Anda di halaman 1dari 4

Agama

Orang Gorontalo hampir dapat dikatakan semuanya beragama Islam (99 %). Islam masuk ke daerah ini
sekitar abad ke-16. Ada kemungkinan Islam masuk ke Gorontalo sekitar tahun 1400 Masehi (abad XV),
jauh sebelum wali songo di Pulau Jawa, yaitu ditandai dengan adanya makam seorang wali yang
bernama Ju Panggola di Kelurahan Dembe I, Kota Barat, tepatnya di wilayah perbatasan Kota
Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo.
Pada waktu dulu di wilayah Gorontalo terdapat pemerintahan kerajaan yang bernapaskan Islam. Raja
Kerajaan Gorontalo yang memeluk agama Islam adalah Sultan Amai (15501585), yang kemudiannya
namanya diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama Islam di Provinsi Gorontalo, STAIN Sultan
Amai Gorontalo, yang kelak diharapkan menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) di Gorontalo.
Dengan adanya kerajaan-kerajaan pada masa lalu muncul kelas-kelas dalam masyarakat Gorontalo;
kelas raja dan keturunannya (wali-wali), lapisan rakyat kebanyakan (tuangolipu), dan lapisan budak
(wato). Perbedaan kelas ini semakin hilang seiring dengan semakin besarnya pengaruh ajaran Islam
yang tidak mengenal kelas sosial. Namun, pandangan tinggi rendah dari satu pihak terhadap pihak lain
masih terasakan sampai saat ini. Dasar pelapisan sosial seperti ini semakin bergeser oleh dasar lain
yang baru, yaitu jabatan, gelar, pendidikan, dan kekayaan ekonomi.
Masjid Agung Baiturrahim yang terletak di pusat Kota Gorontalo dewasa ini merupakan masjid tertua
yang dibangun di daerah ini. Masjid tersebut didirikan bersamaan dengan pembangunan Kota Gorontalo
yang baru dipindahkan dari Dungingi ke Kota Gorontalo, tepatnya Kamis, 6 Syakban 1140 Hijriah atau 18
Maret 1728 M oleh Paduka Raja Botutihe. Belaiu adalah Kepala Pemerintahan Batato Lo Hulondalo
atau Kerajaan Gorontalo pada waktu itu. Masjid Baiturrahim Kota Gorontalo adalah masjid yang tua di
daerah Gorontalo. Masjid ini didirikan bertalian erat dengan perkembangan Pemerintahan adat di daerah
Gorontalo.
Masjid Agung Baiturrahim telah mengalami beberapa kali revoasi. Tahun 1999 dalam masa jabatan
Walikotamadya Tingkat II Gorontalo Drs. Hi. Medi Botutihe, masjid direnavasi total dengan menghabiskan
biaya sekitar tiga milar rupiah. Kemudian penggunaan masjid ini diresmikan oleh Presiden Baharuddin
Jusuf Habibie di Istana Merdeka, Rabu, 13 Oktober 1999 (3 Rajab 1420 H).
Sedangkan Masjid Agung Baiturrahman terletak di pusat Kota Limboto, ibu kota Kabupaten Gorontalo.
Masjid terletak di samping Menara Keagungan Limboto, dan merupakan masjid terbesar di Kabupaten
Gorontalo.
Seni & Budaya Daerah
Gorontalo sebagai salah satu suku yang ada di Pulau Sulawesi memiliki aneka ragam kesenian daerah,
baik tari, lagu, alat musik tradisional, adat-istiadat, upacara keagamaan, rumah adat, dan pakaian adat.
Tarian yang cukup terkenal di daerah ini antara lain, Tari Bunga, Tari Polopalo, Tari Danadana, Zamrah,
dan Tari Langga. Sedangkan lagu-lagu daerah Gorontalo yang cukup dikenal oleh masyarakat Gorontalo
adalah Hulandalo Lipuu (Gorontalo Tempat Kelahiranku), Ambikoko, Mayiledungga (Telah Tiba),
Mokarawo (Membuat Kerawang), Tobulalo Lo Limuto (Di Danau Limboto), dan Binde Biluhuta (Sup
Jagung).
Penyanyi-penyanyi asal daerah Gorontalo yang terkenal, antara lain, Rama Aipama, Silvia Lamusu,
Lucky Datau, Hasbullah Ishak, Shanty T., dan Gustam Jusuf. Rama Aipama lahir di Gorontalo pada
tanggal 17 September 1956, yang kemudian mencapai sukses besar dalam dunia tarik suara di Jakarta.
Alat musik tradisional yang dikenal di daerah Gorontalo adalah Polopalo, Bambu, dan Gambus (berasal
dari Arab).
Rumah Adat
Gorontalo memiliki rumah adatnya sendiri, yang disebut Bandayo Pomboide dan Dulohupa. Rumah
adat ini terletak di tepat di depan Kantor Bupati Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman, Limboto. Dulohupa
terletak di di Kelurahan Limba U-2, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo. Akan tetapi, rumah adat
Dulohupa yang satu ini kini tinggal kenangan karena sudah diratakan dengan tanah. Rumah adat ini
digunakan sebagai tempat bermusyawarat kerabat kerajaan pada masa lampau.
Pada masa pemerintahan para raja, rumah adat ini digunakan sebagai ruang pengadilan kerajaan, untuk
memvonis para pengkhianat negara melalui sidang tiga alur pejabat pemerintahan, yaitu Buwatulo Bala
(Alur Pertahanan / Keamanan), Buwatulo Syara (Alur Hukum Agama Islam), dan Buwatulo Adati (Alur
Hukum Adat).
Bahasa Daerah
Orang Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek, dialek Gorontalo, dialek
Bolango, dan dialek Suwawa. Saat ini yang paling dominan adalah dialek Gorontalo.
Penarikan garis keturunan yang berlaku di masyarakat Gorontalo adalah bilateral, garis ayah dan ibu.
Seorang anak tidak boleh bergurau dengan ayahnya melainkan harus berlaku taat dan sopan. Sifat
hubungan tersebut berlaku juga terhadap saudara laki-laki ayah dan ibu.
Menurut masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya pengembara
yang turun dari langit. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila. Kemudian dia menikah dengan salah
seorang perempuan pendatang yang bernama Tilopudelo yang singgah dengan perahu ke tempat itu.
Perahu tersebut berpenumpang delapan orang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan orang
Gorontalo, tepatnya yang menjadi cikal bakal masyarakat keturunan Gorontalo saat ini. Sejarawan
Gorontalo pun cenderung sepakat tentang pendapat ini karena hingga saat ini ada kata bahasa
Gorontalo, yakni 'Hulondalo' yang bermakna 'masyarakat, bahasa, atau wilayah Gorontalo'. Sebutan
Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.
Pakaian Adat
Gorontalo memiliki pakaian khas daerah sendiri baik untuk upacara perkawinan, khitanan, baiat
(pembeatan wanita), penyambutan tamu, maupun yang lainnya. Untuk upacara perkawinan, pakaian
daerah khas Gorontalo disebut Biliu atau Paluawala. Pakaian adat ini umumnya dikenal terdiri atas tiga
warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan hijau.
Nuansa Warna bagi Masyarakat Gorontalo
Dalam adat-istiadat Gorontalo, setiap warna memiliki makna atau lambang tertentu. Karena itu, dalam
upacara pernikahan masyarakat Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama, yaitu merah, hijau,
kuning emas, dan ungu. Warna merah dalam masyarakat adat Gorontalo bermakna keberanian dan
tanggung jawab; hijau bermakna kesuburan, kesejahteraan, kedamaian, dan kerukunan; kuning emas
bermakna kemuliaan, kesetian, kebesaran, dan kejujuran; sedangkan warna ungu bermakna
keanggunanan dan kewibawaan.
Pada umumnya masyarakat adat Gorontalo enggan mengenakan pakaian warna coklat karena coklat
melambangkan tanah. Karena itu, bila mereka ingin mengenakan pakaian warna gelap, maka mereka
akan memilih warna hitam yang bermakna keteguhan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Warna putih bermakna kesucian atau kedukaan.
Karena itu, mayarakat Gorontalo lebih suka mengenakan warna putih bila pergi ke tempat perkabungan
atau kedukaan atau ke tempat ibadah (masjid).
Biru muda sering dikenakan pada saat peringatan 40 hari duka, sedangkan biru tua dikenakan pada
peringatan 100 hari duka.
Dengan dasar pandangan terhadap warna tersebut, maka pada hiasan untuk upacara pernikahan
masyarakat Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama di atas (merah, hijau, kuning emas, dan
ungu). Sebagaimana disebutkan di atas, masyarakat Gorontalo memiliki pakaian khas tersendiri untuk
berbagai upacara adat baik perkawinan, pengkhitanan, pembaitan, dan penyambutan tamu. Pakaian adat
pengantin disebut Paluawala atau Biliu. Pada waktu akad nikah pengantin mengenakan pakaian adapt
yang disebut Wolimomo dan Payungga. Saat itu pengantin pria berada di kamar adat yang disebut
Huwali Lo Humbiya. Paluwala artinya polunete unggalaa to delemo pohlaa, yakni suatu ikatan keluarga
pada keluarga besar: Duluwo lou limo lo pohalaa Gorontalo, Limboto, Suwawa, Bolango, dan Atinggola.
Sedangkan Biliu berasal dari kata bilowato artinya yang diangkat, yakni sang gadis diangkat dengan
memperlihatkan ayuwa (sikap) dan popoli (tingkah laku), termasuk sifat dan pembawaanya di
lingkungan keluarga. Pakaian ini dipakai pada waktu pengantin duduk bersanding di pelaminan yang
disebuat puade atau tempat pelaminan. Kemudian pengantin mengenakan pakaian Madipungu dan
Payunga Tilambi'o, yaitu pakaian pengantin wanita tanpa Bayalo BoUte atau hiasan kepala, cukup
pakai konde dengan hiasan sunthi dan pria memakai Payunga Tilambio.
Yang terakhir sang pengantin mengenakan Pasangan dan Payunga Tilambio, yaitu pakaian pengantin
wanita dengan tiga perempat tangannya dipakai acara resepsi, di mana pengantin wanita bebas bersuka
ria dengan sahabatsahabat sebaya sebagai penutup acara masa remajanya.
Dalam adat perkawinan Gorontalo sebelum hari H dilaksanakan acara Dutu, di mana kerabat
pengantin pria akan mengantarkan harta dengan membawakan buahbuahan, seperti buah jeruk,
nangka, nenas, dan tebu. Setiap buah yang dibawa juga punya makna tersendiri, misalnya buah jeruk
bermakna bahwa pengantin harus merendahkan diri, duri jeruk bermakna bahwa pengantin harus
menjaga diri, dan rasanya yang manis bermakna bahwa pengantin harus menjaga tata kerama atau
bersifat manis supaya disukai orang. Nenas, durinya juga bermakna bahwa pengantin harus menjaga
diri, dan begitu pula rasanya yang manis. Nangka dalam bahasa Gorontalo Langge lo olooto, yang
berbau harum dan berwarna kuning emas mempunyai arti bahwa pengantin tersebut harus memiliki
sifat penyayang dan penebar keharuman. Tebu warna kuning bermakna bahwa pengantin harus menjadi
orang yang disukai dan teguh dalam pendirian.
Gorontalo sebagai Pusat
Kebudayaan Islam di Indonesia Timur
GorontaloGPSetelah menjadi satu provinsi, Gorontalo benar-benar mendapat perhatian serius dan
menjadi daya tarik tersendiri bagi Pemerintah Pusat. Melejitnya nama Gorontalo yang dipimpin Ir. Fadel
Muhammad ini merupakan angin segar baru sehingga Gorontalo tidak dapat diremehkan oleh daerah
lainnya. Sekalipun baru seumur jagung, lahir 5 Desember 2000 bertepatan tanggal 8 Ramadan 1421 H,
Gorontalo telah membuat banyak debut di kancah Nasional, bahkan internasional. Sebut saja pada hari
ulangnya yang pertama, 16 Februari 2002 lalu, Provinsi Gorontalo mendapat hadiah ulang tahun berupa
pembangunan megaproyek bidang perikanan dan kelautan dengan nilai miliaran rupiah dari Pemerintah
Pusat. Setelah itu, pembangunan bandara kargo untuk mendukung eksor langsung produk asal
Gorontalo ke mancanegara, khususnya ke Filipina, Taiwan, Jepang, dan kemungkinan ke Amerika
Serikat. Yang tidak kalah menarik adalah dipilihnya Kota Gorontalo sebagai kota yang paling transparan
dalam pembangunannya, yang diakui secara nasional dan internasional, khususnya UNDP (the United
Nations Development Program). Yang lain lagi, adalah dipilihnya Provinsi Gorontalo sebagai model
pembangunan dengan sistem 'management enterpreuner government' di Indonesia melalui pembuatan
Neraca Laporan Keuangan Gorontalo, di mana Pemerintah Pusat telah mengucurkan dana sebesar Rp 3
miliar sebagai wujud dukungan penuh terhadap pelaksanaan program itu.
Kini, giliran Menteri Agama, Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawar telah menempatkan Provinsi
Gorontalo sebagai pusat pengembangan Kebudayaan Islam di Kawasan Timur Indonesia. Mengapa
Menteri Agama kita tertarik dan memilih Gorontalo? Itu karena masyarakat Gorontalo dipandang masih
tetap memegang teguh warisan para leluhur: "Adat bersendikan Syarak dan Syarak bersendikan
Kitabullah (Al-Quran)", dan sejak dahulu Gorontalo dikenal sebagai Kota 'Serambi Madinah'. Kedua
alasan itulah yang menjadi alasan utama mengapa Gorontalo dijadikan sebagai pusat pengembangan
kebudayaan Islam. Karena itu, benarlah ungkapan Bung Karno sewaktu berkunjung ke Gorontalo tahun
1950-an bahwa Gorontalo adalah sebagai Kota Perjuangan dan Kota Pelajar.
Namun, harus kita sadari bahwa kegembiraan warga Gorontalo tidak boleh hanya sebatas wacana,
melainkan harus dibuktikan bahwa Gorontalo memang sanggup memikul dan mewujudkan kepercayaan
Pemerintah Pusat tersebut. Sebagai warga dan masyarakat Gorontalo, kita harus berpikir secara
profesional, logis, dan berwawasan nasional. Bukan waktunya lagi bagi kita untuk berpikir secara parsial,
terbatas pada kawasan seluas kabupaten atau kota.
Beban ini memang tidak ringan, tetapi kita harus bisa mewujudkannya dengan berbagai upaya, doa, dan
ikhtiar. Alangkah memalukan dan akan terasa sebagai nista bilamana amanah dan kepercayaan
Pemerintah Pusat yang amat berharga dan mulia ini tidak dapat kita wujudkan.
Berbagai kasus dan tindakan yang melanggar adat dan agama, harus segera kita libas hingga ke akar-
akarnya. Adalah suatu naif apabila kita selalu menyanjung-nyajung warisan para leluhur kita di mana
"Adat berdasarkan syarak (agama Islam), dan syarak berdasarkan Kitabullah (Al-Quran)", lalu kita
tidak bisa mencerminkan perlaku seperti itu.
Sebagai warga Gorontalo kita harus yakin bahwa warga Gorontalo yang dikenal gigih, teguh, dan sangat
patriot akan mampu untuk memikul amanah yang suci ini. Semoga masyarakat Gorontalo yang Islami
akan senantiasa tecermin dalam perilaku dan tata pergaulan hidup kita sehari-hari. Semoga Allah swt.
selalu memberikan taufik, hidayat, dan petunjuk-Nya kepada kita. Amin, ya Rabbal alamin.
http://www.gorontalo-info.20megsfree.com/asb.htmlvvvvvvvvvv

Anda mungkin juga menyukai