Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk Allah yang di anugrahi akal, fikiran, dan fisik untuk menunjang
kehidupannya sebagai seorang insan yang di tunjuk oleh Allah untuk menjadi khalifah di bumi Allah
Yang Maha Kuasa ciptakan. Oleh karena manusia adalah khalifah di bumi ini sepatutnya seorang
manusia haruslah mempunyai perilaku yang sesuai dengan yang Tuhan inginkan untuk dipercayakan
menjaga keutuhan bumi yang Allah ciptakan dengan segala makhluk hidup di dalamnya untuk
manusia jaga kelestariannya.

Manusia yang menjadi seorang terpilih dan tinggi derajatnya di mata Tuhan, manusia
haruslah mempunyai kepercayaan, ilmu, dan menjalankan segala apa yang di perintahkan Allah dan
menjauhi yang dilarang oleh Allah SWT. Sebagai makhluk yang mempunyai akal dan fikiran serta fisik
manusia haruslah memanfaatkan anugrah yang diberikan oleh Allah itu dengan sebaik-baiknya dan
jangan menyalahgunakannya sebagai suatu yang Allah benci. Manusia haruslah mempunyai budaya
yang baik untuk menjadikannya seorang manusia yang memiliki derajat tinggi di mata Allah SWT.
Maka manusia harus menjadikan budaya yang baik sebagai bagian dari dirinya tanpa mengabaikan
apa yang menjadi kewajiban sebagai makhluk yang berketuhanan.

Budaya merupakan simbol peradaban. Apabila sebuah budaya luntur dan tidak lagi
dipedulikan oleh sebuah bangsa, maka peradaban bangsa tersebut tinggal menunggu waktu untuk
punah.

Disini, kami mencoba untuk peduli dengan Budaya Jawa. Dengan keterbatasan ilmu dan
pengetahuan, kami mencoba merangkum berbagai tulisan yang berkaitan dengan budaya Jawa dari
berbagai sumber.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Apa Pengertian Budaya Jawa?


B. Apa Mata Pencaharian Hidup Masyarakat Jawa?
C. Bagaimana Sistem Kekerabatan di Masyarakat Jawa?
D. Bagaimana Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Jawa?
E. Apa Jenis Kesenian yang Berkembang di Masyarakat Jawa?
F. Bagaimana Penjelasan Tentang Bahasa Jawa?
G. Apa Rumah Adat Suku Jawa?
H. Apa Senjata Khas Suku Jawa?
III. PEMBAHASAN

A. Pengertian Budaya Jawa

Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan masyarakat asli Jawa yang telah berkembang
semenjak masa prasejarah. Sebagai halnya suku-suku sederhana lainnya budaya asli Jawa ini
bertumpu dari religi animisme dan dinamisme. Dasar pikiran dalam religi animisme dan dinamisme
bahwa dunia ini juga didiami oleh roh-roh halus termasuk roh nenek moyang dan juga kekuatan-
kekuatan (daya-daya) ghaib.

Kebudayaan Jawa adalah sebuah sistem yang mencakup bahasa, sistem teknologi, mata
pencaharian, organisasi sosial, corak berpikir, sistem keagamaan dan kesenian yang dianut dan
dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat.

Dalam antropologi budaya dikenal beragam suku dan budaya, salah satunya masyarakat
atau suku Jawa. Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya
menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialeknya secara turun-menurun. Suku bangsa Jawa
adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, serta mereka yang
berasal dari kedua daerah tersebut. Secara geografis suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang
meliputi: Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Sedangkan di luar itu,
dinamakan pesisir dan ujung timur. Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan dua bekas kerajaan
Mataram pada sekitar abad ke-XVI adalah pusat dari kebudayaan Jawa. Keduanya adalah tempat
kerajaan terakhir dari pemerintahan Raja-raja Jawa.

Suku Jawa merupakan salah satu suku terbesar yang berdiam di negara Indonesia. Suku Jawa
hidup dalam lingkup budaya yang sangat kental, yang mereka gunakan dalam berbagai kegiatan
masyarakat, bahkan mulai dari kehamilan sampai kematian. Menurut Sujamto, 1997 budaya Jawa
memiki empat ciri-ciri utama, yaitu:

1. Religius

Sebelum agama-agama besar masuk ke Jawa, masyarakat Jawa sudah mempercayai


kepercayaan adanya tuhan yang melindungi mereka, dan keberagaman agama itu semakin
berkualitas dengan masuknya agama besar, seperti: Hindu, Budha, Islam dan Kristen, yang
menjadikan masyarakat Jawa mempunyai toleransi keagamaan yang besar.

