Gorontalo
Ibukota Provinsi Gorontalo adalah Kota Gorontalo (sering disebut juga Kota Hulontalo)
yang terkenal pula dengan julukan "Kota Serambi Madinah". Provinsi Gorontalo terletak
pada Semenanjung Gorontalo (Gorontalo Peninsula) di Pulau Sulawesi, tepatnya di
bagian barat dari Provinsi Sulawesi Utara. Luas wilayah provinsi ini 12.435,00 km²
dengan jumlah penduduk sebanyak 1.133.237 jiwa (2016), dengan tingkat kepadatan
penduduk 88 jiwa/km².
Provinsi Gorontalo dihuni oleh ragam Etnis yang berbentuk Pohala'a (Keluarga), di
antaranya Pohala'a Gorontalo (Etnis Hulontalo), Pohala'a Suwawa (Etnis
Suwawa/Tuwawa), Pohala'a Limboto (Etnis Limutu), Pohala'a Bolango (Etnis
Bulango/Bolango) dan Pohala'a Atinggola (Etnis Atinggola) yang seluruhnya
dikategorikan kedalam suku Gorontalo atau Suku Hulontalo. Ditengarai, penyebaran
Diaspora Orang Gorontalo telah mencapai 5 kali lipat dari total penduduknya sekarang
yang tersebar di seluruh dunia.
1. Rumah Adat
G orontalo memiliki empat rumah adat yang menjadi ciri khas provinsi Gorontalo,
yaitu rumah adat Dulohupa yang berada di kota Gorontalo, rumah adat Bandayo
Poboide yang berada di Limboto, rumah adat Ma’lihe atau Potiwaluya dan yang terakhir
rumah adat Gobel yang berada di Bone Bolango.
1. Rumah Adat Dulohupa
R umah adat Dulohupa ini letaknya di Kelurahan Limba, Kecamatan Kota Selatan,
Kota Gorontalo. Rumah Dulohupa juga disebut Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo
oleh penduduk Gorontalo. Rumah adat ini berbentuk rumah panggung yang badannya
terbuat dari papan dan struktur atap bernuansa daerah Gorontalo. Selain itu rumah adat
Dulohupa juga dilengkapi pilar-pilar kayu sebagai hiasan serta lambang dari rumah adat
Gorontalo dan memiliki dua tangga yang berada di bagian kiri dan kanan rumah adat
yang menjadi symbol tangga adat atau disebut tolitihu.
Rumah adat Dulohupa dibangun berupa rumah panggung. Hal ini dilakukan sebagai
penggambaran dari badan manusia yaitu atap menggambarkan kepala, badan rumah
menggambarkan badan, dan pilar penyangga rumah menggambarkan kaki. Selain itu
bentuk rumah panggung juga dipilih untuk menghindari terjadinya banjir yang kala itu
sering terjadi.
kepercayaan. Bagian atap rumah adat Dulohupa terbuat dari jerami terbaik dan
berbentuk seperti pelana yaitu atap segitiga bersusun dua yang menggambarkan
syariat dan adat penduduk Gorontalo. Atap bagian atas menggambarkan kepercayaan
penduduk Gorontalo terhadap Tuhan yang Maha Esa dan agama merupakan
kepentingan utama di atas yang lainnya. Sedangkan atap bagian bawah
menggambarkan kepercayaan penduduk Gorontalo terhadap adat istiadat serta
budaya. Pada bagian puncak atap dahulu terdapat dua batang kayu yang dipasang
bersilang pada puncak atap atau disebut Talapua. Penduduk Gorontalo percaya bahwa
Talapua dapat menangkal roh – roh jahat, namun seiring perkembangan kepercayaan
islami, sekarang Talapua sudah tidak di pasang lagi.
Pada bagian dinding depan terdapat Tange lo bu’ulu yang tergantung di samping pintu
masuk rumah adat Dulohupa. Tange lo bu’ulu ini menggambarkan kesejahteraan
penduduk gorontalo. Sedangkan bagian dalam rumah adat Dulohupa bergaya terbuka
karena tidak banyak terdapat sekat. Selain itu di dalam rumah adat terdapat anjungan
yang dikhususkan sebagai tempat peristirahatan raja dan keluarga kerajaan.
Rumah adat Dulohupa memiliki banyak pilar-pilar kayu. Selain sebagai penyokong
karena bentuknya berupa rumah panggung, pilar-pilar tersebut juga memiliki makna
tersendiri. Pada rumah adat Dulohupa terdapat beberapa jenis pilar yaitu, pilar utama
atau wolihi berjumlah 2 buah, pilar depan berjumlah 6 buah, dan pilar dasar atau potu
berjumlah 32 buah.
Pilar utama atau wolihi menempel di atas tanah langsung ke rangka atap. Pilar ini
merupakan simbol ikrar persatuan dan kesatuan yang kekal abadi antara dua
bersaudara 14 Gorontalo-Limboto (janji lou dulowo mohutato-Hulontalo-Limutu) pada
tahun 1664. Selain itu angka 2 menggambarkan delito (pola) adat dan syariat sebagai
prinsip hidup penduduk Gorontalo dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan
sehari-hari.
S eperti pilar utama, pilar depan juga menempel di atas tanah langsung ke rangka
atap. Pilar ini menggambarkan 6 sifat utama atau ciri penduduk lou dulowo limo
lopahalaa yaitu sifat tinepo atau tenggang rasa, sifat tombulao atau hormat, sifat
tombulu atau bakti kepada penguasa, sifat wuudu atau sesuai kewajaran, sifat adati
atau patuh kepada peraturan, sifat butoo atau taat pada keputusan hakim. Sedangkan
jumlah pilar dasar atau potu menggambarkan 32 penjuru mata angin. Pada masanya
pilar ini dikhususkan untuk golongan raja dan bangsawan. Bentuk pilar pada bagian
depan/serambi berbentuk persegi berjumlah 4, 6 atau 8. Hal ini menggambarkan
banyaknya budak yang dimiliki oleh raja. Namun seiring perjalanan waktu jumlah pilar
ini tetap digunakan walaupun bukan pada rumah bangsawan dan tidak lagi
menggambarkan makna tertentu.
Selain pilar, jumlah anak tangga pada rumah adat Dulohupa juga memiliki makna
tersendiri. Jumlah anak tangga terdiri dari 5 – 7 anak tangga. Angka 5 menggambarkan
rukun islam dan 5 filosofi hidup penduduk Gorontalo, yaitu Bangusa talalo atau menjaga
keturunan, Lipu poduluwalo atau mengabadikan diri untuk membela negeri, dan
Batanga pomaya, Upango potombulu, Nyawa podungalo yang berarti mempertaruhkan
nyawa untuk mewakafkan dan mengorbankan harta. Sedangkan angka 7
menggambarkan 7 tingkatan nafsu pada manusia yaitu amarah, lauwamah, mulhimah,
muthmainnah, rathiah, mardhiah, dan kamilan.
R umah adat Bandayo Poboide berada di depan rumah dinas Bupati Gorontalo.
Rumah adat Poboide berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu berkualitas
tinggi hingga mampu bertahan hingga saat ini. Desainnya tidak begitu berbeda dengan
rumah adat Dulohupa, perbedaannya terletak pada bagian dalam rumah, dimana rumah
adat Bandayo Poboide memiliki banyak sekat.
Kata Bandayo memiliki arti gedung atau bangunan sedangkan kata Poboide atau Po
Boide memiliki arti tempat untuk bermusyawarah. Sehingga sama seperti fungsi dari
rumah adat Doluhapa, rumah adat Bandayo Poboide juga digunakan sebagai tempat
untuk bermusyawarah, hanya letaknya yang berbeda. Dahulu rumah adat Bandayo
Poboide juga digunakan sebagai istana raja sebagai pusat pemerintahan dan tempat
berkumpulnya para tetua adat dalam membicarakan prosesi adat dan juga digunakan
sebagai tempat pelaksanaan pagelaran budaya khas Gorontalo. Namun sekarang ini
rumah adat Bandayo Poboide menjadi tempat melestarian dan mengembangkan seni
dan budaya daerah Gorontalo.
R umah Adat Ma’lihe atau Rumah Adat Potiwoluya merupakan rumah adat yang
Pembangunan tempat tinggal penduduk Gorontalo ini juga dibangun melalui prinsip
hidup penduduk Gorontalo. Pengukuran ketinggian, panjang dan lebar rumah dilakukan
dengan aturan tertentu yaitu, aturan 1 depa dikurangi 1 jengkal hasil pengurangan
dibagi 8. Angka 8 digunakan karena menggambarkan keadaan yang selalu terjadi pada
diri manusia, yaitu rahmat, celaka, untung, rugi, kelahiran, kematian, umur dan hangus.
Pembagian kamar tidur pun memiliki aturan tertentu dimana kamar anak laki-laki
dibangun di bagian depan dan kamar anak perempuan di bagian belakang. Selain itu
terdapat pula aturan penerimaan tamu ke dalam ruang tamu. Tamu pria hanya boleh
diterima di serambi atau teras sedangkan tamu wanita harus masuk ke dalam ruang
tamu. Hal ini sesuai dengan syariat islam yang dipegang oleh para penduduk Gorontalo
untuk menghindarkan bertemunya pria dan wanita yang bukan mahramnya.
Penduduk Gorontalo memiliki kepercayaan mengenai posisi kamar berjejer kebelakang
atau posisi bersilang dengan posisi kamar tidur utama berada pada sisi kanan pintu
masuk rumah, yaitu bila pemilik rumah pergi dari rumah, ia akan tetap ingat untuk
pulang. Selain itu arah kamar dibuat sesuai arah aliran sungai, hal ini dipercaya bisa
mendapatkan rejeki yang terus mengalir seperti derasnya aliran air sungai.
Posisi dapur dan bangunan utama dipisahkan oleh sebuah jembatan. Pemisahan ini
dilakukan karena dapur merupakan rahasia pemilik rumah, sehingga setiap tamu yang
berkunjung tidak boleh melewati jembatan tersebut. Selain itu posisi dapur tidak boleh
mengarah ke arah kiblat, karena penduduk jaman dahulu percaya rumah akan menjadi
mudah terbakar.
R umah adat Gobel adalah salah satu rumah adat yang berlokasi di Kecamatan
Tapa Kabupaten Bone Bolango. Akan tetapi tidak banyak sumber yang membahas
mengenai rumah adat ini. Dahulu rumah adat Gobel merupakan rumah keluarga
kerajaan Raja Gobel namun saat ini rumah adat Gobel sering digunakan untuk acara –
acara resmi pemerintah setempat, seperti foto berikut ini yang memperlihatkan bagian
dalam rumah adat Gobel saat digunakan untuk acara Musyawarah Besar Rakyat
Bolango II.
1. Baya Lo Boute adalah ikat kepala khusus untuk rambut mempelai wanita. Ikat
kepala tersebut digambarkan sebagai simbol bahwa mempelai wanita sebentar lagi
akan diikat dengan hak dan kewajibannya sebagai seorang istri.
2. Tuhi-tuhi adalah gafah berjumlah 7 yang menjadi simbol adanya 7 kerajaan
besar yang saling bersahabat dalam suku Gorontalo. Ketujuh kerajaan tersebut antara
Gorontalo dan Limboto, Hulontalo,Tuwawa, Bulonga, Limutu, dan Atingola.
3. Lai-lai adalah bulu burung atau unggas yang berwarna putih. Bulu ini diletakan
tepat di atas ubun-ubun sebagai perlambang kesucian, budi luhur dan keberanian.
4. Buohu Wulu Wawu Dehu adalah kalung keemasan yang dilingkarkan di leher.
Untaian kalung melambangkan ikatan kekeluargaan yang terjalin antara keluarga
mempelai pria dan wanita. Kecubu atau sering juga disebut lotidu adalah kain dengan
hiasan pernik tertentu yang dilekatkan di dada mempelai wanita.
5. Kecubu menjadi perlambang bahwa mempelai wanita harus kuat dalam
menghadapi rintangan berumah tangga.
6. Etango adalah ikat pinggang dengan motif yang sama seperti kecubu. Ikat
pinggang ini menjadi lambang bahwa sebagai istri, mempelai wanita harus memiliki
sikap kesederhanaan, meninggalkan makanan haram, dan hanya memasak makanan-
makanan yang halal untuk keluarganya kelak.
7. Pateda adalah gelang keemasan yang berukuran cukup lebar. Gelang ini
memiliki makna bahwa sebagai istri, wanita harus dapat mengekang dirinya agar tidak
melakukan tindakan-tindakan tercela baik sesuai hukum agama, hukum negara,
maupun hukum adat.
8. Luobu adalah hiasan kuku keemasan yang dikenakan hanya pada jari kelingking
dan jari manis dari kedua belah tangan kiri dan kanan. Luobu ini menggambarkan
wanita harus memiliki ketelitian dalam mengerjakan segala sesuatu.
1. Tudung makuta adalah hiasan tutup kepala yang berbentuk unik menyerupai
bulu unggas, menjulang tinggi ke atas kemudian terkulai ke belakang. Tudung yang
juga disebut dengan nama laapia-bantali-sibii ini memiliki nilai filosofi bahwa laki-laki
atau sebagai seorang suami, mempelai pria harus memiliki kedudukan yang tinggi
selaku pemimpin tapi tetap harus bersikap lemah lembut seperti halnya bulu unggas.
2. Bako adalah kalung yang sama seperti yang dikenakan mempelai wanita. Kalung
inipun memiliki makna filosofi terhadap ikatan kekeluargaan antara keluarga kedua
keluarga mempelai.
3. Pasimeni adalah hiasan baju yang menjadi simbol keluarga harmonis dan damai.
Selain pakaian Biliu dan Mukuta, Gorontalo juga memiliki pakaian adat lainnya untuk
keperluan upacara adat tertentu. Pakaian adat Gorontalo tersebut dari bentuknya bisa
dibilang hampir mirip dengan pakaian pengantin tapi tanpa aksesoris khusus. Adapun
yang membedakan adalah dari warnanya. Pakaian tersebut ada yang berwarna merah,
kuning emas, ungu, dan hijau. Masing-masing warna memiliki nilai filosofinya.
Penamaan tari Dana-dana ini berasal dari bahasa daerah yaitu daya-dayango yang
berarti menggerakkan seluruh anggota tubuh sambil berjalan. Tari dana-dana
merupakan tari pergaulan remaja gorontalo. Tarian ini dilakukan oleh 2 sampai 4 orang
laki-laki. Tarian ini dimainkan dengan gerakan-gerakan yang dinamis dan lincah. Dalam
tarian ini seluruh anggota badan harus bergerak sesuai dengan irama musik. Tarian ini
diiringi oleh alat musik gambus dan rebana serta lagu berisi pantun yang bertema
percintaan atau nasehat-nasehat yang bertemakan kehidupan remaja. Tarian dana-
dana memang menggambarkan sosok remaja yang energik dengan gairah hidup yang
besar, kehidupan dunia remaja dan keakraban pergaulan remaja.
Tarian dana-dana dari Gorontalo ini mulai dikenal seiring dengan masuknya pengaruh
agama Islam ke Gorontalo. Pada tahun 1525 M, Tari Dana-Dana turut serta
menyebarkan dakwah Islam di Gorontalo. Tarian ini dipentaskan pada saat pesta
pernikahan Sultan Amay dan Putri Owotango. Tarian ini sebenarnya dibawakan secara
berpasang-pasangan antara remaja laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, ketatnya
ajaran Islam pada saat itu tidak mengijinkan laki-laki bisa dengan mudah menyentuh
perempuan yang bukan muhrimnya sehingga tari dana-dana hanya dibawakan oleh
kaum laki-laki saja.
Tari Dana-Dana terbagi menjadi dua fungsi yaitu tari penyambutan dan tari perayaaan.
Tari penyambutan biasa ditampilkan pada saat penyambutan tamu sedangkan tari
perayaan sendiri ditampilkan pada saat perayaan-perayaan hari besar atau perayaan
adat. Tari dana-dana juga memiliki daya pikat tersendiri di bidang pariwisata. Tarian ini
juga seringkali dipentaskan dalam rangkaian acara promosi pariwisata provinsi
Gorontalo.
Tarian Dana-Dana ini terus berkembang seiring dengan perkembangan sosial yang
ada. Kehidupan remaja masa kini sudah mengalami perubahan yang siginfikan. Oleh
karena itu, tarian dana-dana yang notabene adalah tarian untuk para remaja juga terus
mengalami modifikasi. Hal ini dimaksudkan agar tarian ini masih dapat diterima oleh
remaja di masa kini. Saat ini tarian dana-dana telah mengalami beberapa modifikasi
seperti misalnya dikolaborasikan dengan tari cha-cha. Tari dana-dana klasik adalah
tarian yang masih mempertahankan keaslian gerakan, irama musik dan aspek lainnya
sedangkan tari dana-dana modern adalah tarian yang sudah mengalami modifikasi atau
pembaruan baik dari gerakan, musik dan aspek lainnya. Inilah yang membuat tari dana-
dana terbagi ke dalam dua jenis yaitu tari dana-dana klasik dan tari dana-dana modern.
Akan tetapi, modifikasi yang dilakukan pada tarian ini tetap tidak bertentangan dengan
nilai moral dan nilai filosofis dari tarian ini.
2. Tari Polopalo
T ari Polopalo merupakan tari pergaulan yang berasal dari Provinsi Gorontalo.
Polopalo sendiri merupakan sebuah alat musik tradisional yang berasal dari Gorontalo.
Alat musik tradisional Polopalo merupakan alat musik jenis idiofon atau golongan alat
musik yang sumber bunyinya diproleh dari badannya sendiri (M. Soeharto 1992 : 54),
Dalam artian bahwa ketika Polopalo tersebut di pukul atau sebaliknya memperoleh
pukulan, bunyinya akan dihasilkan dari proses bergetarnya seluruh tubuh Polopalo
tersebut.
Adapun tarian Polopalu memang menggunakan properti yang berupa alat musik
polopalo tersebut. Tari Tradisional dari Gorontalo ini, pada akhirnya mengalami banyak
perkembangan, sehingga pada saat ini Tari Polopalo terbagi menjadi dua, yaitu tari
polopalo tradisional dan tari polo palo modern. Kedua tarian polo palo tradisional dan
modern memiliki beberapa perbedaan, antara lain jumlah penarinya. Tari polo -" palo
tradisional biasanya dimainkan oleh penari tunggal yang diringi oleh musik yang
dimainkan sendiri atau solo. Selain itu tari polo - palo modern lebih sering ditampilkan
secara berkelompok dengan iringan musik yang sudah diaransemen.
Pada tari polo - palo tradisional pemukul tidak hanya dimainkan dengan cara
memukulkannya pada alat musik tetapi juga pada bagian anggota penari khususnya
lutut dengan irama yang beraturan. Sedangkan pada tari polo - palo modern, pemukul
hanya dipukulkan pada alat musiknya, tidak pada bagian tubuh.
3. Tari Saronde
T ari Saronde adalah tarian tradisional dari Provinsi Gorontalo. Tari Saronde ini
adalah merupakan salah satu tarian tradisional masyarakat Gorontalo yang diangkat
dari tradisi masyarakat Gorontalo saat malam pertunangan dalam rangkaian upacara
perkawinan adat. Pada awalnya, tari saronde dilakukan oleh pengantin, demikian juga
dengan orang yang diminta untuk menari ketika dikalungkan selendang oleh pengantin
dan para penari dengan iringan musik rebana dan nyanyian vokal, diawali dengan
tempo lambat yang semakin lama semakin cepat
Dalam perkembangannya tari Saronde ditampilkan oleh para penari pria dan penari
wanita yang menari dengan gerakan yang khas dan menggunakan seledang sebagai
atribut menarinya. Akan tetapi selain menjadi bagian dari acara pernikahan adat, Tari
Saronde juga sering ditampilkan dalam acara seperti penyambutan, pertunjukan seni,
dan festival budaya.
Untuk gerakan dalam Tari Saronde biasanya lebih didominasi oleh gerakan
mengayunkan kaki dan tangan ke depan secara bergantian. Penari juga sering
memainkan selendangnya dengan berputar-putar. Selain dilakukan secara
berpasangan, formasi penari pun sering berubah-ubah sehingga menggambarkan
keceriaan dan kebahagian dari para penari.
Tari Saronde biasanya diiringi oleh iringan musik rebana dan nyanyian vokal. Lagu
yang dinyanyikan untuk mengiringi tarian ini biasanya merupakan lagu khusus Tari
Saronde. sedangkan tempo yang dimainkan dalam mengiringi tarian ini biasanya
disesuaikan dengan lagu dan gerakan para penari.
4. Senjata Tradisional
W amilo - Senjata tradisional ini berbentuk seperti golok. Namun, bagian ujung
hulunya sedikit melengkung ke bawah. Senjata tradisional lainnya adalah badik, Bitu'o
(sejenis Keris), Sabele (sejenis Parang atau Lilang) dan Travalla.
5. Bahasa Daerah:
O rang Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek,
dialek Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Saat ini yang paling dominan
adalah dialek Gorontalo.Penarikan garis keturunan yang berlaku di masyarakat
Gorontalo adalah bilateral, garis ayah dan ibu. Seorang anak tidak boleh bergurau
dengan ayahnya melainkan harus berlaku taat dan sopan. Sifat hubungan tersebut
berlaku juga terhadap saudara laki-laki ayah dan ibu.
Menurut masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya
‘pengembara yang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila. Dia
menikah dengan pendatang yang singgah dengan perahu ke tempat itu. Mereka inilah
yang kemudian menurunkan orang Gorontalo. Sebutan Hulontalangi kemudian berubah
menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.
6. Ragam Tradisi
Lima budaya dari suku Gorontalo dikukuhkan sebagai warisan budaya tak benda oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2017.
Kelima budaya ini adalah Tahuli, Binte Biluhuta, Lohidu, Langga, dan
Dayango/Wumbungo.
1. Tahuli dan Lohidu merupakan ragam tradisi lisan masyarakat Gorontalo yang
masih terjaga hingga kini.
2. Binte Biluhuta merupakan makanan khas Gorontalo berupa sup jagung muda
dicampur dengan aneka rupa rempah-rempah.
3. Langga masuk dalam penetapan warisan budaya tak benda karena seni bela diri
ini memiliki keunikan tersendiri.
4. Bela diri ini mengandalkan teknik bertahan sehingga sifatnya defensif. Namun,
saat mendapat serangan, kekuatan ofensifnya dapat mematikan bagi penyerangnya.
5. Adapun Dayango merupakan agama masyarakat Gorontalo pra-Islam. Hingga
kini, ritual tersebut masih dijalani oleh sebagian masyarakat di pinggiran.
kelima budaya tak benda dari Gorontalo ini melengkapi budaya lain yang sudah lebih
dulu ditetapkan. Budaya tersebut adalah Tari Molapi Saronde, Tanggomo, Polopalo,
Karawo, dan Tumbilotohe.
7. Upacara Adat
P aduan nuansa adat dan agama dalam kehidupan masyarakat Gorontal,
Selain itu mereka masih terpengaruh oleh kepercayaan leluhurnya yang berasal dari
nenek moyang. Hal ini tampak terlihat dari upacara yang dilakukan diantaranya :
Kebudayaan dan
Anda baru saja membaca artikel dengan judul