Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

PENILAIAN AKTIVITAS PENYAKIT PADA


LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Oleh:
Ika Maratul Kumala G99152049
Shinta Retno Wulandari G99152051
Debby Davina Saraswati G99151063

Pembimbing

dr. Nur Hasan Agung, Sp.PD


.

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U RAKAR TA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun dengan


spektrum penyakit yang sangat bervariasi dan melibatkan berbagai organ.
Penyakit ini merupakan sindrom klinis yang didasari disregulasi sistem imun dan
ditandai oleh pembentukan autoantibodi antinukleus (ANA), terutama anti double
stranded DNA (antidsDNA) yang selanjutnya akan membentuk kompleks imun
dan terjadi inflamasi serta kerusakan jaringan.1-4 Insiden tahunan SLE di Amerika
serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika
dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio gender wanita dan laki-
laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua
wilayah Indonesia.4,5
Penyakit LES dapat terjadi pada masa anak dan dewasa, tetapi 20% kasus
didiagnosis pada masa anak. Awitan LES yang timbul pada masa anak
memperlihatkan manifestasi dan prognosis yang lebih buruk dibandingkan jika
LES baru terjadi pada usia dewasa.4,5 Insidens LES pada anak mencapai 1020
kasus per 100.000 anak dan umumnya lebih sering ditemukan pada anak
perempuan di atas usia 10 tahun.5,6 Prevalensi LES bervariasi tergantung pada
wilayah demografi dan etnis, pada anak perempuan dari etnis Asia berkisar 31,14
per 100.000 anak.4 Selama periode 19972007 terdapat 36 kasus LES di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM), 29 di antaranya adalah anak perempuan dan rasio anak perempuan
dibandingkan laki-laki 3,6:1. Sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat
291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik
reumatologi selama tahun 2010.4-5
Perjalanan penyakit LES bersifat episodik yang ditandai oleh fase remisi
dan flare. Pada penyakit ini tidak ditemukan tampilan klinis atau nilai
laboratorium yang secara tunggal dapat merepresentasikan derajat aktivitas
penyakit pada suatu waktu. Penentuan aktivitas LES melalui pemantauan jangka
panjang memiliki peran sangat penting dalam menentukan jenis dan dosis obat
serta mencegah timbulnya penyulit.7 Mengingat LES memerlukan pengobatan

2
jangka panjang maka dibutuhkan perangkat yang dapat mengevaluasi penyakit
LES.1,4 Terdapat berbagai sistem skor yang dapat digunakan untuk menilai
aktivitas LES, antara lain: the systemic lupus activity measure (SLAM), systemic
lupus erythematosus disease activity index (SLEDAI), the European consensus
lupus activity measurement (ECLAM) dan the British isles lupusassessment group
(BILAG).3 Secara keseluruhan semua jenis sistem skor ini akurat dan reliable,
serta dapat digunakan untuk anak dan dewasa. Sistem skor yang praktis dan
banyak digunakan dalam aplikasi klinis sampai saat ini adalah SLEDAI.3

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK


1. Definisi LES
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan
jaringan.1,2

2. Epidemiologi LES
Prevalensi LES diberbagai Negara sangat bervariasi antara
2.9/100.000-400/100.000. Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi
salah satu penyakit reumatik utama di dunia. LES lebih sering ditemukan
pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina.
Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. LES
dapat ditemukan pada semua usia, namun paling banyak pada usia 15-40
tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan pria
yaitu berkisar (5,5-9) : 1. Pada LES yang disebabkan obat, rasio ini lebih
rendah, yaitu 3:2.4

3. Etiopatogenesis LES
Etiopatologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga
melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi
genetik dan faktor lingkungan.5,15 Interaksi antara jenis kelamin, status
hormonal, dan aksi Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA) mempengaruhi
kepekaan dan ekspresi klinis LES. Adanya gangguan dalam mekanisme
pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan
kompleks imun merupakan kontributor yang penting dalam perkembangan
penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenik,
bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan
respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel

4
dan memproduksi autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar
faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau infeksi virus
dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem
imun.1-4
Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral
seperti faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap
respons imun.5,15 Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita
lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar
monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang
berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga
berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks
histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat
komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain
yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin.1
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep
bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi
komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen
dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi
C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga
komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.1
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus,
seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV
mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan
apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan
mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase
induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi
sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya
kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan

5
merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi
terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau
yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan
gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya
yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya
yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada
penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi
ekspresi sel permukaan dan apoptosis.1-4
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar
hormon estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktifasi sel B
poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada
pasien LES. Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi
antigen nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi
terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid.
Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti
oleh aktifasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada
banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.1-4

4. Manifestasi LES
a. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada
penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis
lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain
yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya
beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah.
Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.1,2
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES
dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu

6
makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.5,15 Demam sebagai
salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab lain
seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40C tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak
disertai menggigil.1,2
b. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE),
Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus /
paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa
eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia, fenomena
Raynauds atau vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih
perak dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada palatum mole
dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.1,4
c. Manifestasi Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan
muskuloskeletal. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri
sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas
bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi
artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris.
Namun pada umumnya pada LES tidak meyebabkan kelainan
deformitas.1 Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendinitis
juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi.
Gejala lain yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang
didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan dengan
terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati
juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid
dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan
dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.1,4
d. Manifestasi Paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah
pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan
shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau
berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak,

7
batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai
akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah
paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini
memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis
merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari
perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan tidak
hanya pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau
pemberian sitostatika.1,4
e. Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit
perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai
penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus,
ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang,
kardiomegali sampai gagal jantung.5
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan
nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada
ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs,
seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi
mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya
vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan
endokarditis bakterialis.1,4
Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner
5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang
berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.5,15
f. Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang
sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita :
pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara
usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya
tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma
nefrotik.2,3
Penilaian keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan
dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat

8
proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria
kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi
nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik
dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan
untuk biopsi ginjal.3
g. Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada
penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam
keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya
kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas.
Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak
dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan
adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi
pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis,
pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran
organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan
serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.1,4
h. Manifestasi Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia
akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan
perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.1,4
i. Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan
karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan
sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak
didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan
lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.5
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan
penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati

9
perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan
psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai
psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid.
Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran
yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang
spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan
adanya infark atau perdarahan.5,15

5. Pemeriksaan Penunjang
a. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
b. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin
c. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
d. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
e. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
f. Foto polos thorax
- Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring
- Setiap 3-6 bulan bila stabil
- Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
SLE adalah tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada
pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes
ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis),
penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD),
artritis reumatoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali
dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada
waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai

10
substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya
diagnosis LES dapat disingkirkan.3
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif
adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-
dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan
ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes
spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya
hampir 100%. Titer anti-ds DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan
diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat
rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.12

6. Diagnosis LES
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi
ini diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak
kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari American
College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat
dinamisnya keluhan dan tanda LES dan pada kondisi tertentu seperti lupus
nefritis, neuropskiatrik lupus, maka dapat saja kriteria tersebut belum
terpenuhi. LES pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai
penyakit lain misalnya artritis reumatoid, glomerulonefritis, anemia,
dermatitis dan sebagainya. Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan
gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology
(ACR), pada tahun 1997, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES,
dimana apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis LES dapat ditegakkan.1-4
Kriteria tersebut adalah :
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat
nasolabial
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan
sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan
parut atrofik

11
Fotosensitivitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien
atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri
dan dilihat oleh dokter pemeriksa
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih
sendi perifer, ditandai nyeri tekan, bengkak atau
efusia
Serositis

a. Pleuritis
a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat
bukti efusi pleura, atau
b. Perikarditis
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi pericardium

Gangguan renal
a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+
bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif, atau
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran
Gangguan
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
neurologi
atau gangguan metabolik (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit),
atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolik (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau
b. Lekopenia <4.000/mm pada dua kali
hematologi
pemeriksaan atau lebih, atau
c. Limfopenia <1.500/mm pada dua kali
pemeriksaan atau lebih, atau
d. Trombositopenia <100.000/mm tanpa disebabkan
oleh obat-obatan

12
Gangguan a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan
imunologi titer yang abnormal, atau
b. Anti-Sm : terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm, atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosolipid
yang didasarkan atas :
1) Kadar serum antibodi antikardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan
metoda standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan tes imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorpsi antibodi treponema
Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
antinuklear pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan
positif (ANA) setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan
penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi
obat

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki


sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinik. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinik lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.1-4

7. Penatalaksanaan LES Secara Umum


Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan
dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru
terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada
penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu
secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya,

13
penderita LES mengalami fotosensitifitas sehingga penderita harus selalu
diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Selain
itu, penderita LES juga harus menghindari rokok.4
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus
selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,
terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi,
obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung,
ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan
pada penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut
gigi dan prosedur invasif lainnya.3
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama
penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang
merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau
siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES
dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan
aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.17
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu
apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak
mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat
diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan
mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi
agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan
lainnya.3
a. Terapi Konservatif
1) Artritis, Artralgia & Mialgia
Artritis, artralgia, dan mialgia merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan
dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi
nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat
ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat keadaan
umum penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal,

14
hepar dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan memeriksa
kreatinin serum secara berkala.1,4
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak
memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan
pemberian obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400
mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan
efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih
dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan
memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai
efek toksik terhadap retina.4
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons
adekuat dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau
obat antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid
dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi.
Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi artritis pada penderita LES.1,3
2) Lupus Kutaneus
Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitifitas.
Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh
sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang juga
sinar fluoresensi. Penderita fotosensitifitas harus berlindung
terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju
pelindung, kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan
langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen
topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung
PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat
menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu
dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat.11
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat
topikal harus hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama
yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit,
depigmentasi, teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka

15
dianjurkan penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan
rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit
badan dan lengan dapat digunakan steroid topikal berkekuatan
sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid.
Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar
pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi,
misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem
glukokortikoid berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2
minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih
rendah.1,4
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus
kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid.
Antimalaria mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan
imunosupresan. Pada penderita yang resisten terhadap
antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid
sistemik. Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada
penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LE berbula. Efek
toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik adalah
methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik,
yang kadang-kadang memperburuk ruam LES di kulit.4
3) Kelelahan dan keluhan sistemik
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada
penderita LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam.
Kelelahan juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid,
sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga
diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Pada keadaan yang berat
dapat menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LES dan
pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.4
4) Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat
merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini
dapat diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid,
antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada

16
keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik
untuk mengontrol penyakitnya.3
b. Terapi Agresif
1) Kortikosteroid
Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian
glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai bila timbul
manifestasi serius LES dan mengancam nyawa, misalnya
vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserositis,
miokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk
proliferatif), anemia hemolitik, trombositopenia, sindrom otak
organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer
dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi).4,5
Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan
dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan diberikan.
Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek panjang
seperti deksametason, sebaiknya dihindari. Pemberian prednison
lebih banyak disukai, karena lebih mudah mengatur dosisnya.
Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis
tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor LES, seperti
arthritis, serositis dan gejala konstitusional, dapat diberikan
prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor
dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari.
Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15
mg/kgBB selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan
prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.4
Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat
juga dalam waktu yang cukup lama, seperti 6-10 minggu. Setelah
pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka
harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai
dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut.
Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan
dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednison

17
mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1
mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison
dinaikkan sampai ke dosis efektif, kemudian dicoba diturunkan
kembali.3
Apabila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian
glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang
nyata, dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain
atau terapi agresif lainnya.5
2) Siklofosfamid
Indikasi siklofosfamid pada LES :
i. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid
sparing agent)
ii. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis
tinggi
iii. Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid
jangka lama atau berulang
iv. Glomerulonefritis difus awal
v. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
vi. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin
serum tanpa adnya faktor-faktor ekstrarenal lainnya
vii. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml
NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3
liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas
pada terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan
interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama
pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan
penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid
diturunkan sampai 500-750 mg/m2.5
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah
harus dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka
dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan

18
menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis
siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus
ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya.
Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan muntah,
alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi
ovarium dan azoospermia.4
3) Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan
sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3
mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat
diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES; setelah
penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal
mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan
dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan
baik.17
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem
hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan
keganasan.3,4
4) Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk
pengobatan LES adalah Siklosporin dosis rendah (3-6
mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES baik tanpa
manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar
kreatinin darah. Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari
kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin, maka
dosisnya harus diturunkan.17
5) Mofetil-mikofenolat (MMF)
MMF dapat menurunkan aktifitas dan mortalitas penderita
LES. Pada nefritis lupus, MMF memiliki efek yang sebanding
dengan siklofosfamid dalam hal tingkat remisi, kekambuhan dan
risiko infeksi. MMF dapat mempertahankan tingkat remisi nefritis
lupus sebanding dengan siklofosfamid jangka panjang. MMF

19
tidak berhubungan dengan penekanan sumsum tulang, atau
amenorrhea. Dosis MMF adalah 500 1500 mg, 2 kali perhari.17
6) Rituximab
Rituximab adalah monoklonal antibodi anti-CD20, yang
dapat digunakan dalam pengobatan penyakit autoimun sistemik,
termasuk LES. Dosis rituximab adalah 1 gram, 2 kali pemberian
dengan jarak 2 minggu, dan dapat diulang setiap 6 bulan.17
7) Imunoglobulin G IV
Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk
mengatasi trombositopenia pada LES, dengan dosis 300-400
mg/kg BB/hari, diberikan selama 5 hari berturut-turut, diikuti
dosis pemeliharaan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan.
Kontraindikasi mutlak pemberian imunoglobulin pada pada
penderita defisien IgA yang kadang-kadang ditemukan pada
penderita LES.17

8. Prognosis Penyakit LES


Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang
terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi.
Mortalitas pada pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun
terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5
tahun pada LES kurang dari 50%.1-4 Saat ini, tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat
kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%.
Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan
Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%.3 Penurunan
angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan
diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan
penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan medis umum.1,3

B. SKOR PENILAIAN AKTIVITAS PENYAKIT PADA LES


Secara umum terdapat 3 macam sistem skor yaitu sistem skor untuk
menilai aktivitas penyakit, sistem skor untuk menilai kerusakan organ, dan

20
sistem skor yang menggambarkan persepsi pasien tentang kesehatannya
(kuesioner kualitas hidup).3,4 Terdapat dua jenis sistem skor yang digunakan
untuk menilai aktivitas penyakit LES. Jenis pertama merupakan sistem skor
yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum yang sederhana
mengenai aktivitas penyakit yaitu SLAM, SLEDAI, dan ECLAM.9,22 Jenis
kedua adalah sistem skor rinci yang menggambarkan keadaan berbagai sistem
organ secara terpisah, yaitu BILAG.10,11 Secara keseluruhan sistem skor ini
akurat dan reliable, serta dapat digunakan baik pada anak maupun dewasa.4
Penelitian yang dilakukan oleh Brunner dkk.11 pada 35 orang anak
penderita SLE membuktikan bahwa sistem penilaian SLEDAI, SLAM, dan
BILAG sensitif dalam menilai perubahan aktivitas penyakit sehingga dapat
digunakan dalam tatalaksana LES pada anak. Sepanjang tahun 1950-an
hingga 1980-an terdapat sekitar 60 jenis sistem skor yang dikembangkan
untuk menilai aktivitas LES, namun tidak satupun dari sistem skor ini
divalidasi sehingga tidak dapat digunakan secara luas. Sejak 15 tahun terakhir
muncul berbagai usaha untuk melakukan validasi terhadap berbagai sistem
skor.
Secara umum sistem skor yang baik harus memiliki komponen sebagai
berikut:12,22
a. Terdapat pengelompokan variabel yang dapat diterima secara umum.
b. Jumlah variabel yang digunakan dalam sistem skor mencukupi.
c. Terdapat kesesuaian dengan sistem skor lain yang telah divalidasi.
d. Terdapat korelasi yang baik antara klinis dengan laboratorium yang
menunjukkan aktivitas penyakit.
e. Dapat membedakan kelompok pasien dengan aktivitas penyakit yang
berbeda-beda.

1. Systemic lupus activity measure (SLAM)


Sistem skor SLAM dikembangkan di Boston oleh anggota Lupus
Council of the American College of Rheumatology. Skor ini terdiri dari
23 variabel yang menggambarkan 11 sistem organ, skala penilaian dibagi
menurut tingkat keparahan, yaitu dari skala 1 sampai 3 dengan skor
maksimal atau total 86. Pada SLAM modifikasi (SLAM-R) terdapat 31
variabel dari 10 sistem organ (variabel pneumonitis dihilangkan), namun
terdapat variabel yang bergantung pada subjektivitas pasien yaitu
21
artralgia dan kelelahan. Skor SLAM tidak terdapat variabel kelainan
imunologi serologi. 4,11,22

2. European consensus lupus activity measurement (ECLAM)


Sistem skor ECLAM dikembangkan pada tahun 1992 dari hasil
penelitian kohort 704 pasien SLE di Eropa. Sistem skor ini berbeda
dengan sistem skor lainnya karena disusun langsung dari suatu studi
dengan jumlah pasien yang relatif banyak. Skor ini terdiri dari 15
variabel yang masing-masing diberi nilai sesuai koefisien regresinya
pada uji multivariat. Skor ECLAM sensitif terhadap perubahan aktivitas
penyakit dan berkorelasi baik dengan SLEDAI.4,11,22
European Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM).
demam
1. Manifestasi umum 0,5
lemas
arthritis
3. Manifestasi persendian 1
arthralgia
Ruam malar
5. a. Manifestasi Ruam menyeluruh
Ruam diskoid 0,5
mucocutaneous aktif Vasculitis
Ulkus oral
b. Mucocutaneus 1
10. Myositis 2
11. Pericarditis 1
Vasculitis intestinal
12. Manifestasi intestinal 2
peritonitis steril
pleurisy
14. Manifestasi pulmo pneumonitis 1
dyspnea yang parah
Sakit kepala/migraine
17. Manifestasi kejang
Stroke 2
neuropsikiatri penyakit otak organik
Psikosis
Proteinuria
urinary cast
Hematuria
22. a. Manifestasi ginjal peningkatan kreatinin serum 0,5
atau penurunan clearance
kreatinin
b. Manifestasi ginjal lanjut 2
26. Hematologi fitur Anemia Non-hemolitik 1
anemia hemolitik
22
Leukopenia (atau limfopenia)
Trombositopenia
30. Tingkat sedimentasi
Peningkatan ESR 1
eritrosit
C3
31. a. Hypocomplementaemia 1
CH50
b. Hypocomplementaemia
1
lebih lanjut

Keterangan :
Jika satu manifestasi mucocutaneus di atas baru atau semakin buruk
sejak observasi terakhir, tambahkan 1 poin
Jika sistem atau manifestasi adalah satu-satunya keterlibatan dari item 1 -
10, tambahkan 2 poin lebih.
+ Tidak termasuk pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium akhir.
# Jika total skor akhir bukan bilangan bulat, bulatkan ke bawah jika
angka <6 dan bulatkan ke atas jika >6. Jika skor akhir >10 bulatkan
menjadi 10.37

European Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM).


1. Manifestasi umum diantaranya:
suhu basal pagi hari 37,50 C bukan
demam
disebabkan proses infeksi
lemas perasaan sangat lemas yang subjektif
2. manifestasi persendian
non erosive arthritis yang melibatkan
paling sedikit 2 sendi perifer (sendi
arthritis pergelangan tangan, sendi
metacarpophalangeal atau sendi
interphalangeal proksimal)

onset baru atau eksaserbasi nyeri


arthralgia spesifik terlokalisir tanpa simptom
objektif pada setidaknya 2 sendi perifer

3a. Manifestasi
mucocutaneous aktif
eritema, pendataran atau peninggian di
malar rash atas malar eminence, dan biasanya
sampai ke lipatan naso labial
23
maculu-papular rash yang tidak
terinduksi obat, yang mungkin
generalised rash ditemukan dimanapun pada tubuh, dan
tidak bergantung pada paparan sinar
matahari
erythematosus, bercak bertingkat
discoid rash dengan sisik keratotik adheren dan
penyumbatan folikel
termasuk ulcer digit, purpura, urticaria,
skin vasculitis
lesi bulosa
ulcer oral atau nasopharyngeal, biasanya
oral ulcer
tidak nyeri, diobservasi oleh dokter

jika manifestasi mucocutaneus di atas


3b. Mucocutaneus baru atau semakin parah sejak observasi
terakhir, tambahkan 1 poin
dikonfirmasi dengan peningkatan
4. myositis enyme otot dan atau pemeriksaan EMG
dan atau histologi
dengan ECC atau bising atau bukti efusi
5. pericarditis
pericardial pada ultrasound
6. manifestasi intestinal
intestinal vasculitis bukti vasculitis intestinal akut
bukti efusi abdomen tanpa disertai
peritonitis steril
proses infeksi
7. manifestasi pulmo
bukti klinis atau radiologis efusi pleura
pleurisy
tanpa disertai proses infeksi
single atau multiple opasitas paru pada
pneumonitis X-ray thorak sebagai refleksi suatu
penyakit bukan proses infeksi
dyspnea yang parah disebabkan oleh keterlibatan interstitial
manifestasi baru atau memburuknya
8. manifestasi neuropsikiatri
salah satu dari berikut
Baru-baru ini berkembang, persisten
atau berulang. Kurang responsif
terhadap obat yang paling umum
Headache/migraine
digunakan, tetapi sebagian atau
seluruhnya responsif terhadap
kortikosteroid.

