Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia banyak suku bangsa dari barat hingga timur,namun dari sekian banyak
suku bangsa di Indonesia ada suku bangsa yang memiliki pola kehidupan yang unik.Yaitu
pola kehidupan yang terdapat pada masyarakat Tanah Toraja. Suku Tanah Toraja adalah suku
yang menetap dipegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya di
perkirakan sekitar 650.000 jiwa,dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten
Tanah Toraja.

Salah satu adat budaya yang mencerminkan hubungan manusia dan alam semesta dan
sesamanya adalah Rambu solo.Rambu solomerupakan salah satu bukti warisan budaya yang
masih dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat Tanah Toraja.Rambu soloatau yang
dikenal sebagai pesta adat kematian, bertujuan untuk menghormati para leluhur mereka dan
untuk menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh. Upacara adat
ini,berbeda dengan upacara-upacara kematian biasanya.Upacara adat Rambu soloini diadakan
dengan sangat meriah dan mewah layaknya sebuah pesta.Upacara ini tidak sedikitpun
melambangkan upacara kematian tetapi lebih berupa pesta perayaan. Mereka meyakini bahwa
dengan mengadakan upacara adat ini rohnya dapat diiringi sampai mencapai Nirwana
keabadian.

Pada upacara kematian ini penggunaan simbol-simbol sangat penting,salah satunya


adalah penggunaan simbol kerbau sebagai syarat utama dalam upacara kematian Rambu Solo.
Sama seperti adat-adat lainnya yang menggunakan simbol adat Rambu Solo juga
menggunakan simbol yaitu kerbau. Masyarakat Tanah Toraja meyakini bahwa kerbau inilah
yang nantinya akan membawa (roh orang mati menunggangi kerbau).Kerbau di kehidupan
masyarakat Tanah Toraja merupakan hewan yang sangat tinggi maknanya dan dianggap suci
juga, melambangkan tingkat kemakmuran seseorang jika memilikinya karena harga satu ekor
kerbau jutaan sampai ratusan juta rupiah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejrah suku toraja ?
2. Dimana letak suku toraja ?
3. Apa yang dimaksud dengan upacara rambu solo ?
4. Bagaimana tingkatan-tingkatan dalam pelaksanaan upacara rambu solo ?
5. Bagaimana prosesi upacara rambu solo ?

C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah suku toraja
2. Mengetahui dimana letak susku toraja
3. Mengetahui upacara rambusolo
4. Mengetahui tingkatan dalam pelaksanaan upacara rambu solo
5. Mengetahui prosesi upacara rambu solo

i
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Suku Toraja

Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara
dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu
kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai
Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.

Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di
Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka
mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena
sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda
mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara
suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai
target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen
mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama,
Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis
digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya
merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946,
Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai
suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena
penghapusan jalur perdagangan budak yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja
telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak
ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit
masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja,
dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10%
orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya,
banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk
mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap
orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah
kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang
dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi.
Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin
banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.

Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia
untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik,
Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku
Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia
harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To
Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

B. Letak Kabupaten Toraja

Kabupaten Tana Toraja merupakan salah satu dari 23 kabupaten yang ada di propinsi
Sulawesi Selatan yang terletak diantara 220sampai 330 Lintang Selatan dan 11930
sampai 12010 Bujur Timur. Ibukota Tator yakni kota kecil Rantepao adalah kota yang
dingin dan nyaman, dibelah oleh satu sungai terbesar di Sulsel yakni sungai Sadan, sungai
inilah yang memberikan tenaga pembangkit listrik untuk menyalakan seluruh Makasar. Secara
Sosio linguistik, bahasa Toraja disebut bahasa Tae oleh Van Der Venn. Ahli bahasa lain
seperti Adriani dan Kruyt menyebutnya sebagai bahasa Sadan. Bahasa ini terdiri dari
beberapa dialek , seperti dialek Tallulembangna (Makale), dialek Kesu (Rantepao), dialek
Mappapana (Toraja Barat).

