Anda di halaman 1dari 22

SLE DENGAN KEHAMILAN

Oleh:

dr. Irfan Kurnia

PPDS Obtetri dan Ginekologi

Pembimbing :

Dr. dr. Vaulinne Basyir, Sp.OG , Subsp. KFM (K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUPDR. M. DJAMIL PADANG

2022
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)

OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS


RSUP M. DJAMIL PADANG

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : dr. Irfan Kurnia

Semester : VI (Sub. Bagian)

Pembimbing : Dr. dr. Vauline Basyir, Sp.OG (K), Subsp. KFM (K)

Telah menyelesaikan Referat dengan judul :

SLE dengan Kehamilan

Padang, 13 Februari 2022


Mengetahui/menyetujui Peserta PPDS
Pembimbing Obstetri & Ginekologi

Dr. dr. Vaulinne Basyir, Sp.OG (K), Subsp. KFM (K) dr. Irfan Kurnia

Mengetahui
KPS PPDS OBGIN
FK UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG

dr. Bobby Indra Utama, SpOG(K)-Urogin


DAFTAR ISI

BAB I.......................................................................................................................2

PENDAHULUAN...................................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................4

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................4

2.1. DEFINISI.................................................................................................4

2.2. Patogenesis...............................................................................................4

2.3. Manifestasi Klinis....................................................................................7

2.4. Diagnosis..................................................................................................8

2.5. Pengaruh Kehamilan Terhadap SLE........................................................9

2.6. Penatalaksanaan.....................................................................................12

BAB III..................................................................................................................15

KESIMPULAN.....................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

1
BAB I
PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE)


merupakan penyakit autoimun multisistem yang berat. Pada keadaan ini tubuh
membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibody terhadap antigen nuklear
(ANAs) sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ. Penyakit ini ditandai
dengan adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis
yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE terutama
menyerang wanita usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik, hormonal serta
lingkungan berperan dalam proses patofisiolog.
Survival rate SLE berkisar antara 70-85% dalam 5-10 tahun pertama dan
53-64% setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3-5
kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Kehamilan dengan SLE dapat
menyebabkan komplikasi baik pada ibu maupun pada janin apabila
penanganannya tidak baik. Komplikasi yang sering terjadi pada kehamilan dengan
SLE biasanya terjadi pada ibu adalah lupus flares, memperparah penurunan fungsi
ginjal, memperburuk dari gejala hipertensi, meningkatkan resiko preeklampsi, dan
komplikasi pada janin biasanya menyebabkan abortus, kelahiran preterm, dan
sindrom lupus neonatal (Yamamoto, 2016).
Nefritis lupus, salah satu dari manifestasi paling serius dari lupus
erimatosus sistemik (SLE). Biasanya pada nefritis lupus muncul dalam 5 tahun
setelah diagnosis. Nefritis lupus tampak jelas secara histologis pada kebanyakan
pasien dengan lupus erimatosus sistemik, bahkan mereka yang tidak menunjukkan
manifestasi klinis penyakit ginjal (Brent LH, 2008).
Secara histologis, ginjal terpengaruh sampai derajat tertentu pada pasien
lupus erimatosus sistemik (SLE). Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara
klinis pada pasien lupus erimatosus sistemik (SLE) berkisar antara 30-90% pada
studi-studi yang sudah dipublikasikan. Karena prevalensi lupus erimatosus sitemik
lebih tinggi pada wanita ( rasio wanita : pria= 9:1 ), nefritis lupus juga lebih sering
dijumpai pada wanita. Kebanyakan pasien dengan lupus erimatosus sistemik
(SLE) terkena nefritis lupus pada awal perjalanan penyakitnya. Lupus erimatosus
sistemik
2
lebih sering terjadi pada wanita di dekade tiga kehidupannya, dan nefritis lupus
juga sering terjadi pada pasien usia 20-40 tahun.
Morbiditas dari nefritis lupus terkait dengan penyakit ginjalnya sendiri,
selain komplikasi pengobatan dan komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular
dan trombosis. Gagal ginjal progresif dapat berakhir pada anemia, uremia dan
gangguan asam basa serta elektrolit. Komplikasi infeksi yang terkait SLE aktif
dan pengobatan imunosupresi saat ini merupakan penyebab utama kematian pada
SLE fase awal yang aktif (Brent LH, 2008).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan suatu penyakit autoimun
multiorgan yang utamanya menyerang wanita usia reproduktif. Interaksi antara
LES dan kehamilan merupakan suatu kepentingan klinis. Kehamilan dapat
membuat pasien rentan terhadap lupus flare, terutama jika penyakitnya tidak
terkendali secara memadai saat onset konsepsi. Umumnya direkomendasikan
bahwa penyakit telah tenang selama setidaknya enam bulan (beberapa ahli
menyarankan satu tahun pada kasus lupus nefritis) sebelum diperbolehkan hamil.
SLE memberi pengaruh terhadap kehamilan diantaranya dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas fetus, kelahiran preterm, Intrauterine Growth
Restriction (IUGR). Risiko terjadinya preeklampsi juga meningkat pada pasien
SLE. Hal ini meningkat 2 hingga 4 kali lipat dibanding populasi secara umum.
Hal ini dapat memberat jika pasien sebelumnya memiliki riwayat pre-eklampsi.
Komplikasi yang sering terjadi pada kehamilan dengan SLE adalah lupus flares,
penurunan fungsi ginjal, memperburuk dari gejala hipertensi, meningkatkan resiko
preeklampsi, dan komplikasi pada janin biasanya menyebabkan keguguran,
kelahiran preterm dan sindrom lupus neonatal.

