Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KELOMPOK

KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL

“PEMAKAMAN MUSLIM SECARA ADAT TORAJA”

Dosen Mata Kuliah :

Di Susun oleh :

KELOMPOK IV :

SISKA PABALIK (CIB318003) ILHAM KURNIAWAN (C1B318065)

NURHASIA LAUBA (C1B318002 LA ODE FAISAL (C1B318058)

SARPIA ANGKA (C1B318056) MUH. AGUS SALIM JAYA (C1B318066)

EVI PUSPA RATRI (C1B318051) MUHAMMAD RAZIQUN (C1B318007)

IRMA SUSIYANTI (C1B318029) MUH. RAFLI NOVIQ. R (C1B318024)

SUDIRMAN (C1B318031)

JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
karuniaNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Kesejahteraan Sosioal
Dalam Masyarakat Multikultural yang berjudul “Pemakaman Muslim Secara Adat Toraja”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kami sebagai syarat memenuhi aturan yang
berlaku.
Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan Teman-teman sekelompok
yang turut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kami Penulis menyadari dalam penyusunan makalah Kesejahteraan Sosioal Dalam
Masyarakat Multikultural ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami penulis memohon
kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.
Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umunya dan bagi
penulis pada khususnya.

Kendari, September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL ..........................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………
1.1 Latar Belakang ………………………………………….
1.2 Rumusan masalah……………………………………….
1.3 Tujuan……………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN……… ……………………………………….
2.1 Rambu Solo’….........……………………………………
2.2 Aspek-Aspek Dalam Rambu Solo’……………………..
BAB III PENUTUP ...................................................................................
3.1 Kesimpulan ......................................................................
3.2 Saran ................................................................................
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebudayaan merupakan bagian yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat.
Tidak ada kehidupan masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan sebagai bagian dari ciri
khas mereka, dari hal itulah mereka dikenal sebagai suatu kelompok masyarakat yang
berbeda dengan kelompok, suku, maupun bangsa lain. Secara subyektif setiap individu
tentunya akan berbeda satu dengan yang lain. Namun jika individu-individu yang berbeda itu
terikat dalam sebuah pola budaya yang sama, mereka cenderung menjadi sama, bahkan
budaya itulah yang akan membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lain yang
berkumpul di tempat yang lain. Sebagai keolompok atapun suku yang berbeda dengan yang
lainnya, suku toraja juga memiliki budaya yang menjadikannya unik di tengah-tengah
kemajemukan suku-suku bangsa di Indonesia dan yang paling unik yaitu Pemakaman muslim
di laksanakan secara adat Toraja atas nama Muhammad Hatta Kamaruddin (Nek Ambun)
yang di laksanakan di Tallung Lipu Toraja Utara.
Salah satu budaya yang terkenal dari Toraja, bahkan dikenal sampai mancanegara,
adalah Rambu Solo’ atau upacara pemakaman yang dianggap paling rumit di dunia. Rambu
Solo adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga
yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang
yang telah pergi, yang membuat rumit adalah bahwa upacara Rambu Solo memiliki sejumlah
tingkatan, tergantung pada strata sosialnya mendiang dan keluarganya. Meraka yang
termasuk dalam kelompok orang berbeda atau kalangan bangsawan biasanya melangsungkan
upacara itu dengan cara yang mewah, hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa
mereka memang berasal dari kelompok masyarakat kalangan atas. Sebaliknya, kelompok
masyarakat yang tidak punya atau berasal dari kelompok hamba/ rakyat biasa tidak dapat
melakukan upacara itu sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok bangsawan, hal itu bukan
saja karena mereka memang tidak mampu secara materi untuk melaksanakannya, melainkan
juga secara etika dalam kebudayaan tersebut mereka tidak diperbolehkan. Upacara rambu
solo merupakan sebuah upacara yang sarat dengan nilai-nilai adat istiadat (aluk) yang
mengikat masyarakat Toraja. Kepercayaan lama percaya bahwa “aluk diciptakan di langit.
Oleh karena itu, aluk itulah pula dan seluruh makhluk tunduk kepada aluk.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Suku Toraja’ ?
2. Apa itu Rambu Solo’ ?
3. Bagaimana Proses Rambu Solo’
4. Bagaimana aspek – aspek Rambu Solo’

