Anda di halaman 1dari 48

KYAI SADRACH

SEORANG PENCARI
KEBENARAN

Diketik Ulang oleh:


Pdt.Immanuel Adi S.
http://www.konseling1.blogspot.com
1
KYAI SADRACH
SEORANG PENCARI KEBENARAN

SEBABAK SEJARAH PEKABARAN INJIL


DI JAWA TENGAH

Di susun oleh :
I. Sumanto Wp.

BPK GUNUNG MULIA – JAKARTA

2
Gambar sampul :
PRAMONO

1974
Dicetak oleh
Percetakan BPK GUNUNG MULIA
BPK/00321/072/73

3
DAFTAR ISI

Pendahuluan …………………….

1. Asal usul dan masa muda Sadrach sebelum menjadi orang Kristen……….
2. Tindakan-tindakan pertama yang dilakukan oleh Sadrach
3. Sadrach membantu pekerjaan Ny. Philips di daerah Purworejo
4. Kegiatan Sadrach dalam membangun Gereja di Karangjoso
5. Perkembangan Jemaat Kristen dan Pembagian Daerah Kerja
6. Jemaat Kristen Jawa dipisahkan dari Gereja Pemerintah Belanda
7. Gereja-gereja Jawa menjadi anggota N.G.Z.V. …………
8. Ny. Philips meninggal dunia, dan reaksi Sadrach dalam tindakan selanjutnya
9. Ds. Bieger, utusan N.G.Z.V. dan masalah Gereja-gereja di bawah pimpinan
Sadrach
10. Ds. Wilhelm berusaha bekerja-sama dengan Sadrach
11. Ds. Wilhelm diangkat menjadi pendeta Jemaat Kristen Jawa Karangjoso
12. Ds. Wilhelm memperkuat kedudukan Jemaat yang memanggilnya
13. Praktek-praktek kehidupan Jemaat Kristen Jawa Mardika
14. Tindakan dan keputusan Inspektur Lion Cachet
15. Pendeta L. Adriaanse
16. Sadrach diangkat menjadi Rasul
17. Sadrach meninggal dunia; Masalah Gereja Kerasulan Jawa
18. Tinjauan, analisa dan pertimbangan-pertimbangan Sejarah Sadrach

4
PRAKATA

Sejarah tentang Kyai Kristen yang bernama Sadrach ini memang unik. Pengalamannya
sebagai orang Jawa dan sekaligus Kristen bukanlah sekedar suatu uraian sistematis mengenai
hubungan antara Injil dan kebudayaan Jawa. Akan tetapi jauh lebih pelik dari itu. Ketika ia
mulai tertarik Injil, makin kuat pulalah ia berpegang teguh kepada watak serta adat-istiadat ke
Jawa-annya. Keputusannya yang berani itu membawa banyak soal.
Sebab waktu itu, sulit untuk memisahkan kaitan antara Injil dan Kehidupan Kristen di satu
pihak dengan sikap Kolonial dan gereja Belanda atau tafsiran gereja Belanda mengenai Injil.
Nampaknya pada waktu itu memang belum bisa diharapkan agar gereja Kristen benar-benar
mendasarkan segala sikap dan keputusannya se-mata-mata berdasarkan Injil.
Sebab ‘masuk Kristen’ sering hanya berarti harus meninggalkan dan mencemooh serta
melawan kebudayaan pribumi yang sudah tumbuh dan berkembang ber-abad-abad. Dan itu
biasa-nya berarti agar gereja Kristen tidak usah mencampuri urusan pemerintahan Kolonial.
Kyai Sadrach yang sadar akan identitas kebudayaannya sebagai orang Jawa, banyak menemui
kesulitan dan kekecewaan. Masalah yang ia hadapi merupakan masalah yang azasi yang juga
kita hadapi pada masa kini.
Sampai sejauh mana Injil bersangkut paut dengan kekuatan politik tertentu yang pada
hakekatnya merupakan kekuatan yang menindas dan mengelabui masyarakat ? Bagaimana
kaitan antara identitas kultural dengan pertobatan kepada Injil, bagaimana kita mempersoalkan
hubungan keduanya ? Apakah Injil sama dengan kebudayaan barat, atau apakah kebudayaan
Barat itu merupakan kebudayaan Injil ?
Karena baik Sadrach maupun gereja Belanda pada waktu itu belum punya perlengkapan
theologis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, maka riwayat hidup Kyai
Sadrach inipun berakhir dengan tragis. Sadrach dipersalahkan dan dihakimi, secara resmi. Satu
dua orang pendeta Belanda mencoba membela Sadrach, akan tetapi suaranya tidak diacuhkan.
Sadrach rupanya juga tidak mampu membela diri, sebab kecuali pengetahuannya
mengenai Injil sangat terbatas, juga ia tidak punya wewenang apa-apa dalam gereja.
Pengetahuannya yang sangat terbatas mengenai Injil itulah yang rupanya merupakan
kelemahannya yang paling menentukan.
Kami yakin bahwa bagi mahasiswa thelogia buku ini akan banyak sekali manfaatnya.
Kecuali merangsang dengan pertanyaan-pertanyaan pokok, juga memberikan ajakan untuk
meneliti lebih lanjut bagaimana sebenarnya duduk persoalannya. Banyak fakta mengenai Kyai
Sadrach ini yang masih tersembunyi dalam sejarah.
Bagi masyarakat umum, buku ini akan memberikan gambaran yang lain tentang pola-pola
persoalan pekabaran Injil di tanah Jawa. Jarang kita baca literatur yang mengungkapkan
perjuangan orang Kristen pribumi melawan dominasi asing yang juga Kristen. Bahwa
perjuangan itu ada, asli, bahkan Injili. Dan justru disinilah bahaya terhadap mana setiap
pekabar Injil harus waspada, yakni bahwa ia sendiri menjadi penentang yang utama daripada
amanat yang hendak disampaikannya.

Penerbit

5
Pendahuluan

Dalam buku Sejarah ini memang hanya dimuat riwayat hidup Sadrach dan kegiatannya
saja, yang kami petik dari : Sejarah Zending karang J.D. Wolterbeek. Dari sebuah buku kecil
Sejarah Begelen karangan Ds. Dharmaadmadja. Keterangan lebih lanjut diambil dari Sejarah
Gereja di Indonesia karangan Dr. Th. Muller Kruger, dan Sejarah Zending Gereformeerd di
Jawa Tengah karangan Ds. J.A.C. Rullman Sr., yang dilengkapi keterangan-keterangan dari
skripsi yang ditulis oleh Sdr. Christian Soetopo seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Theologia
“DUTA WACANA”, Yogya dan beberapa keterangan-keterangan lisan dari Ds. Soekardjo
Prawirohandoko dan Sdr. Soepono sebagai ahli waris Sadrach.
Adapun riwayat Sadrach memang mendapat perhatian besar sekali dalam Sejarah Gerejani
di Jawa Tengah terutama Gereja-gereja Gereformeerd di Negeri Belanda bahkan sampai pada
saat inipun riwayat Sadrach itu tak dapat dilupakan. Hingga pada saat akhir ini banyak para
Utusan/Zendeling tak lupa juga mengadakan peninjauan ke Desa Karangjoso guna
membuktikan dengan mata kepala sendiri keadaan bekas-bekas yang masih ditinggalkan oleh
Sadrach, misalnya bangunan-bangunan gereja dan tempat kediamannya. Alat-alat perabot
rumah tangga Sadrach dan beberapa senjatanya.
Semangat dan kegiatan Sadrach yang menyala-nyala pada zaman itu, dan cara kerjanya
dalam memberitakan Injil Kristus menyebabkan banyak orang datang bertobat dan menjadi
pengikut-pengikut Kristus. Tetapi pada akhirnya membawa kekecewaan besar terutama bagi
Gereja-gereja Gereformeerd Zending di negeri Belanda, karena Sadrach mengikuti aliran
Kerasulan dan menjadi Rasul di desa Karangjoso hingga matinya.
Para pembaca yang budiman, dengan penerbitan buku Sejarah ini bolehlah kita
memandang sepintas pada masa lampau, cara Roh Suci bekerja terutama bagi kemuliaan Nama
Tuhan saja, dengan pertobatan dan penyerahan jiwa kepada Sang Juruselamat Yesus Kristus.
Maka dengan demikian patutlah kita mengucap syukur kepada Tuhan karena berkat
pimpinanNya hingga sampai detik ini sudah didirikan gereja-gereja dipelosok desa dan sampai
pada saat ini juga dapat berjalan baik.
Mudah-mudahan dengan buku Gereja Karangjoso ini dapat menambah sekedar pengetahuan
bagi para pembaca yang budiman.

Penyusun

6
1. ASAL USUL DAN MASA MUDA SADRACH SEBELUM MENJADI ORANG
KRISTEN

Sadrach sejak masa kecilnya, orang tidak tahu siapakah orang tuanya. Waktu kanak-kanak
ia bernama Radin. Sejak kanak-kanak ia sudah ditinggal mati oleh orang tuanya sehingga
hidupnya terlantar. Sebagai anak piatu hidupnya mengemis. Dia menggantungkan hidupnya
dengan minta-minta sedekah kian kemari, dari orang-orang dermawan.
Ia dilahirkan di desa Dukuhsekti daerah Demak wilayah Jepara. Sejak kanak-kanak ia telah
meninggalkan tempat kampung halamannya dan mencoba mencari nafkah hidupnya sendiri
dengan minta-minta. Pada saat itu hidupnya sangat menderita, karena selain untuk mengisi
perut pun ia harus menerima hinaan setiap hari dari anak-anak bangsawan yang sepadan
usianya. Dengan sabar ia menerima segala yang dirasakan pada saat itu, tetapi semuanya
itu tentulah tidak berlangsung lama. Tetapi cukuplah penderitaan yang ia rasakan, karena
pada akhirnya ia ditolong oleh seorang Guru Agama Islam untuk diberi pelajaran mengaji.
Betapa suka hatinya, dengan rajin ia mengikuti pelajaran agama Islam. Ternyata ia
dipandang sebagai anak yang lebih pandai dari anak-anak lain. Ia berdiam di rumah guru itu
dan dianggap seperti anak sendiri.
Pada suatu hari ia dibawa oleh guru tersebut pergi Jombang untuk meneruskan pelajarannya
yang lebih tinggi yaitu dipondok Pesantren. Karena Pondok Pesantren di Jombang itu
sangatlah terkenal. Sejak itu, menjadi murid guru itu, ia diberi nama baru, yaitu : ABAS,
maka namanya menjadi Radin Abas, Perjalanan menuju ke Jombang (Jawa Timur) itu
ditempuh dengan jalan kaki melalui jalan pos Semarang – Surabaya, dan memakan waktu
beberapa hari lamanya.
Dipondok Pesantren di Jombang, Radin Abas dipandang sebagai anak yang cerdas dan
rajin. Semua pelajaran dapat ia kuasai. Selamat di sana, pada waktu liburan ia sering ke
Mojowarno untuk mendengar suatu pelajaran baru yang menurut anggapannya, yang
dibawa oleh Ds. Jellesma. Benih ajaran Kristen mulai tertanam dalam hatinya melalui Ds.
Jellesma. Dalam hal ini ia merasa heran ketika mendengar Injil keselamatan. Hatinya sangat
tertarik pada agama Kristen. Dengan diam-diam diluar sepengetahuan guru-guru pondok
pesantren dan teman-temannya ia mengadakan hubungan dengan Ds. Jellesma, menerima
pelajaran agama Kristen. Banyak persoalan-persoalan yang dibicarakan dan banyak pula
keterangan-keterangan yang diperolehnya. Ia telah menyatakan keinginannya menjadi
murid Ds. Jellesma di Mojowarno. Radin Abas berwatak keras dan progresif, karena ia
mencari akan kebenaran Allah. Sampai pada saat itu ia belum dapat melepaskan pondok
pesantrennya dan dalam hal ini masih dirahasiakan kepada Guru dan temannya. Dari
Jombang ia pindah ke Ponorogo ke pesantren Gontor yang sudah terkenal. Pondok
Pesantren di Jombang yang disebut Tebuireng dan Gontor di Ponorogo adalah sangat
terkenal. Apa yang diterima dalam Lembaga Pendidikan yaitu sebagai pesantren-pesantren
tradisional, karena ajaran-ajaran yang diberikan pada zaman itu, disamping ajaran-ajaran
pokok agama Islam, adalah bahasa Arab, tasawuf, dan juga berbagai ilmu yang bersifat
magis dsb. Untuk melanjutkan pendidikannya, dari Ponorogo ia pindah ke Semarang. Di
Semarang ia bertempat tinggal di tengah-tengah orang Arab dan kaum muslimin. Di sana ia
mendapat pelajaran dari seorang guru dalam ilmu magis, dan pula terkenal sebagai dukun
dan juru tenung. Disamping itu berkenalan dengan Ds. Hoezoo seorang pendeta utusan

7
yang berkedudukan di Semarang, atas petunjuk-petunjuk dan nasehat dari Ds. Jellesma. Ds.
Hoezoo merasa sangat gembira menerima Radin Abas sebagai murid Katekisasi.
Pelajaran yang ia terima dari guru ilmu kebatinan itu, menurut anggapannya tidak ada
jahatnya karena hal itu hanya untuk menambah pengetahuannya saja. Tiap hari minggu ia
ke gereja. Justru pada saat itu ia diperkenalkan dengan seorang yang telah lanjut usianya
bernama; Kyai Ibrahim Tunggul Wulung berasal dari desa Bondo, sedaerah dengan Radin
Abas. Radin Abas merasa girang dengan pertemuan itu, dan menyatakan keinginan menjadi
muridnya.
Kurmon, seorang murid Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang menjadi perantara mula-mula
dalam perkenalan antara Radin dengan Kyai tersebut. Radin ketika mendengar banyak
tentang Kyai tersebut ia sangat tertarik dan ingin menemuinya. Ia diajak oleh Kurmon
datang di Bondo Jepara. Radin Abas tak habis mengerti bahwa di daerahnya sendiri ada
seorang Jawa yang berdiri sebagai Kyai Kristen. Orang itu berbadan tinggi besar bermata
tajam dan berjenggot panjang sampai ke dada. Ia kelihatan seperti seorang bertapa dan tak
pernah ia duduk di tanah jika berhadapan dengan siapa saja yang ia jumpai baik orang
Belanda maupun orang yang berpangkat sekalipun, bahkan ia pandai bicara disertai
pengaruh. Ialah seorang yang telah mendirikan suatu desa Kristen di Bondo, pun
mempunyai banyak ilmu dan pengalaman sebelum ia menjadi orang Kristen. Ia bertindak
sebagai dukun Kristen menurut anggapan orang desa itu. Radin Abas telah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri dan seperti telah diceritakan di atas, Radin Abas menyatakan
keinginannya menjadi muridnya.
Perkenalan antara Radin dengan Kyai Tunggul Wulung, menyebabkan hati Radin makin
terdorong dan sangat condong kepada Agama Kristen. Hingga akhirnya ia menyatakan
ingin menjadi orang Kristen. Kyai Tunggul Wulung sangat gembira ketika mendengar
pernyataan anak muda itu, maka ia berusaha untuk membawa Radin Abas kepada seorang
Belanda Mr. Anthing yang berkedudukan di Batavia pada tahun 1865/1866.
Kyai Tunggul Wulung dan Mr. Anthing berkawan pada waktu Mr. Anthing tinggal di
Semarang sebagai petugas Pengadilan. Kemudian pada tahun 1863 Mr. Anthing pindah ke
Batavia. Di Batavia Mr. Anthing mendapat kedudukan sebagai Vice President Hoog
Gerechtchef (Wakil Kejaksaan Tinggi). Iapun menjadi anggota suatu perkumpulan “Het
Genootchap voor in-en Uitwendige Zending” (Urusan Dalam dan Luar dari Perkumpulan
Persahabatan para Utusan) di Indonesia, yang bertujuan memberitakan Injil kepada orang-
orang Kristen yang sesat, dan kepada semua orang. Ia sangat memprihatinkan pekabaran
Injil kepada orang-orang bumi putera. Disamping pekerjaannya ia telah mendirikan sebuah
pendidikan Kristen untuk anak-anak muda bumi putera. Pendidikan itu bersifat Theologis,
supaya anak-anak yang lulus dari pendidikan itu menjadi seorang pekabar Injil.
Kedatangan Kyai Tunggul Wulung bersama Radin di Batavia, diterima dengan gembira
oleh Mr. Anthing. Bagaimana mesranya pertemuan itu karena sahabat lama yang sudah
bertahun-tahun tidak pernah berjumpa. Kyai Tunggul Wulung menyatakan maksud dan
tujuan kedatangannya, yaitu hendak menyerahkan Radin Abas kepada pendidikan Mr.
Anthing. Dengan suka hati Mr. Anthing menerima Radin Abas sebagai muridnya.
Dalam pendidikan tersebut, mula-mula Radin diterima sebagai pelayan. Kemudian setelah
dipandang baik dan rajin mengatur rumah tangga dan setia dan keinginan yang sungguh-
sungguh menjadi orang Kristen, haruslah ia mendapat pelajaran-pelajaran agama Kristen.
Mr. Anthing sangat suka pada Radin karena anak muda itu di pandang cerdas otaknya dan
8
mudah menerima segala pelajaran yang diberikannya. Akhirnya Radin diangkat menjadi
anak-mas Mr. Anthing. Pelajaran agama Kristen telah diberikan oleh Ds. Taffer, seorang
pendeta pensiunan. Akhirnya Radin Abas mengambil keputusan untuk menerima Baptis
Suci. Setahun kemudian ia lulus dari pendidikan tersebut, ia menerima Baptis Suci di
Gereja “Zion” pada tanggal 14 April 1867, dengan nama Baptisan “Sadrach”, dan ia
mengganti nama santrinya “Abas”, maka ia pakai namanya sebagai “Sadrach Radin” dan
akhirnya ia terkenal dengan sebutan “Sadrach” saja. Pada saat ia dibaptiskan, ia telah
berusia 26 tahun.
Beberapa kesimpulan mengenai jalan hidup Sadrach hingga menjadi seorang Kristen adalah
sbb:
1. Sejak kecil ia sangat menderita, hidup mengembara untuk mengatasi segala kesulitan-
kesulitannya sendiri. Maka di sinilah terbentuk jiwa bebas dan tidak suka dipengaruhi
orang lain. Ia selalu berdiri menurut kehendaknya dan pikirannya sendiri.
2. Ia seorang yang cukup mendapatkan dasar-dasar pendidikan Islam tradisionil,
bercampur magis, dan seorang santri yang berpengalaman.
3. Setelah mengenal Kristus melalui Ds. Jellesma, Ds. Hoezoo dan Kyai Tunggul
Wulung belum begitu mendalam, tetapi hal itu menjadi suatu dorongan yang kuat untuk
memperdalam lagi.
4. Di tempat Mr. Anthing mulai terbentuk kepribadian Kristen dengan keputusan hatinya
untuk menerima Baptisan.
5. Kekristenan Sadrach telah diisi dan dibina oleh ajaran gereja yang beraliran
Hervormd, karena dia menjadi anggota Gereja “Zion” di Batavia.

