PENGANTAR PERPAJAKAN
Pertemuan.3
b. Aspek Hukum
Pajak merupakan masalah keuangan negara, adapun dasar yang digunakan untuk
mengatur masalah keuangan negara tersebut yaitu pasal 23 (2) UUD 1945, dan untuk
teknis pelaksanaan perpajakan yang mengatur masalah perpajakan terdapat UU
Perpajakan.
c. Aspek Keuangan
Pajak dipandang sebagai aspek penting dalam penerimaan negara yang menjadikan pajak
sebagai primadona penerimaan negara.
d. Aspek Sosiologi
Pajak sebagai sumber penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan juga
digunakan untuk membiayai pembangunan, bearti pembangunan ini dibiayai oleh
masyarakat
c. Teori Daya pikul. Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya. Hal ini
mengandung makna bahwa pajak harus di bayarkan sesuai dengan “daya pikul” masing-
masing orang. Pendekatan untuk mengukur daya pikul ada dua yaitu (1) unsur objektif,
yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang,
(2) unsur subjektif, yaitu dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus
dipenuhi. So, mungkin sama-sama berpenghasilan Rp10.000.000, namun pembayaran
pajak penghasilannya. Penghasilan sama, namun juga harus melihat jumlah tanggungan
(misal status kawin dan jumlah tanggungannya).
d. Teori Bakti. teori ini secara sederhana menyatakan bahwa warga negara membayar
pajak karena baktinya kepada negara. Teori bakti disebut juga teori kewajiban mutlak
e. Teori Asas Daya Beli. Teori ini berpendapat bahwa fungsi pemungutan pajak adalah
mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara,
kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara
kehidupan masyarakat dan untuk membawa ke arah tertentu (misal kesejahteraan).
Dari ketiga sumber penerimaan diatas, penerimaan dari sektor pajak ternyata merupakan
sumber penerimaan terbesar Negara. Dari tahun ke tahun kita dapat melihat bahwa
penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil yang besar dalam penerimaan
Negara. Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan primadona dalam
membiayai pembangunan Nasional. Sedangkan penerimaan dari migas yang dahulu
selalu jadi andalan penerimaan negara, sekarang ini sudah tidak bisa diharapkan menjadi
sumber penerimaan keuangan Negara terus-menerus karena sifatnya yang tidak dapat
diperbaharui (non renewable resources). Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis
sedangkan dari pajak selalu dapat diperbaharui sesuai dengan
perkembangan ekonomi dan masyarakat itu sendiri. Sedangkan penerimaan Negara
bukan pajak adalah pengelolaan keuangan Negara yang memberikan kemandirian bagi
Negara.
Pertemuan 4
Syarat Keadilan
Pemungutan pajak harus berlandaskan keadilan, baik dalam peraturan perundang-undangan
maupun dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Landasan keadilan ini merupakan syarat yang
harus dipenuhi untuk mencapai keadilan bagi masyarakat. Contoh dari adil yang dimaksud
antara lain:
Wajib pajak memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh undang-undang.
Setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak haruslah menyetorkan
pajaknya.
Adanya sanksi untuk pelanggaran-pelanggaran pajak yang terjadi.
Syarat Yuridis
Pemungutan pajak selalu didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Salah satu undang-
undang yang mengatur pemungutan pajak adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Dengan adanya pengaturan dalam bentuk undang-
undang, pemerintah memberikan jaminan hukum bagi terlaksananya aktivitas pemungutan
pajak.
Syarat Ekonomis
Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu aktivitas perekonomian yang dapat
mengakibatkan kelesuan perekonomian nasional. Contohnya, pemungutan pajak tidak boleh
mengganggu aktivitas produksi ataupun perdagangan yang sedang berlangsung.
Syarat Finansial
Pemungutan pajak harus dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga hasil yang diperoleh
maksimal. Efisien maksudnya pemungutan pajak harus dilakukan dengan mudah, tepat
sasaran, tepat waktu dan biaya minimal.
Efektif artinya pemungutan pajak harus membawa hasil sesuai perhitungan yang telah
dilakukan. Dalam syarat ini, biaya pemungutan pajak harus lebih kecil daripada pemasukan
pajak yang diterima kas negara.