Batas-batas Kabupaten Tana Toraja adalah:

1) Sebelah Utara : Kabupaten Luwu, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamasa


2) Sebelah Timur : Kabupaten Luwu
3) Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang
4) Sebelah Barat : Kabupaten Polmas

Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 3.205,77 km atau sekitar 5% dari luas
propinsi Sulawesi Selatan, yang meliputi 15 (lima belas) kecamatan. Jumlah penduduk pada
tahun 2001 berjumlah 404.689 jiwa yang terdiri dari 209.900 jiwa laki-laki dan 199.789 jiwa
perempuan dengan kepadatan rata-rata penduduk 126 jiwa/km dan laju pertumbuhan
penduduk rata-rata berkisar 2,68% pertahun.

i
C. Penjelasan Mengenai Rambu Solo

Mitologi Toraja, menceritakan pada mulanya langit dan bumi masih bersatu. Ketika
langit dan bumi berpisah, lahirlah tiga dewa yaitu: Pong Tulak Padang (berdiam di bawah
bumi), Pong Bangga-irante (berdiam di permukaan bumi), dan Gaun Tikembong (berdiam di
langit). Ketiga dewa ini dikenal sebagai Puang Titanan Tallu, Tirindu Batu Lalikan (tri
dewa). Mereka yang menciptakan matahari, bulan dan bintang.

Gaun Tikembong kemudian mengambil sebuah rusuknya dab menjadikan dewa yang
disebut: Usuk Sambaban, yang kemudian kawin dengan Simbolok Manik yang keluar dari
batu kemudian melahirkan Puang Matua. Puang Matua kawin dengan Arrang di Batu, dan dari
perkawinan inilah Puang Matua melanjutkan proses penciptaan dengan kelahiran delapan
orang anak kembar sauna sibarrung (pupulan kembar) yaitu: Datu Laukku sebagai nenek
moyang manusia; Allo Tiranda sebagai nenek moyang racun; Laungku sebagai nenek moyang
kapas; Pong Pirik-Pirik sebagai nenek moyang hujan; Menturiri sebagai nenek moyang ayam;
Menturino sebagai nenek moyang kerbau, Riakko sebagai nenek moyang besi, Takkebuku
sebagai nenek moyang padi. Ciptaan yang lainnya lahir dari abu bekas ciptaan pupulan
kembar, yang disebarkan kemudian oleh Puang Matua.

Puang Matua kemudian menurunkan manusia pertama ke bumi yaitu Puang Bura Langi.
Ia kawin dengan wanita yang berasal dari dalam air bernama Kembong Bura. Dari perkawinan
ini lahir keturunan manusia pertama di bumi (Pongmula Tau). Kedatangan Puang Bura langi
ke bumi juga dikawal oleh hambanya, Pong Pakulandi dengan memikul Aluk serba lengkap,
yang disebut Aluk 7777777 atau Aluk Sanda Pitunna (serba tujuh). Keturunan Puang Londong
di Rura diceritakan sebagai manusia pertama di dunia yang melanggar Aluk yang dibawa oleh
nenek moyangnya. Ia sangat kaya mempunyai empat orang anak, dua laki-laki dan dua
perempuan. Karena takut hartanya lari pada orang lain, ia mengawinkan anak-anaknya
menjadi pasangan suami-istri. Akibat pelanggaran terhadap Aluk yang merupakan tata aturan
sosio religius, maka ia ditenggelamkan oleh Puang Matua. Eran di Langi (eran: tangga, langi:
langit) yang menghubungkan dunia dan langit diruntuhkan. Ini bermakna simbolik bahwa
hubungan manusia dengan dewa-dewa menjadi terputus sama sekali.

Sebagai pembaharu yang memulihkan kembali hubungan antara langit dan bumi adalah
Pong Tandilino atau Tangdililing (alas bumi). Ia dibantu oleh Pong Suloara yang
membangun kembali tata aturan sosio religius. Pong Tandilino kemudian membuat
Tongkonan pertama di dunia yang terletak di Marinding Kecamatan Mengkedek. Tongkonan
ini dikenal dengan nama: Banua Puan atau Ramba Titodo. Dari rumah Tongkonan inilah
berasal seluruh nenek moyang orang Toraja.

