Anda di halaman 1dari 16

‘KAMU HARUS MEMBERI MEREKA MAKAN!

(PERJUANGAN P. SIMON BUIS, SVD DALAM MERINTIS GEREJA PALASARI)

Nikolaus Tabe Radja, Pr/18054

UAS Eklesiologi 1

Dosen: Dr. Antonius Denny Firmanto, M.Pd & Dra. Nanik Wijiyati Aluwesia, M.A, S.Th.L

Mahasiswa S1 Filsafat Keilahian, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.
Email: nikolausrex14@gmail.com

Abstrak

Pulau Bali sebagai wilayah hierarkis Gereja Katolik mempunyai sejarah iman yang panjang
dan menakjubkan. Hal tersebut tidak terlepas dari perjuangan dari para misionaris yang
meletakkan dasar iman yang kuat bagi perkembangan Gereja Partikular di Pulau Bali. Fokus
dari tulisan ini adalah melihat perjuangan Pater Simon Buis, SVD dalam merintis Gereja
Palasari yang merupakan saksi sejarah Keuskupan Denpasar. Perannya sebagai misionaris
seringkali berhadapan dengan stigma agama Katolik dan orang Belanda sebagai penjajah dan
penderitaan yang dialami oleh jemaat perdana Bali, entah itu dicap sebagai pengkhianat
tradisi dan kemiskinan. Dari kenyataan dan masalah tersebut beliau melakukan berbagai
karya karitatif sampai akhirnya mendirikan desa dan Gereja di pelosok daerah Bali Barat,
yang kini dikenal dengan Palasari. Metode yang dilakukan oleh penulis adalah dengan
melakukan studi pustaka, dan wawancara. Temuan dari tulisan ini adalah bahwa semangat
misonaris, khususnya P. Simon Buis, SVD sungguh menjiwai kehidupan umat di Keuskupan
Denpasar. Reksa Pastoral di Keuskupan Denpasar tentu mewujudkan agar umat Katolik
sebagai kawanan kecil mampu bersaksi dalam masyrakat majemuk, sebagaimana yang dicita-
citakan oleh para misionaris terdahulu.

Kata Kunci: misi, karya karitatif, transmigrasi, Palasari

A. Pengantar

Berbicara mengenai sejarah Gereja Katolik Bali tentu tidak lepas dengan kehadiran
Gereja Palasari. Tahun ini Gereja Palasari telah merayakan peziarahannya selama 80 tahun di
Pulau Dewata. Gereja yang terletak di Kabupaten Jembrana, Bali ini menjadi saksi kekuatan
iman dan harapan Gereja Katolik di Bali. Meskipun mereka menghadapi kenyataan bahwa
mereka adalah minoritas, didiskriminasi ditambah lagi dengan berbgai stigma, namun mereka
berhasil menjadi ‘garam dan terang dunia’ di Pulau Dewata. Iman yang teguh kepada Ida
Sang Hyang Yesus Kristus menguatkan mereka sehingga memberikan dasar yang kuat bagi
Gereja Katolik Bali ke depannya.

Namun di balik keberhasilan itu terdapat figur yang menjadi pelopor atau penggagas
berdirinya Gereja Palasari. Nama itu adalah Pater Simon Buis, SVD (Pater Buis). Seorang
misionaris asal Belanda ini memperjuangkan bagaimana umat Katolik Bali tetap bertahan dan
berkembang di tengah berbagai macam tantangan, baik di dalam maupun di luar jemaat itu
sendiri. Gereja yang akhirnya diberi nama Palasari tentu bukanlah perkara yang mudah dan
ada begitu banyak hal yang harus dikorbankan. Dalam tulisan ini penulis mengajak para

1
pembaca untuk melihat bagaimana perjuangan Pater Buis agar benih iman di Bali tetap hidup
dan akhirnya akan berbuah lebat sehingga menjadi berkat bagi masyarakat Bali.

Dalam tulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama adalah pengantar agar
dapat mempunyai gambaran umum tulisan sehingga dapat masuk ke dalam pembahasan lebih
lanjut. Kedua adalah Hasil dan Diskusi, yakni membahas Latar Belakang tokoh, konteks
eklesiologis pada masa itu, kontribusi pemikiran atau aktivitas tokoh terhadap situasi
tersebut, relevansi pemikiran tokoh terhadap masalah serupa yang terjadi pada masa kini dan
penilaian penulis terhadap ke-tokoh-an dari tokoh tersebut. Ketiga membahas tentang
kesimpulan dari tulisan ini

B. HASIL DAN DISKUSI

Biografi P. Simon Buis, SVD

Simon Buis dilahirkan di sebuah kota kecil, yaitu Medenblik, 12 Desember 1892.
Medenblik merupakan salah satu kota wisata di negeri Belanda. Sejarah mengenai kehidupan
masa kecil dan remajanya tak banyak diketahui. Kemudian pada pada tanggal 10 Oktober
1910 beliau masuk konggregasi SVD (Societas Verbi Divini) di Steyl, Belanda, yang
merupakan pusat SVD di Eropa. Kemudian pada Agustus 1919 beliau tiba di Batavia
(Jakarta) sebagai frater. Sebelum mengemban tugas di daerah misi, beliau ditugaskan ke
Muntilan, Magelang pada Rm. Van Lith, SJ. Selama bulan-bulan tersebut beliau belajar
mengenai bagaimana Gereja Indonesia berakar dan tumbuh. Beliau juga belajar bagaimana
agar Gereja Katolik masuk ke pedesaan, bercengkrama dengan penduduk pribumi, dan
persoalan pendidikan. Salah satu hal yang menarik dari peristiwa tersebut adalah ketika
Frater Buis, SVD menyumbangkan idenya kepada Rm. Van Lith, SJ. Beliau mengatakan
bahwa pendidikan saja belum cukup dalam menjalankan misi evangelisasi, ibaratkan kita
memiliki sepasang mata, karya misi akan lengkap bila ada Pendidikan dan Cinta Kasih (Bdk.
Kisah Orang Samaria yang Murah Hati, Luk 10:33-37). Hal yang beliau tegaskan adalah
pentingnya pelayanan kepada orang sakit, yang kemudian beliau sungguh menunjukkannya
selama berkarya di Bali.

Pada tahun 1921 Frater Buis menjabat sebagai sejenis jabatan penilik 1921 yang
bermarkas di Ndona, Ende yang waktu itu meliputi wilayah Sunda Kecil (yang sekarang
menjadi Bali, NTT, dan NTB). Tugas tersebut diemban frater Buis di bawah bimbingan Mgr.
Noyen, SVD. Selain itu beliau juga telah mencoba berulang kali untuk mengajukan
permohonan kepada Gubernur Jendral di Jakarta, baik bersurat ataupun beraudiensi, guna
dapat mendirikan sebuah sekolah di Bali, antara lain di Denpasar dan Klungkung. Akhirnya
pada tanggal 26 September 1921 izin keluar untuk mendirikan sebuah HIS di Gianyar. Frater
Buis mencoba untuk tugas di Bali untuk menindaklanjuti izin tersebut. Tapi karena beliau
harus menyelesaikan pendidikan Teologi terlebih dahulu, maka kesempatan emas ini
akhirnya hilang dan tanpa bekas.

