Disusun oleh:
Ayu Dewi Pertiwi
Supervisor Pembimbing:
dr. Eka Sari S, Sp.A, M.Biomed.
Residen Pembimbing:
dr. Sondang H S Siagian
Pendamping:
dr. Maryam Hasan, MM.
dr. Devi Gandatama, Sp.OG(K)
Disusun oleh:
Ayu Dewi Pertiwi
Supervisor Pembimbing:
dr. Eka Sari S, Sp.A, M.Biomed.
Residen Pembimbing:
dr. Sondang H S S
Pendamping:
dr. Maryam Hasan, MM.
dr. Devi Gandatama, Sp.OG(K)
PENDAHULUAN
kompleks yang menyerang berbagai sistem imun tubuh. Faktor gen dan
SLE dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa, yang lebih banyak
terjadi pada wanita usia reproduksi. Meskipun hampir setiap organ dapat
terpengaruh, yang paling sering terlibat adalah kulit, sendi, ginjal, sel pembentuk
darah, pembuluh darah, dan sistem saraf pusat. Gejala-gejala sistemik peradangan
seperti demam dan limfadenopati juga dapat dilihat. Dibandingkan dengan orang
dewasa, anak-anak dan remaja dengan SLE memiliki gejala yang lebih parah dan
2015), 18.7-31.5% (tahun 2016), dan 30.3-58% (tahun 2017). Rasio pasien
perempuan dan laki-laki 15:1 hingga 22:1. Awitan gejala dan tanda SLE
umumnya muncul pada usia 9-58 tahun dan mencapai puncak pada usia 28 tahun.3
Insidens SLE pada anak secara umum mengalami peningkatan, sekitar 15-
17%. Penyakit ini jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun, perempuan lebih
sering terkena dibandingkan laki-laki dan rasio tersebut juga meningkat seiring
dengan pertambahan usia. Onset SLE paling sering didapatkan pada anak
perempuan usia antara 9 sampai 15 tahun. Rasio perempuan dan laki-laki adalah
2:1 sebelum pubertas dan setelah pubertas menjadi 9:1. Insidens SLE tidak
diketahui secara pasti tapi bervariasi tergantung etnis dan lokasi. Prevalensi SLE
antara 2,9-400/100.000.5
terjadi setelah 5 tahun penderita SLE. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada
umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindrom nefrotik.
Pemeriksaan terhadap pyuria (>5/LPB) tanpa disertai bukti adanya infeksi serta
penderita SLE.5
(SLE). Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, yang dibuktikan pada biopsi
dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien dewasa akan mengalami komplikasi
ginjal yang nyata, walaupun pada awal SLE kelainan ginjal hanya didapatkan
pada 25-50% kasus. Insiden dan prevalensi SLE lebih tinggi pada wanita.
kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsy ginjal, saat mulai
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
multisystem, dan langka yang gejalanya bervariasi mulai dari ringan hingga yang
mengancam nyawa. Pasien dengan SLE dapat mengalami gejala mulai dari rash,
Nefritis lupus adalah manifestasi SLE yang sering dan lebih berat.
immunoglobulin.7
2.2 Epidemiologi
Insidensi SLE pada Wanita 6 kali lebih tinggi daripada pria di Inggris (8,34 vs
1,44/100.000 orang per tahun). Insidensi dan prevalensi SLE adalah 1.4 – 21.9
dan 7.4 – 159.4 per 100.000 populasi, dengan prevalensi wanita : pria adalah
9:1.6,7,8
2015), 18.7-31.5% (tahun 2016), dan 30.3-58% (tahun 2017). Rasio pasien
perempuan dan laki-laki 15:1 hingga 22:1. Awitan gejala dan tanda SLE
umumnya muncul pada usia 9-58 tahun dan mencapai puncak pada usia 28 tahun.
puncak insiden pada anak adalah usia 13 tahun dengan rasio perempuan dan laki-
dari pasien SLE. Insiden SLE pada anak berkisar antara 0,36 dan 2,5 per 100.000
anak, dengan prevalensi 1,89-34,1 per 100.000. Dibandingkan dengan SLE onset
dewasa, SLE pada anak lebih agresif, dengan aktivitas penyakit yang lebih tinggi
dengan penyakit, manifestasi organ yang lebih parah, adanya kerusakan yang
lebih besar pada saat diagnosis, dan insiden ginjal yang lebih tinggi, keterlibatan
lebih tinggi pada SLE anak jika dibandingkan dengan populasi umum (SMR 2.2
di semua usia), dan khususnya pada pasien di bawah usia 18 tahun, Standar
tingkat kematian kira-kira tiga kali lebih tinggi dari normal (SMR 6.5). Usia
puncak onset SLE pada anak adalah 12,6 tahun. Pasien dengan onset penyakit
yang sangat dini (sebelum usia 5 tahun) lebih cenderung menampilkan presentasi
terjadi setelah 5 tahun penderita SLE. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada
umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindrom nefrotik.
