Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

RITUAL RAMBU SOLO’ ( RITUAL KEMATIAN)

SUKU TORAJA-SULAWESI SELATAN

OLEH
WILDAYANA ILLA
NIM : 22119077

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
BerkatNya,sehingga menyelesaikan tugas presentasi ini, saya bisa menyusun dan
menyajikan hasil laporan ini. Sebagai salah satu tugas kuliah.
Tak lupa Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan
dorongan dan motivasi.

Saya juga menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan. oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun, sehingga dapat membuat tugas yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I .............................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Umum ........................................................................................................... 4
1.4 Manfaat ...................................................................................................................... 4
BAB II ............................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 5
2.1 Suku Toraja ............................................................................................................... 5
2.2 Rambu Solo’............................................................................................................... 5
2.2.1 Definisi Rambu Solo’...................................................................................................... 5
2.2.2 Simbol - Simbol dalam Rabu Solo’ ................................................................................ 6
2.2.3 Tingkatan Upacara Rambu Solo’ .................................................................................... 7
2.2.4 Prosesi Upacara Rambu Solo’ ................................................................................... 10
BAB III ......................................................................................................................... 13
PENUTUP ..................................................................................................................... 13
3.1 kesimpulan ............................................................................................................... 13
3.2 Saran......................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebudayaan merupakan bagian yang terintegrasi dengan kehidupan
masyarakat. Tidak ada kehidupan masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan
sebagai bagian dari ciri khas mereka, dari hal itulah mereka dikenal sebagai suatu
kelompok masyarakat yang berbeda dengan kelompok, suku, maupun bangsa lain.
Sebagai keolompok atapun suku yang berbeda dengan yang lainnya, suku toraja
juga memiliki budaya yang menjadikannya unik di tengah-tengah kemajemukan
suku-suku bangsa di Indonesia.
Salah satu budaya yang terkenal dari Tana Toraja, bahkan dikenal sampai
mancanegara, adalah Rambu Solo’ atau upacara pemakaman yang dianggap
paling rumit di dunia. Rambu Solo adalah sebuah upacara pemakaman secara adat
yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda
penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi, yang membuat rumit
adalah bahwa upacara Rambu Solo memiliki sejumlah tingkatan, tergantung pada
strata sosialsi mendiang dan keluarganya. Mereka yang termasuk dalam kelompok
orang berbeda atau kalangan bangsawan biasanya melangsungkan upacara itu
dengan cara yang mewah, hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa mereka
memang berasala dari kelompok masyarakat kalangan atas. Sebaliknya, kelompok
masyarakat yang tidak punya atau berasal dari kelompok hamba/ rakyat biasa
tidak dapat melakukan upacara itu sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok
bangsawan, hal itu bukan saja karena mereka memang tidak mampu secara materi
untuk melaksanakannya, melainkan juga secara etika dalam kebudayaan tersebut
mereka tidak diperbolehkan. Upacara rambu solo merupakan sebuah upacara yang
sarat dengan nilai-nilai adat istiadat (aluk) yang mengikat masyarakat toraja.
Kepercayaan lama percaya bahwa “aluk diciptakan di langit. Oleh karena itu, aluk
itu ilahi pula dan seluruh makhluk tunduk kepada aluk.

3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah makalah ini adalah
“bagaimana ritual-ritual dalam upacara adat Rambu Solo’ oleh suku Toraja ?”

1.3 Tujuan Umum


Untuk mencari tau ritual-ritual Rambu Solo’ oleh suku Toraja.

1.4 Manfaat
a. Bagi Pembaca
Sebagai wawasan pengetahuan tentang salah satu kebudayaan di
Indonesia khususnya kebudayaan upacara adat rambu solo’ di Tana
Toraja.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Suku Toraja


Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian
utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa,
dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten
Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk
agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme
yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Kata toraja berasal
dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri
atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran
kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting,
biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

