Anda di halaman 1dari 14

PAKAIAN ADAT GORONTALO

Pakaian Adat Gorontalo Mukuta dan Biliu adalah sepasang pakaian adat
Gorontalo yang umumnya hanya dikenakan pada saat upacara perkawinan.
Mukuta dikenakan oleh mempelai pria dan Biliu dikenakan oleh mempelai
wanita.
RUMAH ADAT GORONTALO
Rumah Dulohupa juga disebut Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo oleh
penduduk Gorontalo. Rumah adat ini berbentuk rumah panggung yang badannya
terbuat dari papan dan struktur atap bernuansa daerah Gorontalo. Selain itu
rumah adat Dulohupa juga dilengkapi pilar-pilar kayu sebagai hiasan serta
lambang dari rumah adat Gorontalo dan memiliki dua tangga yang berada di
bagian kiri dan kanan rumah adat yang menjadi symbol tangga adat atau disebut
tolitihu.
MAKANAN TRADISIONAL GORONTALO

Binte Biluhuta

Sudah sejak lama daerah Gorontalo dikenal sebagai salah satu daerah penghasil
jagung terbesar di Indonesia. Jadi tidak heran, kalau di propinsi ini ada beberapa
makanan khas Gorontalo yang berbahan dasar Jagung.

Salah satu kuliner khas Gorontalo yang berbahan dasar Jagung paling populer
yaitu Binte Biluhuta, dimana kata ” Binte “ artinya Jagung, sedangkan ”
Biluhuta “ artinya disiram, jadi Binte Biluhuta adalah Jagung yang disiram.
TARIAN TRADISIONAL DARI GORONTALO

Tari Saronde adalah tarian yang diangkat dari tradisi masyarakat Gorontalo pada
saat malam pertunangan dalam rangkaian upacara perkawinan adat mereka.
Tarian ini umumnya ditampilkan oleh para penari pria dan para penari wanita
yang menari dengan gerakan yang khas dengan menggunakan seledang sebagai
atribut dalam menarinya.
LAGU DAERAH GORONTALO
Lagu-lagu daerah Gorontalo yang cukup dikenal oleh masyarakat Gorontalo
adalah Hulandalo Lipuu (Gorontalo Tempat Kelahiranku), Ambikoko (nama
orang), Mayiledungga (Telah Tiba), Mokarawo (Membuat Kerawang), Tobulalo
Lo Limuto (Di Danau Limboto), dan Binde Biluhuta (Sup Jagung).Dan berikut
beberapa lirik dari setiap lagu yang telah disebutkan tadi :

Lagu Hulandalo Lipuu


Hulondhalo lipu'u pilo tu tuwa olau
Lipu'u ilo ponu'u, di la tao lipatau
Lipu'u Hulondhalo teto wa'u bilandhalo
Wa'u ma lo malolo mooto la hu londhalo
Tilongka bilahu'i diyo bune dutu lali yo
Llimutu bula lali yo amani ta wuliyo
Hulondhalo ma tola'u lipu'u o toli angu u
Dilata o li pa ta u de tunggu lo ma te wa u

Lagu Binde Biluhuta


Binde biluhuta
ula ulau loduwo
wanu olamita
ngoinda mopulito

binde biluhuta
malo sambe lolowo
malita dadata
orasawa tohuwoto

chours
monga binde binde biluhuta
timi idu bele dila tamotolawa
monga binde binde biluhuta
timi idu bele dila ta motolawa

binde bilihuta
diyaluo tou weo
binde biluhuta
bome to hulondalo
BAHASA DAERAH

Pada dasarnya terdapat banyak bahasa daerah di Gorontalo. Namun hanya tiga
bahasa yang cukup dikenal masyarakat di wilayah ini, yaitu Bahasa Gorontalo,
Bahasa Suwawa (disebut juga Bahasa Bonda), dan Bahasa Atinggola (Bahasa
Andagile). Dalam proses perkembangannya Bahasa Gorontalo lebih dominan
sehingga menjadi lebih dikenal oleh masyarakat di seantero Gorontalo. Saat ini
Bahasa Gorontalo telah dipengaruhi oleh Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu
Manado, sehingga kemurnian bahasanya agak sulit diperoleh dalam penuturan
Orang Gorontalo.

