Anda di halaman 1dari 12

TRADISI MASYARAKAT YANG SUDAH HILANG &

TRADISI MASYARAKAT YANG MASIH BERJALAN


DAN DIANGGAP BAIK

PROGRAM S-1
ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

NAMA : FATHERMAWANI
NIM : 18101073
PRODI : ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
MATA KULIAH : ETIKA DAN AKUNTABILITAS

SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN POLITIK


RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2019
Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai tradisi. Keragaman tradisi ini terjadi karena
negara Indonesia terdiri dari ratusan pulau-pulau di mana masing-masing pulau memiliki
tradisinya sendiri. Namun, saat ini tradisi Indonesia terancam hilang karena terkikis oleh
waktu.

Ada begitu banyak faktor yang menyebabkan tradisiIndonesia berada dalam bahaya. Faktor-
faktor tersebut berasal dari dalam dan luar.

Faktor Internal
Penurunan keberadaan tradisi Indonesia di rumahnya sendiri disebabkan oleh rakyatnya
sendiri yang mengabaikan tradisi mereka terutama untuk remaja.

Mereka terbuai oleh kehidupan modern dan mulai melupakan nilai-nilai yang diwariskan
oleh nenek moyang mereka. Sebagai contoh, bahasa daerah, upacara tradisi, adat dan tradisi
Indonesia telah hilang di masyarakat.

Sekarang, kita bisa melihat tidak ada yang mau menggunakan bahasa lokal karena mereka
malu disebut kampungan. Selain remaja yang sudah tidak peduli lagi dengan tradisi,
pemerintah juga kurang responsif dalam menangani masalah ini.

Faktor Eksternal
Derasnya arus informasi yang datang ke Indonesia juga mempengaruhi terkikisnya tradisi
Indonesia. Banyak tradisi asing, khususnya tradisi Barat telah datang dan tumbuh di
Indonesia. Tradisi-tradisi barat itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia sebagai negara
timur.

1
Tradisi Masyarakat Yang sudah Hilang
1. Mapasilaga Tedong

Mapasilaga tedong atau lebih dikenal dengan Tedong Silaga merupakan salah satu tradisi
unik dari daerah Toraja. Tradisi ini rutin dilakukan pada saat upacara pemakaman orang yang
sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, biasa disebut Rambu Solo. Acara Mapasilaga
Tedong ini dilakukan sebelum upacara adat di mulai.

Adu kerbau ini dilakukan sebelum upacara adat Rambu Solo dilakukan. Kerbau yang diadu
bukanlah kerbau sembarangan. Jenis kerbau yang istimewa adalah kerbau bule (Tedong
Bonga) atau kerbau albino. Kerbau pilihan ini masuk dalam kelompok kerbau lumpur
(Bubalus bubalis) dan hanya ditemukan di Tana Toraja. Di antara jenis terbaik adalah tedong
salepo, yaitu kerbau yang memiliki bercak hitam di punggung. Ada juga jenis lontong boke,
yaitu kerbau yang memiliki punggung berwarna hitam. Namun, jenis yang paling sering
dijumpai dalam ritual Mapasilaga Tedong adalah tedong pudu. Jenis kerbau berkulit legam
ini dipilih karena mudah dilatih dan harganya tidak semahal kerbau lain. Beberapa jenis
kerbau yang digunakan untuk aduan ini sangat mahal harganya, terlebih kerbau yang sering
menang yang harganya bisa mencapai ratusan juta hingga 1 miliar rupiah. Bagi masyarakat
Toraja, kerbau menduduki posisi sangat penting dan menjadi salah satu simbol prestise dan
kemakmuran.

Puluhan kerbau yang akan diadu dibariskan di lapangan tempat upacara akan dilaksanakan.
Kerbau-kerbau yang akan diadu tersebut kemudian diarak dengan didahului oleh tim
pengusung gong, pembawa umbul-umbul, dan sejumlah wanita dari keluarga yang berduka
ke lapangan yang berlokasi di rante (pemakaman). Pada saat barisan kerbau meninggalkan
lokasi, musik pengiring akan dimainkan. Irama musik tradisional tersebut berasal dari

2
sejumlah wanita yang menumbuk padi pada lesung secara bergantian. Sebelum adu kerbau
dimulai, panitia menyerahkan daging babi yang sudah dibakar, rokok, dan air nira yang sudah
difermentasi (tuak), kepada pemandu kerbau dan para tamu. Arena adu kerbau harus
ditempatkan di sebuah sawah yang luas dan berlumpur atau direrumputan. Tradisi ini
dimulai dengan dua kerbau yang diadu dan menghantamkan tanduk masing-masing ke
tanduk lawannya dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kerbau yang dinyatakan kalah
adalah kerbau yang berlari dari arena Mapasilaga Tedong. Selain itu, ada juga prosesi
pemotongan kerbau ala Toraja. Prosesi ini adalah menebasan kepala Kerbau dengan sebuah
Parang yang dilakukan dalam sekali tebasan saja.

