Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH MASUKNYA BERITA INJIL DI NIAS SAMPAI TERBENTUKNYA GEREJA BNKP SEKARANG INI

1. 1. Nias : Tempat Gereja BNKP Tumbuh dan Berkembang

Nias adalah sebuah pulau yang terletak di lepas pantai sebelah Barat pulau Sumatera. Sebenarnya masih banyak pulau-
pulau yang lain yang ada disekitarnya, a.l. Pulau Batu, Pulau Banyak, Pulau Mentawai, Pulau Enggano, dll, tetapi pulau
Nias adalah yang terbesar. Asal usul nama Nias sendiri sampai sekarang masih menjadi perdebatan di antara para ahli yang
meneliti tentang Suku dan Budaya Nias.

Kata Tanö Niha yang akhirnya selalu menjadi sebutan bagi Pulau Nias. Tanö berarti “tanah, bumi” dan Niha artinya
“manusia, orang”. Sehingga Tanö Niha berarti tanah atau bumi manusia. Penduduknya selalu menyebut dirinya sebagai
Ono Niha. Ono artinya “anak” atau “manusia” sehingga Ono Niha berarti “anak manusia”. Sedangkan orang lain yang
bukan Nias disebut dengan Ndrawa (orang asing, orang luar Nias), misalnya Ndrawa Aceh (orang Aceh), Ndrawa Hulöndra
(orang Belanda) . Kecuali orang Cina yang dipanggil dengan Gehai (Kehai).

Mengenai asal usul kata Nias, menurut E. Fries (seorang misionaris) besar kemungkinan adalah sebutan dari Ndrawa
(orang Asing) baik orang Melayu, Eropa, dll yang kurang bisa mengeja kata Niha. Menurut Tuhoni Telaumbanua, orang
Nias telah lama mendiami Pulau Nias. Mereka juga beradaptasi dengan suku bangsa lain seperti Minang, Aceh, Batak,
Bugis bahkan dari luar negeri seperti Cina, Persia, Belanda, Arab, dll. Dari sini muncul berbagai teori tentang asal usul
orang Nias berdasarkan persamaan kulit, budaya, tradisi, bahasa, dsb. Namun secara umum orang Nias memiliki kulit
kuning langsat, mata agak sipit, tinggi rata-rata 150-170 cm. Dari ciri-ciri fisik ini tidak jarang orang Nias baik yang ada
di Nias terlebih diperantauan, orang menyebut mereka seperti keturunan Cina, Korea atau Jepang.

2. Masuknya Berita Injil di Nias.

2.1. Agama Asli Suku Nias

Sebelum datangnya berita Injil di Nias yang nantinya melahirkan satu lembaga gereja BNKP, orang Nias memiliki satu
agama suku yang disebut dengan agama “penyembah roh” atau agama Pelebegu yang artinya “penyembah patung”
(Mohohe Adu). Sebagai alat untuk penyembahan, mereka membuat patung-patung kayu yang disebut adu. Patung-patung
kayu ini dipercaya sebagai tempat roh leluhur disebut adu satua (patung leluhur), sehingga harus dirawat dengan baik.
Sebagai tempat ibadah yang mana patung-patung ini ditempatkan dibangun satu tempat atau rumah yang disebut osali (kata
ini nanatinya dipakai untuk Gereja dalam bahasa Nias). Untuk menyampaikan segala permohonan, keluhan, pergumulan
kepada para roh leluhur membutuhkan seorang penghubung yang disebut dengan ere (imam).

Selain itu, bagi orang Nias, semuanya nilai, norma dan tata kehidupan masyarakat diatur dalam dan melalui Fondrakö
(Nias) atau di Nias Selatan disebut Famatö Harimo/Famadaya Saembu. Fondrakö berarti menetapkan artinya semua
aturan ditetapkan dalam musyawarah bersama. Yang mengikuti akan selamat, namun yang tidak taat akan menerima
kutukan. Melihat dari esensinya Fondrakö ini mirip dengan Hukum Taurat bagi orang Yahudi. Orang Nias sangat taat dan
takut dengan fondrakö ini sehingga susah menerima Injil. Sama halnya dengan ajaran-ajaran Yesus yang tidak berterima
bagi orang Yahudi.