Dari cerita ini, jelas dalam kepercayaan orang Toraja, prinsip totalitas menjadi dasar
untuk memahami fenomena sosio-kultural dan sisio religius. Segala sesuatu di dalam kosmos
dianggap berhubungan secara organis dan tidak dapat dipisahkan secara nyata. Puang Matua
merupakan pusat totalitas itu, tetapi dalam keyakinan Aluk Todolo, ia hanyalah merupkan
latar belakang saja (Deus Otiosius). Ia tidak mempengaruhi kehidupan manusia secara aktif. Ia
bertempat tinggal di langit, berkuasa, terlalu jauh, tidak terhampiri walaupun menaungi alam
semesta serta abadi. Ia adalah primus inter pares (yang pertama di antara yang sederajat) di
antara dewa-dewa lainnya. Karena itu namanya baru disebut dalam ritus-ritus pemujaan pada
upacara-upacara besar, seperti mabua atau merok.

Bertolak dari kosep totalistik ini maka semua tatanan kehidupan tidak terlepas dari nilai-
nilai religius menjadi ultimate value bagi seluruh kehidupan , dan aluk adalah sumber dan akar
dari seluruh tatanan sosial budaya Toraja baik dalam dimensi material maupun dimensi
spiritual. Aluk mempunyai pegertian yang sangat luas yaitu: dalam Agama, hal berbakti
kepada ilah atau dewa; yang kedua dalam upacara adat atau agama, dan ketiga, dalam perilaku
dan tingkah laku.

i
Aluk sanda pituna (aluk 7777777) menjadi filsafat hidup orang Toraja. Dimana manusia
Toraja memandang kehidupannya sebagai suatu siklus atau suatu lingkaran yang tidak dapat
diulangi. Tujuan hidup ialah kembali ke asalnya setelah segala ritual dipenuhi.Aluk 777777
yang bermakna sempurna mencakup semua bidang kehidupan antara lain:

1. Aluk Simuane Tallang (ritual-religius berpasangan) yang terdiri dari:

a. Aluk Rambu Tuka (aluk rampe matallo), yaitu ritual-religius kesukaan.

b. Aluk Rambu Solo (aluk rampe matampu) yaitu ritual-religius kedukaan

2. Aluk Talu Lolona yaitu: ritual religius yang berhubungan dengan tiga makhluk hidup:

a. Alukna Lolo tau (yang menyangkut kehidupan manusia)

b. Alukna Lolo Tahanan (yang menyangkut tanaman)

c. Alukna Lolo Patuoan (yang menyangkut hewan)

3. Aluk Rampanan Kapa (yang menyangkut perkawinan)

4. Aluk Banua (yang menyangkut bangunan rumah)

5. Aluk Padang (yang menyangkut tanah)

6. Aluk Tananan Pasa (yang menyangkut pasar)

Jadi seluruh tatanan kehidupan masyarakat Toraja diatur oleh aluk. Segala sesuatu
didasarkan pada aluk, karena tanpa aluk kehidupan menjadi sia-sia. Yang
melanggar aluklangsung mendapat hukuman dalam kehidupan ini. Hukuman ini dapat dihapus
dengan melakukan Massuru (penebusan dosa).

D. Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo

Dalam keyakinan Aluk Todolo orang yang sudah meninggal dunia tetapi belum
diupacarakan masih dikategorikan tomakula (makula=panas, sakit). Ia tetap dilayani oleh
keluarganya sebagai mana layaknya melayani orang yang masih hidup. Ia masih diberi makan,
minum, rokok, sirih dan lain-lain. Menjelang upacara puncak pemakamannya barulah ia
dianggap sungguh-sungguh telah meninggal dunia. Beberapa hari sebelum pelaksanaan
upacara ia dibaringkan dengan arah utara-selatan dengan kepala menghadap ke selatan,
sebelumnya ia dibaringkan ke arah timur-barat dengan kepala sebelah barat.
Disamping itu apabila seseorang meninggal di luar daerah (luar negeri) atau suatu
tempat yang tidak diketahui dilakukan upacara mangrambu tampak beluak dan dipoyan angin.

