BUDAYA GORONTALO
(NIM: 471421019)
A. TARI SARONDE
Tari Saronde adalah tarian yang terinspirasi atau berangkat dari tradisi pernikahan adat
masyarakat Gorontalo.
Dahulu, tarian Saronde digunakan sebagai sarana Molihe Huali yakni mengintip calon istri.
Seperti di berbagai kebudayaan di nusantara, bahwa di zaman dahulu calon pengantin
belum saling mengenal satu sama lain dan hubungan kedua mempelai biasanya berawal
dari perjodohan orang tua atau keluarga.
Tari Saronde biasanya ditampilkan oleh para penari pria dan penari wanita secara
berpasangan.
Jumlah penari biasanya terdiri dari 3-6 pasang penari pria dan wanita.
Dalam pertunjukan tari saronde, penari menari dengan gerakannya yang lincah dan khas
serta memainkan kain selendang yang digunakan sebagai atribut menarinya.
Sembari menari, calon pengantin pria bisa melirik ke calon pengantin perempuan untuk
mengetahui bagaimana calon istrinya.
Di sisi lain, mempelai perempuan perlu memperlihatkan bahwa dirinya sedang
memperhatikan mempelai pria.
Tarian Saronde ini masih dipertahankan dalam rangkaian adat pernikahan hingga saat ini.
Hal ini sebagai upaya mempertahankan tradisi budaya yang sudah ada, selain karena
dengan adanya tarian ini momen pernikahan meninggalkan makna yang dalam dan tidak
bisa ditinggalkan begitu saja.
Namun, selain dijadikan sebagai tarian dalam pernikahan, tarian ini juga disajikan sebagai
salah satu bagian dari prosesi adat, dan sebagai tari pertunjukan.
Para penari tari saronde mengenakan busana khas Gorontalo lengkap dengan selendang
sebagai atributnya.
Sejarah
Menilik sejarahnya, Tari Saronde adalah tarian yang diangkat dari tradisi pernikahan adat
masyarakat Gorontalo.
Dalam tradisi adat masyarakat Gorontalo pada zaman dahulu, tarian ini dijadikan sebagai
sarana Molihe Huali yaitu menengok atau mengintip calon istri.
Karena masyarakat Gorontalo pada zaman dahulu masih belum mengenal yang namanya
pacaran seperti sekarang, sehingga hubungan mereka masih dipegang penuh oleh kedua
orang tua atau keluarga.
Tarian ini biasanya dilakukan oleh mempelai pria bersama orang tua atau wali di hadapan
mempelai wanita.
Sambil menari, mempelai pria bisa melirik ke arah mempelai wanita untuk mengetahui
seperti apa calon pendamping hidupnya.
Sementara mempelai wanita yang berada di dalam ruangan akan memperlihatkan sedikit
dirinya agar mempelai pria tahu bawa dia diperhatikan.
Di masa sekarang ini, prosesi Tari Saronde juga masih tetap dipertahankan dalam
rangkaian pernikahan adat mereka.
Karena merupakan bagian tradisi sehingga meninggalkan makna sendiri di dalamnya dan
tidak bisa ditinggalkan begitu saja. [3]
Baca: Tari Kipas Pakarena
Gerakan
Anak tangga
Jumlah anak tangga pada rumah adat Dulohupa memiliki makna tersendiri. Jumlah anak
tangga terdiri dari 5 sampai 7 buah anak tangga. Angka 5 menggambarkan rukun Islam dan
5 filosofi hidup penduduk Gorontalo, yaitu Bangusa talalo atau menjaga keturunan, Lipu
poduluwalo atau mengabadikan diri untuk membela negeri, dan Batanga pomaya, Upango
potombulu, Nyawa podungalo yang berarti mempertaruhkan nyawa untuk mewakafkan dan
mengorbankan harta.[1] Sedangkan angka 7 menggambarkan 7 tingkatan nafsu pada
manusia yaitu amarah, lauwamah, mulhimah, muthmainnah, rathiah, mardhiah,
dan kamilan.[1]
Fungsi
Dahulu, rumah adat Dulohupa digunakan sebagai tempat bermusyawarah keluarga
kerajaan.[1] Kata Dulohupa sendiri merupakan bahasa daerah Gorontalo yang berarti
mufakat atau kesepakatan. Selain sebagai tempat bermusyawarah, Dulohupa juga
digunakan sebagai ruang sidang kerajaan bagi pengkhianat negara yang dilakukan dalam
bentuk sidang tiga tahap pemerintahan yaitu Buwatulo Bala (tahap keamanan), Buwatulo