Pemeriksaan terhadap pyuria (>5/LPB) tanpa disertai bukti adanya infeksi serta
penderita SLE.2
Nefritis lupus lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Nefritis
makroskopik atau edema yang berkaitan dengan sindrom nefrotik. Sebagian besar
tunggal yang langka memberikan rasio hazard (HR) yang tinggi untuk SLE (5–
25), termasuk defisiensi homozigot komponen awal komplemen (C1q,r,s; C2; C4)
sebagian besar individu yang rentan secara genetik, alel normal dari beberapa gen
cukup dapat memicu timbulnya serangan. Sekitar 60 gen dengan alel yang
meningkatkan risiko SLE dan/atau lupus nephritis telah diidentifikasi dalam studi
Jenis kelamin perempuan cenderung rentan terserang SLE dengan bukti efek
hormon, gen pada kromosom X, dan perbedaan epigenetik antara jenis kelamin
memainkan peran. Betina dari banyak spesies mamalia membuat respons antibodi
lebih tinggi daripada jantan. Wanita yang terpapar dengan kontrasepsi oral yang
Paparan sinar ultraviolet menyebabkan flare SLE pada ~70% pasien, mungkin
dengan meningkatkan apoptosis pada sel kulit atau dengan mengubah DNA dan
pemicu lupus mengaktifkan sel T dan B autoreaktif; jika sel-sel tersebut tidak
Merokok meningkatkan risiko SLE (HR 1,5). Paparan lama terhadap silika
kristalin (misalnya, menghirup debu bubuk sabun atau tanah dalam kegiatan
demikian, interaksi antara kerentanan genetik, lingkungan, jenis kelamin, ras, dan
sembilan system organ. Setiap variable memiliki definisi operasional dan skor 1-
aktivitas penyakit ringan (skor 1-5), aktivitas penyakit sedang (skor 6-10),
aktivitas penyakit berat (skor 11-19), aktivitas penyakit sangat berat (skor ≥20).
(penurunan skor >3), persisten aktif (perubahan skor ±1-3) dan remisi (skor 0).
adalah sebagai berikut: remisi (skor 0-1), ringan (skor 2-5), sedang (6-9), berat
2.5 Patogenesis
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan
fase puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi
kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan
oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering
yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas
kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan
mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung
menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel
untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis
tidak hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada
puncak penyakit.10,11,12
artritis.
valvulitis.
2.7 Diagnosis3
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
Terdapat dua kriteria klasifikasi SLE yang dapat digunakan yaitu ACR 1997 dan
SLICC 2012.
Kriteria klasifikasi ACR 1997 terdiri dari 11 kriteria klinis dan laboratoris.
Pasien termasuk klasifikasi SLE jika memenuhi 4 dari 11 kriteria. Sementara itu,
kriteria SLICC 2012 terdiri dari 17 kriteria. Pasien termasuk klasifikasi SLE jika
(97% versus 83%) dan spesifisitas lebih rendah (84% versus 96%) dibandingkan
ACR 1997.
Tahun 2018 telah diajukan kriteria klasifikasi baru dari EULAR/ ACR yang
klasifikasi ini dapat digunakan jika titer ANA-IF positif ≥1:80 (atau positif dengan
método pemeriksaan lain yang ekuivalen) dan tidak ada kemungkinan penyebab
selain SLE. Pasien dimasukkan dalam klasifikasi SLE jika memiliki skor total ≥10
Anemia hemolitik
Leukopenia (<4000) atau
Limfopenia (<1000)
Trombositopenia (<100.000)
Gambar 1. Kriteria Diagnosis SLE menurut EULAR dan ACR tahun 2019.
adalah tes antinuclear antibodi (ANA). Tes ANA diperiksa hanya pada pasien
dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes
ANA yang positif sebesar 95- 100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada
pada orang normal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu
yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan.
Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat negatif, dengan
gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Antibodi terhadap double stranded (native)
DNA (dsDNA) adalah yang paling spesifik terhadap SLE dan ditemukan pada 80-
90% penderita yang tidak diobati. Kehadiran titer anti-dsDNA dikaitkan dengan
ribonukleoprotein. Antibodi Anti-Ro dan Anti-La terlihat pada hingga 90% kasus
sindrom Sjogren tetapi dapat dilihat pada SLE juga (anti-Ro hingga 50% dan anti-
La hingga 20% dari kasus). Antibodi anti-Smith terlihat pada kurang dari 30%
pasien SLE tetapi memiliki spesifisitas 99% untuk SLE. Antibodi anti-Smith
dalam SLE biasanya selalu dikaitkan dengan antibodi Anti-U1-RNP, yang ada
pada hingga 30% pasien SLE. Antibodi anti-ribosom-P sangat spesifik untuk SLE,
meskipun prevalensinya dalam SLE kurang dari 5%, dan dapat berkorelasi dengan
induced lupus dan dapat dilihat pada 50% hingga 70% kasus SLE. Antibodi anti-
pada myositis.13
ginjal seperti proteinuria lebih besar atau sama dengan 1 gram/ 24 jam dengan
atau tanpa hematuria (>8 eritrosit/ LPB), dengan atau tanpa penurunan fungsi
ginjal sampai 30% dan dengan atau tanpa hipertensi. Diagnosis definitif
ditegakkan dengan biopsi ginjal dan berdasakan klasifikasi morfologi dari WHO.
Berdasarkan kasus didapatkan hasil lab terbaru yaitu didapatkan protein 100
mg/hari, dengan hematuri (30 eritrosit/ LPB), dengan peningkatan kadar ureum
sebesar 25% (54mg/dL) serta disertai hipertensi dapat ditegakkan nefritis lupus
2.8 Penatalaksanaan4
SLE tidak boleh diresepkan pada dosis >6,5 mg/kg (maksimum 400 mg sehari),
SLE dan bekerja dengan cepat untuk memperbaiki kerusakan akut; Efek samping
sering membatasi kepatuhan pasien, terutama pada masa remaja, dan potensi
Dosis optimal kortikosteroid pada anak-anak dan remaja dengan SLE masih
belum diketahui; penyakit yang parah sering diobati dengan dosis tinggi intravena
beberapa bulan. Bagi sebagian besar pasien perlu untuk memperkenalkan obat
untuk pengobatan nefritis lupus, sedangkan MMF dan rituximab sering digunakan
manifestasi SLE yang paling parah dan berpotensi mengancam jiwa, seperti
risiko keganasan di masa depan. Perhatian terhadap hidrasi yang memadai dapat
risiko kegagalan gonad yang jauh lebih rendah daripada wanita yang lebih tua,
Research Alliance (CARRA) untuk terapi induksi nefritis lupus proliferatif yang
baru didiagnosis (kelas IV) khusus untuk populasi SLE pediatrik. Pengobatan ini
dianggap perlu untuk nefritis lupus kelas IV tetapi juga sesuai untuk pasien
tertentu dengan nefritis lupus kelas III, V, atau VI. Rencana pengobatan CARRA
1500 mg, dua kali sehari), digunakan dalam kombinasi dengan 1 dari 3 rejimen
glukokortikoid standar. Untuk pasien yang gagal mencapai respons parsial dalam
6 bln, maka tepat untuk beralih agen. Untuk remaja dengan berat badan dewasa,
dari paparan siklofosfamid. Sesuai protokol ini, dosis tetap 500 mg diberikan
setiap 2 minggu untuk 3 bulan; Rejimen ini diperkirakan untuk mengurangi efek
pada orang dewasa, tetapi belum dipelajari secara khusus di lupus pediatrik.
Kepatuhan pengobatan oral sangat buruk dalam SLE pediatrik, yang harus
dipertimbangkan ketika menimbang manfaat infus IV vs obat oral dua kali sehari
seperti MMF. Terapi pemeliharaan nefritis lupus terdiri dari siklofosfamid setiap
manfaat bagi subpopulasi pasien SLE. Badan Pengawas Obat dan Makanan AS
penyakit. Terapi lain yang sedang dipelajari untuk pengobatan lupus termasuk
status merokok, indeks massa tubuh, tekanan darah, dan faktor risiko
penempatan semua anak dengan SLE pada statin, analisis post hoc menunjukkan
CRP tinggi.
Untuk semua pasien SLE, asupan kalsium dan vitamin D yang cukup
vitamin D lebih rendah pada pasien SLE pediatrik dibandingkan dengan kontrol
itu, pasien SLE pediatrik berusia 6 tahun atau lebih harus menerima vaksinasi
digunakan dalam SLE kontraindikasi vaksin hidup. Perhatian yang cepat terhadap
episode demam harus mencakup evaluasi untuk infeksi serius. Karena pasien SLE
untuk depresi juga penting. Dukungan sebaya dan intervensi terapi kognitif-
perilaku mengurangi rasa sakit dan meningkatkan ketahanan dalam SLE pediatrik.
kebidanan sering terjadi. Selain itu, banyak obat yang digunakan untuk mengobati
SLE bersifat teratogenik, jadi penting untuk menasihati remaja perempuan tentang
2.9 Komplikasi4
pada pasien SLE adalah infeksi dan komplikasi glomerulonefritis dan penyakit
prematur pada SLE tidak dijelaskan oleh faktor risiko tradisional dan sebagian
merupakan hasil dari disregulasi kekebalan kronis dan peradangan yang terkait
perkembangan yang khas pada SLE dewasa. Namun, karena kemajuan dalam
dramatis selama 50 tahun terakhir. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup 5 tahun
untuk SLE pediatrik adalah sekitar 95%, meskipun tingkat kelangsungan hidup 10
tahun tetap 80-90%. Mengingat beban penyakit mereka yang panjang, anak-anak
dan remaja dengan SLE menghadapi risiko tinggi morbiditas dan mortalitas di
masa depan dari penyakit dan komplikasinya, serta efek samping pengobatan.
Mengingat sifat SLE yang kompleks dan kronis, hal ini yang terbaik bagi anak-
anak dan remaja dengan SLE untuk dirawat oleh ahli reumatologi pediatrik di
aktivitas penyakit sampai dengan remisi atau lupus low disease activity state
kortikosteroid lain yang setara) ≤7,5 mg/hari, dan tidak ditemukan efek toksisitas
CONTOH KASUS
Umur : 13 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Etnis/Suku : Indonesia
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Demam
3 hari SMRS, demam dirasakan naik turun, pasien belum ada meminum
obat untuk keluhan demamnya. Pasien juga ada mengeluhkan nyeri ulu hati
sejak 3 hari SMRS, mual (-), muntah (-), saat ini pasien merasakan nyeri
perut kanan bawah. Tangan dan kaki pasien juga dirasakan nyeri dan kram
sejak 3 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan ada kemerahan disertai gatal
di daerah kepala, wajah, telinga, belakang telinga, kedua tangan dan kedua
kaki, kemerahan muncul sejak 1 bulan yang lalu, pertama kali muncul di
daerah kepala depan, awal muncul kemerahan yang semakin lama menjadi
hitam, kemudian keluhan menyebar ke daerah yang lain. Makan dan minum
pasien bagus. BAK dan BAB normal, tidak ada nyeri saat BAK, bengkak
(-), pasien ada mengeluhkan rambut rontok sedikit (+), penurunan BB (-),
Riwayat Pribadi:
Alergi: -
Pemeriksaan Umum
Kesadaran: Komposmentis
GCS: E4V5M6
Respirasi: 20 kali/menit
Suhu: 39,1oC
BB: 32 kg
TB: 147 cm
Status Antropometri
Interpretasi:
TB/U: P5-P10 (Stunted)
BB/U: <P5 (Severely underweight)
Waterlow: 82% (Gizi Kurang)
teraba pembesaran, Nyeri Tekan Epigastrium (+), Nyeri tekan perut bawah
(+)
Status Dermatologis
likenifikasi, multiple
Kesan: SLE
3.6 Diagnosis
Nefritis SLE
ISK susp
Gizi Kurang
Kriteria:
EULAR/ACR criteria : 12
3.7 Follow Up
Pada pasien ini akan dilakukan pengobatan selama 6 bulan yang mana
aspilet 1x200mg, Vitamin D 1x1000 IU dan Calsium lactat 1x1bks, hal ini sesuai
PENUTUP
multisystem, dan langka yang gejalanya bervariasi mulai dari ringan hingga yang
mengancam nyawa. Pasien dengan SLE dapat mengalami gejala mulai dari rash,
Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi.
diagnosis. Klasifikasi SLE yang dapat digunakan yaitu ACR 1997, SLICC 2012,
dan EULAR dan ACR tahun 2019. Terapi non-medikamentosa yang dapat
diberikan adalah penggunaan tabir surya dan menghidari paparan sinar matahari
rituximab, dan belimumab, Aspirin (81 mg/hari) untuk SLE dengan sindrom
antibodi antifosfolipid, Kalsium dan vitamin D, dan Imunisasi rutin
direkomendasikan.
DAFTAR PUSTAKA
8. Ortega LM, Schultz DR, Lenz O, Pardo V, Contreras GN. Lupus nephritis:
pathologic features, epidemiology and a guide to therapeutic decisions. Sage
(Lupus). 2010;19:557-74.
11. Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. The New England
Journal of Medicine. 2008;358(9):929-39.
12. Hahn BH, McMahon M, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, FitzGerald
J, et all. American College of Rheumatology Guidelines for Screening, Case
Definition, Treatment and Management of Lupus Nephritis. Arthritis Care
Res (Hoboken). 2012;64(6):797-808.