2.2. Masuknya Berita Injil di Nias

2.2.1 Masa Permulaan Yang Sulit (1865 – 1890)

Pada awalnya memang sulit merobah kepercayaan asli orang Nias karena telah mengakar dalam diri mereka. Hal ini
ditambah pada saat itu orang Nias sedang berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda dengan ciri-ciri umum berkulit
putih, rambut pirang dan tinggi besar. Sehingga pandangan mereka setiap orang dari luar yang memiliki ciri-ciri di atas
termasuk misionaris dianggap sebagai bagian dari kolonialisme Belanda. Kondisi ini ditambah dengan masih terisolirnya
daerah-daerah di Nias dan setiap kampung tertutup dengan dunia luar. Belum lagi persoalan wabah penyakit malaria yang
memang tinggi di Nias pada saat itu hingga sekarang ini.

Usaha pekabaran Injil di Nias mula-mula berasal dari misi Katolik dari Prancis, yaitu Missions Etrangers de Paris pada
tahun 1922-1923. Mereka mengutus 2 (dua) orang Pastor, bernama Pere Wallon dan Pere Barart. Misi ini tidak berhasil
karena keduanya jatuh sakit akibat wabah penyakit malaria dan salah seorang dari mereka meninggal dunia setelah 3 (tiga)
hari tinggal di sana dan 3 (tiga) bulan berikutnya menyusul yang seorang lagi.

Barulah pada tahun 1965, seorang penginjil Jerman, bernama Ernst Ludwig Denninger tiba di Gunungsitoli pada tanggal
27 September 1865. Dia adalah utusan dari badan Zending, Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen, Jerman
(tahun 1971 menjadi VEM, sekarang UEM)[1]. Awalnya Denninger bertugas di Kalimantan. Sehubungan sedang terjadi
Perang Hidayat di sana, dia beserta 9 (sembilan) orang misionaris lainnya melarikan diri dan mereka tiba di Padang
(Sumatera Barat).

Ketika teman-temannya yang lain melanjutkan misi Kristus ke tanah Batak, Dennigger tinggal di Padang, oleh karena
istrinya sakit keras. Di sana dia bertemu dengan orang-orang perantauan dari Nias (± 3000 orang), bergaul dengan mereka
dan tertarik untuk datang ke Nias. Sehingga, Denninger belajar bahasa Nias. Dalam pertemuannya dengan orang Nias di
Padang pada tahun 1863, dia pernah melakukan pembaptisan kepada seorang anak perempuan Nias, berumur 17 tahun.
Nama kecilnya adalah “Ara”, dan setelah dibaptiskan diberi nama oleh Tuan Denninger, Gertruida Christina[2] . Dan
akhirnya dia mengambil keputusan untuk melayani di Nias, sehingga pada tanggal 27 September 1965, Tuan E. Deninger
tiba di Gunungsitoli. Tanggal kedatangannya ini oleh gereja-gereja di seluruh Pulau Nias menjadikannya sebagai awal
masuknya Injil di Pulau Nias atau yang disebut Yubileum dan diperingati setiap tahun.

Denninger merasa bahwa keberhasilan dalam pekabaran Injil di tengah-tengah orang Nias salah satunya melalui pendidikan
selain kesehatan, diakonia (pemberian makanan, tembakau, pakaian, dll) dan pembangunan ekonomi masyarakat (salah
satunya cara bercocok tanam yang baik). Itulah sebabnya pada tahun 1866, Deninger, membuka Sekolah Anak-Anak di
Gunungsitoli. Dia mengajar mereka membaca dan menulis. Muridnya hanya 6 (enam) orang, salah satunya adalah Kaneme,
anak seorang Salawa (bangsawan). Namun mereka datang hanya karena senang dengan “pemberian” Denninger. Sehingga
mereka belum siap untuk dibaptis. Pada saat itu juga, Denninger mulai menterjemahkan Injil Lukas dan Yohanes dalam
bahasa Nias, yang menjadi kekuatannya dalam mengabarkan Injil.

Pada tahun 1872 datang seorang lagi missionaris dari RMG, Jerman, yaitu J.W. Thomas. Untuk sementara waktu, dia
tinggal bersama dengan Denninger di Gunungsitoli untuk belajar bahasa Nias. Kemudian, dia pindah ke Ombolata. Tahun
1873 datang lagi seorang missionaris yaitu Friedrich Kramer. Dan Kramer inilah yang membaptiskan pertama sekali
orang Nias menjadi Kristen yaitu sebanyak 25 orang di Desa Hilina’a atas nama Yawa Duha (Kepala Kampung Hilina’a),
beserta keluarganya. Hal ini terjadi pada tanggal 05 April 1874 bertepatan dengan Paskah.

Pada tanggal, 08 Agustus 1875, terjadi perpisahan kepada Denninger, oleh Thomas dan Kramer beserta semua yang telah
dibaptis. Pada saat inilah diadakan sakramen Perjamuan Kudus yang pertama sekali di gereja Nias (± 100 orang). Dua hari
kemudian, pada tanggal 10 Agustus 1875, Tuan Deninger, meninggalkan Nias menuju Batavia (Jakarta sekarang), oleh
karena kondisi kesehatan yang kurang baik. Satu tahun kemudian, tepatnya tahun 22 Maret1876, Denninger meninggal di
sekitar wilayah Bogor. Oleh Kramer, Denninger diberikan julukan, “Ama Halõwõ Zamatenge Ba Danõ Niha” (Bapa
Pemberita Injil di Nias) . Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa sampai sekarang, foto Denninger tidak pernah
diketemukan. Dan sebagai tanda untuk mengingat dirinya salah satu gereja diberi nama Denninger, yaitu Jemaat BNKP
Denninger, yang berada di Tohia, Gunungsitoli, kurang lebih 2 km dari pusat kota Gunungsitoli.

Pada tahun 1876 datang Dr. W.H. Sunderman di Gunungsitoli, dan dia langsung belajar bahasa Nias. Kemudian pada
1886 dia tinggal di Lõlõwua sampai tahun 1902. Selama di Lõlõwua, Sundermann menterjemahkan Alkitab dalam bahasa
Nias seperti yang kita kenal sampai sekarang dan selesai pada tahun 1908. Demikian juga buku Agende atau liturgi gerejani
dari bahasa Jerman ke bahasa Nias, dan Katekhismus Luther.

Buah dari pekerjaan para misionaris ini mulai tampak ketika pada tahun 1876 berdiri Gereja pertama di Nias, di Ombõlata.
Kemudian untuk membantu mereka pada tahun 1895 pada bulan Maret dibuka Sekolah Guru Injil pertama di Ombolata.

Pada tahun 1881 datang lagi misionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia ini yang mengantikan J.W. Thomas di Ombõlata
pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi berusaha membuka pos Pekabaran Injil di Sa’ua (Nias Utara), meskipun
usahanya itu ternyata gagal.

Walaupun banyak kesulitan yang dialami serta jangkauan Pekabaran Injil yang dapat dicapai tidak begitu luas, namun
dalam periode ini telah berhasil dibaptis sebanyak 699 orang (148 orang di Gunungsitoli, 348 orang di Ombõlata dan 203
orang di Dahana). Juga diantara mereka telah dipilih beberapa orang menjadi penatua. Daerah yang dicapai hanya di sekitar
Gunungsitoli saja, dengan 3 Pos Pekabaran Injil yaitu Gunungsitoli, Ombõlata, dan Dahana. Pada masa ini juga dibangun
gereja pertama di Nias di Ombolata pada tahun 1876.

2.2.2. Masa Perluasan / Penyebaran (1890-1914)

Usaha Pekabaran Injil pada periode ini ternyata mengalami kemajuan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada
periode ini berhasil masuk di Nias bagian Tengah sampai ke Nias bagian Barat, Pantai sebelah Timur sampai di Nias bagian
Selatan, Nias bagian Utara dan di Pulau-pulau Batu.

Masuknya Injil di Nias bagian Tengah dan Nias Bagian Barat

 Pada tahun 1896, Dr. W.H. Sundermann membuka pos pelayanan di Lõlõwua (17 km dari kota Gunungsitoli). Di
Lõlõwua ini Sundermann berhasil menterjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Nias, ditambah dengan Katekhismus
Luther yang disebut “Lala Wangorifi”.
 Tahun 1905, E. Fries membuka pos pekabaran injil di Sifaoro’asi (50 km arah Nias Timur). Baru 4 tahun setelah
kedatangannya di sana, tepatnya tanggal 26 Desember 1909 di Sifaoro’asi dapat dilaksanakan pembaptisan yang
pertama sekaligus dengan peresmian Gedung Gereja yang pertama di situ.
 Di Nias bagian Barat H. Lagemann bersama A. Lett telah berhasil tiba di Sirombu pada tahun 1892, dan
membuka Pos Pekabaran Injil di situ di bawah asuhan A. Lett. Satu tahun kemudian (tahun 1893) H. Lagemann
juga berhasil membuka Pos Pekabaran Injil di Lahagu. Tahun 1806 Pendeta Bassfeld membuka pos pekabaran
injil di Lõlõmoyo, Mandrehe. Menyusul lagi pada tahun 1899 Pendeta Sporket membuka Pos Pekabaran Injil di
Lõlõmboli Moro’õ. Demikian pula bersamaan dengan itu Pendeta W. Hoffman membuka pos pekabaran injil di
Hinako.
 Pada tahun 1905 Pendeta A. Pilgenroder membuka Pos Pekabaran Injil di Tugala Oyo.
Masuknya Injil di Pantai bagian Timur sampai di Nias bagian Selatan

 Usaha pekabaran injil di Nias bagian Selatan baru dapat dibuka pada tahun 1908, yaitu setelah pemerintah Hindia
Belanda berhasil menduduki õri Maenamõlõ. Sehingga Pendeta H. Rabeneck berhasil membuka pos pekabaran
Injil di sana pada tahun 1909 dengan dibantu oleh dua orang tenaga guru yaitu Faedogõ di Hiligeo dan Fangaro di
Hilisatarõ. Baptisan pertama di sana baru terjadi pada tahun 1916. Berita Injil baru masuk di Hilisimaetanõ pada
tahun 1911, yaitu dengan datangnya Pendeta B. Borutta di sana.

Masuknya Injil di Nias bagian Utara

 Pada tahun 1903 Pendeta Noll membuka Pos Pekabaran Injil di Bo’usõ. Orang-orang yang datang dan pergi
melalui Bo’usõ ini mempercepat tersiarnya berita Injil di kalangan penduduk di Nias Bagian Utara, sehingga pada
tahun 1910 Tuhenõri Ama De’ali yang bergelar Samasiniha dari Hilindruria bersama 3 orang Salawa datang
meminta kepada Poendeta Noll agar membuka pos Pekabaran Injil di Hilimaziaya.
 Pada tahun 1911 Pendeta Schlipkoter membuka Pos Pekabaran Injil di Hilimaziaya. Kemudian berita Injil tersiar
mulai dari Hilimaziaya dan dari Tugala Oyo sampai di Afulu dan Lahewa.
 Akhirnya pada tahun 1922 Pendeta Skubina membuka pos pekabaran Injil di Lahewa.

Masuknya Injil di Pulau-Pulau Batu

Masuknya injil di Pulau-pulau Batu bukan atas usaha RMG tetapi atas usaha Luthersche Zendings Genotschap dari Negeri
Belanda. Yang membawa berita Injil di sana adalah Johannes Kersten yang tiba di Pulau Tello pada tanggal 25 Februari
1889. Seperti halnya di daratan Pulau Nias, Pendeta Johannes Kersten di sana juga menghadapi wabah penyakit
dan permusuhan antar kelompok penduduk. Pada akhir tahun itu datang pula Pendeta C.W. Frickenshmit, dan tidak lama
kemudian menyusul P. Landwer yang berhasil membuka pos pekabaran injil di Pulau Sigata pada tahun 1896.

Mula-mula mereka berusaha membuka sekolah-sekolah di pulau-pulau yang berdekatan, jadi dari situ diteruskan usaha
pekabaran injil. Dengan cara ini pada tahun 1912 dapat dibuka Pos pekabaran injil di Pulau Mari, pada tahun 1913 di Pulau
Betu’a, tahun 1914 di Pulau Sifika dan tahun 1916 di Pulau Lora.

Gereja yang pertama didirikan di Pulau-pulau Batu disebut BKP (Banua Keriso Protestan) pada tahun 1945 dan akhirnya
menggabungkan diri dengan BNKP Pada Persidangan Majelis Sinode BNKP pada tahun 1960 di Ombõlata. Hal ini semakin
mempererat kesatuan antara orang Nias di daratan dengan orang Nias yang ada di kepulauan Batu.

3. Masa Pertobatan Masal (Fangesa Dödö Sebua)[3]

Perkembangan dan pertumbuhan kekristenan di Nias mencapai puncaknya pada tahun 1916 dengan apa yang disebut
Fangesa Dödö Sebua (Pertobatan Hati Massal) semacam Gerakan Kebangunan Rohani Besar/Masal. Peristiwa ini bermula
di Humene (± 10 km dari Gunungsitoli) ketika seorang “guru bantu” di sekolah Zending bernama Filemo pada bulan April
1916. Pada saat itu sedang ada berlangsung kebaktian Paskah sekaligus Perjamuan Kudus dengan misionaris Ruderrsdorf
sebagai pelayannya. Setelah mendengar Firman Tuhan tiba-tiba Filemo menangis dan menjerit sambil berkat “Horögu!
Horögu!” (Dosaku! Dosaku!). Orang banyak mengira dia “gila” atau “sakit”, tetapi Ruderrsdorf yang berlatar belakang
Pietis memahami kondisi ini. Dia mengatakan bahwa Filemo tidak sakit, melainkan dia menyesal akan dosa-dosanya.
Ruderrsdorf menuntun Filemo untuk mengakui dosa dihadapan Tuhan dan meminta maaf terhadap setiap orang yang
merasa dia bersalah. Dia melakukan itu semua dan setelahnya Filemo merasa damai dan tenang. Anehnya kepada setiap
orang Filemo meminta maaf, orang tersebut juga menagis dan menyesali dosanya sehingga pergi meminta maaf kepada
yang lain[4].

Peristiwa ini cepat menyebar ke seluruh wilayah daerah pelayanan para misionaris, sehingga banyak orang yang menyesali
dosanya dan kembali ke jalan Tuhan. Dampak positif dari gerakan ini nampak pada pertumbuhan kuantitas dan kualitas
iman warga jemaat. Segi kuantitas terjadi pertambahan jumlah orang Kristen secara signifikan. Pada tahun 1915 jumlah
orang Kristen di Nias tercatat 20.000 jiwa (hasil pelayanan 50 tahun). Pada tahun 1929 menjadi 85.000 jiwa. Bertambah
65.000 jiwa hanya dalam kurun waktu 14 tahun saja. Juga dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Nias yang telah
menjadi Kristen, benar-benar menunjukkan dirinya sebagai orang yang percaya kepada Yesus. Banyak yang membuang
“Adu”, hidup dalam perskutuan-persekutuan dan kejahatan seperti perkelahian, pencurian, perampokan mulai berkurang.
Pada saat ini kerinduan orang mendengar Firman Tuhan sungguh besar. Sehingga dimana-mana bermunculan persekutuan
doa yang disebut dengan Sekola Wanusugi Dödö atau Sekolah Niha Keriso. Pada saat ini banyak tercipta lagu-lagu rohani
yang berisi pertobatan dan perubahan hati.

Sayang sekali, kemudian hari seiring dengan putusnya hubungan antara BNKP dengan RMG akibat Perang Dunia II pada
tahun 1940-1953 dan Jepang menguasai Indonesia, gejolak di dalam gereja mulai timbul. Salah satunya muncul Fangesa
Dödö Solaya (Pertobatan Hati Dengan Menari) yang sudah “campur dengan ilmu hitam” dan menjadi “sesat” oleh gereja.
Gerakan ini mulai timbul di Nias Barat. Pada saat itu yang muncul adalah penekanan pada karunia rohani dan sikap
menantikan akhir zaman. Pada saat ini juga muncul para pengajar “sesat” yang mengandalkan mimpi-mimpi, muzijat dan
memakai nama-nama Allah dalam bahasa Ibrani (seperti Yahweh, El Roy, El Elyom, dll) sebagai satu kekuatan

4 Terbentuknya BNKP (1936 – Sampai Sekarang)


Dampak lain dari munculnya Gerakan Pertobatan Masal adalah timbulnya kerinduan dari para missionaris yang didukung
oleh pelayan lokal dalam hal penataan organisasi. Hal ini berbuah pada pelaksanaan Sidang Sinode I pada tanggal 08–11
November 1936 di Gunungsitoli. Sidang ini menghasilkan beberapa keputusan penting a.l: pertama, membentuk satu wadah
yang menyatukan seluruh gereja di Nias yang disebut Banua Niha Keriso Protestan Ba Danö Niha (BNKP di Nias). Kedua,
memilih Pdt. A. Luck (misionaris Jerman) sebagai Vorzitter (Ephorus) yang pertama dan para zendeling lainnya sebagai
Praeses (Pendeta Resort) di 7 Ressort. Ketiga, menerima dan mengesahkan Tata Gereja yang kemudian pada tahun 1938
mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda

Sehubungan dengan peralihan kekuasaan dari pemerintah Belanda kepada Jepang pada tahun 1940, maka seluruh Pendeta
atau misionaris dari RMG diminta meninggalkan pulau Nias. Ini adalah ujian berat bagi BNKP di Nias karena kehilangan
tenaga dan sumber dana dari RMG, tetapi menjadi berita sukacita karena orang Nias memimpin gerejanya sendiri. Dari
sinilah mulai kemandirian dalam bidang organisasi di BNKP dengan Pdt. Atoföna Harefa, menjadi Ephorus pertama dari
kalangan orang Nias.

Di kemudian hari muncul ketegangan di antara para pelayan sehingga menimbulkan skhisma dalam tubuh gereja BNKP.
Hal ini mulai dari munculnya kelompok yang disebut “Angowuloa Fa’awösa Khö Yesu” (AFY) di Nias atau “Persekutuan
Persaudaraan Dalam Yesus” (1933); Angowuloa Masehi Indonesia Nias (AMIN) di Nias (1946); Orahua Niha Keriso
Protestan (ONKP) di Nias Barat (1952). Kemudian hari berdiri lagi Gereja Niha Keriso Protestan Indonesia (GNKPI) di
Gunungsitoli (1993) dan Banua Keriso Protestan Nias (BKPN) di Nias Selatan (1993)[5].

Timbulnya perpecahan ini lebih banyak faktor organisasi akibat ketidakpuasan atas keputusan pimpinan, masalah mutasi
dan juga keputusan sinode. Meskipun demikian BNKP tetap berjalan dengan misinya sebagai salah satu lembaga yang
memberitakan Injil. Hubungan dengan gereja-gereja yang memisahkan diri juga sekarang telah menjadi lebih baik.

Melihat perjalanan masuknya berita Injil di Nias sampai berdirinya BNKP adalah salah satu anugerah dan rencana Tuhan
yang luar biasa bagi seluruh masyarakat Nias. Mengenai arti BNKP sendiri tertuang dalam TG 2007, BAB I, Pasal 1:1 dan
penjelasannya:

“Banua Niha Keriso Protestan yang disingkat BNKP merupakan persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus
yang berasal dari suku Nias dan suku-suku lainnya di dunia”

Dalam penjelasan Pasal 1: 1, nama BNKP, yang adalah Banua Niha Keriso Protestan, bermakna sebagai berikut: Banua,
adalah diambil dari terjemahan dua kata dalam bahasa Nias yaitu; Kampung dan Langit, namun BNKP menggunakannya
dengan makna persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus melalui kuat kuasa Roh Kudus. Niha artinya,
manusia dalam arti orang percaya kepada Kristus. Keriso, berarti Kristus, yang adalah kepada gereja dan Protestan
dimaksudkan sebagai sikap gereja BNKP yang menyatakan posisinya sebagai gereja reformasi yang injili, serta
menyaksikan kesinambungan hubungan persekutuannya dengan jemaat mula-mula.

Dari penjelasan di atas mengungkapkan bahwa meskipun BNKP lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat Nias, namun tidak menutup diri hanya untuk orang Nias melainkan untuk setiap suku dan bangsa di dunia ini.
Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya gereja-gereja BNKP yang ada di luar daerah Nias terutama Pulau Sumatera dan
Pulau Jawa yang warganya berasal dari berbagai suku bangsa (Batak, Jawa, Sunda, China, dll) baik hasil perkawinan, warga
tetap atau simpatisan.

Untuk menata kehidupan pelayanannya, BNKP mempunyai dasar Alkitab dan Tata Gereja BNKP. Tata Gereja BNkp
terakhir yang dipakai adalah tahun 2007. Di sana menjelaskan bahwa gereja BNkp menganut Sistem Presbiterial Sinodal
Yang Melayani, maksudnya jemaat-jemaatnya sebagai basis pelayanannya, sehingga terhindri dari dominasi sinodal yang
kaku, statis dan otoriter. Sementara struktur organisasi pelayanan bnkp adalah Sinode , Resort, Jemaat.
Menurut TG 2007, Bab I, Pasal 1:3, Logo BNKP adalah sbb dengan artinya:

1. BNKP mengaku bahwa Yesus Kristus yang ditandai dengan salib-Nya telah memanggil suku Nias dan suku-suku
lainnya dari dunia ke dalam terang-Nya yang ajaib untuk beroleh pengampunan keselamatan.

2. Tulisan BNKP yang mengitari salib, merupakan pengakuan bahwa kehidupan BNKP secara total adalah dari, oleh
dan untuk Yesus Kristus.
3. BNKP sebagai gereja telah diutus kembali ke dalam dunia yang ditandai dengan bola bumi, untuk memberitakan
salib Kristus dalam menyatakan pembebasan, pengampunan, perdamaian dan berkat bagi segala makhluk.
4. BNKP sebagai gereja berpengharapan akan kehidupan yang kekal yang ditandai dengan mahkota yang telah
dipersiapkan oleh Yesus Kristus bagi orang yang percaya dan setia kepada-Nya.

Banua Niha Kriso Protestan (disingkat BNKP) adalah sebuah kelompok Gereja Kristen Protestan yang ada di Pulau Nias,
Sumatera Utara. Kantor Pusat Sinode BNKP berada di Jl. Sukarno No. 22, Gunung Sitoli, Nias – Sumatera Utara 22813.[1]

Sejarah

Agama Kristen pertama-tama dibawa ke pulau Nias oleh misi Katolik dari Perancis, yaitu Missions Etrangers de Paris,
namun pekerjaan itu berlangsung singkat saja, dari 1832-1835.[1]

Masuknya berita Injil melalui Misi Protestan ke Pulau Nias dimulai pada tahun 1865 oleh penginjil Jerman, E. Ludwig
Denninger dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) pada tanggal 27 September 1865. Tanggal 27 September ini
dijadikan sebagai "Hari Yubelium BNKP".[2] Badan misi ini untuk sementara waktu dikirimkan dari Kalimantan. Pada saat
itu penduduk pulau itu memeluk agama leluhur.[3]

Hingga tahun 1900, ketika pemerintah kolonial Belanda masuk, pertumbuhan gereja di sana berlangsung lambat sekali.
Baptisan pertama dilakukan pada 1874. Sekitar 15 tahun kemudian (1890), jumlah orang Kristen yang telah dibaptis baru
mencapai 706 orang. Jumlah ini bertambah hingga 20.000 orang pada 1915.

Dari 1915-1920 komunitas Kristen di Nias mengalami kebangunan rohani yang besar, sehingga terjadilah pertumbuhan
yang sangat pesat. Pada tahun 1921 sudah 60.000 orang dibaptiskan - pertambahan sejumlah 40.000 orang hanya dalam
waktu lima tahun.

Pada tahun 1936 Sinode BNKP yang pertama dibentuk dan hingga tahun 1940 dipimpin oleh seorang misionaris Jerman.
Kebangunan rohani berikutnya (1938-1942, 1945-1949) tidak hanya melahirkan pertumbuhan tetapi juga perpecahan gereja
(Fa’awösa khö Geheha and Fa’awösa khö Jesu).

Sementara itu di Nias berkembang pula Gereja Advent dan Gereja Katolik Roma. Namun BNKP tetap merupakan Gereja
terbesar, yang mencakup 60% dari seluruh penduduk. Oleh karena itu, Gereja ini merupakan faktor yang penting dalam
berbagai segi kehidupan masyarakat di pulau itu. Gereja ini boleh dikatakan mempersatukan masyarakat Nias menjadi satu
kesatuan etnik dan bahasa. Bahasa Nias utara dijadikan bahasa Alkitab dan Gereja. Alkitab lengkap dalam bahasa Nias
diterbitkan pada 1913.

Saat ini, dari sekitar 800.000 penduduk, sekitar 73% beragama Kristen Protestan, 18% Katolik Roma, dan 7% beragama
Islam, sementara sisanya memeluk agama leluhur.

BNKP kemudian meluas sampai ke seluruh pelosok desa bahkan di kota-kota besar Indonesia, seperti Medan, Padang,
Pekanbaru, Batam, Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota kecil lainnya.[2]

Makna nama
Makna dan arti BNKP "Banua Niha Keriso Protestan" adalah persekutuan orang-orang kudus yang telah dibabtis dalam
nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, sebagai perwujudan nyata dari tubuh Kristus. BNKP mengaku bahwa Yesus
Kristus adalah TUHAN dan Juruselamat dunia, Raja Damai, Kepala semua pemerintahan dan penguasa serta Kepala Gereja
yang disaksikan di dalam Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru).[2]

Pelayanan masa kini

BNKP aktif dalam melaksanakan pelayanan pendidikan, kesehatan dan pekerjaan sosial. Gereja ini menerbitkan majalah
Turia Röfa (Berita Salib). Tanggal 27 September diperingati sebagai hari Yubelium BNKP.

Kini BNKP hadir pula hampir di seluruh Indonesia, seperti Medan, Padang, Pekanbaru, Batam, Jakarta, Bandung, Surabaya
dan kota-kota kecil lainnya.

Sekretariat

Kantor Sinode BNKP beralamat di:[4][2]

Jl.Soekarno No.22
Gunungsitoli, Nias
Sumatera Utara 22813
Indonesia
Telepon: (0639) 21448
Fax: (0639) 323-127

Badan Pekerja Harian Majelis Sinode (BPHMS)-BNKP

Pengurus pusat yang disebut BPHMS BNKP saat ini adalah:

 Ephorus : Pdt. Dr. Tuhoni Telaumbanua, M.Si


 Sekretaris umum : Pdt. Dorkas Orienti Daeli, MTh
 Bendahara Umum : Pdt. Helu'aro Zega, STh

Pengurus sebelumnya:
(2010-?)[1]

 Ephorus : Pdt. K.Hia, MTh


 Sekretaris umum : Pdt. Ys. Harefa, S.Th

(2008)[4]

 Ephorus: Pdt Ar. Geya


 Sekum: Pdt Ys. Harefa, STh

Untuk membantu BPHMS BNKP dalam implementasi Program Umum Pelayanan BNKP, maka dibentuk 5 Departemen,
yakni:

 Departemen Marturia Pdt. Beniami Gulo, STh. MA, M.Min


 Departemen Didaskalia Pdt. Yamamoni Laoli, STh, MM
 Departemen Koinonia Dirangkap BPHMS
 Departemen Diakonia Pdt. Miseria Daeli, STh
 Departemen Oikonomia Pdt. Fonaso Mendrofa, STh

Hubungan Oikumene dan Mitra kerja

BNKP teremasuk gereja pendiri Dewan Gereja-Gereja di Indonesia/DGI yang sekarang PGI), dan DGI/PGI Wilayah
SUMUT-Aceh sejak tanggal 25 Mei 1950),[1] anggota dari Dewan Gereja-gereja Asia (CCA), Federasi Lutheran se-Dunia,
Lutheran World Federation/LWF dan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD).

Mitra kerja BNKP antara lain adalah Reformed Church of America (RCA), United Evangelical Mission (UEM) dari
Jerman. Resort Gladbach-Neuss dari Gereja Reinland, Protestan Kerk in the Netherland dan mitra lainnya.

Anda mungkin juga menyukai