2.2. Patogenesis
Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE
adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet danobat-obatan.
Obat-obatan yang diduga mencetuskan SLE adalah procainamine, hidralasin,
quidine dan sulfazalasine. Pada SLE ini sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen.
Target antibodi pada SLE ini adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel,
dinding sel,sitoplasma dan partikel nukleoprotein. Karena didalam tubuh terdapat
berbagai macam sel yang dikenali sebagai antigen maka akan muncul berbagai
macam autoantibodi pada penderita LES. Peran antibodi antibodi ini dalam
menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui,beberapa ahli melaporkan
kerusakan

4
organ/sistem bisa disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui
pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem
komplemen untuk melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk
membebaskan vasoaktif amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskuler yang akan memudahkan mengendapnya kompleks imun.
Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ/sistem sehingga
menimbulkan reaksi peradangan pada organ/sistem tersebut. Sistem komplemen
juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan
jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi klinis SLE
tergantung dari organ/sistem mana yang terkena. Pada plasenta proses tersebut
akan menyebabkan terjadinya vaskulitis desidua (Cunningham, 2014).

Gambar 1. Patogenesis SLE (Cunningham, 2014).

Faktor lingkungan memegang peranan penting, melakukan interaksi


dengan sel yang suseptibel sehingga akan menghasilkan respon imun yang
abnormal dengan segala akibatnya. Faktor genetik mempunyai peran penting, di
mana 10-20
% pasien penderita LES mempunyai kerabat penderita LES. Adapun gen yang
berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan
dengan haplotip MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan
komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikat komplemen telah
terbukti.Gen-gen lain yang berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel
5
T,immunoglobulin dan sitokin(Gluhovschi, 2015).
Ditemukan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun. Pada
LES, cirinya adalah adanya gangguan sistem imun pada sel T dan sel B serta pada
interaksi antara kedua sel tersebut, hal ini akan menimbulkan aktifasi sistem
neuroendokrin . Di dalam tubuh sebenarnya terdapat kelompok limfosit B yang
memproduksi autoantibodi maupun sel T yang bersifat sitotoksik terhadap diri
sendiri (Lateefa, 2013)
Populasi sel yang autoreaktif ini diatur dan dikendalikan oleh sel limfosit
T supresor. Kegagalan mekanisme kendali mengakibatkan terbentuknya
autoantibodi yang kemudian membentuk kompleks imun atau berkaitan dengan
jaringan. Sel T sitotoksik dapat menyerang sel tubuh secara langsung, sambil
mengeluarkan mediator yang mengakibatkan reaksi peradangan. Antibodi dan
komplemen yang melapisi sel tersebut mengakibatkan perusakan sel oleh sel
fagosit dan Killer cell (Yamamoto, 2016)
Bagian yang penting dalam patogenesis ini adalah terganggunya
mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis
pada individu yang resisten. Dalam keadaan normal, kompleks imun dimusnahkan
oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan
komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor yang
penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dimusnahkan
oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan,
karenanya dapat lebih lama berada dalam sirkulasi (Yamamoto, 2016).
Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab
mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada
di sirkulasi dalam jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya.
Permasalahan akan timbul bila kompleks tersebut mengendap di jaringan.
Terjadinya pengendapan kompleks imun dikarenakan ukuran kompleks imun yang
kecil dan permeabilitas vaskuler yang meninggi, antara lain disebabkan oleh
pelepasan histamin. Kompleks imun lebih mudah diendapkan pada tempat-tempat
dengan tekanan darah yang tinggi yang disertai turbulensi, misalnya dalam kapiler
glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan siliar mata. Akibat
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut, peristiwa ini menyebabkan

6
aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi
radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada
organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit dan sebagainya (Yamamoto, 2016).

