BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kesuliatn menilai realita atau
kenyataan (sense of reality ). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan
gangguan-gangguan pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian
berat sehingga perilaku penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku
penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh orang normal, sehingga orang
awam menyebut penderita sebagai orang gila. Efek samping obat anti-psikosis
sangat penting kita ketahui, mengingat penggunaan oabat ini kemungkinan
diberikan dalam jangka panjang. efek samping dapat berupa sedasi dan Inhibisi
Psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor
menurun, kemampuan kognitif menurun), gangguan otonomik (hipotensi,
antikolinergik/parasimpatolitik menyebabkan mulut kering, kesulitan miksi dan
defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler yang tinggi,
gangguan irama jantung), gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia,
sindrom parkinson seperti adanya tremor, bradikinesia, rigiditas), gangguan
Endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia) metabolik (jaundice), hematologik
(agranulositosis), biasanya pada pemakaian panjang, syndrome neuroleptik
maligna.(10)
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM
adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran.
Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi
kardio pulmo dan ginjal.
Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan
antipsikotik, khususnya neuroleptik, dari data dikumpulkan 1966-1997 kejadian
SMN berkisar
antara 0,2% - 3,2% dari pasien jiwa pada rawat inap yang
Page 1
antipsikotik (Caroff and Mann 1993; Lazarus et al. 1989). Pentingnya deteksi
awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM karena komplikasi dari
keadaan ini adalah kematian. Kematian telah menurun dari laporan awal pada
tahun 1960 dari 76% dan lebih baru-baru ini diperkirakan antara 10 dan 20%.
Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering menyebabkan
SNM, semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan
sindrom ini. Obat-obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine),
promethazine (Phenergan), clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal).
Selain itu obat-obat non neuroleptik yang dapat memblok dopamin dapat
menyebabkan SNM juga, obat-obat tersebut adalah metoclopramide (Reglan),
amoxapine (Ascendin), and lithium(4). Deteksi awal dan penegakan diagnosis yang
cepat pada SNM penting karena komplikasi dari keadaan ini adalah kematian. (8)
Kematian yang disebabkan oleh SNM mencapai 21%.(6)
1.2. TUJUAN
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan
penulis khususnya mengenai Neuroleptik mulai dari definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, diagnosis. Serta lebih khususnya mengenai Neuroleptic
Maligna Syndrome .
Judul Refrat ini dipilih karena SNM masih berpotensi mengancam kehidupan
jiwa. Dibutuhkan kecurigaan klinis yang tinggi untuk diagnosis dan pengobatan
pada SNM. SNM lebih sering dianggap sindrom daripada benar-benar diagnosis,
dan ini menggarisbawahi keharusan untuk meningkatkan kesadaran diagnosis dan
manajemen reaksi obat secara serius.
Page 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM
adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran.
Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi
kardio pulmo dan ginjal.
DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders)
mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan
gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia,
perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan
darah meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang
berkaitan dengan pengunaan pengobatan neuroleptik.
Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya
dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia,
gangguan afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah
laku karena demensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma
ini mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom adalah
sistem syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak
dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah, pencernaan,
berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh.(7)
2.2. EPIDEMIOLOGI(1)
Pria lebih sering terkena daripada wanita, dan pada pasien orang dewasa lebih
sering terkena dari pada lansia. Angka kematian bisa mencapai 10% - 20%.
Prevalensi sindrom diperkirakan 0,02% - 2,4% pada pasien yang menggunakan
obat golongan Dopamin antagonis. Pada penelitian terdahulu didapatkan bahwa
laki-laki dewasa (Caroff 1980), anak-anak (Shields dan Bray 1976), dan remaja
(Geller dan Greydanus 1979) beresiko untuk SMN.
Insiden sindrom SNM berkisar 0,02% - 3% di antara pasien yang memakai
agen antipsikotik. Survei yang dilakukan, Sachdev et al. (1995) melaporkan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 2 Februari 2015 7 Maret 2015
Page 3
frekuensi 3 kasus SNM (0,24%) dari 1.250 pasien yang menerima clozapine, dan
Williams dan MacPherson (1997) memperkirakan kejadian dari SNM menjadi
(0,10%) pada 9.000 pasien yang diobati clozapine. Dalam pra-pemasaran
percobaan, produsen quetiapine melaporkan 2 kasus mungkin SNM (0,08%) pada
2.387 pasien (Physicians 'Desk Reference 2002). Angka-angka yang hampir sama
pada kejadian SNM diperkirakan terjadi antara populasi pasien dengan gangguan
jiwa. Perbedaan mungkin terjadi dalam populasi sampel, antara pasien rawat
inap dibandingkan rawat jalan, serta perbedaan dalam metode pengawasan dan
definisi penyakit digunakan.
