Anda di halaman 1dari 6

Penatalaksanaan Syok Hemoragik Setelah Tindakan Pembedahan

Laparoscopy: Kasus Purpura Trombosis Trombositopenia


Postoperative
ABSTRAK
Dilaporkan keberhasilan penatalaksanaan pada pasien wanita yang menderita
purpura

trombosis

trombositopenia

(TTP)

setelah

tindakan

laparoscopy

oophorocystectomy. Pasien menjalani operasi kista ovarium dengan tindakan laparoskopi


semuanya berjalan dengan lancar. Pada pasien yang mengalami purpura trombosis
trombositopenia biasanya setelah satu jam dari pembedahan selesai, pasien akan masuk
kedalam fase syok, dengan penurunan tekanan darah hingga 60/40 mmHg. Pada tindakan
laparotomy eksplorasi dengan perdarahan di dalam kavum abdomen biasanya estimasi
kehilangan darah sekitar 2000ml. Pada mulanya, anemia dan trombositopenia merupakan
bagian dari Disseminated Intravascular Coagulation(DIC). Pemeriksaan darah pada
anemia hemolitik ditemukan eritrosit berbentuk fragment yang menyebar pada
pemeriksaan hapusan darah tepi. Dehidrogenase, ureum dan kreatinin meningkat. Jika
ditemukan tanda-tanda tersebut setelah dilakukannya pembedahan maka TTP dapat
ditegakkan. Penatalaksanaan dengan pemberian steroid dosis tinggi dan pemberian cairan
plasma namun belum efektif untuk penanganan, pemberian plasma sebanyak 3 kali baru
menunjukkan adanya hasil yang baik pada penatalaksanaan TTP. Purpura Trombosis
Trombositopenia merupakan gangguan idiopatik terjadi karena dicetuskan oleh trauma
pada saat pembedahan. TTP postoperative sulit dibedakan dengan DIC karena gejala dari
keduanya sangat mirip dibandingkan dengan kelainan hematologi lain dari tindakan
pembedahan. Pada tindakan pembedahan yang tidak memiliki masalah selama proses
tindakan dan menimbulkan gejala kelainan hematologi postoperative hal yang harus
dipikirkan pertama sekali adalah kemungkinan terjadinya Trombosis Trombositopenia
Purpura.
PENDAHULUAN
Purpura Trombosis Trombositopenia merupakan salah satu kategori dari
microangiopaty

trombosis

(MAT),

dengan

gejala

trombositopenia,

hemolisis

mikroangiopaty anemia, gangguan ginjal, gangguan saraf, dan demam. Gangguan fungsi
dari agregasi trombosit intravaskular merupakan gejala yang khas dari purpura trombosis
trombositopenia, dimana terdapat perdarahan yang menetap dengan nilai mortalitas yang

tinggi. Purpura trombosis trombositopenia merupakan gangguan yang jarang terjadi


dengan estimasi kejadian sekitar 3,7 kasus dari satu juta penduduk. Meskipun Purpura
trombosis trombositopenia tidak diketahui penyebabnya, tetapi terkadang merupakan
komplikasi dari pembedahan. Purpura trombosis trombositopenia dengan etiologi post
operatif masih belum jelas, meskipun trauma pembedahan merupakan penyebab yang
paling mungkin dapat dipercaya saat ini.
KASUS
Seorang wanita 36 tahun yang menjalani tindakan pembedahan laparoskopi
oophorocystectomy pada kista ovarium yang besar. Pasien ini memiliki riwayat
pengobatan yang tidak teratur sebelum tindakan operasi,tetapi dari pemeriksaan fisik dan
laboratorium menunjukkan banyak kelainan. Dari pemeriksaan tidak ditemukan adanya
indikasi resiko perdarahan.
Operasi pada pasien ini menggunakan pembiusan umum dengan induksi propofol
90mg dan vecuronium 6mg, maintained dengan sevoflurane dan fentanyl hingga operasi
selesai. Setelah operasi selesai dengan estimasi kehilangan darah yang tidak significant,
keadaan umum pasien stabil, dengan TD 90/40mmHg dimana tekanan darah sama seperti
sebelum operasi. Tetapi setelah pasien dibawa ke ruang rawat tekanan darah turung
hingga 60/40 mmHg, kemudian dilakukan resusitasi cairan dan pemberian dopamin drip
5mcg/kgBB, tetapi tidak menunjukkan adanya hasil. Hipotensi pada pasien ini diduga
karena adanya perdarahan di dalam kavum peritoneum. Laparotomy emergensi dilakukan
untuk mengeluarkan perdarahan yang terjadi di kavum abdomen sekitar 2000ml. Kurang
dari 4 jam 20 menit perdarahan masih bisa dikontrol. Kemudian dilanjutkan dengan
pemberian dobutamin dan dopamin dengan dosis 10 ug/kg/bb, dengan transfusi 24 kolf
darah dan 8 kolf plasma (FFP). Estimasi total kehilangan darah adalah 6.000 ml
kemudian pasien dipindahkan ke ruang rawat ICU untuk dilakukan pengawasan ketat.
Pemeriksaan darah dilakukan apabila ada indikasi yaitu anemia ringan dengan nilai
hemoglobin 11.0 g/dl. Trombosit pasien ini meurun dari 271.000 menjadi 98.000
meskipun perdarahannya minimal pada operasi kedua. Perdarahan masif yang terjadi
diduga karena adanya koagulasi intravaskular diseminata (DIC) atau yang disebut dengan
trombositopenia konsumsi. Gabeksat mesilat diberikan dengan dosis 1500 mg. kemudian
dilakukan transfusi darah untuk mencegah trombositopenia dan anemia. Total cairan
plasma yang diberikan adalah 6 unit untuk mengganti faktor koagulan, tetapi hemoglobin
dan trombosit menurun dengan sangat cepat, yaitu 9.1 g/dl dan 83.000/ul. Batas terendah