Pada tahun 1922-1925 beliau memperdalam Teologi di USA. Kemudian pada tanggal
28 Maret 1925 beliau ditahbiskan sebagai imam di Chicago, USA dan selanjutnya kembali ke
Eropa untuk suatu propaganda misi. Kemudian pada 1928 beliau kembali ke New York dan
sempat menempuh studi tentang Drama, Sutradara dan teknik perfilman. Pada 4 September
1934 beliau menciptakan sebuah karya film yang berjudul “RIA RAGO”. Dalam pertunjukan
film tersebut terjadi sebuah malapetaka di sebuah gendung pertunjukan (peristiwa malapetaka
tersebut diketahui dengan pasti). Peristiwa tersebut beliau petik hikmahnya, sehingga beliau
bangkit dan kembali menjalankan misi.
2
Pater Buis tiba di pulau Bali pada 30 September 1936 untuk menggantikan tugas Pater
Kersten, SVD yang sedang jatuh sakit. Kedatangan beliau yang pertama langsung dihadapkan
pada situasi yang tidak mengenakkan. Pemerintah dan lingkungan sekitar merasa bahwa
pertumbuhan umat Katolik yang cukup pesat seakan-akan menjadi ancaman bagi, sehingga
mereka mengadakan permusuhan atas umat katolik Bali. Dalam situasi yang penuh kemelut
inilah beliau langsung menyelesaikan berbagai masalah secara diplomatis sampai tuntas,
sehingga beliau tidak hanya disegani oleh umatnya, tapi juga oleh lingkungan yang tidak
mendukungm termasuk pemerintah Hinda Belanda sendiri. Sejak saat itu, menurut kesaksian
salah satu perintis Palasari, Antonius I Wayan Geledug; bahwa beliau tidak hanya dipanggil
sebagai ‘Pastur Simon Buis’, tetapi juga sebagai ‘Pastur Simon Bima’ (diambil dari tokoh
pewayangan Bhima, salah satu dari Panca Pandawa). Dan julukan ini lebih populer lagi
ketika menyeleasaikan berbagai masalah ketika membuka hutan untuk merintis berdirinya
Gereja Palasari.

Pada tahun 1937 beliau mendapat ijin dari residen untuk berpindah dari kota menuju
desa, di tengah-tengah dengan umatnya. Selain itu beliau diperkenankan untuk membuka
balai pengobatan sederhana. Akhir Mei 1937 beliau mulai menetap di Tuka dan kegiatan misi
dijalankan di sekita Tuka, antara lain Pegending dan Padang Tawang. Adapun cita-citanya
tinggal di desa, agar dapat menjadikan desa sebagai basis kegiatan misi sebagaimana yang ia
pelajari dari Rm.Van Lith, SJ. Selama bertugas di Tuka, benih kekatolikan semakin kuat
berakar. Hal itu terbukti Ketika terjadi banyak baptisan, dan respon positif atas karya karitatif
yang dilakukannya. Pada 1940 Pater Buis menjalankan misi untuk berpindah/ transmigrasi
menuju Palasari. Beberapa tahun berselang, Palasari menjadi wilayah yang otonom, baik itu
dari segi ekonomis maupun dalam hal eklesiologis. Namun sejak kependudukan Jepang
(1942-1946) para misionaris Belanda, termasuk Pater Buis dipenjara selama 18 bulan di
Singaraja dan dipindahkan ke Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Pada Mei 1946 Pater Buis
Bersama Pater Kersten tiba kembali di Bali. Karena wilayah saat itu tidak cukup lagi untuk
ditinggali, maka ada rencana untuk memperluas wilayah atau sedikit berpindah ke tempat
yang baru dan luas (wilayah yang dimaksud adalah desa Palasari sekarang).

Pada November 1950 beliau kembali ke Belanda. Dengan diantar oleh Pater Norbert
Shadeg, SVD, beliau berpamitan dengan umatnya yang terkasih, mulai dari Lombok,
Denpasar, Tuka, Piling (Tabanan), Gumbrih, Singaraja dan Palasari. Selama di Belanda
kondisi kesehatannya semakin memburuk. Hal tersebut terbukti pada tanggal 5 Januari 1955
beliau mengalami amputasi pada tangan kanannya. Namun P. Simon Buis pantang menyerah.
Dua bulan setelah amputasi, ia sudah lancar menulis dengan tangan kiri dan memodifikasi
mesin tiknya dengan pedal supaya tetap bisa berkarya. Tujuh tahun kemudian, ia harus
menjalani beberapa operasi besar lagi karena masalah ginjal dan tumor otak. Penglihatannya
mulai tidak berfungsi. Pada tanggal 25 Agustus 1960 beliau menghadap kehadirat Allah yang
mengutusnya, pada usia 68 tahun di kompleks misionaris SVD di Deurne, Belanda.

Tuka: Betlehem-nya Bali

Kehadiran Gereja Palasari tentunya dipelopori oleh jemaat-jemaat awali di Pulau Bali,
yakni Tuka. Misi pertama di Pulau Bali dimulai ketika Pater Johanes Kersten SVD pertama
kali tiba pada tanggal 11 September 1935 dan menetap di Denpasar sejak 12 September 1935
(Hironimus Adil 2010). Selama berada di Denpasar tugas utamanya hanya melayani umat
katolik Eropa atau Melayu yang ada di Bali. Kedatangan P. Kersten, SVD juga sebenarnya
merupakan dampak dari ekpansi Hindia-Belanda di pulau tersebut; dinamika panjang Bali

3
yang akhirnya ditaklukkan oleh Hindia-Belanda di awal abad ke-20. Eddy Kristianto dengan
singkat mencatat bagaimana Bali jatuh ke tangan kolonial Hindia-Belanda:

Di samping itu, idealisme pemberontakan melawan ketidakadilan, yang sengaja


diciptakan oleh pemerintah kolonial, dengan relative mudah tersebar ke wilayah lain serta
memengaruhi daya dan semangat juang kelompok-kelompok lain yang mengalami hal
serupa. Di pulai Bali, misalnya, pemerintah Hindia Belanda dapat menanamkan
kewibawaannya baru pada 1906 dan caranya pun sangat artifisial (Kristiyanto 2015).

Ekspansi Hindia Belanda di Pulau Bali dalam arti tertentu memudahkan misi Katolik di Pulau
tersebut. Sebab pada 1912, Konggregasi Penyebaran Iman (Propaganda Fide) di Vatikan
memutuskan bahwa daerah Nusa Tenggara (Sunda Kecil) menjadi wilayah pelayanan
misionaris Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/ SVD), yang mana sekitar abad XVI
Bali sempat dikunjungi oleh para Imam Jesuit (Societas Jesu/ SJ), antara lain P. Carvalho SJ
dan P. de Azevedo SJ (Subhaga SVD, 1984).

Misi katolik di Pulau Bali kendati diberikan kemudahan (dalam hal akses masuk dan
pelayanan) namun ruang gerak mereka harus berada dalam pengawasan. Hal itu terjadi
mengingat bahwa selama masa kolonial Hindia-Belanda berlaku hukum yang kerap disebut
sebagai Artikel 177. Dalam Artikel 177 dijelaskan bahwa mereka yang hendak melakukan
evangelisasi di daerah kekuasaan Hindia Belanda harus mempunyai izin khusus dari
Gubernur Jendral Hindia Belanda. Artinya bahwa kehadiran para tokoh agama (misionaris
kristen, katolik) boleh melakukan karya evangelisasi sejauh itu tidak bertentangan dengan
misi atau tujuan dari bangsa kolonial. Akhirnya artikel tersebut dihapus pada tahun 1958.
Selain itu pemerintah setempat melarang misionaris ini untuk melakukan hubungan dan
mengajarkan agama Katolik kepada masyarakat Bali. Mereka berasumsi bahwa agama
katolik yang identik dengan kebudayaan barat dapat merusak bahkan membuat kebudayaan
Bali punah (Kusumawanta 2009). Tantangan kekatolikan di Bali akhirnya mencapai klimaks
ketika mereka berhadapan dengan raja Badung. Ia mengkhawatirkan bila semua umat Hindu
masuk Katolik akan dibawa kemana pulau Bali nantinya. Oleh karena itu, Ia menghalalkan
segala cara agar perkembangan umat katolik Bali dapat dibatasi. Ia menuduh Pater Kersten
melakukan pembaptisan ilegal kepada anak-anak di bawah umur sementara orang tua mereka
masih Hindu. Akibatnya karya pewartaan terhambat. Namun, umat Tuka yang dipanggil
menghadap Raja Badung bersaksi bahwa merekalah yang memanggil Pater Kersten untuk
mengajarkan agama katolik dan mengijinkan anak-anak mereka dibaptis. Setelah mendengar
kesaksian itu, Raja Badung memutuskan agar sebagian umat katolik yang ada di Tuka dan
sekitarnya harus mencari lahan baru agar tidak mempengaruhi ketentraman masyarakat
Hindu lainnya.

Benih kekatolikan di Bali juga tidak lepas dari peran serta kedua tokoh penting, antara
lain I Wayan Dibloeg dan I Made Bronong. Kedua tokoh yang akhirnya diberi julukan
sebagai “Rasul Awam” ini adalah seorang kristen. Maklum bahwa misi Zending lebih dahulu
berkembang di Bali, sehingga ada segelintir masyarakat yang beralih kepercayaan dari Hindu
menjadi Kristen. Awalnya mereka bertemu Pater Kersten hanya untuk menjual buku-buku
Injil Perjanjian Baru dalam bahasa Bali. Singkat cerita pertemuan itu menjadi cikal bakal
pertumbuhan umat Katolik Bali. Melalui diskusi dan kursus agama bersama Pater Kersten,
kedua pemimpin bersama kelompoknya masuk agama katolik. Perkembangan umat katolik
semakin menunjukkan eksistensinya ketika seorang pemangku (pemuka agama Hindu) mau
dibaptis (MAWI 1974).

4
Berkat evangelisasi yang dilakukan oleh misionaris SVD (dalam hal ini Pater J. Kersten,
SVD menjadi pioneer misi awali di Bali) orang Bali di daerah Tuka dan sekitarnya menerima
didikan dalam iman Katolik sehingga menerima diri untuk dibaptis. Namun sebelum masuk
ke ranah iman, salah satu cara misionaris agar masuk ke dalam kehidupan orang Bali adalah
dengan melakukan karya karitatif. Tentu karya yang dimaksud adalah dengan mengobati
orang sakit dan memberikan pendidikan. Dalam misi pertama para misionaris, mereka tidak
secara langsung memberitakan Kristus kepada orang-orang yang mereka temui, tetapi mereka
mengajar orang-orang untuk membaca dan menulis, membawa obat-obatan untuk membantu
menyembuhkan orang-orang sakit. Oleh karena itu misionaris pertama harus diberkahi
dengan pengetahuan pengetahuan dalam hal kesehatan dan memiliki pengetahuan tentang
metode pengajaran. Setelah umat diajarkan cara membaca dan menulis, para misionaris mulai
mengajari mereka tentang Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat umat manusia.
Konon bahwa sejak kehadiran para misionaris orang-orang Bali lebih memohon
penyembuhan pada mereka dari pada Balian Sakti.1 Karya-karya tersebut sejatinya menjadi
jalan bagi para misionaris untuk menanamkan benih iman Katolik di Pulau Dewata ini. Pada
14 Februari 1937 Gereja pertama di Tuka resmi didirikan dan diberkati oleh Mgr. Abraham,
Uskup Michigan City, USA. Pada tahun yang sama ada 50 orang dewasa yang dibaptis, 48
orang menerima komuni pertama, dan 12 pasang pengantin diberkati (Kusumawanta 2009).
Maka tak heran jika Tuka dijuluki sebagai Betlehem nya Pulau Bali, mengingat tempat ini
menjadi wilayah misi evangelisasi pertama serta tempat di mana iman Katolik lahir di Pulau
Dewata ini. Desa Tuka sebagai basis karya misi di Bali pada saat itu membangkitkan
optimisme para misionaris untuk berevangelisasi lebih jauh lagi. Iman Katolik mulai
diwartakan ke beberapa desa sekitar Tuka, antara lain Tangeb, Padang Tawang, Pegending,
Kulibul, Babakan, Cemagi, dsb. Hasilnya pun positif sehingga semakin banyak orang Bali
yang menjadi Katolik.

Mencari Kehidupan di Wilayah yang Baru

Karya rohani yang berhasil di Bali agaknya berbanding terbalik dengan realitas sosio-
ekonomi yang terjadi di desa Tuka; mereka mengalami kemiskinan yang parah. Masyarakat
Bali pada umumnya berprofesi sebagai petani. Pertanian di Bali yang identik dengan sistem
Subak menjadi ciri khas bagi masyarakat Bali. Sistem subak merupakan kemasyarakatan
yang khusus mengatur sistem pengairan sawah (irigasi) yang digunakan dalam bercocok
tanam padi di Bali, Indonesia. Subak pada umumnya memiliki pura yang dinamakan Pura
Uluncarik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para pemilik lahan dan petani. Pura
tersebut diperuntukkan bagi Dewi Sri, yaitu dewi kemakmuran dan kesuburan
menurut kepercayaan masyarakat Bali. Sistem irigasi ini diatur oleh seorang pemuka adat
(Pekaseh) yang juga adalah seorang petani di Bali (Armini, 2013). Karena hidup mereka
Pertanian yang baik juga memperhitungkan indikator penting, antara lain lahan, pengarian
yang baik, dsb. Masyarakat Tuka pada saat itu tidak sanggup mengusahakan subak yang baik,
padahal itu merupakan satu-satunya mata pencaharian mereka.

Melihat situasi ini seorang misionaris bernama Pater Simon Buis, SVD tergerak hati
untuk menolong domba-dombanya yang menderita kemiskinan. Sudah saatnya bagi mereka
untuk tidak terlalu menyibukkan diri pada hal-hal rohani atau pada ritus belaka. Bentuk
evangelisasi mereka harus menyatu dalam setiap karya karitatif, mengarahkan pandangan
kepada berbagai keprihatinan sosial dalam terang iman akan Yesus Kristus. Di situlah Gereja
hadir dengan msi a Pauperibus Evangelizari. Pertemuan dengan orang miskin merupakan
1
Balian Sakti merupakan dukun atau paranormal orang Bali yang dipercaya mempunyai kemampuan lebih dari
orang pada umumnya (kemampuan spiritual).
5
suatu kesempatan untuk berjumpa dengan Allah karena Allah selalu berada di peihak mereka.
Sebab kaum miskin menjadi ‘templum Dei’ dan ‘locus theologicus’ tempat pertemuan dengan
Allah dan selanjutnya menimba kehadiran kasih-Nya kepada manusia. Lalu bagaimana misi
tersebut dilakukan? Mdr. Edmund Woga, CSsR menggambarkan bagaimana misi kepada
orang mikin-papa dilakukan oleh para misionaris terdahulu:

Sikap a pauperibus evangelizari adalah suatu tantangan yang mengandaikan bahwa


pewartaan Injil kepada kepada kaum miskin dan telantar tidak boleh menjadi “searah”
yang bisa mematikan inisiatif kaum miskin. Perutusan untuk pewartaan berarti juga tugas
untuk menemukan macam-macam keunggulan dalam diri kaum papa sehingga pewartaan
tidak dimulai dari kemiskinan, tetapi dari daya-daya positif yang ada dalam diri mereka
(Woga, 2009).

Satu cara yang dilakukannya adalah dengan melakukan migrasi, berpindah ke tempat
yang baru alih-alih memperoleh kualitas hidup yang lebih baik. Setelah meninjau lokasi yang
tepat P. Buis akhirnya menetapkan wilayah Bali Barat sebagai tujuan migrasi, karena pada
saat itu merupakan hutan lebat. Selain itu ketika mendengar bahwa tahun 1939 Zending mulai
mendapat tanah dan mulai membangun desa Kristen-Blimbingsari maka P. Buis menghadap
asisten residen Bali Barat. Pemerintah awalnya menawarkan daerah gunung sebelah timur
Mendoyo, gunung Tudak Biluk Poh. Namun setelah diselidiki ternyata daerah tersebut
tidaklah memuaskan. Maka P. Buis meminta Controleur Bali Barat agar diberi tempat lain.
Sayangnya permintaan tersebut ditolak. Di tahun berikutnya P. Buis kembali mengajukan
permohonannya dan akhirnya dikabulkan. Maka pada tanggal 6 Septermber 1940 P. Buis
bersama 24 orang laki-laki berangkat dari Tuka menuju (Palasari) Bali Barat untuk membuka
hutan yang lebat itu. Dengan medan yang cukup berat (jarak tempuh lebih dari 100 km
ditambah lagi pembukaan hutan yang luas) maka pada hari ketiga beberapa dari mereka
menyerah dan pergi meninggalkan beliau. Namun sebagian dapat dinasehati sehingga dapat
meneruskan usaha ini. Pada bulan November 1940 bersama 18 KK dari Tuka, 1 KK dari
Bringkit dan 6 KK dari Gumbrih bertransmigrasi ke tempat yang baru ini (Kusumawanta
2009). Mereka membangun desa katolik baru yang bernama Palasari karena hutan tersebut
dipenuhi dengan pohon palanya. Wilayah yang ditempati saat itu adalah kawasan “Pangkung
Sente” atau dikenal dengan istilah Palasari Lama. Adapun para peintis Gereja Palasari antara
lain Matius I Wayan Runtun, Stanislaus I Nyoman Senteg, Kornelius I Made Kebek, Blasius
I Wayan Kepug, Teodorus I Ketut Celonok, Yoseph I Wayan Manis, Yohanes I Wayan
Nyuntug, Raymundus I Wayan Kerosok, Sebastianus I Made Senin, Antonius I Wayan
Geledug, Robertus I Nyoman Ngantem, Andreas I Ketut Sobrat, Thomas I Wayan Narta,
Nikolaus I Made Cetug, Gerardus I Gusti Kompiang Djiwa, Tadeus I Wayan Rinten,
Kornelius I Ketut Kenyir, dan Yosep I Nyoman Taweg.