1.3 Tujuan
1. Mengetahui suku Toraja
2. Mengetahui apa yang di maksud Rambu Solo’
3. Menganalisa Proses Rambu Solo’
4. Menganalisa aspek – aspek Rambu Solo’
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Suku Toraja

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya
masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen dan ada juga yang memeluk agama Islam.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri
atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja
terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual
pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari.
2.2 Definisi Rambu Solo’
Rambu Solo adalah upacara pemakaman yang berada di Toraja. Upacara ini
merupakan adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun-temurun ini
mewajibkan keluarga yang ditinggal mati membuat pesta besar sebagai penghormatan
terakhir kepada mendiang yang telah pergi. Rambu Solo juga merupakan upacara yang
meriah karena dilangsungkan selama berhari-hari. Waktu pelaksanaan Rambu Solo adalah
siang hari, yaitu saat matahari condong ke barat dan biasanya memakan waktu dua sampai
tiga hari, bahkan dua minggu bagi kalangan bangsawan.
Upacara rambu solo’, salah satu hal yang sangat penting adalah upacara pemakaman.
“tahapan-tahapan pelaksanaan upacara Rambu Solo’ merupakan suatu peristiwa yang
mengendung dimensi religi dan sosial. Maksudnya, upaca rambu Solo’ itu tidak dapat
dipisahkan dari nilai-nilai kepercayaan orang Toraja, secara khusus dengan apa yang disebut
sebagai “Aluk Todolo” atau animisme. Selain itu, upacara itu juga tidak dapat dilepaskan dari
masalah sosial sehingga di dalam pelaksanaannya harus memperhatikan strata sosial dari
orang yang meninggal.
2.3. Simbol - Simbol dalam Rabu Solo’
Pelaksanaan Rambu Solo juga identik dengan penyembelihan kerbau dan babi. Tetapi
yang paling ditonjolkan dalam upacara tersebut adalah penyembelihan kerbau. Kerbau
merupakan hal utama yang harus ada dalam upacara ini. Masyarakat Toraja beranggapan
bahwa kerbau adalah kendaraan yang ditunggangi arwah si mati untuk mengantarnya ke
surga. Kerbau yang disembelih berkisar puluhan ekor bahkan jumlah itu bisa mencapai
ratusan berdasarkan strata sosialnya. Jenis kerbau yang disembelih adalah kerbau
biasa/kerbau hitam, kerbau balian (kerbau aduan), dan kerbau belang (kerbau Bonga).
Berbeda dengan budaya lain di Indonesia, budaya Rambu Solo’ di Toraja justru
menunjukkan atau memperjelas identitas diri dari pelakunya, dalam kebudayaan masyarakat
Toraja dikenal empat macam tingkat atau strata social :
a. Tana’ bulaan atau golongan bangsawan
b. Tana’ basi atau golongan bangsawan menengah
c. Tana’ karurung atau masyarakat biasa/ rakyat merdeka, dan
d. Tana’ kua-kua atau golongan hamba
Kelompok sosial itu merupakan tatanan yang mengatur perilaku para anggota kelompokya,
termasuk memberi ciri-ciri yang khas dalam melaksanakan upacara Rambu Solo’
2.4 Tingkatan Upacara Rambu Solo’
Bentuk upacara Rambu Solo’ yang dilaksanakan di Toraja disesuaikan dengan
kedudukan sosial masyarakat. Oleh karena itu, upacara Rambu Solo’ di Toraja dibagi
kedalam empat tingkatan, dan setiap tingkatannya memiliki beberapa bentuk.
a. Upacara Disilli’
Upacara Disilli’ adalah upacara pemakaman yang paling rendah di dalam Aluk
Todolo, yang diperuntukkan bagi strata yang paling rendah atau anak-anak yang belum
mempunyai gigi.
1. Dipasilamun Toninna, yaitu upacara pemakaman yang dilakukan bagi anak-anak yang
meninggal pada waktu lahir. Anak itu akan dikuburkan dengan plasentanya, sebagai
pemakaman bersejarah
2. Didedekan Palungan, yaitu upacara pemakaman bagi orang yang meninggal, tanpa ada
binatang yang dikorbankan. Hal itu diganti dengan mengetuk/ memukul tempat makan
babi saja
3. Dipasilamun Tallok Manuk, yaitu upacara pemakaman bagi orang yang meninggal, yang
dikuburkan bersama dengan telur ayam, pada malam hari. Pemakaman itu tanpa
pemotongan binatang korban
4. Dibai Tungga’, yaitu upacara pemakaman yang dilakukan dengan cara mengantar
jenazah kekuburan pada malam hari dan disertai dengan pemotongan seekor babi
b. Upacara Dipasangbongi
Upacara Dipasangbongi adalah upacara pemakaman yang hanya berlangsung selama
satu malam. Upacara itu dilaksanakan bagi kelompok tana’ karurung (rakyat merdeka/ biasa).
Namun, upacara itu bisa saja dilakukan oleh orang dari tana’ bulaan dan bassi jika secara