24
grand mal atau petit mal epilepsi,
Jacksonian, kejang lobus temporal, atau
sindrom choreic, dengan tidak adanya
kejang menyinggung obat-obatan atau
gangguan metabolik (mis uremia,
ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit ).
infark serebral atau perdarahan,
Stroke
instrumental dikonfirmasi
Penurunan memori, orientasi,
penyakit otak organik perceprion, dan kemampuan untuk
menghitung.
fitur disosiatif tanpa menyinggung obat-
obatan atau gangguan metabolik
Psikosis
dikenal, misalnya uremia, ketoasidosis
atau ketidakseimbangan elektrolit
9a. Manifestasi ginjal
Proteinuria Setidaknya 500 mg / hari
sel Red, hemoglobin, granular, tubular
urinary cast
atau mixed campuran
Hematuria mikroskopik atau makroskopik
peningkatan kreatinin
serum atau penurunan
clearance kreatinin
Jika salah satu manifestasi ginjal di atas
adalah baru atau telah memburuk sejak
9b. manifestasi ginjal lanjut
dua pengamatan terakhir, tambahkan 2
poin
10. hematologi fitur
Coombs-negatif hipokromik normositik
Anemia Non-hemolitik atau anemia normokromik tanpa
retikulositosis.
Coombs-positif anemia hemolitik,
dengan retikulositosis dan LDH
anemia hemolitik
meningkat, tanpa melibatkan obat-
obatan
Kurang dari 3.500 / mm3 WBC (atau
Leukopenia (atau
1.500 / mm3 limfosit) tanpa
limfopenia)
menyinggung obat-obatan
Kurang dari 100.000 / mm3 dalam
Trombositopenia
ketiadaan menyinggung obat
11. Tingkat sedimentasi
eritrosit
> 25 mm / jam dengan westergren atau
peningkatan ESR metode yang sebanding, bukan karena
proses patologis penyerta lainnya
25
penurunan tingkat plasma dari salah
12a. Hypocomplementaemia
satu dari berikut
Dengan immunodiffusion radial atau
C3
nephelometer laser
CH50 Dengan metode hemolitik standar
signifikan penurunan tingkat salah satu
12b.
item yang disebutkan di atas (ditambah
Hypocomplementaemia
C4) sehubungan dengan pengamatan
lebih lanjut
terakhir

3. British isles lupus assessment group (BILAG)


Sistem skor BILAG dirumuskan melalui diskusi mendalam ahli-
ahli reumatologi dan sistem skor ini didasarkan pada intention to treat,
digunakan untuk menentukan terapi yang akan diberikan. Skor BILAG
lebih komprehensif dibandingkan dengan SLEDAI, terdiri dari 86
variabel yang mengevaluasi 8 sistem organ. Penilaian setiap variabel
diukur secara kualitatif melalui observasi klinis dan akan mendapatkan
suatu skor alfabetik: A (paling aktif), B (aktif moderat), C (aktivitas
minimal), D (stabil), E (tidak pernah bermanifestasi). Umumnya skor
total tidak dihitung, namun untuk kepentingan studi skor alfabetik
tersebut dapat dikonversi A = 9, B = 3, C = 1, D = 0, E = 0, sehingga nilai
maksimumnya adalah 72.11,22
Skor BILAG merupakan sistem skor yang paling komprehensif
sehingga disarankan untuk menggunakan software khusus dalam
melakukan perhitungan, karena rinci BILAG cocok digunakan dalam
penelitian klinis, namun tidak praktis digunakan untuk klinis sehari-hari.
Walaupun rinci ternyata ada beberapa sistem yang tidak dimunculkan
secara jelas dalam BILAG, yaitu sistem okular dan gastrointestinal.
Pemantauan kedua sistem organ ini dimasukkan ke dalam pemantauan
sistem organ lain. Skor BILAG juga tidak memonitor kelainan serologi
imunologi.

26
4. Systemic lupus erythematosus disease activity index (SLEDAI)
Sistem skor yang paling sering digunakan adalah SLEDAI,
dihitung setiap 36 bulan, atau ketika ada perubahan aktivitas penyakit.1
Skor SLEDAI dikembangkan di Toronto pada tahun 1985. Pada sistem
skor ini terdapat 24 variabel yang menggambarkan 8 sistem organ. Skor
ini mencatat manifestasi penyakit dalam waktu 10 hari sebelum waktu
pengukuran. Masing-masing variabel diberi bobot nilai yang bervariasi,
tergantung dari beratnya manifestasi klinik yang terjadi bila organ
tersebut terganggu. Pada gangguan ginjal, gangguan neurologi dan
vaskulitis memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan
gangguan pada kulit. Skor maksimum SLEDAI adalah 105.

27
Nilai Deskripsi Definisi
Awitan baru, telah disingkirkan penyebab
8 Kejang
metabolik infeksi atau obat
Kemapuan hidup normal berubah akibat
gangguan persepsi yang berat terhadap
realitas. Termasuk halusinasi, inkoheren,
8 Psikosis asosiasi longgar, impoverished thought
content, berfikir tidak logis, bingung,
disorganized atau perilaku katatonik. Telah
disingkirkan penyebab uremia dan obat.
Fungsi mental berubah dengan gangguan
fungsi orientasi dan memori atau fungsi
intelektual dengan manifestasi klinis yang
berfluktuasi dan awitan cepat. Termasuk
kesadaran berkabut dengan penurunan
kapasitas untuk memfokuskan perhatian dan
Organic brain
8 ketidakmampuan mempertahankan
syndrome
perhatian terhadap lingkungan, ditambah
minimal 2 dari: gangguan persepsi,
berbicara inkoheren, insomnia atau
mengantuk siang hari, atau / aktivitas
psikomotor. Telah disingkirkan penyebab
metabolik, infeksi, atau obat.
Perubahan retina, termasuk cytoid bodies,
perdarahan retina, eksudat serosa atau
8 Gangguan visual berdarah pada koroid, atau neuritis optik.
Telah disingkirkan penyebab hipertensi,
infeksi atau obat
Gangguan sistem
8 Awitan baru neuropati sensoris dan motorik
saraf pusat (SSP)
Berat, sakit kepala persisten, migren yang
8 Lupus headache tidak responsif terhadap obat analgesik
narkotik
Cerebrovascular
8 Awitan baru. Tidak termasuk arteriosklerosis
accident (CVA)
8 Vaskulitis Ulkus, gangren, nodul jari yang keras, infark
28
periungual, perdarahan splinter, atau bukti
adanya vaskulitis pada hasil biopsi atau
angiogram
Artritis >2 sendi, nyeri, dan ada tanda
4 Artritis
inflamasi (nyeri tekan, bengkak, efusi)
Otot proksimal nyeri/lemah, karena kreatin
fosfokinase/aldolase meningkat atau
4 Miositis
perubahan elektromiogram, atau pada biopsi
terbukti miositis
4 Silinder urin Heme, granular atau silinder eritrosit
>5 eritrosit/LPB. Telah disingkirkan
4 Hematuria
penyebab batu, infeksi, atau penyebab lain
>0,5 g/24 jam. Awitan baru atau peningkatan
4 Proteinuria
terakhir >0,5 g/24 jam
>5 leukosit/LPB. Telah disingkirkan
4 Piuria
penyebab infeksi
2 Rash baru Rash inflamasi awitan baru atau rekurens
Hilangnya rambut abnormal yang difus, atau
2 Alopesia
patchy awitan baru atau rekurens
Ulkus oral dan awitan nasal baru atau
2 Ulkus mukosa
rekurens
Nyeri dada pada pleuritis dengan pleural
2 Pleuritis
rub atau efusi, atau penebalan pleura
Nyeri perikardial dengan konfirmasi 1 : rub,
2 Perikarditis
efusi, bukti EKG atau bukti ekokardiogram
Kadar
2 komplemen Kadar C50, C3 atau C4 di bawah normal.
darah rendah
dsDNA
2 dsDNA meningkat >25% dari sebelumnya
meningkat
1 Demam 380 C. Telah disingkirkan penyebab infeksi
1 Trombositopenia <100.000/L
1 Leukopenia <3.000/L Telah disingkirkan penyebab obat

