Anda di halaman 1dari 20

Ingwer Ludwig Nommensen

Nommensen adalah seorang tokoh pengabar Injil berkebangsaan Jerman yang terkenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya adalah berdirinya sebuah gereja terbesar di wilayah suku bangsa Batak Toba. Gereja itu bernama Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Tidak berlebihan, jikalau ia diberi gelar Rasul Batak. Ia sudah memberikan seluruh hidupnya bagi pekerjaan pengabaran Injil di tanah Batak. Nommensen dilahirkan pada tanggal 6 Februari 1834 di sebuah pulau kecil, Noordstrand, di Jerman Utara. Nommensen sejak kecil sudah hidup di dalam kemiskinan dan penderitaan. Sejak kecil ia sudah mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Ayahnya adalah seorang yang miskin dan selalu sakit-sakitan. Pada umur 8 tahun, ia mencari nafkah dengan menggembalakan domba milik orang lain pada musim panas, dan pada musim dingin ia bersekolah. Pada umur 10 tahun ia menjadi buruh tani sehingga pekerjaan itu tidak asing lagi baginya. Semuanya ini tampaknya merupakan persiapan bagi pekerjaannya sebagai pengabar Injil di kemudian hari. Tahun 1846 Nommensen mengalami kecelakaan yang serius. Pada waktu ia bermain kejarkejaran dengan temannya, tiba-tiba ia ditabrak oleh kereta berkuda. Kereta kuda itu menggilas kakinya sehingga patah. Oleh karenanya, terpaksa ia hanya bisa berbaring saja di tempat tidur selama berbulan-bulan. Teman-temannya biasa datang untuk menceritakan pelajaran dan ceritacerita yang disampaikan guru di sekolah. Cerita-cerita itu adalah tentang pengalaman pendetapendeta yang pergi memberitakan Injil kepada banyak orang, dan Nommensen sangat tertarik mendengar cerita-cerita itu. Lukanya makin parah, sehingga dia tidak dapat berjalan sama sekali. Sekalipun sakit, Nommensen belajar merajut kaos, menjahit, dan menambal sendiri pakaiannya yang robek. Pada suatu hari, ia membaca Yohanes 16:23-26, yaitu tentang kata-kata Tuhan Yesus bahwa siapa yang meminta kepada Bapa di Surga, maka Bapa akan mengabulkannya. Nommensen bertanya kepada ibunya, apakah perkataan Yesus itu masih berlaku atau tidak. Ibunya meyakinkannya bahwa perkataan itu masih berlaku. Ia mengajak ibunya untuk berdoa bersama-sama. Nommensen meminta kesembuhan dan dengan janji, jikalau ia sembuh maka ia akan pergi memberitakan Injil. Doanya dikabulkan, dan beberapa minggu kemudian kakinya sembuh. Setelah sembuh, Nommensen kembali menggembalakan domba. Janjinya selalu menggodanya

untuk segera memenuhinya. Oleh karena itu, ia melamar untuk menjadi penginjil pada Lembaga Pekabaran Injil Rhein (RMG). Beberapa tahun lamanya ia belajar sebagai calon pengabar Injil. Tahun 1861 ia ditahbiskan menjadi pendeta. Dan sesudahnya ia berangkat menuju Sumatera dan tiba pada bulan Mei 1862 di Padang. Ia memulai pekerjaannya di Barus. Ia mulai belajar bahasa Batak dan bahasa Melayu, yang cepat sekali dapat dikuasainya. Sekarang ia mulai mengadakan kontak-kontak dengan orang-orang Batak, terutama dengan raja-raja. Ia tidak jemu mengadakan perjalanan keliling untuk menciptakan hubungan pergaulan yang baik. Ia mempelajari adatistiadat Batak dan mempergunakannya dalam mempererat pergaulan. Nommensen meminta izin untuk masuk ke pedalaman namun dilarang oleh pemerintah, karena sangat berbahaya bagi seorang asing. Namun Nommensen tidak takut. Ia memilih Silindung sebagai tempat tinggalnya yang baru. Ia mendapat gangguan yang hebat di sini, namun ia tidak putus asa. Ia berhasil mengumpulkan jemaatnya yang pertama di Huta Dame (Kampung Damai). Tahun 1873 ia mendirikan sebuah gedung gereja, sekolah, dan rumahnya sendiri di Pearaja. Sampai sekarang Pearaja menjadi pusat HKBP. Pekerjaan Nommensen diberkati Tuhan, sehingga Injil makin meluas. Kemudian dia pindah tempat tinggal ke kampung Sigumpar pada tahun 1891, dan ia tinggal di sana sampai dia meninggal. Nommensen memberitakan Injil di tanah Batak dengan berbagai macam cara. Ia menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru (PB) ke dalam bahasa Toba dan menerbitkan cerita-cerita Batak. Ia juga berusaha untuk memperbaiki pertanian, peternakan, meminjamkan modal, menebus hambahamba dari tuan-tuannya, serta membuka sekolah-sekolah dan balai-balai pengobatan. Dalam pekerjaan pengabaran Injil, ia menyadari perlunya mengikutsertakan orang-orang Batak. Maka dari itu, dibukalah sekolah penginjil yang menghasilkan penginjil-penginjil Batak pribumi. Juga untuk kebutuhan guru-guru sekolah, dia membuka pendidikan guru. Karena kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan penginjilan, maka pimpinan RMG mengangkatnya menjadi Ephorus pada tahun 1881. Pada hari ulang tahunnya yang ke-70, Universitas Bonn memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Nommensen. Nommensen meninggal pada umur yang sangat tua -- 84 tahun. Ia meninggal pada tanggal 12 Mei 1918. Nommensen dikuburkan di Sigumpar, di tengah-tengah suku bangsa Batak setelah bekerja dalam kalangan suku bangsa ini selama 57 tahun lamanya.

Tokoh Misi
Ada yang menuai karena ada yang menabur. Sama seperti gereja-gereja dan lembaga-lembaga misi yang saat ini ada karena ada orang yang bersedia meninggalkan zona kenyamanan, menyingsingkan lengan, dan bekerja keras agar firman Tuhan sampai ke ujung bumi. Lewat

tokoh-tokoh misi yang kami hadirkan kepada Anda, kiranya dapat menjadi motivasi pelayanan Anda.