2.3. ETIOLOGI (6)
1.
Semua kelas anti psikotik berkaitan dengan SNM baik itu neuroleptik
potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi maupun antipsikotik atipikal. SNM
sering
terjadi
pada
pasien
yang
mengkonsumsi
haloperidol
dan
chlorpromazine.
2.
3.
Page 4
faktor pencetus dalam beberapa temuan, meskipun NMS dapat terjadi tanpa
adanya perubahan kondisi lingkungan.
Variabel farmakologi dan pengobatan telah diuji sebagai faktor resiko
terjadinya NMS. Hampir semua dopamin atagonis dikaitkan dengan resiko NMS,
meskipun antipsikotik konvensional potensi tinggi berhubungan dengan resiko
yang lebih besar dibandingkan dengan agen potensi rendah dan antipsikotik
atipikal. Pemberian parenteral, tingkat titrasi yang tinggi, dan pemberian dosis
total obat juga berhubungan dengan peningkatan resiko NMS. Namun sebagian
besar kasus NMS terjadi pada dosis terapi agen tersebut. Meskipun pada
pertemuan kasus NMS DSM-IV-TR Research Criteria telah melaporkan dengan
clozapine,
olanzapine,
dan
risperidone,
monoterapi
dengan
quetiapine,
Page 5
Page 6
Tabel 33.2-2
Kriteria Diagnostik dan Riset untuk Sindrom Neuroleptik Maligna
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 2 Februari 2015 7 Maret 2015
Page 7
Rigiditas otot yang parah, peningkatan temperatur tubuh, dan temuan lain
yang berhubungan (misalnya, diaforesis, disfagia, inkontinensia, perubahan
tingkat kesadaran mulai dari konfusi sampai koma, mutisme, peningkatan atau
tekanan darah labil, peningkatan kreatini fosfokinase (CPK) yang berkembang
berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik.
A. Perkembangan rigiditas otot yang parah dan peningkatan temperatur yang
berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik
B. Dua (atau lebih) berikut:
1) Diaforesis
2) Disfagia
3) Tremor
4) Inkontinensia
5) Perubahan tingkat kesadaran mulai dari konfusi sampai koma
6) Mutisme
7) Takikardia
8) Peningkatan atau takenan darah labil
9) Lekositosis
10) Tanda-tanda laboratorium kerusakan otot (misalnya, peninggian CPK)
C. Gejala dalam kriteria A dan B bukan karna zat lain (misalnya,
phenicyclidine) atau suatu kondisi neurologis atau medis umum lain
(misalnya, ensefalitis virus).
D. Gejala dalam kriteria A dan B tidak diterangkan lebih baik oleh suatu
gangguan mental (misalnya, gangguan mood dengan ciri katatonik)
Tabel dari DSM-IV, Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders, ed.4 Hak
cipta American Psychiatric Association, Washington, 1994. Digunakan dengan izin.
Tabel 33.2-2
Kriteria Levensons untuk diagnosis NMS*
Kriteria Major
Demam
Rigiditas
Peningkatan Ckreatin Kinase (CK)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 2 Februari 2015 7 Maret 2015
Page 8
Kriteria Minor
Takikardi
Tekanan darah abnormal
Kesadaran Berubah
Diaphoresis
Lekositosis
* 3 kriteria major, atau 2 kriteria major and 4 kriteria minor, yang diperlukan
untuk diagnosis
2.9. DIAGNOSIS BANDING(2)
1. Syndrome Serotonin
Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan
menggali riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan
tidak adanya rigiditas berat.
2. Malignant Hypertermia
Sebuah gangguan genetik langka, Hipertermia ganas (MH) adalah
gangguan miopati dengan beberapa variasi (bentuk dominan dan resesif
autosomal dilaporkan). Hal ini biasanya terjadi segera setelah terpapar,
terhalogenasi agen anestesi inhalasi dan depolarisasi relaksan otot, seperti
suksinilkolin Dalam beberapa menit paparan, gejala hiperpireksia, kaku
otot, dan ada kenaikan kadar CK dan myoglobinurea. Gangguan tersebut
juga dirasakan menjadi penyakit sistem saraf perifer yang dihasilkan dar
kelainan membran otot. MH sering terjadi pada pasienyang memiliki
gangguan miopati lain seperti distrofi otot, myotonic,distrofi, dan miopati
kongenital. Selain itu adanya riwayat keluarga
Page 9
SNM. Nilai laboratorium biasanya normal. Kedua gangguan ini bisa sulit
untuk dibedakan secara klinis.
4. Sindrom Obat lain yang berhubungan
Intoksikasi akut dengan obat narkoba, terutama kokain dan ekstasi
(3,4-methylenedioxymethamphetamine MDMA), bisa membingungkan
dengan SNM. Obat-obatan ini sangat berpengaruh terhadap sistem saraf
pusat, agen ini menarik pelaku karena menghasilkan kewaspadaan, energi,
dan euforia, namun efek yang sama juga dapat bermanifestasi sebagai
psikomotor agitasi, delirium, dan bahkan psikosis. Hipertermia dan
rhabdomyolysis dapat terjadi, biasanya berkaitan dengan peningkatan
aktivitas fisik dan suhu lingkungan. Kekakuan tidak umum dalam kasus
ini. Penggunaan MDMA juga dapat menyebabkan sindrom serotonin.
Sindrom ini dibahas secara rinci dan terpisah.
5. Gangguan yang tidak berhubungan
Alternatif neurologis dan gangguan medis harus dipertimbangkan.
Gejala klinis gangguan ini dapat tumpang tindih dengan SNM, khususnya
pada pasien yang memiliki efek samping ekstrapiramidal dengan
penggunaan antipsikotik secara bersamaan. Diagnosa ini memiliki
prognosis yang serius dan implikasi dalam pengobatan dan tidak boleh
diabaikan:
Kejang
Hidrosefalus akut
Akut distonia
Tetanus
Tirotoksikosis
Pheochromocytoma
Page 10
Porfiria akut
2.10. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Suportif(3)
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti
psikotik dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda
dalam 1-2 minggu. Sindrom Neuroleptik Maligna yang dipercepat dengan
depot injeksi anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan.
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan
memelihara fungsi organ yaitu:
1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.
2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan,
hemodinamik.
3. Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.
4. Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak,
analisis cairan serebrospinal, kultur urin dan darah.
2. Terapi Farmakologi(3)
Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti
bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom
Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene
dipakai untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas.
Peneliti lain melaporkan tidak ada manfaat dan setelah diamati ternyata
meningkatkan komplikasi dan pemanjangan gejala karena pemakaian obatobat tersebut.
Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa
kasus. Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam
penanganan Sindrom Neuroleptik Maligna dengan mengurangi durasi
menjadi 2 3 hari.
2.11.
KOMPLIKASI
Page 11
Maligna dapat
rekurensi
PENCEGAHAN(8)
Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya sindrom
Page 12
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Yang memiliki karekteristik
seperti hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Faktor
resiko dari SNM antara lain : faktor lingkungan dan psikologi, faktor genetic, pasien
dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren, sindrom otak
organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT,
penggunaan neuroleptik tidak teratur, penggunaan neuroleptik potensi tinggi,
neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan
neuroleptik injeksi. Gejalanya yaitu: Gejala disregulasi otonom mencakup demam,
diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil. Gejala
ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan
diskinesia. Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti
psikotik dan terapi suportif. Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis
dopamin seperti bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati
Sindrom Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Komplikasi
yang paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus
menerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian
besar pada pasien dengan nekrosis berat otot yang menjadi rhabdomiolisis.
Page 13
DAFTAR PUSTAKA
1. Stanley N. Caroff, M.D, Stephan C. Mann, M.D, Paul E. Keck. Jr,. M.D, Athur
Lazarus, M.D., M.B.A. Neuroleptic Malignant Syndrome and Related
Conditions. 2ndedition
2. Eelco FM Wijdicks, M.D, Michael JA, M.D,DSc Janet L Wilterdink, M.D.
Neuroleptic
Malignat
Syndrome.
2013.
Tersedia
dari:
Malignanat
Syndrome,
Page 14