Terdapat beberapa cara interpretasi sistem skor SLEDAI, menurut


Mosca dkk.13 interpretasi skor SLEDAI adalah sebagai berikut: no
activity (SLEDAI = 0), mild activity (SLEDAI = 15), moderate activity
(SLEDAI = 610), high activity (SLEDAI = 1119), dan very high

29
activity (SLEDAI = 20). Interpretasi skor SLEDAI menurut Soepriadi
dan Setiawan sebagai berikut:
a. Mild/moderate flare adalah bila terdapat salah satu dari keadaan
berikut: perubahan nilai SLEDAI lebih dari 3, timbulnya ruam
diskoid, fotosensitivitas, vaskulitis kutaneus, lupus bulosa, ulkus
nasofarings, pleurisi, perikarditis, artritis, demam, peningkatan dosis
prednison tetapi tidak melebihi 0,5 mg/kgBB/hari, peningkatan
penggunaan AINS.
b. Severe flare adalah bila terdapat salah satu dari keadaan berikut:
perubahan nilai SLEDAI lebih dari 12, timbul atau memburuknya
gejala SSP, vaskulitis, nefritis, miositis, phosphokinase (Pk) kurang
dari 60.000, Hb kurang dari 7 g/dl (atau Hb turun lebih dari 3 g/dl),
memerlukan peningkatan dosis prednison sampai 2 kali lipat, dosis
prednison lebih dari 0,5 mg/kgBB/hari, membutuhkan sitoksan baru
(azatioprin, MTX), dan rawat inap karena LES.1
Skor SLEDAI mudah digunakan dan reliable bahkan pada
pemantau pemula. Sistem skor ini juga sensitif dalam menilai perubahan
aktivitas penyakit, seperti yang dikemukakan oleh Brunner dkk.11 pada
penelitiannya dilakukan penilaian skor SLEDAI pada saat diagnosis awal
(dx), 6 bulan pasca diagnosis (dx6), saat flare pertama kali terjadi (ff),
dan 6 bulan pasca flare (f6). Diharapkan terjadi penurunan skor pada
perbandingan dx/dx6 dan ff/f6, serta terjadi peningkatan skor pada
dx6/ff. Dalam studi tersebut, diukur effect size index (ESI) yang
merupakan salah satu pendekatan statistik untuk menilai sensitivitas
terhadap suatu perubahan. Dilaporkan angka ESI untuk perbandingan
skor SLEDAI pada dx/dx6, ff/f6, dan dx/ff ialah 2,31, 2,24, dan -1,00.
Masing-masing bernilai lebih dari 0.8 yang berarti menunjukkan respon
yang tinggi terhadap perubahan aktivitas penyakit.

C. PERBANDINGAN SKORING
Bila dilakukan perbandingan antara berbagai sistem skor yang ada
maka SLEDAI adalah sistem skor yang paling mudah digunakan dalam
aplikasi klinis sehari-hari, karena memiliki variabel yang relatif sedikit
sehingga dapat diselesaikan dalam waktu sekitar 2 menit. Variabel dalam
30
SLEDAI sudah didefinisikan dengan jelas sehingga perbedaan persepsi
pengisi formulir menjadi minimal.9,11 Skor SLAM cukup mudah digunakan,
namun karena jumlah variabelnya lebih banyak menjadikan pengisian
formulir SLAM lebih lama dari SLEDAI. 11 Skor ECLAM memiliki variabel
yang paling sedikit (15 variabel), namun terdapat 34 subvariabel sehingga
membutuhkan waktu pengisian lebih lama. Pada ECLAM terdapat
pembulatan bilangan yang tidak sederhana dan berpotensi menimbulkan
kesalahan penilaian skor akhir.9 Skor BILAG adalah sistem skor yang paling
banyak jumlah variabelnya sehingga membutuhkan waktu yang lama, bahkan
disarankan untuk menggunakan software tertentu dalam pengisiannya, namun
skor ini dapat memberikan gambaran yang rinci tentang berbagai sistem
organ.10,11
Sistem skor SLEDAI, BILAG, dan ECLAM lebih responsif terhadap
perubahan aktivitas penyakit dibandingkan dengan SLAM, sensitivitas
terhadap perubahan aktivitas penyakit ini dihitung dengan membandingkan
perubahan jumlah skor terhadap peningkatan atau penurunan dosis
kortikosteroid.9-11 Skor SLEDAI lebih sensitif daripada SLAM karena pada
anak dengan kondisi LES yang sedang aktif sering terjadi perburukan pada
organ ginjal. Skor untuk organ ginjal pada SLEDAI berjumlah 16 sedangkan
SLAM hanya 8. Skor BILAG dan ECLAM lebih sensitif dalam menilai
perubahan aktivitas penyakit daripada SLEDAI, hal ini karena kedua sistem
skor ini lebih sensitif dalam mendeteksi kebutuhan pasien terhadap
peningkatan terapi. Skor BILAG dan ECLAM memiliki lebih banyak variabel
dibanding SLEDAI, serta pada BILAG variabel lebih rinci (terdapat 4 macam
skor pada BILAG: improving, same, worse, new), sehingga tingkat keparahan
masing-masing sistem organ dapat ditentukan, sedangkan pada SLEDAI
hanya bisa ditentukan ada atau tidaknya suatu manifestasi gejala.9-11
Ketiga sistem skor SLEDAI, SLAM, dan ECLAM menilai aktivitas
penyakit secara keseluruhan sehingga pada akhirnya didapatkan skor total
yang merepresentasikan tingkat aktivitas penyakit. Sistem skor ini
memudahkan klinisi untuk mendapatkan gambaran secara langsung
perbandingan aktivitas penyakit dari waktu ke waktu, walaupun
kekurangannya adalah lebih sulit untuk melakukan follow-up per organ.9,11

31
Skor SLEDAI, BILAG, dan ECLAM sensitif dalam memprediksi
tingkat kerusakan organ yang terjadi akibat SLE. Hal ini diketahui dengan
membandingkan ketiga sistem skor tersebut dangan Systemic Lupus
International Collaborating Clinics/American College of Rheumatology
(SLICC/ACR) damage index. Didapatkan hasil bahwa peningkatan skor
berkorelasi dengan peningkatan damage index.13

Tabel 2.6. Tabel ringkasan karakteristik masing-masing sistem skor


No KRITERIA BILAG ECLAM SLAM SLEDAI
Masing-
masing
sistem Penilaian Penilaian Penilaian
1 Penilaian
organ dinilai umum umum umum
secara
individual
Durasi waktu
2 pengamatan 28 Tidak jelas 28 10
(hari)
3 Jumlah variabel 86 15 31 24
Variabel
4 Tidak ada Ada Tidak ada Ada
imunologi
Pembobotan
5 dalam Ya Ya Tidak Ya
variabel
Analisis
6 keparahan Ya Tidak Ya Tidak
gejala
7 Variabel terapi Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Umumnya
Penjumlahan
tidak
Penjumlahan dengan
dijumlahkan
nilai pembulatan Penjumlahan Penjumlahan
8 (kecuali
akhir bilangan sederhana sederhana
pada
pecahan
penelitian
klinis)
9 Dapat Ya Ya Ya Ya
digunakan pada
32
anak dan
dewasa
Lamanya
10 pengisian Paling lama Cepat Cepat Paling cepat
Formulir
Responsifitas
terhadap
11 Sangat baik Sangat baik Kurang Baik
aktivitas
penyakit
Kemampuan
untuk
Tidak
12 memprediksi Baik Baik Baik
diketahui
kerusakan
organ

33
BAB III
KESIMPULAN

1. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai


dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh.
2. Penentuan aktivitas LES melalui pemantauan jangka panjang memiliki peran
sangat penting dalam menentukan jenis dan dosis obat serta mencegah
timbulnya penyulit.
3. Terdapat dua jenis sistem skor yang digunakan untuk menilai aktivitas
penyakit LES :
a. Untuk memberikan gambaran umum yang sederhana mengenai aktivitas
penyakit yaitu SLAM, SLEDAI, dan ECLAM.
b. Untuk menggambarkan keadaan berbagai sistem organ secara terpisah,
yaitu BILAG.
4. Secara keseluruhan sistem skor ini akurat dan reliable, serta dapat digunakan
baik pada anak maupun dewasa
5. Sistem skor yang praktis dan banyak digunakan dalam aplikasi klinis sampai
saat ini adalah SLEDAI.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus sistemik.


Dalam: Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi-
imunologi anak. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. h. 346-73.
2. Gitelman MSK, Miller ML. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics.
Edisi ke17. Philadelphia: Saunders; 2004. h. 809-13.
3. Lam GKW, Petri M. Assessment of systemic lupus erythematosus. Clin Exp
Rheumatol. 2005;23(Suppl.39):120-32.
4. Lehman TJA. Systemic lupus erythematosus in childhood and adolescence.
Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, penyunting. Dubois lupus erythematosus.
Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;2007. h. 848-66.
5. Alatas H. Nefritis lupus. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2004. h. 366-80.
6. Petty RE, Laxer RM. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Cassidy JT,
Petty RE, penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-
5.Philadelphia:Elsevier Saunders; 2005. h. 342-91.
7. Sudewi NP, Kurniati N, Suyoko EMD, Munasir Z, Akib AAP. Karakteristik
klinis lupus eritematosus sistemik pada anak. Sari Pediatri. 2009;11:108-12.
8. Gladdman DD, Goldsmith CH, Urowitz MB, Bacon P, Bombardier C,
Isenberg D, dkk. Sensitivity to change of 3 Systemic Lupus Erythematosus
Disease Activity Indices: international validation. J Rheumatol.
1994;21:1468-71.
9. Brunner HI, Silverman ED, Bombardier C, Feldman BM. European
consensus lupus activity measurement is sensitive to change in disease
activity in childhood awitan systemic lupus erythematosus.Arthritis Rheum.
2003;49:335-341.
10. Yee CS, Isenberg DA, Prabu A, Sokoll K, The LS, Rahman A, dkk. BILAG-
2004 index captures systemic lupus erythematosus disease activity better than
SLEDAI-2000. Ann Rheum Dis. 2008;67:873-6.
11. Brunner HI, Feldman BM, Bombardier C, Silverman ED. Sensitivity of the
systemic lupus erythematosus disease activity index, British isles lupus
assessment group index, and systemic lupus activity measure in the

