Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

Systemic Lupus Erythematosus pada Anak

Disusun oleh:
Ayu Dewi Pertiwi

Supervisor Pembimbing:
dr. Eka Sari S, Sp.A, M.Biomed.

Residen Pembimbing:
dr. Sondang H S Siagian

Pendamping:
dr. Maryam Hasan, MM.
dr. Devi Gandatama, Sp.OG(K)

TUGAS PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAILOLO
2023
REFERAT

Systemic Lupus Erythematosus pada Anak

Disusun oleh:
Ayu Dewi Pertiwi

Supervisor Pembimbing:
dr. Eka Sari S, Sp.A, M.Biomed.

Residen Pembimbing:
dr. Sondang H S S

Pendamping:
dr. Maryam Hasan, MM.
dr. Devi Gandatama, Sp.OG(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS INTERNSHIP


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
RSUD JAILOLO Mengetahui,
Pendamping Internship
2023 RSUD Jailolo

Dr. Maryam Hasan, MM


NIP. 19710925 2005012009
BAB I

PENDAHULUAN

Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun

kompleks yang menyerang berbagai sistem imun tubuh. Faktor gen dan

lingkungan diketahui berperan dalam patogenesis penyakit ini. SLE ditandai

dengan pembentukan autoantibodi patogenik terhadap asam nukleat dan protein

pengikatnya yang disebabkan oleh manifestasi klinis, kelainan imunologi, dan

laboratorium, perjalanan penyakit, serta akibat penyakit yang beragam.1,2,3

SLE dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa, yang lebih banyak

terjadi pada wanita usia reproduksi. Meskipun hampir setiap organ dapat

terpengaruh, yang paling sering terlibat adalah kulit, sendi, ginjal, sel pembentuk

darah, pembuluh darah, dan sistem saraf pusat. Gejala-gejala sistemik peradangan

seperti demam dan limfadenopati juga dapat dilihat. Dibandingkan dengan orang

dewasa, anak-anak dan remaja dengan SLE memiliki gejala yang lebih parah dan

keterlibatan organ yang lebih luas.4

Data poliklinik reumatologi di beberapa rumah sakit Indonesia

menunjukkan adanya peningkatan kunjungan pasien SLE yaitu 17.9-27.2% (tahun

2015), 18.7-31.5% (tahun 2016), dan 30.3-58% (tahun 2017). Rasio pasien

perempuan dan laki-laki 15:1 hingga 22:1. Awitan gejala dan tanda SLE

umumnya muncul pada usia 9-58 tahun dan mencapai puncak pada usia 28 tahun.3

Insidens SLE pada anak secara umum mengalami peningkatan, sekitar 15-

17%. Penyakit ini jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun, perempuan lebih
sering terkena dibandingkan laki-laki dan rasio tersebut juga meningkat seiring

dengan pertambahan usia. Onset SLE paling sering didapatkan pada anak

perempuan usia antara 9 sampai 15 tahun. Rasio perempuan dan laki-laki adalah

2:1 sebelum pubertas dan setelah pubertas menjadi 9:1. Insidens SLE tidak

diketahui secara pasti tapi bervariasi tergantung etnis dan lokasi. Prevalensi SLE

antara 2,9-400/100.000.5

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita, yang sebagian besar

terjadi setelah 5 tahun penderita SLE. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada

umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindrom nefrotik.

Pemeriksaan terhadap pyuria (>5/LPB) tanpa disertai bukti adanya infeksi serta

peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada

penderita SLE.5

Nefritis Lupus adalah komplikasi ginjal pada Systemic lupus erythematosus

(SLE). Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, yang dibuktikan pada biopsi

dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien dewasa akan mengalami komplikasi

ginjal yang nyata, walaupun pada awal SLE kelainan ginjal hanya didapatkan

pada 25-50% kasus. Insiden dan prevalensi SLE lebih tinggi pada wanita.

Perjalanan klinis NEFRITIS LUPUS sangat bervariasi dan hasil pengobatan

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kecepatan menegakan diagnosis,

kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsy ginjal, saat mulai

pengobatan, dan jenis regimen yang dipakai.3


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

2.1.1 Systemic lupus erythematosus

Systemic lupus erythematosus adalah penyakit autoimun kronik,

multisystem, dan langka yang gejalanya bervariasi mulai dari ringan hingga yang

mengancam nyawa. Pasien dengan SLE dapat mengalami gejala mulai dari rash,

arthritis, anemia, trombositopenia, serositis, nefritis, kejang dan/atau psikosis.2,3

Systemic lupus erythematosus adalah penyakit autoimun dimana organ dan

sel segera mengalami kerusakan saat dimediasi oleh tissue-binding autoantibodi

dan kompleks imun.1,6

2.1.2 Nefritis lupus

Nefritis lupus adalah manifestasi SLE yang sering dan lebih berat.

Sementara SLE dapat mengakibatkan insufisiensi ginjal melalui beberapa cara,

nefritis lupus lebih spesifik kepada glomerulonephritis akibat deposit kompleks

immunoglobulin.7

2.2 Epidemiologi

Sebanyak 90% dari pasien SLE adalah perempuan usia reproduksi.

Prevalensi SLE di Amerika Serikat yaitu 25-150 per 100.000 perempuan. 1

Insidensi SLE pada Wanita 6 kali lebih tinggi daripada pria di Inggris (8,34 vs

1,44/100.000 orang per tahun). Insidensi dan prevalensi SLE adalah 1.4 – 21.9
dan 7.4 – 159.4 per 100.000 populasi, dengan prevalensi wanita : pria adalah

9:1.6,7,8

Data poliklinik reumatologi di beberapa rumah sakit Indonesia

menunjukkan adanya peningkatan kunjungan pasien SLE yaitu 17.9-27.2% (tahun

2015), 18.7-31.5% (tahun 2016), dan 30.3-58% (tahun 2017). Rasio pasien

perempuan dan laki-laki 15:1 hingga 22:1. Awitan gejala dan tanda SLE

umumnya muncul pada usia 9-58 tahun dan mencapai puncak pada usia 28 tahun.