2.2 Rambu Solo’

2.2.1 Definisi Rambu Solo’


Rambu Solo adalah upacara pemakaman yang berada di Tana Toraja.
Upacara ini merupakan adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja
secara turun-temurun ini mewajibkan keluarga yang ditinggal mati membuat pesta
besar sebagai penghormatan terakhir kepada mendiang yang telah pergi. Rambu
Solo juga merupakan upacara yang meriah karena dilangsungkan selama berhari-
hari. Waktu pelaksanaan Rambu Solo adalah siang hari, yaitu saat matahari
condong ke barat dan biasanya memakan waktu dua sampai tiga hari, bahkan dua
minggu bagi kalangan bangsawan.
Kebudayaan rambu solo juga dikenal sebagai “Aluk Rampe Matampu”.
Aluk Rampe Matampu itu dilaksanakan pada waktu matahari akan terbenam (sore
hari, bukan pada waktu pagi hari. Upacara rambu solo’, salah satu hal yang sangat

5
penting adalah upacara pemakaman. “tahapan-tahapan pelaksanaan upacara
Rambu Solo’ merupakan suatu peristiwa yang mengendung dimensi religi dan
sosial. Maksudnya, upaca rambu Solo’ itu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai
kepercayaan orang Toraja, secara khusus dengan apa yang disebut sebagai “Aluk
Todolo” atau animisme. Selain itu, upacara itu juga tidak dapat dilepaskan dari
masalah sosial sehingga di dalam pelaksanaannya harus memperhatikan strata
sosial dari orang yang meninggal.

2.2.2 Simbol - Simbol dalam Rabu Solo’


Pelaksanaan Rambu Solo juga identik dengan penyembelihan kerbau dan
babi. Tetapi yang paling ditonjolkan dalam upacara tersebut adalah
penyembelihan kerbau. Kerbau merupakan hal utama yang harus ada dalam
upacara ini. Masyarakat Toraja beranggapan bahwa kerbau adalah kendaraan yang
ditunggangi arwah si mati untuk mengantarnya ke surga. Kerbau yang disembelih
berkisar puluhan ekor bahkan jumlah itu bisa mencapai ratusan berdasarkan strata
sosialnya. Jenis kerbau yang disembelih adalah kerbau biasa/kerbau hitam, kerbau
balian (kerbau aduan), dan kerbau belang (kerbau Bonga)
Berbeda dengan budaya lain di Indonesia, budaya Rambu Solo’ di Tanah
Toraja justru menunjukkan atau memperjelas identitas diri dari pelakunya, dalam
kebudayaan masyarakat Toraja dikenal empat macam tingkat atau strata sosial
a. Tana’ bulaan atau golongan bangsawan
b. Tana’ basi atau golongan bangsawan menengah
c. Tana’ karurung atau masyarakat biasa/ rakyat merdeka, dan
d. Tana’ kua-kua atau golongan hamba
Kelompok sosial itu merupakan tatanan yang mengatur perilaku para anggota
kelompokya, termasuk memberi ciri-ciri yang khas dalam melaksanakan upacara
Rambu Solo’

6
2.2.3 Tingkatan Upacara Rambu Solo’
Bentuk upacara Rambu Solo’ yang dilaksanakan di Tana Toraja
disesuaikan dengan kedudukan sosial masyarakat. Oleh karena itu, upacara
Rambu Solo’ di Tana Toraja dibagi kedalam empat tingkatan, dan setiap
tingkatannya memiliki beberapa bentuk. Hal itu dijelaskan oleh L.T Tangdilintin
dalam Panggara sebagai berikut:
a. Upacara Disilli’
Upacara Disilli’ adalah upacara pemakaman yang paling rendah di dalam
Aluk Todolo, yang diperuntukkan bagi strata yang paling rendah atau anak-anak
yang belum mempunyai gigi.
1. Dipasilamun Toninna, yaitu upacara pemakaman yang dilakukan bagi anak-
anak yang meninggal pada waktu lahir. Anak itu akan dikuburkan dengan
plasentanya, sebagai pemakaman bersejarah
2. Didedekan Palungan, yaitu upacara pemakaman bagi orang yang meninggal,
tanpa ada binatang yang dikorbankan. Hal itu diganti dengan mengetuk/
memukul tempat makan babi saja
3. Dipasilamun Tallok Manuk, yaitu upacara pemakaman bagi orang yang
meninggal, yang dikuburkan bersama dengan telur ayam, pada malam hari.
Pemakaman itu tanpa pemotongan binatang korban
4. Dibai Tungga’, yaitu upacara pemakaman yang dilakukan dengan cara
mengantar jenazah kekuburan pada malam hari dan disertai dengan
pemotongan seekor babi
b. Upacara Dipasangbongi
Upacara Dipasangbongi adalah upacara pemakaman yang hanya
berlangsung selama satu malam. Upacara itu dilaksanakan bagi kelompok tana’
karurung (rakyat merdeka/ biasa). Namun, upacara itu bisa saja dilakukan oleh
orang dari tana’ bulaan dan bassi jika secara ekonomi mereka tidak mampu.
1. Dibai A’pa’, yaitu upacara selama satu malam dengan hanya mengorbankan
babi empat ekor
2. Ditedong Tungga’, yaitu upacara pemakaman selama satu malam dengan
kerbau satu ekor, tetapi babi tidak ditemtukan banyaknya
3. Diisi, yaitu upacara pemakamn bagi anak yang belum memiliki gigi.. anak itu
dapat diberi gigi emas atau besi, lallu dipotongkan kerbau seekor. Upacaranya