2.3. Manifestasi Klinis


Penderita LES umumnya mengeluh lemah, demam, malaise, anoreksia dan
berat badan menurun. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai
tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap
serta cenderung melibatkan multiorgan. Manifestasinya bisa ringan sampai berat
yang dapat mengancam jiwa.

Tabel 1. Manifestasi klinis (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)


Sistem Organ Manifestasi Klinis Persentase (%)
Sistemik Mudah lelah, lemah, demam, penurunan 95
berat badan
Muskuloskeletal Athralgia, mialgia, poliarthritis, miopati 95
Hematologik Anemia, hemolisis, leukopenia, 85
trombositopenia, dll
Kutaneus Ruam malar, ruam discoid, ruam kulit, 80
photosensitif,dll
Neurologik Sindrom otak organik, psikosis, serangan 60
kejang
Kardiopulmoner Pleuritis, perikarditis, miokarditis, 60
endokarditis Libmann Sacks.
Renal Proteinuria, sindrom nefrotik, gagal ginjal 50
Gastrointestinal Anoreksia, nausea, diare, vaskulitis 45
Trombosis Arterial(5%) dan venosa(10%) 15
Okuler Konjungtivitis 15
Kehamilan Abortus berulang, preeklampsia, kematian 30
janin dalam rahim

7
2.4. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis SLE hendaknya dilakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik serta penunjang diagnosis yang cermat sebab manifestasi SLE

sangat luas, dan seringkali mirip dengan penyakit lainnya terutama pada

kehamilan. Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

laboratorium. American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982,

mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria

saja maka diagnosis SLE sudah dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah:

Tabel 2. Manifestasi klinis (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)


No Kriteria Defenisi
1 Ruam Malar Ruam berupa erithema terbatas,rata atau
meninggi,
letaknya di daerah macular, biasanya tidak
mengenai
lipat nasolabialis.
2 Ruam Discoid Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi
dengan sisik keratin yang melekat disertai
penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama
mungkin
terbentuk sikatriks.
3 Fotosensitifitas Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal
terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui
melalui
anamnesis atau melalui pengamatan dokter.
4 Ulkus mulut Ulcerasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak
nyeri, diketahui melalui pemeriksaan dokter.

5 Arthritis Arthritis non erosive yang mengenai 2 sendi


perifer
. ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi
6 Serositis a. Pleuritis: adanya riwayat nyeri pleural atau
terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh
dokter atau adanya efusi pleura.
b. Perikarditis: diperoleh dari gambaran EKG
atau terdengarnya bunyi gesekan perikard
atau adanya efusi perikard.
7 Gangguan Renal a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau >3+
atau
b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit,

8
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8 Gangguan Neurologi a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya
obat-obat yang dapat menyebabkan atau
kelainan metabolik seperti uremia,
ketoasidosis, dan gangguan keseimbangan
elektrolit atau
b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya
obat-obatan yang dapat menyebabkan
kelainan metabolik seperti uremia,
ketoasidosis dan gangguan keseimbangan
elektrolit.
9 Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2x
Hematologi pemeriksaan atau lebih atau
c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2x
pemeriksaan atau lebih atau
d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3
tanpa adanya obat yang mungkin
menyebabkannya.
10 Gangguan Imunologi a. Adanya sel LE atau
b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA
dengan titer abnormal atau
c. Anti Sm : adanya antibodi terhadap antigen
inti atau otot polos atau
d. Uji serologis untuk sifilis yang positif semu
selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat
oleh uji imobilisasi Treponema pallidum atau
uji fluoresensi absorbs antibodi treponema.
11 Antibodi antinuclear Titer abnormal antinuclear antibodi yang diukur
dengan cara imuno fluoresensi atau cara lain yang
positif(ANA) setara pada waktu yang sama dan dengan tidak
adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindroma
lupus karena obat.