ekonomi mereka tidak mampu.
1. Dibai A’pa’, yaitu upacara selama satu malam dengan hanya mengorbankan babi empat
ekor
2. Ditedong Tungga’, yaitu upacara pemakaman selama satu malam dengan kerbau satu
ekor, tetapi babi tidak ditemtukan banyaknya
3. Diisi, yaitu upacara pemakamn bagi anak yang belum memiliki gigi.. anak itu dapat
diberi gigi emas atau besi, lallu dipotongkan kerbau seekor. Upacaranya berlangsung
selama satu malam, lalu besoknya dikuburkan. Upacara itu biasanya dilakukan oleh
orang yang berasal dari kelompok bangsawan tinggi dan menengah
4. Ma’tangke Patomali, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama satu malam
dan diberi kerbau dua ekor sebagai korban. Upacara itu disebut “To Ditanduk Bulaan”.
c. Upacara Dipasangbongi
Dalam upacara Dibatang atau Didoya Tedong, setiap hari kerbau satu ekor
ditembatkan pada sebuah patok dan dijaga oleh orang sepanjang malam tanpa tidur. Selama
upacara itu berlangsung, setiap hari ada pemotongan kerbau satu ekor. Upacara itu
diperuntukkan bagi bangsawan menengah (tana’ bassi), tetapi juga bisa dipakai untuk kaum
bangsawan tinggi (tana’ bulaan) yang tidak mampu membuat upacara tana’ bulaan.
Upacara itu dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Dipatallung bongi, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama 3 hari 3 malam
dengan korban kerbau sekurang-kurangnya tiga ekor dan babi secukupnya. Pada upacara
itu dibuat pondok-pondok dihalaman tongkongan yang ditempati oleh seluruh keluarga
selama upacara berlangsung
2. Dipalimang bongi, yaitu upacara pemakam yang berlangsung 5 hari 5 malam dengan
korban kerbau sekurang-kurangnya lima ekor dan babi secukupnya. Pada upacara itu,
selain membangun pondok dihalaman tonngkongan, dibuatkan juga pondok upacara
ditempat yang dinamakan “rante”
3. Dipapitung bongi, adalah upacara pemakaman yang berlangsung selama 7 hari 7 malam
dengan korban kerbau sekurang-kurangnya tujuh ekor dan babi secukupnya. Walaupun
upacara itu berlangsung 7 hari, ada satu hari yang digunakan untuk beristirahat meskipun
acara korban terus berlangsung. Hari itu dikenal dengan istilah “Allo Torro” (hari
istirahat). Tambahan dalam upacara itu adalah pembuatan “duba-duba”, yaitu tempat
pengusung mayat yang dibentuk seperti rumah adat Toraja. Pada upacara dipatallung
bongi dan dipalimang bongi, hal itu tidak dibuat, kecuali “saringan”, yaitu tempat
pengusung mayat tanpa tutup, yang menyerupai rumah adat Toraja
d. Upacara Rapasan
Upacara rapasan adalah upacara pemakaman yang dikhususkan bagi kaum bangsawan
tinggi (tana’ bulaan). Dalam upacara jenis rapasan, upacara dilaksanakan sebanyak dua kali.
Upacara itu dibagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Upacara rapasan diongan atau didandan tana’ (artinya dibawah atau menurut syarat
minimal), dalam upacara itu korban kerbau sekurang-kurangnya sembilan ekor, dan babi
sebanyak yang dibutuhkan/ sebanyak banyaknya. Karena upacara rapasan dilaksanakan
sebanyak dua kali, upacara pertama dilaksanakan selama tiga hari dihalaman
tongkongan, dan upacara kedua dilaksanakan di rante. Upcara pertama disebut sebagai
Aluk pia atau aluk banua, yang berlangsung sekurang-kurangnya 3 hari di halaman
tongkongan, sedangkan upacara kedua disebut Aluk Palao atau Aluk Rante karena
pelaksanaannya berlangsung di rante dan dapat dilangsungkan selama yang diinginkan
oleh keluarga. Jumlah kerbau yang dikorbankan dalam upacara pertama itu sama dengan
jumlah yang dikorbankan dalam upacara kedua meskipun kadang-kadang dilebihkan satu
atau dua ekor pada upacra kedua.
2. Upacara rapasan sundun atau doan (upacara semourna/ atas). Upacara itu diperuntukkan
bagi banngsawan tinggi yang kaya atau para pemangku adat. Dalam upacara itu
dibutuhkan korban kerbau sekurang-kurangnya 24 ekor, dengan jumlah babi yang tidak
terbatas untuk dua kali pesta upacaranya berlangsung seperti upacara rapasan diongan
3. Upacara rapasan sapu randaan (secara literal diartikan “setara dengan tepi sungai”)
berlangsung dengan korbankerbau yang melimpah (ada yang mengatakan di atas 24, 30,
bahkan diatas 100 ekor). Pada upacara itu, selain menyiapkan duba-duba (tempat
pengusung mayat yang mirip dengan rumah tongkongan), disiapkan juga tau-tau, yaitu
patung orang yang meninggal, yang diarak bersama dengan mayat ketika akan
dilaksanakan aluk palaoatau aluk rante.