2. Telingaan Aruu

Telingaan Aruu adalah tradisi memanjangkan telinga oleh orang-orang dari Suku Dayak.
Tradisi memanjangkan telinga di kalangan Suku Dayak ini telah lama dilakukan secara turun
temurun. Pemanjangan daun telinga ini biasanya menggunakan pemberat berupa logam
berbentuk lingkaran gelang dari tembaga yang bahasa kenyah di sebut "Belaong" . Dengan
pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.

Namun tidak semua sub suku Dayak di Pulau Kalimantan punya tradisi ini. Hanya beberapa
kelompok saja yang mengenal budaya telinga panjang. Namun, hanya yang mendiami
wilayah pedalaman, seperti masyarakat Dayak Kenyah, Dayak Bahau, Dayak Penan, Dayak
Kelabit, Dayak Sa'ban, Dayak Kayaan, Dayak Taman, dan Dayak Punan.

Tradisi Telingaan Aruu dimulai saat seseorang masih bayi. Awalnya proses penindikan telinga
si bayi, setelah luka bekas tindikan mengering, kemudian di pasang benang yang

3
nantinya diganti dengan kayu, sehingga lubang telinga kian lama semakin membesar. Prosesi
penindikan telinga ini dikenal dengan sebutan ''Mucuk Penikng''. Anting akan ditambahkan
satu persatu ke dalam telinga yang lama kelamaan akan mebuat lubang semakin membesar
dan memanjang.

Pemanjangan telinga yang dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki ini sebenarnya
memiliki suatu tujuan. Misalnya di kalangan Dayak Kayan, mereka melakukan pemanjangan
telinga sebagai identitas kebangsawanannya. Untuk perempuan, pemanjangan telinga
digunakan untuk menunjukan identitas kebangsawanan, sekaligus digunakan sebagai
pembeda. Sedangkan di desa-desa yang terletak di hulu Sungai Mahakam memanjangkan
telinga dengan tujuan yang berbeda, mereka melakukan pemanjangan telinga untuk
menunjukkan umur seseorang. Bayi yang baru lahir akan diberi manik-manik yang dirasa
cukup berat. Selanjutnya, manik-manik yang menempel di telinga tersebut akan terus
ditambah setiap tahunnya.

Suku Dayak Iban tidak memberikan pemberat kepada telinganya. Telinga yang telah
dilobangi dibiarkan saja hingga terlihat seperti lubang besar yang mirip angka nol dengan
cara menyatukan ujung jari telunjuk dengan ujung ibu jari . Bagi Suku Dayak ini, telinga
panjang memiliki tujuan lain yaitu untuk melatih kesabaran melalui adanya berat akibat
manik-manik yang menempel pada telinga dan harus digunakan setiap hari. Dengan beban
berat di telinga, rasa sabar dan penderitaan pun semakin terlatih. Selain itu, telinga panjang
juga menjadi simbol status sosial wanita Suku Dayak. Mereka meyakini bahwa semakin
panjang telinga seorang wanita, maka semakin cantik pulalah wanita tersebut.

Saat ini sudah tidak ada lagi generasi muda yang meneruskan tradisi Telingaan Aruu ini,
bahkan untuk daerah pedalaman Kalimantan. Ada beberapa hal yang mempengaruhi
kepunahan kebudayaan ini. Pertama, memang tidak semua anak suku Dayak melakukan
tradisi ini. Hanya pada Dayak Kayan, Dayak Kenyah, Dayak Bahau, Dayak Punan, Dayak
Kelabit, Sa'ban. Itupun terbatas kepada kaum wanita dan kaum bangsawan. Selain itu, tradisi
ini juga hanya berlaku untuk daerah pedalaman saja. Kedua munculnya anggapan
ketinggalan jaman membuat orang-orang yang aslinya memanjangkan telinga secara sengaja
berusaha menghilangkan atribut tersebut. Seperti dengan memotong bagian

4
bawah daun telinganya. Bagi para pemerhati budaya, tradisi telinga panjang sudah sampai
pada tahap kritis, karena tidak ada lagi penerusnya.