2. TINDAKAN-TINDAKAN PERTAMA YANG DILAKUKAN OLEH SADRACH


Sebagaimana murid-murid Mr. Anthing yang lain sering diberi tugas untuk memberitakan
Injil, demikian juga Sadrach. Mula-mula ia mendapat tugas untuk menjual buku-buku
Kristen sambil mengabarkan Injil di sekitar kota Batavia. Tetapi jalan itu bagi Sadrach tidak
cocok. Maka ia minta ijin Mr. Anthing untuk kembali ke Jawa Tengah guna melanjutkan
tugasnya dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang Jawa. Dengan segala senang hati Mr.
Anthing meluluskan permintaannya. Agar supaya Sadrach mendapat penghargaan di gereja-
gereja yang ia kunjungi, Mr. Anthing telah memberi sepucuk surat keterangan. Karena
nama Mr. Anthing cukuplah dihargai.
Sadrach mulai dengan perjalanan kembali dengan tujuan ke Bondo. Dengan berjalan kaki
mula-mula ia menuju kota Bandung, kemudian Cirebon, Tegal dan menuju kota Semarang,
dan dari Semarang terus menuju ke Bondo.
Ia singgah di tiap kota yang ia lewati sambil mengadakan perkunjungan ke Gereja-gereja
serta memperkenalkan diri terutama kepada pendeta gereja setempat dengan menunjukkan
surat keterangan dari Mr. Anthing, sehingga ia diterima dengan baik ditiap gereja yang ia
kunjungi. Di situlah ia diberi tempat menginap untuk melepaskan lelahnya. Dan pula ia
mengadakan kesaksian Injil Kristus kepada orang Kristen di kota-kota itu.
Beberapa hari kemudian barulah Sadrach sampai di Bondo, langsung menuju ketempat
Kyai Tunggul Wulung. Dan diceritakannya semua pengalamannya sebagai murid Mr.
Anthing. Tetapi tak lama ia berada di Bondo. Ia melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur

9
menuju Surabaya, menemui Saudara-saudara Kristen Jawa, kemudian ke Mojowarno ke
tempat Paulus Tosari. Di situlah ia bermalam bersama-sama dengan orang-orang Kristen
Jawa yang dulu menjadi murid Ds. Coolen.
Paulus Tosari adalah seorang pemberita Injil di Jawa Timur yang cukup berpengalaman dan
terkenal. Ia berasal dari seorang Santri yang rusak hidupnya, kemudian ia berkenalan
dengan Ds. Coolen dan menerima ajaran Kristen dari pendeta tersebut dan menerima
Baptisan di gereja Ende. Setelah itu ia berkeliling memberitakan Injil di Jawa Timur
dengan gaya dan cara khas Jawa. Banyak pembantunya dan akhirnya ia bertempat tinggal di
Mojowarno, yang pada saat itu Ds. Jellesma bekerja di Mojowarno. Paulus Tosari dianggap
sebagai rekan sepekerjaan dan tak diperlakukan sebagai bawahan yang dikuasai. Paulus
Tosari sebagai pemberita Injil dan Ds. Jellesma telah mendirikan pendidikan kader
pemimpin-pemimpin jemaat.
Sementara Sadrach berkeliling di Jawa Timur, Kyai Tunggul Wulung mendengar bahwa di
daerah Begelen Purworejo sudah ada pekabaran Injil kepada bumi putera yang dilakukan
oleh Ny. Philips dengan pembantu-pembantunya. Maka segeralah ia bersama beberapa
kawannya pergi ke Purworejo untuk menyaksikan keadaan pekabaran injil di Purworejo.
Rombongan ini langsung menuju rumah Ny. Philips di Tuksongo. Kedatangan rombongan
Tunggul Wulung ini disambut dengan ramah-tamah oleh Ny. Philips dan pembantu-
pembantunya yaitu Abisai Reksodiwongso, Tarub dan lain-lain orang-orang Kristen yang
ada di situ.
Tunggul Wulung sangat takjub mendengar cerita Ny. Philips dari hal perkembangan Injil di
daerah Purworejo. Setelah mendapat cukup keterangan-keterangan, maka lewat beberapa
hari ia dan rombongan itu kembali ke Bondo.
Pengembaraan Sadrach di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, mempunyai maksud
dan tujuan tertentu, disamping melihat keadaan saudara-saudara Kristen yang tersebar di
mana-mana. Karena tiap tempat yang ia kunjungi ia dapat membanding-bandingkan
praktek-praktek masing-masing sebagai pendirian Kekristenannya, baik di Jawa Barat,
Tengah maupun Timur, serta pergaulannya dengan para pendeta Belanda atau pemberita-
pemberita Injil Jawa. Pengalaman diperluas dengan cara persiapan-persiapan untuk tugas-
tugasnya kelak. Terutama pengalaman memberitakan Injil misalnya : di Jawa Barat dengan
tata cara Gereja Zion yang beraliran Hervormd di Batavia, dan gereja-gereja pasundan di
Bandung. Di Jawa Tengah, dengan aliran gereja-gereja Gereformeerd di kota Tegal, dimana
Ds. Vermeer pada saat itu masih bekerja sebagai pendeta utusan Zending Gereformeerd
berkedudukan di Tegal. Dan di Semarang ia sudah banyak mengenal Ds. Hoezoo dan
pernah menjadi murid katekisasi, kemudian di Bondo dengan Kyai Tunggul Wulung
sebagai gurunya sendiri yang sangat ia taati yang mempunyai tata cara sebagai pemberita
Injil yang khas untuk orang-orang Jawa, dan akhirnya perkunjungan kepada Paulus Tosari
di Mojowarno Jawa Timur, dari golongan gereja Ende, dan Ds. Jellesma pendeta utusan
Zending Gereformeerd yang pernah juga menjadi gurunya. Di sinilah hal yang sangat
penting bagi Sadrach untuk menentukan sikap untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai
pemberita Injil. Dari sikap Sadrach yang tidak menetap di suatu tempat tertentu,
menunjukkan sikapnya yang bebas dan senang mengembara. Sebenarnya cukuplah baginya
untuk bekerja pada Mr. Anthing atau bergabung dengan Kyai Tunggul Wulung, atau
menempuh jalan seperti saudara-saudara Kristen di Jawa Timur dengan membuka hutan dan
mendirikan desa Kristen atau hidup di tengah-tengah mereka. Tetapi kenyataannya ia
10
kembali ke Bondo, setelah ia mendengar Kyai Tunggul Wulung tentang perkembangan Injil
di Bagelen Purworejo, maka ia mengambil keputusan untuk membantu pekabaran Injil yang
dilakukan oleh Ny. Philips di Purworejo.

3. SADRACH MEMBANTU PEKERJAAN NY. PHILIPS DI DAERAH PURWOREJO

Hal yang memberi dorongan dalam hati Sadrach setelah mendengar cerita Kyai Tunggul
Wulung tentang perkembangan Injil di Bagelen, hingga ia sangat tertarik. Ternyata Roh
Suci telah menggerakkan hatinya, ia mengambil keputusan dengan tak pikir panjang dan
tiada di ragu-ragukan lagi, maka dengan perkenan Kyai Tunggul Wulung, ia meninggalkan
Bondo langsung menuju ke Purworejo pada tahun 1869.
Keadaan di Purworejo sebelum Sadrach datang, Injil telah berkembang di daerah Purworejo
di bawa oleh Ny. Philips dan kawan-kawannya, yaitu Abisai Reksodiwongso yang berasal
dari daerah Jepara dan Tarub dari Kediri, Jawa Timur. Gereja telah didirikan di rumah Ny.
Philips di kampung Tuksongo. Pelayanan baptisan dilakukan mula-mula di Gereja Belanda,
yang kemudian dilakukan di Tuksongo.
Gereja Belanda pada saat itu adalah sebagai Gereja pemerintah (Staatskerk) yang khusus
untuk melayani orang-orang Belanda dan Ambon saja, terutama kaum militer, maka disebut
Gereja militer. Diantara suku Jawa yang mula-mula dibaptis di gereja itu adalah seorang
perempuan istri seorang Belanda pada tanggal 17 agustus 1815 dengan nama Baptisan
Gertruida. Meskipun gereja itu sejak tahun 1800 sudah ada tetapi tidak ada perkembangan
suatu apa, karena seolah-olah tertutup bagi masyarakat Jawa.
Setelah Ny. Philips memperkembangkan Injil di daerah Purworejo, mulai ada perhatian dari
gereja tersebut terutama para Pendeta Belanda, sebab Ny. Philips sering mengadakan
hubungan dan suaminya sendiri menjadi anggota Gereja Belanda.
Siapakah sebetulnya Ny. Philips itu ? Ny. Philips adalah seorang Indo Belanda yang
dilahirkan dari perkawinan campuran. Ayahnya bernama Steven dan ibunya seorang Jawa.
Ia dilahirkan pada tanggal 17 Nopember 1825 di Yogyakarta diberi nama Petronella. Setelah
ia menerima baptis di gereja Goubernement Yogyakarta diberi nama Christina. Orang
tuanya seorang Tuan Tanah bertempat tinggal di desa dekat kota Yogyakarta. Sejak kecil ia
bergaul dengan anak-anak Jawa dari desa setempat, hingga ia sangat pandai bicara bahasa
Jawa.
Setelah umur 24 tahun ia menikah dengan seorang Belanda bernama Yohanes Carolius
Philips pada tahun 1849, yang bekerja sebagai Opzichter Indicocultuur (Pengawas
Perkebunan Nila) di desa Ambal Daerah Kabupaten Kebumen. Kemudian lewat beberapa
hari ia pindah ke desa Ambal mengikuti suaminya. Karena kesibukan suaminya ia tak
sempat memikirkan tentang Injil. Ia mulai sadar ketika ada seorang tamu Jawa dari
Semarang yang banyak menceritakan Injil Kristus hingga ia sangat terpesona mendengar
cerita itu. Ia menyadari apa yang menjadi tugas-tugas sebagai orang Kristen. Tapi suatu
pertanyaan dalam hatinya, “apakah mungkin orang Jawa bisa menerima Injil?” Apakah
yang sekarang harus dilakukan, ia belum mendapat suatu jalan, maka tak lama kemudian ia
pergi ke Banyumas untuk minta nasehat dan petunjuk-petunjuk kepada iparnya bernama
Ny. Van Oostrom Philips, seorang janda pemberita Injil kepada suku Jawa di daerah
Banyumas disamping pekerjaannya sebagai pedagang kain batik. Banyaklah petunjuk-
petunjuk dan nasehat yang ia terima dari iparnya, kemudian ia kembali ke desanya di
11
Ambal. Maka mulailah tugasnya yang suci. Mula-mula memberitakan Injil kepada orang-
orang bawahannya, hingga diantaranya dua orang pria dan tiga orang wanita menyatakan
ingin menerima Baptis. Maka baptisan telah dilakukan di Purworejo pada tanggal 27
Desember 1860 dilayani oleh Ds. B. Braams di gereja Belanda. Karena semua itu dilakukan
dengan bahasa Belanda maka Ny. Philips sebagai perantara menterjemahkan dalam bahasa
Jawa.
Keluarga Philips pindah ke Purworejo pada tahun 1862, bertempat tinggal di kampong
Tuksongo. Di Purworejo mulailah ia dengan pekerjaan baru dalam melakukan pemberitaan
Injil kepada penduduk setempat. Karena keramahan dan tata sopan santun Ny. Philips,
maka banyak orang suka padanya serta banyak pula yang mau menerima Injil. Di rumah
kediamannya ia mendirikan gereja Kristen untuk kaum bumi putera. Pada saat itu datang
seorang dari daerah Jepara bernama Abisai Reksodiwongso, dengan maksud akan
membantu pemberitaan Injil di daerah Purworejo, atas petunjuk dan nasehat Ny. Van
Oostrom. Mula-mula ia menjadi murid Ny. Philips kemudian ia menerima baptisan pada
tahun 1868 yang dilayani oleh Ds. Th. C.M. Hanegraat dari Gereja Belanda.
Pada suatu hari datang lagi seorang dari Kediri, Jawa Timur bernama Tarub pada tahun
1868. Tarub adalah seorang murid dari Ds. Poensen dan telah menerima Baptisan di Kediri.
Di Purworejo ia ingin bekerja membantu dalam melakukan pemberitaan Injil. Ny. Philips
dan Abisai menerima Tarub dengan segala senang hati. Dengan demikian pemberitaan Injil
makin luas sampai di luar kota. Pengikut-pengikut Kristus makin bertambah. Disamping itu
juga, Ny. Philips telah mendidik keagamaan kepada anak-anak diantaranya anak-anak
Abisai yang akhirnya telah menerima Baptisan diberi nama Samuel, yang kelak menjadi
dokter, bekerja kepada Zending di Mojowarno. Dan Timotius, kelak menjadi guru Injil
merangkap guru sekolah rakyat di Purworejo, serta membantu pekerjaan Ds. Wilhelm dan
Ds. Adriaanse. Inilah kegiatan-kegiatan Ny. Philips sebagai ibu yang memulai Pemberitaan
Injil di daerah Jawa Tengah Selatan sebelum Sadrach datang di daerah ini.
Sadrach datang di Purworejo dengan tujuan menghadap Ny. Philips. Dari surat baptis
Sadrach dan pengalamannya di rumah Mr. Anthing, lebih menyakinkan Ny. Philips. Maka
Sadrach diterima dengan senang hati menjadi pembantu Ny. Philips. Ia bekerja di bawah
pimpinan Ny. Philips, tetapi di dalam menerima pimpinan itu Sadrach tetap mendasarkan
pekerjaannya pada kemampuan dan kebijaksanaan sendiri. Memang telah diceritakan
diatas, bahwa karakter dan sifat Sadrach lain dari pada kawan-kawannya, karena ia seorang
yang progresif dan suka bebas. Ia tidak suka bergantung kepada orang, inilah yang menjadi
sifat dan ciri-ciri Sadrach. Dan segala petunjuk-petunjuk serta nasehat Ny. Philips bagi
Sadrach bukanlah hal yang baru, sebab Sadrach sudah cukup pengalaman sebagai pekabar
Injil dengan menjual buku-buku sewaktu di Batavia.
Sadrach dalam membantu pekerjaan Ny. Philips di Purworejo merasa senang dan besar hati,
karena di sinilah ia dapat melihat dibeberapa tempat yang harus digalinya sebab di tempat
itu terdapat banyak orang yang menentang ajaran-ajaran Kristen terutama di daerah
Cangkrep dan Kutoarjo, dan tempat itulah lapangan kerja Sadrach.
Di Purworejo Sadrach hanya sebentar-sebentar, karena ia selalu ke luar kota. Sadrach tidak
mempunyai pondokan yang tetap, ia seorang pengembara. Adapun caranya memberitakan
Injil datang ke rumah orang, bicara-bicara hingga malam hari dan bermalan juga di situ,
kemudian pindah ke lain tempat lagi. Ia selalu disambut dengan baik oleh penduduk yang ia

12
kunjungi itu. Dan suatu keistimewaan Sadrach, bahwa setiap orang yang dijumpainya,
orang itu akhirnya bertobat menerima Tuhan Yesus.