2.5 Prosesi Upacara Rambu Solo’


Bagi masyarakat Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya
mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’ maka
orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ‘sakit’, maka
orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih
hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal
yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya. Jika keluarga si
mati itu belum mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah itu akan disimpan di
tongkonan (rumah adat Toraja) sampai pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban
untuk melaksanakan upacara tersebut. Penyimpanan jenazah itu bisa memakan waktu
bertahun-tahun.
Setelah pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban tersebut, barulah Rambu
Solo dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari rumah duka ke tongkonan Massing (tongkonan
pertama tempat dia berasal) di Tallung lipu Toraja Utara, disana dilakukan penyembelihan 1
ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma’tinggoro Tedong, yaitu cara
penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan
saja. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka
yang hadir.
Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi
berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan
kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para
sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak
kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh
keluarga yang sedang berduka.
Setelah jenazah ada di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama
prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-
lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah
adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur, di rante
sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas. Kemudian acara selanjutnya adalah
dilaksanakan menurut aturan agama islam, seperti penguburan, malam – malam takziah,
sampai tahlil penutup dan pada tahlilan penutup di laksanakan selama 3 hari berturut – turut :
Hari pertama khusus acara muslim, hari kedua dan ketiga adalah acara umum untuk
keluarga yang Kristen seperti penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari
penjuru tanah air. Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau
merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua
tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante.
Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh
orang-orang Toraja hingga sampai pada hari penguburan.
2.6 Masalah Akibat Upaca Adat Rambu Solo’
Upacara pemakaman ‘Rambu Solo’ membutuhkan biaya yang sangat besar.
Apalagi, harus memotong puluhan bahkan ratusan hewan terdiri dari kerbau, sapi, dan
lainnya. Sebelum upacara ini dilaksanakan maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai
orang sakit dan tetap ditempatkan dalam tongkongan, untuk masyarakat yang memiliki satus
sosial rendah, perlu menunggu waktu yang lama sehingga upacara rambu solo dapat
dilaksanakan.