2. Non doktriner

Artinya budaya Jawa itu luwes (fleksibel), karena sejak zaman dahulu masyarakat Jawa
berpendapat bahwa perbedaan agama yang masuk sebenarnya hanya berbeda caranya saja, untuk
menuju pada tercapainya satu tujuan yang sama.

3. Toleran

Masyarakat Jawa selalu mengutamakan gotong royong, selain itu juga bisa menerima
perbedaan pendapat dan menghormati pendapat orang lain.
4. Akomodatif

Kebudayaan Jawa selain penuh dengan pelajaran-pelajaran mengenai budi pekerti luhur juga
mau menerima masuknya budaya asing yang masuk yang sesuai dan bermanfaat bagi masyarakat.
Secara kodrati budaya Jawa seperti halnya budaya lainnya akan selalu mengalami proses perubahan
atau perkembangan dalam arti yang luas. Pengembangan nilai budaya Jawa merupakan upaya
secara sadar untuk secara terus menerus meningkatkan kualitasnya.

Bahasa Jawa misalnya, perkembangannya sangat jauh sehingga menjadi bahasa yang tak
tertandingi oleh bahasa manapun, terutama mengenai kekayaan kosa katanya.

Bahasa Jawa Ngoko itu dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang
yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah
bahasa Jawa Ngoko Lugu dan Ngoko Andap. Sebaliknya, bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk
bicara dengan yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga
terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya. Dari kedua macam derajat bahasa ini,
kemudian ada variasi berbagai dan kombinasi-kombinasi antara kata-kata dari bahasa Jawa Ngoko
dan Krama, dan yang pemakaiannya disesuaikan dengan keadaaan perbedaan usia dan derajat
sosial. Demikian ada misalnya bahasa Jawa Madya, yang terdiri dari tiga macam bahasa yaitu Madya
Ngoko, Madyaantara dan Madya Krama; ada bahasa Krama Inggil yang terdiri dari kira-kira 300 kata-
kata yang dipakai untuk menyebut nama-nama anggota badan, aktivitas, benda milik, sifat-sifat dan
emosi-emosi dari orang-orang yang lebih tua umur atau lebih tinggi derajat sosialnya; bahasa
Kedaton yang khusus dipergunakan di kalangan istana; bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa
orang-orang di desa-desa; dan akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni salah satu macam bahasa daerah
yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam kedaan marah atau mengumpat seseorang.[9]

B. Mata Pencaharian Hidup Masyarakat Jawa

Tidak ada mata pencaharian yang khas yang dilakoni oleh masyarakat suku Jawa. Pada
umumnya, orang-orang disana bekerja pada segala bidang, terutama administrasi negara dan
kemiliteran yang memang didominasi oleh orang Jawa. Selain itu, mereka bekerja pada sektor
pelayanan umum, pertukangan, perdagangan dan pertanian dan perkebunan. Sektor pertanian dan
perkebunan, mungkin salah satu yang paling menonjol dibandingkan mata pencaharian lain, karena
seperti yang kita tahu, baik Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak lahan-lahan pertanian yang
beberapa cukup dikenal, karena memegang peranan besar dalam memasok kebutuhan nasional,
seperti padi, tebu dan kapas. Tetapi orang Jawa juga terkenal tidak memiliki bakat yang menonjol
dalam bidang industri dan bisnis seperti halnya keturunan etnis tionghoa. Hal ini dapat terlihat,
bahwa pemilik industri berskala besar di Indonesia, kebanyakan dimiliki dan dikelola oleh etnis
tionghoa.[10]

Di dalam melakukan pekerjaan pertanian, masyarakat orang Jawa ada yang menggarap
tanah pertaniannya untuk dibuat kebun kering, terutama mereka yang hidup di daerah pegunungan,
sedangkan yang lain, yaitu yang bertempat tinggal di daerah-daerah yang lebih rendah mengolah
tanah-tanah pertanian tersebut guna menjadikan sawah. Biasanya di samping tanaman padi,
beberapa jenis tanaman palawija juga ditumbuhkan baik sebagai tanaman utama di tegalan maupun
sebagai tanaman penyela di sawah pada waktu-waktu musim kemarau dimana air sangat kurang
untuk pengairan sawah-sawah itu, seperti ketela pohon, ketela rambat, kedelai, kacang tanah dan
kacang tunggak.

Selain sumber penghasilan dari lapangan pekerjaan pokok bertani tersebut, ada pula sumber
pendapatan lain yang diperoleh dari usaha-usaha kerja sambilan membuat makanan tempe kara
benguk, mencetak batu merah,mbotok atau membuat minyak goreng kelapa, membatik,
menganyam tikar dan menjadi tukang-tukang kayu, batu atau reparasi sepeda dan lapangan-
lapangan pekerjaan lain yang mungkin dilakukan.[11]

C. Sistem Kekerabatan Masyarakat Jawa

Suku Jawa menganut garis keturunan ayah atau disebut Patrilini/ Patriakhat. Hal ini terlihat
dari pemakaian nama belakang seseorang sering memakai nama ayah, anak laki-laki juga menjadi
kebanggaan keluarga dan mendapatkan perhatian khusus dibanding anak perempuan karena
diyakini seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, dalam hal warispun dikenal anak lanang sa
pikul anak wadon sak gendongan. Yang mana jumlah harta waris yang diberikan kepada anak laki-
laki diibaratkan sa pikul yang lebih besar dari sa gendongan yang diberikan kepada anak perempuan.
Dikenal pula istilah lajer yaitu garis keturunan keluarga laki-laki saja.

Silsilah keturunan jawa:

1. Anak

2. Putu

3. Buyut

4. Canggah

5. Wareng

6. Udheg- udheg

7. Gantung siwur

8. Gropak senthe

9. Kandhang bubrah

10. Debog bosok

11. Galih asem

Dalam 7 turunan tersebut masih dapat disebut keluarga dekat dan keturunan 8 dan
seterusnya merupakan keluarga jauh. Selain itu juga di kenal Pa jipat lima/ pancer sedulur papat lima
pancer yang merupakan saudara orang Jawa saat dilahirkan. Sedulur papat lima pancer ini diambil
dari Kitab Kidungan Purwajati seratane, yang dimulai dari tembang Dhandanggula yaitu:

Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira Nganakaken saciptane Kakang
Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami Anekakake sedya Ing kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang
Memayungi laku kuwasanireki Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi
ulah kang kuwasa Andadekaken karsane Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti ing
panedha Kuwasanireku Jangkep kadang ingsun papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal
sawujud ingwang Ing tembang dhuwur iku disebutake yen ” Sedulur Papat ” iku Marmati, Kawah,
Ari-Ari, lan Getih kang kaprahe diarani Rahsa. Kabeh kuwi mancer neng Puser (Udel) yaiku mancer
ing Bayi.

Cethane mancer marang uwonge kuwi. Geneya kok disebut Marmati, kakang Kawah, Adhi
Ari-Ari lan Rahsa kuwi? Marmati iku tegese Samar Mati! lire yen wong wadon pas nggarbini (hamil)
iku sadina-dina pikirane uwas Samar Mati. Rasa uwas kawatir pralaya anane dhisik dhewe sadurunge
metune Kawah, Ari-Ari lan Rahsa kuwi mau, mulane Rasa Samar Mati iku banjur dianggep minangka
Sadulur Tuwa. Wong nggarbini yen pas babaran kae, kang dhisik dhewe iku metune Banyu Kawah
sak durunge laire bayi, mula Kawah banjur dianggep Sadulur Tuwa kang lumrahe diarani Kakang
Kawah. Yen Kawah wis mancal medhal, banjur disusul laire bayi, sakwise kuwi banjur disusul Metune
Ari-Ari. Sarehne Ari-Ari iku metune sakwise bayi lair, mulane Ari-Ari iku diarani Sedulur Enom lan
kasebut Adhi Ari-Ari Lamun ana wong abaran tartamtu ngetokake Rah (Getih) sapirang-pirang.
Wetune Rah (Rahsa) iki uga ing wektu akhir, mula Rahsa iku uga dianggep Sedulur Enom. Puser (Tali
Plasenta) iku umume PUPAK yen bayi wis umur pitung dina. Puser kang copot saka udel kuwi uga
dianggep Sedulure bayi. Iki dianggep Pancer pusate Sedulur Papat. Mula banjur tuwuh unen-unen
”SEDULUR PAPAT LIMA PANCER”.

”Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar Macan,
Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa.

Yang intinya sedulur papat tadi melambangkan 4 macam nafsu yang dimiliki manusia, yaitu:

1. Macan melambangkan nafsu amarah

2. Banteng melambangkan nafsu supiyah (seksual)

3. Kethek (monyet) melambangkan nafsu aluamah (makan tidur)

4. Merak melambangkan nafsu mutmainah (kebaikan)

Artinya setiap manusia harus bisa mengendalikan keempat nafsu yang dibawanya sejak lahir.
Apabila seorang manusia tidak dapat mengendalikannya maka akan hancurlah hidupnya dan bila
nafsu tersebut terkendali dengan baik maka akan tercipta keselarasan atau harmoni.

D. Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Jawa

Di dalam kenyataan hidup masyarakat orang Jawa, orang masih membeda-bedakan antara
orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang kebanyakan yang
disebut wong cilik, seperti petani-petani, tukang-tukang dan pekerja kasar lainnya, di samping
keluarga kraton dan keturunan bangsawan atau bendara-bendara. Dalam kerangka susunan
masyarakat ini, secara bertingkat yang berdasarkan atas gensi-gensi itu, kaum priyayi dan bendara
merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilikmenjadi lapisan masyarakat bawah.

Kemudian menurut kriteria pemeluk agamanya, orang Jawa biasanya membedakan orang
santri dengan orang agama kejawen. Golongan kedua ini sebenarnya adalah orang-orang yang
percaya kepada ajaran agama Islam, akan tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-
rukun dari agama Islam itu; misalnya tidak salat, tidak pernah puasa, tidak bercita-cita untuk
melakukan ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar di dalam susunan masyarakat
orang Jawa itu, ada golongan santri dan ada golongan agama kejawen. Di berbagai daerah di Jawa
baik yang bersifat kota maupun pedesaaan orang santri menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah
orangberagama kejawen-lah yang dominan.

Orang tani di desa-desa, yang menurut pelapisan sosial tersebut di atas, termasuk golongan
wong cilik, di antara mereka sendiri juga pembagian secara berlapis. Lapisan yang tertinggi dalam
desa adalah wong baku. Lapisan ini terdiri dari keturunan orang-orang yang dulu pertama-tama
datang menetap di desa. Mereka ini memiliki sawah-sawah, rumah dengan tanah pekarangannya.
Lapisan kedua di dalam angka sistem pelapisan sosial di desa adalah lapisankuli gendok atau lindung.
Mereka adalah orang-orang laki-laki yang telah kawin, akan tetapi tidak mempunyai tempat tinggal
sendiri, sehingga terpaksa menetap di rumah kediaman mertuanya. Namun begitu, tidaklah berarti
bahwa mereka ini tidak mempunyai tanah-tanah pertanian yang dapat diperoleh dari warisan atau
pembelian. Adapun golongan lapisan ketiga ialah lapisan joko, sinoman, atau bujangan. Mereka
semua belum menikah dan masih tinggal bersama-sama dengan orang tua sendiri atau ngenger di
rumah orang lain. Golongan bujangan ini bisa mendapat atau memiliki tanah-tanah pertanian,
rumah-rumah dan pekarangannya, dari pembagian warisan dan pembelian-pembelian.

Desa-desa di Jawa umumnya dibagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut dengan
dukuh, dan setiap dukuh dipimpin oleh kepala dukuh. Di dalam melakukan tugasnya sehari-hari, para
pemimpin desa ini dibantu oleh para pembantu-pembantunya yang disebut dengan nama Pamong
Desa. Masing-masing pamong desa memiliki tugas dan peranannya masing-masing. Ada yang
bertugas menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban desa, sampai dengan mengurus
masalah perairan bagi lahan pertanian warga.

Dalam hal menjalankan usaha memelihara dan membangun masyarakat desanya para
pamong desa harus sering mengerahkan bantuan penduduk desa dengan gugur gunung, atau kerik
desa guna bekerja sama membuat, memperbaiki, atau memelihara jalan-jalan desa, jembatan-
jembatan, bangunan sekolah desa atau balai desa, menggali saluran-saluran air, memelihara
bendungan-bendungan atau pintu-pintu airnya, merawat makam desa, masjid atau surau-surau, dan
mengadakan upacara bersih desa.

E. Jenis Kesenian yang Berkembang di Masyarakat Jawa

Kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka ragam, mulai dari tari-
tarian, lagu daerah, wayang orang, dan juga wayang kulit, serta masih ada berbagai macam kesenian
lainnya.

Yang pertama adalah tari-tarian. Dalam bahasa Jawa, tari disebut dengan kata beksa yang
berasal dari kata “ambeg” dan “esa” kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang
yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyerahkan seluruh jiwanya
pada tarian. Seni tari di Jawa sendiri mengalami kejayaan pada masa Kerajaan Kediri, Singasari, dan
Majapahit. Pada masa sekarang ini, kota Surakarta dianggap sebagai pusat seni tari, terutama di
Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran.
Seni tari dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: Tari Klasik, Tari Tradisional dan Tari
Garapan Baru. Beberapa contoh tarian sebagai bagian dari kebudayaan suku Jawa antara lain:

1. Tari Bedhaya

Tari Bedhaya Ketawang ini dipercaya diciptakan oleh Sultan Agung, raja pertama dari
kerajaan Mataram, dan disempurnakan oleh Sunan Kalijaga. Tari Bedhaya Ketawang ini, tidak hanya
ditampilkan pada saat penobatan raja yang baru, tetapi juga tiap tahunnya, yang bertepatan dengan
hari penobatan raja atau ratu. Pada pementasan tari Bedhaya Ketawang, digunakan kostum Dodot
Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan. Dari segi alat musik pengiring pun sangat spesial,
karena digunakan yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo. Pada zaman Sri
Susuhunan PakuBuwono XII, pertunjukan tari Bedhaya Ketawang, selalu diselenggarakan pada hari
kedua bulan Reuwah atau bulan Syaban dalam kalender Jawa.

2. Tari Srimpi

Tarian ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan muncul di lingkungan keraton. Tetapi
diperkirakan mulai ada saat Prabu Amiluhur masuk ke keraton. Tarian ini dipentaskan oleh empat
orang putri yang melambangkan empat unsur, dan empat penjuru mata angin. Dari beberapa jenis
tari Srimpi, ada satu yang dianggap sakral atau suci, yaitu Tari Srimpi Anghlir Mendhung.

3. Tari Pethilan

Tari Pethilan adalah suatu tarian yang gerakannya terinspirasi atau mengambil salah satu
bagian dari cerita pewayangan. Dalam pementasannya, tarian ini boleh memiliki gerakan yang sama
atau tidak antar penarinya, boleh menggunakan ontowacono atau dialog dalam tariannya, pakaian
yang digunakan tidak sama setiap penarinya, kecuali yang memerankan lakon kembar. Dalam kisah
yang termuat dalam tarian pun, ada peran yang mati dan yang tetap bertahan hidup.

4. Tari Golek

Tari ini berasal dari Yogyakarta, dan pertama kali dipentaskan pada perayaan pernikahan
KGPH Kusumoyudho dan Gusti Ratu Angger di tahun 1910. Tarian ini menggambarkan cara-cara
berhias diri seorang gadis yang baru memasuki masa dewasanya, agar terlihat lebih cantik dan
menarik.

5. Tari Bondan

Tari Bondan memiliki tiga jenis, yaitu Bondan Cindogo, Bondan Marsidiwi, dan Bondan
Pegunungan atau Tani. Tari Bondan Cindogo dan Marsidiwi, merupakan tarian gembira, dibuat untuk
mengungkapkan kegembiraan atas kelahiran anak.

6. Tari Topeng

Tarian ini sebenarnya secara tidak langsung diilhami oleh wayang wong, atau wayang orang.
Tarian ini sempat mengalami kejayaan pada masa kerajaan Majapahit. Lalu pada masa masuknya
islam, sunan kalijaga menggunakannya sebagai media penyebaran islam. Beliau jugalah yang
menciptakan 9 jenis tari topeng diantaranya: Topeng Panji Ksatrian, Condrokirono, Gunung sari,
Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco, dan Turas. Tari topeng sendiri dianggap sebagai
perlambang sifat manusia, karena banyaknya model topeng yang menggambarkan emosi manusia
yaitu marah, sedih, dan kecewa. Biasanya cerita yang diangkat dalam tari topeng adalah bagian dari
hikayat atau cerita rakyat, terutama cerita-cerita panji.

7. Tari Dolalak

Tarian ini dipentaskan oleh beberapa penari yang mengenakan kostum ala prajurit Belanda
atau Prancis tempo dulu, dan diiringi oleh alat musik seperti kentrung, rebana, kendang, kencer, dan
lain-lain. Menurut legenda, tarian ini terinspirasi dari semangat perjuangan perang rakyat Aceh yang
kemudian meluas ke daerah lain di nusantara.

Kedua, adalah berbagai macam kesenian rakyat yang dikenal di masyarakat Jawa, baik Jawa
Tengah maupun Jawa Timur. Patolan atau prisenan yang dikenal di daerah Rembang, Jawa Tengah.
Kesenian ini adalah semacam olahraga gulat rakyat, dan dipimpin oleh dua orang wasit dari masing-
masing pihak. Olahraga yang juga hiburan ini biasanya dimainkan di tempat berpasir seperti di
pinggir pantai.

Daerah Blora dikenal memiliki kesenian barongan, kuda kepang, dan wayang krucil (sejenis
wayang kulit, namun terbuat dari kayu).

Di daerah Pekalongan, dikenal kesenian kuntulan dan sintren. Kuntulan adalah kesenian bela
diri yang dilukiskan dengan tarian dengan iringan bunyi-bunyian seperti bedug, dan lain-lain.
Sedangkan sintren, yang juga dikenal luas di Cirebon, adalah sebuah tarian yang dipenuhi dengan
unsur mistis. Dimana sang penari melakukan gerakan tarian dalam keadaan tidak sadar. Pertunjukan
sintren biasanya dipentaskan pada saat bulan purnama setelah panen.