Syarat Sederhana
Sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah dimengerti wajib pajak. Sistem
pemungutan pajak yang sederhana akan membantu wajib pajak dalam melaporkan pajak
mereka dan mendorong masyarakat memenuhi kewajiban perpajakan. Dengan demikian,
pemasukan negara dari pajak akan semakin meningkat.
Hukum pajak adalah bagian dari hukum publik. Hukum pajak di Indonesia menganut
paham imperative. Artinya, pelaksanaan pemungutan pajak tidak dapat ditunda. Ketika
terjadi pengajuan keberatan terhadap Pajak oleh wajib pajak yang telah ditetapkan
pemerintah, sebelum ada keputusan dari Direktur Jenderal Pajak tentang keberatan diterima,
maka wajib pajak terlebih dahulu harus membayar pajak sesuai dengan yang telah
ditetapkan. Berikut ini adalah penjelasan kedudukan hukum perpajakan:
Hukum Perdata yang mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya
Hukum Publik dimana mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Antara
lain terdiri dari Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi
Negara), Hukum Pajak, dan Hukum Pidana.
Berdasarkan dua poin di atas, dapat diketahui bahwa kedudukan hukum pajak merupakan
bagian dari hukum publik. Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah selaku
pemungut pajak dan rakyat sebagai wajib pajak.
3. Pengelompokan Pajak
Jenis-jenis pajak berdasarkan cara pemungutannya terdiri dari pajak langsung dan pajak
tidak langsung. Jenis-jenis pajak berdasarkan sifatnya terdiri dari pajak subjektif dan
pajak objektif. Sementara jenis-jenis pajak berdasarkan lembaga pemungutannya terdiri
dari pajak pusat dan pajak daerah. Nah, agar lebih mengetahui jenis-jenis pajak tersebut,
yuk, kita ulas semuanya satu per satu:
Pajak Hotel.
Pajak Restoran.
Pajak Hiburan.
Pajak Reklame.
Pajak Penerangan Jalan.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Bantuan.
Pajak Parkir.
Pajak Air Tanah.
Pajak Sarang Burung Walet.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
Sekadar informasi saja, mulai tahun 2014, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan
dan Perkotaan masuk dalam kategori pajak daerah. Sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan masih tetap merupakan pajak pusat
Pertemuan 5
1. Stelsel Pajak
Stelsel Pajak adalah suatu sistem yang digunakan untuk memperhitungkan pajak yang harus
kita bayarkan
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Yakni pada awal
tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan kemudian pada akhir tahun besarnya
pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan
lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya
jika besarnya pajak menurut kenyataan lebih kecil daripada pajak menurut anggapan, maka wajib
pajak dapat minta kembali kelebihannya (direstitusi) dapat juga dikompensasi.
Contoh penerapan Stelsel Pajak Campuran di Indonesia adalah mekanisme PPh Pasal 25/29.
Wajib Pajak menggunakan pajak terhutang tahun sebelumnya sebagai dasar untuk menentukan
besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan. Setelah tahun pajak berakhir, maka wajib pajak
akan melaporkan penghasilannya selama setahun kedalam SPT Tahunan untuk menghitung PPh
Pasal 29. Dalam menghitung jumlah pajak yang sesungguhnya di akhir tahun pajak (PPh Pasal
29) maka wajib pajak dapat mempertimbangkan kredit pajak PPh Pasal 25 yang telah
dibayarkannya
Pemungutan pajak dikenakan kepada setiap wajib pajak sesuai domisili tempat tinggal
masing-masing. Asas domisili diberlakukan kepada setiap warga Negara yang
berdomisili di Negara tersebut. Tidak peduli melihat dari mana pendapatan didapatkan,
baik dari luar maupun dalam negeri. Asas domisili juga diberlakukan kepada perorangan
maupun suatu lembaga, baik lokal maupun asing, yang menetap di Indonesia wajib
menyetorkan pajak kepada pemerintah Indonesia.
2. Asas Sumber
Perlakuan pemungutan pajak disesuaikan dengan negara tempat sumber pendapatan Anda
dapatkan. Tidak peduli berada di mana atau dari mana wajib pajak tersebut, maka Anda
wajib membayarkan pajak. Misalnya, ada orang asing bekerja di Indonesia dan mendapat
gaji dari pemerintah Indonesia, maka berkewajiban membayar pajak ke pemerintah
Indonesia.
Asas kebangsaan diartikan sebagai kewajiban setiap warga Negara untuk tetap
menyetorkan pajak kepada negara meskipun sedang berada di luar negeri karena suatu
kepentingan dan sebagainya. Contohnya, gaji seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
yang bekerja di Arab Saudi selama 1 tahun, wajib membayar pajak ke pemerintah
Indonesia.
Asas domisili dan asas kebangsaan memiliki persamaan fokus pemungutan pajak pada
subjeknya, yaitu domisili tempat tinggal dan status kewarganegaraan. Sedangkan fokus
pemungutan pajak asas sumber adalah di mana sumber pendapatan yang didapatkan.
Tidak peduli siapa dan dari mana wajib pajak, meskipun warga negara asing atau tidak
berdomisili di tempat kerja tetap dikenakan pajak. Selain itu perbedaan diantara asas-asas
tersebut, yakni dalam asas domisili dan kebangsaan pendapatan yang terkena pajak tidak
dibatasi mau didapat dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan dalam asas sumber,
penghasilan yang terkena pajak terbatas hanya penghasilan dari sumber itulah yang
dikenakan pajak.
3. Sistem Pemungutan Pajak
Untuk pemungutan pajak di Indonesia terbagi menjadi tiga sistem yang biasa digunakan
oleh negara kepada wajib pajak. Berikut adalah tiga sistem pemungutan pajak di
Indonesia beserta dengan penjelasan yang lebih rinci :
Self Assessment System adalah sistem penentuan pajak yang membebankan penentuan
besaran pajak yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak yang bersangkutan secara mandiri.
Bisa dikatakan, wajib pajak adalah pihak yang berperan aktif dalam menghitung,
membayar, dan melaporkan besaran pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau
melalui sistem administrasi online yang sudah dibuat oleh pemerintah.
Peran pemerintah dalam sistem pemungutan pajak ini adalah sebagai pengawas dari para
wajib pajak. Self assessment system biasanya diterapkan pada jenis pajak pusat. Misalnya
adalah jjenis pajak PPN dan PPh. Sistem pemungutan pajak yang satu ini mulai
diberlakukan di Indonesia setelah masa reformasi pajak pada 1983 dan masih berlaku
hingga saat ini.
Sistem pemungutan pajak ini memiliki kekuarangan, yaitu karena wajib pajak memiliki
wewenang menghitung sendiri besaran pajak terutang yang perlu dibayarkan, maka wajib
pajak biasanya akan berusaha untuk menyetorkan pajak sekecil mungkin dengan
membuat laporan palsu atas pelaporan kekayaan
Penentuan besaran pajak terutang dilakukan oleh wajib pajak itu secara mandiri.
Wajib pajak berperan aktif dalam menuntaskan kewajiban pajaknya mulai dari
menghitung, membayar, hingga melaporkan pajak.
Pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak, kecuali jika wajib
pajak telat lapor, telat bayar pajak, atau terdapat pajak yang seharusnya wajib
pajak bayarkan namun tidak dibayarkan.
Official Assessment System
Dalam sistem ini, wajib pajak bersifat pasif dan nilai pajak terutang akan diketahui
setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh aparat perpajakan. Sistem pengmabilan
pajak ini biasanya diterapkan dalam pelunasan pajak daerah seperti Pajak Bumi
Bangunan (PBB).
Dalam pembayaran PBB, kantor pajak merupakan pihak yang mengeluarkan surat
ketetapan pajak berisi besaran PBB terutang setiap tahunnya. Wajib pajak tidak perlu lagi
menghitung pajak terutang melainkan cukup membayar PBB berdasarkan Surat
Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP tempat objek pajak
terdaftar.