dari nilai hemoglobin dan trombosit adalah 7.0 g/dl dan 61.000/ul. Dari data laboratorium
tidak menunjukkan adanya perbaikan selama 6 jam berlangsung.
Hari pertama post operasi, pasien mengeluhkan kekuningan dan BAK berwarna
coklat kehitaman, demam dengan suhu badan 37.0 C, dan bintik-bintik merah dibadan.
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan nilai LDH 1.524 IU/I, kadar urea (BUN) 34
mg/dl, kreatinin 2.8 mg/dl dan trombosit <10.000/ul. Pada pemeriksaan apusan darah
tepi didapatkan sel darah merah berbentuk fragmen, oleh karena itu diberikan haptoglobin
4.000 unit kedalam penatalaksanaan pasien ini dengan kecurigaan adanya hemolisis
microangiopati anemia. Pada pemeriksaan Coombs langsung dan tidak langsung,
pemeriksaan antibodi, dan antiplatelet antibodi semuanya negatif. Nilai koagulasi
menunjukkan nilai trombin time (PT) adalah 14.6 s, activated partial thromboplastin time
(APTT) adalah 36.3 s, serum fibrinogen adalah 165mg/dl dan serum fibrinogenifrin
degradation products (FDP) adalah 40-80 ul/ml. Hari kedua post operasi, pasien
mengeluh sakit kepala, dan terkadang mengalami hilang ingatan. Mengingat dari data
laboratorium dan gejala klinis terjadi bersamaan, purpura trombosis trombositopenia yang
terjadi diduga berhubungan dengan operasi. Untuk itu dapat diberikan metilprednisolon
dengan dosis 3.000 mg/hari selama 3 hari dimulai pada hari ketiga post operasi.
Hari ke lima post operasi, dari pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai Hb 3.9
g/dl, LDH 9.436 IU/I, trombosit < 10.000/ul, ureum 101mg/dl, kreatinin 5.1mg/dl.
Kemudian terjadi peningkatan pada LDH, Ureum, dan kreatini yaitu 9,718 UI/I, 105 g/dl
dan 5,6 mg/dl. Cairan plasma yang diberikan pada hari ke 6 dan 7 sudah mencapai 40 unit
FFP. Terjadi perbaikan pada data laboratorium setelah diberikan 2 unit cairan plasma, dan
trombosit meningkat menjadi 129.000/ul, Hb 7.1 g/dl dan LDH 1,936 IU/I. Oleh karena
itu, pemberian cairan plasma ditunda karena adanya perbaikan pada data laboratorium.
Hari ke sebelas post operasi, bagaimanapun, purpura trombosis trombositopenia
akan kambuh dengan cepat, dengan peningkatan nilai LDH 3,169 UI/I dan penurunan
nilai trombosit 70,000/ul, diduga adanya impending purpura trombosis trombositopenia
dan sudah diberikan cairan plasma ketiga.
Hari ke tiga belas post operasi, terlihat perbaikan pada data laboratorium: LDH
1,286 IU/I dan trombosit 190.000/ul. Pasien dipulangkan pada hari ke 33 dengan keadaan
umum baik dan tidak ada tanda kekambuhan dari purpura trombosis trombositopenia.

DISKUSI
Trombosis microangiopati anemia merupakan kelainan patologis yang ditandai
dengan trombositopenia dan hemolitik anemia. Ada 2 jenis penotif dari trombosis
microangiopati anemia yaitu purpura trombosis trombositopenia dan sindrom hemolitik
uremik

(HUS).

Bagaimanapun,

diagnosis

banding

antara

purpura

trombosis

trombositopenia dan sindrom hemolitik uremik adalah sulit. Saat ini, trombosis
microangiopati anemia merupakan terdiri dari dari purpura trombosis trombositopenia
atau sindrom hemolitik uremik.
Penatalaksanaan purpura trombosis trombositopenia mungkin bisa dengan
mempercepat pembedahan, sehingga kesalahan diagnosis pada koagulasi intravaskular
diseminata (DIC) atau trombositopenia konsumsi merupakan konsekuensi dari tidak
khasnya gejala klinis. Analisis survivalnya hanya sebesar 10% sebagai hasil dari infark di
serebral dan gagal ginjal, tetapi sekarang meningkat dengan pemberian plasmaparesis dan
FFP. Saat ini, estimasi nila survivalnya sebesar 90%.
Laporan terbaru menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara protein
willebrand cleaving (ADAMTS13) dengan proses terjadinya Purpura trombosis
trombositopenia. Jika kekurangan protein ADAMTS13, biasanya faktor besar dari Von
Willeband (ULvWF) akan terstimulasi dalam darah dan akan melekat di sirkulasi
trombosit dibawah tekanan tinggi. Hasilnya, trombosit konsumsi akan bertambah dan
eritrosit akan berbentuk fragmen oleh karena adanya trauma mekanis. Bianchi

melaporkan bahwa kekurangan ADAMTS13 (<5% ) adalah temuan yang khas dalam
pemeriksaan pada Purpura trombosis trombositopenia.
Penatalaksanaan yang paling efektif pada purpura trombosis trombositopenia yang
dilaporkan adalah dengan plasmaparesis yaitu dengan mengganti cairan plasma.
Penggantian plasma dipertimbangkan untuk mengeluarkan ULvWF dan antibodi inhibitor
atau cukup menggantikan proetin vWF. Saat ini, keefesiensian dari penggantian plasma
pada purpura trombosis trombositopenia sudah diterima.
Pada umumnya, transfusi trombosit merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
TTP, karena penyebaran secara mikrovaskukar dapat meluas jika mendapatkan transfusi
trombosit. Pada penelitian Coppo dkk melaporkan dua pasien dengan TTP yang
mendapatkan penggantian plasma dengan transfusi trombosit. Trombosit meningkat
setelah dilakukan transfusi dan tidak terlihat perburukan pada keadaan umum pasien.
Meskipun transfusi trombosit menunjukkan hasil yang tidak menguntungkan namun ini
masih belum jelas. Dengan demikian transfusi trombosit hanya digunakan jika
perdarahan yang mengancam nyawa.
Purpura trombosis trombositopenia biasanya idiopatik. Namun, ada laporan kasus
pasca operasi yang menimbulkan komplikasi TTP, termasuk setelah operasi vaskuler,
bedah ortopedi, dan bedah abdomen, dan setelah kehamilan TTP. Menurut hipotesis
kerusakan endotel kapiler dalam jumlah besar ditemukan dari ULvWF. Pembedahan
abdomen tertentu dapat merusak endotel kapiler, mengingat bahwa organ perut dan tumor
memiliki kaya pasokan darah.
Dikatakan bahwa pentad komplit dari TTP jarang diamati. Penelitian yang
dilakukan Naqvi, mencatat bahwa trombositopenia dan hemolisis mikroangiopaty adalah
memadai untuk menghambat pertukaran plasma, bahkan jika tiga fitur lain dari TTP
belum terwujud.
Hasil pemeriksaan patologi pada kista ovarium pasien ini adalah musinosum kista
adenoma dan kista endometrium. Sejauh ini, tidak ada indikasi untuk dilakukan
kemoterapi setelah operasi. Penyebab pasti dari TTP itu masih diperdebatkan, seperti
kasus sebelumnya, spekulasi nilai dari ADAMTS13 dapat menjadi alasan, atau bahkan
kerusakan endotel yang menjadi pencetus adanya TTP. Jika kista yang sudah sangat tinggi
terdeteksi di dalam vaskularisasi, TTP mulai ada setidaknya sejak awal operasi.
Disamping itu pada pasien ini, TTP kembali kambuh pada hari ke-11 pasca operasi
setelah mendapatkan penggantian 2 kantong plasma. Hal ini dianggap bahwa penggantian
plasma tersebut belum adekuat dalam British Guidelines merekomendasikan penggantian
plasma tetap dilanjutkan selama minimal 2 hari setelah jumlah trombosit kembali normal.

KESIMPULAN
Kesimpulannya pasca operasi TTP bisa terjadi kesalahan diagnosa yaitu sebagai
DIC karena temuan gejala klinis dan hasil laboratorium dari kedua gangguan tersebut
serupa. Baik gejala klinis spesifik atau kriteria biologis. Kejadian pasca operasi TTP
bagaimanapun tidak jarang. Kita harus memikirkan kemungkinan terjadinya TTP pada
pasien dengan trombositopenia pascaoperasi dan anemia hemolotik. Segera lakukan
penggantian plasma sebagai lifesaving.

Anda mungkin juga menyukai