7
berlangsung selama satu malam, lalu besoknya dikuburkan. Upacara itu
biasanya dilakukan oleh orang yang berasal dari kelompok bangsawan tinggi
dan menengah
4. Ma’tangke Patomali, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama satu
malam dan diberi kerbau dua ekor sebagai korban. Upacara itu disebut “To
Ditanduk Bulaan”.
c. Upacara Dipasangbongi
Dalam upacara Dibatang atau Didoya Tedong, setiap hari kerbau satu ekor
ditembatkan pada sebuah patok dan dijaga oleh orang sepanjang malam tanpa
tidur. Selama upacara itu berlangsung, setiap hari ada pemotongan kerbau satu
ekor. Upacara itu diperuntukkan bagi bangsawan menengah (tana’ bassi), tetapi
juga bisa dipakai untuk kaum bangsawan tinggi (tana’ bulaan) yang tidak mampu
membuat upacara tana’ bulaan.
Upacara itu dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Dipatallung bongi, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama 3 hari
3 malam dengan korban kerbau sekurang-kurangnya tiga ekor dan babi
secukupnya. Pada upacara itu dibuat pondok-pondok dihalaman tongkongan
yang ditempati oleh seluruh keluarga selama upacara berlangsung
2. Dipalimang bongi, yaitu upacara pemakam yang berlangsung 5 hari 5 malam
dengan korban kerbau sekurang-kurangnya lima ekor dan babi secukupnya.
Pada upacara itu, selain membangun pondok dihalaman tonngkongan,
dibuatkan juga pondok upacara ditempat yang dinamakan “rante”
3. Dipapitung bongi, adalah upacara pemakaman yang berlangsung selama 7
hari 7 malam dengan korban kerbau sekurang-kurangnya tujuh ekor dan babi
secukupnya. Walaupun upacara itu berlangsung 7 hari, ada satu hari yang
digunakan untuk beristirahat meskipun acara korban terus berlangsung. Hari
itu dikenal dengan istilah “Allo Torro” (hari istirahat). Tambahan dalam
upacara itu adalah pembuatan “duba-duba”, yaitu tempat pengusung mayat
yang dibentuk seperti rumah adat Toraja. Pada upacara dipatallung bongi dan
dipalimang bongi, hal itu tidak dibuat, kecuali “saringan”, yaitu tempat
pengusung mayat tanpa tutup, yang menyerupai rumah adat Toraja.

