15,7% kadar Konsumsi 0,15
hemoglobin. 0,245
Makanan 4
Berdasarkan perhitungan dengan SPSS
Statistic 23 diperoleh nilai korelasi variabel fase Berdasarkan tabel 13. diketahui bahwa
pengobatan (X1) ke variabel konsumsi makanan nilai Rsquare (R2) sebesar 0,415, sedangkan nilai
(X3) (rX1X3) = 0,367 (Lampiran). Sehingga koefisien jalur variabel fase pengobatan (X 1),
pengaruh fase pengobatan (X1) terhadap kadar tingkat depresi (X2) dan konsumsi makanan (X3)
hemoglobin (Y) melalui konsumsi makanan (X3) secara berturut-turut sebesar 0,739; 0,303 dan
yakni (pYX1) × (rX1X3) × (pYX3) = 0,396 × 0,245 dengan nilai signifikansi (p-value ) X1 =
0,367 × 0,482 = 0,070 atau dengan artian 0,005 ˂ 0,05; X2 = 0,234 ˃ 0,05; dan X3 = 0,154
pengaruh fase pengobatan terhadap kadar ˃ 0,05. Dikarenakan nilai p-value X2 dab X3 ˃
hemoglobin melalui konsumsi makanan sebesar 0,05 maka Ha ditolak dan Ho diterima.
7%. Penolakan Ha berarti variabel tingkat depresi
Dari pengaruh langsung dan pengaruh dan cariabel konsumsi makan tidak berpengaruh
tidak langsung variabel independen ke variabel secara langsung terhadap kadar albumin.
dependen, maka dapat diketahui variabel total Hasil analisis dan koefisien jalur di atas
masing-masing variabel yakni pengaruh total dapat ditunjukan pada gambar 8.
fase pengobatan dan konsumsi makanan
terhadap kadar hemoglobin secara total adalah
sebesar 0,157 + 0,070 + 0,233 = 0,460 atau
dengan kata lain pengaruh total fase pengobatan

223
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

koefisien jalur (pYX1)2 × 100% = (0,591)2 ×


100% = 349%. Hal ini menunjukan bahwa fase
pengobatan memberikan pengaruh sebesar
34,9% terhadap kadar albumin. Sedangkan
besarnya pengaruh koefisien jalur diluar model
Gambar 8. Hubungan Struktural antara Fase
(error) yakni Ɛ = √ =√ = 0,807.
Pengobatan terhadap Kadar Albumin
Nilai error 0,807 menunjukan bahwa besarnya
pengaruh variabel selain fase pengobatan
Berdasarkan gambar 8. terlihat bahwa
terhadap kadar albumin adalah 0,807 atau
variabel kadar albumin (Y) hanya dipengaruhi
mencapai 80,7%.
oleh variabel fase pengobatan (X1), sehingga
Masing-masing variabel memberikan
koefisien jalur dan konstribusi fase pengobatan
presentase pengaruh yang berbeda. Pengaruh
terhadap kadar albumin dapat dilihat pada table
langsung, pengaruh tidak langsung dan
berikut.
pengaruh total antar variabel diperjelas pada
tebel 15.
Tabel 14. Koefisien Jalur dan Konstribusi
Pengaruh Fase Pengobatan terhadap Kadar
Tabel 15. Pengaruh Langsung, Tidak Langsung
Albumin
dan Total Antar Variabel
Koefisien R
Variabel Sig. Pengaruh %
Beta Square No Hubungan Variabel Tidak
Fase 0,00 Langsung Total
Langsung
0,591 0,349 Pengaruh Fase
Pengobatan 1
1 Pengobatan Terhadap - - -
IMT
Berdasarkan tebel 14. diketahui bahwa Pengaruh Tingkat
2 - - -
Depresi Terhadap IMT
nilai Rsquare (R2) sebesar 0,349, sedangkan nilai Pengaruh Konsumsi
koefisien jalur variabel fase pengobatan (X1) 3 Makanan Terhadap 40,1 - 40,1
IMT
terhadap kadar albumin (Y) (pYX1) = 0,591 dan Pengaruh Fase
p-value = 0,001 ˂ 0,05. Nilai p-value lebih kecil 4 Pengobatan - - -
Terhadap LILA
dibandingkan dengan 0,05 artinya H0 ditolak. Pengaruh Tingkat
5 - - -
Penolakan H0 dapat diartikan bahwa variabel Depresi Terhadap LILA
Pengaruh Konsumsi
fase pengobatan dapat diartikan berpengaruh 6 Makanan Terhadap 29,6 - 29,6
langsung terhadap kadar albumin. LILA
Pengaruh Fase
Hasil analisis dan koefisien jalur di atas 7 Pengobatan Terhadap 15,7 0,7 22,7
dapat digambarkan sebagai berikut: Kadar Hb
Pengaruh Tingkat
8 Depresi Terhadap kadar - - -
Hb
Pengaruh Konsumsi
9 Makanan Terhadap 23,3 0,7 30,7
Kadar Hb
Pengaruh Fase
10 Pengobatan Terhadap 34,9 - 34,9
Kadar Albumin
Pengaruh Tingkat
Gambar 9. Model Hubungan Kausal Fase 11 Depresi Terhadap Kadar - - -
Pengobatan dan Kadar Albumin Albumin
Pengaruh Konsumsi
12 Makanan Terhadap - - -
Berdasarkan gambar 9. diketahui bahwa Kadar Albumin

nilai koefisien jalur fase pengobatan terhadap


Tabel 15. menunjukkan bahwa terdapat
kadar albumin adalah sebesar 0,591 sehingga
perbedaan presentase pada pengaruh langsung,
besarnya pengaruh langsung variabel fase
tidak langsung dan total. Konsumsi merupakan
pengobatan terhadap kadar albumin yakni
penyumbang pengaruh paling banyak terhadap