35
evaluation of clinical change in childhood-awitan systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum.1999;42:1354-60.
12. Khanna S, Pal H, Pandey RM, Handa R. The relationship between disease
activity and quality of life in systemic lupus erythematosus. J Rheumatol.
2004;43:1536-40.
13. Mosca M, Bombardieri S. Assessing remission in systemic lupus
erythematosus. Clin Exp Rheumatol. 2006;24 (Suppl 43):S100-S104.
14. Ibanez D, Gladman DD, Touma Z, Nikpour M, Urowitz MB. Optimal
frequency of visits for patients with systemic lupus erythematosus to measure
disease activity over time. J Rheumatol. 2011;38:60-3.
15. United States Deparment of Health and Human Services. Handout on health
Systemic lupus erythematosus. National Institute of Health (NIH) publication.
2003;3:1-40.
16. Anolik JH, Aringer M. New treatments for SLE: cell-depleting and anti-
cytokine therapies. Best Pract Res Clin Rheumatol. 2005;19:859-78.
17. Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N. Systemic lupus erythematosus.
Essentials of clinical immunology. Edisi ke-4. Blackwell science;1999. h.
194-9.
18. Gottlieb BS, Ilowite NT. Systemic lupus erythematosus in children and
adolescents. Pediatr in Rev. 2006;27:323-9.
19. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The definition and clasissification of systemic
lupus erythematosus. Dalam: Wallace DJ, Hahn DH, penyunting. Dubois
lupus systemic erythematosus. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins;2007. h. 16-20.
20. Petri M. Treatment of systemic lupus erythematosus: an update. Am Fam
Physician. 1998;57:2753-60.
21. Harsono A, Endaryanto A. Lupus eritematosus sistemik. 2006. Bagian IKA
UNAIR Surabaya. Diunduh dari: www.pediatric.com. Diakses tanggal 5
November 2009.
22. Isenberg D, Ramsey-Goldman R. Assesing patients with lupus: toward a drug
responder index.J Rheumatol. 1999;38:1045-9.
23. Soepriadi, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Garna H,
Nataprawira HMD, penyunting. Pedoman diagnosis dan terapi Ilmu
Kesehatan Anak. edisi ke-3. Bandung: Bagian IKA FK Universitas
Padjadjaran, 2005. h. 133-42.
24. Gladman DD, Urowitz MB. Prognosis, mortality, and morbidity in systemic
lupus erythematosus. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, penyunting. Dubois

36
lupus erythematosus. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins; 2007. h. 1333-53.
25. Gomez LAR, Uribe OU, Uribe OO, Romero HG, Cardiel MH, Wojdyla D,
dkk. Childhood systemic lupus erythematosus in latin america: the gladel
experience in 230 children. Lupus. 2008;17:596-604.
26. Gulay CB dan Dans LF. Clinical presentations and outcomes of filipino
juvenile systemic lupus erythematosus. Ped Rheum. 2011;9:1-7
27. Muzaffer MA dan Al-Mayouf SM. Clinical and laboratory variables of
childhood systemic lupus erythematosus in western province of saudi arabia.
Rheumatol Int. 2011;31:23-26.
28. Bakr A. Epidemiology treatment and outcome of childhood systemic lupus
erythematosus in egypt. Pediatr Nephrol. 2005;20:1081-6.
29. Gonzalez B, Hernandez P, Olguin H, Miranda M, Lira L, Toso M, dkk.
Changes in the survival of patients with systemic lupus erythematosus in
childhood: 30 years experience in chile. Lupus. 2005;14:918-23.
30. FitzGerald JD dan Grossman JM. Validity and reliability of retrospective
assessment of disease activity and flare in observational cohorts of lupus
patients. Lupus. 2009;8:638-44.
31. Dung NTN, Loan HT, Nielsen S, Zak M, Petersen FK. Juvenile systemic
lupus erythematosus awitan patterns in vietnamese children: a descriptive
study of 45 children. Pediatr Rheum. 2012;10:38-44.
32. Hiraki LT, Benseler M, Tyrrell PN, Hebert D, Harvey E, Silverman ED.
Clinical and laboratory characteristics and long-term outcome of pediatric
systemic lupus erythematosus: a longitudinal study. J Pediatr. 2008;152:550-
6.
33. Benseler SM dan Silverman ED. Systemis lupus erythematosus. Pediatr Clin
NAm. 2005;52:443-67.
34. Barr SG, Zonana-Nacach A, Magder LS, Petri M. Patterns of disease activity
in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. 1999;42:2682-8.
35. Brunner HI, Gladman DD, Ibanez D, Urowitz MD, Silverman ED. Difference
in disease features between childhood-awitan and adult-awitan systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum;58:556-62.
36. Liang HL, Socher SA, Larson MA, and Schur PH. Reliability and validity of
six systems for the clinical assessment of disease activity in systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum 1989; 32: 1107-18.
37. Vitali C, Bencivelli W, Isenberg DA, et al: Disease activity in systemic lupus
erythematosus: report of the Consensus Study Group of the European
Workshop for Rheumatology research. II. Identification of the variables
37
indicative of disease activity and their use in the development of an activity
score. The European Consensus Study Group for Disease Activity in
SLE. Clin Exp Rheumatol 10(5):541547, 1992.
38. Yee CS, Cresswell L, Farewell V, et al: Numerical scoring for the BILAG-
2004 index. Rheumatology (Oxford) 49(9):16651669, 2010.

38

Anda mungkin juga menyukai