Withholding System
Pada siistem pemungutan pajak withholding system, besarnya pajak biasanya dihitung
oleh pihak ketiga. Bukan mereka wajib pajak dan bukan juga aparat pajak/fiskus. Contoh
Witholding System adalah pemotongan penghasilan karyawan yang dilakukan oleh
bendahara instansi atau perusahaan terkait. Jadi, karyawan tidak perlu lagi pergi ke kantor
pajak untuk membayarkan pajak tersebut.
Jenis pajak yang biasanya menggunakan withholding system di Indonesia adalah PPh
Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN. Bukti potong
atau bukti pungut biasanya digunakan sebagai bukti atas pelunasan pajak dengan
menggunakan sistem ini.
Untuk beberapa kasus tertentu, bisa juga menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti
potongan tersebut nantinya akan dilampirkan bersama SPT Tahunan PPh/SPT Masa PPN
dari wajib pajak yang bersangkutan
1. Ajaran Formil
Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus (pegawai pajak
yang membantu Wajib Pajak/Subjek Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya). Hal
ini terjadi jika pemungutan pajak dilakukan dengan official assessment system, yaitu sistem
pemungutan pajak di mana jumlah pajak yang harus dibayar dan dihitung oleh fiskus.
Kemudian fiskus akan mengirimkan surat pemberitahuan terkait jumlah yang harus
dibayarkan kepada Wajib Pajak.
2. Ajaran Materil
Utang pajak timbul karena undang-undang dan karena ada sebab yang mengakibatkan
seseorang atau suatu pihak dikenakan pajak. Sebab-sebab yang membuat seseorang
memiliki utang pajak di antaranya:
Perbuatan, yaitu mendirikan bangungan, melakukan kegiatan impor atau ekspor,
serta bepergian ke luar negeri.
Keadaan, yaitu memiliki tanah atau bumi dan bangunan, memperoleh penghasilan,
serta memiliki kendaraan bermotor.
Peristiwa atau kejadian, yaitu mendapat hadiah undian.
Jadi sampai saat ini, para praktisi menggunakan dua ajaran ini untuk menilai munculnya
utang pajak pada wajib pajak
1. Pembayaran
Cara pertama menghapus utang pajak adalah dengan membayarnya pada negara.
Pembayarannya secara lunas dalam bentuk sejumlah uang oleh Wajib Pajak ke Kas Negara.
Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat membayarnya sendiri atau menguasakannya pada pihak
lain selama pihak tersebut bertindak atas nama wajib pajak yang memiliki utang pajak.
Selain itu, pembayaran ini perlu menggunakan mata uang yang berlaku di Indonesia, dalam
hal ini adalah Rupiah.
2. Kompensasi
Kompensasi dapat dilakukan jika Wajib Pajak memiliki kelebihan dalam membayar pajak
sehingga dapat digunakan untuk membayar utang pajak. Kelebihan bayar pajak sendiri dapat
terjadi karena berbagai hal, seperti perubahan undang-undang pajak, kekeliruan pembayaran,
adanya pemberian pengurangan, dan sebagainya. Karena itu, kelebihan pajak ini dapat
dikreditkan.
Wajib pajak dapat menghapus utang pajak menggunakan cara ini dengan syarat ia wajib
mengajukan sendiri kepada pejabat pajak. Selain itu, Wajib Pajak tidak bisa
mengkompensasikan utang pajak dengan utang biasa karena berbeda konteks.
Kompensasi dapat berupa:
Kompensasi kerugian, ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu kompensasi kerugian yang
mendatar (horizontal compensative), kompensasi yang tegak (vertical compensative),
dan kompensasi kerugian perang.
Kompensasi pembayaran, ini dapat dilakukan jika salah satu pihak memiliki utang
dan memiliki tagihan pada pihak lain.
Jika ingin menggunakan cara kompensasi, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan:
Bahwa pada saat yang sama, kedua subjek saling mempunyai tagihan.
Hal yang dikompensasikan hanyalah dua utang berupa uang dan barang yang sama
macamnya.
Kompensasi berlaku karena hukum, bahkan jika pihak yang berhutang tidak
mengetahuinya dan saling menghilangkan utang yang sama besarnya pada saat yang
sama.