Lengger calung, adalah kesenian tradisional yang berasal dari daerah Banyumas. Tarian ini
terdiri dari lengger (penari) dan calung (alat musik bambu). Gerakan tariannya sangat dinamis dan
lincah mengikuti irama dari calung. Beberapa gerakan khas dari tarian lengger adalah geyol, gedhag,
dan lempar sampur. Dahulu penari lengger adalah para pria yang berdandan seperti wanita, namun
sekarang para pria tersebut hanyalah sebagai pelengkap tarian saja.

Selain kesenian yang berbentuk tarian, suku Jawa pun memiliki kesenian dalam bentuk lain,
misalnya saja dalam seni musik. Baik berbentuk alat musik khas daerah, maupun berbentuk lagu-
lagu daerah.

Alat musik yang khas, dan tentu saja paling terkenal dari Jawa adalah gamelan Jawa.
Gamelan Jawa ini memiliki bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan
Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang
rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan
itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik
gamelannya. Satu set gamelan biasanya terdiri dari Kendang, Saron, Bonang, Slentem, Gambang,
Gong, Kempul, Kenong, Ketug, Clempung, Keprak, dan Bedug.

Gamelan Jawa sendiri memiliki dua jenis yaitu Gamelan Salendro dan Gamelan Pelog.
Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan
dan lain-lain. Sedangkan Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya
kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup
kesenian di masyarakat.

Alat musik khas daerah berikutnya adalah Jula-Juli. Jula-Juli adalah salah satu gendhing khas
dari Jawa Timur, dan sangat lazim digunakan untuk mengiringi Ludruk dan Tari Remo. Sedangkan
bentuk kesenian seni musik yang berupa lagu-lagu daerah dari Jawa antara lain: Bapak Pucung,
Cublak-Cublak Suweng, Gambang Suling, Gai Bintang, Gek Kepriye, Gundul-Gundul Pacul, Lir-ilir,
Jamuran, Kembang Malathe, Karapan Sape.[16]

F. Sistem Religi di Masyarakat Jawa

Ciri masyarakat Jawa yang lain adalah berketuhanan, bahkan sejak masa prasejarah.
Kepercayaan yang dianutnya adalah kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang
adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuhan-tumbuhan, dan juga pada manusia sendiri.
Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua benda yang bergerak diangap
hidup dan memiliki roh, baik itu roh berwatak baik atau jahat.

Suku-suku bangsa Indonesia dan khususnya suku Jawa sebelum kedatangan pengaruh
Hinduisme telah hidup teratur dengan religi animisme-dinamisme sebagai akar spiritualitasnya, dan
hukum adat sebagai pranata kehidupan sosial mereka. Adanya warisan hukum adat menunjukkan
bahwa nenek moyang suku bangsa Indonesia asli telah hidup dalam persekutuan-persekutuan desa
yang teratur dan mungkin di bawah pemerintahan atau kepala adat desa, walaupun masih dalam
bentuk yang cukup sederhana. Religi animisme-dinamisme yang merupakan akar budaya asli
Indonesia dan khususnya dalam masyarakat Jawa cukup mengakar dalam sehingga punya
kemampuan yang kenyal (elastis). Dengan demikian, dapat bertahan walaupun mendapat pengaruh
dan berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.

Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa disamping semua roh yang ada,
terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan, agar terhindar dari roh tersebut
mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan sesaji.

Pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah agar keluarga mereka
terlindung dari roh yang jahat. Cara yang ditempuh untuk menghadirkan arwah nenek moyang
adalah dengan mengundang orang yang sakti dan ahli dalam bidang tersebut yang disebut
prewangan untuk memimpin acara. Sebagai kelengkapan upacara tersebut mereka menyiapkan
sesaji dan membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya yang digemari oleh nenek moyang. Selain
itu mereka juga menyempurnakan upacara dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian.

Seperti upacara kematian secara berurutan diadakan sebagai berikut:

1. Selametan surtanah atau geblak yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang.

2. Selametan nelung dina, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan pada hari ketiga
sesudah kematian seseorang.

3. Selametan mitung dina, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan pada hari ketujuh.
4. Selametan matang puluh dina, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan pada hari
keempat puluh.

5. Selametan nyatus, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan pada hari keseratus.

6. Selametan mendak sepisan dan mendak pindo, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan
pada tahun pertama dan kedua kematian seseorang.