8
d. Upacara Rapasan
Upacara rapasan adalah upacara pemakaman yang dikhususkan bagi kaum
bangsawan tinggi (tana’ bulaan). Dalam upacara jenis rapasan, upacara
dilaksanakan sebanyak dua kali. Upacara itu dibagi lagi menjadi beberapa jenis,
yaitu sebagai berikut:
1. Upacara rapasan diongan atau didandan tana’ (artinya dibawah atau menurut
syarat minimal), dalam upacara itu korban kerbau sekurang-kurangnya
sembilan ekor, dan babi sebanyak yang dibutuhkan/ sebanyak banyaknya.
Karena upacara rapasan dilaksanakan sebanyak dua kali, upacara pertama
dilaksanakan selama tiga hari dihalaman tongkongan, dan upacara kedua
dilaksanakan di rante. Upcara pertama disebut sebagai Aluk pia atau aluk
banua, yang berlangsung sekurang-kurangnya 3 hari di halaman tongkongan,
sedangkan upacara kedua disebut Aluk Palao atau Aluk Rante karena
pelaksanaannya berlangsung di rante dan dapat dilangsungkan selama yang
diinginkan oleh keluarga. Jumlah kerbau yang dikorbankan dalam upacara
pertama itu sama dengan jumlah yang dikorbankan dalam upacara kedua
meskipun kadang-kadang dilebihkan satu atau dua ekor pada upacra kedua
2. Upacara rapasan sundun atau doan (upacara semourna/ atas). Upacara itu
diperuntukkan bagi banngsawan tinggi yang kaya atau para pemangku adat.
Dalam upacara itu dibutuhkan korban kerbau sekurang-kurangnya 24 ekor,
dengan jumlah babi yang tidak terbatas untuk dua kali pesta upacaranya
berlangsung seperti upacara rapasan diongan
3. Upacara rapasan sapu randaan (secara literal diartikan “setara dengan tepi
sungai”) berlangsung dengan korbankerbau yang melimpah (ada yang
mengatakan di atas 24, 30, bahkan diatas 100 ekor). Pada upacara itu, selain
menyiapkan duba-duba (tempat pengusung mayat yang mirip dengan rumah
tongkongan), disiapkan juga tau-tau, yaitu patung orang yang meninggal,
yang diarak bersama dengan mayat ketika akan dilaksanakan aluk palaoatau
aluk rante.

9
2.2.4 Prosesi Upacara Rambu Solo’
Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan
sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara
Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit.
Karena statusnya masih ‘sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi harus
dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti
menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal
yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya. Jika
keluarga si mati itu belum mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah itu
akan disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja) sampai pihak keluarga mampu
menyediakan hewan kurban untuk melaksanakan upacara tersebut. Penyimpanan
jenazah itu bisa memakan waktu bertahun-tahun .
Setelah pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban tersebut,
barulah Rambu Solo dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari rumah duka ke
tongkonan tammuon (tongkonan pertama tempat dia berasal), disana dilakukan
penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya
Ma’tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas
kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih
ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu,
kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang
hadir.
Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuan) hanya sehari,
lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada
agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama
dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya
akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan
tersebut. Setelah disimpan satu hari, jenazah dipindahkan ke tongkonan yang lebih
tinggi, yaitu tongkonan barebatu. Prosesinya juga sama saat jenazah itu
dipindahkan ke tongkonan tammuon, yaitu penyembelihan kerbau dan pembagian
dagingnya kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut. Seluruh
prosesi acara Rambu Solo’ selalu dilakukan pada siang hari.Indonesia.
hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan
tempat acara berlangsung) Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda

10
khas Toraja), di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang
panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi
pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu). Prosesi
pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah
kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung
keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan
wanita yang menarik lamba-lamba, dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang
harus dilaksanakan, pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa
gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita
kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan
tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.
Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi
berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari
bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai
tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara
berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi
menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan
diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi
berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara
lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu
dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum
nantinya akan dikubur, di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu,
yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah
prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga
dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma’pasilaga
tedong (adu kerbau).

11
penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada
di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore harinya
selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-
orang Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan
di tebing maupun yang di patane’ (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).