1. Mangrambu Tampak Beluak (mangrambu = mengasapi, tampak = ujung, beluak =

rambut ) berlaku bagi seseorang yang meninggal di luar daerah dan jenasah tidak dapat

dibawa pulang ke kampung halamannya. Untuk itu keluarga hanya membawa pakaian,

ujung rambut atau ujung kuku si mati yang oleh aluk dianggap sama saja dengan si

mati dan ia dapat diupacarakan sesuai dengan status sosialnya.

2. To Dipoyan Angin (To = orang, Poya = pukat, angin = angin) berlaku bagi seseorang

yang jenasahnya tidak diketemukan (mis: tenggelam di laut, hilang di hutan dan

sebagainya). Seluruh keluarganya pergi ke puncak bukit dengan membawa sarung

yang sebelahnya diikat untuk memukat angin. Kalau sarung itu menggelembung, maka

semua wanita yang hadir menangis karena diyakini bahwa roh (jiwa) yang meninggal

sudah berada dalam sarung itu. Sarung itulah yang kemudian diupacarakan sesuai

dengan status sosialnya.

Karena upacara Rambu Solo adalah bagian dari aluk (lesoan aluk), sehingga
pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ditetapkan untuk
itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu Solo adalah stratifikasi
sosial yang dalam masyarat Toraja dibagi ke dalam empat kelompok:

1. Tana Bulaan (tana=patokan, bulaan=emas) yaitu kasta bangsawan tinggi.

2. Tana Bassi (bassi=besi) yaitu golongan bangsawan menengah.

3. Tana Karurung (karurung=batang enau) yaitu golongan orang-orang merdeka.

4. Tana Kua-kua (kua-kua=sebangsa rerumputan) yaitu golongan hamba atau budak

(kaunan)

Dengan patokan kasta tersebut maka upacara Rambu Solo juga dikenal dalam empat
tingkatan, yaitu:

i
1. Tingkat untuk golongan hamba atau budak (tana kua-kua):

a. Dipasilamun Tallo Manuk (dipasilamun = dikuburkan dengan, tallo = telur, manuk

= ayam), yaitu upacara bagi anak yang meninggal waktu lahir. Mayatnya dibungkus

bersama sebutir telur ayam kemudian dikuburkan pada hari itu juga disebelah utara

lumbung atau disamping rumah. Ia dikuburkan bersama urihnya, karena itu sering

juga disebut dipasilamun toninna (toni=urih).

b. Didedekan Palungan/dikambuturan Padang (didedekan=dipukul, palung=tempat

makanan babi; dikambuturan=hentakan tumit kaki, padang=tanah). Upacara

semacam ini diperuntukkan bagi orang dewasa yang tidak punya apa-apa dan

keluarganya tidak mampu. Keluarga yang ada hanya memukulkan tempat makanan

babi dan menghentakkan kaki ke tanah setelah itu mayat dikuburkan pada hari itu

juga.

c. Disilli yaitu bentuk upacara untuk anak-anak yang meninggal dunia yang belum

tumbuh giginya, juga untuk orang dewasa yang miskin. Ia dibuatkan liang pada

sebuah pohon besar sebagai kuburannya.

d. Dibai Tungga (dibai=dengan babi, tungga=satu). Dalam tingkatan ini babi yang

dipotong sekurang-kurangnya satu ekor. Mayat dapat disemayamkan satu malam di

rumah duka dan keesokan harinya langsung dikubur.

e. Dibai Apa (apa=empat), yaitu tingkatan dimana babi yang dipotong antara 4-10

ekor. Setelah selesai upacara di rumah duka, keesokan harinya langsung di kubur.