2.5. Pengaruh Kehamilan Terhadap SLE


Masih belum dapat dipastikan apakah kehamilan dapat mencetuskan SLE,
eksaserbasi SLE pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi SLE dan
keterlibatan organ vital seperti ginjal. Penderita SLE yang telah mengalami remisi
lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat
hamil dan 90% luaran kehamilannya baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi SLE
sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka risiko eksaserbasi SLE pada saat hamil
menjadi 50% dengan luaran kehamilan yang buruk. Apabila kehamilan terjadi
pada saat SLE sedang aktif maka risiko kematian janin 50-75% dengan angka
kematian
9
ibu menjadi 10%. Dengan meningkatnya umur kehamilan maka risiko eksaserbasi
juga meningkat yaitu 13% pada trimeseter I, 14% pada trimester II, 53% pada
trimester III serta 23% pada masa nifas (Cuningham,2014).
Pada penderita LES, gangguan imunoregulasi seluler seperti peningkatan
aktivitas sel T penolong dan inhibisi sel T penekan akan menyebabkan
peningkatan proliferasi dan aktifitas sel B sehingga menimbulkan hiperaktifitas
respon imunitas humoral.

Peningkatan aktifitas respon imunitas humoral akan menyebabkan


terjadinya produksi autoantibodi poliklonal yang berlebihan terhadap antigen
tubuh sendiri seperti antibodi terhadap komponen inti sel, struktur sitoplasma, sel
mononuclear (MN), polimorfonuklear (PMN), trombosit, eritrosit dan berbagai
bentuk molekul antigenik tubuh lainnya seperti imunoglobulin tertentu dan
phospolipid. Autoantibodi yang berikatan dengan antigennya akan menyebabkan
terbentuknya komplek imun.
Kompleks imun selanjutnya akan mengaktifasi sistem komplemen untuk
melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan
vasoaktif seperti histamine yang menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas vaskuler terutama pada arteri kecil dan arteriole. Peningkatan
permeabilitas vaskuler ini akan menyebabkan terjadinya pengendapan kompleks
imun pada sel endotel arteri dan arteriol jaringan, yang selanjutnya akan
menginduksi terjadinya agregasi trombosit, membentuk mikrotrombus pada
jaringan kolagen membran basalis sel endotel. Sel radang seperti PMN, MN,
basofil, dan sel mast, yang tertarik ke arah lesi oleh peptide kemotaktik
komplemen, tidak mampu untuk melakukan fagositosis terhadap seluruh endapan
kompleks imun ini dan akan membebaskan enzim lisosomal yang merupakan
mediator inflamasi yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan vaskuler yang
lebih jauh. Pada LES aktif dapat dijumpai infiltrasi perivaskuler oleh sel MN.
Selanjutnya sistem komplemen akan membentuk membrane attack
complex yang akan menyebabkan terjadinya lisis selaput sel sehingga akan
memperberat kerusakan jaringan yang telah terjadi. Pada plasenta proses ini akan
menyebabkan terjadinya vaskulitis desidual. Selain gangguan respon imunitas
seluler dan humoral

10
pada ibu penderita LES, terbentuk pula antibodi maternal seperti antibodi terhadap
membran phospolipid sel yang bermuatan negatif yang lebih dikenal sebagai
antibody antifosfolipid (APL). Terdapat dua jenis APL yang berperan penting
pada LES yaitu lupus anti coagulant (LAC) dan antibodi anti kardiolipin (ACL).
Kedua jenis antibodi ini telah diketahui berhubungan dengan kejadian abortus
habitualis pada wanita hamil tanpa kelainan ginekologis atau gangguan fertilitas
yang jelas.
Dengan demikian secara ringkas dapat disimpulkan bahwa terjadinya
abortus spontan atau kematian janin sangat mungkin disebabkan oleh vaskulitis
desidual plasenta, diathesis trombotik akibat pengaruh LAC dan ACL,
trombositopenia serta hipokomplementemia pada calon ibu penderita LES.
Kelainan di atas akan menyebabkan berkurangnya ukuran berat plasenta, dan
penebalan membrane basalis trofoblas yang akan mengganggu aliran darah ke
arah plasenta sehingga menyebabkan terjadinya deprivasi janin sampai abortus
atau kematian janin.
Wanita penderita LES juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
melahirkan bayi dengan sindroma lupus neonatal (SLN), bahkan lama sebelum
mereka sadari. SLN berhubungan dengan terjadinya perlintasan transplasental dari
antibodi IgM terhadap protein ribonuklear janin seperti Anti-Ro (SS-A), Anti-La
(SSB) dan Anti-RNP. Gejala klinik yang paling sering dijumpai pada SLN adalah
lesi kutaneus lupus subakut yang bersifat fotosensitif, sedangkan blok jantung
kongenital relatif jarang dijumpai. Namun demikian, pada beberapa kasus dapat
dijumpai pula manifestasi kelainan tersebut secara bersamaan.
Wanita penderita LES umumnya tidak mengalami gangguan dalam fungsi
reproduksinya dan dapat mengalami kehamilan kecuali jika penyakit yang
dideritanya telah sangat berat dan aktif. Gangguan fertilitas pada wanita penderita
LES lebih berhubungan dengan keterlibatan organ vital terutama ginjal. Kelainan
organ vital merupakan kontraindikasi bagi wanita penderita LES untuk hamil.
Dengan berkembangnya penatalaksanaan LES seperti yang umum digunakan
sekarang, prognosis penderita LES saat ini jauh lebih baik dibandingkan masa
lalu. Saat ini kemungkinan untuk hamil dan melahirkan normal meningkat.
Walaupun pada eksaserbasi LES selama kehamilan menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas ibu terutama pada masa peripartum.

11
Prognosis ibu pada penderita LES lebih banyak ditentukan pada saat
konsepsi. Bila konsepsi pada masa tenang, prognosisnya lebih baik. Hal ini bisa
dicapai dengan manipulasi terapeutik selama beberapa bulan sebelum konsepsi.
Selama ini dilakukan evaluasi klinis dan laboratorium secara ketat. Pada penderita
LES yang ingin hamil, kehamilan ditunda selama minimal 6 bulan dalam kondisi
terkontrol, sebelum konsepsi dilakukan (Gluhovschi, 2015).
Pengaruh kehamilan terhadap LES pada janin adalah adanya kemungkinan
peningkatan resiko terjadimya congenital heart block sebesar 2%. Kejadian ini
berhubungan dengan adanya antibodi anti Ro/SSA atau anti La/SSB. (Diagnosis
dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011).

2.6. Penatalaksanaan
Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan SLE dengan kehamilan
yaitu:
1. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit SLE
2. Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari autoantibodi maternal
sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya
lupus eritemtousus neonatal.
Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara ahli kebidanan dan
ahli penyakit dalam dalam merawat penderita SLE yang hamil. Pada umumnya
penderita SLE mengalam fotosensitifitas, sehingga disarankan untuk tidak terlalu
banyak terpapar sinar matahari. Mereka disarankan untuk menggunakan krem
pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan
dibawah sinar matahari. Karena infeksi mudah terjadi maka penderita juga
dinasehatkan agar memeriksakan diri bila mengalami demam. Pada penderita
yang akan menjalani prosedur invasif diberikan antibiotika profilaksis. Modalitas
utama pengobatan SLE adalah pemberian kortikosteroid, anti inflamasi non
steroid, aspirin, anti malaria dan imunosupresan.
Pemberian kostikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada
kehamilan dengan SLE karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita SLE
yang hamil akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid jangka
panjang

12
seperti prednison, prednisolon, hidrokortison pada kehamilan umumnya aman,
oleh karena glukokortikoid itu segera akan mengalami inaktifasi oleh enzim 11-
beta- hidroksidehidrogenase menjadi metabolik 11-keto yang inaktif, sehingga
hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. Pada manifestasi klinis
SLE yang ringan umumnya diberikan prednison oral dalam dosis rendah 0,5
mg/kgBB/hari sedangkan pada manifestasi klinis yang berat diberikan prednison
dosis 1 mg- 1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1
gram atau 15 mg/kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan untuk mengganti
glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak memberikan
respon pada terapi oral. Setelah pemberian glukokortikoid selama 6 minggu, maka
harus mulai dilakukan penurunan dosis obat secara bertahap, 5-10% setiap
minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul eksaserbasi akut dosis
harus dikembalikan seperti dosis sebelumnya. Pemakaian glukokortikoid yang
berkepanjangan pada waktu hamil dalam dosis tinggi dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah dini, diabetes gestasional,
hipertensi,dan osteoporosis.