Clarence W. Jones

(Tokoh Penerjemah Alkitab pada Abad ke-20) Salah seorang individu yang paling memberi pengaruh besar dalam gebrakan penerjemahan Alkitab pada abad ke-20 adalah William Cameron Townsend -- pendiri Wycliffe Bible Translators (WBT) dan Summer Institute of Linguistics (SIL). Cam Townsend adalah seorang pribadi yang berkeyakinan tinggi, dan memiliki sifat kepemimpinan yang tegas dalam kedua organisasi tersebut dan juga dalam memimpin JAARS (Jungle Aviation and Radio Service). Ketegasan itu seringkali mengakibatkan terjadinya kontroversi. Billy Graham menyebutnya sebagai "the greatest missionary of our time," dan pada saat kematiannya di tahun 1982, Ralph Winter (dari United States Center for World Mission) menempatkannya sebagai salah seorang misionaris yang paling menonjol selama dua abad terakhir ini -- sejajar dengan William Carey dan Hudson Taylor. Cam Townsend, demikian dia sering dipanggil, lahir di California pada tahun 1896 saat kondisi perekonomian buruk. Pada waktu masih muda ia hidup dalam kemiskinan. Cam dibesarkan dalam lingkungan Gereja Presbiterian (the Presbyterian Church). Dia kuliah di Occidental College, sebuah sekolah Presbiterian di Los Angeles. Memasuki tahun kedua kuliahnya, Cam bergabung dalam Student Volunteer Movement. Pada masa kuliahnya, The Bible House of Los Angeles membutuhkan salesman Alkitab untuk wilayah Amerika Latin dan Cam merasa tertarik. Dia melamar pekerjaan itu dan diterima. Cam ditugaskan di wilayah Guatemala dan berangkat pada bulan Agustus 1917 bersama dengan seorang temannya. Menjual Alkitab di Amerika Tengah -- dimana Alkitab sangat sulit diperoleh -- secara sekilas tampak seperti melakukan pelayanan yang menjanjikan. Namun akhirnya Cam menyadari bahwa usahanya itu ternyata siasia saja. Wilayah kerjanya kebanyakan di daerah-daerah pinggiran yang dihuni oleh sekitar 2000 orang Cakchiquel Indian yang sama sekali tidak dapat memahami Alkitab dalam bahasa Spanyol yang dijualnya. Bahkan kelompok orang Indian itu sama sekali belum memiliki bahasa tulis. Saat Cam melakukan perjalanan di daerah-daerah tersebut, dia mulai terbiasa mendengarkan bahasa tutur yang dipakai orang-orang Indian itu. Cam merasa terbeban dengan keadaan mereka. Suatu saat salah seorang dari orang Indian itu berkata padanya, "Jika Allah yang kau sembah benar-benar pintar, mengapa Dia tidak mau mempelajari bahasa kami?" Cam Townsend tertantang dengan pertanyaan itu dan selanjutnya dia mendedikasikan 13 tahun hidupnya untuk tinggal bersama dengan suku primitif Cakchiquel Indian. Tujuannya yang utama adalah mempelajari bahasa yang mereka gunakan, menyalinnya dalam bentuk tulisan, dan

akhirnya yang paling penting adalah menerjemahkan Alkitab dalam bahasa tersebut. Setelah bekerja keras selama 10 tahun, akhirnya pada tahun 1929, Cam berhasil menyelesaikan terjemahan Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa Cakchiquel Indian. Penerjemahan tersebut memantapkan keyakinan Cam akan pentingnya proyek penerjemahan Alkitab. Cam berkeinginan untuk terus menerjemahkan Alkitab bagi suku-suku yang belum memiliki bahasa tulis. Namun Central American Mission menyatakan bahwa sudah menjadi tugas Cam bahwa ia harus tetap tinggal di wilayah Cakchiquel Indian dan memelihara pertumbuhan iman mereka. Karena perbedaan pendapat tersebut, akhirnya Cam mengundurkan diri. Pada tahun 1934 bersama dengan L.L. Legters mendirikan Cam Wycliffe di Arkansas -- cikal bakal dari Summer Institute of Lingusistics (SIL). Kedua orang tersebut memberi perhatian khusus tentang pelatihan linguistik bagi para penerjemah Alkitab. Meskipun tidak terlibat secara langsung sebagai organisasi misi, namun SIL memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi kemajuan dunia penginjilan. Meskipun SIL memegang peran penting dalam proyek penerjemahan Alkitab, namun bentuknya sebagai organisasi sekuler (dengan tujuan agar dapat menjalin hubungan-hubungan yang baik dengan pemerintah asing) tidaklah sesuai sebagai organisasi pendukung misi. Karena itu pada tahun 1942, Wycliffe Bible Translators -- namanya diambil dari John Wycliffe, penerjemah Alkitab pada abad ke-14 yang dikenal sebagai "The Morning Star of the Reformation" -- secara resmi didirikan. Bersama dengan Elaine -- istri keduanya (istri pertama Cam, Elvira Malmstrom, meninggal pada tahun 1944) -- Cam melakukan pelayanan di Peru selama 17 tahun, tempat dimana keempat puteranya dilahirkan. Mereka terus melanjutkan pelayanan dan merintis pelayanan di Colombia. Meskipun Cam dikenal sebagai seorang misionaris yang besar, namun dia tetap menganggap dirinya sebagai seorang penerjemah Alkitab. Sesudah melayani selama 50 tahun, saat dimana kebanyakan orang mulai memikirkan tentang pensiun, Cam mempersiapkan diri untuk pergi melayani bersama Elaine ke Uni Soviet. Setelah mempelajari bahwa ada sekitar 100 bahasa tutur di wilayah Caucasus -- dan belum ada terjemahan Alkitab dalam sebagian besar bahasa-bahasa itu -- maka Cam memutuskan untuk melibatkan diri mulai dari awal dalam proyek penerjemahan Alkitab untuk wilayah Caucasus. Jadi, pada umur 72 tahun, Cam bersama Elaine mempelajari bahasa Rusia selama beberapa jam setiap harinya. Setelah persiapan awal itu selesai dilakukan, mereka berangkat ke Caucasus. Dalam seluruh kehidupannya, ada satu filosofi yang memotivasi Cam dan memusatkan seluruh perhatiannya pada Alkitab: "The greatest missionary is the Bible in the mother tongue. It never needs a furlough, is never considered a foreigner." ('Misionaris' terhebat adalah Alkitab dalam bahasa ibu/bahasa yang dipahami penduduk setempat. 'Misionaris' ini tidak perlu cuti dan tidak pernah dianggap orang asing.) Filosofi dari Cam inilah yang menjadikan WBT/SIL dan JAARS dapat berkembang sampai saat ini. Diterjemahkan dan diringkas dari: Judul buku : From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions Penulis : Ruth A. Tucker Penerbit : Zondervan Corporation, Grand Rapids, Michigan

Halaman

: 351 -- 357

e-JEMMi 08/2002

D.L. Moody

Dwight L. Moody dilahirkan di Northfield, Massachusetts, pada tanggal 5 February 1837 dari pasangan Edwin Moody dan Betsey Holtom. Ayahnya bekerja sebagai seorang tukang batu. Ayahnya meninggal saat Moody masih kecil dan dalam masa kesusahan mereka. Sejak itu ibunyalah yang bekerja keras membanting tulang untuk membesarkan anak-anaknya menjadi orang-orang dewasa yang baik. Masa kecil Moody dilalui sebagaimana anak-anak kecil lain di tempatnya. Ia bersekolah, dan pada musim panas ia bekerja untuk menggembalakan lembu tetangganya dengan upah satu sen sehari. Moody merupakan anak yang periang dan humoris, tapi juga terkadang nakal dan menjadi pengacau di kelasnya. Sampai suatu saat Moody berhadapan dengan gurunya yang menegur perbuatan Moody dengan kasih dan teguran itu membuat Moody menyadari kesalahannya. Moody kecil tidak terlalu berminat terhadap masalah agama, tetapi ibunya Betsey selalu tekun mengajar anak-anaknya untuk berdoa dan menepati janji. Dari masa kecilnya tidak ada tanda atau peristiwa yang menunjukkan bahwa Moody akan dapat berbuat demikian mengagumkan di kemudian hari. Saat beranjak dewasa ia pindah ke Boston untuk bekerja di perusahaan sepatu pamannya sebagai pelayan toko. Ia memiliki cita-cita untuk menjadi pengusaha yang sukses dan mulai belajar seluk beluk perusahaan. Di kota inilah ia mulai mengalami pertumbuhan rohani ketika berjemaat di Gereja Mount Vernon. Pada tanggal 20 September 1856 Moody pindah ke Chicago untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan untuk mengikuti bimbingan Allah. Pekerjaannya tidak jauh dari pekerjaan sebelumnya yakni di toko sepatu. Ia suka sekali bersosialisasi dengan orangorang baru terutama orang-orang yang merantau. Ia pun memulai pelayanannya dengan membagi-bagikan brosur dan selebaran serta mengajak orang-orang untuk menghadiri kebaktian gereja. Ia juga membuka Sekolah Minggu dengan tujuan untuk menyelamatkan anak-anak di bagian kota yang buruk. Banyak anak nakal yang tadinya menentangnya diajaknya bergabung dan mereka menuruti ajakannya dan bertobat. Pekerjaannya pun juga semakin membaik.

