Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

ILMU PENYAKIT JANTUNG


SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Oleh :
IMRON ROSYADI
20141040201117
AININ MEYSHINTIA
20141040201117
Pembimbing :
dr. MOH. MAHFUDZ, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
RSUD JOMBANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kompleks
yang dapat mengenai hampir semua sistem organ dan memiliki manifestasi klinis
yang bervariasi. Pasien dapat memiliki keluhan pada kulit, membran mukosa,
sendi,

ginjal,

komponen

hematologik,

sistem

saraf

pusat,

system

retikuloendotelial, sistem pencernaan, jantung, dan paru. Penyakit ini dapat


mengenai berbagai usia dan jenis kelamin, terutama pada perempuan usia
produktif (20-40 tahun) (Oktaria, 2010).
Tingkat kejadian SLE diperkirakan sebanyak 51 kejadian per 100.000
orang di Amerika Serikat, kejadian lupus meningkat sebanyak tiga kali lipat dalam
40 tahun terakhir (Bertsias G, Cervera R, & Boumpas T, 2012).
Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Angka kematian
pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada
tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi, termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vascular aterosklerosis (PB
PABDI, 2011).
Komplikasi pada jantung merupakan salah satu manifestasi klinis SLE
yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Morbiditas karena kelaian
kardoivaskular menempati urutan ketiga setelah infeksi dan gagal ginjal. Salah
satu laporan menunjukkan mortalitas karena perikarditis atau miokarditis pada
pasien SLE sebesar 15%.

Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan


tentang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) sebagai salah satu penyakit di
bidang ilmu Penyakit Dalam sehingga dapat melakukan diagnosis dini untuk
menentukan terapi bagi pasien.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


2.1.1 Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah sindrom gangguan autoimun
multisistem dengan spektrum yang luas presentasi klinis meliputi hampir semua
organ dan jaringan (Bertsias G, Cervera R, & Boumpas T, 2012). Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) merupakan kondisi inflamasi yang berhubungan dengan
sistem imunologi yang dapat menyebabkan kerusakan multi organ. SLE
didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang
jaringannya sendiri. SLE tergolong penyakit kolagen-vaskular yaitu suatu
kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh
darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks (Wedari, 2013).
2.1.2 Epidemiologi
Tingkat kejadian SLE diperkirakan sebanyak 51 kejadian per 100.000
orang di Amerika Serikat, kejadian lupus meningkat sebanyak tiga kali lipat dalam
40 tahun terakhir (Bertsias G, Cervera R, & Boumpas T, 2012). Data tahun 2002
di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari
total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di
RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien
yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010 (PB PABDI, 2011).
2.1.3 Etiologi & Patofisiologi

Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuklear (ANA dan antiDNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti
oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak
jaringan, termasuk kulit, jantung dan ginjal. Ada tiga faktor yang menjadi
perhatian bila membahas patogenesis lupus, yaitu : faktor genetik, lingkungan,
dan kelainan pada sistem imun.
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus, resiko
lupus meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penderita lupus
(kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4, atau
C1q. Kekurangan komplemen (C2 & C4) dapat merusak pelepasan sirkulasi
kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga menyebabkan
terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal
membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan
respon imun.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultraviolet, tembakau, obat-obatan, dan virus. Sinar UV mengarah pada
self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus
dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung merubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi
terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu
amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi

pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan
apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius
terutama

virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus

rubella,

sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.


Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
imunologis. Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel intrinsik B menjadi
dasar daripatogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa autoantibodi ini
secaralangsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang
berperandalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan.

2.1.4

Dia
gno
sis

Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam referat ini diartikan
sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi
(klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology
(ACR) revisi tahun 1997.
Kriteria
Ruam Malar

Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah

Ruam Diskoid
Fotosensitifitas

Ulkus Mulut
Artirtis
Serositis
a. Pleuritis

b. Perikarditis
Gangguan Renal

Gangguan Neurologi

Gangguan Hematologi

Gangguan Imunologi

Anti-bodi Anti-nuklear
positif (ANA)

malar dan cenderung tidak melewati lipatan nasolabial.


Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE kronik dapat ditemukan parut atrofi.
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang
dilihat oleh dokter pemeriksa
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.

Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub


yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat
bukti efusi pleura, atau
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+,
atau
Ditemukan silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran.
Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik, atau
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolic.
Anemia hemolitik, atau
Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih, atau
Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih, atau
Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan.
Anti-DNA: Anti- bodi terhadap native DNA dengan
titer yang abnormal, atau
Anti-Sm: terdapatnya anti-bodi terhadap anti-gen
nuklear Sm, atau
Temuan positif terhadap anti-bodi anti fosfolipid
yang didasarkan atas:
a. Kadar
serum
anti-bodi
anti-kardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM,
b. Tes lupus anti-koagulan positif menggunakan
metoda standard, atau
c. Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis.
Titer abnormal dari anti-bodi anti-nuklear berdasarkan
pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan

sindroma lupus yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki


sensitiitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan (Ben-Menachem, 2010).
2.1.5 Terapi
Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan
agar tujuan terapi dapat tercapai.14,15 Berikut pilar terapi SLE :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat
dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup
mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain
perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan
mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar
matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya
pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau
terjadinya osteoporosis.

b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan
oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi

fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan


lain-lain.
c. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
NSAID (Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid,
imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.
1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE
pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa
sakit pada otot,

sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin,

ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat


menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti
mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.\
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci
utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu
rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit untuk
pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan
secara

oral,

injeksi

pada

sendi,

dan

intravena.

Contoh

Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian


dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang
lama. Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri
dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis,

meningkatnya

resiko

infeksi

virus

dan

jamur,

perdarahan

gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.


3. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri
dari hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih
sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping
pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan
gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa
meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada mata
berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama
dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan
untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan untuk
identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
4. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi
untuk menekan system imun tubuh. Ada beberapa jenis obat
immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti
azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate,
cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.

2.1.6 Prognosis

Prognosis lupus sangat tergantng pada organ yang terlibat, bila organ yang
terlibat, bila ogan vital yang terlibat maka mortalitasnya tinggi. Tetapi dengan
kemajuan pengobatan lupus mortalitas ini jauh lebih baik disbanding pada 2-3
dekade yang lalu. (Askandar, 2007)
2.2 Penyakit Jantung pada SLE
Penelitian ekokardiografi pasien SLE yang dilakukan Divisi Kardiologi
Departemen Penyakit Dalam menunjukkan efusi parikard ditemukan pada 13
pasien (36,11%)

Anda mungkin juga menyukai