Mengapa desa ini disebut desa Palasari? Selain karena wilayah yang sebelumnya
dipenuhi dengan pohon pala, ada beberapa pendapat yang menghantarkan kita pada makna
dari kara ‘Palasari’ yang menjadi nama dari desa tersebut. Pertama dari P. Simon Buis, SVD
yang menjadi pemimpin transmigrasi tersebut. Beliau mengatakan bahwa Palasari berasal
dari kata PALA; karena banyaknya pohon pala yang tumbuh subur bahkan menjulang tinggi
melebihi bangunan gereja itu sendiri. Sedangkan kata SARI merujuk pada diri mereka sendiri
yang menjadi inti-sarinya. Kemudian menurut G. I Gusti Kompiang Djiwa Palasari berasal
dari kata PALAS (pisah), karena 3 hari setelah tiba di tempat tujuan terdapat 6 dari 24 KK
yang berpisah sehingga berakhir menjadi 18 KK. Sedangkan SARI merujuk pada mereka
yang setia menjadi perintis Gereja Palasari. Terakhir menurut I Gusti Nyoman Panji Tisna
(Raja Buleleng pada saat itu). Palasari berasal dari kata PALA (PAHALA) adalah buah

6
berkhasiat sebagai obat pemberi kehidupan, dan SARI sebagai simbol kekuatan dari dalam.
Sehingga Palasari menjadi berkat atau memberi kehidupan kepada desa/wilayah sekitar. 2

Masa Krisis di era Dai Nippon

Masa Kependudukan Jepang di Indonesia yang kurang lebih selama tiga tahun (1942-
1945) memberikan kesan yang paradoks (simpatik-manipulatif) bagi masyarakat Indonesia.
Semenjak Restorasi Meiji (1866-1869) Jepang menunjukkan taringnya di panggung dunia
dengan menaklukkan Rusia (1905), mengusir Amerika dari Filipina , Inggris diusir dari
Myanmar dan Malaysia, dan akhirnya mengusir Belanda dari Indonesia (1942). Kedatangan
Jepang dengan propaganda ‘Tiga A’: “Nippon Pemimpin Asia”, “Nippon Pelindung Asia”,
“Nippon Cahaya Asia” membuat rakyat Indonesia begitu simpatik terhadap mereka. Ada
banyak kebijakan yang dalam arti tertentu memberikan harapan kepada masyarakat
Indonesia, salah satunya adalah ketika ‘ke-indonesia-an’ masyarakat disensibilisasi oleh
Jepang. Contohnya adalah memperbolehkan penggunaan bahasa Indonesia, menyanyikan
lagu indonesia, tentara nasional dihidupkan, tonarigumi (semacam RT/RW) dihidupkan, dan
sebagainya. Bahkan Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia pada 25 Agustis 1945.
Bagaimana sikap Jepang terhadap agama-agama di Indonesia? Simon Lili Tjahjadi dalam
bukunya yang berjudul Surviving “The Dai Nippon” menjelaskan:

Sikap Jepang terhadap agama agama-agama bersifat instrumentalistis dan manipulatif.


Artinya, agama-agama hanya diperhatikan sejauh membantu kepentingan Jepang dan
bekerjasama dengan tujuan propadagndanya. Sebaliknya: agama akan ditindas, sejauh ia
dinilai sebagai musuh yang membahayakan kepentingan Jepang (Tjahjadi 2017).

Sikap yang berbeda justru ditunjukkan Jepang kepada agama Kristen dan Katolik. Mereka
begitu keras terhadap mereka karena dianggap sebagai agama para musuh. Namun kehadiran
Jepang justru membuat Gereja Katolik berada di ujung tanduk. Bagaimana tidak, pada saat
itu misi Gereja Katolik di Indonesia masih didominasi oleh pelayanan misionaris Eropa.
Tentu iman umat Katolik Indonesia yang masih belia ini akan kering dan mati jika gembala
mereka diambil dari padanya. Maka pada masa tersebut ada banyak misionaris SVD yang
berkarya di wilayah Sunda Kecil dipenjara/diinternir di Makassar. Simon Lili Tjahjadi
menggambarkan situasi kelam tersebut demikian:

Lantas seperti telah dibuatnya di berbagai tempat di Indonesia yang berada di bawah
peraturan militer, Jepang segera memerintahkan semua orang kulit putih dari negara
musuh, termasuk misionaris, berkumpul di Ende. Dari sini mereka akan diangkut ke
Makassar untuk diinternir di sana, Dai Nippon telah menyebarkan pamflet propaganda,
bahwa mereka datang sebagai sahabat orang Indonesia untuk membebaskan negeri ini
dari kekuasaan Belanda. Karena itu, hadiah akan diberikan kepada orang Indonesia yang
membantu Jepang menangkap musuh mereka, khususnya orang Belanda itu (Tjahjadi
2017).

Sebagai gantinya Jepang mengutus misonaris yang berasal dari Jepang, yakni Mgr.
Yamaguchi untuk menggembalakan umat di wilayah Sunda Kecil. Beberapa waktu berselang
Mgr. Leven (Uskup Ende) meminta kepada pemerintah Jepang untuk segera membebaskan
imam-imamnya. Akhirnya beberapa imam seperti P. Van der Heyden, SVD dibebaskan, P.J.
Koemeester, SVD (Rektor Seminari Tinggi) dan P.F. Cornelissen , SVD (Rektor Seminari
Mataloko) dan beberapa suster boleh kembali bekerja di Rumah Sakit. Namun itu hanya

2
“Sejarah Paroki Palasari,” Gereja HKY Palasari, last modified November 25, 2020.
https://gerejahkypalasari.com/2017/10/22/sejarah-paroki-palasari/
7
berlaku bagi sgelintir imam dan mempunyai tugas yang penting/krusial. Pembebasan tugas
para misionaris hanya berlaku di wilayah Flores (Ndona, Ende) dan tidak berlaku di wilayah
Bali. Hal tersebut juga tidak berlaku bagi para misionaris lain, salah satunya adalah P. Simon
Buis, SVD yang harus dipenjara dalam beberapa waktu yang lebih lama. Pada Agustus 1942
beliau dipenjara selama 18 bulan di Singaraja dan pada 1943 dipindahkan ke Makassar,
kemudian ke Pare-Pare.