2.2 Aspek – Aspek dalam Rambu Solo’


2.2.1 Upacara Adat Rambu Solo’ dengan Aspek Fisik
Upacara adat Rambu Solo’ akan dilaksanakan apabila keluarga si mati mampu
melaksanakan upacara adat rambu solo’ jika keluarga si mati itu belum mampu melaksanakan
upacara Rambu Solo, jenazah itu akan disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja) sampai
pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban untuk melaksanakan upacara tersebut.
Penyimpanan jenazah itu bisa memakan waktu bertahun-tahun Setelah pihak keluarga
mampu menyediakan hewan kurban tersebut, barulah Rambu Solo dilaksanakan.
Proses panjang pada upacara adat rambu solo’ juga menyebabkan kelelahan fisik dan
psikis bagi keluarga yang ditinggalkan yaitu pada saat kelurga menerima tamu yang
berlansung selama tujuh hari. Kesibukkan ini meliputi menyediakan makanan dan minuman
bagi para tamu, belum kegiatan lainnya yakni apabila memiliki balita yang masih kecil maka
beban akan bertambah dengan mengasuh anak sehingga mengakibatkan perubahan jam tidur
yang akan menambah kelelahannya semakin besar.

2.2.2 Upacara Adat Rambu Solo’ dengan Aspek Sosial


1. Kekeluargaan
Apabila seorang meninggal dunia dalam kalangan suku Toraja, Upacara pemakaman
tidak hanya dihadapi oleh suami, istri dan anak-anaknya, tetapi juga keluarga besar (rumpun
keluarga) dari simati. Seluruh keluarga meskipun tinggal ditempat yang jauh, berusaha untuk
hadir dan berpartisipasi dalam upacara Rambu Solo’. Keluarga-keluarga ini secara bersama
menanggulangi biaya pelaksanaan upacara rambu solo’. Bila ada keluarga yang tidak
mengambil bagian maka ia akan menanggung beban moral yang mengakibatkan ia dapat
tersisih dari komunitas keluarga. Juga keluarga yang lain akan memberi penilaian yang
negatif terhadapnya karena dianggap tidak memiliki solidaritas keluarga, hal ini menujukkan
dalam masyarakat Toraja sistem kekeluargaan dan kekerabatan merupakan sasuatu hal yang
penting dan bernilai tinggi. Melalui upacara Rambu Solo’ hubungan kekerabatan disegarkan
kembali, karena upacara ini merupakan pertemuan kaum kerabat dengan semua handai tolan
dan semua kenalan biasa. Dikalangan orang toraja saudara sepupu sampai tahap ke tujuh
masih dianggap saudara dekat.
2. Stratifikasi sosial
dalam masyarakat Toraja stratifkasi sosial (tana’) dikenal dalam empat tingkatan:
- Kelas bangsawan tinggi (tana’ bulaan)
- Kelas bangsawan menengah (tana bassi)
- Kelas orang-orang merdeka (tana karurung)
- Kelas hamba sahaya (tana’ kua-kua)
Stratifikasi ini bersifat tertutup (closed social stratification) dan membatasi kemungkinan
pindahnya seseorang dari lapisan lain ke kasta lain. Pembagian ini dipelihara secara turun-
temurun. Jadi dalam masyrakat Toraja, pelaksanaan upacara Rambu Solo’ juga harus
didasarkan pada tana’. Ini berarti tingkatan upacara untuk tana’ kua kua, tidak boleh sama
dengan upacara untuk tana karurung dan sebagainya, meskipun seorang mampu dari segi
ekonomi, dengan demikian upacara Rambu Solo’ mencermikan martabat atau harga diri dari
suatu keluarga khusunya golongan bangsawan, dengan kata lain keberhasilan atau
kemeriahan penyelenggaran upacara akan mempunyai nilai sosial yang tinggi dan sekaligus
menambah gengsi suatu keluarga. Sebaliknya keluarga akan merasa sangat malu bilamana
tidak dapat mengupacarakan orang mati mereka sebagaiman layaknya
3. Persekutuan
Upacara Rambu Solo’ tidak hanya melibatkan rumpun keluarga, tetapi juga
melibatkan masyarakat sekitar, dalam masyarakat Toraja, ada bentuk-betuk persektuan sosial.
Persekutuan ini tidak saja didasarkan pada pertalian biasa, tetapi juga pada adanya kesadaran
saling membutuhkan serta kesadaran untuk berkorban demi kehidupan bersama, hal ini juga