3. Kedaluwarsa
Kedaluwarsa di sini adalah kedaluwarsa penagihan. Melansir dari DJP, hak untuk
menagih pajak kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejat
tanggal terutang pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak
yang bersangkutan.
Kedaluwarsa penagihan pajak dapat dicegah dengan melakukan penagihan teguran, dan
pengakhiran dengan mengajukan permohonan keberatan atau penangguhan.
Selain itu, ada dua macam kedaluwarsa dalam hal utang pajak. Pertama adalah
kedaluwarsa lemah (penagihannya kedaluwarsa), dan kedua adalah kedaluwarsa kuat
(utangnya kedaluwarsa).
4. Pembebasan
Alternatif lain untuk menghapus utang pajak adalah dengan cara pembebasan. Namun,
pembebasan di sini pada umumnya bukan berarti menghilangkan pokok utang pajak,
meniadakan sanksi administratif terkait utang pajak.
Tetapi, utang pajak dapat berakhir dengan pembebasan karena cara ini merupakan sarana
hukum pajak untuk melepaskan tanggung jawab wajib pajak berupa membayar pajak.
5. Penghapusan/Peniadaan
Penghapusan utang pajak mirip dengan cara pembebasan. Perbedaannya, cara
penghapusan diberikan karena keadaan keuangan Wajib Pajak.
Penghapusan juga merupakan cara untuk mengakhiri utang pajak. Namun, hanya dengan
alasan tertentu, seperti Wajib Pajak terkena musibah atau karena dasar penetapannya
tidak benar. Ketika utang pajak telah dihapus, perikatan pajak akan berakhir sehingga
Wajib Pajak tidak lagi memiliki kewajiban membayar pajak yang terutang.
Itulah pembahasan singkat mengenai timbul dan hapusnya utang pajak. Secara garis
besar, ada dua ajaran atau dua teori yang mengatur timbulnya utang pajak, yaitu ajaran
formil dan ajaran materil. Lalu untuk menghapus utang pajak tersebut, ada 5 alternatif
yang dapat Wajib Pajak lakukan, yang meliputi: pembayaran, kompensasi, kedaluwarsa,
pembebasan, dan penghapusan/peniadaan
1. Perlawanan Pasif
Perlawanan terhadap pajak berarti melibatkan para wajib pajak. Tapi untuk perlawanan
pasif, adalah perlawanan yang inisiatifnya atau bukan kemauan dan usaha dari para wajib
pajak itu sendiri. Perlawanan pasif ini disebabkan oleh struktur ekonomi, perkembangan
moral dan intelektual penduduk, dan teknik pemungutan pajak itu sendiri.
Struktur Ekonomi
Struktur eknonomi suatu Negara mempengaruhi pemungutan pajak di Negara
tersebut. Hal ini terkait dengan penghitungan sendiri pendapatan netto oleh wajib
pajak sendiri. Contohnya pajak penghasilan yang diterapkan pada masyarakat agraris.
Dalam hal ini, wajib pajak harus menghitung sendiri. Namun, menghitung
pendapatan netto akan sangat sulit dilakukan oleh masyarakat agraris. Karena itu,
timbullah perlawanan pasif terhadap pajak.
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib pajak itu
sendiri. Hal ini merupakan usaha yang secara langsung dan bertujuan untuk
menghindari pajak atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya dibayar.
Perlawanan aktif terhadap pajak ada 3 cara, yaitu:
·
Penghindaran Pajak
1. Penghindaran yang dilakukan wajib pajak masih dalam kerangka peraturan
perpajakan. Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam
penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar undang-
undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan undang-undang
tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang.
Penghindaran dari pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
2. Menahan Diri
Maksudnya adalah para wajib pajak ini tidak ingin terkena pajak, maka
mereka melakukan sesuatu yang nantinya bisa dikenai pajak. Contohnya jika
tidak mau terkena cukai tembakau, maka tidak merokok.
3. Pindah Lokasi
Maksudnya, para wajib pajak yang memiliki usaha, karena mereka ingin
mendapatkan pajak yang kecil untuk usaha mereka, maka mereka pindah
lokasi ke daerah yang tariff pajaknya rendah seperti di Indonesia Timur.