3. Iki Palek

Setiap suku memiliki ritual tersendiri untuk menunjukkan rasa duka akibat kehilangan
anggota keluarganya. Mulai dari ritual biasa hingga yang cukup ekstrem seperti yang
dilakukan oleh suku Dani.

Bagi suku yang bermukim di Papua ini, kebersamaan sangatlah penting. Oleh sebab itu, saat
kehilangan anggota keluarga, mereka akan segera memotong ruas jarinya. Tradisi ini dikenal
sebagai Iki Palek. Iki Palek adalah Tradisi Potong Jari Sebagai Tanda Kehilangan dan
Kesetiaan. Jari yang dipotong menunjukan berapa banyak keluarga mereka yang telah
meninggal. Meskipun mayoritas wanita yang melakukan tradisi ini, tetapi pria juga ikut
melakukannya sebagai bentuk kesedihan.

Menurut anggota suku Dani, menangis saja tidak cukup untuk melambangkan kesedihan
yang dirasakan. Rasa sakit dari memotong jari dianggap mewakili hati dan jiwa yang tercabik-
cabik karena kehilangan. Selain itu, alasan mereka memutuskan untuk melakukan tradisi Iki
Palek adalah karena jari dianggap sebagai simbol harmoni, persatuan, dan kekuatan. Bagian
tubuh tersebut juga menjadi lambang hidup bersama sebagai satu keluarga, satu marga, satu
rumah, satu suku, satu nenek moyang, satu bahasa, satu sejarah dan satu asal. Dalam
bahasa Papua, itu disebut dengan "Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik”.

5
Jika digabungkan, bentuk dan panjang jari memiliki kesatuan dan kekuatan untuk
meringankan beban semua pekerjaan. Masing-masing jari bekerja sama sehingga tangan
dapat berfungsi dengan sempurna. Jika kehilangan salah satunya, itu berarti kebersamaan
dan kekuatan akan berkurang.
Biasanya anggota suku Dani akan menggunakan kapak atau pisau tradisional untuk
memotong jarinya.

Terkadang, mereka mengikat jari dengan seutas tali selama beberapa waktu sampai aliran
darah berhenti. Ketika aliran darah telah berhenti barulah pemotongan jari dilakukan. Selain
bantuan benda tajam, suku Dani juga terbiasa memakai gigi untuk memotong jari. Mereka
akan menggigitnya hingga putus. Rasa sakitnya memang tidak bisa dibayangkan. Namun,
sebagai tanda kesetiaan, hanya ini yang dapat mereka lakukan.

Tradisi Iki Palek kini sudah mulai menghilang akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan
agama. Meski begitu, di antara anggota suku Dani masih bisa ditemui orang-orang tua yang
telah kehilangan jari-jari sebagai bagian dari tadisi Iki Palek. Bahkan, ada yang kehilangan
seluruh jarinya.

6
Tradisi Yang Masih Berjalan di Masyarakat dan Dianggap Baik

1. Tepuk Tepung Tawar

Bagi masyarakat Melayu Riau, tradisi Tepuk Tepung Tawar atau Tepung Tawar merupakan
simbol untuk mendoakan seseorang karena keberhasilannya. Upacara ini menjadi salah satu
bagian penting dalam sejumlah prosesi adat istiadat. Baik dalam acara adat perkawinan,
khatam, berandam, syukuran, peresmian maupun prosesi lainya.

Sampai saat ini masyarakat Melayu di provinsi Riau dan Kepulauan Riau ini masih
melaksanakan Tepung Tawar. Upacara ini menjadi simbol yang hakekatnya tetap pada
kekuatan memohon doa kepada Allah SWT, agar dihindarkan dari segala marabahaya.

Bagi masyarakat Melayu Riau, tradisi Tepuk Tepung Tawar atau Tepung Tawar merupakan
simbol untuk mendoakan seseorang karena keberhasilannya. Upacara ini menjadi salah satu
bagian penting dalam sejumlah prosesi adat istiadat. Baik dalam acara adat perkawinan,
khatam, berandam, syukuran, peresmian maupun prosesi lainya.

Sampai saat ini masyarakat Melayu di provinsi Riau dan Kepulauan Riau ini masih
melaksanakan Tepung Tawar. Upacara ini menjadi simbol yang hakekatnya tetap pada
kekuatan memohon doa kepada Allah SWT, agar dihindarkan dari segala marabahaya.