7. Selametan nyewu, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan pada hari keseribu.

8. Selametan nguwis-nguwisi, yaitu upacara selamatan kematian yang diadakan terakhir kali.

Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil adaptasi
pergaulan dengan alam. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam, matahari, hujan,
angin dan hama. Tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adikodrati dibalik semua kekuatan
alam itu.

Dalam kepercayaan Jawa terdapat usaha untuk menambah kekuatan batin. Usaha ini
dilakukan dengan menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang sering disebut
dengan jimat.

Selain itu, masyarakat jawa juga mempunyai tradisi upacara adat dalam setiap kegiatan-kegiatan
besar, seperti :

1. Kematian (Mendhak)

2. Upacara nyewu dina (memohon pengampunan kepada Tuhan)

3. Upacara Brobosan (penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua dan leluhur mereka
yang telah meninggal dunia)

4. Upacara-upacara sebelum pernikahan (Siraman, Upacara Ngerik, Upacara Midodareni,


Upacara diluar kamar pelaminan, Srah-srahan atau Peningsetan, Nyantri, Upacara Panggih atau
Temu, Balangan suruh Penganten, dan lain-lain)

5. Upacara untuk kelahiran bayi, seperti:

a) Wahyu Tumurun

Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang senantiasa mendekatkan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b) Sido Asih

Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu dicintai dan dikasihi oleh
sesama serta mempunyai sifat belas kasih.

c) Sidomukti

Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang mukti wibawa, yaitu berbahagia dan
disegani karena kewibawaannya.
d) Truntum

Maknanya agar keluhuran budi orang tuanya menurun (tumaruntum) pada sang bayi.

e) Sidoluhur

Maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi pekerti luhur.

f) Parangkusumo

Maknanya agar anak memiliki kecerdasan bagai tajamnya parang dan memiliki ketangkasan
bagai parang yang sedang dimainkan pesilat tangguh.

g) Semen romo

Maknanya agar anak memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya cinta kasih Rama dan
Sinta pada rakyatnya.

h) Udan riris

Maknanya agar anak dapat membuat situasi yang menyegarkan, enak dipandang, dan
menyenangkan siapa saja yang bergaul dengannya.

i) Cakar ayam

Maknanya agar anak pandai mencari rezeki bagai ayam yang mencari makan dengan
cakarnya karena rasa tanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya, sehingga kebutuhan hidupnya
tercukupi, syukur bisa kaya dan berlebihan.

j) Grompol

Maknanya semoga keluarga tetap bersatu, tidak bercerai-berai akibat ketidakharmonisan


keuarga (nggrompol: berkumpul).

k) Lasem

Bermotif garis vertikal, bermakna semoga anak senantiasa bertakwa pada Tuhan Yang Maha
Esa.

l) Dringin

Bermotif garis horisontal, bermakna semoga anak dapat bergaul, bermasyarakat, dan
berguna antar sesama.
IV. ANALISIS

Globalisasi berjalan seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping


membawa kemajuan di dalam pribadi pemuda dan setiap elemen masyarakat, globalisasi juga
memberikan dampak buruk pada budaya. Eksistensi budaya menjadi terancam, karena masyarakat
yang merasakan kemajuan jaman selalu beranggapan bahwa budaya daerah tidaklah penting karena
yang ada dalam otak mereka adalah bagaimana caranya dapat terus mengikuti kemajuan iptek yang
terjadi.

Ironinya bukan hanya sekedar memberi dampak buruk terhadap sikap masyarakat, namun
juga merasuk ke dalam jiwa mereka kemudian tertanam kukuh dan kemudian menguasai mereka.
Sehingga mengalahkan kesadaran mereka dalam berbudaya.

Salah satu penyebab utama yang lainnya adalah karena pemerintah tidak lagi memasukkan
pendidikan bahasa Jawa ke dalam kurikulum pendidikan 1975. Barulah sepuluh tahun kemudian
terasa mengapa pemuda tidak dapat menguasai budaya Jawa dan tata krama Jawa. Namun, di sisi
lain tidak sedikit warga negara asing yang kagum akan budaya Jawa dan sangat antusias serta
berlomba-lomba untuk bisa dan belajar budaya Jawa.

Memang sebuah kenyataan pahit yang harus diterima. Namun hal tersebut tidak boleh
dibiarkan begitu saja. Rasa bangga tidak cukup hanya diucapakan di bibir saja, namun harus
dibuktikan dengan tindakan nyata, yaitu kita wajib menjaga dan melestarikan budaya kita.