4. KEGIATAN SADRACH DALAM MEMBANGUN GEREJA DI KARANGJOSO

Dalam pemasyhuran Injil di Bagelen ini, Sadrach memegang peranan penting. Ia


mengerjakan di daerah-daerah yang agak jauh dimana belum ada orang Kristen. Mula-mula
ia menuju ke desa Cangkrep. Dengan izin Kepala desa setempat ia mengundang penduduk
sekitar desa itu. Maka datanglah orang-orang dari penduduk sekitar desa Cangkrep. Mereka
terdiri dari berbagai aliran kepercayaan, yaitu dari golongan Islam, Budha dan orang-orang
ahli sihir dan ahli nujum.
Sadrach menyampaikan Injil keselamatan dengan berani, dengan tata caranya sendiri yaitu
dengan mencampur aduk ilmu-ilmu Jawa didalam pemasyhuran Injil. Ia berpendapat
dengan jalan ini dapat disesuaikan dengan keadaan atau selera kepercayaan orang-orang
Jawa sehingga mereka dapat menerima Injil Kristus. Dan ternyata juga diantaranya banyak
yang menerima Kristus sebagai juruselamat mereka. Kemudian dari situ ia melanjutkan
perjalanan ke Kutoarjo. Disana ia berkenalan dengan seorang Kristen bernama Brouwer.
Orang ini dengan senang hati memperbolehkan rumahnya untuk tempat berkumpul orang-
orang Jawa yang sudah mendengar Injil. Di tempat Brouwer tiap seminggu sekali diadakan
Kebaktian, disamping itu ia melakukan pemasyhuran kepada orang-orang Jawa baik di kota
maupun di desa-desa sekitarnya. Ini terjadi pada tahun 1870. Dalam tahun itu tempat
kebaktian terpaksa harus dipindahkan, sebab Ny. Brouwer meninggal. Oleh Sadrach tempat
Kebaktian di pindah di Karangjoso yang kurang lebih jarak 8 kilometer barat daya
Kutoarjo. Tempat ini sebetulnya tidak baik letaknya, karena sekitarnya banyak terdapat
rawa-rawa dan suasana sangat sepi. Tetapi di situ berdiam seorang ibu yang suka
mendengar Injil. Di sekitar desa itu, ia mencari kenalan-kenalan baru. Di tempat ini pula
berkumpul orang-orang yang telah menerima Injil Kristus. Selama kegiatan Sadrach, ia
selalu mengadakan kontak dengan pimpinannya, yaitu Ny. Philips. Ketika Sadrach akan
mengambil Karangjoso sebagai tempat Kebaktian dan tempat tinggalnya, ia berkonsultasi
terlebih dahulu dengan Ny. Philips. Walaupun selalu ada kontak, tetapi Sadrach selalu
bekerja dengan gaya kecakapan dan kebijaksanaan sendiri. Hasil-hasilnya dilaporkan
kepada Ny. Philips. Rumah Kebaktian didirikan di Karangjoso pada tahun 1871 disamping
Gereja di Tuksongo. Sadrach mendirikan rumah Kebaktian ini dibantu oleh murid-muridnya
secara suka rela dan dengan semangat yang besar. Dengan pendirian tempat kebaktian itu,
Sadrach telah mengambil sikap dan langkah sendiri tak bersandar pada orang lain, dan tiada
suatu bantuan diminta dari pemimpinnya, yaitu Ny. Philips. Karena ia tahu bahwa tugas Ny.
Philips cukup banyak dan berat, maka ia berbuat sesuatu yang dipandang perlu untuk segera
dikerjakan tanpa menunggu-nunggu uang banyak untuk mendirikan tempat kebaktian.
Meskipun tempat itu kurang baik letaknya dan sepi, justru itulah yang ia pilih untuk
menjadi tempat pemasyhuran Injil dan menghendaki agar kelak menjadi suatu desa Kristen.
Ia mengajar murid-muridnya dengan cara khas Jawa dan sebagai orang Jawa yang
mengetahui isi hati kaumnya sendiri ia memberitakan Injil itu sesuai dengan keadaannya.
Sadrach sebagai seorang yang pernah menjadi santri yang berpengalaman dan pernah
berguru pada orang-orang berilmu, ditambah pergaulannya dengan para pendeta Belanda,
dimana ditambah pergaulannya dengan para pendeta Belanda, dimana ia memperoleh ilmu
13
baru, yaitu Injil. Dengan memiliki itu, maka Sadrach dengan mudah menghadapi orang-
orang, santri-santri dan guru-guru ilmu. Dengan modal pengalamannya ia dapat benar-benar
mendalami dan memahami sangkalan orang lain terhadap Injil. Cara Sadrach berdebat
dengan guru-guru ilmu untuk menyampaikan berita Injil, dan yang biasa dimiliki dan
dikuasai guru-guru itu sudah dimengerti oleh Sadrach, tetapi sebaliknya apa yang dikuasai
dan dimiliki Sadrach, mereka tidak mengetahuinya, misalnya tentang sepuluh hukum Allah
yang sama sekali tidak dikenal oleh mereka, maka kesempatan inilah terus dipakai oleh
Sadrach untuk menjelaskan kedudukan sebagai orang Kristen dan jalannya keselamatan.
Akhirnya guru-guru itu tertarik dan ingin belajar ilmu baru yang dimiliki Sadrach.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Jawa pada saat itu, jika guru-gurunya menyerah, dan
menjadi orang Kristen, maka semua penganutnya-pun mengikuti jejak gurunya. Dengan
demikian Sadrach menjadi sangat termasyhur namanya sebagai orang yang pandai dan
seorang guru yang penuh dengan Roh Suci, hingga orang menyebutnya sebagai Kyai
Kristen atau Kyai Sadrach.
Hasil pemberitaan Injil dalam tahun 1871 adalah dua puluh orang dibaptiskan yaitu pada
tanggal 6 Februari 1871, dan pada tanggal 16 Juli 1871 sebanyak tiga puluh orang,
diantaranya bernama Simon Wirosono dan Samuel Citrojoyo, sebagai tokoh di Jelok.
Tanggal 18 Oktober 1871 ada empat orang. Baptisan semua ini telah dilakukan di
Purworejo yang dilayani oleh Ds. De Bryn, pendeta dari gereja Belanda.
Kedatangan Sadrach baik di Cangkrep maupun di daerah Kutoarjo mendapat tentangan
keras dari dua orang guru ahli nujum, bernama R. Ranukusumo dan Setrodiwongso.
Adapun ajaran dari kedua ahli nujum itu menurut tata caranya sendiri yang hampir
menyerupai ajaran Budha. Dengan kedatangan kedua orang di daerah Cangkrep dan
Kutoarjo-pun menghebohkan dipihak agama Islam, karena mereka itupun menentang
agama Islam. Ketika kedua orang itu berhadapan dengan Sadrach maka terjadilah suatu
perdebatan yang hebat hingga berhari-hari lamanya. Kedua belah pihak saling mengadu
kepandaian ilmu masing-masing. Dalam hal itu, Sadrach dengan keuletannya, selalu
dipihak yang unggul. Sadrach tetap bertekun serta minta kekuatan dari Tuhan. Karena
berkat pertolongan Tuhan, akhirnya kedua guru ahli nujum itu menyerah dan menyatakan
ingin belajar ilmu yang baru yang dimiliki oleh Sadrach. Dengan kekalahan kedua orang
guru itu, maka sebagian muridnya sebanyak 179 orang pun menyerah kepada ajaran Kristen
menjadi murid-murid Sadrach.
Pada tanggal 26 Oktober 1872 dilakukan Baptisan kepada 181 orang yang dilayani oleh
Ds. Troostenburg de Bruyn, dan pada tanggal 5 April 1873 menyusul sebagian yang lain
ialah sebanyak 310 orang lagi. Inilah suatu yang luar biasa bagi sejarah Gereja, dimana
telah terjadi selama setengah tahun gereja di Purworejo membaptiskan hampir 500 orang.
Dengan penyerahan sejumlah itu, diantaranya dua orang yang juga menjadi pemimpin
mereka telah pergi meninggalkan kawan-kawanya dan tidak sudi buat menyerah kalah.
Kemudian orang-orang yang telah menerima Baptisan itu, kembali ke desanya masing-
masing. Pemberitaan Injil terus dilakukan oleh orang-orang itu di desa mereka sendiri.
Maka sejak masa itu, timbulah jemaat-jemaat kecil diberbagai desa yaitu di desa-desa:
Banjur, Pamilan, Pondokgede, Karangpucung, Mamoreh, Slewah, Kesingi, Dermosari,
Jelok dan Bulu. Demikian kegiatan Sadrach sebagai pembantu Ny. Philips. Pekerjaan
Sadrach telah dibantu oleh Markus dan Johannes dan pula oleh murid-murid Sadrach. Jika
di pandang dalam hal pengetahuan mereka yang telah menerima Baptis sebenarnya masih
14
sedikit, sebab Sadrach dan murid-muridnya telah mengajarkan berdasar sepuluh Hukum
Allah, Doa Bapa Kami dan Dua belas pengakuan Rasuli saja. Mereka dibaptis berdasarkan
kesanggupan dan kepercayaan mereka yang sungguh-sungguh dan kelihatan teguh, setelah
di dengar oleh para pemimpin diantaranya Ny. Philips, bapak Abisai dan lain-lainnya, yang
mana dihadiri juga oleh Ds. Troostenburg de Bruyn dari gereja Belanda. Pemeriksaan iman
telah dilakukan di Purworejo. Murid-murid Sadrach yang sangat giat dalam memberitakan
Injil ialah : Paulus Kasanmentaram, Yohanes, Markus dari desa Banjur, Musa dan Sulaiman.
Kegiatan Sadrach dan murid-murid tak hanya beroperasi di daerah lembah selatan saja,
melainkan terus mengadakan operasinya ke pegunungan arah utara dan barat sampai
perbatasan dengan daerah Banyumas. Bahkan menerobos daerah Banyumas Utara dan
Selatan. Murid-murid yang tersebar di pegunungan yang membujur dari gunung Sindoro
sampai gunung Slamet, menjalar ke utara turun ke lembah ke daerah Pekalongan dan Tegal.
Kegiatan-kegiatan itu terjadi pada tahun 1874. Inilah hal-hal yang sangat menggembirakan
dalam sejarah pemberitaan Injil yang sangat cepat meluasnya hingga Baptisan makin
bertambah-tambah.

5. PERKEMBANGAN JEMAAT KRISTEN DAN PEMBAGIAN DAERAH KERJA

Hubungan antara Sadrach dan Ny. Philips tetap erat dan terpelihara dalam keesaan Jemaat.
Sadrach dan pembantu-pembatunya sering mengunjungi Ny. Philips serta membantu dalam
membangun sebuah bangunan yang menyerupai Balekambang disamping rumah kebaktian
di Tuksongo. Bangunan yang direncanakan oleh Ny. Philips yang telah lama diidam-
idamkannya. Bangunan tersebut didirikan diatas sebuah kolam yang dihias dengan
tanaman-tanaman bunga terate dan ikan-ikan. Bangunan itu dijadikan tempat berkumpul
para pemimpin untuk mengadakan pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat guna
membicarakan soal-soal kegerejaan dan perkembangan Injil. Dalam pertemuan-pertemuan
atau rapat yang diadakan itu kadang-kadang disertai juga oleh Ds. Troostenburg de Bruyn
dari gereja Belanda, dengan demikian ternyata ada kerjasama yang baik antara Gereja Jawa
dengan gereja Belanda. Bantuan-bantuan banyak juga didapat dari gereja Belanda untuk
kebutuhan yang diperlukan oleh gereja-gereja Jawa.
Berhubung buku-buku pelajaran agama dalam bahasa Jawa belum ada, maka Ny. Philips
berusaha keras untuk menterjemahkan buku-buku bahasa Belanda, dibantu oleh kawan-
kawannya agar dapat dipergunakan sebagai dasar-dasar pelajaran agama Kristen sebelum
ada buku-buku yang tercetak. Ny. Philips berusaha minta bantuan kepada Ds. Troostenburg
untuk mencetak buku-buku pelajaran agama Kristen dalam bahasa Jawa. Usul Ny. Philips
diterima baik oleh gereja Belanda dan segera diusahakan.
Sadrach telah menikah dengan seorang puteri dari seorang ibu yang mula-mula rumahnya di
Karangjoso dipakai untuk tempat kebaktian, tapi sayang pernikahannya tidak diperoleh
anak, oleh sebab itu Sadrach telah mengambil seorang anak laki-laki dari Markus bernama
Yotham.
Sadrach sangat disegani oleh murid-muridnya dan penduduk di karangjoso. Ia suka
mengasingkan diri dan jarang bergurau. Ada waktunya ia bercakap-cakap dan ada waktunya
ia menyendiri untuk melakukan retrait di tempat sepi. Maka dari itu ia telah memilih
karangjoso tempat yang penuh rawa-rawa dan hutan belukar, yang tidak disukai orang,
15
karena ditempat itu antaranya seorang Ibu (seperti yang tersebut diatas) yang akhirnya
menjadi mertua Sadrach sendiri. Ibu tersebut sudah mengenal Sadrach karena pada waktu
Sadrach memberitakan Injil di Kutoarjo, ibu itu juga ikut mengunjungi kebaktian di rumah
Brouwer mendengarkan pemberitaan Injil. Dan Sadrach mendengar dari ibu ini mengenai
desa Karangjoso yang sangat sepi itu, maka ia sangat tertarik pada tempat itu.
Waktu senggang, Sadrach suka pergi ke sungai untuk mengail ikan dan itulah satu-satunya
hiburan dan sebagai hobinya karena ia tak mempunyai anak.
Tanah Karangjoso memang oleh Pemerintah diberikan kepada barangsiapa saja yang mau
membangun rumah atau desa serta boleh memilikinya dengan cuma-cuma. Seperti Kyai
Tunggul Wulung telah membangun desa Bondo dan saudara-saudara Kristen di Jawa Timur
dengan membuka hutan dan mendirikan desa Kristen, maka demikian juga Sadrach
membangun Karangjoso menjadi desa Kristen.
Sebagai kelanjutan pemeliharaan iman bagi orang-orang yang baru saja menerima baptis
Suci, dimana sekarang sudah terpencar kepelbagai daerah, maka hal ini perlu dipikirkan,
sebab pelaksanaannya tak mudah. Perkembangan Injil diantara orang-orang Jawa pun
mendapat perhatian dari Gereja Belanda dan mereka yang telah menerima baptis juga
diakui sah sebagai anggota Gereja Belanda dan nama mereka dicantumkan juga dibuku
Daftar anggota gereja Belanda. Mengingat perkembangan Injil yang sangat meluas itu,
maka Majelis Gereja Belanda telah mengangkat Ny. Philips dan Schneider dalam jabatan
tua-tua khusus mengurusi dan memelihara Jemaat yang baru lahir di desa-desa. Ongkos-
ongkos perjalanan dan keperluan gereja-gereja tersebut ditanggung oleh Gereja Belanda.
Mengingat banyaknya gereja-gereja yang timbul di pelosok-pelosok desa, tentu tidak dapat
dibiarkan saja tanpa ada yang bertanggung jawab, maka dari itu telah dibentuk Pembagian
Daerah Kerja yang disusun sebagai berikut :
Gereja Tuksongso Purworejo dijadikan pusat Daerah Kerja, yang dikerjakan oleh Ny.
Philips dibantu oleh Bp. Abisai Reksodiwongso dan putranya yaitu Timotius Reksodimurti.
Jemaat-jemaat yang termasuk daerah Purworejo ialah : Cangkrep, Bulu, Manoreh, Jelok,
Slewah, Dermosari dan Kesingi.
Daerah Karangjoso dikerjakan oleh Sadrach, dibantu oleh Yotham, termasuk Kutoarjo.
Daerah Ambal termasuk Banjur, Karangpucung, Pering, Pamrian dan Pondokgede di
kerjakan oleh Tarub dibantu oleh Markus dan Yohannes.
Kamdah seorang murid Ny. Philips dibantu oleh beberapa orang murid Sadrach ditugaskan
di daerah Utara Banjarnegara dan desa-desa yang terletak dilereng pegunungan Slamet,
yaitu : Bendawuluh, Karangcengis, Watumas.
Yakub Tumpang seorang saudara angkat Sadrach ditugaskan di daerah pegunungan Dieng
sebelah Utara Wonosobo yaitu : Serang, Batu dan kemudian mengadakan perantauan
sampai ke daerah Pekalongan bagian sebelah Selatan. Ia dibantu oleh kawannya bernama
Kromowijoyo.
Mintowijoyo seorang murid Sadrach oleh beberapa murid Sadrach ditugaskan di daerah
Pekalongan bagian Selatan ialah : Dermo, Kasimpar dan disitulah, ia telah membangun
Gereja Kristen. Kemudian sampai di desa Katembelan, Purbo, Cituluk dan Telogohabang di
daerah Kabupaten Batang, dan di daerah distrik Bawang, Banaran dan Jampangan.
Yokanan seorang murid Sadrach oleh beberapa murid Sadrach dan Ny. Philips ditugaskan di
daerah pegunungan Slamet yaitu : Kandanggotong, Batusari, Pulosari sampai di distrik
Comal, Desa Gintung, Gedleg, Kendaldoyong Sidokare yang letaknya di dekat Comal. Di
16
Sokowangi, Temuireng Jebed, Bandar sampai dijajahan Kabupaten Kendal, dan selanjutnya
di Pidodo, Kalibening dan Karangcengis sampai desa Kertayasa.
Ny. Philips bersama Sadrach pada suatu hari telah mengadakan pelawatan kepada Jemaat-
jemaat diseluruh wilayahnya, perlu untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri
perkembangan kekristenan di desa-desa itu. Perjalanan ditempuh dengan berkuda kadang-
kadang dengan jalan kaki. Pelawatan itu disambut dengan kesukaan oleh orang-orang
Kristen di desa-desa dimana ia kunjungi. Mereka menyebut Ny. Philips “eyang (bahasa
Jawa, nenek). Mereka merasa puas dan dengan sukacita mendengar kata-kata Ny. Philips
yang sopan dan tata bahasanya enak di dengar. Demikian juga dengan Ny. Philips hal ini
merupakan kesukaan besar sebab ia menjadi wanita pertama yang memberitakan Injil
keselamatan kepada orang-orang Jawa. Demikian hasil pekerjaan yang gilang gemilang
yang selalu akan tercatat dalam sejarah Gerejani.
Perjalanan mereka dilanjutkan terus sampai di daerah Banyumas, mula-mula mereka
langsung menuju ke rumah iparnya yaitu Ny. V. Oostrom. Kedatangan rombongan itu
disambut hangat oleh Ny. Oostrom dan penduduk di Banyumas, dan tak lupa mengunjungi
Ds. Vermeer. Menurut keterangan-keterangan yang diperolehnya, sudah ada beberapa orang
yang minta dibaptis. Kemudian orang-orang ini dibaptis di Banyumas oleh Pendeta Vermeer
sebanyak enambelas orang. Dengan adanya baptisan ini, memberi kegembiraan besar di
tengah-tengah kelelahannya. Inilah perjalanan yang pertama. Dan pada perjalanan yang
kedua ke Banyumas lebih besar lagi hasilnya. Sadrach dengan beberapa murid calon
baptisan ikut menyerti Ny. Philips. Mereka meneruskan perjalanan menuju ke pegunungan
Slamet. Sambutan-sambutan di sana pun tidak kurang meriahnya. Dan itu adalah suatu
kesukaan besar bagi penduduk desa-desa itu. Pada waktu perjalanan kembali, Ds. Vermeer
ikut ke Purworejo. Perjalanan mereka itu memakan waktu dua minggu lamanya. Perjalanan
selanjutnya telah dilakukan pada waktu lain, hingga akhirnya dapat tercapai hampir semua
tempat dimana mereka menyebarnya, sampai di daerah pegunungan Dieng dan Daerah
Pekalongan dan Tegal.

6. JEMAAT KRISTEN JAWA DIPISAHKAN DARI GEREJA PEMERINTAH


BELANDA

Dengan tumbuhnya gereja-gereja di pelosok desa-desa mengakibatkan Ds. Troostenburg de


Bruyn menemui kesukaran disebabkan oleh timbulnya berbagai pandangan yang saling
bertentangan di antara Majelis Gereja Belanda. Sebagian mereka tidak senang jikalau Ds.
Troostenburg tetap melayani Gereja-gereja Jawa dalam melayani sakramen-sakramen
Perjamuan Suci dan Baptisan, dianggap melantarkan pekerjaan sendiri. Dengan alasan
bahwa Ds. Troostenburg dalam tindakannya lebih memperhatikan Gereja-gereja Jawa dari
pada Gerejanya sendiri. Tetapi sebagian lain menyatakan setuju dan perlu membantu
Gereja-gereja Jawa yang masih muda dan belum mempunyai Pendeta sendiri, dan itu
sudah menjadi kewajiban bagi Gereja yang kuat, yang harus memberi petolongan-
pertolongan yang diperlukan oleh Gereja-gereja yang belum dewasa. Pertentangan
dari dua golongan itu menjadi tegang. Sebagai putusan terakhir, diambil dari suara
anggota dan ternyata mereka menyatakan tidak setuju.

17
Dengan keputusan itu Ds. Troostenburg merasa sangat menyesal, karena mereka ternyata
belum mengerti tugas-tugas mereka sebagai orang Kristen, yang harus mengasihi sesama
manusia dengan tidak memandang bulu. Dan memperkembangkan Injil kepada semua
bangsa di dunia untuk kelebaran Kerajaan Allah.
Dalam hal ini terbukti bahwa Ds. Troostenburg sangat cinta kepada orang-orang Jawa yang
mau menerima Yesus Juruselamat, dan kemajuan Jemaat Jawa sangat ia perhatikan.
Sebenarnya ia tak dapat meninggalkan Jemaat Jawa. Setelah ia pertimbangkan, maka ia
mengajukan permintaan untuk dipindah ke lain kota. Permintaannya diluluskan. Sebelum ia
meninggalkan Purworejo, telah diadakan perayaan perpisahan di gereja Tuksongo.
Ny. Philips, Sadrach, Abisai, dan lain-lain sangat menyesalkan tindakan Gereja Pemerintah
itu. Perayaan perpisahan itu sangat mengharukan jemaat Jawa. Ds. Troostenburg
meninggalkan Purworejo pada tahun 1873.
Ds. Thierme, seorang pendeta baru yang mengganti Ds. Troostenburg di Gereja Pemerintah
Belanda. Sifat dan kelakuannya tidak ramah bahkan memandang rendah kepada orang-
orang Jawa. Ia tak suka jika orang Kristen Jawa campur menjadi satu dengan orang-orang
Kristen Belanda dalam gereja Pemerintah. Hal ini menurut keputusan rapat Majelis Gereja
Belanda, bahwa orang Kristen Jawa dipisahkan dari Gereja Pemerintah Belanda, dan
putuslah hubungan antara Gereja Belanda dengan Gereja Jawa.
Setelah diadakan perundingan bersama antara Ny. Philips dan kawan-kawannya, mereka
memutuskan untuk mengambil tindakan lain, yaitu akan minta bantuan Ds. Vermeer dari
Purbolinggo buat melayani Sakramen Baptis Suci dan Perjamuan Suci. Kemudian Ny.
Philips, Sadrach, Abisai, bertiga pergi ke Purbolinggo langsung menuju ke tempat Ds.
Vermeer. Semua hal ikhwal yang terjadi di Purworejo diceritakannya. Setelah Ds. Vermeer
mendengar keadaan itu, maka ia bersedia membantu dengan senang hati. Dari situ mereka
meneruskan perjalanan ke Banyumas menuju ke tempat Ny. Van Oostrom. Ny. Van
Oostrom bersedia juga membantunya.
Pada suatu hari Ds. Vermeer mengadakan perkunjungan di gereja-gereja Jawa di Bagelen.
Mula-mula kedatangannya langsung menuju ke tempat Ny. Philips. Kedatangannya
disambut dengan hangat oleh Jemaat Kristen Jawa Purworejo, Karangjoso, Ambal dan lain-
lain tempat. Pelawatan Ds. Vermeer ke pelbagai tempat di pelosok-pelosok Desa yang
sudah ada gereja, di situlah ia diminta untuk melayani Perjamuan Suci dan baptisan. Baru
pertama kali ini Ds. Vermeer mengadakan pelawatan dan selama dalam pelawatannya itu ia
telah membaptiskan 700 orang termasuk anak-anak. Ds. Vermeer tak memerlukan
penterjemah, sebab ia sendiri mahir berbahasa Jawa, maka dari itu hubungannya dengan
orang-orang Jawa sangat mudah, hingga semua itu dapat berjalan dengan baik.

7. GEREJA-GEREJA JAWA MENJADI ANGGOTA N.G.Z.V.

Siapakah Pendeta Vermeer itu ? Baiklah kita ajak para pembaca menengok sejarah Pendeta
tersebut yang banyak membantu dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang Jawa serta
mengasihi Jemaat-jemaat Kristen Jawa yang masih muda.
Ds. Vermeer adalah seorang pendeta yang menjadi Pendeta utusan dari N.G.Z.V. (De
Nederlandsch Gereformeede Zendings Vereniging) yaitu suatu Perkumpulan para Utusan
dari Gereja-gereja Gereformeerd di negeri Belanda. Perkumpulan itu didirikan pada tanggal

18
6 Mei 1859 di kota Amsterdam dan menjadi satu-satunya partner di Jawa Tengah bagian
Selatan.
Kedatangannya mula-mula di Tegal pada tanggal 14 Juni 1862 bersama keluarganya dan
mula-mula ia ditugaskan di Jawa Tengah bagian utara, kemudian pada tanggal 10 Oktober
1867 kedudukannya dipindah ke Jawa Tengah bagian Selatan. Bersama keluarganya mereka
lalu menetap di Purbolinggo. Sejak ia di Tegal, ia belajar bahasa Jawa selama 5 tahun dan
ketika ia dipindah tugasnya di Purbolinggo disambut dengan gembira terutama oleh Ny. Van
Oostrom. Tugas mula-mula yang dikerjakan ialah melakukan pelawatan kepelbagai daerah
dan desa-desa dengan disertai oleh Ny. Van Oostrom dan beberapa kawan sekerja. Dengan
cepat Injil meluas di desa-desa hingga sampai di daerah-daerah pegunungan Dieng
membujur sampai di pegunungan Slamet. Ny. Van Oostrom menceritakan banyak tentang
pemberitaan Injil di Bagelen yang sangat maju hingga meluas sampai di daerah Banyumas,
Tegal dan Pekalongan. Timbulnya jemaat-jemaat didaerah pegunungan-pegunungan itu
berasal dari daerah Bagelen. Diceritakan juga bagaimana cara kerja Pemberita-pemberita
Injil di Bagelen yaitu Ny. Philips, Sadrach dan lain-lainnya, yang mempunyai semangat
yang luar biasa. Ds. Vermeer sangat gembira ketika mendengar kabar itu. Lebih gembira
lagi ketika rombongan para pemberita Injil datang di Banyumas untuk minta bantuan
melayani Jemaat-jemaat di daerah Bagelen. Atas usaha Ds. Vermeer, Gereja-gereja Jawa di
wilayah Banyumas menjadi anggota N.G.Z.V.
Dengan demikian maka segala kebutuhan Gereja dapat terjamin terutama buku-buku
pelajaran Agama Kristen dan kitab-kitab Suci Bahasa Jawa. Semuanya itu terjadi pada
tahun 1875.
Gereja Jawa di Bagelen diterima dan diakui sah menjadi anggota N.G.Z.V. berdasarkan
laporan-laporan Ds. Vermeer dengan fakta-fakta yang nyata tentang kemajuan dan
perkembangan Injil Kristus yang sangat cepat meluasnya. Dengan demikian keadaan daerah
Bagelen menjadi perhatian besar di Gereja-gereja di negeri Belanda, lebih-lebih tindakan
dan cara kerja Sadrach yang luar biasa.

8. NY. PHILIPS MENINGGAL DUNIA DAN REAKSI SADRACH DALAM


TINDAKAN SELANJUTNYA.

Mengingat keadaan fisik Ny. Philips lemah dan sering terganggu kesehatannya, maka
terpaksa ia tak dapat melakukan perkunjungan ke desa-desa yang jauh letaknya. Pekerjaan
itu ia serahkan kepada Abisai dan Sadrach. Karena itu, maka segala pertemuan atau rapat-
rapat bagi para pengerja diadakan di Karangjoso, Ny. Philips pada saat itu harus mengaso
dan tak diperbolehkan lagi memikir yang berat-berat atau mengurusi Jemaatnya lagi.
Pekerjaan cukup dikerjakan oleh pembantu-pembantunya yaitu Sadrach, Abisai, Tarub,
Timotius, Markus, Yohanes, dan Yotham. Apabila Ny. Philips mendapat keringanan, ia
berusaha sedapat mungkin menghadiri pertemuan-pertemuan di Karangjoso. Kehadiran Ny.
Philips di situ membuat besar hati dan kegembiraan bagi Sadrach dan kawan-kawannya.
Kelemahan tubuh Ny. Philips dirasakan makin memburuk meskipun demikian tidaklah
mengurangi pengabdiannya kepada Tuhan. Bahkan dengan segala ketulusan hati ia
menyerahkan segala pekerjaan dan hidupnya didalam tangan Tuhan yang maha Kasih.
Sadrach dan kawan-kawannya sering mengunjungi Ny. Philips untuk memberi hiburan serta
19
mendoakan. Dalam keadaan yang amat kritis, dimana ia harus mengakhiri hidupnya,
sebelum ia menutup mata tak lupa ia memberi pesan-pesan yang penting kepada Sadrach
dan Abisai untuk mengatur pekerjaan pemasyhuran Injil. Ny. Philips dengan tenang dan
senyuman telah menutup mata untuk selama-lamanya pada tanggal 23 Mei 1876 dalam usia
51 tahun.
Tarub telah pindah ke lain kota sebelum Ny. Philips jatuh sakit. Ia kembali ketempat asal
kelahirannya di Kediri, maka pekerjaan di Ambal diserahkan kepada Markus dan Yohanes.
Dengan meninggalnya Ny. Philips, menjadi perhatian besar bagi Gereja-gereja diseluruh
Jawa Tengah dan beberapa kota di Jawa Timur. Mereka menyatakan turut berduka cita,
sehingga nama harum Ny. Philips selalu teringat sebagai tokoh gereja dalam sejarah-sejarah
gereja Kristen, baik di Indonesia maupun di negeri Belanda.
Amat disayangkan bahwa sepeninggalnya Ny. Philips, maka sebagai ahliwaris yang
ditinggalkan itu tiada menaruh perhatian kepada Gereja. Mereka acuh tak acuh mengenai
urusan gereja, walaupun mereka kini mendiami rumah Philips. Karena mereka itu sangat
memerlukan uang, terpaksa mereka jual rumah serta halaman berikut gereja di Tuksongo
dan semua buku-buku pelajaran agama dan Kitab-kitab Suci kepada seorang Tionghoa. Hal
itu terjadi pada tanggal 11 Juni 1877.
Mengingat keadaan itu, sungguh sangat menyedihkan bagi Jemaat di Purworejo. Pada saat
itu, Abisai terpaksa mencari tempat lain untuk mengadakan kebaktian. Setelah diadakan
perundingan bersama dengan Sadrach, maka untuk sementara kebaktian digabung di
Karangjoso sebelum Abisai mendapat tempat.
Walaupun dengan penggabungan kebaktian itu, masih juga dirasa suatu penderitaan bagi
Jemaat di daerah Purworejo, dimana mereka harus setiap minggu dengan jalan kaki
menempuh jarak l.k. 20 kilometer jauhnya antara Purworejo dan Karangjoso.
Apakah dengan lenyapnya gereja Tuksongo berarti juga hancurnya kekristenan di Bagelen ?
Tidak, sebab sebelum Ny. Philips wafat, ia telah menyampaikan isi hatinya dan
pandangannya mengenai pemeliharaan kerohanian orang Kristen Jawa kepada kedua
pembantunya yang setia yaitu Abisai Reksodiwongso dan Sadrach. Orang-orang Kristen di
Purworejo dan sekitarnya diserahkan kepada Abisai dan daerah Karangjoso dan sekitarnya
kepada Sadrach. Maka dengan demikian orang-orang Kristen Jawa dapat tetap bertahan,
artinya tak melepaskan kepercayaan Kristen mereka.
Soal penyerahan pimpinan ini langsung diberitahukan oleh Sadrach kepada para pembantu-
pembantunya yang bekerja di kelompok-kelompok. Menurut pendapat Sadrach dan kawan-
kawannya, sekarang mereka tidak bergantung kepada siapapun. Mereka ingin mengatur
dirinya, sebab itu mereka menyebut dirinya : Kristen Jawa Merdeka. Ini bukan
kesombongan atau berdasar rasa benci, tetapi ini keadaan yang sebenarnya. Sebab Gereja
Negara sudah tidak mau menganggap lagi dan Ny. Philips sudah meninggal dunia.
Kemudian Sadrach telah mengumumkan nama barunya sebagai pemimpin orang Kristen
Jawa Merdeka, dengan nama : SUROPRANOTO, yang berarti berdiri sendiri (berdikari)
tidak dibawah siapapun, dan semuanya diatur menurut tata caranya sendiri (Mranata).
Soal ini bagi Sadrach sudah biasa, sebab ia sudah biasa hidup tak tergantung kepada orang
lain. Situasi seperti ini mengingatkan Sadrach kepada gurunya dulu yaitu Kyai Tunggul
Wulung, dimana pendeta Jawa tak tergantung kepada siapapun.
Sadrach dengan seribu lima ratus orang dewasa atau kurang lebih tiga ribu anggota ingin
mengatur diri bersama-sama. Dia mengambil inisiatif dan menetapkan aturan-aturan bagi
20
semua kelompok. Tiap-tiap tigapuluh lima hari sekali jatuh pada hari Selasa Kliwon, semua
ketua kelompok berkumpul di Karangjoso. Hari Selasa Kliwon bagi orang Jawa mendapat
perhatian besar sebagai hari kelahiran Syiwa, dan tiap-tiap malam Selasa Kliwon di rumah
atau di tempat keramat dan kuburan, orang membakar kemenyan. Dengan ditetapkannya
hari itu untuk berkumpul maka perhatian kepada upacara pembakaran kemenyan beralih.
Sebab yang datang dalam kumpulan itu tidak hanya wakil-wakil dari kelompok, tetapi
orang-orang dari kaum awam juga. Ini merupakan pertemuan besar dibawah pimpinan
Sadrach. Di situ dibicarakan soal-soal misalnya : jumlah anggota gereja, kelahiran,
kematian, pemisahan kelompok-kelompok yang makin besar, menetapkan ketua-ketua
kelompok, menentukan pembangunan rumah-rumah kebaktian dan sebagainya.
Demikianlah semua kemungkinan di situ dikemukakan, diperbincangkan dan diatur.
Dengan demikian hingga merupakan persatuan yang ampuh. Dari pelbagai tempat orang-
orang itu berkumpul, berdoa, berbakti bersama-sama. Pada malam hari mereka bermalam di
rumah Sadrach dan saling mengadakan perkenalan dan bercakap-cakap sebagai kakak
beradik, bapak dan anak, hingga merupakan kekeluargaan yang penuh dengan kasih.
Suasana yang tak diinginkan tak pernah terjadi, sebab mereka merasa menjadi tamu di
rumah gurunya, mereka takut berbuat apa-apa yang kurang hormat dalam pertemuan itu.
Soal makanan mereka, tak mungkin Sadrach menjaminnya. Para tamu membawa sendiri
hingga tak dibebankan pada seorang saja. Aturan ini berjalan terus tak penah lowong, dan
menunjukkan suatu keluarga yang besar dibawah seorang bapak Sadrach. Ikatan ini
semakin kuat, sebab mereka dalam satu perguruan merasa seperti saudara-saudara
sekandung. Keadaan sosial ekonomi umumnya cukup, sebab hampir setiap keluarga
mempunyai sawah dan tanah sendiri.
Para murid-murid Sadrach menaruh kepercayaan besar kepada gurunya. Sikap dan kelakuan
Sadrach bernilai tinggi diantara murid-muridnya. Ia seorang yang dapat menguasai diri. Tak
banyak tertawa, orang yang serius, tak suka bersenda-gurau. Tak pernah mengejek atau
menghina orang lain. Kenalannya tak hanya orang-orang yang rendah, tetapi sampai
pejabat-pejabat tinggipun mengenal dia. Dengan demikian menambah gengsi dihadapan
para murid-muridnya.
Kelompok Sadrach tetap bernama Kristen. Mereka menegakkan sepuluh Hukum dan Doa
Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli dan biasanya itu dihafalkan pada tiap Kebaktian
hari Minggu. Hal-hal inilah sebagai ciri orang-orang Kristen yang nampak di tengah-tengah
masyarakat desa sekitar Karangjoso, dan ini memang merupakan persekutuan yang sangat
bermutu.

9. DS. BIEGER, UTUSAN N.G.Z.V. DAN MASALAH GEREJA-GEREJA DI BAWAH


PIMPINAN SADRACH.

Dari laporan Ds. Vermeer, N.G.Z.V. memandang perlu mengutus utusannya untuk bekerja
di daerah Bagelen. Dua tahun kemudian setelah meninggalnya Ny. Philips, pada tahun
1878, diutuslah Ds. Bieger ke daerah ini. Sebelum ia melakukan pekerjaannya, untuk
sementara ia di Tegal.

21
Mula-mula ia bertempat tinggal di Kutoarjo. Pada waktu ia datang ke daerah itu, kedudukan
Sadrach sudah cukup kuat sebagai pemimpin orang-orang Kristen Jawa Merdeka.
Tujuan Ds. Bieger yang pertama ialah mengadakan pembicaraan dengan Sadrach tentang
pimpinan orang-orang Kristen Jawa, dan menghendaki supaya Sadrach menyerahkan
pimpinan itu kepada Ds. Bieger. Sungguh aneh dan mengherankan, apalagi bagi Sadrach
hal ini tidak bisa dimengerti. Apakah tugas seorang pendeta Zending itu memang
demikian ? Apakah Ds. Bieger tidak mengerti bahwa Sadrach dan kelompok-kelompoknya
tak ada sangkut pautnya dengan gereja Negara maupun N.G.Z.V. ? Memang dulu Ds.
Vermeer telah membaptiskan orang-orang yang di bawa oleh Sadrach, tetapi menurut
anggapan Sadrach, hal itu bukan berarti bahwa mereka itu menjadi anggota gereja Negara
atau N.G.Z.V. Dan pula usaha Ds. Vermeer dimana gereja-gereja di daerah Bagelen
termasuk Karangjoso diakui sah sebagai anggota N.G.Z.V., hal ini sebenarnya oleh Sadrach
dianggap sebagai bantuan yang diperlukan untuk kebutuhan gereja, dan bukan untuk
menguasainya.
Sadrach sendiri tak mengerti sebenarnya status gereja Negara, N.G.Z.V dengan
kelompoknya sendiri. Tetapi jelas menurut pandangan Sadrach, bahwa adanya kelompok-
kelompok dan perkembangan jemaat-jemaat di daerah Karangjoso adalah hasil jerih payah
Sadrach dan kawan-kawannya. Dan Sadrach telah diakui sah sebagai pimpinan mereka.
Andaikata Sadrach menanyakan kepada murid-muridnya tentang maksud Bieger itu, tentu
mereka akan menolaknya. Bieger adalah orang asing yang begitu datang terus minta
kedudukan. Ini sukar diterima oleh Sadrach.
Usaha Bieger selanjutnya adalah mendekati Abisai. Dengan mudah daerah kerja Abisai
diserahkan kepada N.G.Z.V. atau tangan Bieger. Dalam hal ini, pendirian Abisai jauh
berbeda dengan Sadrach. Dia tetap mengakui bahwa daerah kerjanya menjadi anggota
N.G.Z.V hingga pernyataan Bieger hal penyerahan itu bukanlah menjadi soal Ilahi dan pada
saat itu jemaat di Purworejo sedang dalam keadaan parah. Pada saat itu Abisai dijadikan
pembantu Bieger dengan gaji tigapuluh gulden. Menurut anggapan Bieger, Sadrach harus
dapat ia kuasai seperti Abisai. Ia harus sekali lagi mengadakan pertemuan dengan Sadrach
untuk maksud itu, tetapi Sadrach tetap pada pendiriannya tak mau menyerah.
Persoalan ini sedikitnya dalam waktu tiga puluh lima hari sudah tersebar di seluruh pelosok
kelompok. Baik tiap murid Sadrach maupun jemaat-jemaat di wilayah Sadrach mengetahui
persoalan ini. Ternyata aturan yang ditetapkan Sadrach memang tepat. Murid-muridnya
mengerti kehendak gurunya dan gurunya-pun mengerti kesetiaan murid-muridnya. Ini
menyebabkan pendirian Sadrach tetap teguh.
Pada suatu hari Sadrach menerima surat panggilan dari pembesar setempat, yaitu Bupati
Kutoarjo dan Asisten Residen. Ia diminta keterangannya tentang bagaimana sikapnya
terhadap permintaan Bieger. Sadrach menjawab bahwa ia tetap pada pendiriannya. Sejak itu
Sadrach mengerti bahwa Bieger dalam usahanya untuk menguasainya telah memakai alat
Negara.
Sadrach telah menerima juga peraturan-peraturan Gereja tertulis dari Bieger, tetapi
peraturan-peraturan yang diberikan itu oleh Sadrach ditolak. Menurut anggapan Sadrach
peraturan-peraturan itu tak dapat dijalankan karena terlalu sukar dimengerti oleh jemaat.
Pokok utama, bukannya dengan dasar Kitab Suci atau pelajaran-pelajaran agama, tetapi
cukuplah dengan berbagai cara lain asal orang mau bertobat dan menyerahkan hidupnya

22
kepada Juruselamat Yesus Kristus, maka Sadrach tetap tidak mau tunduk pada peraturan-
peraturan yang diberikan.
Bieger berusaha dengan berbagai macam jalan, supaya Sadrach mau menerima peraturan-
peraturan gereja itu. Sadrach tidak menghendaki kalau N.G.Z.V. turut campur urusan
jemaat-jemaat sekitar Karangjoso.
Ketika Bieger pindah ke Purworejo dan bertempat tinggal di kampung Plaosan, ia
mengadakan hubungan dengan Residen Ligvoet yang berkedudukan di Purworejo, setelah
didengar keterangan-keterangan maka Ligvoet menaruh curiga atas tindakan Sadrach,
dikuatirkan kalau Sadrach mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah. Dengan
demikian maka diutus beberapa anggota polisi untuk mengamat-amati segala gerak-gerik
Sadrach. Tetapi suatupun tiada terdapat kesalahan yang melanggar hukum pemerintah.
Sedang para petugas pemerintah itupun dapat pula memuji dan menganggap pimpinan
Sadrach itu baik. Karena tiada suatu kejahatan yang terdapat, maka Sadrach tak mungkin
ditangkap tanpa alasan.
Dalam tahun 1882 wabah penyakit cacar menjalar di daerah Bagelen, hingga penduduk
yang berada di daerah itu oleh Pemerintah diharuskan mencacarkan diri. Jawatan Kesehatan
mengirim para mantri cacar ke pelosok-pelosok desa untuk mengadakan pencacaran
penduduk.
Karena pencacaran itu dilakukan dengan cara paksa, maka Sadrach tidak setuju cara yang
dilakukan itu. Pengaruh Sadrach di daerah itu amat besar, hingga di daerah itu terdapat
hanya sedikit saja yang telah mencacarkan diri, dengan demikian menjadi keheranan bagi
para mantri cacar tersebut. Setelah diselidiki dan diperoleh keterangan dari beberapa orang,
disebabkan pengaruh Sadrach. Dengan alasan-alasan itu cukup sebagai bukti untuk
menangkap Sadrach. Kemudian Residen mengirim beberapa anggota polisi buat menangkap
Sadrach. Peristiwa penangkapan itu terjadi pada bulan Maret 1882 yang cukup
mengejutkan, Sadrach ditangkap dan dimasukkan dalam Penjara atas perintah Residen
Ligvoet. Penangkanan itu diberitahukan juga kepada Ds. Heyting, pendeta dari Gereja
Negara, dengan alasan penangkapan soal cacar. Bahwa menurut laporan-laporan yang
diperoleh, Sadrach tidak memperbolehkan orang-orangnya dicacar. Alasan-asalan itu
sebenarnya salah.
Residen ligvoet dengan beberapa anggota polisi datang di tempat kediaman Sadrach dengan
maksud akan mencari dokumen-dokumen yang bertujuan akan memberontak kepada
Negara. Penggeledahan telah dilakukan dengan keras, tetapi sia-sialah. Karena ternyata
tidak mendapatkan suatu bukti yang bermaksud jahat. Yang diketemukan adalah sebuah
tombak kecil, yaitu satu-satunya senjata Sadrach yang diperuntukkan membela diri jika ada
pencuri atau perampok. Pada saat penggeledahan, hadir juga beberapa murid-murid
Sadrach, misalnya Markus, Yohanes dan lain-lain lagi. Setelah Residen mendapat banyak
keterangan dari Debora, istri Sadrach, para penggeledah kemudian meninggalkan tempat
itu. Untuk beberapa saat Pemerintah menutup Gereja di Karangjoso sejak peristiwa
penggeledahan itu. Tapi Yohanes tetap memimpin Kebaktian pada hari Minggu, seolah-olah
tidak mempedulikan larangan itu. Karena itu Yohanes ditangkap dan dihadapkan
kepengadilan di Purworejo. Dalam perkara itu Residen sendiri yang menjadi hakim
pengadilan, disitu hadir juga Bieger. Putusan terakhir diserahkan kepada Bieger. Yohanes
diperbolehkan mengajar asal menurut peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan.

23
Kemudian ia diperkenankan pulang. Yohanes menyatakan sanggup dan bersedia melakukan
keputusan tersebut.
Sementara Sadrach ditahan dipenjara, pada tanggal 15 Maret 1882 ada pertemuan besar dari
kelompok-kelompok Sadrach. Pertemuan ini diadakan atas undangan (pangggilan) Residen
Ligvoet. Mereka datang dengan rasa takut, sebab gurunya tidak ada, mereka kuatir akan
mengalami nasib yang sama seperti gurunya. Pertemuan itu dihadiri oleh ketua-ketua
kelompok dari Bagelen dan Banyumas, dan dari pihak Pemerintah hadir Residen, Bupati
Kutoarjo, Kepala Jaksa Purworejo. Jaksa Kutoarjo, Assisten Residen Kutoarjo, dan dari
pihak Gereja, hadir Ds. Heyting, pendeta gereja Negara dan Ds. Bieger. Dalam pertemuan
itu diumumkan bahwa Sadrach diberhentikan dari kedudukannya sebagai pemimpin mereka
dan diasingkan dari Karangjoso, sebagai gantinya yaitu Ds. Bieger. Peristiwa ini terkenal
diantara murid-murid Sadrach dengan nama “peristiwa Jum’at Wage” yang tak terlupakan
dimana mereka kehilangan gurunya.
Para pejabat pulang, Bieger tinggal bersama mereka. Sudah menjadi kebiasaan menurut
pandangan orang Jawa, jika ada orang kena kecelakaan dianggap sebagai hukuman Tuhan
(bahasa Jawa : Kena dendaning Pangeran). Apakah peristiwa yang menimpa diri Sadrach
juga dipandang demikian ?
Muris-murid Sadrach memandang peristiwa ini bukan sebagai persoalan kedudukan
gurunya, tetapi hanya soal cacar saja. Dalam hati mereka, Sadrach tetap sebagai gurunya,
walaupun Bieger sudah ditetapkan sebagai pendeta mereka. Demikian Bieger mendapat
kedudukan. Kedudukan ini diberi oleh Residen. Inilah jabatan dalam urusan kegerejaan,
tapi anehnya Bieger juga menerima dengan senang hati, tanpa memikirkan nasib
penderitaan orang lain, misalnya Jemaat-jemaat Sadrach yang kehilangan gurunya yang
sangat dicintanya. Bukan pelayanan, melainkan kedudukan yang dikejar oleh Bieger
sebagai pendeta utusan. Bagi orang Kristen Jawa yang belum mengerti peraturan-peraturan
gereja, mendapat kesan bahwa begitulah cara orang Belanda mengatur gereja. Mereka
menerima petunjuk dan ajaran dari Bieger dalam suasana hati yang masih kacau.
Peristiwa tersebut jika ditinjau dari etika orang Jawa menunjukkan bahwa utusan N.G.Z.V.
datang di Bagelen untuk menduduki tikar yang sudah terhampar (bahasa Jawa : nglungguhi
klasa gumelar), sedang yang menganyam tikar itu ialah Sadrach.
Lain halnya dengan Ds, Jellesma di Mojowarno. Telah nampak bahwa Ds. Jellesma lebih
bertindak sebagai pelayan dari pada penguasa terhadap Paulus Tosari.
Pada tanggal 23 Maret 1882 diadakan pertemuan lagi. Kali ini diadakan di gedung
Pemerintah Kutoarjo. Hadir duaratus orang. Pertemuan ini tidak hanya dihadiri ketua-ketua
kelompok, tetapi juga murid-murid lain. Pertemuan itu bagi mereka suatu tanda tanya :
mungkin pihak penguasa akan memperlakukan mereka seperti perlakuan terhadap gurunya.
Tetapi tidak demikian. Di sini mereka berkumpul kebaktian bersama dibawah pimpinan
Bieger dengan renungan. Sesudah makan bersama, lalu diumumkan oleh Residen Ligvoet
bahwa mulai saat itu, guru mereka Sadrach tak diperkenankan memberi ajaran apa-apa dan
ia harus berada di Purworejo di rumah Bieger dengan dijaga oleh polisi. Memang itulah
atas permintaan Bieger, supaya Sadrach tetap ditahan di rumahnya setelah ia melakukan
peninjauan ke gereja-gereja di wilayah Bagelen dan daerah Pekalongan dan Tegal bagian
baratdaya, karena disanalah terdapat banyak orang-orang Kristen yang berasal dari ajaran
Sadrach.

24
Dalam kumpulan itu Sadrach menyatakan kesanggupannya. Dengan demikian
Sadrach direndahkan dan dipermalukan. Nampaknya Sadrach mendapat keringanan sebab
telah dikeluarkan dari penjara, tetapi sebenarnya hal itu dimaksudkan sebagai penghinaan
didepan pengikut-pengikutnya, meruntuhkan kewibawaan Sadrach.
Di rumah Bieger, Sadrach seharusnya mengalami suasana yang tenang, sebab di rumah
pendeta, bukan penjara. Tiap hari makan bersama, bicara-bicara soal kerohanian, baca
Alkitab bersama dan saling memberi tuntunan, kalau demikian keadaannya, tentu besar
sekali manfaatnya bagi Sadrach. Adapun maksud Bieger yaitu supaya Sadrach dapat
menyadari segala tindakan yang salah dalam memberi ajaran-ajaran agama Kristen.
Tindakan Bieger meskipun baik atau jelek, oleh Sadrach ditelan dengan sabar dan tenang.
Segala nasehatnya diterima dengan baik. Hanya satu yang paling tidak disukai oleh
Sadrach, yaitu cara tindakan diktator Bieger, yang sebenarnya tidak patut dilakukan oleh
seorang pendeta. Sadrach mengetahui bahwa tindakan Bieger itu sebetulnya mempunyai
tujuan dan maksud baik, tetapi belum saatnya dan tidak cocok untuk ditindakkan kepada
orang-orang Jawa di desa-desa yang pengetahuannya masih jauh berbeda dibandingkan
orang-orang Kristen di kota-kota besar atau di negeri Belanda. Pula Bieger tidak dapat
menyelami apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh orang-orang Jawa yang mempunyai
latar belakang yang sangat lain, baik dilihat dari kepercayaan Kristen maupun kebudayaan
Belanda. Ia tak dapat menyesuaikan diri dengan orang-orang Jawa terutama di pelosok-
pelosok desa.

10.DS. WILHELM BERUSAHA BEKERJASAMA DENGAN SADRACH.

Setahun sebelum peristiwa penangkapan Sadrach, N.G.Z.V. telah mengutus seorang pendeta
muda bernama Ds. J. Wilhelm. Ia berdiam disamping rumah Bieger, sebagai pendeta
Zending ia datang di Purworejo pada bulan Pebruari 1881. Ia bekerja tidak sebagai pendeta,
tetapi membuka sekolah dan mengajar sebagai guru agama. Meskipun selama hampir
setahun tinggal di Purworejo, tapi ia tak mengetahui soal peristiwa Sadrach, sebab ia
menganggap itu bukan urusannya. Sedangkan Bieger sama sekali tidak memberitahu atau
menceritakan soal itu kepada Ds. Wilhelm. Mungkin Bieger ingin mengatasi soal-soal ini
sendiri, sebab ia anggap bahwa Wilhelm masih muda dan kurang pengalamannya. Ia mulai
menaruh perhatian dan curiga dengan adanya beberapa anggota polisi menjaga rumah
Bieger. Akhirnya ia mengetahui peristiwa itu. Ia agak heran, mengapa Bieger sama sekali
tidak pernah menceritakan peristiwa itu. Ia mulai berkenalan dengan Sadrach di rumah
Bieger, tapi tidak sekali-kali turut campur urusan Bieger. Hubungan kedua orang itu makin
erat. Ds. Wilhelm memang suka bergaul dengan orang-orang Jawa lagipula ia pandai
berbahasa Jawa. Dan tindakan Wilhelm yang manis budi dapat dirasakan juga oleh Sadrach.
Wilhelm seorang pendeta yang masih sangat muda tapi sabar dan bijaksana itu tercermin
dalam sikap dan kata tuturnya.
Siapa Wilhelm itu ? Jakob Wilhelm dilahirkan pada tangal 6 April 1854 di Ommen,
Overijsel Nederland. Ayahnya bekerja sebagai dokter hewan. Setelah lulus dari pendidikan
Theologia di Dedemsvaart, kemudian ia mengambil ujian untuk memasuki Sekolah
Perguruan Theologia bagian calon pendeta utusan pada “De Utrechtsche Zendings
Vereniging (U.Z.V.) tetapi sayang tidak diterima. Dengan pertolongan Ds. Witteveen di
Ermelo, ia dapat memasuki sebagai mahasiswa calon pendeta utusan pada “Nederlandsche
25
Gereformeerde Zendings Vereniging (N.G.Z.V.) dikota Leiden. Mula-mula ia menjadi
murid Ds. J.H. Donner. Disini ia mendapat pelajaran bahasa Jawa dan Pengetahuan Umum
selain Alkitab.
Dengan berkat Tuhan, ia lulus pada ujian terakhir sebagai calon Pendeta Utusan, pada tahun
1879. Menurut keputusan rapat N.G.Z.V. di Renkum dan Heelsum dengan persetujuan
Gereja-gereja dalam lingkungan N.G.Z.V., Jakob Wilhelm dipilih dan diangkat menjadi
pendeta Utusan untuk Daerah Bagelen, sebagai pembantu Ds. Bieger. Pelantikan sebagai
Pendeta Utusan dilakukan pada tanggal 17 Nopember 1880. Dan pada tanggal 28 Pebruari
1881 bersama isterinya, ia tiba di kota Purworejo. Mula-mula oleh Bieger, ia diperkenalkan
kepada jemaat-jemaat dalam lingkungan daerah Bagelen. Semuanya itu sebelum terjadi
peristiwa Sadrach.
Menurut Ds. Wilhelm, setelah mengadakan tinjauan ke jemaat-jemaat di daerah Bagelen,
ternyata bahwa keadaan orang-orang Kristen Jawa sebagian besar masih buta huruf dan
sama sekali tidak ada kemajuan. Kepercayaannya berdasarkan cerita-cerita yang didengar
saja, maka ia menghendaki untuk membuka sekolah terutama bagi anak-anak Jawa, supaya
dikemudian kelak dapat memimpin jemaat Tuhan dengan lebih sempurna. Mula-mula ia
mengumpulkan anak-anak dari pelbagai tempat untuk diberi ajaran menulis dan membaca
dalam bentuk praktis, dan diadakan di pelbagai tempat. Dengan demikian ternyata
mendapat banyak kemajuan. Lambat laun murid-murid makin banyak, hingga Wilhelm
merasa tak mampu lagi untuk melayani sendiri. Demi kepentingan Pendidikan Sekolah,
maka atas usul Ds. Wilhelm kepada N.G.Z.V., telah dibangun sebuah gedung sekolah
Pendidikan Kristen di Kota Kutoarjo dan dibuka dengan resmi pada tanggal 10 Januari
1888 dengan nama Sekolah KEUCHENIUS, sebagai guru sekolah, N.G.Z.V. telah
mengutus J.P. Zuidema.
Setelah Sadrach diamankan di rumah Bieger, maka Bieger kemudian mengadakan kegiatan-
kegiatannya. Tanggal 10 April 1882, diadakan kebaktian di gereja yang terletak di halaman
rumah Pendeta Bieger. Diadakan bukan hari Minggu melainkan hari Senin. Dalam
kebaktian itu dilayani Perjamuan Kudus. Sadrach hadir juga dalam kebaktian itu, dan
murid-murid Sadrach hadir juga. Bieger mengetahui bahwa hubungan murid-murid dengan
gurunya masih kuat, sehingga Perjamuan kudus itu berjalan dalam suasanan yang tidak
enak.
Hari-hari berikutnya Bieger berkeliling ke-kelompok-kelompok. Di situ terdapat banyak
orang yang belum dibaptiskan, meskipun mereka sudah menerima pelajaran-pelajaran
agama Kristen dari Sadrach dan pembantu-pembantunya. Dalam bulan April 1882, Bieger
telah membaptiskan sejumlah enam ratus enam puluh delapan (668) orang. Jumlah sebesar
itu, dikarenakan sejak Gereja Jawa dipisahkan dari Gereja Negara (Belanda) oleh Thieme
dan sepeninggalnya Ny. Philips sama sekali tidak ada baptisan. Orang sebanyak itu, adalah
hasil kerja Sadrach dan pembantu-pembantunya. Baptisan itu dilakukan di gereja
Purworejo, Karangjoso, Banjur, Karangjambu, Kedungpring, Karangpucung, Pondok dan
Kedungdawa.
Bulan Mei 1882 lagi di: Purworejo, Ngawu-awu, Jelok, Sapuran, sebanyak 243 orang.
Menyusul bulan Agustus 1882 sebanyak 12 orang di Purworejo. Tahun 1883 seorang dan
tahun 1884 dua orang, lalu berhenti. Jumlah keseluruhan yang telah dibaptiskan oleh Bieger
sebanyak 961 orang, dan inilah sebagai tahun kepuasan Bieger, sebab segala cita-cita telah

26
tercapai, yaitu mencapai kedudukan. Sadrach telah disingkirkan dan ia telah berhasil
membaptiskan orang banyak sekali.
Tetapi akhir tahun 1882 merupakan saat yang pahit, karena pada tanggal 10 Juni 1882 ada
surat kawat dari Pemerintah Pusat (Gubernur Jendral) di Bogor kepada Residen Bagelen,
yang berisi perintah agar melepaskan Sadrach kembali ke Karangjoso dan boleh melakukan
tugas seperti semula.
F’s Jacob yang berkedudukan sebagai Gubernur Jendral di Bogor sejak tahun 1881, setelah
mendengar beberapa laporan, tidak dapat membenarkan tindakan Residen Ligvoet dari
Bagelen yang telah memfitnah Sadrach, yang terang tidak bersalah atau melakukan
kejahatan terhadap hukum Negara. Sebagai Residen telah mempergunakan haknya secara
sewenang-wenang terhadap sesama orang. Tindakan itu sungguh tidak bijaksana. Maka
sebelum terlambat, segera ia mengirim kawat, supaya Sadrach segera dilepaskan dan
dikembalikan ketempat kediamannya di Karangjoso, kemudian Ligvoet dihentikan dari
jabatan sebagai Residen di Purworejo. Ia telah dipindahkan sebelum Sadrach di bebaskan.
Sadrach meninggalkan tempat kediaman Bieger kembali ke Karangjoso diiringkan oleh
murid-muridnya. Kedatangannya di Karangjoso disambut dengan gembira oleh penduduk
setempat terutama orang-orang Kristen. Sadrach masih tetap diakui sah sebagai guru.
Ketika diadakan kebaktian hari Minggu di Karangjoso, hadir juga Residen, Bupati, Asisten
Residen, Kontrolir dari Purworejo dan Kutoarjo. Dengan demikian sebagai tindakan
Rehabilitasi, hal ini merupakan suatu pukulan yang berat bagi Bieger. Ia kecewa dengan
kebebasan Sadrach, dan Ligvoet sudah turun dari jabatannya sebagai Residen telah pindah
ke lain kota. Dengan kehendak sendiri ia mengirim surat kepada N.G.Z.V. dengan maksud
hendak pulang ke negeri Belanda. Tetapi ia harus tunggu dua tahun lagi, baru pada tahun
1884 ia diperkenankan kembali ke negeri Belanda.
Pekerjaan Wilhelm makin bertambah banyak, karena selain tugas di daerah Bagelen, iapun
oleh N.G.Z.V. diserahi untuk melayani daerah Tegal, menggantikan pekerjaan Ds.
Ulenbusch, yang belum lama telah dihentikan dari pekerjaanya. Jemaat di daerah Tegal dan
Pekalongan sudah menjadi anggota N.G.Z.V. sejak tahun 1882.
Sebelum Sadrach meninggalkan rumah Bieger, memang telah ada kata sepakat dan berjanji
akan mengadakan kerjasama dalam bidang pemberitaan Injil dengan saling membantu.
Ketika Sadrach kembali ke Karangjoso pada tahun 1883, makin nyatalah hubungan mereka
makin erat seolah-olah tidak dapat terpisah satu sama lain. Mereka telah melakukan
pemberitaan Injil bersama kepelbagai tempat dengan jalan berkuda.
Setelah Bieger meninggalkan Purworejo pada tahun 1884, bagi Sadrach dan orang-orang
Kristen Jawa ada suatu keuntungan sebab hasil-hasil pemberitaan Injil mereka telah
dibaptiskan oleh Bieger. Hampir semua masih setia kepada gurunya, hanya sebagian kecil
sekali yang tak menggabung dengan Karangjoso, misalnya Akimdarmo dan Kesingi.
Tak lama kemudian setelah Sadrach kembali ke Karangjoso, ia pergi ke rumah Wilhelm
untuk memasukkan anak angkatnya bernama Yotham, anak Markus dari Banjur. Yotam
adalah seorang murid yang setia dan sangat dikasihi oleh Wilhelm. Kemana gurunya pergi
selalu diikuti oleh Yotam. Ia banyak membantu pekerjaan gurunya.
Ds. Wilhelm merasa sangat berkewajiban dimana ia harus mengasuh Jemaat-jemaat itu,
karena anggota-anggota jemaat diantaranya masih terdapat kepercayaan-kepercayaan
takhayul dan buta huruf dan sangat kurang pengertian mereka mengenai Alkitab. Dengan
penuh kebijaksanaan dan ketekunan, sedikit demi sedikit ia memberi pelajaran-pelajaran
27
terutama pelajaran dari Katakhismus, 12 pengakuan kepercayaan rasuli dan Peraturan
Gereja.
Untuk pertama kali telah diadakan konperensi di Karangjoso yang dihadiri oleh wakil-wakil
jemaat di seluruh Begelen dengan maksud mengadakan pembentukan tua-tua dan
penempatan tenaga guru-guru Injil ditiap jemaat. Dalam konperensi, dilakukan pembagian
Klasis dan setiap setahun sekali diadakan pertemuan sinode di Karangjoso yang dihadiri
oleh wakil-wakil Klasis. Daftar anggota lebih ditertibkan. Dan menganjurkan kepada semua
jemaat supaya memasukkan anak-anaknya ke sekolah Pendidikan Guru Injil di Purworejo.
Untuk menghadapi jemaat-jemaat itu, Wilhelm bertindak sebijaksana mungkin, karena ia
mengetahui dengan cara bagaimana harus melayani jemaat-jemaat dan juga terutama
Sadrach yang masih kurang pengertiannya mengenai Kitab Suci. Semua itu ia lakukan
sedikit demi sedikit dan semua itu dilakukan dengan ramah dan penuh kesabaran dan
bijaksana. Tak pernah ia menghalang-halangi apa yang ditindakan oleh Sadrach, maka
dengan demikian ia sangat disukai oleh Sadrach dan jemaat di Karangjoso. Usaha membuka
pendidikan Kristen itu sungguh berhasil, sebab ternyata bahwa anak-anak muda yang telah
lulus dari Sekolah Keuchenius akan mewarisi semua Jemaat Kristen Jawa serta membawa
ke arah kemajuan dan kelebaran Kerajaan Allah.

11. DS. WILHELM DIANGKAT MENJADI PENDETA JEMAAT KRISTEN JAWA


KARANGJOSO

Sementara itu sebelum Bieger meninggalkan Purworejo dari pihak Gereja Negara sedang
berusaha untuk menguasai jemaat-jemaat Sadrach, sama halnya dengan Bieger. Ds. Heyting
datang sendiri ke Karangjoso untuk keperluan itu pada bulan Maret 1883. Sadrach menolak
kemudian Sadrach pergi ke rumah Wilhelm, yang pada pokoknya meminta agar Wilhelm
sudi menjadi pendeta untuk orang-orang Kristen Jawa yang dipimpin Sadrach. Wilhelm
bersedia dan ini diberitahukan kepada pendeta Gereja Negara dan Bieger.
Hari Kamis tanggal 22 Maret 1883 menjelang hari Minggu Paskah Bieger tidak
mengijinkan Gereja untuk kebaktian orang Kristen Jawa dibawah pimpinan Sadrach, jadi
terpaksa kebaktian diadakan di serambi rumah Wilhelm. Dari peristiwa tersebut nampak
kejengkelan Bieger terhadap pimpinan Wilhelm atas orang-orang Kristen Jawa. Bahwa
Wilhelm lebih disenangi dari pada Bieger. Pendeta Gereja Negara juga marah kepada
Wilhelm, sebab ini berarti mempersempit usaha Heyting untuk menguasai Sadrach.
Pada hari Minggu semua kelompok Sadrach berkumpul sebanyak 83 orang datang di
Purworejo di rumah Wilhelm yaitu mereka dari daerah Bagelen, Banyumas dan
Pekalongan. Mereka bersatu menyatakan keinginannya yaitu agar Wilhelm bersedia
menjadi pendeta mereka. Pembicaraan belum selesai, maka pertemuan ini diteruskan di
Karangjoso pada tanggal 10 April 1883.
Ds. Wilhelm memberitahukan pertemuan ini kepada pendeta Heyting dan mengharap agar
jangan mencampuri utusan mereka. Tetapi Heyting merasa tidak senang, ia datang juga ke
Karangjoso dengan tujuan untuk membatalkan surat panggilan yang akan ditandatangani
oleh tua-tua semua jemaat dan tanda tangan Sadrach dibawah sendiri dengan kedudukan
sebagai guru agama Kristen di Karangjoso. Heyting marah sekali dan berkata jika maksud
itu diteruskan semua tanggung jawab ada ditangan mereka. Pertemuan itu berjalan terus dan
28
menyelesaikan surat panggilan untuk pendeta Wilhelm. Kemudian surat panggilan
disampaikan kepada Wilhelm.
Di sini terwujudlah suatu kerjasama antara utusan N.G.Z.V. dengan Kyai Sadrach dan
golongannya. Ini berarti bahwa golongan Sadrach adalah golongan yang berdiri sendiri
yang memanggil pendeta Wilhelm dan dia berhak menerima atau menolak panggilan
pendeta itu. Keduanya mempunyai pertanggungan jawab dihadapan Tuhan Raja Gereja.
Pendeta harus memberikan segala yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus kepada gereja-nya
dan jemaat harus mendengar kepada hamba Tuhan yang menyampaikan firman Tuhan serta
segala ajaran-ajaran Kristen. Kerjasama ini berarti juga bahwa N.G.Z.V. memberikan
bantuannya berupa seorang pendeta kepada Jemaat Kristen Merdeka, berdasarkan kesediaan
hati bagi kemuliaan Nama Tuhan Yesus. Demikianlah seharusnya status mereka. Peristiwa
yang telah lampau itu memang membingungkan sebab dalam kejadian-kejadian diatas
jelaslah bahwa urusan gereja telah bercampur-aduk dengan urusan Negara.

12.DS. WILHELM MEMPERKUAT KEDUDUKAN JEMAAT YANG


MEMANGGILNYA.

Setelah Wilhelm ditetapkan menjadi pendeta Jemaat Kristen Jawa, segera ia membuat surat
kepada Gubernur Jenderal yang berisi permintaan, agar golongan Sadrach jangan
digabungkan dengan gereja Negara dan jangan disalurkan dibawah pimpinan salah seorang
pembantu (Hulpprediker), sebab mereka tak menginginkan hal itu. Mereka menginginkan
tetap bebas dan berhak mempunyai pendeta Belanda. Dalam surat itu dilampirkan surat
yang menerangkan bahwa mereka dengan nama : Jemaat Kristen Jawa Mardika
(Pasamuwan Kristen Jawi Mardika), telah memanggil pendeta Wilhelm sebagai pendetanya
dengan tanda tangan 83 ketua kelompok. Surat itu bertangal 17 April 1883 sewaktu mereka
berapat di Karangjoso.
Tentang nama Jemaat Kristen Jawa Mardika ini berarti bahwa jemaat ini tidak di bawah
gereja Negara atau Zending. Karena nama itu menunjukkan isi dan dasar hati Kyai Sadrach.
Sadrach menarik bangsanya sendiri menjadi Kristen bukan diajak untuk menjadi Belanda
atau diajak untuk menjadi beban orang-orang Kristen Belanda, melainkan diajak untuk
berdiri sendiri, meskipun di tengah mereka bekerja seorang pendeta Belanda. Inilah sikap
yang patut dihargai, lebih-lebih pada saat itu. Walaupun kuno dan sederhana tetapi disini
dapat terlihat jiwa besar.
Sikap dan langkah Wilhelmpun sangat berharga, sebab dengan pengiriman surat pada
Pemerintah Pusat ini berarti ia berusaha agar supaya Jemaat Kristen Jawa Mardika dikenal,
diakui dan dimengerti kedudukan serta sikapnya oleh pihak Pemerintah. Inilah tindakan
pertama dari Wilhelm untuk menguatkan status Jemaat yang akan dilayani dan berdasarkan
hukum yang berlaku.
Tindakan selanjutnya ia harus menghadapi pekerjaan raksasa yang tidak ringan didalam
jemaat sendiri, baik dalam kerohanian maupun organisasinya. Pekerjaan yang besar sebab
jumlah murid Sadrach menurut catatan baptisan ada 1.596 orang di Bagelen, di Banyumas
mungkin separuh dari jumlah itu belum terhitung yang didaerah Pekalongan dan
sebagainya. Jumlah kelompok ada 23 buah, letaknya terpencar dimana-mana, sedang
transportnya sangat sulit. Tetapi hal ini sudah diketahui oleh Wilhelm sebelumnya, terutama
29
ketika pertemuan dengan 83 utusan dari kelompok itu, dan ia tak menunjukkan
keberatannya semua akan dikerjakan dengan senang hati.
Sebelum Wilhelm bekerja di situ, dalam jemaat sudah ada peraturan-peraturan yang
berjalan. Misalnya Kebaktian Minggu di kelompok-kelompok dipimpin oleh tua-tua
kelompok yang dapat membaca. Andaikata Kebaktian Minggu belum dapat berjalan dalam
suatu kelompok mereka datang ke kelompok lain yang terdekat. Ditiap kelompok
ditempatkan tua-tua yang disebut “kamitua”. Aturan-aturan lain yaitu pertemuan tigapuluh
lima hari sekali di Karangjoso. Dengan diatur demikian maka Jemaat dapat menampakkan
ikatan yang besar dan kuat. Jika mengingat kekristenan Sadrach, tentunya ia mendapat
sedikit pengetahuan jabatan gerejani dari Ds. Taffer, yaitu pengalamannya sewaktu ia
menjadi murid Mr. Anthing di Batavia (Jawa Barat) dan Ds. Hoezoo di Jawa Tengah dan
Ds. Jellesma di Jawa Timur.
Cara Sadrach memimpin tidak dengan musyawarah atau pertimbangan-pertimbangan orang
lain, tetapi dengan cara memberi perintah, petunjuknya haru ditaati. Biasanya perintah atau
pesan-pesan dan petunjuk-petunjuk diberikan melalui pembantunya yaitu Markus dan
Yohanes. Demikianlah bidang yang akan dikerjakan oleh Wilhelm. Ia bekerja sendiri, sebab
rekannya yaitu Bieger pada pertengahan tahun 1884 pulang ke negeri Belanda.
Pada bulan Juni 1883, Sadrach dan Wilhelm pergi ke Boncon, selatan Purworejo, disitu
diresmikan berdirinya Gereja Kristen, dengan ditetapkannya tua-tua. Sejak tanggal 13 April
1884 Wilhelm telah membaptiskan dipelbagai tempat jumlah 69 orang.
Dalam organisasi dibidang kegerejaan Wilhelm mulai dengan cara desentralisasi, mengingat
luas dan besarnya daerah kerja. Maka dibentuk Klasis, dimana jemaat-jemaat berkumpul
dan diadakan Sinode setahun sekali di Karangjoso. Pertemuan tigapuluh lima hari sekali
kemudian diganti menjadi empat kali dalam setahun. Tetapi ini hanya bertahan sampai
tahun 1892, sebab orang-orang ingin erat hubungan antara guru dan murid.
Wilhelm dan Sadrach menerbitkan buku anggota dan buku baptisan. Dalam hal kerohanian,
Wilhelm tahu bahwa pengetahuan Alkitab sangat sedikit dan bercampur dengan
kepercayaan lain. Kemudian ia membuat Katechismus, Seratus empat cerita dan aturan-
aturan Jemaat dan semuanya ditulis dalam bahasa Jawa.
Karena sedikit sekali orang dapat membaca dan menulis, ia mendirikan beberapa sekolah
akan tetapi ia merasa kekurangan tenaga sehingga ia minta kepada N.G.Z.V. untuk
mendirikan sekolah calon Guru, serta mengirim guru serta pendeta dengan tugas mengajar
disekolah. Usul tersebut disetujui dan pada bulan Januari 1888, J.P. Zuiderma dikirim, lalu
membuka sekolah guru yang diberi nama “KEUCHENIUSSCHOOL”. Disamping itu Ds.
Wilhelm juga mengajar dan memberi kursus-kursus kepada tua-tua kelompok untuk
menambah dan memperdalam pengetahuan Alkitab dan segala sesuatu yang mereka
butuhkan dalam tugas mereka sebagai tua-tua kelompok.

13.PRAKTEK-PRAKTEK KEHIDUPAN JEMAAT KRISTEN JAWA MARDIKA

Sebagai Jemaat muda, maka cara-cara melaksanakan hidup kekristenan sebagai pernyataan
iman mereka, tak dapat dilepaskan dari pengaruh kehidupan tradisional yang telah
mengakar dalam diri mereka.
Dalam praktek-praktek jemaat ini adalah sebagai berikut:
30
a. Soal tempat kebaktian dan kebaktiannya.
b. Upacara Adat
c. Siasat dalam Jemaat
d. Pelayanan Sosial

A. Soal Tempat Kebaktian dan Kebaktiannya.

Bagi kelompok-kelompok yang belum ada gereja, maka kebaktian diadakan di rumah
imam (Kamitua). Istilah “imam” diambil dari istilah Islam, yaitu orang yang memimpin
kebaktian pada hari Jumat. Sudah menjadi kebiasaan di rumah Modin (yaitu orang yang
mengurusi praktek-praktek yang berhubungan dengan agama Islam), didirikan langgar.
Modin inilah biasanya menjadi imam di Masjid.
Gereja-gereja didirikan secara gotong royong dengan bentuk dan kwalitetnya sejenis
dengan rumah-rumah sembahyang lainnya, yaitu Masjid. Seperti halnya di Masjid
mempunyai bedug (alat bunyi-bunyian yang bisa dipakai untuk memanggil orang-orang
sembahyang), demikian juga dalam gereja Sadrach. Pernah ditanyakan kepada Sadrach,
mengapa memakai bedug. Jawab Sadrach, bahwa apa saja halal, asal dapat dipergunakan
untuk membangun dan memanggil jemaat.
Jika mereka akan membangun Gereja yang agak besar, dirapatkan dulu di Karangjoso,
untuk mendapatkan bantuan dari jemaat-jemaat lain. Mereka memandang gereja-gereja
sebagaimana mereka memandang Masjid sebagai tempat sembahyang. Soal mendirikan
rumah sembahyang bukanlah hal yang baru bagi masyarakat. Mereka tak pernah
mengenal atau menerima bantuan luar negeri untuk mendirikan gereja.
Kebaktian dipimpin oleh tua-tua yang mereka sebut “imam”. Sebelum masuk gereja
mereka mengucapkan doa dua kali, demikian : ”Ya Bapa Kami, Tuhan Kami, Kami
orang berdosa, kami mohon ampun. Amin”. Doa ini adalah kebiasaan mereka pada saat
itu.
Hal liturgi sudah ada ditiap kelompok, yang terdiri dari :
1. Pengakuan Iman Rasuli
2. Hukum Sepuluh dengan Matius 22 : 37-40
3. Doa syukur dan doa persembahan
Isi doa syukur sebagai berikut : “Oh Bapa kami, Putera dan Roh Kudus, mohon agar
kami laki/wanita dapat tetap teguh dalam memuji kepadaMu, Oh, mudah-mudahan kami
diberi kekuatan didalam memuji NamaMu, dihadiratMu, Oh Tuhan satu-satunya Bapa
kami. Amin”.
Tentang nyanyian-nyanyian yang dipakai pada saat itu, yaitu dengan melodi Jawa
dengan isi Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli. Juga doa pagi dan doa makan
dinyanyikan dalam lagu Jawa. Semua itu telah disusun oleh Ds. Wilhelm. Ketika
diadakan konferensi pada tahun 1885, para Zendeling membicarakan antara soal melodi
barat yang harus diperkembangkan dalam kebaktian.

B. Upacara Adat

Hidup kerohanian orang Jawa erat hubungannya dengan adat. Bagi orang-orang Kristen
Jawa upacara selamatan tetap ada, hanya beda cara-cara dengan yang dilakukan oleh
31
orang-orang Jawa pada umumnya. Orang-orang Kristen tidak memakai ijab Kabul. Ijab
Kabul ialah mengesahkan upacara selamatan itu dengan penyerahan makanan kepada
roh-roh halus, disertai dengan membakar kemenyan untuk mohon berkat. Akan tetapi
selamatan yang dilakukan orang Kristen dipimpin oleh imam. Sebelum makan bersama
imam berkata (misalnya dalam upacara kandungan tujuh bulan) : “Marilah kita mulai
dengan hidangan yang lezat ini sebagai ucapan terima kasih kepada Allah, karena wanita
yang mengandung itu, sampai saat ini keadaannya sehat dan baik.”
Pada upacara sedekah bumi yang bertujuan mohon kesuburan tanah dan dijauhkan dari
hama-hama. Orang-orang Kristen memandang upacara ini sebagai penyembahan
berhala, sebab mereka mempersembahkan sajian-sajian tertentu untuk Dewi Sri dan
Kala, sebelum tanam padi. Tapi bagi orang Kristen cukup mengadakan di gereja,
membaca Mazmur 1 dan menyanyi Mazmur 104. Imam menjelaskan bahwa pada jaman
Adam ketika ia akan mengerjakan tanah, terlebih dahulu ia mohon berkat kepada Tuhan.
Sesudah kebaktian di gereja, mereka makan bersama.
Pada upacara penguburan, dipimpin oleh imam dengan membaca doa yang sudah dibuat
formulirnya dengan kata-kata dalam bahasa Arab (ini dibuat oleh Sadrach) isinya
sebagai berikut : “ Bagi yang meninggal dunia sudah tidak ada persoalan apa-apa untuk
membujur ke arah timur, barat, selatan dan utara. Dia telah meninggal dan telah
sempurna, kami berdoa kepadaMu ya Tuhan, sebagai sukma kepada sukma, kami
menyerahkan keadaan orang yang meninggal ini kepadaMu, Yang Maha Kuasa, satu-
satunya yang menentukan Amin.” Kemudian berdoa lagi tanpa bahasa Arab, isinya :
”Oh Bapa kami, kami menyerahkan roh ini, semoga selalu ada disisiMu. Agar roh itu
kembali masuk dalam kesucianMu. Agar kamipun yang masih hidup di dunia ini kelak
kembali keasalnya pula. Amin.” Setelah imam menghadap keutara, ia pindah tempat
menghadap ke selatan dengan membaca doa bahasa Arab dan Jawa, yang isinya : supaya
badan kembali kepada tanah dan sukma kembali kepada Tuhan. Imam pindah lagi
menghadap ke barat dengan doa setengah bahasa Arab dan setengah bahasa Jawa, isinya
: “Ya Tuhan di surga, yang dalam hakekatnya sifatnya dan Namanya adalah kebenaran
sejati sumber hidup manusia dan dunia. Dunia ini hanya sementara saja, tetapi Engkau
kekal selamanya. Amin.” Akhirnya ditutup dengan doa bahasa Arab. Sesudah itu
menyanyi bersama. Di rumah diadakan upacara selama tujuh hari dari hari kematian.
Sadrach mengatur upacara demikian dengan maksud menghilangkan ejekan orang
Islam, yang mengatakan bahwa orang Kristen jika meninggal dunia hanya di timbun
dengan tanah tanpa selamatan, seperti mengubur anjing saja.
Kebiasaan-kebiasaan yang mereka buang misalnya: pesta wayang, tayuban, ruahan
(memperingati/menghormati para leluhur yang sudah mati. Ini kepercayaan asli Jawa
yang oleh Islam diteruskan).
Sudah menjadi kebiasaan orang membaca rapal (rumusan doa tertentu untuk maksud-
maksud tertentu) agar tidak diganggu oleh roh yang menguasai tempat yang dituju,
untuk ini Sadrach juga membuat rapal-rapal untuk orang sakit, yang disertai dengan
ludah, ditiup, digosok, obat Jawa, air kencing Sadrach dan sebagainya.
Hal lain yang menarik ialah upacara baptisan anak-anak. Air baptisan diambil dari
sumber mata air, diberi bunga-bunga, setelah upacara baptisan mereka berdoa dengan
membakar kemenyan.

32
Demikianlah upacara adat masih hidup dalam hati mereka. Orang-orang Kristen tak
mudah begitu saja melepaskan diri dari hal-hal tersebut. Walaupun dengan tegas orang
Kristen membuang beberapa kebiasaan, tetapi masih banyak unsur-unsur kepercayaan
Animisme, Hinduisme dan Islam tetap hidup. Sadrach memasukkan ajaran-ajaran
Kristen melalui adat kebiasaan mereka agar ajaran itu berakar dalam hati orang-orang
Jawa.

C. Siasat dalam Jemaat

Setelah Wilhelm diangkat menjadi pendeta mereka, tata tertib Jemaat dapat diatur lebih
luas menyangkut segala segi kehidupan Jemaat. Dalam soal-soal khusus diadakan tata-
tertib untuk mengadakan kesucian gerejanya. Ini menyangkut soal siasat gereja. Banyak
persoalan dari kelompok-kelompok yang berkenaan dengan hidup sehari-hari.
Dalam rapat tiap 105 hari di Karangjoso dibicarakan hal-hal ini. Isi pembicaraan antara
lain : tentang orang yang ikut wayangan, tayuban, judi, mengadu jago, jinah, minum
madat, pelanggaran hari Minggu, orang yang menikah Islam, beristri dua, orang yang
jarang kebaktian dan sebagainya. Beberapa laporan diantaranya menyangkut hidup
imam dan orang awam.
Didapati imam menari bersama dengan wanita dalam pesta tayuban. Imam ini
diberhentikan dan diganti yang lain. Pada hari Minggu ada imam yang berdagang sapi.
Kemudian Sadrach datang sendiri membaca : Kejadian-kejadian dan diberi peringatan.
Kalau membandel dipecat. Ada lagi orang imam yang berjinah. Ia tidak boleh
mengimami selama 1 tahun. Setelah kelihatan bertobat dan taat, dengan pengakuan dosa
dihadapan Jemaat, ia diperbolehkan kembali sebagai imam.
Cara pengakuan dosa, dengan pertanyaan dan jawaban, disediakan air dan bunga. Air itu
untuk cuci muka. Disambut nyanyian bersama dengan melodi Jawa, isinya : Yakub 5 : 8-
10. Dan kemudian ia diakui kembali sebagai imam.
Ada seorang awam yang mengambil istri kedua, sebab istri pertama tak punya anak.
Sebelumnya sudah dinasehati dan diperingatkan oleh imam dan saudara lainnya. Tetapi
tetap membandel. Ia disiasat. Istri yang pertama diceraikan dan kawin dengan orang
lain. Sebaliknya ada orang Islam yang beristri dua ingin menjadi orang Kristen. Bagi
mereka tak diharuskan cerai. Mereka harus menunjukkan kasih. Anak-anaknya
dibaptiskan. Tapi orang ini tak boleh menjadi imam.
Bagi orang Kristen yang tidak pergi ke gereja diberi peringatan sampai 1 tahun. Pernah
ada yang dikeluarkan dari Jemaat, sebab tak ikut ambil bagian dalam sedekah bumi cara
Kristen.
Demikianlah Jemaat Kristen Jawa dalam menjaga kesucian gereja. Menurut kesaksian
Pemerintah, hidup kelompok orang Kristen Jawa cukup baik. Tak pernah ada yang
berurusan dengan polisi. Tertib membayar pajak. Tak pernah ada pencuri atau penjahat.
Mereka hidup rajin, giat bekerja dan berkelakuan baik.

D. Pelayanan Sosial

Disamping hal tersebut diatas, jemaat ini juga tak melupakan tugas sosialnya. Di rumah
Sadrach banyak anak-anak terlantar diterima untuk bekerja di situ. Sadrach membeli
33
tanah bekas tanah pabrik dengan uang pinjaman. Tanah inilah yang dikerjakan oleh
mereka. Mereka bekerja sambil berguru. Dalam kumpulan tigapuluh lima hari sekali di
Karangjoso orang membawa dan mengumpulkan uang untuk menolong orang miskin.
Dari uang itu ada yang dipinjamkan dengan bunga sangat rendah dengan maksud untuk
melawan praktek-praktek lintah darat. Pinjaman bunga hanya satu persen sebulan.
Dalam enam bulan harus lunas. Mereka mendirikan semacam bank kredit. Tiap setahun
menyetorkan sepuluh sen, jadi tiap bulan satu duit (duabelas duit setahun = sepuluh sen).
Hal ini tak langsung diurus oleh Sadrach melainkan oleh anggotanya sendiri.
Demikianlah praktek-praktek dalam kehidupan Jemaat Kristen Jawa. Wilhelm sebagai
pendeta cukup berat tugasnya. Di sini dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Sebab
Wilhelm harus menghadapi orang-orang Kristen dimana kepercayaannya masih campur
aduk dengan adat-adat yang bertentangan dengan iman Kristen. Rupanya bagi orang
Jawa, adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang itu, sukar sekali dilepaskan. Dalam
hati mereka masih ada rasa takut, baik takut terhadap kekuatan magis maupun takut
dikatakan orang yang tak mau hidup bermasyarakat sebab meninggalkan adat. Walaupun
demikian mereka bangga dengan sebutan Kristen dengan seorang bapak Sadrach, di
tengah-tengah masyarakat yang tradisinya masih kuat.

14. TINDAKAN DAN KEPUTUSAN INSPEKTUR LION CACHET

Pertumbuhan Jemaat Kristen Jawa masih banyak kekurangan, ajaran-ajaran masih


bercampur-baur. Namun ciri-ciri yang demikian itu, bagi Wilhelm cukup dimengerti dan
ia berusaha sebijaksana mungkin untuk membawa Sadrach dan murid-muridnya ke arah
hidup yang sesuai dengan Alkitab. Ia duduk berdampingan sama tinggi di tengah-tengah
jemaat ini.
Laporan-laporan Wilhelm kepada bestuur di Nederland (N.G.Z.V.) memang
menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Majalah-majalah gerejani memuat
perkembangan ini. Dan kenyataannya Wilhelmlah yang mendapat tempat di hati
Sadrach, diantara para Zendeling. Dialah yang menonjol baik dalam kerjasama maupun
hasilnya.
Pada saat itu daerah Banyumas bekerja Ds. Vermeer, di Pekalongan dan Tegal bekerja
Ds. Horstman dan di Purworejo, Zuidema bekerja sebagai guru sekolah Keuchenius.
Mereka melihat sendiri bahwa pengikut-pengikut Sadrach, dalam hidup kekristenannya
sangat menyimpang. Banyak kritik-kritik/tuduhan yang dilancarkan oleh para Zendeling
ini, yang didasarkan praktek-praktek hidup mereka. Kritik-kritik berupa tulisan tidak
hanya ditujukan kepada Wilhelm saja sebagai rekan kerja, tapi juga kepada N.G.Z.V. di
Nederland. Keadaan yang kurang menyenangkan ini juga sering dibicarakan dalam
Rapat Kerja.
Tahun 1891 berita tentang Sadrach sebagai orang besar dan terhormat serta disembah-
sembah telah tersiar dan tersebar dalam dunia Zending Gereformeerd. Sadrach disebut
sebagai : Imam, Kyai, Kanjeng bapak, sebutan-sebutan ini merupakan penghormatan
dan untuk meninggikan Sadrach, yang tidak seharusnya demikian bagi seorang
pemimpin Kristen. Sadrach juga dipandang sebagai orang yang sakti sebab ia dapat
34
menyembuhkan orang sakit dan tempat tinggalnya merupakan tempat keramat yang tak
sembarang orang kuat menempatinya.
Horstman melaporkan bahwa ia melihat sendiri, pengikut Sadrach menganggapnya
sebagai ganti yang akan melaksanakan segala sesuatu. Lebih-lebih dengan gelar
“Suropranoto” yang mengandung maksud keilahian yang mengatur. Horstman juga
melihat sendiri bahwa dimana nama Yesus diberitakan, tapi pikiran orang diarahkan
kepada Sadrach. Dikatakan bahwa Sadrach adalah jelmaan, yang tak dilahirkan, tak
berobah, tak sakit, tak mati, ia adalah pengejawantahan Kristus. Demikian kesan
Horstman. Selanjutnya didengar pula langsung dari pengikut Sadrach bahwa orang
Yahudi adalah orang Jawa dan bahasa Jawa adalah bahasa orang Yahudi. Injil dan Roh
Allah diberikan dalam bahasa itu. Sebab itu Qur’an dengan bahasa Arab tak diperlukan
lagi. Mereka percaya bahwa Injil telah keluar dan diberitakan dalam bahasa Jawa dalam
diri Sadrach. Mereka percaya bahwa Injil dalam bahasa Jawa adalah text asli.
Murid Sadrach yang bernama Yeremia dan Yakub Tumpang yang giat mengadakan PI
mengajarkan bahwa Sadrach adalah Ratu Adil. Dalam rapat di Karangjoso, Yeremia
telah mendapat peringatan tentang hal ini. Tetapi menurut pengertian Yeremia, Kristus
sebagai Ratu Adil telah menjelma dalam diri Sadrach, dan dikatakan bahwa Kristus akan
datang kembali menjelma sebagai Sadrach. Lebih-lebih jika hal ini dihubungkan dengan
Gusti dan Suropranoto, ini jelas dianggap sebagai ketuhanan yang mengatur, seperti
gelar Raja Salad an Yogya yang ada pada orang-orang atau pengikut-pengikut Sadrach
dan penyelewengannya.
Pendeta Vermeer di Purbolinggo pun sependapat dengan Horstman sebab ia juga
mengurusi orang-orang Sadrach yang ada di daerah Banyumas. Demikian juga Zuidema
mempunyai pandangan yang sama.
Bestuur N.G.Z.V. mempelajari semua laporan itu. Didalam mempertimbangkan laporan-
laporan itu dipelajari juga pekerjaan zending di Jawa Timur, juga tulisan Ds. Jans
tentang Tunggul Wulung; ditambah lagi pendapat Bieger ketika pulang ke Nederland.
Semua ini berlawanan dengan laporan Wilhelm. Berstuur N.G.Z.V. mengkhawatirkan
jemaat Kristen Jawa yang cepat berkembang itu akan cepat layu pula.
Kemudian bestuur menetapkan untuk mengirim seorang inspektur untuk memeriksa
seluruh pekerjaan N.G.Z.V. di Jawa. Maka dipilih orang yang sudah berpengalaman
salah seorang anggota bestuur yaitu Ds. F. Lion Cachet, pendeta dari Rotterdam, yang
pernah ke Afrika Selatan dan bergaul dengan pendeta-pendeta PI dan orang-orang
Negro.
Ia berangkat bulan Maret 1891 dan tiba di Batavia Juni 1891. Ia telah menulis segala
pengalaman perjalanannya ini dengan panjang lebar dalam bukunya yang berjudul :
EENJAAR OP REIS IN DIENST DER ZENDING. Dalam perjalanan ke daerah-daerah
selalu disertai oleh pendeta setempat. Dan pada waktu memeriksa daerah Bagelen, ia
disertai oleh Pendeta Wilhelm.
Apa yang didapati di daerah Bagelen banyak persamaannya dengan apa yang dilaporkan
Horstman, Vermeer dan sebagainya. Sepanjang perjalanan Wilhelm selalu dimarahi.
Beberapa pengalaman dalam perjalanan ini yang memperkuat pendapat Lion Cachet,
antara lain misalnya pada perjalanan di Kutoarjo. Ia melihat Mbok Kadar sakit di pasar,
lalu pergi ke Karangjoso minta air dari Sadrach, lalu diminumnya supaya sembuh.
Pernah Lion Cachet mendapat penghormatan bahkan disembah-sembah, dicium ujung
35
sepatunya, tetapi ia marah-marah. Bagi orang Jawa, sikap Lion Cachet aneh sekali,
sebab pada umumnya orang menerima penghormatan dengan senang hati, tetapi dia
malah marah-marah. Bagi orang Jawa sudah biasa, bahkan sebagai pelaksanaan hukum
kelima.
Di desa Bulu Lion Cachet menjumpai orang yang mengatakan bahwa Gusti adalah yang
membahagiakan mereka. Kemudian Lion Cachet bertanya : siapa yang dimaksud Gusti
itu ? Apakah Yesus atau Sadrach ? Sebab pengikut Sadrach menyebut gurunya itu
“Gusti” (Panutan) yang ditaati ajarannya dan nasehatnya. Dari pernyataan Lion Cachet
jelas bahwa sebelum datang ke Jawa ia sudah membawa prasangka.
Bagi Wilhelm yang mengetahui lebih banyak keadaan orang Jawa melihat sikap Lion
Cachet itu kasar dan menyakiti hati. Adat kesopanan Jawa tak dihiraukan sama sekali,
bahkan ia sangat meremehkan. Apalagi ia menganggap diri sebagai pemimpin mereka,
kedudukan Sadrach direndahkan. Lion Cachet tidak mau menerima jika orang
memberikan penghormatan terhadap Sadrach. Bagi Lion Cachet adalah hal yang aneh
atau tak mungkin jika Sadrach memang mengajarkan murid-muridnya dengan sungguh-
sungguh sebab pada kenyataannya adalah penyelewengan.
Demikianlah hasil pemeriksaaan Lion Cachet terhadap Jemaat-jemaat Kristen Jawa.
Memang sebelum kedatangannya ia telah banyak dipengaruhi oleh laporan-laporan,
hingga seolah-olah ia sudah menjatuhkan vonis lebih dulu sebelum pemeriksaan. Dalam
perjalanan di daerah Banyumas, Vermeer yang sudah lanjut usia, dicela pekerjaannya,
kemudian dipensiunkan. Tak lama kemudian Vermeer meninggal dunia pada saat Lion
Cachet masih di Purworejo. Setelah selesai pemeriksaan, para tenaga Zending berapat
untuk mengambil keputusan yang penting. Mereka sependapat bahwa Sadrach adalah
guru yang menyeleweng dan menyimpang dari ajaran Kristen, ini harus disingkirkan
dari N.G.Z.V. termasuk juga pembantu-pembantunya. Dan melarang pendeta Wilhelm
mengadakan hubungan dengan mereka lagi.
Wilhelm harus ikut menanda tangani keputusan tersebut. Memang diakui bahwa banyak
hal-hal yang masih bercampur dengan kepercayaan lain, namun tidak berarti bahwa
mereka harus dibubarkan. Menurut pendapatnya dalah suatu tindakan yang kurang
bijaksana. Sebab siapa yang dapat menilai kekristenan Jawa, harus mengetahui betul-
betul watak dan hati dan keistimewaan orang Jawa lebih dulu. Keistimewaan itu tak
terletak disepanjang jalan besar dimana mudah dapat dilihat oleh wisatawan yang hanya
sepintas lalu. Tetapi ini adalah suatu kekayaan yang terpendam dalam sekali. Dan ini
hanya dapat ditemukan dengan cara hidup bersama dengan mereka, hingga dapat
mengenal betul-betul barulah memberi penilaian yang objektif.
Lion Cachet disini boleh dikatakan seperti kaum wisatawan yang hanya sepintas lalu
mengenal orang Jawa, apalagi sudah ada apriori. Keputusannya sangat tidak bijaksanan
sebab ini berarti menutup kemungkinan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan. Ini
bisa berakibat seperti Gandum mati sebab ilalang dicabut. Semangat untuk memurnikan
gereja tidak bisa dengan jalan memecah. Dan ia tak menyadari bahwa pengikut Sadrach
sangat setia pada gurunya. Setelah keputusan ini Wilhelm datang di Karangjoso
menyatakan bahwa keputusan ini bukanlah kehendaknya. Ia hanya taat kepada pimpinan
saja. Sebab kalau tidak demikian ia akan dipecat. Dalam persoalan ini Sadrach
menjawab dengan tegas bahwa jika Wilhelm dipecat oleh N.G.Z.V. orang Kristen Jawa
menyediakan tanah untuk hidupnya. Di sini nampak kepribadian dan jiwa besar yang
36
sudah biasa tak tergantung pada siapapun. Dan seharusnyalah Jemaat yang memikul
keperluan pendetanya.
Wilhelm mengenangkan segala peristiwa tindakan Inspektur Lion Cachet yang sama
sekali tidak mau mengerti segala adat-istiadat orang Jawa, serta tak mau menerima
segala keterangan yang diberikan. Sayang pada peristiwa itu Wilhelm tidak mempunyai
pembela. Ia tunduk pada putusan tersebut. Di dalam sekejap mata ia tidak hanya
kehilangan cita-citanya tetapi segala karyanya hancur berantakan. Tak lama ia
menghayati kehancuran ini. Sebelum Inspektur Lion Cachet tiba di tanah airnya di
Nederland pada tanggal 3 Maret 1892 Wilhelm telah dipanggil oleh Tuhan ketempat
baka pada usia 37 tahun.
Lion Cachet kembali ke Nederland pada tanggal 18 Januari 1892. Sepeninggalnya Lion
Cachet, daerah N.G.Z.V. di Jawa menjadi lebih parah, karena ada dua orang pendeta
Zending telah meninggal dunia yaitu Vermeer dan Wilhelm. Dua tenaga yang penting
untuk daerah Jawa tengah bagian selatan, sebab nyata bahwa keduanya itu adalah
pendeta Belanda yang dapat bekerja dan mengerti sedalam-dalamnya rahasia-rahasia
yang dimiliki orang Jawa, hingga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan setempat.
Dengan meninggalnya Wilhelm yang amat dikasihinya, Sadrach, Yohanes dan Markus
dari Banjur, berikut para pengikutnya berduyun-duyun datang di Purworejo mengikuti
upacara pemakaman, menyatakan turut berdukacita. Jasa Wilhelm tak mudah dilupakan
oleh Sadrach dan Jemaatnya di daerah Karangjoso. Wilhelm tetap diakui sebagai
Pendeta dan guru yang bijaksana, yang mengerti akan sifat dan watak orang Jawa. Ialah
satu-satunya pendeta Belanda yang dapat bekerja sama dalam bidang PI diantara orang-
orang Jawa yang masih banyak kekurangan dan yang memerlukan bimbingan ke arah
kemajuan.
Keputusan Lion Cachet dan meninggalnya Wilhelm niscaya menyebabkan kehancuran
total. Segala pengharapan bahwa Jemaat Sadrach akan kembali kepangkuan Zending
lenyap sebagai asap dimalam buta. Pintu yang semula terbuka lebar-lebar sekarang
tertutup rapat-rapat. Dan akibat itu membawa kemunduran dan kerugian yang besar di
pihak N.G.Z.V. sendiri, sedang kedudukan Sadrach tak goyah sama sekali, bahwa
sepeninggalnya Wilhelm orang-orang Jawa tetap terikat dengan gurunya. Kewibawaan
Sadrach tetap menguasai orang-orang Kristen baik di daerah Bagelen maupun di daerah
Banyumas dan Pekalongan. Anak-anak yang bersekolah di sekolah Keuchenius yang
diasuh oleh Zuidema, semuanya ditarik kembali ke kampungnya masing-masing.
Dengan demikian merupakan suatu pukulan yang hebat lagi dipihak N.G.Z.V. Lebih-
lebih pula jemaat-jemaat Jawa dalam wilayah N.G.Z.V. mengalami kehancuran total,
yang semula jumlah anggota 6.374 orang dan kini hanya tinggal 150 orang saja meliputi
daerah Bagelen, Banyumas dan Pekalongan. Di Jemaat di Purworejo hanya terdapat 37
orang, daerah Temon 32 orang, daerah Tegal Pekalongan 60 orang dan daerah
Banyumas (Purbolinggo) kira-kira hanya 30 orang saja.
Setibanya Lion Cachet di Nederland, segera ia memberi laporan-laporan kepada bestuur
N.G.Z.V. Dengan terjadinya kemunduran Jemaat di Jawa Tengah bagian Selatan amat
disedihkan dan disesalkan oleh Pengurus tersebut, karena tindakan yang terburu-buru
dari Lion Cachet. Bestuur mengalami kebingungan, karena apakah yang harus dilakukan
untuk mengembalikan jemaat-jemaat itu pada kedudukan semula. Ini berarti kerugian
besar bagi N.G.Z.V. dalam usaha-usahanya. Pada saat yang penuh dengan penyesalan
37
itu, Lion Cachet mencoba mengusulkan kepada Bestuur N.G.Z.V. mengutus seorang
dokter Zending untuk daerah Purworejo. Ada kemungkinan besar dengan jalan
pengobatan akan membawa mereka kembali kepada jalan yang benar.
Usul disetujui, maka Dr. J.G. Scheurer diutus sebagai dokter Zending untuk melayani di
daerah Bagelen. Ia tiba di Batavia pada tanggal 9 Mei 1893. Sebelum ia ke Purworejo,
untuk sementara ia tinggal di Solo perlu belajar bahasa Jawa. Pada tanggal 13 Desember
1893 barulah ia tiba di kota Purworejo.