2. Tingkat untuk golongan orang merdeka (tana karurung)

a. Diisi (diberi gigi), yaitu untuk anak yang meninggal dunia pada waktu giginya

belum tumbuh, tetapi karena ia adalah keturunan bangsawan maka ia berhak diberi

korban seekor kerbau.

b. Dipasangbongi (satu malam), biasa disebut juga ditedong

tungga(tedong=kerbau, tungga=satu). Dalam upacara ini dipotong seekor kerbau


dan minimal 4 ekor babi. Pada tingkatan ini sudah dilaksanakan badong (lagu

kedukaan).

c. Matangke Patomali atau biasa juga disebut ditanduk bulaan(matangke=membawa

dengan tangan, patomali=kedua tangan, ditanduk=diberi tanduk, bulaan=emas) yaitu

tingkatan bagi seseorang yang sebenarnya hanya layak

untuk dipasangbongi (ditedong tungga), tetapi karena diberi keistimewaan sehingga

jumlah kerbau yang dipersembahkan dua ekor dan minimal 16 ekor

babi. Dipatallung bongi (tiga malam). Dalam tingkatan ini jumlah kerbau yang

dipersembahkan 3-4 ekor dan minimal 16 ekor babi.

3. Tingkat untuk golongan bangsawan menengah (tana bassi) Untuk tingkatan ini,

upacaranya dikenal dengan istilah dibatang (persiapan pesta besar) atau juga sering

disebut didoya tedong (didoya=menunggui mayat,tedong=kerbau). Untuk tingkatan ini

masih ada dua kategori, yaitu:

a. Dipaling bongi (lima malam) yaitu upacara yang berlangsung lima malam. Jumlah

kerbau yang dipersembahkan antara 5-7 ekor dan minimal 18 ekor babi.

b. Dipapitung bongi (tujuh malam). Untuk kategori ini jumlah kerbau yang

dipersembahkan antara 7-9 ekor dan minimal 22 ekor babi. Di

daerah TalluLembangna (Makale, Mengkendek, Sangalla) masih dikenal tingkatan

yang disebut: dipapitung lompo (lompo=gemuk) dimana kerbau yang

dipersembahkan 18 ekor dan babi minimal 32 ekor.

4. Untuk golongan bangsawan tinggi (tana bulaan) bentuk upacaranya disebut dirapai.

Dalam upacara ini mayat sudah dibuatkan tau-tau (patung) sebagai personifikasi dari

orang yang telah meninggal dunia. Upacara Dirapai masih dibagi dalam 5 tingkatan:

a. Dilayu-layu. Jumlah kerbau yang dipotong antara 9-12 ekor dan babi minimal 32

ekor.

i
b. Rapasan Sundun (anak rapasan), yaitu tingkatan yang lebih tinggi dari dari

upacara dilayu-layu. Jumlah kerbau yang dipotong 24 ekor dan babi minimal 32

ekor.

c. Rapasan di baba gandang. Pada tingkatan ini jumlah kerbau yang dipotong 30 ekor

dan babi minimal 32 ekor. Pada tingkatan ini khusus bagi seorang pahlawan juga

dipersembahkan satu orang yaitu salah seorang budaknya atau yang diculik dari

musuh (dibantai). Untuk masa sekarang korban manusia tidak lagi dilaksanakan.

E. Prosesi Upacara Rambu Solo

Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya
mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo maka
orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Jika keluarga si mati itu belum
mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah itu akan disimpan di tongkonan (rumah
adat Toraja) sampai pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban untuk melaksanakan
upacara tersebut. Penyimpanan jenazah itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Setelah pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban tersebut, barulah Rambu Solo
dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari rumah duka ke tongkonan tammuon (tongkonan
pertama tempat dia berasal). Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban
atau dalam bahasa Torajanya Matinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang
Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan
disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu,
kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.

Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan
harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu
tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama,
yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang
berada di sekitar tongkonan tersebut.
Setelah disimpan satu hari, jenazah dipindahkan ke tongkonan yang lebih tinggi, yaitu
tongkonan barebatu. Prosesinya juga sama saat jenazah itu dipindahkan ke tongkonan
tammuon., yaitu penyembelihan kerbau dan pembagian dagingnya kepada orang-orang yang
berada di sekitar tongkonan tersebut.