berlaku dalam urusan upacara Rambu Solo’, dimana seluruh anggota masyarakat secara
sukarela terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara tersebut,
mulai dari akhir sampai selesai, disini terlihat bahwa masyarakat Toraja sejak dulu
menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan rasa kegotong-royongan. Selain masyarakat sekitar,
juga keluarga dan kenalan yang berasal dari luar kampung atau luar daerah juga berusah
untuk hadir. Sehingga upacara juga menjadi tempat pertemuan antara seluruh sanak saudara
serta kenalan, baik yang dekat maupun yang jauh.
2.2.3 Upacara Adat Rambu Solo’ dengan Aspek Mental
Upacara kematian Rambu Solo, kesedihan tidak terlau tergambar di wajah-wajah
keluarga yang berduka, sebab mereka punya waktu yang cukup untuk mengucapkan selamat
jalan kepada saudara yang meninggal tersebut, sebab jenazah yang telah mati biasanya
disimpan dalam rumah adat (tongkonan), disimpan bisa mencapai hitungan tahun. Maksud
dari jenazah disimpan ada beberapa alasan, pertama adalah menunggu sampai keluarga bisa
atau mampu untuk melaksanakan upacara kematian Rambu Solo, kedua adalah menunggu
sampai anak-anak dari si mati datang semua untuk siap menghadiri pesta kematian ini.
Karena mereka menganggap bahwa orang yang telah mati namun belum diupacarakan tradisi
Rambu Solo ini dianggap belum mati dan dikatakan hanya sakit, karena statusnya masih “
sakit “. Orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang
masih hidup.
Bagi strata sosial paling bawah (tana’ kua-kua) maka beban biaya yang akan
dikeluarkan untuk prosesi pemakaman adat akan menimbulkan beban mental tersendiri
karena ketiadaan biaya untuk melaksanakan upacara.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan ulasan makalah di atas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
a. Upacara adat rambu solo’ di Tana Toraja terkait aspek fisik yang meliputi, kelelahan fisik
dikarenakan prosesi upacara yang panjang.
b. Upacara adat rambu solo’ di Tana Toraja terkait aspek sosial ditinjau dari keluarga, strata
sosial, dan persekutuan dimana solidaritas keluarga masih kental hal ini terbukti dalam
partisipasi upacara rambu solo’ serta penangulangan bersama biaya upacara rambu solo’.
Berdasarkan strata sosial kemeriahan upacara adat rambu solo’ mencerminkan martabat
dan harga diri keluarga. Berdasarkan perseskutuan dimana seluruh anggota masyarakat
secara sukarela dan gotong royong membantu dalam kegiatan upacara rambu solo’
tersebut.
c. Upacara adat rambu solo’ di Tana Toraja terkait aspek mental bahwa beban biaya yang
ditanggung keluarga yang ditinggalkan menimbulkan stressor tersendiri khususnya bagi
strata sosial paling bawah (tana’ kua-kua), serta kesedihan yang tidak terlalu tergambar
diwajah-wajah keluarga yang berduka, hal ini dikarenakan meraka mempunyai waktu
yang cukup untuk mengucapkan selamat jalan kepada saudara yang meninggal tersebut

3.2 Saran
Masyarakat Toraja harus menjaga kekeluargaan, toleransi yang kuat dan saling
menghargai agar tali persaudaraannya yang kuat bisa terjaga dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Toraja Unik, dkk. 2019. Pemakaman Muslim Secara Adat Toraja. (YouTube)

https://www.academia.edu/23712372/KEBUDAYAAN_UPACARA_RAMBU_SOLO_TAN
A_TORAJA
Bidiawati, dkk. 2009. Rambu Solo: Upacara Kematian Di Tana Toraja. [Serial Online]

https://tulisananakkos.wordpress.com/2010/06/24/makalah-rambu-solo-upacara-kematian-di-
tana-toraja/. [17 Maret 2016].

Panggarra, Robi. 2015. Upacara Rambu Solo’ Di Tana Toraja

http://www.rssemengresik.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=30&Itemid=1

Anda mungkin juga menyukai