Sementara itu, studi prospektif nasional tahun 2012-2015 menunjukkan bahwa

puncak insiden pada anak adalah usia 13 tahun dengan rasio perempuan dan laki-

laki adalah 9,5:1.3

Pada onset penyakit sebelum usia 18 tahun mempengaruhi sekitar 15-20%

dari pasien SLE. Insiden SLE pada anak berkisar antara 0,36 dan 2,5 per 100.000

anak, dengan prevalensi 1,89-34,1 per 100.000. Dibandingkan dengan SLE onset

dewasa, SLE pada anak lebih agresif, dengan aktivitas penyakit yang lebih tinggi

dan beban pengobatan (termasuk kortikosteroid dan obat imunosupresif lainnya)

yang berkontribusi pada peningkatan morbiditas dan mortalitas yang terkait

dengan penyakit, manifestasi organ yang lebih parah, adanya kerusakan yang

lebih besar pada saat diagnosis, dan insiden ginjal yang lebih tinggi, keterlibatan

kardiovaskular dan neuropsikiatri. Secara keseluruhan tingkat kematian standar

lebih tinggi pada SLE anak jika dibandingkan dengan populasi umum (SMR 2.2

di semua usia), dan khususnya pada pasien di bawah usia 18 tahun, Standar

tingkat kematian kira-kira tiga kali lebih tinggi dari normal (SMR 6.5). Usia

puncak onset SLE pada anak adalah 12,6 tahun. Pasien dengan onset penyakit
yang sangat dini (sebelum usia 5 tahun) lebih cenderung menampilkan presentasi

atipikal (misalnya kurangnya autoantibodi), perjalanan penyakit yang lebih parah

dan prognosis yang buruk.9

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita, yang sebagian besar

terjadi setelah 5 tahun penderita SLE. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada

umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindrom nefrotik.

Pemeriksaan terhadap pyuria (>5/LPB) tanpa disertai bukti adanya infeksi serta

peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada

penderita SLE.2

Nefritis lupus lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Nefritis

lupus biasanya asimtomatik, meskipun pada beberapa anak terdapat hematuria

makroskopik atau edema yang berkaitan dengan sindrom nefrotik. Sebagian besar

gejala awal berupa hematuria mikroskopik, proteinuria, penurunan filtrasi

glomerular, dan hipertensi.2

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Systemic lupus erythematosus adalah penyakit multigenik. Cacat gen

tunggal yang langka memberikan rasio hazard (HR) yang tinggi untuk SLE (5–

25), termasuk defisiensi homozigot komponen awal komplemen (C1q,r,s; C2; C4)

dan mutasi pada TREX1 (pengkodean DNAase) pada kromosom X. Pada

sebagian besar individu yang rentan secara genetik, alel normal dari beberapa gen

masing-masing berkontribusi dalam jumlah kecil terhadap respons

imun/peradangan/kerusakan jaringan yang abnormal; jika variasi predisposisi

cukup dapat memicu timbulnya serangan. Sekitar 60 gen dengan alel yang
meningkatkan risiko SLE dan/atau lupus nephritis telah diidentifikasi dalam studi

asosiasi genome-wide baru-baru ini pada kelompok ras yang berbeda.1

Jenis kelamin perempuan cenderung rentan terserang SLE dengan bukti efek

hormon, gen pada kromosom X, dan perbedaan epigenetik antara jenis kelamin

memainkan peran. Betina dari banyak spesies mamalia membuat respons antibodi

lebih tinggi daripada jantan. Wanita yang terpapar dengan kontrasepsi oral yang

mengandung estrogen atau penggantian hormon memiliki peningkatan risiko

terkena SLE. Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi SLE.

Paparan sinar ultraviolet menyebabkan flare SLE pada ~70% pasien, mungkin

dengan meningkatkan apoptosis pada sel kulit atau dengan mengubah DNA dan

protein intraseluler untuk menjadikannya antigenik. Beberapa infeksi dan obat

pemicu lupus mengaktifkan sel T dan B autoreaktif; jika sel-sel tersebut tidak

diatur dengan tepat, produksi autoantibodi yang berkepanjangan dapat terjadi.

Merokok meningkatkan risiko SLE (HR 1,5). Paparan lama terhadap silika

kristalin (misalnya, menghirup debu bubuk sabun atau tanah dalam kegiatan

pertanian) meningkatkan risiko (HR 4.3) pada wanita Afrika-Amerika. Dengan

demikian, interaksi antara kerentanan genetik, lingkungan, jenis kelamin, ras, dan

respons imun abnormal menghasilkan autoimunitas.1

2.4 Aktivitas Penyakit SLE

Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi,

memerlukan pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas

penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Beberapa

instrument yang dikembangkan dan divalidasi untuk menilai aktivitas penyakit


SLE, misal Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) dan

Mexican Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (MEX-SLEDAI).

SLEDAI terdiri atas 24 variabel klinis dan laboratorium yang mengcakup

sembilan system organ. Setiap variable memiliki definisi operasional dan skor 1-

8. Skor SLEDAI dikelompokkan menjadi tanpa aktivitas penyakit (skor 0),

aktivitas penyakit ringan (skor 1-5), aktivitas penyakit sedang (skor 6-10),

aktivitas penyakit berat (skor 11-19), aktivitas penyakit sangat berat (skor ≥20).

Selain menentukan aktivitas penyakit, SLEDAI juga digunakan untuk

menentukan luaran penyakit yaitu kekambuhan (peningkatan skor >3), perbaikan

(penurunan skor >3), persisten aktif (perubahan skor ±1-3) dan remisi (skor 0).

MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada layanan kesehatan yang tidak

memiliki fasilitas laboratorium canggih seperti pemeriksaan DNA, komplemen,

dan imunologi. Pengelompokkan aktivitas penyakit berdasarkan MEX-SLEDAI

adalah sebagai berikut: remisi (skor 0-1), ringan (skor 2-5), sedang (6-9), berat

(10-13), dan sangat berat (≥14).


Tabel 1. Penilaian aktivitas penyakit SLE (SLEDAI 2000)
Penilaian aktivitas penyakit SLE (SLEDAI 2000) (lanjutan)
Tabel 2. Penilaian aktivitas penyakit SLE (MEX-SLEDAI)
Penilaian aktivitas penyakit SLE (MEX-SLEDAI) (lanjutan)

2.5 Patogenesis

Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan

fase puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi

kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan

oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering

ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan

yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas

autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat

menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi

kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan

mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung

menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel

hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon

untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis
tidak hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada

berbagai penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi

puncak penyakit.10,11,12

2.6 Tanda dan Gejala3

Manifestasi konstitusional: kelelahan, penurunan berat badan, demam,

rambut rontok, hilangnya nafsu makan, perbesaran kelenjar getah bening,

bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.

Manifestasi muskuloskeletal: nyeri otot, nyeri sendi, atau nampak seperti

artritis.

Manifestasi kulit: SLEi mukokutaneus bentuk reaksi dari fotosensitifitas,

diskoid rash, subacute cutaneus lupus erythematosus, lupus profundus, alopecia,

teleangiektasis, vaskulitis, depigmentasi pada bibir dan lain sebagainya.

Manifestasi paru dan kardiologis: pneumonia, emboli paru, hipertensi

pulmonum, perdarahan paru; perikarditis, miokarditis, penyakit jantung koroner,

valvulitis.

Manifestasi renal: proteinuri > 500mg/ 24 jam atau 3+ secara kuantitatif,

adanya cetakan granuler, hemoglobin tubuler, eritrosit, pyuria (>5/LPB),

peningkatan kadar serum kreatinin.

Manifestasi gastrointestinal dan neuropsikiatri: disfagia, dispepsia, nyeri

abdominal, hepatomegali; epilepsi, hemiparesis, meningitis aseptik, myelitis

tranversal dan adanya gangguan fungsi mental organik maupun non-organik.

2.7 Diagnosis3
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan

penunjang. Kriteria klasifikasi SLE dapat membantu penegakkan diagnosis.

Terdapat dua kriteria klasifikasi SLE yang dapat digunakan yaitu ACR 1997 dan

SLICC 2012.

Kriteria klasifikasi ACR 1997 terdiri dari 11 kriteria klinis dan laboratoris.

Pasien termasuk klasifikasi SLE jika memenuhi 4 dari 11 kriteria. Sementara itu,

kriteria SLICC 2012 terdiri dari 17 kriteria. Pasien termasuk klasifikasi SLE jika

memenuhi 4 dari 17 kriteria dengan minimal 1 kriteria klinis dan 1 kriteria

imunologi. Kriteria klasifikasi SLICC 2012 memiliki sensitivitas lebih tinggi

(97% versus 83%) dan spesifisitas lebih rendah (84% versus 96%) dibandingkan

ACR 1997.

Tahun 2018 telah diajukan kriteria klasifikasi baru dari EULAR/ ACR yang

telah divalidasi dengan sensitivitas 96,12% dan spesifisitas 93,38%. Kriteria

klasifikasi ini dapat digunakan jika titer ANA-IF positif ≥1:80 (atau positif dengan

método pemeriksaan lain yang ekuivalen) dan tidak ada kemungkinan penyebab

selain SLE. Pasien dimasukkan dalam klasifikasi SLE jika memiliki skor total ≥10

dengan minimal satu kriteria klinis.


Tabel 3. Kriteria klasifikasi SLE – ACR 1997
Tabel 4. Kriteria klasifikasi SLE – SLICC 2012

Manifestasi Klinis Manifestasi Imunologi

Kulit : ANA > referensi nilai negatif


- Akut/subakut LE kutaneus Anti-dsDNA >referensi, jika dengan
(fotosentivitas, malar rash, referensi ELISA 2x
maculopapular, bullous) Anti-Sm
- Kronik (discoid lupus, Antifosfolipid (antikoagulan lupus,
panniculitis, lichen planus-like, RPR positif palsu,
hypertrophic verrucous, antikardiolipin, anti-β
chilblains) glikoprotein I
Komplemen serum rendah (C3, C4
Ulkus oral atau nasal
atau CH50)
Alopesia nonscarring Tes Coombs langsung positif tanpa
adanya anemia hemolitik
Synovitis yang melibatkan ≥ 2 sendi

Serositis (pericarditis, pleurisy)

Renal (Kreatinin >0.5, cast eritrosit,


biopsy)

Neurologi (kejang, psikosis,


mononeuritis, myelitis, neuropati
perifer atau kranial, penurunan
kesadaran)

Anemia hemolitik
Leukopenia (<4000) atau
Limfopenia (<1000)

Trombositopenia (<100.000)
Gambar 1. Kriteria Diagnosis SLE menurut EULAR dan ACR tahun 2019.

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE

adalah tes antinuclear antibodi (ANA). Tes ANA diperiksa hanya pada pasien
dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes

ANA yang positif sebesar 95- 100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada

beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE

misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya mixed

connective tissue disease, arthritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau

pada orang normal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak

diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE, seringkali

dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu

yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan.

Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat negatif, dengan

gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan.

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes

antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro

(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Antibodi terhadap double stranded (native)

DNA (dsDNA) adalah yang paling spesifik terhadap SLE dan ditemukan pada 80-

90% penderita yang tidak diobati. Kehadiran titer anti-dsDNA dikaitkan dengan

aktifitas SLE. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peningkatan titer

anti-DNA mendahului lupus flares pada lebih dari 80% penderita.2

Antibodi anti-Ro (SSA) dan anti-La (SSB) menargetkan partikel

ribonukleoprotein. Antibodi Anti-Ro dan Anti-La terlihat pada hingga 90% kasus

sindrom Sjogren tetapi dapat dilihat pada SLE juga (anti-Ro hingga 50% dan anti-

La hingga 20% dari kasus). Antibodi anti-Smith terlihat pada kurang dari 30%

pasien SLE tetapi memiliki spesifisitas 99% untuk SLE. Antibodi anti-Smith
dalam SLE biasanya selalu dikaitkan dengan antibodi Anti-U1-RNP, yang ada

pada hingga 30% pasien SLE. Antibodi anti-ribosom-P sangat spesifik untuk SLE,

meskipun prevalensinya dalam SLE kurang dari 5%, dan dapat berkorelasi dengan

manifestasi neuropsikiatri SLE. . Antibodi anti-histone tidak spesifik untuk drug

induced lupus dan dapat dilihat pada 50% hingga 70% kasus SLE. Antibodi anti-

sentromer dan anti-topoisomerase-I (SCL70) terlihat pada sklerosis sistemik dan

jarang pada SLE (kurang dari 5%). Antibodi anti-histidil-tRNA-sintetase terlihat

pada myositis.13

Diagnosis nefritis lupus ditegakkan jika pasien SLE ditemukan kelainan

ginjal seperti proteinuria lebih besar atau sama dengan 1 gram/ 24 jam dengan

atau tanpa hematuria (>8 eritrosit/ LPB), dengan atau tanpa penurunan fungsi

ginjal sampai 30% dan dengan atau tanpa hipertensi. Diagnosis definitif

ditegakkan dengan biopsi ginjal dan berdasakan klasifikasi morfologi dari WHO.

Berdasarkan kasus didapatkan hasil lab terbaru yaitu didapatkan protein 100

mg/hari, dengan hematuri (30 eritrosit/ LPB), dengan peningkatan kadar ureum

sebesar 25% (54mg/dL) serta disertai hipertensi dapat ditegakkan nefritis lupus

dengan masa pengobatan sehingga hasilnya didapatkan adanya perbaikan.2

2.8 Penatalaksanaan4

Pengobatan SLE disesuaikan dengan individu dan didasarkan pada

manifestasi penyakit tertentu dan tolerabilitas pengobatan. Untuk semua pasien,

tabir surya dan menghindari paparan sinar matahari langsung yang

berkepanjangan dan sinar UV lainnya dapat membantu mengendalikan penyakit

dan harus diperkuat pada setiap kunjungan dengan pasien. Hydroxychloroquine


direkomendasikan untuk semua individu dengan SLE ketika ditoleransi. Selain

mengobati manifestasi SLE ringan seperti ruam dan artritis ringan,

hydroxychloroquine mencegah SLE flares, memperbaiki profil lipid, dan dapat

memperbaiki kematian dan hasil ginjal. Toksisitas potensial termasuk deposisi

retina dan gangguan penglihatan berikutnya; oleh karena itu, pemeriksaan

oftalmologi tahunan direkomendasikan untuk pasien yang menggunakan

hidroksiklorokuin, termasuk pengujian lapangan visual otomatis serta tomografi

koherensi optik domain spektral (SD-OCT). Mengingat bahwa faktor risiko

toksisitas okular termasuk durasi penggunaan dan dosis, hidroksiklorokuin dalam

SLE tidak boleh diresepkan pada dosis >6,5 mg/kg (maksimum 400 mg sehari),

dan pedoman oftalmologi yang lebih baru merekomendasikan membatasi dosis

pemeliharaan hingga 4-5 mg/kg.

Kortikosteroid adalah andalan pengobatan untuk manifestasi signifikan dari

SLE dan bekerja dengan cepat untuk memperbaiki kerusakan akut; Efek samping

sering membatasi kepatuhan pasien, terutama pada masa remaja, dan potensi

toksisitas yang mengkhawatirkan. Penting untuk membatasi dosis dan lama

paparan kortikosteroid bila memungkinkan. Konsekuensi potensial dari terapi

kortikosteroid termasuk gangguan pertumbuhan, penambahan berat badan, striae,

jerawat, hiperglikemia, hipertensi, katarak, nekrosis avaskular, dan osteoporosis.

Dosis optimal kortikosteroid pada anak-anak dan remaja dengan SLE masih

belum diketahui; penyakit yang parah sering diobati dengan dosis tinggi intravena

(IV) methylprednisolone (misalnya, 30 mg/kg/hari hingga maksimum 1.000

mg/hari selama 3 hari, kadang-kadang diikuti oleh periode mingguan) dan/atau


dosis tinggi prednison oral (1-2 mg/kg/hari). Ketika manifestasi penyakit

membaik, dosis kortikosteroid secara bertahap diturunkan perlahan selama

beberapa bulan. Bagi sebagian besar pasien perlu untuk memperkenalkan obat

imunosupresif hemat steroid untuk membatasi paparan steroid kumulatif.

Steroid-sparing immunosuppressive agents untuk pengobatan SLE pediatrik

termasuk methotrexate, leflunomide, azathioprine, mycophenolate mofetil

(MMF), tacrolimus, cyclophosphamide, rituximab, dan belimumab. Methotrexate,

leflunomide, dan azathioprine sering digunakan untuk mengobati penyakit sedang

persisten, termasuk radang sendi, keterlibatan kulit atau hematologi yang

signifikan, dan penyakit pleura. Siklofosfamid, MMF, dan azathioprine sesuai

untuk pengobatan nefritis lupus, sedangkan MMF dan rituximab sering digunakan

untuk manifestasi hematologi yang signifikan, termasuk leukopenia berat, anemia

hemolitik, atau trombositopenia.

Siklofosfamid , biasanya diberikan secara intravena, dicadangkan untuk

manifestasi SLE yang paling parah dan berpotensi mengancam jiwa, seperti

penyakit ginjal, neurologis, dan kardiopulmoner. Meskipun siklofosfamid sangat

efektif dalam mengendalikan penyakit, potensi toksisitasnya signifikan, termasuk

sitopenia, infeksi, sistitis hemoragik, kegagalan gonad prematur, dan peningkatan

risiko keganasan di masa depan. Perhatian terhadap hidrasi yang memadai dapat

melemahkan risiko sistitis hemoragik. Untungnya, gadis-gadis muda memiliki

risiko kegagalan gonad yang jauh lebih rendah daripada wanita yang lebih tua,

dan penggunaan agonis hormon gonadotropinreleaseing, seperti leuprolide asetat,

dapat membantu mencegah kegagalan gonad.


Rencana pengobatan konsensus Childhood Arthritis Rheumatology

Research Alliance (CARRA) untuk terapi induksi nefritis lupus proliferatif yang

baru didiagnosis (kelas IV) khusus untuk populasi SLE pediatrik. Pengobatan ini

dianggap perlu untuk nefritis lupus kelas IV tetapi juga sesuai untuk pasien

tertentu dengan nefritis lupus kelas III, V, atau VI. Rencana pengobatan CARRA

menyarankan 6 bln terapi induksi dengan siklofosfamid (diberikan sesuai Protokol

NIH sebagai 500-1000 mg / m2 IV setiap bulan) atau MMF (600 mg / m2 , hingga

1500 mg, dua kali sehari), digunakan dalam kombinasi dengan 1 dari 3 rejimen

glukokortikoid standar. Untuk pasien yang gagal mencapai respons parsial dalam

6 bln, maka tepat untuk beralih agen. Untuk remaja dengan berat badan dewasa,

rejimen dosis siklofosfamid yang digunakan dalam Euro-Lupus Nephritis Trial

dapat dipertimbangkan alih-alih terapi 6 bulan di atas untuk mengurangi toksisitas

dari paparan siklofosfamid. Sesuai protokol ini, dosis tetap 500 mg diberikan

setiap 2 minggu untuk 3 bulan; Rejimen ini diperkirakan untuk mengurangi efek

samping sambil mempertahankan kemanjuran yang sebanding untuk nefritis lupus

pada orang dewasa, tetapi belum dipelajari secara khusus di lupus pediatrik.

Kepatuhan pengobatan oral sangat buruk dalam SLE pediatrik, yang harus

dipertimbangkan ketika menimbang manfaat infus IV vs obat oral dua kali sehari

seperti MMF. Terapi pemeliharaan nefritis lupus terdiri dari siklofosfamid setiap

3 bulan, atau MMF, atau azathioprine, biasanya selama 36 bulan setelah

menyeSLEaikan terapi induksi.

Data uji klinis tentang penggunaan rituximab di SLE dengan

glomerulonefritis yang resisten terhadap pengobatan sebagian besar


mengecewakan, tetapi hasil dari studi LUNAR menunjukkan kemungkinan

manfaat bagi subpopulasi pasien SLE. Badan Pengawas Obat dan Makanan AS

(FDA) telah menyetujui penggunaan belimumab , antibodi monoklonal terhadap

BLyS/BAFF, untuk pengobatan lupus pada orang dewasa; ketika ditambahkan ke

terapi SLE standar, belimumab memperbaiki beberapa penanda keparahan

penyakit. Terapi lain yang sedang dipelajari untuk pengobatan lupus termasuk

rigerimod (polipeptida yang sesuai dengan urutan protein snRNP) dan

anifrolumab (antibodi monoklonal terhadap reseptor IFN-α), semua dengan hasil

fase II yang menggembirakan.

Mengingat sifat SLE seumur hidup, perawatan optimal anak-anak dan

remaja dengan penyakit ini juga melibatkan praktik pencegahan. Karena

peningkatan risiko aterosklerosis di SLE, perhatian terhadap kadar koSLEterol,

status merokok, indeks massa tubuh, tekanan darah, dan faktor risiko

kardiovaskular tradisional lainnya dijamin. Meskipun studi Atherosclerosis

Prevention in Pediatric Lupus Erythematosus (APPLE) gagal mendukung

penempatan semua anak dengan SLE pada statin, analisis post hoc menunjukkan

bahwa statin harus dipertimbangkan untuk pencegahan primer penyakit

aterosklerotik dalam keadaan klinis tertentu, terutama pasien pubertas dengan

CRP tinggi.

Pasien SLE dengan sindrom antibodi antifosfolipid (antibodi antifosfolipid

dan riwayat gumpalan) diobati dengan antikoagulasi jangka panjang untuk

mencegah kejadian trombotik. Untuk pasien SLE yang antibodi antifosfolipid


positif tanpa riwayat gumpalan, banyak ahli reumatologi pediatrik meresepkan

aspirin (81 mg setiap hari).

Untuk semua pasien SLE, asupan kalsium dan vitamin D yang cukup

diperlukan untuk mencegah osteoporosis di masa depan, terutama karena kadar

vitamin D lebih rendah pada pasien SLE pediatrik dibandingkan dengan kontrol

sehat yang sesuai dengan usia. Studi menunjukkan hubungan antara

hipovitaminosis D dan kerentanan SLE, dengan kemungkinan peran yang muncul

untuk vitamin D dalam imunomodulasi.

Infeksi, terutama penyakit pneumokokus, sering mempersulit SLE, sehingga

imunisasi rutin direkomendasikan, termasuk vaksinasi influenza tahunan. Selain

itu, pasien SLE pediatrik berusia 6 tahun atau lebih harus menerima vaksinasi

pneumokokus 13 tambahan, diikuti oleh vaksinasi pneumokokus 23 setidaknya 2

bln kemudian. Penting untuk dicatat bahwa banyak imunosupresan yang

digunakan dalam SLE kontraindikasi vaksin hidup. Perhatian yang cepat terhadap

episode demam harus mencakup evaluasi untuk infeksi serius. Karena pasien SLE

pediatrik berisiko tinggi untuk mengembangkan kecemasan dan depresi, skrining

untuk depresi juga penting. Dukungan sebaya dan intervensi terapi kognitif-

perilaku mengurangi rasa sakit dan meningkatkan ketahanan dalam SLE pediatrik.

Harus diingat bahwa kehamilan dapat memperburuk SLE, dan komplikasi

kebidanan sering terjadi. Selain itu, banyak obat yang digunakan untuk mengobati

SLE bersifat teratogenik, jadi penting untuk menasihati remaja perempuan tentang

risiko ini dan memfasilitasi akses ke pilihan kontrasepsi yang tepat.


Hydroxychloroquine direkomendasikan sepanjang kehamilan semua pasien SLE,

dan obat lain mungkin perlu disesuaikan.

2.9 Komplikasi4

Dalam beberapa tahun pertama diagnosis, penyebab kematian paling umum

pada pasien SLE adalah infeksi dan komplikasi glomerulonefritis dan penyakit

neuropsikiatri. Dalam jangka panjang, penyebab kematian yang paling umum

adalah komplikasi aterosklerosis dan keganasan. Peningkatan risiko aterosklerosis

prematur pada SLE tidak dijelaskan oleh faktor risiko tradisional dan sebagian

merupakan hasil dari disregulasi kekebalan kronis dan peradangan yang terkait

dengan SLE. Peningkatan tingkat keganasan dapat disebabkan oleh disregulasi

kekebalan serta paparan obat-obatan dengan potensi karsinogenik.

Tabel 5. Efek samping kortikosteroid sistemik


2.10 Prognosis

Tingkat keparahan SLE pediatrik secara khusus lebih buruk daripada

perkembangan yang khas pada SLE dewasa. Namun, karena kemajuan dalam

diagnosis dan pengobatan SLE, kelangsungan hidup telah meningkat secara

dramatis selama 50 tahun terakhir. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup 5 tahun

untuk SLE pediatrik adalah sekitar 95%, meskipun tingkat kelangsungan hidup 10

tahun tetap 80-90%. Mengingat beban penyakit mereka yang panjang, anak-anak

dan remaja dengan SLE menghadapi risiko tinggi morbiditas dan mortalitas di

masa depan dari penyakit dan komplikasinya, serta efek samping pengobatan.

Mengingat sifat SLE yang kompleks dan kronis, hal ini yang terbaik bagi anak-

anak dan remaja dengan SLE untuk dirawat oleh ahli reumatologi pediatrik di

klinik multidisiplin dengan akses penuh ke subspesialis pediatrik.4

Kerusakan organ merupakan luaran SLE yang mempengaruhi prognoris

jangka Panjang dan meningkatkan risiko mortalitas. Wang, et al (2018)

menemukan peningkatan kerusakan organ dari 13,4% pada awal penelitian


menjadi 28,4% pada tahun keenam penelitian. Kerusakan organ tersering

melibatkan sistema muskuloskeletal (32,14%), neuropsikiatri (17,86%), paru

(10,71%), pembuluh darah perifer (9,52%), dan mata (9,52%). Mengontrol

aktivitas penyakit sampai dengan remisi atau lupus low disease activity state

(LLDAS), mencegah kekambuhan, dan menurunkan perburukan kerusakan organ

harus menjadi tujuan penatalaksanaan pasien SLE untuk memperbaiki

prognosisnya. Definisi LLDAS meliputi SLEDAI ≤4 tanpa aktivitas penyakit

pada sistema organ mayor (demam, kardiopulmonal, sistem saraf pusat,

vaskulitis), tidak ada aktivitas penyakit baru dibandingkan dengan hasil

pemeriksaan sebelumnya, Skor PGA ≤1, mendapat prednisolon (atau

kortikosteroid lain yang setara) ≤7,5 mg/hari, dan tidak ditemukan efek toksisitas

imunosupresan. Pasien yang mencapai LLDAS terbukti memiliki kualitas hidup

yang lebih baik dan kerusakan organ yang lebih sedikit.3


BAB III

CONTOH KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama Lengkap : An. A

Tanggal Lahir : 20 Agustus 2009

Umur : 13 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Desa Tuguair

Pekerjaan : Pelajar

Status : Belum Menikah

Etnis/Suku : Indonesia

Agama : Kristen Protestan

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Demam

Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dengan keluhan demam sejak

3 hari SMRS, demam dirasakan naik turun, pasien belum ada meminum

obat untuk keluhan demamnya. Pasien juga ada mengeluhkan nyeri ulu hati

sejak 3 hari SMRS, mual (-), muntah (-), saat ini pasien merasakan nyeri

perut kanan bawah. Tangan dan kaki pasien juga dirasakan nyeri dan kram

sejak 3 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan ada kemerahan disertai gatal

di daerah kepala, wajah, telinga, belakang telinga, kedua tangan dan kedua

kaki, kemerahan muncul sejak 1 bulan yang lalu, pertama kali muncul di

daerah kepala depan, awal muncul kemerahan yang semakin lama menjadi

hitam, kemudian keluhan menyebar ke daerah yang lain. Makan dan minum

pasien bagus. BAK dan BAB normal, tidak ada nyeri saat BAK, bengkak

(-), pasien ada mengeluhkan rambut rontok sedikit (+), penurunan BB (-),

lemas (+), pucat (-)

Riwayat Penyakit Dahulu: keluhan serupa (-)

Riwayat Penyakit Keluarga: keluhan serupa (-)

Riwayat Pribadi:

Alergi: -

Imunisasi: tidak ingat

3.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum: tampak sakit sedang

Kesadaran: Komposmentis
GCS: E4V5M6

Tekanan Darah: 113/51 mmHg

Nadi: 105 kali/menit

Respirasi: 20 kali/menit

Suhu: 39,1oC

Saturasi O2: 98% on air room

BB: 32 kg

TB: 147 cm

Status Antropometri
Interpretasi:
TB/U: P5-P10 (Stunted)
BB/U: <P5 (Severely underweight)
Waterlow: 82% (Gizi Kurang)

Mata : Konjungtiva Pucat (-/-), Sklera Ikterik (-/-)


Leher : tidak ada peningkatan JVP

Cor : Bunyi Jantung 1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : Vesikuler (+++/+++), Ronkhi (---/---), Wheezing (---/---)

Abdomen : Tampak datar, Supel, Bising Usus (+), Hepar/Lien/Massa tidak

teraba pembesaran, Nyeri Tekan Epigastrium (+), Nyeri tekan perut bawah

(+)

Ekstrimitas : akral hangat (++/++), edema (--/--), CRT<2 detik

Status Dermatologis

Regio wajah, telinga, belakang telinga: hiperpigmentasi, makula eritem,

squama, SLEi diskoid, pus (-)

Regio manus & pedis dextra et sinistra: makula, hiperpigmentasi,

likenifikasi, multiple

3.4 Gambaran Klinis Pasien


3.5 Pemeriksaan Penunjang

Darah Rutin 19/02/23 20/02/23 27/02/23 28/02/23


Hb 12,1
Leu 9.200
Eri 4.81 juta
Ht 35.6
Tromb 238.000
MCV 73.9
MCH 25.2
MCHC 34.1
Neu% 50.0
Limf% 38.9
GDS 135 141 168
LED/ 1 jam 105
Fungsi 20/02/23
Ginjal
Ureum 29.8
Kreatinin 0.9
GFR 67
Fungsi Hati
SGOT 47.6
SGPT 54.3

Urinalisa 19/02/23 22/02/23 23/02/23 02/03/23


Warna Kuning Kuning Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih keruh Jernih
BJ 1.015 1.020 1.020 1.020
pH 6.0 6.0 6.0 6.0
Keton NEG NEG NEG NEG
Protein 3+ 3+ 3+ NEG
Glukosa NEG NEG NEG NEG
Bilirubin NEG NEG NEG NEG
Blood 4+ NEG NEG NEG
Nitrit NEG NEG NEG NEG
Urobilinogen NEG NEG NEG NEG
Lekosit esterase NEG NEG NEG 1+
Sedimen:
Erit 15-20 0-1 2-3 NEG
Lekosit 10-15 3-7 15-20 20-30
Epitel 20-30 10-15 Penuh 15-25
Kristal NEG NEG NEG NEG
Silinder NEG NEG NEG NEG
Bakteri NEG NEG NEG NEG
Ana Profile3 plus DFS70 (25/02/23)

SS-A native (60 kDa) (SSA) : (+)

Ribosomal Protein (RIB): +++

Kesan: SLE

3.6 Diagnosis

Nefritis SLE

ISK susp

Gizi Kurang

Kriteria:

ACR criteria : 5/11

SLICC criteria : 4/17

EULAR/ACR criteria : 12

SLEDAI Score : 12 (aktivitas penyakit berat)

3.7 Follow Up

Follow Up Tanggal Perawatan


20/02/23 27/2/23 02/03/23
Demam (+) (-) (-)

S Mual/ -/- -/- -/-


Muntah
Kulit merah + + + (perbaikan)
Kesan sakit sedang sedang ringan
Kesadaran CM CM CM
TD (mmHg) - 120/60 115/58
O HR (x/m) 110 102 75
RR (x/m) 24 26 22
Suhu (oC) 38.2 36,6 36,5
SpO2 (%) 98% on air room 97% on air 98% on air
room room
Cardio BJ murni regular, M (-) BJ murni BJ murni
regular, M regular,
(-) M (-)
Pulmo VBS +/+, Rh -/-, Wh -/- VBS +/+, Rh VBS +/+, Rh
-/-, Wh -/- -/-, Wh -/-
Abdomen Soepel, NT (+) Soepel, NT(-) Soepel, NT
(-)
- Psoriasis susp Nephritis Lupus Nephritis
- ISK dd Lupus
A
Glomerulonefri
tis akut
Cek LED, Ur/Cr, OT/PT Cek GDS pre- PO Sucralfat
MP 30 menit
sirup 3x1/2
cth
IVFD D51/2NS Inj. PO Prednison
1000cc/24 jam Metylprednisol 2 mg/kg/hari
on 640 mg 60mg 6-4-2
diencerkan 20cc
D5%/NS masuk
dalam 2 jam
kecepatan
10cc/jam
Inj. Paracetamol 350mg/8 PO MMF PO MMF
jam/IV 2x500mg 2x500mg
Inj. Omeprazole 12mg/12 PO Captopril PO Captopril
P jam/IV 3mg/12 jam 2x3mg
PO Ciprofloxacin 2x500 PO Aspilet PO Aspilet
mg 200mg/24 jam 1x200mg
PO Citirizine 2x10 mg PO Cloroquin PO Vit D
2x180mg
1x1000 IU
TKTP 3x1/2-1 porsi Obs. Vital PO Calsium
sign , Tensi/15
Lactat
menit selama
masuk 1x1bks
metylprednisolo
n kemudian
Tensi/4 jam s/d
24 jam
KIE keluarga
tentang
penyakit pasien
3.8 Rencana Pengobatan

Pada pasien ini akan dilakukan pengobatan selama 6 bulan yang mana

mendapatkan metilprednisolon pulse 20mg/kgBB diberikan selama 3 hari setiap

bulannya dengan pengawasan yang ketat dan dilanjutkan dengan diberikan

prednison 60mg, mycophenolate mofetil (MMF) 2x500mg, captopril 2x3mg,

aspilet 1x200mg, Vitamin D 1x1000 IU dan Calsium lactat 1x1bks, hal ini sesuai

dengan protol terapi lupus nefritis (lampiran 1).


BAB IV

PENUTUP

Systemic lupus erythematosus adalah penyakit autoimun kronik,

multisystem, dan langka yang gejalanya bervariasi mulai dari ringan hingga yang

mengancam nyawa. Pasien dengan SLE dapat mengalami gejala mulai dari rash,

arthritis, anemia, trombositopenia, serositis, nefritis, kejang dan/atau psikosis.

Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi.

Beberapa instrument yang dikembangkan dan divalidasi untuk menilai aktivitas

penyakit SLE, misal Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index

(SLEDAI) dan Mexican Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index

(MEX-SLEDAI). Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan

pemeriksaan penunjang. Kriteria klasifikasi SLE dapat membantu penegakkan

diagnosis. Klasifikasi SLE yang dapat digunakan yaitu ACR 1997, SLICC 2012,

dan EULAR dan ACR tahun 2019. Terapi non-medikamentosa yang dapat

diberikan adalah penggunaan tabir surya dan menghidari paparan sinar matahari

langsung. Terapi medikamentosa yang dapat diberikan adalah

Hydroxychloroquine, Kortikosteroid: methylprednisolone atai prednisone,

Steroid-sparing immunosuppressive agents: methotrexate, leflunomide,

azathioprine, mycophenolate mofetil (MMF), tacrolimus, cyclophosphamide,

rituximab, dan belimumab, Aspirin (81 mg/hari) untuk SLE dengan sindrom
antibodi antifosfolipid, Kalsium dan vitamin D, dan Imunisasi rutin

direkomendasikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jameson et al. Harrison’s PrincipSLE of Internal Medicine. 20th Ed.


McGraw Hill. 2018.

2. Alamanda TP, Taruna A, Rahman YA. Anak perempuan berusia 14 tahun


dengan Systemic lupus erythematosus dengan nefritis dan hipertensi grade I.
Majority. 2018;7(3):174-80.

3. Tim Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan


Systemic lupus erythematosus. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2019.

4. Sadun RE, Ardoin SP, Schanberg LE. Systemic Lupus Erythematosus In


Nelson Textbook of Pediatrics. 21 Ed. Elsevier. 2019;chapter 183.

5. R. Evalina. Gambaran klinis dan kelainan imunologis pada anak dengan


Systemic lupus erythematosus di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik
Medan. Sari Pediatri. 2012;13(6):406-11.

6. Fatoye F, Gebrye T, mbada C. Global dan regional prevalence and


incidence of systemic lupus erythematosus in low-and-middle income
countries: a systematic review and meta-analysis. Rheumatology
International. 2012;42:2097-107.

7. Ameer MA, Chaundhry H, Mushtaq J, Khan OS, Babar M, Hashim T, et all.


An Overview of Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Pathogenesis,
Classification, and Management. Cureus. 2022;14(10):1-16.

8. Ortega LM, Schultz DR, Lenz O, Pardo V, Contreras GN. Lupus nephritis:
pathologic features, epidemiology and a guide to therapeutic decisions. Sage
(Lupus). 2010;19:557-74.

9. Charras A, Smith E, Hedrich CM. Systemic Lupus Erythematosus in


Children and Young People. Current Rheumatology Reports.
2021;23(20):1-15.
10. Maidhof W, Hilas O. Lupus: An Overview of the Disease and Management
Options. P&T. 2012;37(4):240-9.

11. Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. The New England
Journal of Medicine. 2008;358(9):929-39.

12. Hahn BH, McMahon M, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, FitzGerald
J, et all. American College of Rheumatology Guidelines for Screening, Case
Definition, Treatment and Management of Lupus Nephritis. Arthritis Care
Res (Hoboken). 2012;64(6):797-808.

13. Justiz Vaillant AA, Goyal A, Varacallo M. Systemic Lupus Erythematosus.


[Updated 2022 Sep 4]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535405/
Lampiran 1. Protokol terapi lupus nefritis

Anda mungkin juga menyukai