Moody mulai berkonsentrasi penuh dalam melayani Tuhan, di tahun 1860 ia mengambil keputusan untuk meninggalkan bisnisnya. Ia mulai mengadakan kebaktian-kebaktian minggu malam untuk anak-anak dan bergabung dengan Young Men's Christian Association (YMCA) di Chicago. Pelayanannya pun semakin berkembang dan untuk menampung kebaktian orang-orang yang dilayaninya ia mendirikan Illinois Street Church. Pada masa perang saudara meletus, Moody juga terjun memberitakan Injil ke kemah-kemah prajurit dan mengadakan kebaktian-kebaktian. Sampai- sampai ada resimen yang disebut resimen YMCA karena terdiri dari orang-orang Kristen yang taat. Pelayanannya ke Inggris dimulai pada tahun 1867 dan ia mengunjungi beberapa tempat di sana serta Irlandia. Di tempat inilah Moody bertemu dengan seorang pendeta muda bernama Harry Moorehouse yang meminta Moody agar diijinkan untuk berkhotbah di gerejanya di Chicago. Awalnya Moody menilai bahwa pemuda tersebut belum cakap dalam berkhotbah tapi pada akhirnya ia mengijinkan Harry untuk berkhotbah di gerejanya. Ternyata tidak seperti yang dipikirkannya Harry mampu membawakan khotbahnya dengan sangat mengesankan selama tujuh hari berturut-turut dari pasal yang sama Yohanes 3:16 dengan pewahyuan yang selalu baru. Hal ini mengubah cara Moody berkhotbah dan dia semakin rajin menyelidiki Alkitab. Dalam pelayanannya banyak orang yang membantu Moody, termasuk Ira D. Sankey seorang yang memiliki talenta dalam menyanyi, yang tadinya sudah bekerja sebagai pegawai negeri di bidang pajak. Kemudian ia diajak Moody untuk full time sebagai pemimpin pujian dalam pelayanannya. Sankey meminta waktu untuk berpikir dan akhirnya menerima tawaran tersebut. Bersama-sama mereka menjadi pasangan yang luar biasa dalam mengabarkan Injil. Tanggal 8 Oktober 1871 terjadi kebakaran besar di Chicago. Illinois Street Church dan Farewell Hall tempat Moody melayani selama bertahun- tahun turut terbakar. Namun Moody tidak putus asa. Ia segera mencari dukungan dari berbagai pihak untuk menolong para korban kebakaran dan gerejanya. Bantuan pun segera mengalir dari berbagai pihak, usahanya tidak sia-sia karena 2,5 bulan kemudian didirikan bangunan sementara yang letaknya tak jauh dari bangunan terdahulu dan dinamakan North Side Tabernacle. Semakin banyak orang datang ke kebaktian yang diadakannya di tempat tersebut. Tahun 1873-1875, D.L. Moody kembali mengunjungi Inggris, dan mengunjungi kota-kota yang ada di sana. Di setiap tempat yang ia kunjungi beratus-ratus orang bertobat dan diselamatkan. Banyak surat kabar merekam peristiwa kebaktian yang dipimpin oleh D.L. Moody. Ia juga selalu melibatkan hamba-hamba Tuhan lokal dari berbagai aliran untuk membantu pelayanannya. Khotbahnya yang terakhir adalah di Kansas, Missouri, di gedung Convention Hall yang berkapasitas 15.000 orang. Ia berkhotbah dari Lukas 14:16-24 tentang perumpamaan orangorang yang berdalih. Setelah itu Moody jatuh sakit dan tidak bisa melanjutkan pelayanannya. Kemudian ia pulang kembali ke kotanya Northfield untuk beristirahat. Di kotanya inilah Moody menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan membawa kedamaian surgawi pada tanggal 22 Desember 1899. Dia menorehkan kenangan manis bagi keluarganya dan setiap orang yang pernah dilayaninya.

Sumber: Judul Buku : Riwayat Hidup D.L. Moody Penulis : AP. Fitt Penerbit : Christian Literature Crusade e-JEMMi 34/2003

Don Richardson dan Suku Sawi Di Irian Jaya

Salah satu dari ahli teori misi praktis yang telah menarik banyak minat di dunia Barat adalah Don Richardson. Bukunya "Peace Child" (Anak Perdamaian) dan "Lords of the Earth" (Para Penguasa Bumi) yang ditujukan bagi orang-orang Kristen awam ini menyajikan tentang kerumitan dalam mengkomunikasikan Injil secara lintas budaya kepada orang-orang nonKristen, khususnya suku- suku yang jauh dari peradaban barat. Mungkin lebih dari misionaris lainnya di Amerika, dia bisa menarik baik orang awam maupun para ahli misiologi. Prinsipnya tentang "Redemptive Analogy" (Analogi Penebusan) -- penerapan tentang prinsip keselamatan ke dalam budaya lokal -- telah menyebabkan antusiasme dan debat dalam siklus misiologi semenjak dia menjelaskan prinsip tersebut di sebuah seminar di Dallas Theological Seminary tahun 1973. Sejak saat itu pengaruhnya telah berkembang melalui buku-buku dan artikel-artikel yang ditulisnya, konferensi yang diadakannya, pembuatan film "Peace Child", dan asosiasinya dengan U.S. Center for World Mission di Pasadena. Dalam sebuah kebaktian di Prairie Bible Institute tahun 1955, Don Richardson, seorang pemuda yang saat itu masih berusia 20 tahun, menjawab panggilan untuk terlibat dalam pelayanan misi ke luar negeri. Panggilan yang dijawabnya ini bukanlah panggilan yang masih samar-samar -untuk pergi ke "suatu tempat" yang belum jelas -- tetapi merupakan panggilan yang penuh kepastian untuk melayani suku- suku pengayauan (pemburu kepala manusia) di Netherlands New Guinea (sekarang Irian Jaya), dimana kekejaman merupakan cara hidup suku-suku tersebut. Banyak orang menghadiri kebaktian di Prairie Bible Institute tsb. dan mendengar khotbah dari Ebenezer Vine yang berusia 71 tahun dari "Regions Beyond Missionary Union" (RBMU). Prairie Bible Institute telah cukup terbiasa melihat sebagian besar lulusannya terpanggil untuk melayani di luar negeri. Di antara lulusan yang memiliki keputusan yang sama dengan Don pada saat itu adalah Carol Soderstrom, seorang gadis cantik dari Cincinnati, Ohio, yang lima tahun kemudian menjadi istri Don.