224
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

status gizi yakni pada parameter IMT, LILA (2006) bahwa laki-laki memang lebih rentan
dan hemoglobin. Fase pengobatan memberikan terkena infeksi M. tuberculosis, merokok telah
pengaruh terhadap parameter kadar hemoglobin diidentifikasi sebagai salah satu dari sejumlah
dan kadar albumin. Sedangkan tingkat depresi variabel yang terkait dalam risiko angka
tidak memberikan pengaruh baik secara kejadian tuberkulosis menurut jenis kelamin di
langsuung maupun secara tidak langsung dunia. Lebih lanjut, Sarwani (2012) juga
terhadap satatus gizi untuk semua parameter. mengatakan bahwa kebiasaan merokok
meningkatkan resiko untuk terkena TB paru
sebanyak 2,2 kali.
Kebiasaan laki-laki yang kurang
Pembahasan memperhatikan kesehatannya dan kebiasaan
Pembahasan mengkaji lebih lanjut tentang hidupnya sehari-hari serta status dalam keluarga
pemaknaan temuan peneliti meliputi: pengaruh sebagai kepala keluarga yang mengharuskan
fase pengobatan, tingkat depresi dan konsumsi laki-laki lebih banyak berada diluar rumah
makanan terhadap status gizi penderita karena bekerja menimbulkan faktor pemicu
tuberkulosisi (TB) paru di wilayah kerja terjadinya penyakit tuberkolosis paru karena
puskesmas se-Kecamatan Genuk Kota berdampak pada rendahnya sistem imunitas dan
Semarang. Pada variabel status gizi terbagi atas faktor terpajan yang lebih besar (Marsaulina,
Indeks Massa Tubuh (IMT), Lingkar Lengan 2011). Sebab jika dilihat dari cara penularannya,
Atas (LILA), kadar hemoglobin (Hb) dan kadar menurut Depkes RI (2013) penularan penyakit
albumin yang akan di bahas dalam beberapa TB paru adalah penderita TB paru BTA positif
sub-sub pokok bahasan sebagai berikut: yang pada waktu batuk atau bersin penderita
menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk
Karakteristik Pasien Tuberkulosis (TB) Paru di droplet (percikan dahak). Orang dapat terinfksi
Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran
Genuk Kota Semarang pernafasan Depkes RI, 2013).
Di Kecamatan Genuk, Puskesmas dibagi Sementara itu, berdasarkan usia distribusi
atas 2 wilayah kerja yakni Puskesmas Bangetayu responden penderita TB paru di wilayah kerja
dan Puskesmas Genuk. Berdasarkan hasil puskesmas se-Kecamatan Genuk dikatahui
penelitian di 2 puskesmas tersebut diketahui bahwa penderita TB paru paling banyak berada
distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di rentang usia 46 – 65 tahun yakni berjumlah 15
yakni 19 responden (63,3%) berjenis kelamin responden (50%). Hal ini berarti penderita TB
laki-laki dan 11 responden (36,7%) berjenis paru sebagian besar beada di usia dewasa tua
kelamin perempuan, sehingga berdasarkan data dan masih merupakan usia produktif secara
tersebut dapat dikatakan bahwa sebagian besar ekonomi. Kelompok usia produktif lebih sering
penderita TB paru berjenis kelamain laki-laki. menghabiskan waktunya di luar rumah untuk
Hal ini dapat berkaitan dengan kebiasaan bekerja dan berinteraksi dengan orang lain
merokok yang lebih besar pada laki-laki, yang sehingga resiko terkena paparan menjadi lebih
menyebabkan gangguan pada sistem imunitas besar karena kemungkinan kontak dengan orang
saluran pernafasan sehingga menjadi lebih yang menderita tuberkulosis paru menjadi lebih
rentan untuk terinfeksi. Menurut Iskandar sering. Hal ini sesuai dengan laporan WHO
(2009) merokok dapat menyebabkan gangguan (2011) bahwa dua per tiga kasus TB terjadi pada
pada sistem imunitas saluran pernafasan yakni kelompok usia produktif secara ekonomi, yaitu
berupa kerusakan mukosiliar akibat racun asap 15 – 59 tahun dikarenakan aktifitas kerja yang
rokok serta menurunkan respon terhadap lebih banyak dihabiskan di luar rumah.
antigen, sehingga meningkatkan kerentanan
terjadinya tuberkulosis paru. Hal ini sejalan
dengan peryataan R.E. Watkins dan A.J Plant

225
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

Pengaruh Fase Pengobatan, Tingkat Depresi Dimana fase lanjutan merupakan fase setalah
dan Konsumsi Makanan Terhadap Indeks fase pengobatan intensif atau pengobatan TB
Massa Tubuh (IMT) paru sudah dijalani lebih dari 2 bulan sehingga
Pada penelitian yang dilakukan di jumlah bakteri M.TB telah mengalami
wilayah kerja puskesmas se-Kecamatan Genuk pengurangan, penggunaan zat gizi untuk
Kota Semarang diperoleh hasil bahwa konsumsi melawan infeksi berkurang dan zat gizi dapat
makanan berpengaruh langsung terhadap IMT digunakan secara optimal untuk proses
sebesar 40,1%. Hal ini berarti setiap peningkatan pertumbuhan sehingga status gizi dapat
konsumsi makanan sebesar 1 dapat memberikan meningkat. Hal ini juga dibuktikan dengan nilai
perubahan sebesar 0,401 pada Indeks Massa hasil korelasi fase pengobatan dengan konsumsi
Tubuh (IMT). Kebutuhan konsumsi makanan makanan sebesar 0,367 dengan nilai signifikansi
setiap individu adalah berbeda-beda. Makanan ρ = 0,046 ˂ 0,05 (lampiran). Hal ini sesuai
haruslah disesuaikan dengan kebutuhan masing- dengan pernyataan Depkes RI (2007), bila
masing individu, sebab dalam kehidupan sehari- pengobatan fase intensif diberikan secara tepat,
hari makanan selain berfungsi untuk sebagaian besar pasien TB BTA positif menjadi
kelangsungan hidup, makanan juga berfungsi BTA negative (konversi) dalam 2 bulan atau
untuk melindungi dan mempertahankan setelag masuk fase lanjutan.
kesehatan, serta berguna untuk mendapatkan Lebih lanjut Soekirman (2000)
energi. mengatakan faktor tidak langsung yang
Pada penderita TB paru kebutuhan akan mempengaruhi statsu gizi adalah keadaan sosial
energi meningkat, disamping untuk dan penyakit. Depresi adalah penyakit yang
mempertahankan fungsi normal tubuh energi berhubungan dengan keadaan sosial. Depresi
juga digunakan pada saat istrahat atau Resting adalah salah satu gangguan kesehatan mental
Energy Expenditure (REE). Menurut Pratomo yang terjadi sedikitnya selama dua minggu atau
(2012) pada penderita penyakit infeksi, lebih yang memengaruhi pola pikir, perasaan,
peningkatan kebutuhan energy mencapai 10 – 30 suasana hati (mood) dan cara menghadapi
% dari kebutuhan energi orang normal. Hal ini aktivitas sehari-hari. Faktor penyebab depresi
sejalan dengan pernaytaan Soekirman (2000) terbagi atas faktor biologi, faktor genetik dan
bahwa status gizi pada umumnya dipengaruhi faktor psikososial. Faktor psikososial adalah
oleh konsumsi makanan dan penyakit infeksi. faktor yang paling banyak menjadi penyebab
Seseorang yang konsumsi makanannya cukup depresi, diantaranya dikarenakan peristiwa
tetapi menderita penyakit infeksi dapat kehidupan dan stres lingkungan faktor
berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu pula psikoanalitik dan psikodinamik (Kaplan,
sebaliknya, seseorang yang konsumsi 2010).
makanannya kurang daya tahan tubuhnya pasti Pada penelitian sebelumnya dikatakan
lemah dan akan mudah terserang oleh penyakit bahwa depresi adalah keadaan yang sering
infeksi dan pada akhirnya akan mempengaruhi menyertai penderita TB paru. Ini terbukti dari
status gizinya. studi penelitian dimana tingginya angka
Pada penelitian ini, berdasarkan penilaian prevalensi depresi pada penderita TB.
IMT penderita TB paru di wilayah kerja Prevalensinya berkisar dari 11,3 % sampai
puskesmas se-Kecamatan Genuk Kota 80,2%, dengan rata-rata prevalensi 48,9 %
Semarang diperoleh hasil dari 30 responden (Sweetland et al., 2014). Seperti halnya studi
sebagian besar responden memiliki IMT normal. penelitian yang dilakukan di India, angka
Hal ini di karenakan sebagian besar responden prevalensi penderita TB yang mengalami depresi
memiliki konsumsi makanan yang cukup. Selain juga tinggi. Dari 110 sampel penderita TB, 62 %
itu, konsumsi makanan yang cukup tersebut mengalami depresi, 2/3 mengalami depresi
berhubungan dengan fase pengobatan responden ringan-sedang dan 5,5 % mengalami depresi
yang sebagian besar berada di fase lanjutan. berat (Basu et al., 2012).

226
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

Penelitian di atas bertolak belakang dampak posifit terhadap proses penyembuhan


dengan hasil yang ditemukan oleh peneliti. Pada pasien.
penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Selanjutnya hasil penelitian yang
Puskesmas se-Kecamatan Genuk Kota dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas se-
semarang pada 30 penderita TB paru yang Kecamatan Genuk Kota Semarang juga
mengalami depresi berat dan depresi sedang membuktikan bahwa tingkat depresi tidak
masing-masing sebanyak 5 responden (16,7%), berpengaruh langsung terhadap IMT. Hal ini
depresi ringan sebanyak 9 responden (30,0%) sesuai dengan pernyataan Ekayanti (dalam
dan depresi normal atau tidak depresi sebanyak Hartini, 2012) bahwa depresi tidak berpengaruh
11 responden (36,7%), sehingga dapat dikatakan terhadap statsus gizi namun lebih lanjut
sebagian besar responden tidak mengalami Nugroho (2000) menyatakan bahwa keadaan
depresi. Hal ini di karenakan pada penelitian depresi dapat menyebabkan penurunan nafsu
yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas se- makan yang dapat menurunkan asupan
Kecamatan Genuk Kota semarang sebagian makanan sehingga berat badan menurun dan
besar responden (63,3%) berada pada fase secara tidak langsung dapat menyebabkan
pengobatan lanjutan atau dengan kata lain penurunan status gizi. Hal ini sesuia dengan
responden telah menjalani pengobatan lebih dari hasil perhitungan nilai korelasi tingkat depresi
2 bulan. dan konsumsi makanan pada penderita TB paru
Hasil penelitian di atas sejalan dengan di Wilayah kerja Puskesmas se-Kecamatan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurkhalesa Genuk yakni sebesar 0,433 dengan nilai
(2014) terhadap 30 responden di Puskesmas signifikansi ρ = 0,017 ˂ 0,05 (lampiran).
Sumbersari Kabupaten Jember menunjukkan Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik
bahwa pada responden yang mengalami TB kesimpulan bahwa pada penelitian pengaruh
paru selama 10 – 12 bulan cenderung fase pengobatan, tingkat depresi dan konsumsi
mengalami depresi ringan sebanyak 2 orang makanan terhadap Indeks Massa Tubuh (IMT)
(6,7%), yang menderita selama 7 – 9 bulan penderita Tuberkulosis (TB) di Wilayah Kerja
cenderung mengalami depresi ringan yaitu Puskesmas se-Kecamatan Genuk kota Semarang
sebanyak 5 orang (16,7%), menderita selama 4-6 hanya konsumsi makananlah yang berpengaruh
bulan cenderung mengalami depresi sedang secara langsung terhadap IMT, sedangkan fase
yaitu sebanyak 9 orang (30%), dan yang pengobatan dan tingkat depresi tidak
menderita selama 1-3 bulan cenderung berpengaruh secara langsung terhadap IMT
mengalami depresi sedang 7 orang (23,3%). penderita TB paru, namun fase pengobatan dan
Hasil tersebut menunjukkan bahwa depresi tingakat depresi memiliki hubungan yang posifif
lebih banyak muncul pada masa awal menderita terhadap konsumsi makanan.
Tuberkulosis Paru.
Karim (2009) juga mengatakan bahwa Pengaruh Fase Pengobatan, Tingkat Depresi
pasien TB paru cenderung mengalami shock saat dan Konsumsi Makanan Terhadap Lingkar
pertama kali terdiagnosis menderita TB paru. Lengan Atas (LILA)
Semakin lama menderita TB paru, pasien akan Berdasarkan hasil penelitian yang
dapat beradaptasi dengan situasi ini. Dalam dilakukan pada penderita TB paru di wilayah
penelitian yang dilakuka Hutapea (2006) kerja puskesmas se-Kecamatan Genuk,
ditemukan dukungan keluarga dan PMO konsumsi makanan berpengaruh langsung
(penagwas Menelan Obat) dalam mendorong terhadap LILA sebesar 29,6. Hal ini berarti
penderita untuk berobat secara teratur, setiap peningkatan konsumsi makanan sebesar 1
memperhatian kemajuan pengobatan penderita, dapat memberikan perubahan sebesar 0,296
memberi bantuan transport dan tidak pada LILA. Konsumsi makanan selain berfungsi
menghindari penderita yang sakit TB member untuk kelangsungan hidup juga berfungsi
sebagai sumber protein dan energi.

227
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

Keseimbangan protein dan energi dapat makanan yakni 0,433 dengan nilai signifikansi ρ
diketahui melalui pengukuran antropometri = 0,017 ˂ 0,05 (lampiran).
diantaranya LILA. Hal ini sama dengan
pengaruh konsumsi maknanan terhadap IMT. Pengaruh Fase Pengobatan, Tingkat Depresi
Menurut Supariasa (2001), LILA dan IMT dan Konsumsi Makanan Terhadap Kadar
sama-sama merupakan pengukuran status gizi Hemoglobin (Hb)
secara langsung sacara antropometrik (ukuran Fase pengobatan berpengaruh langsung
tubuh). terhadap kadar hemoglobin sebesar 15,7%. Hal
Jika ditinjau kembali pada hasil analisis ini berarti setiap peningkatan fase pengobatan
SPSS Statistic 23, diketahui konsumsi makanan sebesar 1 dapat memberikan perubahan sebesar
sama-sama berpengaruh langsung terhadap IMT 0,157 pada kadar hemoglobin. Fase pengobatan
dan LILA, namun pengaruh langsung konsumsi merupakan tahapan yang harus dilalui oleh
makanan terhadap LILA lebih kecil penderita TB paru. Bila pengobatan TB paru
dibandingkan dengan pengaruh langsung dibarikan secara tepat, biasanya pada fase
konsumsi makanan terhadap IMT (LILA : lanjutan (setelah 2 bulan) maka akan terjadi
29,6% ˂ IMT 40,1%). Hal ini dikarenakan konversi atau pasien dari BTA posifif berubah
perubahan staus gizi dalam bentuk LILA menjadi BTA negative sehingga dapat
berlangsung cukup lama dibandingkan dengan dipastikan jumlah kuman di dalam tubuh
perubahan status gizi dalam bentuk IMT. penderita TB paru akan berkurang. Dengan
Menurut Supariasa (2001), penilaian berkurangnya jumlah kuman dalam tubuh
status gizi menggunakan pengukuran LILA seseorang maka zat makanan akan terserap
tidak dapat digunakan untuk memantau sesuai dengan kebutuhan tubuh.
perubahan status gizi dalam jangka pendek, Kadar hemoglobin yang kurang dari 13
sedangkan penilaian status gizi menggunakan g/dl pada laki-laki dan kurang dari 12 g/dl pada
IMT memberikan gambaran status gizi perempuan dapat diartikan sebagai anemia.
sekarang. Hal ini sejalan dengan penelitian Anemia merupakan indikator dari nutrisi yang
yang dilakukan oleh Harjanti dkk. (2016) buruk dan kesehatan yang buruk. Menurut
diperoleh hasil bahwa setiap 1 kilo kenaikan Monjur (2014) anemia merupakan komplikasi
berat badan, terdapat 0,00 kenaikan Lingkar tersering dari tuberkulosis paru dan
Lengan Atas, sedangkan setiap 1 kilo kenaikan prevalensinya berkisar 16 – 94% di beberapa
berat badan dapat mengubah kenaikan Indeks penelitian. Alcindo (2011) menyatakan yang
Massa Tubuh sebesar 0,923. Hasil tersebut menjadi faktor prediktif dalam kesembuhan
menunjukkan bahwa pada saat berat badan naik anemia pada penderita tuberkulosis adalah
hanya 1 kg, maka besaran ukuran LILA belum adalah respon tubuh yang baik terhadap
dapat menunjukkan peningkatan, sedangkan pengobatan, umur (≤ 65 tahun), dan kadar Hb
pada pengukuran IMT, berat badan naik sebesar awal yang baik (initial high hemoglobin). Hal ini
1 kg, maka ukuran Indeks Massa Tubuhnya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
sudah dapat diperhitungkan ada kenaikan Purnasari (2011) bahwa anemia pada penderita
sebesar 0,923. tuberkulosis paru umumnya tergolong ringan
Fase pengobatan dan tingkat depresi dan atau sedang sehingga dapat sembuh sejalan
konsumsi makanan tidak memiliki pengaruh dengan kesembuhan penyakit tuberkulosis dan
langsung terhadap LILA. Namun fase pengobatan.
pengobatan dan tingkat depresi berhubungan Selain fase pengobatan, konsumsi
dengan konsumsi makanan. Hal ini dibuktikan makanan juga berpengaruh langsung terhadap
dengan nilai korelasi fase pengobatan terhadap kadar hemoglobin penderita TB paru sebesar
konsumsi makanan yakni 0,367 dengan nilai 23,3%. Hal ini berarti setiap peningkatan
signifikansi ρ = 0,046 ˂ 0,05 (lampiran) dan nilai konsumsi makanan sebesar 1 dapat memberikan
korelasi tingkat depresi terhadap konsumsi perubahan sebesar 0,233 pada kadar

228
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

hemoglobin. Makanan merupakan sumber zat pengaruh lebih besar dibandingkan fase
besi paling utama. Makanan yang masuk pengobatan. Apabila dua responden memiliki
kedalam tubuh akan diproses dan dipecah fase pengaobatan yang sama namun salah satu
menjadi zat-zat sesuai yang terkandung dalam responden memiliki konsumsi makanan yang
makanan tersebut. Makanan yang berpengaruh cukup, maka dimungkinkan responden yang
dalam kadar hemoglobin adalah makanan yang memiliki konsumsi makanan yang cukup dapat
banyak mengandung zat besi. Menurut meningkat kadar hemoglobinnya dibanding
Muliarini (2010), zat besi yang terkandung yang lain.
dalam makanan akan dimetabolisme tubuh
untuk menjadi bahan hemoglobin. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fitri (2016) menemukan bahwa responden yang Pengaruh Fase Pengobatan, Tingkat Depresi
mengalami anemia memiliki konsumsi makanan dan Konsumsi Makanan Terhadap Kadar
yang kurang. Penelitian sejenis juga di lakukan Albumin
oleh Suryadi (2009). Dalam penelitiannya Hasil penelitian yang dilakukan di
didapatkan hubungan bermakna (p< 0,05) wilayah kerja puskesmas se-Kecamatan Genuk
antara pola makan dengan kadar hemoglobin Kota Semarang diperoleh bahwa fase
dimana konsumsi makanan yang kurang sangat pengobatan berpengaruh langsung terhadap
berisiko terjadinya anemia. kadar albumin sebesar 34,9%. Hal ini berarti
Berdasarkan perhitungan didapatkan setiap peningkatan fase pengobatan sebesar 1
bahwa kemampuan fase pengobatan dapat memberikan perubahan sebesar 0,349
berpengaruh secara tidak langsunng terhadap pada kadar albumin. Obat yang diberikan pada
kadar hemoglobin sebesar 0,7% melalui fase awal yaitu isoniazid, rifampisin dan
konsumsi makanan. Artinya setiap peningkatan pirazinamid dan pada fase lanjutan yaitu
fase pengobatan sebesar 1 kali di prediksi akan isoniazid dan rifampisin, Menurut Ascenzi
meningkatakan kadar hemoglobin sebesar 0,07 (2010), rifampisin berikatan kuat dengan
kali dengan asumsi variabel konsumsi tidak albumin pada pasien TB paru. Selain rifampisin,
berubah. Presentase pengaruh total fase obat TB paru yang lain yaitu isoniazid juga
pengobatan terhadap kadar hemoglobin melalui berikatan kuat dengan albumin. Ikatan yang
konsumsi makanan adalah 22,7%. Sedangkan kuat ini akan meningkatkan efek antimikrobial
pengaruh total konsumsi makanan melaui fase obat anti tuberculosis (OAT) sehingga
pengobatan adalah 30,3%. Apabila ditinjau menurunkan sitokin inflamasi dan mempercepat
kembali, pengaruh langsung konsumsi makanan penyembuhan. Hal ini sejalan dengan penelitian
terhadap kadar hemoglobin lebih besar yang dilakukan oleh Slamet (2013), pada
dibandingkan dengan pengaruh langsung fase penelitiannya diperoleh hasil kadar albumin
pengobatan terhadap kadar hemoglobin. Hasil responden rata-rata normal, tidak mengalami
presentase pengaruh tidak langsung dan penurunan atau hipoalbumin. Kadar albumin
pengaruh total tersebut menunjukan bahwa yang normal dalam penelitian tersebut dapat
kadar hemoglobin dapat optimal apabila dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah
responden memiliki fase pengobatan yang baik, satunya adalah karena rata-rata lama berobat
dan lebih optimal lagi apabila konsumsi responden yakni 93 hari (3 bulan) atau sudah
makanan juga baik. masuk fase lanjutan.
Fase pengobatan menjadi dasar utama Sealain fase pengobatan, yang turut
untuk mencapai kesembuhan sehingga mempengaruhi kadar albumin penderita TB
diharapkan kadar hemoglobin akan menjadi paru adalah pola makan yang baik dan
normal kembali. Fase pengobatan juga dapat konsumsi makanan yang bergizi (Slamet, 2013).
berhubungan dengan konsumsi makanan. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan
Namun koonsumsi makanan memberikan di wilayah kerja Puskesmas Se-Kecamatan

229
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

Genuk, konsumsi makanan tidak berpengaruh Salah satu cara untuk meningkatkan
langsung terhadap kadar albumin. Hal ini kadar albumin yaitu dengan memperbaiki pola
dikarenakan jenis makanan yang di konsumsi makan dan mengkonsusmsi makanan-makanan
responden sebagian besar kurang akan asupan bergizi yang banyak mengandung protein,
protein. Berdasarkan hasil food Recall 24 jam karena protein sebagai pembentuk antibodi
yang dilakukan peneliti diketahui bahwa jenis tubuh dan albumin merupakan sarana
makanan yang sering dikonsumsi responden transportasi yang membawa unsur-unsur obat
adalah bubur, nasi, nasi kucing, kerupuk, jika untuk penyembuhan TB paru. Salah satu
mengkonsumsi sumber protein yaitu penyembuhan penyakit TB paru yaitu
tempe/tahu bacem, telur, dan ikan mangut. memperbaiki status nutrisi agar daya tahan
Dalam jumlah yang desikit (1 potong). Hanya tubuh menjadi lebih baik dan bisa melawan
sebagaian kecil yang mengkonsumsi sayur- infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis tersebut.
sayuran. Berdasar penelitian yang dilakukan di
Penurunan albumin merupakan hasil wilayah kerja puskesma se-Keacamatan Genuk
peningkatan kebutuhan metabolisme untuk Kota Seamarang tentang analisisi pengaruh fase
perbaikan jaringan dan netralisasi radikal bebas. pengobatan, tingkat depresi dan konsumsi
Radikal bebas menyerang membran sel yang makanan terhadap status gizi penderita TB paru
mengakibatkan kerusakan jaringan dan yang diukur melalui parameter IMT, LILA,
menyisakan penyakit TB. Peningkatan asupan kadar hemoglobin dan kadar serum maka dapat
makan pada penderita TB akan meningkatkan dikatakan konsumsi makanan merupakan
kadar albumin (Moses (2008). Penurunan variabel yang paling dominan dalam
protein makanan akan tercermin dalam kadar mempengaruhi status gizi penderita TB paru.
albumin serum, dan kadar albumin yang rendah Hal ini tergambar pada hasil analisis statistik
dijumpai pada malnutrisi akibat malabsorpsi yang menyatakan konsumsi makanan
yaitu penyerapan makanan yang tidak sempurna berpengaruh langsung terhadap IMT, LILA dan
dari saluran pencernaan (usus halus) ke dalam kadar hemoglobin. Selanjutnya fase pengobatan
aliran darah yang menyebabkan kekurangan di ketahui berpengaruh langsung terhadap kadar
gizi, seperti halnya pada penyakit tuberkulosis hemoglobin dan kadar albumin, hal ini di
paru. Menurut Chandra (2010), peranan protein karenakan obat yang digunakan dalam
pada pengobatan TB selain memenuhi pengobatan TB paru seperti rimfapisin dan
kebutuhan gizi, meningkatkan regenerasi isoniazid berhubungan dengan peningkatan
jaringan yang rusak juga membunuh kuman TB kadar hemoglobin dan kadar albumin.
dalam tubuh. Hal ini sejalan dengan penelitian Sementara tingkat depresi diketahui tidak
Prastowo dkk. (2014) yang menyatakan bahwa berpengaruh pada status gizi penderita TB paru
kadar albumin dalam serum menurun secara dalam semua parametaer pangukuran status gizi
signifikan pada penderita TB dan penyebab dalam penelitian ini (IMT, LILA, kadar
penurunannya diduga adalah faktor gizi (asupan hemoglobin dan kadar albumin). Hal ini
makan rendah, anoreksia, peningkatan dikarenakan sebagian besar responden berada di
katabolisme), enteropati, dan reaksi protein fase fase pengobatan lanjutan sehingga tingkat
akut. Pada subjek dengan status gizi baik, proses depresi responden telah masuk kategori normal
perbaikan penyakitnya akan lebih cepat. Lebih (tidak depresi).
lanjut pratomo mengatakan peningkatan
albumin dapat mengurangi keluhan pasien SIMPULAN
seperti sesak napas dan batuk. Selain itu, jumlah
pasien pada kelompok perlakuan yang Berdasarkan hasil analisis variabel fase
mengalami anemia sampai akhir penelitian lebih pengobatan tingkat depresi dan konsumsi
sedikit dibandingkan kelompok kontrol. makanan terhadap variabel status gizi yang
terdiri dari IMT , LILA, kadar hemoglobin dan

230
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

kadar albumin, dapat ditarik kesimpulan sebagai Pada penderita tuberkulosis (TB) paru di
berikut: Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan Genuk
Pada penderita tuberkulosis (TB) paru di Kota Semarang, tingkat depresi tidak
Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan Genuk berpengaruh secara tidak langsung terhadap
Kota Semarang, fase pengobatan berpengaruh IMT, LILA, kadar hemoglobin dan kadar
langsung terhadap kadar hemoglobin dan kadar albumin.
albumin, namun fase pengobatan tidak Pada penderita tuberkulosis (TB) paru di
berpengaruh langsung terhadap IMT dan LILA. Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan Genuk
Hal ini berkaitan dengan obat yang digunakan Kota Semarang, pengaruh total fase pengobatan,
pada pengobatan TB paru yang berhubungan tingkat depresi dan konsumsi makanan terhadap
dangan kadar hemoglobin dan kadar albumin. IMT sebesar 40,1%, LILA sebesar 29,6%, kadar
Pada penderita tuberkulosis (TB) paru di hemoglobin sebesar 46% dan kadar albumin
Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan Genuk sebesar 34,9%.
Kota Semarang, tingkat depresi tidak
berpengaruh langsung terhadap IMT, LILA, DAFTAR PUSTAKA
kadar albumin dan kadar hemoglobin. Hal ini
berkaitan denga fase pengobtan responden yang Alcindor, T. & Beauger, N., 2011. Oxaliplatin:
sebagian besar sudah berada di fase lanjutan. A Review In The Era Of Molecularly
Pada penderita tuberkulosis (TB) paru di Targeted Therapy. Current Oncology 18:
Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan Genuk 18-25.
Kota Semarang, konsumsi makanan Arjana, I. G. A. 2009. Depresi Pada Lansia dan
berpengaruh secara langsung terhadap IMT , Permasalahannya. Jakarta: Agung Seto.
LILA dan kadar hemoglobin. Hal ini Ascenzi P, Bolli A, Masi A, Tundo GR, Fanali
berhubungan dengan konsumsi makanan G, Coletta M, Fasano M. Isoniazid and
responden yang sebagaian besar sudah mencapai rifampicin inhibit allosterically heme
kategori cukup. Namun konsumsi makanan binding to albumin and peroxynitrite
tidak berpengaruh secara langsung terhadap isomerization by hemealbumin. J Biol
kadar albumin. Hal ini berkaitan dengan Inorg Chem 2010;16(1):97-108.
kurangnya jenis makanan sumber protein yang Basu, G., Chatterjee, C., Singh, R., & Biswas, S.
di konsumsi oleh responden. 2012. Prevalence od depression in
Pada penderita tuberkulosis (TB) paru di tuberculosis patients : An experience from
Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan Genuk a DOTS clinic. IJRRMS 2(4)Chandra.
Kota Semarang, fase pengobatan tidak 2010. Nutrition and immunity. American:
berpengaruh secara tidak langsung terhadap The American Journal Of clinical Nutrition.
IMT, LILA, kadar hemoglobin dan kadar Chandra. 2010. Nutrition and immunity.
albumin melalui tingkat depresi. Hal ini American: The American Journal Of clinical
dikarenakan tingkat depresi tidak mempunyai Nutrition.
pengaruh langsung terhadap semua parameter Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
penilaina status gizi. 2007. Pedoman Nasional
Pada penderita tuberkulosis (TB) paru di Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi
Wilayah Kerja Puskesmas Se-Kecamatan Genuk Kedua. Cetakan Pertama. Jakarta.
Kota Semarang, fase pengobatan berpengaruh Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2014. Profil
secara tidak langsung terhadap kadar Kesehatan Kota Semarang, Semarang.
hemoglobin yaitu melalui konsumsi makanan, Fitri, L. 2016. Hubungan Pola Makan Dengan
namun fase pengobatan tidak berpengaruh Anemia Pada Pekerja Wanita di PT.
secara tidak langsung terhadap IMT, LILA dan Indah Kiat PULP And Paper (IKPP)
kadar albumin. Tbk. Perawang. Journal Endurance 1(3)