Nama Obat Kehamilan Menyusui


NSAID Boleh (hindari >32mgg) Boleh
Antimalaria Boleh Boleh
Boleh
Boleh sebaiknya dosis tidak
Kortikosteroid sampai
lebih 7.5mg/hari
20mg/hari
Siklosporin Boleh Boleh?
Boleh sebaiknya dosis tidak
Azatioprin Boleh?
lebih dari 1,5-2mg/kg/hari
Mikofenat mofetil Tidak Tidak
Tidak, harus stop 3 bulan
Metroteksat Tidak
sebelum konsepsi
Siklofosfamid Tidak Tidak

13
Warfarin Tidak (masih pertimbangan) Boleh
Heparin Boleh Boleh
Aspirin dosis rendah Boleh Boleh
Tabel 3. Obat-obatan pada kehamilan dan menyusui. (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011)

Pemberian imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak respon


terhadap terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofosfamid diberikan bolus
intravena 0,5 gr/m2 dalam 150 cc NaCL0,9% selama 60 menit diikuti dengan
pemberian cairan2-3 liter/24 jam. Indikasi pemberian siklofosfamid adalah :
1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi
2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi
3. Penderita SLE yang kambuh setelah terapi steroid jangka panjang/berulang
4. Glomerulonefritis difus awal
5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa disertai
dengan faktor ekstra renal lainnya
7. SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Pemberian siklofosfamid pada wanita hamil tersebut tidak dianjurkan
secara rutin kecuali benar-benar atas indikasi yang kuat dan dalam keadaan
dimana keselamatan ibu merupakan hal yang utama. Dilaporkan bahwa
pemakaian siklofosfamid dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kegagalan
ovarium prematur dan kelainan bawaan pada janin. Obat imunosupresan lainnya
yang cukup aman diberikan pada wanita hamil adalah azatioprin dan
siklosporin.Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya eksaserbasi pada saat
persalinan atau pembedahan maka sebaiknya penderita dipayungi dengan
metilprednisolone dosis tinggi sampai 48 jam pasca persalinan, setelah itu dosis
obat diturunkan. Hampir semua obat untuk penderita LES diekskresikan bersama
air susu dalam jumlah yang bervariasi antara 0,1%-2% dosis obat, kecuali
imunosupresan yang dikontraindikasikan untuk ibu menyusui. Pemberian aspirin
dalam dosis besar (>3 gr/hari) berhubungan dengan peningkatan kejadian
kehamilan posterm dan perdarahan selama persalinan. Dosis tinggi salisilat juga
dilaporkan telah
14
menyebabkan oligohidramnion, penutupan prematur dari ductus arteriosus dan
hipertensi pulmonal pada neonatus. Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari
beberapa minggu sebelum persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai
dalam pengobatan LES dan sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk
wanita hamil. Kehamilan yang direncanakan merupakan pilihan yang paling baik
untuk penderita LES yang masih menginginkan kehamilan. Kehamilan
direkomendasikan setelah 6 bulan remisi. Pada kunjungan pertama antenatal
dilakukan pemeriksaan lengkap tanpa memandang kondisi klinis pasien yang
meliputi, pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi liver, fungsi ginjal,
urinalisis, antibodi anti-DNA, antibodi anti-kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3,
C4 dan Anti SSA/R0 dan Anti SSB/La. Pemeriksaan laboratorium tersebut
diulang tiap trimester, apabila antti SSA/Ro dan Anti SSB/La positif maka
dilakukan pemeriksaan ekokardiografi janin pada usia kehamilan 24-26 minggu
untuk mendeteksi adanya blok janin kongenital. Apabila ditemukan adanya blok
jantung janin kongenital maka diberikan dexametason 4mg per-oral/hari selama 6
minggu atau sampai gejala menghilang kemudian dosis diturunkan sampai lahir.
Sebaiknya penderita LES tidak hamil dalam beberapa kondisi seperti hipertensi
pulmonan berat, penyakit paru restriktif, gagal jantung, gagal ginjal kronis, adanya
riwayat preeklampsia berat atau sindrom HELLP sebelumnya, stroke dalam 6
bulan terakhir.
Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang sangat
penting dalam penanganan penderita SLE pasca persalinan. Kadar estrogen dalam
kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 ugr/hari dapat mencetuskan SLE. Risiko
tromboemboli pada penderita SLE yang memakai kontrasepsi oral juga meningkat
terutama apabila aPLnya positif. Kontrasepsi oral yang hanya mengandung
progestogen dan depot progestogen merupakan alternatif yang lebih aman untuk
penderita LES pasca persalinan. Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR)
kurang baik karena dapat meningkatkan risko infeksi terutama pada penderita
yang memakai imunosupresan yang lama (Gluhovschi, 2015).

BAB III
15
KESIMPULAN

SLE memberi pengaruh terhadap kehamilan diantaranya dapat


menyebabkan morbiditas dan mortalitas fetus, kelahiran preterm, Intrauterine
Growth Restriction (IUGR). Risiko terjadinya preeklampsi juga meningkat pada
pasien SLE. Hal ini meningkat 2 hingga 4 kali lipat dibanding populasi secara
umum. Pada kehamilan dengan SLE harus diperhatikan mulai dari perencanaan
kehamilan, evaluasi prekonsepsi, konseling saat kehamilan, dan managemen
antenatal (Gluhovschi, 2015).
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada SLE. Keterlibatan ginjal
paling sering ditemukan sekitar 60% pada pasien dewasa, walaupun pada awal
SLE kelainan ginjal didapatkan 35-50 kasus. Diagnosis klinis nefritis lupus
ditegakan bila pada pasien LES (minimal terdapat 4 dari kriteria ARA) didapatkan
protein urea ≥ 1gr/24 jam dengan atau hematuria (>8 eritrosit/LPB) dengan atau
penurunan fungsi ginjal sampai 30% sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus
ditegakan dengan biopsi ginjal.
Penderita SLE yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum
hamil mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran
kehamilannya baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi SLE sebelum hamil
kurang dari 6 bulan maka risiko eksaserbasi SLE pada saat hamil menjadi 50%
dengan luaran kehamilan yang buruk. Apabila kehamilan terjadi pada saat SLE
sedang aktif maka risiko kematian janin50-75% dengan angka kematian ibu
menjadi 10%.Dengan meningkatnya umur kehamilan maka risiko eksaserbasi juga
meningkat, yaitu 13% pada trimeseterI, 14% pada trimester II, 53% pada trimester
III serta 23% pada masa nifas (Cuningham,2014).
Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan
kehamilan yaitu kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES lalu
plasenta dan fetus dapat menjadi target dari autoantibodi maternal sehingga dapat
berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritematosus neonatal.
Hasil luaran kehamilan pada pasien LES dapat menjadi lebih buruk dengan sudah
terjadinya komplikasi yaitu nefritis lupus. Hal ini menjadi memerlukan
penanganan interdisiplin yang ketat. Di satu sisi penanganan nefritis lupus
harus dilakukan
16
dengan agresif, penggunaan obat-obatan yang bersifat teratogentik dapat
dipertimbangkan jika tidak ada respon dengan pemberian kortikosteroid dan
imunosupresan awal.
Pemberian kostikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada
kehamilan dengan SLE karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita SLE
yang hamilakan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid jangka panjang
seperti prednison, prednisolon,hidrokortison pada kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adel, LM., Shahd F, Zain Al, Shanableh, Farah I, Dania A, Ani, J,


Muttappallymyalil, Mawahib Al B. 2015. Determinants of Spontaneous Abort
ion: A Hospital Based Case Control Study in Ajman, UAE. Department of
Obstetrics and Gynecology, GMC hospital and Research Centre, Ajman
UAE.Gulf Medical Journal GMJ, ASM.
2. Allison JL. and Schust D J. 2009. Recurrent first trimester pregnancy loss:
revised definitions and novel causes. Current Opinion in Endocrinology,
Diabetes & Obesity 2009, 16:446–450. Lippincott Williams & Wilkins.
Unauthorized reproduction of this article is prohibited.
3. Ardoin SP, Pisetsky DS. Development in the scientific understanding of
lupus.Arthritis Research & Therapy 2008, 10:218