12
BAB III

PENUTUP

3.1 kesimpulan
Upacara adat Rambu Solo’ akan dilaksanakan apabila keluarga si mati
mampu melaksanakan upacara adat rambu solo’ jika keluarga si mati itu belum
mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah itu akan disimpan di
tongkonan (rumah adat Toraja) sampai pihak keluarga mampu menyediakan
hewan kurban untuk melaksanakan upacara tersebut. Penyimpanan jenazah itu
bisa memakan waktu bertahun-tahun Setelah pihak keluarga mampu menyediakan
hewan kurban tersebut, barulah Rambu Solo dilaksanakan. Tongkongan yang
digunakan sebagai tempat menyimpan mayat sebelum upacara rambu solo’
dilaksanakan juga ditempati oleh anggota keluarga lainnya.Pada prosesi upacara
rambu solo, puluhan ekor kerbau dan babi disembelih lalu dibagi-bagikan.
Apabila seorang meninggal dunia dalam kalangan suku Toraja, Upacara
pemakaman tidak hanya dihadapi oleh suami, istri dan anak-anaknya, tetapi juga
keluarga besar (rumpun keluarga) dari simati. Seluruh keluarga meskipun tinggal
ditempat yang jauh, berusaha untuk hadir dan berpartisipasi dalam upacara
Rambu Solo’. Keluarga-keluarga ini secara bersama menanggulangi biaya
pelaksanaan upacara rambu solo’. Bila ada kelaurga yang tidak mengambil bagian
maka ia akan menanggung beban moral yang mengakibatkan ia dapat tersisih dari
komunitas keluarga. Juga keluarga yang lain akan memberi penilaian yang negatif
terhadapnya karena dianggap tidak memiliki solidaritas keluarga, hal ini
menujukkan dalam masyarakat Toraja sistem kekeluargaan dan kekerabatan
merupakan sasuatu hal yang penting dan bernilai tinggi. Melalui upacara Rambu
Solo’ hubungan kekerabatan disegarkan kembali, karena upacara ini merupakan
pertemuan kaum kerabat dengan semua handai tolan dan semua kenalan biasa.
Dikalangan orang toraja saudara sepupu sampai tahap ke tujuh masih dianggap
saudara dekat.

13
dalam masyarakat Toraja stratifkasi sosial (tana’) dikenal dalam empat
tingkatan:
- Kelas bangsawan tinggi (tana’ bulaan)
- Kelas bangsawan menengah (tana bassi)
- Kelas orang-orang merdeka (tana karurung)
- Kelas hamba sahaya (tana’ kua-kua)
Stratifikasi ini bersifat tertutup (closed social stratification) dan membatasi
kemungkinan pindahnya seseorang dari lapisan lain ke kasta lain. Pembagian ini
dipelihara secara turun-temurun. Jadi dalam masyrakat Toraja, pelaksanaan
upacara Rambu Solo’ juga harus didasarkan pada tana’. Ini berarti tingkatan
upacara untuk tana’ kua kua, tidak boleh sama dengan upacara untuk tana
karurung dan sebagainya, meskipun seorang mampu dari segi ekonomi, dengan
demikian upacara Rambu Solo’ mencermikan martabat atau harga diri dari suatu
keluarga khsusnya golongan bangsawan, dengan kata lain keberhasilan atau
kemeriahan penyelenggaran upacara akan mempunyai nilai sosial yang tinggi dan
sekaligus menambah gengsi suatu keluarga. Sebaliknya keluarga akan merasa
sangat malu bilamana tidak dapat mengupacarakan orang mati mereka
sebagaiman layaknya.

14
Upacara Rambu Solo’ tidak hanya melibatkan rumpun keluarga, tetapi
juga melibatkan masyarakat sekitar, dalam masyarakat Toraja, ada bentuk-betuk
persektuan sosial. Persekutuan ini tidak saja didasarkan pada pertalian biasa,
tetapi juga pada adanya kesadaran saling membutuhkan serta kesadaran untuk
berkorban demi kehidupan bersama, hal ini juga berlaku dalam urusan upacara
Rambu Solo’, dimana seluruh anggota masyarakat secara sukarela terlibat dalam
kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara tersebut, mulai dari akhir
sampai selesai, disini terlihat bahwa masyarakat Toraja sejak dulu menjunjung
tinggi rasa kekeluargaan dan rasa kegotong-royongan. Selain masyarakat sekitar,
juga keluarga dan kenalan yang berasal dari luar kampung atau luar daerah juga
berusah untuk hadir. Sehingga upacara juga menjadi tempat pertemuan antara
seluruh sanak saudara serta kenalan, baik yang dekat maupun yang jauh.

3.2 Saran
a. Bagi pembaca

15
DAFTAR PUSTAKA

Bidiawati, dkk. 2009. Rambu Solo: Upacara Kematian Di Tana Toraja. [Serial
Online] https://tulisananakkos.wordpress.com/2010/06/24/makalah-rambu-
solo-upacara-kematian-di-tana-toraja/. [17 Maret 2016].

Panggarra, Robi. 2015. Upacara Rambu Solo’ Di Tana Toraja: Memahami


Bentuk Kerukunan Di Tengah Situasi Konflik. Makasar: STTP Jaffray.

16

Anda mungkin juga menyukai