Flores sebagai basis misi Katolik di Sunda Kecil masih bertahan karena ada beberapa
misionaris yang dibebaskan dan dibantu oleh beberapa klerus dari Jepang. Namun wilayah
Bali justru luput dari perhatian misi kekatolikan. Umat Palasari mengalami masa-masa suram
di mana mereka ditinggal oleh P. Buis yang ditahan di Pare-Pare, Sulawesi Selatan (Pada
masa penjajahan Jepang). Di masa-masa tersebut mereka sebagai ‘domba-domba muda’
hidup tanpa figur seorang gembala. Dalam masa itu pula mereka hanya sekali-sekali
dikunjungi oleh para imam dari Jawa, misalnya Rm. Gondo Wardoyo, O.Carm. namun di
tengah krisis itu mereka masih bisa bertahan berkat peran Nyoman Pegeg dan Philipus Da
Pareira sebagai katekis dan guru agama. Akhirnya beberapa misionaris SVD yang dipimpin
oleh P. Antonius Hubertus Thijssen, SVD keluar dari kamp tawanan Jepang. Setelahnya
mereka bertolak ke Australia untuk memuliskan kesehatan (Chrisyantia 2020). Akhirnya
pada Mei 1946 Pater Buis dan Pater Kersten tiba kembali di Bali dan disambut hangat oleh
umat Palasari. Kedatangannya kembali sekaligus merencanakan perluasan wilayah Palasari
mengingat umat semakin banyak datang sehingga mendesak mereka untuk memperluas
wilayah. Wilayah yang pada saat itu 200 Hektar akhirnya berpindah ke satu wilayah yang
kita kenal sebagai Palasari Baru atau Palasari sebagaimana yang kita kenal sampai saat ini.
Desa Palasari didesain dengan model ‘dorf’ yang berbudaya Bali dan bernuansa Katolik
sehingga menjadi desa yang begitu rapi. Selain itu Palasari juga membangun gereja dengan
arsitektur yang indah; kombinasi antara gothic dengan kebudayaan Bali. Usaha tersebut
tercapai berkat usaha P. Simon Buis bersama Br. Ignatius AMD. Vrieze, SVD. Beliau
mempunyai minat pada bidang arsitektur, tata letak desa, dan sejenisnya.
Dalam perjalanan waktu Palasari mampu menjadi Gereja yang semakin berkembang dan
beridiri kokoh sebagai persekutuan umat Allah. Paroki Hati Kudus Yesus yang berpenduduk
1.155 ini, kurang lebih 99,9% nya memeluk agama Katolik. Sebagian penduduk Palasari
bekerja sebagai Petani, Tukang, Guru dan yang lainnya. Data menunjukkan Pastor yang
berasal dari Palasari sebanyak 21 orang, suster 26 orang, Frater 5 orang dan Seminaris 3
orang. Di Kampung ini juga terdapat sekolah yang bernaung di Bawah payung yayasan insan
mandiri, yaitu TKK Swastisari, SDK Budirahayu dan SMPK Wana Murni. Di bidang
kesehatan ada sebuah poliklinik. Sedangkan pendidikan informal terdapat sebuah lembaga
kursus yakni KTIK. Stasi yang termasuk dalam wilayah Paroki HKY Palasari antara
lain Stasi Blimbingsari, Stasi St.Petrus Candikusuma dan Stasi Gilimanuk. Paroki Hati Kudus
Yesus Palasari terdiri dari beberapa Lingkungan, yaitu Lingkungan St.Theresia dengan 3
kelompok basis, Lingkungan St.Elisabeth dengan 6 kelompok basis dan Lingkungan
St.Sisilia dengan 6 kelompok basis. Kelompok Kategorial dalam Paroki Palasari, antara lain
Legio Maria + Kerahiman Ilahi, Kelompok Doa Biarawan/Biarawati, OMK St.Ignatius
Palasari (Orang Muda Katolik), SEKAMI (Serikat Kanak-Kanak Misioner) dan WKRI.
Di Palasari sendiri terdapat satu buah susteran dari Kongregasi OSF. Suster-suster dari
Konggregasi OSF ini yang mengelola poliklinik dan panti asuhan. Di Paroki berkarya
seorang bruder SVD yang menangani pertukangan atau KTIK.

Gereja Palasari: Eksodus menuju Tanah Terjanji


8
Gereja Palasari sebagai saksi dan tonggak berdirinya Keuskupan Denpasar kini
memasuki usianya yang ke-80 (15 September 2020). Sebuah peziarahan yang panjang bagi
sebuah persekutuan jemaat. Tidak hanya memperjuangkan pengakuan eksistensi di tengah
masyarakat, tetapi juga memperdalam iman umat Allah sehingga menjadi ‘garam dan terang
dunia’ (Mat 5:13-16). Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa Palasari menjadi daya tarik
dalam hal rohani, mulai dari destinasi wisata rohani, dan melahirkan putra-putri terbaik
menjadi palayan Allah (Imam, Biarawan/i). Sungguh ini merupakan kebanggaan tersendiri
bagi Gereja Palasari. Berangkat dari motivasi untuk menyejahterakan jemaat (secara
material) menjadi upaya untuk terus menyemaikan benih-benih iman. Sebagaimana Yesus
bersabda kepada para murid-Nya, “Kamu harus memberi mereka makan!” (Markus 6:37)
maka berbagai dituntut untuk terlibat aktif dalam ‘memberi makan’ kepada seluruh jemaat.
‘makanan’ tersebut antara lain Iman, Harapan, dan Kasih yang berlandaskan pada Cinta Allah
dalam diri Yesus Kristus.

Sejarah berdirinya Gereja Palasari saya refleksikan sebagai ‘Perjalanan Bangsa Israel
Menuju Tanah Terjanji’ (Bdk. Keluaran); bangsa Israel yang saat itu hadir sebagai orang
asing di tanah Mesir hidup dalam perbudakan dan penderitaan. Mereka pun berteriak kepada
Allah agar terbebas dari perbudakan ini. Allah pun mendengarkan keluh kesah mereka
sehingga bangsa Israel terbebas dari perbudakan Mesir. Dalam upaya pembebasan tersebut
tentu diiringi dengan serangkaian peristiwa yang menakjubkan, antara lain seperti 10 tulah
(Kel 7-11), dan Laut Merah yang terbelah (Kel 13:17-14:29). Karena Allah di pihak mereka
maka Israel terbebas dari pebudakan Israel. Tidak sampai di situ, Allah pun menghantar
mereka menuju tanah terjanji. Maka genaplah apa yang disabdakan Allah kepada Abraham
mengenai Tanah yang dijanjikan-Nya (Bdk. Kej 12:1). Perjalanan yang begitu panjang dan
lama itu (kurang lebih 40 tahun) terkadang membuat mereka putus asa, marah kepada Tuhan,
dan bahkan mereka menyembah berhala/ dewa-dewa lain. Perjalanan tersebut menyiratkan
adanya dinamika yang cukup kompleks, relasi antara Allah dan manusia yang naik-turun.
Allah telah menawarkan kepada manusia suatu keselamatan, namun semua kembali kepada
manusia. Manusia yang dianugerahi akal budi, kehendak bebas dan hati nurani diajak untuk
hidup dalam persekutuan dengan Allah. Inilah yang disebut dengan perjalanan batin menuju
Allah (Itinerarium Mentis Ad Deum).

Gereja Tuka yang hidup dalam kesederhanaan tentu mempunyai keprihatinan besar,
yakni kemiskinan. Kemiskinan ini sejatinya yang menjadi motif dasar mengapa mereka harus
berpindah menuju wilayah yang baru. Upaya untk berpindah tentu menghadapi banyak
kesulitan, salah satunya adalah sulitnya mendapatkan izin dari pemerintah. Ada satu cerita
mengapa pemerintah akhirnya mengizinkan P. Buis dan jemaat Tuka untuk berpindah karena
mereka yakin kalau transmigrasi itu tidak akan berhasil. Wilayah Bali Barat yang masih
merupakan hutan lebat, dan jarak tempuh yang jauh tentu tidak memungkinkan bagi mereka
untuk berpindah dan bermukim. Dan memang bahwa selama perjalanan mereka menemukan
kesulitan, dan ada sebagian dari mereka yang menyerah. Namun bukan berarti bahwa
perjalanan ini batal; usaha ini tetap dilanjutkan hingga mereka bermukim di Palasari Lama.
Tantangan yang lain datang lagi ketika mereka dalam masa penjajahan Jepang (1942-1945)
hidup tanpa seorang Belanda, mengingat P. Simon Buis dipenjara di Pare-Pare, Sulawesi
Selatan. Terlepas dari semua tantangan itu, akhirnya mereka sampai pada ‘Tanah Terjanji’
yakni Palasari.

Dalam perjalanan menuju ‘Tanah Terjanji’ Gereja Palasari mengalami mengalami


sekian banyak tantangan dan kesulitan. Namun semuanya dapat dilalui karena Tuhan yang
menuntun perjalanan mereka. Umat Palasari dituntun menuju tanah/ negeri yang berlimpah

9
dengan susu dan madu (Kel 3:17). Berkat yang mereka terima dari Allah tidak berhenti pada
kepentingan mereka sendiri; mereka, melalui kesaksian hidup yang nyata menampilkan diri
sebagai garam dan terang dunia (Mat 5:13-16). Peristiwa bersejarah ini mengajarkan kita
untuk selalu berharap pada Tuhan dalam suka dan duka kehidupan kita. Suka-duka, bahagia-
derita merupakan suatu keniscayaan dalam dinamika hidup manusia. Tuhan tidak akan
pernah meninggalkan kita atau membiarkan kita jatuh ke dalam penderitaan. Sebab Mazmur
dengan lugas berkata: “Lihat, mata TUHAN terarah kepada orang-orang yang takut akan Dia,
kepada orang-orang yang berharap pada kasih setia-Nya” (Mzm 33:18).

Relevansi

P. Simon Buis bersama para misionaris SVD lainnya menjadi peletak dasar iman di
Pulau Dewata yang kelak menjadi Gereja Partikular yang mandiri. Butuh sekitar 26 tahun
(1935-1961) bagi para misionaris agar benih-benih katolik mampu bertumbuh dan
berkembang di Pulau Dewata ini. Perjuangan ini terhitung sejak Pater Johannes Kersten,
SVD tiba di Bali pada 12 September 1935 sampai terbentuknya Denpasar sebagai Prefektur
Apostolik melalui dekrit Quod Christus, Adorandus pada 3 Januari 1961). Sungguh
merupakan usaha yang singkat bagi suatu daerah menjadi wilayah Hierarkis. Kendati singkat
mereka harus menghadapi ‘jalan terjal’ di misi di Pulau seribu pura ini. Mereka hadir sebagai
minoritas, dianggap sebagai antek-antek Belanda, mengancam kelestarian budaya Bali,
ditentang selama kependudukan Jepang, dan berbagai pemasalahan lainnya. Segala tantangan
itu justru membuat para misionaris semakin bersemangat untuk mewartakan Kristus di tanah
misi, sebab Kasih Kristus yang mendesak mereka (Caritas Christi Urgent Nos). Selain itu
umat dengan tekad yang kuat berusaha untuk mempertahankan imannya meskipun diasingkan
oleh masyarakat dan sempat hidup tanpa gembala. Usaha para katekis dan tokoh awam
dengan giat mengajarkan iman melalui doa bersama dan katekese membuat iman katolik
tetap terpelihara dengan baik. Inilah relasi kehidupan antara gembala dan domba, saling
menguatkan ketika salah satu di antara mereka lemah dan jatuh. Mereka semua dikuatkan
dalam iman yang sama, yakni dalam Ida Sang Hyang Yesus Kristus. Maka benar apa yang
menjadi kesaksian Pan Rosa (salah satu jemaat awali di Tuka): “Semakin iman Katolik
ditentang, maka iman Katolik semakin kuat!”.

Para misionaris dengan segala kemampuan yang mereka miliki mampu menciptakan
karya-karya visioner yang saat ini menjadi warisan abadi bagi Keuskupan Denpasar. Ada
banyak usaha misionaris yang awalnya dianggap sebagai tindakan yang gila, sembrono,
terburu-buru akhirnya menjadi misi yang berhasil dan sungguh dirasakan umat hingga saat
ini. Salah satunya adalah pendirian Gereja Palasari, yang awalnya berisiko menjadi suatu
pencapaian yang luar biasa. Kini tongkat estafet sudah diberikan kepada para Uskup
Denpasar dari waktu ke waktu, hingga sampai kepada Uskup saat ini Mgr. Silvester San.
Situasi dan medan pastoral pun jauh berbeda dari yang dahulu, bahkan lebih kompleks.
Kesukupan Denpasar sebagai kawanan kecil di antara dua kawanan besar (Bali dengan
mayoritas Hindu dan NTB mayoritas muslim) mengalami sekian tantangan yang beragam.
Usaha pun dilakukan, baik itu melalui misi Ad Intra dan misi Ad Extra. Kini Keuskupan
Denpasar telah melaksanakan Sinode IV pada 26-30 November 2017 demi menentukan arah
dasar dan reksa pastoral tahun 2018-2022. Dengan mengambil tema “Menjadi Gereja yang
beriman tangguh, mandiri dan mampu bersaksi dalam masyarakat majemuk” Keuskupan
Denpasar menyusun visi dan misinya sebagai berikut:

Visi Keuskupan Denpasar:

10
“Persekutuan Umat Katolik Keuskupan Denpasar yang beriman tangguh, mandiri dan berani
bersaksi dalam masyarakat majemuk.”

Misi Keuskupan Denpasar:

 Melakukan formasi iman umat sepanjang hidup (katekese dan liturgy)


 Meningkatkan kualitas kepemimpinan pastoral melalui kaderisasi dan regenerasi
 Melaksakan kaderisasi dan pembinaan OMK
 Menumbuhkembangkan Gereja yang mandiri dan berbelarasa
 Mendorong umat untuk bersaksi dalam masyarakat majemuk
 Membangun semangat evangelisasi dan perutusan dalam KBG
 Mengembangkan program pastoral kontekstual yang berbasis data
 Meningkat sinergisitas pelayanan pastoral mulai dari para pemimpin
 Meningkatkan kualitas pendidikan Katolik
 Membina keluarga katolik sebagai Ecclesia Domestica yang sejahtera
 Menghimbau dan mendorong umat untuk tertib ber-KBG
 Menghadirkan Gereja dalam wajah budaya local
 Meningkatkan kesejahteraan umat melalui pemberdayaan ekonomi
 Mendorong kaum awam untuk terlibat aktif dalam bidang politik
 Membangun Gereja yang terlibat aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Adapun yang menjadi spiritualitas reksa Pastoral Keuskupan Denpasar adalah Yesus
Gembala yang Baik (Yoh 10). Artinya gembala yang mengenal, rela menuntun, berkorban,
mendengarkan, memberi arah, visioner-inovatif terhadap kawanan dombanya. Adapun
program strategis tahunan 2018-2022 antara lain:

 2018: Kepemimpinan Pastoral


 2019: Formasi Iman yang Tangguh
 2020: Gereja yang Mandiri
 2021: Gereja yang bersaksi
 2022: Gereja dalam perutusan kontekstual

Umat Keuskupan menyadari bahwa mereka merupakan ‘kawanan kecil’ di antara dua
kawanan besar, yakni Hindu di provinsi Bali dan Islam di provinsi NTB). Mgr. San menyebut
umat katolik keuskupan Denpasar sebagai ‘kawanan kecil’, karena kalau menggunakan kata
‘minoritas’ terkesan seperti kelompok yang lemah, tertindas dan didiskriminasi. Jika melihat
kembali sejarah perjalanan Keuskupan Denpasar sebagai kawanan kecil ada kesadaran bahwa
mereka harus merefleksikan diri, berbenah dan tampil menjadi umat yang inklusif. Gereja
Palasari melalui tangan dingin P. Simon Buis, SVD telah menjadikan desa terpencil itu
menjadi ‘garam dan terang dunia’. Maka Keuskupan Denpasar sebagai Gereja Partikular,
mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam mengusahakan Gereja yang menjadi
berkat bagi semua orang. Di tahun ketiga (2020) sinode IV Keuskupan Denpasar, Mgr. San
menegaskan Gereja yang mandiri sebagai tema pastoral. Gereja yang mandiri dimengerti
sebgai Gereja yang berdikari, sebagai tanda kedewasaan dan kematangan. Gereja yang
mandiri berarti menjadi sudah teruji, karena mampu mengurus diri sendiri, tidak tergantung
pada pihak luar dan bisa menghidupi diri sendiri secara material dan spiritual. Berkaitan
dengan iman, iman yang dimiliki umat Keuskupan Denpasar adalah sungguh mereka, bukan
iman yang ditempelkan atau dilekatkan pada mereka. Iman itu harus dihayati dalam konteks
budaya setempat sehingga berakar, bertahan dan tidak tergoyahkan.

11
Mgr. San juga menghendaki agar imam dan semua tenaga pelayan yang membaktikan
diri dalam wilayah Keuskupan Denpasar adalah orang-orang yang berasal dari Keuskupan
sendiri dan diambil dari umat setempat. Karya pastoral bukanlah monopoli kaum tertahbis
melainkan tanggung jawab seluruh umat. Melalui rahmat pembaptisan umat juga dipanggil
untuk mengambil peran dalam Tri Tugas Kristus, yakni menjadi Nabi, Imam dan Raja. Beliau
juga mengakui mandiri dalam tenaga pastoral belum terpenuhi. Maka ia mengajak orang tua
untuk mendorong putra putri menjadi Imam, Biarawan dan Biarawati. Juga meminta agar
awam terlibat dalam berbagai tugas pastoral.

Terkait dengan kemandirian bidang finansial, Mgr. San berharap agar semua sarana
pelayanan pastoral, gedung, alat-alat komunikasi serta pelayan pastoralnya dibiayai oleh umat
atau Gereja Lokal dan bukan dengan tergantung dari orang lain atau donatur. Prinsipnya
Gereja harus menghidupi diri sendiri dari sumbangan para anggotanya. Umat sendiri harus
bertanggung jawab atas kelangsungan kehidupan Gerejanya. Beliau juga menegaskan
kemandirian secara finansial harus tampak pula dalam diri keluarga-keluarga katolik. Komisi
Pengembangan Sosial Ekonomi telah mengadakan sosialisasi program pemberdayaan
ekonomi umat ke paroki-paroki dengan memanfaatkan dana dari APP dan HPS. Beliau
mengharapkan gerakan pemberdayaan ekonomi umat mendapat sambutan positif dari paroki-
paroki dan umat dengan membentuk komunitas-komunitas usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kemandirian ekonomi umat.

P. Simon Buis, SVD: Misionaris yang Visioner

Motivasi dasar P. Simon Buis, SVD melakukan transmigrasi menuju Palasari adalah
untuk menghidupi umat Tuka yang pada saat itu mengalami kemiskinan. Peristiwa ini
mengingatkan saya pada kisah Yesus yang memberi makan lima ribu orang (Mat 14:13-21).
Kisah tersebut bermula ketika banyak orang yang mengikuti-Nya, padahal Dia bersama para
murid hendak pergi mengasingkan diri ke tempat yang sunyi. Ketika melihat orang banyak
itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan sehingga Ia menyembuhkan orang sakit. Namun
karena hari sudah malam, para murid berkata kepada Yesus agar mereka ini pergi agar
mereka bisa membeli makanan di desa-desa. Namun Yesus berkata, “KAMU HARUS
MEMBERI MEREKA MAKAN” (Mat 14: 16). Para murid hanya memiliki lima roti dan
artinya mereka tidak mempunyai cukup makanan untuk dibagikan kepada 5000 orang itu. Di
situlah Yesus mengadakan mukjizat: menengadah ke langit, mengucap berkat, dan
memecahkan roti. Dan mukjizatpun terjadi; semua orang di sana bisa makan sampai kenyang,
bahkan sampai sisa 12 bakul.

Para misionaris yang berkarya di Pulau Bali telah melakukan berbagai pewartaan dan
kesaksian agar masyarakat tertarik kemudian beriman kepada Yesus Kristus. Hal itu terbukti
ketika Gereja Pertama di bali pertama kali diresmikan pada tahun 1937, ada banyak orang
yang memberi diri dibaptis setiap tahunnya, dan iman Katolik mulai diperkenalkan dan
meluas ke wilayah sekitar Tuka. Katolik yang notabene adalah agama baru di Pulau Bali
(bahkan dianggap sebagai agama penjajah) membuat sebagian masyarakat tertarik dan
menjadi bagian di dalamnya. Seorang imam yang adalah gembala bagi mereka mempunyai
tanggung jawab penuh atas kehidupan domba-dombanya, baik itu jasmani maupun rohani.
Para imam bukanlah seorang pedanda3 yang mempunyai tugas dan tanggung jawab penuh
dalam sembahyang tanpa mempedulikan apakah umatnya berdoa, apalagi dinamika
kehidupan umatnya. Iman Katolik mempunyai kepedulian terhadap hal-hal profan, duniawi

3
Pedanda merupakan sebutan bagi pendeta (pemuka agama) Hindu di Bali. Sesuai dengan tradisi gelar pedanda
hanya diberikan kepada pendeta yang berasal dari kasta Brahmana
12
sebagai sarana atau bagian menuju harapan eskatologis. Kehidupan jasmani dan rohani
merupakan dua hal yang tidak dipisahkan dan saling berhubungan dalam iman Katolik. Maka
para imam dituntut mempunyai kepekaan atas situasi hidup umat, turut terlibat dalam
kehidupan mereka dan membantu mereka untuk keluar dari permasalahan tersebut. Para
imam harus ‘memberi makan’ kepada mereka yang membutuhkan karena itu adalah perintah
dari Yesus sendiri. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan/usahakan, namun selebihnya biar
Tuhan yang menyempurnakan segala usaha kita. Kita percayakan semua pada
penyelenggaraan Ilahi (Providentia Dei) diimbangi dengan usaha manusiawi kita. Tindakan
tersebut boleh menjadi salah satu sarana pewartaan bahwa Yesus pun sesungguhnya hadir
dalam tindakan manusia, termasuk berbagai permasalahannya.

Kemiskinan dan upaya pengentasannya bukanlah melulu soal materi atau memikirkan
bagaimana umat menjadi makmur dan sejahtera. Jika berpikir demikian, maka Gereja tiada
bedanya dengan pemerintah atau otoritas tertentu yang mempunyai tanggung jawab yang
serupa. Pengentasan kemiskinan harus bermuara pada martabat kemanusiaan mereka
tergerogoti akibat ketersisihan mereka dalam macam-macam bidang hidup kemasyarakatan.
Rm. Franz-Magnis Suseno, SJ memberikan pencerahan apa yang seharusnya Gereja lakukan
terhadap kemiskinan:

Alasan bahwa Gereja mempunyai kewajiban moral untuk membuat sekuat tenaga
mengetaskan kemiskinan ada tiga. Satu kemiskinan membuat orang menderita dan karena
itu kita tak boleh acuh tak acuh. Dua kemiskinan mencegah seseorang untuk
mengembangkan kemanusiaannya secara utuh, jadi bertentangan dengan martabat
manusia. Tiga kemiskinan untuk sebagian besar adalah akibat dari ketidakadilan social
sehingga orang-orang miskin berhak menuntut suatu perubahan (Suseno, 1987).

P. Simon Buis menyadari bahwa pembentukan jemaat Palasari tidak berhenti pada usaha
untuk menyejahterakan mereka secara ekonomi. Umat Katolik di masa awal sungguh
mengalami penderitaan. Mereka mendapat stigma dari masyarkat bahwa mereka adalah
minoritas dan mengkhianati tradisi leluhur. Karena mereka dicap sebagai minoritas, maka
mereka menerima hukum adat yang bernama Kasepekang (diasingkan atau dikucilkan).
Dalam hukum adat tersebut mereka diwajibkan untuk memberi makan masyarakat Banjar4
selama 7 hari penuh, rumah mereka harus dikelilingi dengan pagar berduri, juga tak jarang
rumah mereka dilempari dengan kotoran binatang. P. Simon Buis ingin membuktikan bahwa
umat Katolik Bali bukanlah minoritas yang hidup dalam tekanan bahkan ditindas. Beliau
ingin mengangkat martabat umat Katolik Bali sebagai manusia. Sebab Allah telah
menciptakan manusia dengan sangat mulia, sebab manusia diciptakan seturut dengan gambar
dan rupa Allah (Kej 1:26). Tidak sampai di situ, P. Simon Buis ingin agar umat Katolik
menjadi ‘garam dan terang dunia’ di tengah masyarakat Bali yang beragama Hindu. Umat
Katolik harus menjadi berkat bagi siapa saja dan di mana saja.

Apa yang selama ini diperjuangkan oleh P. Simon Buis sungguh terjadi oleh umat
Palasari. Mereka menjadi berkat, ‘garam dan terang’ bagi masyarakat. Desa yang terletak di
pelosok Kabupaten Jembrana ini sudah dikenal di mana-mana sebagai salah satu destinasi
wisata rohani di Pulau Bali. Selain mempunyai bangunan gereja yang megah, mereka
mempunyai Gua Maria yang diberi nama ‘Pelinggih Ida Kaniaka Maria’ yang sering
dikunjungi berbagai peziarah dari berbagi wilayah. Berbicara mengenai Gua Maria Palasari,
ada kesaksian bahwa tak sedikit orang beragama lain berdoa di sana memohon petunjuk dari

4
Banjar merupakan pembagian wilayah administratif di Bali, di bawah Kelurahan atau Desa, setingkat dengan
Rukun Warga (RW)
13
Bunda Maria. Selain itu Palasari juga mempunyai bendungan yang berfungsi untuk mengairi
sekian hektar lahan pertanian yang ada di sana atau menjadi penyokong kehidupan
masyarakat Palasari. P. Simon Buis merupakan figur yang sangat visioner. Tidak ada yang
memikirkan sebelumnya bahwa umat Tuka bertransmigrasi/ berpindah ke wilyah Bali Barat,
ke sebuah desa yang bernama Palasari. Juga tidak ada yang membayangkan bahwa desa kecil
ini menjadi begitu terkenal sehingga banyak orang yang ingin berkunjung ke sana. Apa yang
melandasi beliau untuk melakukan semuanya ini? Tidak yang tahu dengan pasti. Namun kita
semua yakin bahwa Allah yang meyelenggarakan semuanya ini.

C. PENUTUP

Berdirinya Gereja Palasari menjadi pionir perkembangan Gereja Partikular di Pulau Bali
(yang kemudian akan berkembang menjadi Keuskupan Denpasar). Peristiwa bersejarah ini
tentu tidak lepas dari peran serta para perintis awal yang dipimpin oleh Pater Simon Buis,
SVD. Kendati dipenuhi dengan berbagai tantangan dan permasalahan, namun beliau tetap
bersemangat dalam menumbuhkan dan memberi dasar yang kokoh iman Katolik . Kehadiran
beliau menjadi tokoh ‘Musa’ pemimpin dan pemandu bagi umat Bali menuju ‘tanah terjanji’,
yakni Palasari. Kini mereka sudah hidup dengan sejahtera di ‘tanah terjanji’ itu. Meskipun P.
Simon Buis berkarya cukup singkat di Palasari, namun beliau meninggalkan kesan yang baik
dan positif bagi umat di sana. Umat Palasari patut bersyukur kepada Tuhan karena telah
diberikan Pater Simon Buis sebagai gembala mereka. Semoga dengan bantuan dan berkat
Tuhan, Palasari tetap menjadi ‘tanah yang penuh berkat’ bagi semua orang. Perjuangan P.
Simon Buis beserta umat Palasari boleh menjadi role model bagi Keuskupan Denpasar dalam
mewujudkan Gereja yang inklusif di tengah masyarakat majemuk.

Daftar Pustaka

Buku:

 Adil, Hironimus (penyusun). 75 tahun Gereja Katolik Menabur Benih Injil di


Denpasar-Bali: Sejarah Perkembangan Paroki Santo Yoseph Denpasar. Denpasar:
Panitia 75 tahun Gereja Katolik Menabur Benih Injil di Denpasar-Bali, 2010.

 Camnahas, Antonio. “Bagaimana Semuanya Dimulai?.” dalam Ut Verbum Dei


Currat: 100 tahun SVD di Indonesia, ed. Antonio Camnahas dan Otto Gusti Madung,
1-76. Maumere: Penerbit Ledalero, 2013.

 Kristiyanto, Eddy. Seandainya Indonesia Tanpa Katolik. Jakarta: Penerbit Obor,


2015.

 Kusumawanta,Gusti Bagus dkk. Gereja Katolik di Bali: Suatu Penelusuran Sejarah


Awal Kekatolikan sampai dengan 2006 . Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama,
2009.

 MAWI, Sejarah Gereja Katolik Indonesia 3b. Jakarta: Bagian Dokumentasi


Penerangan Kantor Waligereja Indonesia, 1974.
 Steenbrink, Karel. Catholics in Independent Indonesia: 1945-2010. Utrecht: Brill,
2015.

 Steenbrink, Karel. Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942 Jilid 2. Maumere:


Penerbit Ledalero, 2006.
14
 Suseno, Franz-Magnis. “Keadilan dan Krisis Sosial: Segi-Segi Etis,” Kemiskinan dan
Pembebasan, ed. Banawiratma, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017.

 Tjahjadi, Simon Lili. Surviving The “Dai Nippon”: Gereja Katolik Indonesia Masa
Pendudukan Jepang 1942-1945. Jakarta: Penerbit Obor, 2017.
 Woga, Edmund. Misi, Misiologi & Evangelisasi di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2009.

Artikel:

 Edward Wirawan. “Gereja Tangguh dalam Kemajemukan.” Majalah Hidup:


Mingguan Katolik, Vol. 3, 21 Januari 2018.

 Gendro Keling, “Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Palasari Kabupaten Jembrana:
Sebuah Akulturasi Budaya.” Forum Arkeologi, Volume 26, Nomor 2, Agustus 2013.
https://forumarkeologi.kemendikbud.go.id/35-74-1-SM

 I Gusti Ayu Armini. “Toleransi Masyarakat Multi Etnis dan Multi Agama dalam
Organisasi Subak di Bali,” Patanjala Vol. 5 No. 1, Maret 2013: 39-53,
https://www.neliti.com/publications/291746/toleransi-masyarakat-multi-etnis-dan-
multiagama-dalam-organisasi-subak-di-bali

 Joshua Jolly Sucanta Cakranegara, “Perjumpaan Misionaris Katolik dan Masyarakat


Bali: Sebuah Kajian Inkulturasi,” Dialog Vol. 43 No.1, Jun 2020: 109-116,
https://jurnaldialog.kemenag.go.id/index.php/dialog/article/view/364

 Karina Chrisyantia, “Berlayar Bersama Sang Ratu.” Majalah Hidup: Mingguan


Katolik, Vol. 22, 31 Mei 2020.

Internet:

 Gereja HKY Palasari. “Sejarah Paroki Palasari.” last modified November 25, 2020.

https://gerejahkypalasari.com/2017/10/22/sejarah-paroki-palasari/

 Youtube. “Cerita Sang Perintis Palasari!.” last modified November 28, 2020.

https://www.youtube.com/watch?v=3htPlGq-i2U

https://www.hidupkatolik.com/2018/02/27/18195/gereja-tangguh-dalam-
kemajemukan/

LAMPIRAN

15

Gambar 1: gereja Hati Kudus Yesus Palasari-Bali


Gambar 3: Foto Pater Simon Buis, SVD
(www.members.chello.nl)

Gambar 2: Penampakan Desa Palasari dari atas


(www.googleearth.com)

Gambar 4: Foto Pater Simon Buis, SVD


mengobati orang sakit
(http://www.nederlandskatholicisme.ruhosting.nl)

Gambar 5: Foto Pelinggih Ida Kaniaka Maria atau


Gua Maria Palasari. Di bagian tengah terdapat
patung Pater Simon Buis, SVD sebagai bentuk
penghormatan padanya
(www.travellerkaskus.com)

16

Anda mungkin juga menyukai