Tahun 1962, sesudah menyelesaikan kursus di Summer Institute of Linguistics dan menunggu kelahiran anak pertama mereka, Don dan Carol berlayar menuju New Guinea, dimana mereka bergabung dengan pelayanan misionaris RBMU sampai mereka ditugaskan untuk melayani suku yang ditunjuk -- suku Sawi, salah satu suku yang memiliki budaya yang merupakan gabungan antara kanibalisme dan pengayauan. Sangat berbahaya! Tidak hanya penduduknya yang menakutkan, wilayah yang didiami suku Sawi juga merupakan tempat yang menakutkan sebagai tempat tinggal bagi istri dan anaknya yang masih berusia tujuh bulan. Namun Don tidak pernah meragukan panggilannya. Sudah cukup beban bagi Don dan Carol untuk memikirkan ketakutan akan tempat dan penyakit berbahaya yang ada di sini. Namun mereka akan bertambah takut jika mereka tidak segera menguasai bahasa suku Sawi. Hal itu merupakan pergumulan terberat bagi mereka. Meskipun merasa "otaknya serasa mengecil" dalam proses pembelajaran bahasa itu, Don mengatur jadwalnya untuk belajar bahasa Sawi selama 8 - 10 jam sehari supaya akhirnya ia dapat menjadi komunikator yang fasih dalam bahasa Sawi. Saat Don mempelajari bahasa Sawi dan semakin mengenal penduduk Sawi, dia mulai menyadari adanya rintangan-rintangan yang dihadapinya untuk mengenalkan kekristenan kepada mereka. Jurang yang memisahkan antara kekristenannya yang alkitabiah dengan keganasan suku Sawi tampaknya terlalu sulit untuk dijembatani. Bagaimana mereka dapat menceritakan tentang Juruselamat yang maha kasih, dan yang bersedia mati bagi mereka? Penghalang-penghalang komunikasi tampaknya susah diatasi sampai Don menemukan "Redemptive Analogy" (Analogi Penebusan)-- konsep dari suku Sawi mengenai "Peace Child" (Anak Perdamaian). Dalam budaya mereka, suku Sawi telah menemukan cara untuk membuktikan ketulusan niat dan membangun perdamaian. Sebelumnya, suku Sawi selalu mencurigai segala pernyataan yang dilakukan untuk menjalin persahabatan, kecuali untuk satu pernyataan: Jika seorang pria bersedia menyerahkan anak laki-lakinya kepada para musuhnya, maka pria itu dapat dipercaya. Analogi Anak Perdamaian inilah yang dipakai Don untuk menunjukkan kepada suku Sawi bahwa Allah adalah seorang Bapa yang bersedia mengorbankan putra-Nya sendiri. Anak Perdamaian ini sendiri tidak dapat menyelesaikan semua rintangan komunikasi untuk memahami Kekristenan. Oleh karena itu Don dan Carol mencari analogi-analogi lain yang dapat dipakai untuk bersaksi. Juga sebagai seorang perawat, Carol menolong hampir sebanyak 2.500 pasien setiap bulannya. Melalui kesabaran mereka berdua, lambat laun suku Sawi mulai mengenal Kekristenan. Don, dengan bantuan Carol, mulai menerjemahkan Perjanjian Baru dan mengajar suku Sawi untuk membaca. Tahun 1972, setelah satu dekade melayani suku Sawi, banyak terjadi perubahan. Rumah pertemuan yang biasa dipakai untuk beribadah diperluas. Don menyarankan untuk membuat "Sawidome" -- sebuah rumah yang dapat menampung sedikitnya 1000 orang. Rumah ini menjadi "rumah perdamaian bagi mereka yang dulu saling bermusuhan." Setelah menyelesaikan penerjemahan Perjanjian Baru, Don Richardson dan keluarganya meninggalkan suku Sawi dan menyerahkannya di bawah pengawasan para penatua gereja mereka dan John serta Esther Mills, pasangan misionaris lainnya yang melayani suku Sawi.

Diterjemahkan dan diringkas dari sumber: Judul Buku : From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions Judul Bab : New Methods and Strategy: Reaching Tomorrow's World Penulis : Ruth A. Tucker Penerbit : Academie Books, 1983 Halaman : 481 - 485

Cat. Red.: Informasi mengenai konsep "Redemptive Analogies" (Analogi Penebusan) dari Don Richardson yang menjelaskan tentang beberapa cara pemahaman budaya yang sering kali bisa dipakai untuk mengabarkan Injil pernah ditampilkan dalam arsip e-JEMMi edisi 040/2000 di alamat: ==> http://www.sabda.org/publikasi/e-jemmi/2000/40/ Anak "Anak Perdamaian" dari Don Richardson sekarang terlibat aktif dalam organisasi "Pioneers International Missions". Simak informasi tentang organisasi tersebut dalam kolom Sumber Misi berikut ini. e-JEMMi 47/2002

Elizabeth "Betty" Greene

Meskipun Betty Greene tidak menganggap dirinya sebagai pendiri MAF (Mission Aviation Fellowship), namun pada kenyataannya dialah yang bekerja paling banyak pada tahun-tahun pertama pengajuan konsep organisasi misi penerbangan (mission aviation) sebagai sebuah pelayanan misi khusus. Lebih jauh lagi, dia adalah staf pekerja full- time pertama dan pilot pertama yang terbang pada saat organisasi itu baru terbentuk. Meskipun dia seorang wanita, pengalaman dan keahliannya sebagai pilot tidak diragukan lagi. Betty bekerja di Air Force selama bulan-bulan pertama Perang Dunia II, menerbangkan misi- misi radar dan terakhir dia ditugaskan untuk mengembangkan beberapa proyek termasuk menerbangkan pesawat-pesawat pengebom B-17. Namun pelayanan di dunia militer bukanlah pilihan karir Betty. Oleh karena itu sebelum PD II berakhir dia telah meninggalkan dunia militer dan memulai pelayanan seumur hidupnya sebagai seorang pilot misionaris. Betty tertarik di dunia penerbangan sejak dia masih kecil. Pada usianya yang ke-16, dia mengikuti pelajaran penerbangan. Saat masih kuliah di Universitas Washington, Betty mendaftarkan diri untuk mengikuti program pelatihan pilot pemerintah sipil. Program ini

mempersiapkan dirinya untuk mencapai mimpinya menjadi seorang pilot misionaris. Dia bergabung dalam WASP (Women's Air Force Service Pilots), motivasi utamanya adalah mencari pengalaman yang nantinya akan membantu Betty dalam melakukan pelayanan misi. Pada waktu luangnya, Betty menyempatkan diri untuk menulis sebuah artikel yang diterbitkan oleh InterVarsity HIS Magazine. Artikel tersebut menjelaskan tentang pentingnya misi penerbangan dan sekaligus rencana-rencananya untuk mewujudkan impiannya itu. Tulisan Betty tersebut mendapat perhatian dari Jim Truxton, seorang pilot angkatan laut yang sedang mendiskusikan masalah misi penerbangan dengan dua orang temannya. Jim menghubungi Betty dan memintanya untuk bergabung dengan mendirikan organisasi misi penerbangan. Tahun 1945, sesaat setelah MAF didirikan, permintaan penting datang dari Wycliffe Bible Translators untuk menolong pelayanan mereka di Mexico. Setelah beberapa bulan melayani di Mexico, Betty diminta oleh Cameron Townsend (pendiri Wycliffe), untuk menolong pelayanannya di Peru. Tugas Betty dalam pelayanan di Peru adalah menerbangkan para misionaris dan persediaan ke daerah pedalaman. Setiap kali terbang dia selalu melewati puncakpuncak pegunungan Andes, hal itu menjadikan dirinya sebagai pilot wanita pertama yang melakukan penerbangan tersebut. Betty "mengabdikan dirinya" kepada para misionaris di Ethiopia, Sudan, Uganda, Kenya, dan Kongo. Pada tahun 1960, Betty menjalani tugas penerbangannya yang terakhir yaitu ke Irian Jaya. Tugas tersebut tidak hanya berbahaya tetapi juga sulit karena perjalanan hutannya yang berliku-liku dan mengerikan. Untuk menerima bantuan dari misi penerbangan, setiap pos misi harus membangun sendiri tempat tinggal landas pesawat. Sebelum pendaratan dilakukan, seorang pilot yang berpengalaman harus terlebih dulu terbang melintasi wilayah tersebut untuk memastikan keadaannya. Karena sebagian besar tugas Betty adalah di udara, dia segera menyadari bahwa dia tidak dapat mengimbangi teman sekerjanya, Leona St. John, atau 8 orang suku Moni yang membawakan barang-barangnya saat menyusuri hutan di wilayah Irian Jaya. Leona dan orang suku Moni tersebut telah terbiasa dengan hujan tropis yang terjadi setiap hari, melewati jembatan dari tumbuhan yang gemerisik bunyinya, dan juga saat melalui lahan berlumpur yang sangat licin. Betty mengatakan bahwa dia tidak tahu seberapa beratnya perjalanan tersebut. Namun kelelahan fisik yang dialaminya segera tergantikan dengan ketakutan saat secara tidak sengaja rombongan Betty itu terjebak di tengah- tengah peperangan antar suku - mereka menyaksikan pemandangan kematian dan pembunuhan yang mengerikan. Tapi semua ketakutan dan kelelahan yang dialami dalam menempuh perjalanan itu akhirnya terobati saat Betty, Leona dan para pembawa barangnya tiba di desa tujuan mereka. Sambutan yang ramah diterimanya dari penduduk setempat dan sepasang misionaris yang telah bertugas di sana. Terlebih dari itu Betty juga menemukan tempat untuk pesawatnya mendarat. Perayaan yang sebenarnya baru terjadi keesokan harinya saat seorang pekerja MAF mendarat dengan membawa semua persediaan yang dibutuhkan. Pelayanan Betty mendapatkan banyak penghargaan. Namun pengalaman yang tak terlupakan sepanjang karirnya adalah saat dia melayani di Irian Jaya selama hampir dua tahun. Saat Betty diwawancara pada tahun 1967 tentang apakah dia akan "mendorong seorang wanita untuk melakukan pelayanan seperti yang dia lakukan," Betty menjawab: "MAF tidak setuju, dan juga saya ... Kami memiliki tiga alasan mengapa kami tidak menerima wanita untuk pelayanan

ini: 1) Sebagian besar wanita tidak terlatih dalam hal mekanis. 2) Kebanyakan tugas pelayanan dalam misi penerbangan merupakan tugas yang berat. Misalnya ada kargo besar yang harus diangkut dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh seorang wanita. 3) Fleksibilitas; misalnya, jika ada sebuah tempat yang mengharuskan seorang pilot tinggal di sana selama beberapa hari/minggu, anda tidak dapat meminta seorang wanita untuk melakukannya." Tanpa menghiraukan kebijaksanaan MAF masa lampau tentang deskriminasi gender tersebut, sampai saat ini masih banyak wanita yang terjun dalam pelayanan misi penerbangan. Sekarang setelah lebih dari satu dekade munculnya kesadaran feminisme, kebijaksanaan MAF mengalami perubahan. Para wanita dapat diterima sebagai pilot. Baru- baru ini, Gina Jordon yang memiliki 15.000 jam terbang sebagai pilot telah meninggalkan pekerjaannya di Kanada dan bergabung dengan MAF sebagai seorang pilot untuk pelayanan di Kenya. Diterjemahkan dan diringkas dari: Judul buku : From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions Penulis : Ruth A. Tucker Penerbit : Zondervan Corporation, Grand Rapids, Michigan Halaman : 395 -- 398 e-JEMMi 16/2002

Florence Young -- Bunga di Pulau Queensland

Sekitar abad 18, kepulauan Pasifik dikenal sebagai surganya bumi pada saat itu. Banyak penjelajah dan pedagang yang singgah di kepulauan tersebut selalu terpana dengan keindahan dari kepulauan ini. Termasuk juga para penulis antara lain: William Melville, Robert Louis Stevenson, dan James Michener mengungkapkan dengan piawai melalui novel-novel tulisan mereka. Meskipun demikian, ada banyak jiwa yang tinggal di kepulauan Pasifik tersebut sedang sekarat karena belum mengenal Kristus. Banyak lembaga misi yang rindu untuk melayani di kepulauan ini dan banyak sumber daya manusia dibutuhkan untuk mendukung penginjilan yang dilakukan. Namun para misionaris yang diutus terkadang hanya sebentar melakukan pelayanannya. Selain karena faktor geografis yang agak sulit untuk menjangkau kepulauan-kepulauan tersebut pada masa itu, faktor terbesar yang membuat penduduk menolak kehadiran para misionaris adalah

karena sikap dari para pedagang dan pelaut yang singgah di wilayah ini. Mereka datang untuk mengeksploitasi para penduduk -- termasuk dengan maraknya perdagangan budak pada masa itu -- dan sumber daya alam yang ada. Walau ada banyak kendala, banyak misionaris yang terus berjuang untuk memenangkan penduduk kepulauan ini termasuk mereka yang telah dijadikan budak di tempat-tempat lain. Salah satunya adalah Florence Young yang kesaksiannya bisa Anda simak dalam Tokoh Misi berikut ini. Bila dibandingkan dengan kepulauan lain, maka pada abad 19 (sekitar tahun 1983 -saat buku ini ditulis), kepulauan Pasifik mempunyai prosentasi kekristenan yang tinggi. Ironisnya, bisnis penculikan orang-orang negro atau Polinesia untuk dijadikan budak yang telah banyak menimbulkan kerusakan di kepulauan Pasific Selatan ternyata menjadi pintu gerbang utama bagi masuknya penginjilan di kepulauan Solomon. Sementara beberapa misionaris seperti John Coleridge Patteson dengan sengit menentang lalulintas tersembunyi dari bisnis "manusia" ini, namun ada beberapa misionaris lain termasuk Florence Young yang tampaknya "menerima" hal tersebut dan malah bekerja dalam sistem yang mendukung perbudakan itu. Florence Young adalah seorang warga Sydney, Australia. Dia adalah orang yang pertama kali mengekspresikan keprihatinannya tentang kesejahteraan rohani para pekerja perkebunan di South Seas. Saudara- saudara Florence adalah pemilik Fairymead, perkebunan tebu yang besar di Queensland, dan kunjungannya ke perkebunan ini telah mengubah pandangan hidup Florence. Meskipun keterlibatan para saudaranya dengan para pedagang budak tidaklah jelas (beberapa pemilik perkebunan biasanya membuat kontrak kerja dengan badan penyalur pekerja resmi), namun yang pasti, Florence bersedia bekerja dalam sistem ini untuk mengenalkan Injil kepada para budak. Sebagai anggota jemaat dari Plymouth Brethren, Florence Young telah mempelajari Alkitab sejak dia masih kanak-kanak dan sangat mendukung pelayanan pengajaran yang dilakukannya sejak tahun 1882. Kelas kecil pertamanya yang terdiri dari 10 budak merupakan suatu awal yang kurang menggembirakan. Namun jumlah ini terus bertambah dan tak lama kemudian, dia mempunyai 80 murid di kelas yang diadakan setiap hari Minggu. Separo dari jumlah itu datang secara rutin dalam kelompok pemahaman Alkitab yang diadakan setiap sore. Respon tersebut jauh melebihi dari yang dibayangkan Florence. Anda bisa membayangkan kondisi para budak saat itu. Menebas batang tebu pada jam 12 siang atau selama beberapa jam setiap hari di bawah terik matahari merupakan pekerjaan yang 'mematikan'. Banyak budak meninggal karena bekerja dalam kondisi dan tekanan seperti itu termasuk Jimmie, budak pertama yang bertobat di perkebunan itu. Meskipun demikian, mereka berani mengorbankan jam-jam istiharat yang berharga untuk mendengarkan Injil. Kesuksesan dari pelayanan Florence Young di Fairymead ini memberinya semangat untuk melakukan hal yang sama di perkebunan-perkebunan lainnya di Queensland, dimana ada 10000 budak tinggal dalam kondisi yang serupa, bahkan ada yang lebih buruk lagi. Pemberian dana kasih dari George Mueller (juga menjadi jemaat Plymouth Brethren) merupakan stimulan yang dibutuhkan Florence untuk mendirikan Queensland Kanaka Mission (Kanaka merupakan istilah yang digunakan untuk "para pekerja yang diimpor"). Florence juga mendapat dukungan dari

seorang guru misionaris dan menulis surat secara rutin kepada para pemilik perkebunan yang ada di wilayahnya. Pada akhir abad 19, melalui pelayanan yang dilakukan 19 misionaris, ribuan orang telah mengikuti kursus Alkitab yang diadakan Florence dan ada yang berkeinginan untuk memberitakan Injil saat mereka kembali ke negara asal mereka. Pada tahun 1890, Florence merasa Allah memanggilnya untuk terlibat dalam pelayanan misi ke China. Oleh karena itu, dia ikut melayani bersama China Inland Mission. Namun dia kembali lagi ke South Seas pada tahun 1900 untuk mengarahkan secara langsung pelayanan misi yang telah dirintisnya karena pelayanan ini telah mengarah ke fase yang berbeda. Hukum telah melarang perdagangan budak berkulit hitam dan sistem kerja paksa juga telah dilarang. Pada tahun 1906, banyak budak telah dipulangkan ke kampung halamannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa pelayanan Florence berhenti sampai di sini. Pelayanan Follow-up diperlukan untuk melanjutkan pelayanan yang telah dirintis tersebut. Florence dan beberapa misionaris berlayar menuju Solomon Islands dimana mereka melayani para petobat baru dan mendirikan gereja. Pada tahun 1907, Queensland Kanaka Mission mengganti namanya menjadi South Sea Evangelical Mission. Florence dibantu oleh ketiga keponakannya -- Northcote, Norman, dan Katherine Deck sangat aktif dalam melakukan pelayanan ini. Tahun-tahun berlalu, 10 orang lebih sahabat dekatnya menjadi misionaris dan menyusul Florence ke Solomon Islands. Diterjemahkan dan diringkas dari: Judul buku : From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions Penulis : Ruth A. Tucker Penerbit : Zondervan Corporation, Grand Rapids, Michigan Halaman : 223 -- 224 e-JEMMi 04/2004

Hudson Taylor

Hudson Taylor dilahirkan di Yorkshire, Inggris, pada tahun 1832. Sejak masih kecil, ayahnya -seorang ahli pharmasi, telah menanamkan nilai- nilai Kristiani kepadanya. Setiap hari ayahnya selalu membacakan dan menjelaskan ayat-ayat dalam Alkitab. Bahkan ia menginginkan agar anaknya kelak menjadi seorang misionaris. Usaha ini ternyata tidaklah sia-sia karena ternyata sebelum berumur lima tahun Taylor sudah mempunyai keinginan untuk menjadi seorang misionaris dan tempat yang menjadi tujuan dari misinya adalah China.

Meskipun sejak kecil sudah terbiasa dengan kehidupan Kristiani, ternyata pada saat mulai menginjak remaja, ia mulai merasa ragu-ragu dengan apa yang pernah diajarkan oleh ayahnya. Tetapi berkat doa dari ibu dan saudara perempuannya, keragu-raguan itu akhirnya dapat segera diatasi setelah ia membaca sebuah buku tentang karya penyelamatan Kristus yang ia temukan di ruang baca ayahnya. Ia lalu berlutut dan berdoa kepada Tuhan serta mohon pengampunan padaNya. Sejak saat itu Taylor mulai memusatkan perhatiannya pada keinginannya untuk melakukan misinya ke China. Meskipun sangat antusias dengan misi penginjilannya itu tetapi ia tetap mengutamakan pendidikannya di bidang farmasi. Keinginannya untuk melakukan misi penginjilan di China dapat terwujud secara tak sengaja ketika Hung, yang juga seorang Kristen, menjadi kaisar di China. Demi mewujudkan keinginannya itu ia rela berhenti dari training dibidang obat-obatan yang selama ini ia kerjakan. Kesempatan untuk melakukan penginjilan di China ini juga merupakan jawaban doa direktur Chinese Evangelization Society (CES) yang mensponsori pelatihan yang diikuti Taylor. CES adalah suatu misi penginjilan di atas kapal yang tidak terorganisasi dan tak seorangpun di China yang diijinkan untuk bekerja dengan misi ini. Taylor mulai berlayar ke China pada bulan September 1853 dan tiba di Shanghai di awal musim semi tahun 1854. Bagi Taylor, China dengan berbagai adat istiadat masyarakatnya dan berbagai keunikan lainnya sangat menantang dirinya untuk melakukan misi penginjilan tersebut. Kesepian adalah masalah utama yang dihadapi Taylor pada saat tiba di Shanghai, selain itu ia juga mengalami masalah keuangan sedangkan di Shanghai pada waktu itu sedang terjadi kenaikan harga-harga kebutuhan. Usaha-usahanya untuk menyesuaikan diri dengan bahasa setempat sempat membuatnya sangat tertekan. Tetapi dengan iman dan kepercayaannya yang kuat kepada Tuhan, ia berhasil mengatasinya dengan mulai menyalurkan hobinya, yaitu bercocok tanam dan mengoleksi serangga. Setahun setelah ia sampai di China, Taylor segera mulai melakukan perjalanan penginjilan menelusuri China. Dalam perjalanannya itu ia terkadang harus melakukannya seorang diri tanpa bantuan orang lain. Di Shanghai, misionaris yang berasal dari luar negeri bukanlah hal yang baru. Meskipun demikian ketika Taylor mulai melakukan penginjilan, masyarakat Shanghai tidak memperhatikan pesan yang ia sampaikan. Mereka jauh lebih tertarik pada cara berpakaian dan cara hidupnya. Keadaan ini membuat Taylor sadar bahwa hanya ada satu cara untuk bisa melakukan penginjilan di daerah ini, yaitu dengan menjadi orang China, yaitu mengikuti cara berpakaian dan kebudayaannya. Meskipun mengikuti tradisi China ternyata bukanlah hal yang mudah bagi Taylor, namun ia tetap melakukannya. Ia rela mencukur rambutnya dengan model "pigtail", botak di bagian depan kepalanya dan panjang serta dikepang di bagian belakang, bahkan ia pun rela mengubah cara berpakaiannya. Walaupun perubahan penampilannya itu sangat menyiksa dirinya bahkan ia dijadikan bahan lelucon dari pengikut-pengikutnya tetapi perubahan itu baginya adalah suatu "trademark" tersendiri. Ternyata usahanya ini tidaklah sia-sia karena dengan penampilannya

yang baru ini justru memudahkan dirinya dalam melakukan perjalanan penginjilan ke seluruh China. Perjalanan yang harus ia tempuh bukanlah suatu perjalanan yang mudah karena selain melakukan penginjilan, Taylor juga melakukan praktek pengobatan dan ia pun harus bersaing dengan dokter lokal. Masalah keuangan tetap menjadi beban utama Taylor sehingga ia tetap mengharapkan kiriman dana dari Inggris. Selain itu rasa sepi yang pernah ia alami pada bulanbulan awal ketika ia tiba di Shanghai masih tetap membayanginya sehingga mulai terpikir dalam benaknya untuk memiliki seorang istri. Taylor teringat kembali kepada Miss Vaughn, tunangannya ketika masih berada di Inggris yang meskipun telah bertunangan dua kali mereka gagal menikah karena Miss Vaughn tidak mau ikut Taylor ke China. Taylor kemudian sadar bahwa keinginannya untuk untuk memperistri Miss Vaughn adalah sia-sia. Taylor kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Elizabeth Sisson, seorang gadis yang juga ia kenal di Inggris. Meskipun Elizabeth tidak menolak lamarannya, namun ternyata kisah mereka tidak berjalan lama. Elizabeth memutuskan pertunangan mereka dan diduga penyebabnya adalah karena model pakaian dan rambut Taylor yang seperti orang China. Keputusan Elizabeth ini sempat membuat Taylor "menyerah dari penginjilan" yang ia lakukan. Sampai akhirnya ketika Taylor tiba di Ningpo, sebuah kota di sebelah selatan Shanghai ia bertemu dengan Maria Dyer. Maria adalah seorang guru di sebuah sekolah yang khusus untuk anak perempuan milik Miss Mary Ann Aldersey. Miss Aldersey adalah seorang misionaris wanita pertama yang datang ke China dan ia juga orang pertama yang membuka sekolah untuk anak perempuan di negara yang didominasi oleh kaum pria ini. Maria dan Taylor berkenalan di bulan Maret 1857. Meskipun pada awalnya Maria menolak lamaran Taylor namun akhirnya mereka menikah pada tanggal 20 Januari 1858. Maria benarbenar merupakan wanita yang Taylor butuhkan untuk melengkapi kehidupannya. Mereka tinggal Ningpo selama tiga tahun dan selama waktu itu secara tak sengaja Taylor diangkat menjadi seorang pengawas di sebuah rumah sakit lokal setempat. Tahun 1860 Taylor dan Maria kembali ke London untuk mempersiapkan berbagai hal dan memulihkan kesehatan mereka. Kesempatan ini juga digunakan Taylor untuk melanjutkan pendidikannya selain juga untuk membuat terjemahan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Ningpo. Pada saat yang sama, Taylor mendirikan China Inland Mission (CIM) -- suatu organisasi misionaris yang terbentuk berdasarkan pengalaman dan kepribadian Taylor. Taylor sadar bahwa China tidak akan pernah menerima penginjilan jika ia harus menunggu misionaris yang terpelajar untuk pergi ke sana. Karena itu Taylor merekrut orang-orang Inggris yang terpelajar untuk melakukan penginjilan ke China. Taylor juga mendirikan kantor CIM di China yang akan memperhatikan berbagai kebutuhan misionaris di sana. Secara resmi CIM berdiri pada tahun 1865 dan tahun berikutnya Taylor mulai melakukan persiapan untuk berlayar ke China bersama dengan Maria, keempat anaknya, lima belas orang pengikutnya. Selama dalam pelayaran, rombongan ini tidak lepas dari berbagai permasalahan

yang melanda mereka tetapi berkat kesabaran dan pendekatan secara pribadi segala permasalahan dapat diatasi oleh Taylor. Setibanya di Shanghai, Taylor segera memesan pakaian model China bagi pengikutnya. Meskipun para pengikutnya telah mengetahui cara adaptasi ini tetapi keterkejutan mereka tetap tak dapat dihindari. Bahkan pengikut setia Taylor-pun ada yang merasa putus asa dan ingin menyerah, tetapi berkat pertolongan Tuhan permasalahan ini dapat diatasi. Pada tahun 1868, rumah yang digunakan sebagai tempat penginjilan Taylor di Yangchow, dirusak dan dibakar. Peristiwa ini hampir merenggut nyawa para misionaris dan Maria. Meskipun peristiwa ini mengakibatkan banyak kerugian dan sempat membuat Taylor menyerah tetapi berkat dukungan dari salah seorang temannya, semangat Taylor kembali menyala untuk meneruskan misinya. Ia merasa bahwa melalui berbagai peristiwa yang terjadi Tuhan menjadikan ia sebagai orang yang baru. Peristiwa yang tak kalah menyedihkannya adalah ketika Sammy, anaknya yang masih berusia lima tahun meninggal di awal bulan Februari. Beberapa bulan kemudian, Maria yang sedang hamil menderita sakit yang sangat serius. Awal bulan Juli Maria melahirkan seorang anak lakilaki yang hanya berumur dua minggu. Beberapa hari setelah kematian anaknya ini, Maria juga meninggal pada usia 33 tahun. Tanpa Maria, Taylor benar-benar kehilangan semangat dan kesepian. Karena alasan itulah sebulan setelah kematian Maria, ia pergi ke Hangchow. Di sanalah ia menghabiskan waktu bersama Jennie Faulding, seorang misionaris muda yang masih berusia 22 tahun yang merupakan teman dekat keluarga Taylor sejak mereka tiba di China. Setahun kemudian mereka kembali ke Inggris dan menikah. Tahun 1872, mereka kembali lagi ke China bersama dengan para misionaris yang lebih banyak lagi jumlahnya. Seiring dengan perkembangan CIM, Taylor menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengelilingi China. Semakin luas daerah yang diinjili semakin besar pula beban yang harus ditanggung. Meskipun demikian, Taylor mempunyai rencana, yaitu jika ia berhasil merekrut 1000 misionaris dan jika masing-masing misionaris bisa menginjili 250 orang setiap hari maka hanya dalam jangka waktu kira-kira tiga tahun seluruh China sudah bisa mendapatkan penginjilan. Ini adalah visi yang tidak realistik, dan rencananya ini tidak pernah tercapai. Meskipun demikian, CIM memberikan sesuatu yang tak terlupakan di China. Tahun 1882 CIM berhasil memasuki setiap propinsi di China dan di tahun 1895, 30 setelah didirikan, CIM telah memiliki lebih dari 650 misionaris yang mengabdikan hidupnya di China. Tahun-tahun terakhir di abad 19 adalah tahun yang penuh dengan tekanan dan melelahkan. Tekanan modernisasi dan pengaruh dari negara barat berlawanan dengan tekanan tradisi dan antagonisme terhadap orang-orang asing. Pada bulan Juni 1900 kekaisaran Peking memerintahkan untuk membunuh semua orang asing dan melarang semua kegiatan yang berhubungan dengan agama Kristen. 135 orang misionaris dan 53 anak- anak para misionaris dibunuh secara brutal.

Taylor kemudian diasingkan di Switzerland, memulihkan kembali kesehatannya dari kejadian yang membuatnya trauma meskipun ia tidak dapat benar-benar menghilangkan trauma yang dialaminya. Tahun 1902, Taylor menempati kembali jabatannya sebagai pimpinan utama misi. Taylor dan Jennie tinggal disana sampai Jennie meninggal tahun 1904. Setahun kemudian Taylor kembali ke China dimana akhirnya ia meninggal dengan tenang sebulan setelah kedatangannya. Meskipun Taylor telah meninggal, namun CIM tetap berkembang. Puncak kejayaan CIM terjadi tahun 1914 dimana CIM menjadi organisasi misi yang terbesar di dunia dan pada tahun 1934 berhasil memiliki misionaris sebanyak 1368. Tahun 1964 CIM berganti nama menjadi "The Overseas Missionary Fellowship". Diterjemahkan dan diringkas dari sumber: Judul Buku : BAGAIMANA TOKOH-TOKOH KRISTEN BERTEMU DENGAN KRISTUS Judul Artikel : Pelopor Utusan Injil -- Hudson Taylor Penulis : James C. Hefley Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2000 Halaman : 66 - 68 Judul Buku Judul Bab Judul Artikel Penulis Penerbit Halaman : From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions : The Far East : "Barbarians Not Welcome" : The J. Hudson Taylors : Ruth A. Tucker : Academie Books, 1983 : 173 - 188

Ingwer Ludwig Nommensen

Nommensen adalah seorang tokoh pekabar Injil berkebangsaan Jerman yang terkenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya adalah berdirinya sebuah gereja terbesar di wilayah suku bangsa Batak Toba. Gereja itu bernama Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Tidak berlebihan jikalau ia diberi gelar Rasul Batak. Ia sudah memberikan seluruh hidupnya bagi pekerjaan pekabaran Injil di tanah Batak.

Nommensen dilahirkan pada tanggal 6 Februari 1834 di sebuah pulau kecil, Noordstrand, di Jerman Utara. Nommensen sejak kecil sudah hidup di dalam kemiskinan dan penderitaan. Sejak kecil ia sudah mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Ayahnya adalah seorang yang miskin melarat dan selalu sakit-sakitan. Pada umur 8 tahun ia mencari nafkah dengan menggembalakan domba milik orang lain pada musim panas dan pada musim dingin ia bersekolah. Pada umur 10 tahun ia menjadi buruh tani sehingga pekerjaan itu tidak asing lagi baginya. Semuanya ini nampaknya merupakan persiapan bagi pekerjaannya sebagai pekabar Injil di kemudian hari. Tahun 1846 Nommensen mengalami kecelakaan yang serius. Pada waktu ia bermain kejarkejaran dengan temannya, tiba-tiba ia ditabrak oleh kereta berkuda. Kereta kuda itu menggilas kakinya sehingga patah. Terpaksa ia berbaring saja di tempat tidur berbulan-bulan lamanya. Teman-temannya biasanya datang menceritakan pelajaran dan cerita- cerita yang disampaikan guru di sekolah. Cerita-cerita itu adalah tentang pengalaman pendeta-pendeta yang pergi memberitakan Injil kepada banyak orang dan Nommensen sangat tertarik mendengar ceritacerita itu. Lukanya makin menjadi parah sehingga dia tidak dapat berjalan sama sekali. Sekalipun sakit, Nommensen belajar merajut kaos, menjahit dan menambal sendiri pakaiannya yang robek. Pada suatu hari ia membaca Yohanes 16:23-26, yaitu tentang kata-kata Tuhan Yesus bahwa siapa yang meminta kepada Bapa di surga maka Bapa akan mengabulkannya. Nommensen bertanya kepada ibunya, apakah perkataan Yesus itu masih berlaku atau tidak. Ibunya meyakinkannya bahwa perkataan itu masih berlaku. Ia meminta ibunya untuk berdoa bersama- sama. Nommensen meminta kesembuhan dan dengan janji, jikalau ia sembuh maka ia akan pergi memberitakan Injil. Dan memang doanya dikabulkan karena beberapa minggu kemudian kakinya sembuh. Setelah sembuh kembalilah Nommensen menggembalakan domba lagi. Janjinya selalu menggodanya untuk segera memenuhinya. Oleh karena itu ia melamar untuk menjadi penginjil pada Lembaga Pekabaran Injil Rhein (RMG). Beberapa tahun lamanya ia belajar sebagai calon pekabar Injl. Tahun 1861 ia ditahbiskan menjadi pendeta. Dan sesudahnya ia berangkat menuju Sumatera dan tiba pada bulan Mei 1862 di Padang. Ia memulai pekerjaannya di Barus. Ia mulai belajar bahasa Batak dan bahasa Melayu yang cepat sekali dapat dikuasainya. Sekarang ia mulai mengadakan kontak-kontak dengan orang-orang Batak, terutama dengan raja-raja. Ia tidak jemu mengadakan perjalanan keliling untuk menciptakan hubungan pergaulan yang baik. Ia mempelajari adatistiadat Batak dan mempergunakannya dalam mempererat pergaulan. Nommensen meminta ijin untuk masuk ke pedalaman namun dilarang oleh pemerintah, karena sangat berbahaya bagi seorang asing. Namun Nommensen tidak takut. Ia memilih Silindung sebagai tempat tinggalnya yang baru. Ia mendapat gangguan yang hebat di sini, namun ia tidak putus asa. Ia berhasil mengumpulkan jemaatnya yang pertama di Huta Dame (Kampung Damai). Tahun 1873 ia mendirikan sebuah gedung gereja, sekolah dan rumahnya sendiri di Pearaja. Sampai sekarang Pearaja menjadi pusat HKBP.

Pekerjaan Nommensen diberkati Tuhan sehingga Injil makin meluas. Sekali lagi ia memindahkan tempat tinggalnya ke kampung Sigumpar, pada tahun 1891 dan ia tinggal di sini sampai dengan meninggalnya. Nommensen memberitakan Injil di tanah Batak dengan berbagai macam cara. Ia menerjemahkan PB ke dalam bahasa Toba dan menerbitkan cerita-cerita Batak. Ia juga berusaha untuk memperbaiki pertanian, peternakan, meminjamkan modal, menebus hamba-hamba dari tuantuannya, dan membuka sekolah-sekolah serta balai-balai pengobatan. Dalam pekerjaan pekabaran Injil ia menyadari perlunya mengikut- sertakan orang-orang Batak sehingga dibukalah sekolah penginjil yang menghasilkan penginjil-penginjil Batak pribumi. Juga untuk kebutuhan guru-guru sekolah, dibukanya pendidikan guru. Karena kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan penginjilan maka pimpinan RMG mengangkatnya menjadi Ephorus pada tahun 1881. Pada hari ulang tahunnya yang ke-70, Universitas Bonn memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Nommensen. Nommensen meninggal pada umur yang sangat tua, pada umur 84 tahun. Ia meninggal pada 12 Mei 1918. Nommensen dikuburkan di Sigumpar di tengah-tengah suku bangsa Batak setelah bekerja dalam kalangan suku bangsa ini selama 57 tahun lamanya. Diambil dan diedit seperlunya dari: Judul buku : Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja Judul artikel : Nommensen, Ingwe Ludwig Penulis : Drs. F.D. Wellem, M.Th. Penerbit : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1999 Halaman : 198 -- 200 e-JEMMi 42/2002

Jim XXXXXX -- Misionaris Untuk Suku Sawi

Jim Xxxxxx berumur 13 tahun ketika ayahnya meninggal dan ibunya adalah seorang Kristen yang taat. Memasuki usia remaja, tanpa figur seorang ayah membuatnya terombang-ambing oleh lingkungan, sehingga akhirnya ia terjerumus ke lembah kelam: narkotika. Hari-hari dilaluinya tanpa kedamaian. Dunia obat bius begitu menjeratnya sampai ia harus meringkuk dalam penjara. Namun Allah dengan kasih-Nya yang begitu besar menjamah Jim, sehingga ia masuk ke dalam rencana-Nya. Allah membawa Jim pada suatu rencana agung yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia akan menjadi seorang misionaris, apalagi ke tempat yang begitu jauh, yang sering disebut sebagai ujung bumi: Irian! (sekarang Papua, red.) Perjalanan misinya dimulai ketika ia menjadi mahasiswa di sebuah seminari di California, USA, setelah pertobatannya. Sebenarnya Jim hanya ingin belajar satu tahun, tetapi entah karena apa setelah satu tahun dilewati di seminari itu ia meneruskan lagi sampai empat tahun. Pada tahun ketiga ia belajar, ada sebuah jemaat di Oregon, USA, yang gembalanya baru kembali sebagai misionaris selama 30 tahun di Thailand. Jim bekerja sama dengan misionaris itu selama 2 bulan. Dalam waktu yang singkat itulah Tuhan menaruh visi untuk pelayanan misi sedunia ke dalam hati Jim. Setelah menyelesaikan tahun keempat ada praktek pelayanan ke luar negeri. Jim dikirim ke Korea Selatan dan Jepang. Tujuan praktek pelayanan ini adalah mencari peneguhan supaya para mahasiswa tahu pasti kemana mereka harus melayani. Jim berada di Korea selama satu bulan dan di Jepang selama satu bulan. Selama di Korea, Jim merasa senang melihat gereja yang berkembang pesat. Namun panggilan Tuhan belum datang ketika ia berada di Korea. Ketika berada di Kyoto, kota pusat penyembahan berhala di Jepang, Jim suatu malam berdoa semalam suntuk dan aa berkata kepada Tuhan, "Tuhan, saya tidak suka tinggal di negeri asing. Saya tidak suka makan makanan yang aneh. Saya tidak bisa berkomunikasi karena bahasa mereka lain. Saya tidak mampu. Saya tidak akan bisa menjadi seorang misionaris." Dan Tuhan menjawabnya dengan tegas, "Jim, engkau tidak bisa menjadi misionaris, tetapi Aku bisa menjadikan engkau seorang misionaris."

Anda mungkin juga menyukai