Dalam ungkapan orang melayu, yang disebut Tepuk Tepung Tawar, menawar segala yang
berbisa, menolak segala yang menganiaya, menjauhkan segala yang menggila,
mendindingkan segala yang menggoda, menepis segala yang berbahaya. Selanjutnya juga
disebutkan di dalam Tepuk Tepung Tawar, terkandung segala restu, terhimpun segala doa,
terpatri segala harap, tertuang segala kasih sayang.

7
Tepung Tawar merujuk pada alat yang digunakan seperti bedak sejuk dicampur air perenjis,
yang manfaatnya diyakini bisa meneduhkan hati dan kalbu. Kemudian daun sitawar, daun
sidingin (sosor bebek), daun juang-juang, daun ati-ati dan daun rusa (gandarusa). Diikat daun
ribu-ribu atau benang 7 rupa. Beragam tumbuhan ini juga diyakini dapat menjadi penawar
berbagai penyakit.

2. Dugderan

Bulan puasa adalah bulan penuh dengan berkah. Karena penuh dengan keberkahan itu, al-
Qur`an menggambarkan nilai kemuliaan bulan suci Ramadhan tersebut sebanding dengan
seribu bulan. Tidak salah, kalau umat Islam selalu disergap rasa rindu menyambut
kedatangan bulan suci itu dengan penuh kegembiraan yang biasa dirayakan dalam bentuk
tradisi, apalagi mengingat bulan puasa itu hanya datang setahun sekali.

Salah satu tradisi menyambut puasa itu adalah tradisi dugderan. Tradisi ini adalah tradisi
umat Islam Semarang dalam rangka menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan yang
biasanya digelar kira-kira 1-2 minggu sebelum puasa dimulai. Karena sudah berlangsung
lama, tradisi Dugderan ini pun sudah menjadi semacam pesta rakyat. Meski sudah jadi
semacam pesta rakyat berupa tari japin, arak-arakan (karnaval) hingga tabuh, tetapi proses
ritual (pengumuman awal puasa) tetap menjadi puncak dugderan.

Meskipun dugderan dibuka sekitar 1-2 minggu sebelum puasa, tapi puncak dari ritual
dugderan berlangsung sehari sebelum puasa, tetapnya setelah sholat ashar dengan diadakan
musyawarah dengan tujuan menentukan awal Ramadhan yang dihadiri para ulama. Setelah
itu, digelar halaqah tentang pengumuman ketentuan dimulainya puasa dengan ditandai
"pemukulan bedug" sebagai tanda awal puasa. Penyerahan hasil halaqoh

8
diserahkan ke Kanjeng Gubernur Jateng, Kanjeng Bupati Semarang (Walikota Semarang) dan
selanjutnya Gubernur memukul bedug. Kemudian ritual itu diakhiri dengan pembacaan doa.

Umat Islam Semarang bisa dikata sudah tak asing lagi dengan dugderan. Meski zaman sudah
berubah, tetap saja tradisi ini masih tetap bertahan. Kalau dibandingkan dengan Pasar
Semawis atau PRPP yang diselenggarakan beberapa tahun lalu, jelas Dugderan masih
melekat kuat di hati masyarakat walau tak dimungkiri usia dugderan sudah mencapai satu
abad lebih.
Untuk menandai dimulainya bulan Ramadhan itu, maka diadakan upacara membunyikan
suara bedug (Dug..dug..dug) sebagai puncak "awal bulan puasa" sebanyak 17 (tujuh belas)
kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (der..der..der...) sebanyak 7 kali. Dari
perpaduan antara bunyi dug dan der itulah yang kemudian menjadikan tradisi atau kesenian
yang digagas oleh Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat itu diberi nama
"dugderan".

Meski dugderan sudah menjadi semacam pesta rakyat dan sudah menjadi tradisi yang cukup
kuat dengan adanya perlombaan, karnaval,dan tarian, tetap saja dugderan tidak lepas dari
puncak ritualnya berupa tabuh bedug dan halaqah yang menjadi akhir dari tradisi yang
sudah bertahan seabad lebih itu. Karena itu, puncak ritual ini bukan semata-mata sekedar
sebagai tradisi (kesenian rakyat), tapi salah satu budaya Islam Semarang yang punya pesan.