Budaya adalah sebuah identitas yang akan membuat kita bertahan. Bertahan bukan dengan
melawan tetapi dengan menerima. Menerima beragam perbedaan yang akan selalu hadir dalam
perputaran jaman. Dan masih ada harapan, karena masih banyak anak-anak yang belajar tentang
budaya mereka. Dan mereka akan belajar banyak melalui kisah-kisah heroic yang akan
mempengaruhi keputusan mereka kelak.

V. KESIMPULAN

A. Kebudayaan Jawa adalah sebuah sistem yang mencakup bahasa, sistem teknologi, mata
pencaharian, organisasi sosial, corak berpikir, sistem kegamaan dan kesenian yang dianut dan
dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat. Budaya Jawa memiliki empat ciri
utama, yaitu religius, non doktriner, toleran dan akomodatif. Di lihat dari kriteria tingkatannya, ada
dua macam bahasa Jawa yaitu bahasa Jawa Ngoko danKrama.

B. Pada umumnya, orang-orang Jawa bekerja pada segala bidang, terutama administrasi negara dan
kemiliteran. Selain itu, mereka bekerja pada sektor pelayanan umum, pertukangan, perdagangan
dan pertanian dan perkebunan.

C. Silsilah keturunan jawa: anak, putu, buyut, canggah, wareng, udheg-udheg, gantung siwur, gropak
senthe, kandhang bubrah, debog bosok, galih asem.
D. Dalam sistem kemasyarakatan Jawa, dikenal 4 tingkatan yaitu Priyayi, Ningrat atau Bendara,
Santri dan Wong Cilik.

E. Kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka ragam, mulai dari tari-tarian,
lagu daerah, wayang orang, dan juga wayang kulit, serta masih ada berbagai macam kesenian
lainnya.

F. Kepercayaan masyarakat jawa adalah kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang
adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuhan-tumbuhan, dan juga pada manusia sendiri.

VI. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami uraikan. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan
kekurangan adalah bagian dari kita. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan
menambah referensi pengetahuan kita. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Aveling, Harry, The Development of Indonesian Socirty, 1979.

Daroji, Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media, 2000.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka,
2005.

Hana, Siti, Makalah Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Jawa Di Era Globalisasi, Semarang: IAIN Walisongo,
2010.

Khalim, Samidi, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: Rasail Media Group, 2008.

Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2007.

Kuncoroningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta: Jambatan, 1954.

M, Munandar, Sualiman, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: Rosda Offset, 1988.

Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013.

Simuh, Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa.

Sofwan, Ridin, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004.

http://pemulungelitd19kk.wordpress.com/2013/09/30/kebudayaan-masyarakat-jawa/

http://h3rcul3z.blogspot.com/2014/04/makalah-kebudayaan-suku-jawa.html

________________________________________

[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, hlm. 169.

[2] Sualiman, M, Munandar, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: Rosda Offset, 1988, hlm. 21.

[3] Sualiman, M, Munandar, Ilmu Budaya Dasar, hlm. 22-23.

[4] Simuh, Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa, hlm. 6.

[5] Samidi Khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: Rasail Media Group, 2008, hlm. 4.

[6]Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013, hlm. 3-4.

[7] Siti Hana, Makalah Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Jawa Di Era Globalisasi, Semarang: IAIN
Walisongo, 2010, hlm. 2-3.

[8]Harry Aveling, The Development of Indonesian Socirty, 1979, hlm. 41.


[9]Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2007, hlm. 329-
330.

[10]http://pemulungelitd19kk.wordpress.com/2013/09/30/kebudayaan-masyarakat-jawa/, diakses
pada Jumat, 19 Desember 2014 pukul 14:09 WIB.

[11]Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, hlm. 334-337.

[12]http://h3rcul3z.blogspot.com/2014/04/makalah-kebudayaan-suku-jawa.html, diakses pada


Sabtu, 20 Desember 2014, pukul 10:25 WIB.

[13]Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, hlm. 344-345.

[14]http://pemulungelitd19kk.wordpress.com/2013/09/30/kebudayaan-masyarakat-jawa/, diakses
pada Jumat, 19 Desember 2014 pukul 14:09 WIB.

[15] Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, hlm. 346.

[16]http://pemulungelitd19kk.wordpress.com/2013/09/30/kebudayaan-masyarakat-jawa/, diakses
pada Sabtu, 20 Desember 2014 pukul 11:47 WIB.

[17]Kuncoroningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta: Jambatan, 1954, hlm. 103.

[18]Ridin Sofwan, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004, hlm.
17-18.

[19]Amin Daroji, Islam dan Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media, 2000, hlm. 10.

[20]http://h3rcul3z.blogspot.com/2014/04/makalah-kebudayaan-suku-jawa.html, diakses pada


Sabtu, 20 Desember 2014, pukul 09:43 WIB.

Anda mungkin juga menyukai