Syara (tahap hukum agama Islam) dan Buwatulo Adati (tahap hukum adat), serta
digunakan juga untuk merencanakan kegiatan pembangunan daerah serta menyelesaikan
permasalahan penduduk setempat.[1]
Saat ini, rumah adat Dulohupa difungsikan untuk pagelaran upacara adat, seperti upacara
adat pernikahan dan pagelaran budaya dan seni di Gorontalo. Di dalam rumah adat ini
tersedia perlengkapan untuk upacara perkawinan seperti busana adat pengantin, perhiasan-
perhiasan, pelaminan dan benda-benda berharga lainnya. Tak lepas dari acara yang
berhubungan dengan adat, pada tahun 2012 rumah adat Dulohupa digunakan sebagai
tempat deklarasi dewan adat Gorontalo atau Duango adati lo Hulonthalo yang
beranggotakan 11 orang.[4] Salah satu fungsi dewan adat adalah untuk meluruskan kembali
adat istiadat Gorontalo yang melenceng dan diharapkan dengan adanya kerjasama antara
pemerintah daerah dan tokoh adat se-Gorontalo maka paham bisa disatukan dan
pembangunan Gorontalo semakin lancar. Oleh karena itu, deklarasi ini pun dihadiri oleh
tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat serta staf ahli Gubernur Gorontalo dan kepala
daerah se-Gorontalo. Pada tahun 2017, rumah adat Dulohupa menjadi lokasi digelarnya
pameran bersama yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) Gorontalo.[5] Pameran yang diikuti seluruh BPCB dan beberapa museum
di Indonesia ini menampilkan beragam identitas budaya Indonesia dari pembabakan,
zaman kolonial, hingga zaman kemerdekaan.
Wisata budaya
Rumah adat Dulohupa saat ini menjadi objek wisata budaya di jantung kota Gorontalo.
Sebagai objek wisata, pemerintah kota Gorontalo memiliki kesempatan untuk
memperkenalkan rumah adat dan budaya Gorontalo kepada para pengunjung.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Budaya Budaya lokal di Indonesia mempunyai berbagai perbedaan. Suku – suku bangsa
yang sudah banyak bergaul dengan masyarakat luar dan bersentuhan dengan budaya
modern, seperti suku Jawa, suku Minangkabau, suku Batak, suku Aceh, dan suku Bugis
memiliki budaya lokal yang berbeda degan suku budaya yang masih tertutup atau
terisolasi seperti suku Dayak di pedalaman Kalimantan atau suku bangsa Wana di
Sulawesi Tengah.
Perbedaan budaya tersebut bisa menimbulkan konflik sosial akibat adanya perbedaan
perilaku yang dilandasi nilai – nilai budaya yang berbeda. Oleh karena itu, konsep
budaya yang mengandung nilai kebersamaan, saling menghormati, toleransi, dan
solidaritas antar warga masyarakat yang hidup dalam komunitas yang sama sangat
dibutuhkan. Sikap toleransi antar masyarakat akan muncul apabila didasari prinsip
relativisme budaya yang memandang bahwa setiap kebudayaan tersebut berbeda dan unik
serta tidak ada nilai – nilai budaya suatu kelompok yang dianggap lebih baik atau buruk
dibanding kelompok lainnya.
B. Saran
Tidak bisa dipungkiri, budaya lokal yang ada di Indonesia sangat beragam. Akan lebih
bijaksana apabila kita sebagai masyarakat Indonesia masa kini tetap melestarikan jenis –
jenis kebudayaan Indonesia yang ada agar tetap hidup dan lestari. Sungguh disayangkan
apabila kebudayaan tersebut hilang ditelan zaman. Marilah terus menyadarkan diri untuk
tetap menjaga serta melestarikan khasanah kebudayaan lokal di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kitapunya.net/2015/12/contoh-contoh-budaya-lokal-di-indonesia.html
http://www.latarbelakang.com/2013/09/contoh-makalah-budaya-lokal-di.html
http://www.guruips.com/2016/11/pengertian-konsep-ciri-ciri-dan-contoh.html
http://artikel-az.com/pengertian-budaya-lokal/
http://www.gudangnews.info/2012/05/macam-macam-budaya-daerah-asal-
provinsi.html