Demi menjaga kelestarian bahasa daerah, maka diterbitkanlah Kamus Bahasa


Gorontalo-Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Suwawa-Bahasa Indonesia serta
Kamus Bahasa Atinggola-Bahasa Indonesia. Selain itu, telah berhasil diterbitkan
dan disetujui oleh Kementerian Agama Republik Indonesia perihal penerbitan
Al-Qur'an yang dilengkapi terjemahan bahasa Gorontalo (Al-Qur'an terjemahan
Hulontalo). Disamping itu, pendidikan muatan lokal Bahasa Gorontalo masih
terus dipertahankan untuk dijadikan bahan ajar di Sekolah Dasar. Meskipun
Catatan Buku Tua Gorontalo yang ada di masyarakat sepenuhnya ditulis
menggunakan Aksara Arab Pegon (Aksara Arab Gundul) akibat dari afiliasi
agama Islam dengan Adat Istiadat, Gorontalo sebenarnya memiliki aksara lokal
sebagai identitas kesukuan yang sangat tinggi nilainya, yaitu "Aksara Suwawa-
Gorontalo".

Adapun contoh penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari yang


harus tetap dilestarikan:

 Permisi.... = Tabi' ....


 Silahkan... = Toduwolo ....
 Terima Kasih... = Odu'olo ...
 Iya ... = Jo ... (Kata Jo digunakan oleh laki-laki saat menjawab sesuatu)
 Iya ... = Saaya ... (huruf 'a' diawal dibaca panjang, kata Saaya digunakan
oleh perempuan saat menjawab sesuatu)
SENJATA TRADISIONAL GORONTALO

Aliyawo adalah senjata tradisional masyarakat Gorontalo yang digunakan pada


waktu perang panipi oleh para prajurit kerajaan dalam merebut kekuasaan.
Senjata ini dipakai oleh empat kerajaan yakni kerajaan Limboto, Suwawa,
Gorontalo, dan Gowa.
PAKAIAN ADAT MANADO
Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa dan suku lainnya di Sulawesi
Utara terdiri dari baju sejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu).
Selain itu, mereka pun memakai blus atau gaun yang disebut pasalongan
rinegetan, yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria
memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam
terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan panjang,
memakai krah dan saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih
sederhana, yaitu mulai dari bentuk celana pendek sampai celana panjang seperti
bentuk celana piyama.
RUMAH ADAT MANADO
Rumah panggung atau wale merupakan tempat kediaman para anggota rumah
tangga orang Minahasa di Kota Manado, dimana didalamnya digunakan sebagai
tempat melakukan berbagai aktivitas. Rumah panggung jaman dahulu
dimaksudkan untuk menghindari serangan musuh secara mendadak atau
serangan binatang buas. Sekalipun keadaan sekarang tidak sama lagi dengan
keadaan dahulu, tapi masih banyak penduduk yang membangun rumah
panggung berdasarkan konstruksi rumah modern.
MAKANAN TRADISIONAL MANADO

Tinutuan atau bubur Manado


adalah makanan khas dari kota Manado, Sulawesi Utara. Tetapi beberapa orang
mengatakan bahwa bubur ini adalah makanan yang berasal dari Minahasa,
Sulawesi Utara.
TARIAN TRADISIONAL DARI MANADO
Tari kabasaran sering juga disebut tari cakalele, adalah salah satu seni tari
tradisional orang Minahasa yang banyak dimainkan oleh masyarakat Kota
Manado, yang biasanya ditampilkan pada acara-acara tertentu seperti
menyambut tamu dan pagelaran seni budaya. Tari ini menirukan perilaku dari
para leluhur dan merupakan seni tari perang melawan musuh.
LAGU DAERAH MANADO
O Ina Ni Keke merupakan sebuah lagu daerah yang berasal dari Sulawesi Utara.
Lagu yang ber-asal dari suku bangsa Minahasa ini memang cukup terkenal,
bahkan anak-anak SD pun dapat menyanyikannya. Pada kesempatan kali ini
saya akan membagikan kepada anda, Makna, arti dan terjemahan lagu o ina ni
keke yang berasal dari Sulawesi Utara ini.
o ina ni keke, mange wisa ko
mange aki wenang, tumeles baleko
o ina ni keke, mange wisa ko
mange aki wenang, tumeles baleko

weane, weane, weane toyo


daimo siapa kotare makiwe
weane, weane, weane toyo
daimo siapa kotare makiwe
Lagu O Ina Ni Keke merupakan sebuah dialog/percakapan antara seorang Ibu
dengan anaknya. Terlihat kedekatan antara seorang ibu dengan buah hatinya itu
dari pertanyaan "mangewisako" (mau kemana?). Kemudian yang ibu menjawab;
"Mange wi ti Wenang, tu meles walekow" (aku mau ke Manado, membeli kue).
Terlihat jelas bahwasanya sang ibu akan meninggalkan anaknya pergi ke
Manado untuk membeli kue waleko. Kemudian sang anak meminta kepada
ibunya untuk diberikan kue dari Manado. Tapi sayang, sudah terlambat, kuenya
sudah habis.
BAHASA DAERAH
Bahasa Minahasa adalah bahasa daerah asli Minahasa yang terdiri dari bahasa rumpun induk
Minahasa, yaitu:

Bahasa Tombulu, yang berpusat di Tomohon sebagai bahasa sub-etnis Tombulu. Bahasa ini
memiliki dua dialek besar yaitu yang memakai awalan ni dan memakai sisipan ni dalam arti
perfektum. Yang pertama terdiri dari dialek-dialek Tomohon Sarongsong dan Tombariri, dan
yang kedua terdiri dari dialek-dialek Kakaskasen, Klabat Bawah (Paniki) dan Ares (Kamangta
dan Sawangan). Bahasa ini pertama kali dikenal oleh para pendatang, orang Barat.

Bahasa Tountemboan, yang dipergunakan di Minahasa bagian Selatan sebagai bahasa sub-
etnis Tountemboan. Bahasa ini teriri dari dua dialek besar, yaitu dialek makela’i dan dialek
matana’i yaitu mereka yang menyebut kela’i (yang begini atau maotou) dan mereka yang
menyebut tana’i (yang begini). Dialek matana’i dipakai di Sonder dan Kawangkoan dan
matana’i dipakai di Langowan, Tompaso, Tareran/Rumoong dan Tombasian/ Amurang.
Bahasa ini merupakan bahasa penutur paling banyak di Minahasa.

Bahasa Tondano atau bahasa Toulour, sebagai bahasa sub-etnis Toulour yang mendiami
daerah sekeliling Danau Tondano sampai di pantai Timur Minahasa (Tondano pante). Bahasa
Tondano terdiri atas tiga dialek yaitu dialek induk Tondano, dialek Kakas dan dialek
Remboken. Dialek yang terbesar dalam daerah dan jumlah penutur terdapat di bagian Utara
yaitu kota Tondano dan Eris-Kombi. Dialek Kakas di kecamatan Kakas dan dialek Remboken
di kecamatan Remboken. Juga terdapat penutur bahasa ini di daerah kolonisasi (transmigrasi
lokal Minahasa) di kecamatan Tompaso Baru dan Modoinding. Di Tompaso Baru, dengan
dialek induk Tondano dituturkan pada kampung Pinaesaan, Kinalawiran, Kinaweruan,
Liningaan, Bojonegoro, dialek Kakas di kampung Temboan dan Polimaaan dan dialek
Remboken di kampung Kinamang. Di Kecamatan Modoinding terdapat penutur dialek Kakas
di kampung Wulurmaatus Palolon, Makaaruyan, Pinasungkulan, Lineleyan dan penutur dialek
Remboken di kampung Sinisir dan Kakenturan serta penutur dialek induk Tondano di
kampung Mokobang.

Bahasa Tonsea, yang dipergunakan di Minahasa bagian Utara sebagai bahasa sub-etnis
Tonsea. Bahasa ini terdiri dari dua dialek, yaitu dialek induk Tonsea yang dipergunakan di
sekitar Airmadidi, Tatelu, Minawerot dan dialek Kalabat-atas dipergunakan di sekitar Maumbi
dan Likupang.

Bahasa Tonsawang sebagai bahasa etnis Tonsawang. Mereka menyebut sub-etnisnya sebagai
orang Toundano. Bahasa ini banyak dipengaruhi oleh bahasa Tountemboan karena kedua etnis
ini saling berbatasan.

Bahasa Ratahan, dipergunakan di sekitar kota Ratahan sebagai bahasa sub-etnis Ratahan atau
Pasan atau disebut juga Bentenan. Bahasa ini memiliki persamaan dengan bahasa Sangir.

Bahasa Ponosakan sebagai bahasa sub-etnis Ponosakan. Pemakai bahasa ini adalah satu-
satunya sub-etnis di Minahasa yang beragama Islam. Bahasa ini berkerabat dengan bahasa
Bolaang Mongondow.

Bahasa Bantik sebagai bahasa sub-etnis Bantik. Bahasa ini berkerabat dengan bahasa Sangir.
SENJATA TRADISIONAL MANADO

Pedang bara Sangihe dahulu dikenal sebagai salah satu senjata yang digunakan
oleh salah satu Pahlawan Sulawesi Utara bernama Hengkeng U Nang. edang
bara Sangihe memiliki gagang dua cabang. Tidak hanya pada gagang, pada
ujung pedang bara juga memiliki dua cabang yang diantara dua cabang tersebut
terdapat gerigi-gerigi. Pedang bara Sangihe menjadi salah satu senjata tradisional
kebanggaan masyarakat Sulawesi Utara dan menjadi salah satu kekayaan
kebudayaan yang dimiliki Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai