Anda di halaman 1dari 9

PERFORMING ART’S

Disusun Oleh:
Alvin Oktavian Zalukhu

NIM: 1.05.15.15.025
BAB I
Latar Belakang
Di antara pulau-pulau lepas pantai barat Sumatera, pulau Nias adalah yang terbesar
dan yang paling padat penduduknya. Pulau ini barulah dijajah orang Belanda sekitar tahun
1900. Sebelumnya, Belanda hanya menguasai daerah terbatas di sekeliling Gunung Sitoli.
Penduduk, khususnya di pulau Nias, tidak menjadi pelaut, melainkan hidup dari usaha
bercocok tanam. Maka masyarakatnya berifat tertutup dan adat serta agama turun-temurun
berpengaruh besar.

Misionaris Jerman pertama yang mendarat di Gunungsitoli adalah Pendeta L.


Denninger. Misionaris lainnya menyusul kemudian. Mereka menembus kawasan Nias bagian
Selatan pada tahun 1883 tetapi ditampik oleh orang-orang pribumi disana. Berpuluh tahun
kemudian, mereka berhasil mengkristenkan penduduk pribumi, perubahan agama penduduk
pribumi menjadi Kristen mempengaruhi sikap mereka terhadap kebudayaan, termasuk agama
nenek moyang mereka. Fungsi agama kuno sebagai kontrol sosial dalam pengertian
tradisionil telah ditransformasikan ke dalam etika Kristen, walaupun sebagian unsur kuno itu
masih dipertahankan. Materi kebudayaan kuno seperti patung, batu-batu monumen gendang,
tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Mungkin saja para penduduk masih
mempertahankan beberapa tetapi hanya sekedar kenangan manis terhadap benda yang pernah
dicintai dan dimiliki pada masa lampau.
BAB II
Permulaan dan perkembangan Gereja
A. Permulaan Usaha Penginjilan

Akibat Perang Saudara, maka sekitar tahun 1860 beberapa tenaga RMG kehilangan
tempat kerja. Salah seorang di antara mereka bernama E.L. Denninger. Sebelum diutus ke
Kalimantan ia pun pernah menjadi tukang sapu cerobong asap rumah-rumah di Berlin. Oleh
pengurus RMG di Barmen, Denninger disuruh pergi ke tanah Batak, tetapi karena isterinya
sakit, ia terpaksa tinggal di Padang. Di sana ia menjalin hubungan dengan orang-orang Nias
yang hidup di perantauan. Namun ia sampai pada kesimpulan, lebih bermanfaat kiranya kalau
pergi sendiri ke Nias. Maka pada tanggal 27 September 1865 Denninger mendarat di Gunung
Sitoli. Sebelumnya, antara tahun 1832-1835, telah ada dua misionaris (Katolik) bangsa
Perancis bekerja di Nias, namun karya mereka tidak meninggalkan hasil.

B. Tahun 1865-1890

Untuk menarik perhatian orang banyak supaya mau belajar Firman Tuhan dan
nyanyian-nyanyian gereja, Denninger lebih dahulu membagikan tembakau untuk rokok dan
ramuan sirih. Dalam masa permulaan yang sulit itu, Denninger berusaha mengajar beberapa
pemuda agar dapat membaca dan menulis. Permulaan sekolah ini hanya diselenggarakan di
rumah penduduk, dan ternyata berhasil, sehingga pemuda-pemuda inilah yang mampu
menjadi pembantu-pembantu Denninger untuk mengajar anak-anak di sekitar Gunungsitoli
pada tahun  1866.

Pada tahun 1872, tujuh tahun setelah kedatangan Denninger di Pulau Nias, datang
pula missionaris kedua dari RMG yaitu Pendeta J.W. Thomas. Ia belajar bahasa Nias dari
Denninger, kemudian melayani di Pos Pekabaran Injil  yang baru di Ombõlata. Sesudah itu 
pada tahun 1873 datang lagi missionaris kegita bernama Kramer. Ia ditempatkan di
Gunungsitoli bersama dengan istrinya yang terkenal sangat rajin berkunjung kepada
keluarga-keluarga di Kampung Hilina’a, sehingga  pada hari paskah tahun 1874 berhasil
dilaksanakan Baptisan pertama kepada 25 orang penduduk Kampung Hilina’a, termasuk
Yawaduha, Salawa/kepala kampung Hilina’a. Dalam masa itu telah diciptakan sarana-sarana
yang memungkinkan perluasan di kemudian hari. Pertama, orang Kristen Nias telah belajar
untuk ikut aktif mengabarkan Injil. Salah seorang tokoh Nias yang berperanan besar dalam
usaha P.I ialah kepala kampung, Ama Mandranga.
Hasil pekabaran Injil berikutnya yakti pembaptisan 6 orang penduduk Ombõlata,
tempat Pdt. J.W. Thomas melayani, dan pada tahun 1876 menyusul lagi pembaptisan 32
orang penduduk Faechu (±2 km dari Ombõlata). Pada tahun 1876 itu pula berdirilah Gedung
Gereja yang pertama di Nias, yaitu di Ombõlata, dan pada tahun 1880 disusul lagi berdirinya
gedung Gereja yang kedua, yaitu di Faechu.

Satu tahun sebelum meninggal dunia, yaitu pada tahun 1875, Denninger pergi berobat
ke Batavia. Dan Pada tahun 1876 tiba di Nias missionaris keempat bernama Dr. W.H.
Sundermann. Setelah dua tahun bersama Kramer di Gunungsitoli, Doktor Theologia ini
merasa matang berbahasa Nias, lalu membuka Pos Pekabaran Injil  di Dahana, namun di sana
ia berhadapan dengan penyembahan berhala yang begitu kuat. Sebab itu Ia beralih ke bidang
pendidikan dan menghimpun dan mengajar para pemuda setempat. Usahanya inilah yang
merupakan cikap bakal berdirinya Sekolah Guru di Nias. Pada tahun 1881 datang lagi
misionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia ini yang mengantikan J.W. Thomas di Ombõlata
pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi berusaha membuka pos Pekabaran Injil di Sa’ua,
meskipun usahanya  itu ternyata gagal.

Pada tahun 1882 didirikan sebuah lembaga pendidikan guru. Tetapi menonjollah
bahwa penduduk Nias kalau meminta tenaga penginjil, lebih mengharapkan kedatangan
seorang zendeling bangsa lain daripada tenaga sesuku mereka. Namun, para zendeling sadar
akan peranan penting pembantu-pembantu mereka itu, sehingga mereka tetap berupaya
meningkatkan wewenang pembantu itu di mata orang Nias. Pun upaya supaya jemaat-jemaat
Nias menjadi swadaya telah dimulai agak dini. Sarana yang hendak disebut terakhir ialah
penerjemahan Alkitab dan buku-buku lain ke dalam bahasa Nias (Utara) oleh pekabar Injil H.
Sundermann, dengan bantuan Ama Mandranga dan beberapa orang Nias lainnya.

Dalam 25 tahun masa permulaan ini, 5 orang pendeta penginjil dari RMG Jerman
telah bekerja di Nias. Namun usaha Pekabaran Injil banyak kesulitan, seperti pengaruh agama
suku yang sangat kuat, gangguan keamanan, wabah penyakit, keadaan geografi dan lain-lain.
Daerah yang dicapai hanya di sekitar Gunungsitoli saja, dengan 3 Pos Pekabaran Injil yaitu
Gunungsitoli, Ombõlata, dan Dahana. Usaha Denninger (yang dibantu oleh Kodding dan
Mohri) di Onolimbu (Muara sungai Idanõ Mola) pada tahun 1867, Sunderman di Tugala
Lahõmi-Sirombu tahun 1875/1876, J.W. Thomas di Sa’ua tahun 1885, semua itu baru bersifat
penjajakan. Walaupun banyak kesulitan yang dialami serta jangkauan Pekabaran Injil yang
dapat dicapai tidak begitu luas, namun dalam periode ini telah berhasil dibaptis sebanyak 699
orang (148 orang di Gunungsitoli, 348 orang di Ombõlata dan 203 orang di Dahana). Juga
diantara mereka telah dipilih beberapa orang menjadi penatua.

C. Tahun 1891-1916

Usaha Pekabaran Injil pada periode ini ternyata mengalami kemajuan dibandingkan
dengan periode sebelumnya. Pada periode ini berhasil masuk di Nias bagian Tengah sampai 
ke Nias bagian Barat, Pantai sebelah Timur sampai di Nias bagian Selatan, Nias bagian Utara
dan di Pulau-pulau Batu.

Sementara itu, para zendeling menambahkan pada jumlah para guru dan penatua
menjadi hampir 500. Diciptakannya pula jabatan sinenge ("rasul"), yang melayani jemaat-
jemaat yang tidak mempunyai sekolah. Pada tahun 1906 ditahbiskanlah pendeta Nias yang
pertama. Terjemahan seluruh Alkitab selesai dicetak pada tahun 1913. Bidang kegiatan para
zendeling luas sekali: mereka membangun jalan-jalan, mendirikan bank tabungan, membuka
kebun-kebun kopi, semua dalam rangka melicinkan jalan bagi usaha P.I dan meningkatkan
daya ekonomi jemaat Kristen. Berkat usaha mereka di bidang kesehatan, jumlah orang
Kristen meningkat oleh pertumbuhan alamiah (masih terlepas dari masuknya orang yang
bukan Kristen), sedangkan jumlah penduduk pulau Nias dalam keseluruhannya menurun
akibat penyakit-penyakit menular. Dalam pada itu, para zendeling masih kurang senang
melihat keadaan jemaat secara batin: penyalahgunaan minuman keras, kekacauan di bidang
perkawinan, keengganan untuk memberi sumbangan berupa uang atau benda bagi kehidupan
jemaat masih merajalela. Pun mayoritas orang Nias tetap menolak Injil. Kata seorang
zendeling. "Saya merasa bagaikan ular yang berusaha menggigiti besi".

D. Kebangunan Besar dan Masa Pertobatan Masal (Fangesa Dödö Sebua)

Perkembangan dan pertumbuhan kekristenan di Nias mencapai puncaknya pada tahun


1916 dengan apa yang disebut Fangesa Dödö Sebua (Pertobatan Hati Massal) semacam
Gerakan Kebangunan Rohani Besar/Masal. Peristiwa ini bermula di Humene (± 10 km dari
Gunungsitoli) ketika seorang “guru bantu” di sekolah Zending bernama Filemo pada bulan
April 1916. Pada saat itu sedang ada berlangsung kebaktian Paskah sekaligus Perjamuan
Kudus dengan misionaris Ruderrsdorf sebagai pelayannya.  Setelah mendengar Firman
Tuhan tiba-tiba Filemo menangis dan menjerit sambil berkat “Horögu! Horögu!”(Dosaku!
Dosaku!). Orang banyak mengira dia “gila” atau “sakit”, tetapi Ruderrsdorf yang berlatar
belakang Pietis memahami kondisi ini. Dia mengatakan bahwa Filemo tidak sakit, melainkan
dia menyesal akan dosa-dosanya. Ruderrsdorf menuntun Filemo untuk mengakui dosa
dihadapan Tuhan dan meminta maaf terhadap setiap orang yang merasa dia bersalah. Dia
melakukan itu semua dan setelahnya Filemo merasa damai dan tenang. Anehnya kepada
setiap orang Filemo meminta maaf, orang tersebut juga menagis dan menyesali dosanya
sehingga pergi meminta maaf kepada yang lain.

Peristiwa ini cepat menyebar ke seluruh wilayah daerah pelayanan para misionaris,
sehingga banyak orang yang menyesali dosanya dan kembali ke jalan Tuhan. Dampak positif
dari gerakan ini nampak pada pertumbuhan kuantitas dan kualitas iman warga jemaat. Segi
kuantitas terjadi pertambahan jumlah orang Kristen secara signifikan. Pada tahun 1915
jumlah orang Kristen di Nias tercatat 20.000 jiwa (hasil pelayanan 50 tahun). Pada tahun
1929 menjadi 85.000 jiwa. Bertambah 65.000 jiwa hanya dalam kurun waktu 14 tahun saja.
Juga dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Nias yang telah menjadi Kristen, benar-benar
menunjukkan dirinya sebagai orang yang percaya kepada Yesus. Banyak yang membuang
“Adu”, hidup dalam perskutuan-persekutuan dan kejahatan seperti perkelahian, pencurian,
perampokan mulai berkurang. Pada saat ini kerinduan orang mendengar Firman Tuhan
sungguh besar. Sehingga dimana-mana bermunculan persekutuan doa yang disebut
dengan Sekola Wanusugi Dödö atau Sekolah Niha Keriso. Pada saat ini banyak tercipta lagu-
lagu rohani yang berisi pertobatan dan perubahan hati.

Sayang sekali, kemudian hari seiring dengan putusnya hubungan antara BNKP
dengan RMG akibat Perang Dunia II pada tahun 1940-1953 dan Jepang menguasai Indonesia,
gejolak di dalam gereja mulai timbul. Salah satunya muncul Fangesa Dödö
Solaya (Pertobatan Hati Dengan Menari) yang sudah “campur dengan ilmu hitam” dan
menjadi “sesat” oleh gereja. Gerakan ini mulai timbul di Nias Barat. Pada saat itu yang
muncul adalah penekanan pada karunia rohani dan sikap menantikan akhir zaman. Pada saat
ini juga muncul para pengajar “sesat” yang mengandalkan mimpi-mimpi, muzijat dan
memakai nama-nama Allah dalam bahasa Ibrani (seperti Yahweh, El Roy, El Elyom, dll)
sebagai satu kekuatan.
BAB III
Gereja Berdiri Sendiri

A. Terbentuknya BNKP

Setelah gerakan kebangunan mereda, para zendeling mulai memikirkan kemandirian


gereja. Pada tahun 1936 selesailah mereka merancangkan tata gereja. Lalu diadakan sinode
Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) yang pertama (18 November 1936). Sinode itu
menerima tata gereja yang telah dirancangkan. Keinginan Pengurus RMG di Barmen supaya
semua pekabar Injil bangsa Eropa otomotis menjadi anggota sidang sinode dipenuhi;
sebaliknya para zendeling menolak permintaan orang Kristen Nias, agar setiap distrik gereja
diperbolehkan mengutus seorang tokoh masyarakat (seorang kepala suku) ke sinode sebagai
anggota yang berhak penuh. Pada tahun 1940, semua zendeling bangsa Jerman ditawan oleh
gubernemen. Maka fungsi ketua sinode (Ephorus) diambil alih oleh serang pendeta Nias,
bernama Atefona Harefa. pada tahun 1942, para pendeta Belanda yang telah menggantikan
orang Jerman yang ditawan itu diinternir pula oleh penguasa Jepang. Maka gereja harus
benar-benar berdiri sendiri. Barulah pada tahun 1951 seorang utusan zending dari Jerman
(seorang dokter) kembali bekerja di Nias, disusul oleh sejumlah orang Eropa yang lain.
Namun, kedudukan mereka ini berbeda dengan kedudukan para zendeling sebelum perang:
mereka mendapat status "penasihat".

B. Nama, Kedudukan, dan Logo BNKP

BNKP adalah singkatan dari Banua Niha Keriso Protestan yang merupakan
persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus yang berasal dari suku Nias dan
suku-suku lainnya di dunia. BNKP hadir dan melayani di seluruh wilayah Indonesia dan
Kantor Sinodenya berkedudukan di Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara. Logo BNKP adalah
seperti terlihat di bawah ini:

Dengan arti dan makna sebagai berikut:

1. BNKP mengaku bahwa Yesus Kristus yang ditandai dengan salib-Nya telah
memanggil suku Nias dan suku-suku lainnya dari dunia ke dalam terang-Nya
yang ajaib untuk beroleh pengampunan dan keselamatan.
2. Tulisan BNKP yang mengitari salib, merupakan pengakuan bahwa kehidupan
BNKP secara total adalah dari, oleh dan untuk Yesus Kristus.
3. BNKP sebagai gereja telah diutus kembali ke dalam dunia yang ditandai
dengan bola bumi, untuk memberitakan salib Kristus dalam menyatakan
pembebasan, pengampunan, perdamaian dan berkatbagi segala makhluk.
4. BNKP sebagai gereja berpengharapan akan kehidupan yang kekal yang
ditandai dengan mahkota yang telah dipersiapkan oleh Yesus Kristus bagi
orang yang percaya dan setia kepada-Nya.

C. Statistik BNKP

Berdasarkan data terakhir per 31 Oktober 2010 menurut Perikopen BNKP 2011,
statistik BNKP sbb:

No. Uraian Jumlah Keterangan

C 360.955 jiwa
1.  Lk = 174.751 jiwa
Warga Jemaat  Pr = 186.235 jiwa  
2.
Resort 54 Resort  
3.
Jemaat 1075 Jemaat  
C Pendeta =    384 orang
(Lk = 224 orang; Pr = 160 orang)

C Guru Jemaat = 752 orang

C Evangelis    = 255 orang

C SNK (Penetua) = 18.025 orang

C Staff yang bekerja di Unit Pelayanan = 75


4. orang
Pelayan  
BAB IV
Kesimpulan

Sebagai dampak datangnya Injil dan usaha pekabaran injil di Nias, maka berdirilah
Gereja BNKP yang melembaga sebagai satu sinode  pada tanggal 18 November 1936. BNKP
adalah satu gereja beraliran reformasi di Indonesia, yang telah menjelma di Pulau Nias sejak
kedatangan Missionaris pertama Ernst Ludwig Denninger di Pulau Nias pada hari Rabu,
tanggal  27 September 1865. Denninger memiliki banyak cara untuk menarik perhatian
supaya orang-orang mau belajar Firman Tuhan dan menyanyikan puji-pujian. Dalam
perkembangannya tercatat bahwa BNKP berasal dari hasil pemberitaan Injil  para utusan
Rheinische Missions Gessellschaft (RMG) dan ada pula utusan dari Belanda yang selanjutnya
diteruskan oleh para pemberita Injil Ono Niha.
Para misionaris yang melayani di Pulau Nias, patutlah menjadi teladan bagi kita. Mereka
sudah mengalami hal-hal yang pahit, namun tetap teguh dalam pemberitaan Injil. Kerinduan
mereka supaya semua bangsa mengenal Injil-Nya haruslah juga tertanam dalam diri kita
walaupun dalam pelayanan banyaklah tantangan yang harus kita hadapi. Kita juga dapat
meneladani Denninger, di mana dalam melayani kita harus memikirkan berbagai macam cara
untuk menarik perhatian orang-orang sehingga mereka tertarik untuk belajar Firman Tuhan
dan Kristuslah yang dipermuliakan.

Anda mungkin juga menyukai