Pemindahan jenazah menuju ke tongkonan

Seluruh prosesi acara Rambu Solo selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar
pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), semua tiba di tongkonan barebatu, karena hari
ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat
acara berlangsung).

Janazah berada di rante

Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba


terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah,
dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).

Para wanita membawa lamba-lamba

Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah
kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut.
Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-
lamba.

Laki-laki mengangkat keranda

Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama kita
akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu
(atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada
barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.

Pengarakan jenazah menuju lakkien

Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi


berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan
kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para
sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak

i
kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh
keluarga yang sedang berduka.

Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien
(menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu
merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien
sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di
atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan
ditebas.

Jenazah menuju lakkien sebelum di kubur

Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak
saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu
selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang,
dengan mempertontonkan mapasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para
penonton, karena selama upacara Rambu Solo, adu hewan pemamah biak ini merupakan
acara yang ditunggu-tunggu.

Adu kerbau yang dilakukan sebelum beberapa hari menuju penguburan

Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara
berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada di
tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan
adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga
sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane
(kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba
tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat).
Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya. Bagian lain dari
pemakaman adalah penyembelihan kerbau, Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya.

Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya
mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo maka
orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih sakit, maka
orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih
hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal
yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.

Sedangkan penggunaan musiknya yaitu Musik suling, nyanyian, lagu, puisi, tangisan dan
ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak
berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah. Upacara
pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang
ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman dalam
masa tertidur

B. Saran

Upacara rambu solo merupakan upacara yang unik. Upacara ini banyak melibatkan
masyarakat sekitar, dengan upacara ini masyarakat dapat tolong-menolong antara sesama
masyarakat dan berbagi hewan yang di kurbankan dalam upacara ini. Kekerabatan masyarakat
yang begitu terjaga dan menghormati tradisi leluhur dan tetap mempertahankan nya.

i
DAFTAR PUSTAKA

Yanuirdianto. (2014). U p a c a r a Kematian Rambu Solo di Tana Toraja


(online) https://kuninghijau.wordpress.com/2014/02/18/upacara-kematian-
rambu-solo-di-tana- toraja/ Diakses tanggal 17 September 2017 pukul 19.43
wib

http://victorsumua.blogspot.co.id/2013/01/rambu-solo-dalam-keyakinan-aluk todolo.html
diakses tanggal 6 desember 2017 pukul 13.55 wib

Fadli. (2014) Upacara Kematian di Tana Toraja Orang Mati yang Hidup Kebudayaan
Terunik (Online) http://makalahfadli.blogspot.co.id/2014/03/makalah-
keperawatan-transkultural-rambu.html diakses tanggal 12 desember 2017 pukul
11.10 wib

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja, Diakses tanggal 17 September 2017

pukul 19.43 wib

Victor Sumua Sanga. (2013). Rambu Solo Dalam Keyakinan Aluk Todolo (online)
KATA PENGANTAR
Dengan memannjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
karunia dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Kebudayaan Rambu Solo ( Upacara Kematian ) di Tana Toraja . Bertujuan untuk memenuhi
tugas

serta tak lupa juga saya ucapkan terimakasih kepada rekan-rekan seperjuangan yang turut
membantu dalam proses pembuatan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini dirasakan
masih banyak kekurangan, baik secara sistematika penyusunan maupun penggunaan kata-kata,
karena itu saya mengharapkan dengan kerendahan hati memberikan kritik dan saran yang
membangun agar penulisan makalah selanjutnya lebih baik. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat khususnya bagi saya, umumnya bagi para pembaca. Demikianlah makalah ini saya
buat, saya ucapkan terima kasih.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1


A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
C. Tujuan ...................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3


A. Sejarah Suku Toraja ...................................................................................................... 3
B. Letak Kabupaten Toraja .............................................................................................. 4
C. Penjelasan Mengenai Rambu Solo ............................................................................... 5
D. Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo ................................................ 7
E. Prosesi Upacara Rambu Solo ....................................................................................... 11

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 14


A. Kesimpulan ................................................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai