Anda di halaman 1dari 13

1.

ANALISIS SOSIAL BUDAYA


1. Rambu Solo (Upacara Kematian)

gambar Rambu Solo

Sumber: Dokumentasi Kelas PWK D 22

Rambu’ solo adalah salah satu upacara adat kematian


masyarakat yang samapai saat ini masih dilakasanakan dan
masih sangat kental, dalam upacara adat rambu solo keluarga
diwajibkan untuk melakukan puasa (tidak memakan nasi
beras(mero’) dan sebagai gantinya keluarga akan memakan
nasi dari olahan jagung (sokko’). Selain itu didepan rumah
duka dipasang gendang untuk dibunyikan sebagai penanda
ada keluarga yang sedang berduka, akan tetapi gendang tidak
diharuskan ada dalam upacara rambu solo’ tersebut, karena
untuk peletakan gendang didepan rumah duka terlebih dahulu
harus menyediakan kerbau untuk dikurbankan minimal tiga
ekor.
Upacara adat rambu solo’memiliki beberapa tingkatan
diantaranya, yaitu pa’baladoan atau sebagai upacara adat
kematian bagi masyarakat menengah kebawa yang
dilaksanakan tiga hari saja serta mangallun atau sebagai
upacara kematin bagi kaum bangsawan, akan tetapi dimasa
sekarang mangallun bisa di upacarakan bagi masyarakat
yang bukan dari keluarga keturunan bangsawan namun
perekonomiaanya mencuckupi. Di mana Mangallun tersebut
sebagai tingkat tertinggi dari upacara adat rambu solo’
( upacara kematian) yang mewajibkan keluarga
menyiapkan tiga sampai empat gendang untuk digantung di
depan rumah duka serta gong(padaling) diatas rumah duka
sebagai syarat upacara adat rambu solo serta kerbau belang
( kerbau doti), sebagai inti dari proses upacara adat rambu
solo’.

upacara adat ini dilaksanakan minimal tujuh bulan


lamanya dalam kurun waktu tersebut mayat akan disimpan
dalam kayu berbentuk peti (Allun) hingga tiba waktu
diacarakan maka Allun tersebut akan dibuka untuk di
bungkus menggunakan kain merah (Dibalun) hingga waktu
pemakaman tiba. Setelah itu akan dilakukan penyembelihan
kerbau yang bisa mencapai sepuluh ekor kerbau sesuai
dengan kemampuan keluarga, untuk dibagikan kepada
masyarakat dan keluarga.

2. Ada` Tuo (Hukum Adat)

Ada’ Tuo memiliki peran penting dalam aspek


kehidupan masyarakat di wilayah Mamasa. Aturan adat
yang ada di dalamnya mengatur banyak hal termasuk aturan
kehidupan sehari-hari hingga sanksi. Salah satu daerah yang
masih menerapkan hukum adat dalam wilayahnya adalah
Mamasa. Hukum adat yang masih sangat kental, dimana
masyarakat lebih memilih menyelesaikan persoalan atau
suatu masalah secara adat. Hukum adat yang berlaku sampai
saat ini di harapkan dapat memberikan rasa keadilan
terhadap pihak korban atau pihak yang di rugikan.

Berdasarkan bahasa , Ada’ yaitu norma atau kebiasaan


atau dapat juga berupa ucapan dan Tuo yaitu hidup. Maka
dapat disimpulkan bahwa ada’ tuo merupakan aturan hidup
yang mengatur setiap segi kehidupan masyarakat yang
berada di wilayah mamasa. Bentuk dari ada’ tuo
dikarenakan orang tua pada masa itu tidak menulis aturan
melainkan dengan melakukan musyawarah hingga hasilnya
yang disebut sebagai hukum. Jatuhnya hukuman juga tidak
boleh sampai merenggut nyawa si pelaku meskipun ia telah
melakukan pembunuhan dengan alasan tidak dibenarkan
membunuh di wilayah mamasa.

Pada observasi awal, kenyataan yang ada di


masyarakat pelanggaran masih terjadi. Masyarakat setuju
bahwa salah satu daerah yang masih menerapkan hukum
adat dalam wilayahnya adalah Mamasa. Hukum adatnya
yang masih sangat kental, dimana masyarakat lebih memilih
menyelesaikan persoalan atau suatu masalah secara adat.

Sebagian masyarakat berpendapat bahwa hukum adat


tidak lagi memberikan pengaruh besar sebagaimana
fungsinya. Namun ada pula yang berpendapat bahwa
penyelesaian masalah melaui jalur hukum seperti
persidangan tidak secara maksimal memberikan jalan damai.
Maka harapan masyarakat tentang penerapan hukum adat
mampu memberi keadilan, mendamaikan pihak yang
bermasalah dan juga setiap orang patuh pada aturan yang
ada di masyarakat.

yang ada di masyarakat. Baik dari pihak lembaga adat


hingga masyarakat terlibat untuk penyelesaian masalah agar
tidak berkepanjangan di masa yang akan datang serta
membangun kembali sikap taat aturan kepada pelaku.
Begitu pula dampaknya bagi masyarakat dan melestarikan
hukum adat mamasa yakni ada’ tuo sebagai jati diri
daerahnya.

3. Rumah adat (Banua)


Banua (Rumah adat) di daaerah kabupaten Mamasa
merupakan rumah tradisional suku Mamasa, yang
pembuatan nya membutuhkan waktu yang lama bahkan
sampai puluhan tahun yang berfungsi sebagai rumah tinggal
dan tempat melakukan ritual atau upacara keadatan. pada
dasarnya rumah adat memiliki tingkatan berdasarkan strata
sosial yaitu Banua layuk,banua sura’,banua bolong,banua
rapa’dan banua longkarrin. Berikut penjelasan rumah adat
berdasarkan strata sosial

1) Rumah Adat Banua Longkarrin

Gambar Rumah Adat Banua Longkarrin


Sumber: Dokumentasi Kelas PWK D 22

Rumah Mamasa yang bagian tiang paling bawah


dengan tanah dialas dengan kayu (longkarrin). Rumah ini
juga umumnya dihuni oleh masyarakat biasa, banua
longkarrin yang ukurannya kecil yang menjadi kediaman
para pelayan para kaum bangsawan

2) Rumah Adat Banua Rapa’

Gambar Rumah Adat Banua Rapa’

Sumber:Dokumentasi Kelas PWK D 22

Merupakan jenis rumah Mamasa dengan warna asli


(tidak diukir dan tidak dihitamkan). Rumah ini umumnya
dihuni oleh kalangan masyarakat biasa. banua rapa’ yang
menjadi kediaman kaum menengah yang tidak diperintah
dan tidak memerintah.

3) Rumah Adat Banua Bolong

Gambar Rumah Adat Banua Bolong


Sumber: Dokumentasi Kelas PWK D 22

Berasal dari kata "bolong" yang berarti "hitam",


rumah ini dapat diartikan sebagai "rumah hitam". Rumah ini
dikunjungi oleh orang kaya dan seorang yang dianggap
pemberani dalam masyarakat. banua bolong didiami oleh
para kstria,ukurannya dan bentuknya mirip dengan banua
sura’ tetapi tidak memiliki ukiran dan rumah tersebut diberi
warna hitam

4) Rumah Adat Banua Sura’

Gambar Rumah Adat Banua Sura’

Sumber: Dokumentasi Kelas PWK D 22

Berasal dari kata "sura" berarti "ukir"; "Banua sura"


dapat diartikan sebagai "rumah ukir". Rumah ini berukuran
besar dan tidak seperti banua lain. Penghuni daripada rumah
merupakan pemimpin dalam masyarakat atau seorang
bangsawan. banua sura’ berbeda dengan banua layuk, banua
sura’ memiliki bangunan besar tapi tidak terlalu tinggi yang
didiami oleh para bangsawan, rumah ini juga mempunyai
alang didepan rumah yang menjadi lumbung padi.

5) Rumah Adat Banua Layuk

Gambar Rumah Adat Banua Layuk

Sumber: Google

Berasal dari kata "banua" berarti rumah dan kata


"layuk" berarti tinggi, maka "banua layuk" dapat diartikan
sebagai "rumah tinggi". Rumah ini berukuran sangat besar
dan tinggi, biasanya pemilik rumah ini merupakan
pemimpin dalam masyarakat atau seorang bangsawan.

Terlepas dari semua itu rumah adat mamasa pada masa


sekarang sudah menjadi warisan budaya nenek moyang
terdahulu dan diwariskan kepada keturunannya untuk dijaga
dan dipelihara kearifannya dan masih digunakan dalam
upacara adat.

4. Bahasa
Bahasa Mamasa adalah bahasa yang penuturanya
berada di Provinsi Sulawesi Barat. Bahasa ini dituturkan
oleh masyarakat yang berada di Kelurahan Tawalian,
Bambang (Bambam), Kelurahan Messawa, Dakka,
Tonyaman, Karataun, dan Bonehau,. Bahasa Mamasa terdiri
atas lima dialek, yaitu (1) dialek Bambang (Bambam) yang
dituturkan di Desa Bambang, Kecamatan Bambang,
Kabupaten Mamasa; (2) dialek Messawa yang dituturkan di
Kelurahan Messawa, Kecamatan Messawa, Kabupaten
Mamasa; (3) dialek Dakka yang dituturkan di Desa Dakka,
Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar; (4)
dialek Pattae yang dituturkan di Desa Tonyaman,
Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar; (5)
dialek Kalumpang yang dituturkan di Desa Karataun,
Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju; Desa
Bonehau, Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju.

Masyarakat di Kabupaten Mamasa menggunakan


bahasa mamasa sebagai abahasa sehari-hari atau bahasa ibu,
sehingga tingkat penggunaan bahasa Mamasa lebih
mendominan dibandingkan dengan bahasa Indonesia di
Kabupaten Mamasa. Bahasa Mamasa merupakan bahasa
daerah yang harus terus dilestarikan. Namun, bagaimana
bahasa Mamasa agar terus dapat dilestarikan dan bahasa
Mamasa dapat eksis dimasa yang akan dating, tergantung
dari generasi muda penerus asli bahasa Mamasa. Cara Untuk
melestarikan bahasa Mamasa dengan menggunakan bahasa
tersebut dalam kehidupan sehari-hari atau minimal
memahami bahasa Mamamsa

5. Tarian
Di Kabupaten Mamasa terdapat tiga tarian tradisional
yang sampai saat ini masih terlestarikan diantaranya tari
bulu londong, tari Malluya, dan tari Burake, berikut
penjelasan dari ketiga tari tersebut:

1) Tari Bulu Londong

Gambar Tari Bulu Londong

Sumber: Gambar Google

Tari Bulu Londong adalah tarian tradisional yang


berasal dari daerah Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat. Tarian
ini merupakan tarian yang hanya dibawakan oleh para
penari pria dengan berpakaian dan bersenjata layaknya para
prajurit pada zaman dahulu yang bercerita tentang perang.
Mirip dengan tarian perang lainnya, Tari Bulu Londong ini
seperti mengalami kejenuhan. Karena hampir punah
eksistensinya. Bahkan bisa dibilang tidak pernah
ditampilkan lagi seiring dengan tidak adanya perang seperti
dizaman dahulu.

Agar tidak punah, Tarian adat Sulbar ini lantas


diangkat kembali oleh masyarakat dan juga para budayawan
sebagai apresiasi kepada budaya lokal agar tarian tersebut
tidak punah. Upaya pelestaria pun dilakukan berbagai pihak.
Meskipun tarian ini sudah tidak lagi difungsikan sebagai
tarian perang, Tari Bulu Londong kini lebih difungsikan
sebagai tarian yang sifatnya pertunjukan dalam berbagai
acara seperti penyambutan, perayaan, serta pertunjukan
dari seni dan budaya. Dengan begini, fungsi tari ini lebih
fleksibel dalam pementasannya. Jika terus dikreasikan,
maka akan memberikan dampak yang luar biasa
pada kesenian Indonesia yang sekarang terancam punah.

2) Tari Malluya

Gambar Tari Malluya

Sumber: Gambar Google

Tari Malluya merupakan tarian yang mengungkapkan


sukacita yang sering dilakukan apabila seseorang atau
keluarga merasakan keberhasilan dalam pekerjaan atau
usaha tertentu atau memperoleh berkat berupa harta benda.
Tarian ini juga dilakukan pada acara penyambutan tamu, hal
ini dikarenakan filosofi masyarakat Mamasa menganggap
tamu sebagai berkat.

Tarian Malluya dilakukan oleh kaum wanita dengan


menggunakan pakaian tradisional Mamasa. Tarian ini masih
hidup dan berkembang di Kabupaten Mamasa, bahkan saat
ini telah dikreasikan ulang oleh pelaku-pelaku seni dengan
tidak meninggalkan esensi gerakan asli dari tarian Malluya.
Gerakan-gerakan dalam tarian Malluya sangat rapi dan
kompak. Sebagian gerakan dalam tai ini diadopsi dari
gerakan burung Tarikiki, sejenis burung endemic yang hidup
di Mamasa, gerakan ini menggambarkan burung Tarikiki
yang sedang menari-nari menantang angina diangkasa.
Gerakan yang menggambarkan sukacita karena telah
berhasil menaklukka berbagai tanatangan.

Aksesoris yang digunakan oleh para penari antara lain


palo-palo yakni penutup kepala yang terbuat dari bulu ayam
jantan yang bermaakna keberanian atau ketegaran
menghadapi rintangan. Kelengkapan lain adalah sassing
yakni untaian manik-manik yang dijalin sedemikian rupa
(ditolo’ sassang) sehingga berbentuk motif ukiran yang
bermakna indahnya kehidupan jika kita saling berpegangan
tangan menjalaninya. Disamping itu penari Malluya juga
menggunakan ampire (semacam sarung dengan kombinasi
warna warni), konon ampire merupakan pakaian yang
digunakan oleh nenek torije’ne’ pada saat bertemu dengan
pongkapadang, kedua inilah merupakan leluhur masyarakat
Mamasa.

3) Tari burake

Gambar Tari Burake


Sumber: Gambar Google

Tari burake adalah salah satu jenis tarian unik dan


langka yang masih terus dilestarikan masyarakat di
Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
Tarian ini membutuhkan nyali besar dari para penari atau To
Burake karena mereka harus menari di atas sebilah parang
yang tajam tanpa terluka. Tarian tradisonal ini tidak hanya
dicintai warga Mamasa, terutama keturunan To Burake,
tetapi juga memikat hati para wsiatawan mancanegara.
Tarian ini bahkan sudah beberapa kali mendapat undangan
untuk tampil dalam berbagai momentum acara keheormatan
di luar negeri.

Di antara sekian banyaknya tari-tarian tradisonal yang


berasal dari Kecamatan Balla, tari Burake paling jarang
dipertontonkan di muka umum. Sebab, tarian ini
mempertontonkan gerakan ekstrem yang dilakukan penari
perempuan, yakni menari di atas sebilah parang tajam tanpa
terluka. Selain itu, tari ini hanya dilakukan warga dalam
sebuah acara hajatan atau syukuran di Kecamatan Balla,
Mamasa. Tarian ini biasanya dipertunjukan jika seorang
warga, lelaki atau perempuan yang telah memenuhi atau
nazarnya terkabul. Salah satu nazar yang dimaksud
misalnya, seorang lelaki atau perempuan selesai
membangun sebuah rumah ukir Mamasa, salah satu rumah
kebanggaan dan lambang sosial bagi masyarakat Mamasa,
maka pemilik nazar akan menggelar acara syukuran besar
dan menggelar pertunjukan tari Burake. Warga yang telah
menunaikan hajatannya, atau cita-citanya tercapai biasanya
mereka menggelar acara syukuran, termasuk menggelar
pertunjukan tarian sakral to Burake.

Atraksi penari perempuan di atas sebilah pedang tajam


bermakna mengikis habis segala bentuk keburukan anggota
keluarga sebelum acara syukuran dimulai. Tari ini digelar
agar persembahan syukuran warga diterima Tuhan dan
anggota keluarga diberkati.

6. Pagelaran Seni

Di Kabupaten Mamasa pagelaran seni dilaksanakan


setiap dua kali dalam setahun yaitu pada 17 Agustus dan
ulang tahun Kabupaten Mamasa, dimana pada pagelaran
seni ini pemerintah Kabupaten Mamasa menampilkan
seluruh budaya seperti tarian tradisional Masyarakat
Mamasa dan alat Musik Tradisisonal masyarakat Mamasa.
Pemerintah Kabupaten Mmamasa beranggapan bahwa
dalam upacara yang dilaksanakan apabila budayanya tidak
ditampilkan maka upacara tersebut tidak.

Anda mungkin juga menyukai