Salah satu pesan yang cukup kuat digelarnya tradisi (atau budaya) dugderan ini adalah
pengumunan dimulainya bulan suci Ramadhan. Pengumunan itu dilambangkan dengan
ditabuhnya bedug yang menjadi satu “tetenger”. Juga, pemukulan bedug itu jadi konsensus
yang meneguhkan atau memberikan justifikasi ketetapan jatuhnya tanggal 1 bulan
Ramadhan pada esok hari, apalagi umat Islam tidak hanya di Semarang kerapkali memiliki
perbedaan dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.

Selain itu, tradisi dugderan juga punya "unsur pendidikan" buat anak agar melaksakan
ibadah puasa. Bentuk pendidikan itu dilambangkan dengan adanya warak ngendok yang
dapat diartikan suatu lambang yang sarat dengan makna. Karena arti keseluruhan warak
ngendog itu adalah seseorang haruslah suci, bersih dan memantapkan ketaqwaan kepada
Allah dalam menjalani puasa. Karena itu, ini bisa menjadi pembelajaran bagi anak dalam
mengenal ibadah puasa.

9
3. Perang Topat

Perang Topat adalah perang dengan cara saling melempar ketupat antara umat Hindu
dengan umat Islam di kawasan Pura Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa
Tenggara Barat.

Tidak ada air mata yang menetes. Tidak ada tubuh yang terluka. Tidak ada darah yang
tumpah. Tidak ada nyawa yang dikorbankan. Yang ada hanyalah kecerian, sorak-sorai, canda
dan tawa antara kedua kubu yang sedang ambil bagian dalam perang topat.

Perang Topat adalah tradisi masyarakat Lingsar yang sesungguhnya merupakan simbol
akulturasi damai antara kebudayaan Hindu Bali dengan kebudayaan Islam Sasak.

Mengulas sejarah kemunculan tradisi perang topat tentu berbarengan dengan sejarah
pertautan kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Islam di Pulau Lombok.

Secara umum sejarah pengaruh kebudayaan Hindu Bali di Pulau Lombok bermula di kala
kerajaan Karangasem Bali mulai memantapkan kekuasaannya di Pulau Lombok.

Penanda kekuasaan Kerajaan Karangasem bermula ketika membentuk satu kerajaan kecil
seperti kerajaan Singasari di Pulau Lombok. Kerajaan yang baru didirikan tersebut dipimpin
oleh seorang raja yang bernama Anak Agung Ngurah Made Karang pada tahun 1720 M.

Seiring dengan perluasan pengaruh Kerajaan Karangasem di sebagian Pulau Lombok,


semakin banyak masayarakat Hindu Bali yang bermigrasi ke Pulau Lombok. Sebelum
pengaruh Hindu Bali masuk, penduduk Pulau Lombok sendiri sudah memeluk agama Islam.

10
Pertautan dua kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan dan agama yang
berbeda tersebut terjadi secara damai.

Tradisi Perang Topat sendiri tidak lepas dari sejarah pembangunan Pura Lingsar di Desa
Lingsar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat sekarang ini. Pembangunan pura mulai
dilakukan pada masa pemerintahan raja Anak Agung Gede Ngurah yang merupakan
keturunan raja Karangasem, tahun 1759 M.

Berdasarkan cerita turun-temurun, cikal bakal perang topat bermula dari konflik yang
berubah menjadi damai. Konon menurut cerita, kala itu pembangunan Pura sebagai tempat
ibadah umat Hindu mendapat penolakan dari umat Islam.

Terjadilah ketegangan di antara kedua umat yang berujung pada keputusan untuk
berperang. Di tengah ketegangan yang hampir berujung pada perang fisik, muncul seorang
kyai kharismatik mendamaikan keduanya.

Setelah sang kyai menasihati kedua kelompok, mereka akhirnya menyadari akan pentingnya
hudup rukun antar umat yang berbeda. Sebagai ekspresi damai antar dua kelompok, perang
fisik digantikan dengan perang topat.

Semenjak saat itu tradisi perang topat dilaksanakan setiap tahun untuk merawat ingatan
akan pentingnya hidup rukun antar umat Hindu dengan umat Islam.

Perang topat dilakukan di dalam kawasan Pura Lingsar. Di dalam kawasan tersebut terdapat
dua bangunan yang disakralkan oleh masing-masing umat, yakni Pura Gaduh yang menjadi
bangunan sakral umat Hindu dan bangunan Kemaliq yang disakralkan oleh umat Islam.

Kedua bangunan tersebut nampaknya sengaja dibangun sebagai simbol kerukunan umat
Hindu dengan umat Islam yang telah berlangsung sejak jaman kerajaan.

11

Anda mungkin juga menyukai