231
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

October 2016 (152-157). Akademi Moses AO, Emmanuel OO, Ganiyu AO, Fidelis
Kebidanan Helvetia Pekanbaru, Riau. AA, Dickson AO. 2008. Assessment of
Gupta KB. Gupta R., Yrma M. Vishvkmla S. antioxidants and nutritional status of
2009. Tubscu Losis And Nutrition. Lung pulmonary tuberculosis patients in
India:26(1):9-16. Nigeria. Eur J Gen Med;5(4):208-11.
Hartini. 2012. Hubungan Tingkat Depresi Nugroho, W. 2008. Keperawatan Gerontik &
Dengan Tingkat Konsumsi Energi, Geriatrik. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit
Protein Dan Status Gizi Lanjut Usia Di EGC.
Panti Wreda Surakarta. Jurnal S1 Gizi. Nurkhalesa, S. 2014. Pengaruh Lamanya
Universitas Muhammadiyah: Surakarta. Menderita Tuberkulosis Paru Terhadap
Harjanti, A.I & Ninik, C. 2016. Studi Tingkat Depresi Pada Pasien di
Komparatif Pengukuran LILA (Lingkar Puskesmas Sumbersari Kabupaten
Lengan Atas) Dan Imt (Indeks Massa Jember. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Tubuh) Dengan Berat Badan Pada Ibu Universitas Jember, Jawa Timur.
Hamil Kek (Kekurangan Energi Kronik). Pachi, Bratis, Mousses, & Tselebis.
Jurnal Ilmu Kebidanan dan 2013. Psychiatric Morbidity and Other
Kesehatan.Stikes Telogorejo Semarang. Factors Affecting Treatment Adherence
Hutapea, T.P. 2006. Pengaruh Dukungan in Pulmonary Tuberculosis
Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Patients. Greece: Psychiatric Department,
Obat Anti Tuberkulosis. Jurnal penelitian: Sotiria General Hospital of Chest Disease.
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Prastowo, A. Lestariana, W. Nurdjanah, S.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., & Grebb, J.A., 2010. Sutomo, R. 2014. Keefektifan Ekstra
Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Putih Telur Terhadap Peningkatan
Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid Dua. Editor : Albumin dan Penurunan IL-1β Pada
Dr. I. Made Wiguna S. Jakarta : Bina Pasien Tuberkulosis dengan
Rupa Aksara. Hipoalbuminemia. Mandala of Health.
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Tuberkulosis Volume 7, Nomor 3. Fakultas Kedokteran
Temukan Obati Sampai Sembuh, Jakarta. Universitas Jenderal Soedirman
Kurniawan N, Rahmalia S, dan Indriati G Purwokerto.
(2015). Faktor-Faktor Pratomo, Irandi Putra & Burhan Erlina, T.Y.
yangMempengaruhi Keberhasilan 2012. Malnutrisi dan Tuberkulosis.
Pengobatan Tuberkulosis Paru . JOM, 2 Jurnal. Depailemen Pttlmonolagi dan
(1):729-41. Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Marsaulina, I & Hasan, W. 2011. Hubungan Kedokteran IInitev.sitas ltrdouesial’
Karakteristik Penderita, Lingkungan Rumalt Sakit Persahabatan, Jakarta.
Fisik, Rumah dan Wilayah dengan Purnasari, G. 2011. Anemia Pada Penderita
Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten Tuberkulosis Paru Anak Dengan
Aceh Tenggara tahun 2009. Tesis. Medan: Berbagai Status Gizi Dan Asupan Zat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Gizi. Artikel Penelitian. Program Studi
Universitas Sumatera Utara. Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran
Muliarini. 2010. Pola Makan & Gaya Hidup Sehat Universitas Diponegoro.
Selama Kehamilan, Yogyakarta Sarwani, D., Nurlaela, S. 2012. Merokok dan
Monjur F & Rizwan F. 2014. A Cross-sectional Tuberculosis Paru : studi kasus di RS.
Study of Morphological Types of Anemia MORGONO Soekarjo Purwokerto.
in Pulmonary Tuberculosis Patient and Jurnal. FKM Uiversitas Jendral
Associated Risk Indicators in a Selected Soedirman, Purwokerto.
Hospital of Dhaka City , Bangladesh. Int Slamet. 2013. Hubungan Kadar Albumin Pada
J Chem Environ Biol Sci ;2(4):215–9. Penderita Penyakit Tuberkulosis Paru

232
Nurjannah & I Made Sudana./ Public Health Perspective Journal 2 (3) (2017) 215 - 233

Selama Masa Pengobatan di Unit Makan pada Tenaga Kerja Wanita di


Pengobatan Penyakit Paru-Paru (UP4) Tangerang, Banteng. Jurnal Kedokteran
Pontianak. Jurnal. Analis Kesehatan Yarsi, 17(1), 31–39.
Poltekkes Kemenkes Pontianak. Watkins RE, Plant AJ. 2006. Does smoking
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. explain sex differences in the global
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan tuberculosis epidemic Epidemiol, Infect
Tinggi, Departemen Pendidikan 2006; 134:333-339.
Nasional. World Health Organization (WHO). 2015.
Sugiyono. 2011. Statistik Untuk Penelitian, Global Tuberculosis Report 2015. France.
Bandung: Alfabeta. WHO Press.
Supariasa, I. D. N., Bakri, B. & Fajar, I. 2001.
Penilaian Status Gizi, jakarta: EGC.
Suyardi, M. (2009). Gambaran Anemia Gizi .
dan Kaitannya dengan Asupan serta Pola

233

Anda mungkin juga menyukai