17
4. Arif KA, Mato R, Adi N. Faktor-faktor yang mempengaruhi abortus pada ibu
hamil di wilayah kerja Buton Utata. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnostik.
2014.
5. Baek KH, Lee EJ and Kim YS. 2007. Recurrent pregnancy loss: the key
potential mechanisms. TRENDS in Molecular Medicine Vol.13 No.7.
6. Bertias G, Sidiropoulos P, Boumpas DT. 2000. Systemic Lupus
Erythematosus: Treatment – Renal Invelotment. Rheumatology. Philadelphia:
Mosby Elsevier.
7. Boletis JN, Marnaki S, Skalioti C. Rituximab and Mycophenolate Mofeil For
Relapsing Moliferative Lupus Nephritis : A Long Term Prospective Study.
Nephrol Dial Transplant; 2009 24: 2157-2160
8. Brent LH, Hamed FA. Lupus Nephritis. In: James K, Blom, eds. Lupus
Erythematosus. 12th ed. Washington, PA: Lippincott Williams and Wilkins;
2008: 849-67
9. Brunner HI, Gladman DD, Ibañez D, Urowitz MD, Silverman ED. Difference
in disease features between childhood-onset and adult-onset systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum. Feb 2008;58(2):556-62
10. Cohn D. M, Goddi JN M., Middeldorp S . Korevaar J . Dawood CF ,
Farquharson R. G. 2010. Recurrent miscarriage and antiphospholipid
antibodies: prognosis of subsequent pregnancy. Journal of Thrombosis and
Haemostasis, 8: 2208–2213
11. Cunningham, F. Gary. 2014. Obstetri Williams. Ed. 24. Jakarta: EGC
12. ESHRE Early Pregnancy Guidline Development Group 2017. Recurrent
Pregnancy Loss. Guideline of the European Society of Human Reproduction
and Embryology
13. Gluhovschi C, Gluhovschi G, Petrica L, Velciov S, Gluhovschi A. 2015.
Pregnancy Associated with Systemic Lupus Erythematosus:Immune Tolerance
in Pregnancy and Its Deficiency in Systemic Lupus Erythematosus—An
Immunological Dilemma. Hindawi Publishing Corporation Journal of
Immunology Research.
14. Hachem H, Crepaux V, Panloup PM, Descamps P, Legendre G, Bouet PE .
2017. Recurrent pregnancy loss: current perspectives. International Journal of
Women’s Health 2017:9 331–345

18
15. Hugh RB, Yvonne M, O’Meara, Barry MB. Glomerular Disease. 2005.
Harrison Principles Of International Medicine ed 16th. Vil II. McGraw-Hill
Medical Publishing Division.
16. Jeve Y B. Davies W. 2014. Evidence-based management of recurrent
Miscarriages. Journal of Human Reproductive Sciences /Volume 7 /Issue 3
17. Kemenkes RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
18. Kemenkes RI. 2015. Survei Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
19. Laskari K. Mavragani P. 2010. Tziofag Moustopoulys M. Mycephenolat
Mofeil as Maintenance therapy for Proliferative Lupus Nephritis: a Long term
obervasitional prospective study arthritis reasearch & therapy
20. Lateefa A and Petri M. 2013. Managing lupus patients during pregnancy. NIH
Public Access. Best Pract Res Clin Rheumatol
21. Martaadisoebrata, Djamhoer. 2013. Obstetri Patologi. Ilmu Kesehatan
Peoroduksi. Edisi 3. Jakarta:EGC.
22. Mishra VN, Nalini Mishra, Devanshi. Antiphospholipid antibody syndrome
(APAS). 2012. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine l Vol. 13, No. 4l
23. Mok C C, Wong R W S. 2001. Pregnancy in systemic lupus erythematosus.
Postgrad Med J 2001;77:157–165
24. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia
25. Prawiroharjo, S., Abortus Habitualis. Dalam: Wiknjosastro, Saifuddin AB.,
eds. Ilmu Kebidanan 3rd. Jakarta, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2010, 309–10.
26. Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. N Engl J Med.
2008;358(9):929-39
27. Regan, L. Raj Rai. 2000. Epidemiology and the medical causes of miscarriage.
BaillieA re's Clinical Obstetrics and Gynaecology. Harcourt Publishers Ltd.
28. Santosa TS, Iequeb AL, Carvalhoa HC, Sellf AM, Lonardonid MVC,
Demarchid IG, Netoe QAL, Teixeirac JJV. 2017. Antiphospholipid syndrome
and recurrent miscarriage: A systematic review and meta-analysis. Journal of
Reproductive Immunology. 123 (2017) 78–87

19
29. Schur PH. General symptomatology and diagnosis of systemic lupus
erythematosus in adults. (Letter). 2005:60: 125
30. Sidiropoulos P et al. Lupus nephritis flares. Lupus 2005;14: 49-52
31. Sudoyo AW et al. Nefritis lupus. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3.
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam UI, 2007
32. Waldman M, Appel GB. Update on the treatment of lupus nephritis.Kidney Int
2006; 70 : 1403-12
33. Vasuvedan AR, Ginzler EM. 2000. Clinical feature of Sistemic Lupus
Erythematosus. Rheumatologiy. Philadelphia: Mosby Elsevier.
34. Yamamoto Yuriko, Aoki Shigeru. 2016. Systemic lupus erythematosus:
strategies to improve pregnancy outcomes. International Journal of Women’s
Health

20

Anda mungkin juga menyukai