15. PENDETA L. ADRIAANSE

N.G.Z.V. merasa tidak ada kemampuan lagi untuk mengatasi Jemaat-jemaat terutama di
daerah-daerah di Jawa Tengah bagian Selatan. Maka tugas selanjutnya diserahkan
kepada Deputaat Synode Gereja-gereja Gereformeerd di Nederland bagian urusan
Zending yang disebut : “ZENDING GERFORMEEDE KERKEN” (ZGK). Tahun 1894
Synode menyetujui dan menerima baik tugas itu, mengingat bahwa Zending bukan tugas
perkumpulan diluar jemaat, tetapi adalah tugas Jemaat juga. Dengan demikian ZGK
menerima daerah Jawa Tengah yang keadaannya agak kacau itu.
Para Deputaten telah mengundang para pendeta dari Gereja-gereja di Nederland untuk
mengadakan Musyawarah Kerja. Maka oleh Deputaat Synode diminta kesediaannya
supaya Gereja-gereja mengutus seorang pendeta ke daerah Bagelen.
Ds. L. Adriaanse pendeta dari Gereja Gereformeerd di Zeist, menyatakan kesediaannya
menjadi pendeta utusan ke daerah yang parah itu.
Pada pertengahan Januari 1895, Pendeta Adriaanse tiba di Purworejo, berdiam di rumah
Wilhelm yang sudah 3 tahun ditinggal kosong. Dengan hati-hati ia mulai merintis
kembali hubungan dengan Sadrach dan jemaat di Karangjoso. Sikap Sadrach tetap
terbuka, menerima baik dan ramah. Ini membuktikan bahwa Sadrach bukanlah orang
yang kasar dan suka permusuhan. Banyak petunjuk-petunjuk dan pelajaran dari
Adriaanse untuk membaptiskan orang-orang di desa Jenar. Tetapi sebelum ia melakukan
pembaptisan itu, menurut Adiraanse supaya orang-orang itu diberi pelajaran katekisasi
lagi, dan inipun sangat disetujui oleh Sadrach. Ia mengadakan perkunjungan kepada
jemaat-jemaat Sadrach.. Jemaat-jemaat ini menerima baik pendeta Belanda asal bisa
kerjasama dengan gurunya. Dari pengalaman Adriaanse dalam pergaulannya dengan
jemaat Sadrach, ia punya harapan baik, namun ia tetap hati-hati dalam tindakannya.
Pernah Adriaanse mendapat undangan untuk melayani Kebaktian di Karangjoso pada
tanggal 17 Mei 1896, tetapi ia tak berani mengambil keputusan sendiri sebelum ia minta
ijin kepada Nederland.
Segera ia mengirim surat kepada ZGK dan baru diijinkan dan dilaksanakan pada bulan
Nopember 1896. Jelas bahwa Adriaanse masih sangat hati-hati. Apalagi mengingat
Zeidena dan Scheurer sebagai rekan kerjanya masih menganggap bahwa Sadrach dan
pengikutnya masih mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang bercampur dengan
ketahayulan. Dalam hal itu timbul kecurigaan Sadrach, tindakan-tindakan Pendeta
Belanda terlalu menggantungkan pada Nederland, hingga tak dapat mengambil
keputusan sendiri, padahal menurut Sadrach bahwa segala tindakan pendeta Belanda
sama sekali tidak melanggar peraturan-peraturan Gereja-gereja di Nederland. Sadrach
ingin supaya Jemaatnya lebih maju dalam pengertian hal Kitab Suci. Bahkan Sadrach
38
lebih suka pendeta-pendeta Belanda mencampuri dalam memberi pelajaran-pelajaran
sesuai dengan peraturan-peraturan Gerejani, dan lebih suka lagi apabila orang-orang
Kristen Jawa bisa meninggalkan adat-adat kebiasaannya yang bersifat ketahayulan itu.
Bagi Sadrach dalam hal ini cukup dimengerti, memang Sadrach membiarkan mereka
berbuat demikian asal tidak mengurangi kesungguhan mereka dalam menganut
kepercayaan Kristen. Karena adat-adat kebiasaan orang-orang Jawa itu sudah
sedemikian berakar, maka usaha Sadrach dalam pemberitaan Injil ia tidak meremehkan
begitu saja nilai-nilai serta kebudayaan Jawa akan tetapi adat-adat kepercayaan orang
Jawa itu diarahkan kepada kepercayaan dan pertobatan serta penyerahan kepada Tuhan
Yesus Juruselamatnya.
Tetapi sayang, gereja-gereja di Nederland tidak percaya dan menyangsikan keadaan
jemaat-jemaat yang di kuasai Sadrach. Memang Hal ini oleh gereja-gereja di Nederland
masih sangat disangsikan, lebih-lebih Zuidema dan Scheurer; menurut pendapat mereka,
Sadrach tidak mungkin dapat diperdamaikan. Anggapan-anggapan ini menyukarkan
Adriaanse menuju perdamaian, hingga ia tak berani bertindak menurut pikiran dan
hatinya sendiri. Padahal apa yang ia dengar dari Sadrach sendiri tentang pekerjaan
Wilhelm hingga pada saat meninggal dunia adalah amat berjasa dan boleh dipuji karena
semua dilakukan dengan penuh kebijaksaan dan pengertian; tapi sayang, apa yang
dilakukan Wilhelm sama sekali tidak mendapat perhatian dari rekan-rekannya sendiri
dan N.G.Z.V. . sebaliknya malahan dituduh sebagai murid Sadrach yang murtad.
Inspektur Lion cachet yang telah melihat dari dekat pun tidak mau menerima
keterangan-keterangan Wilhelm malahan menuduh yang tidak-tidak bahwa Wilhelm
tidak tegas dalam menjalankan tugasnya dan sangat lemah menghadapi Sadrach.
Adriaanse pun sangat menyesali peristiwa yang pahit dan menyedihkan itu, tetapi
Adriaanse pun tetap berlaku hati-hati untuk mengambil langkah mencegah pandangan-
pandangan yang salah atau kesalahfahaman dari rekan-rekan sendiri, hingga tidak terjadi
peristiwa seperti yang dialami Wilhelm.
Kecurigaan Sadrach makin kuat, maka ia mengambil keputusan untuk mengokohkan
pendiriannya bahwa Jemaat Kristen Jawa tidak ingin dijadikan “Kristen Londo”,
karena Kristen Jawa tetap menurut peraturan dan adat serta pemikiran oang Jawa, asal
tidak menyimpang dari kepercayaan Kristen.

16. SADRACH DIANGKAT MENJADI RASUL

Dalam situasi sedemikian, ada usaha dari Gereja Negara untuk menganeksasi. Tapi hal
ini tidak mungkin terjadi. Jemaat tidak setuju. Karena mereka menganggap bahwa
Sadrach adalah nabi dari agama Kristen. Pada saat itu Sadrach dihubungi oleh seorang
Tionghoa anggota jemaat Kerasulan bernama Liem Tjhing Kiang yang bertempat tinggal
di Magelang, yang mempunyai juga hubungan dengan Mr. Anthing di Batavia.
Seperti telah diuraikan di atas, Mr. Anthing adalah seorang anggota “Het Genootschap
voor In-en Uitwendige Zending yang sangat aktif dalam Pemasyhuran Injil kepada bumi
putera. Untuk keperluan PI tentulah membutuhkan biaya-biaya, tetapi perkumpulannya
di Negeri Belanda tidak dapat memenuhinya. Kemudian ia mengadakan hubungan
dengan jemaat-jemaat Kerasulan di London (Inggris). Adapun pendiri jemaat-jemaat
Kerasulan di London bernama Eduard Irving, ialah seorang pendeta Gereja
39
Presbyterian di London, yang tidak puas dengan kemerosotan hidup kerohanian
gereja pada saat itu. Ia berpendapat bahwa karunia rohani yang istimewa dari
Tuhan tidak terbatas hanya pada jaman para Rasul saja, melainkan terus sampai
pada hari Tuhan (Kiamat).Tidak adanya karunia rohani yang istimewa di dalam gereja
disebabkan oleh iman yang tipis, rendah dan tak ada kesucian Gereja. Pendapatnya
diperkuat oleh suatu peristiwa kesembuhan Isabela Campell yang telah lama dan berat
menderita sakit di Glasgow. Ini dipandang sebagai karunia Roh, banyak orang datang
kesana. Anggota jemaat di Glasgow disebut “orang” yang diterangi. Dalam Kebaktian
banyak orang yang berbahasa lidah, ini dianggap sebagai karunia roh, demikian pula
anggapan Irving, Eduard Irving kemudian memberi ajaran yang menyimpang dan
mendirikan gereja di Newman Street. Gerakan ini berpendapat bahwa orde kenabian
timbul dalam gereja. Tak lama kemudian adalah seorang nabi telah ditunjuk sebagai
Rasul. Jabatan gereja terdiri dari : rasul, nabi, penginjil dan gembala. Pelaksanaannya :
Pilihan untuk jabatan tahbisan pertama telah dilakukan pada hari Natal 1832 di kota
Albury, hingga tahun 1833 baru ada lima orang rasul. Setelah genap duabelas rasul,
mulailah pergerakkannya. Mereka berkumpul di Albury terutama untuk memperdalam
pengetahuan Alkitab dan mengatur gerejanya. Kemudian mereka berpencar kepelbagai
tempat untuk menjalankan tugas masing-masing dan tiap dua tahun sekali mereka
berkumpul. Praktek Kebaktian mereka seperti Yahudi dan Roma Katholik. Perjamuan
Suci dilakukan tiap minggu. Kebaktian diadakan tiap hari Minggu dua kali jam 06.00
dan 18.00. Dan jika ada yang melayani, tiap hari diadakan kumpulan doa jam 09.00 dan
15.00. Para rasul berhak membaptiskan orang. Sampai di Nederland-pun mereka telah
mendirikan gereja kerasulan, walaupun anggotanya hanya beberapa orang saja. Dalam
suatu kebaktian hari Minggu, Mr. Anthing hadir juga disitu. Dalam kebaktian itu ada
orang perempuan yang bernubuat bahwa Mr. Anthing hendaknya diangkat menjadi rasul
di Indonesia. Nubuat ini diterima oleh Jemaat sebagai yang datang dari Tuhan.
Kemudian Mr. Anthing diangkat menjadi Rasul di Indonesia. Dan perempuan tersebut
akhirnya dinikah menjadi istrinya.
Setelah mereka berdua kembali ke Batavia, Mr. Anthing memulai dengan usahanya
mendirikan gereja kerasulan dan istrinya sebagai nabiah. Sebagai rasul ia membaptiskan
orang. Sejak gereja itu didirikan ternyata tak ada persoalan apa-apa, baik dari pihak
Pemerintah maupun dari pihak gereja-gereja lain. Ini berarti bahwa gereja Kerasulan itu
diakui sah oleh Pemerintah. Tetapi setelah ia meninggal dunia, diantara murid-muridnya
banyak yang masuk gereja-gereja Zending. Hubungan antara Mr. Anthing dan Sadrach
memang sangat erat. Hati Sadrach sangat terharu ketika mendengar dari Liem Tjhing
Kiang bahwa Mr. Anthing gurunya telah meninggal dunia, maka ia berniat mengunjungi
kuburannya untuk menyatakan penghormatannya, serta menengok keluarga Anthing dan
jemaatnya. Pada suatu hari ia berangkat menuju Batavia bersama Markus dan Yotham
Martorejo. Perjumpaan antara Sadrach dan Ny. Anthing mengingatkan kembali pada
masa lampau. Sadrach sangat tertarik ketika ia mengikuti kebaktian di jemaat kerasulan,
apalagi posisi gereja kerasulan itu bebas. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk
masuk Kerasulan. Keputusan Sadrach yang sangat menentukan itu memang dapat
menimbulkan berbagai tafsiran yang berbeda-beda. Bisa dikatakan kedudukannya
daripada mempertimbangkan soal-soal ajaran agama Kristen. Bisa juga ditafsirkan

40
sebagai keputusan untuk mempertahankan pandangannya yang teguh bahwa kekristenan
Jawa lain dengan kekristenan Belanda.
Sadrach ditahbiskan menjadi rasul Jawa pada tahun 1899 di Batavia oleh Rasul
Hannibal, disaksikan oleh para pembantunya yang setia yaitu Markus dan Yotham.
Dengan demikian Sadrach diperbolehkan melayani sakramen-sakramen gerejani:
membaptiskan orang dan melayani perjamuan suci. Untuk pertama kali pada tanggal 30
April 1899, ia melayani perjamuan suci di Karangjoso. Jemaat-jemaat yang dibawah
pimpinan Sadrach, setelah Sadrach diangkat menjadi Rasul mereka memutuskan
hubungan dengan pendeta Adriaanse.
Dengan keputusan Sadrach itu, maka tertutuplah kemungkinan yang dirintis oleh
Adriaanse. Kedudukan Sadrach makin kuat, baik keluar maupun ke dalam. Gereja
Kerasulan Jawa ini diberi nama Gereja Kerasulan Zebulon. Walaupun secara lahir
adalah Jemaat Kerasulan, tetapi dalam prakteknya sehari-hari tetap memakai peraturan-
peraturan yang lama yang sudah ditetapkan oleh Sadrach dan Wilhelm. Bedanya ialah
sekarang Sakramen-sakramen Gerejani dilayani oleh Sadrach sendiri dan pejabat-
pejabat Gerejani ditambah sesuai dengan gereja kerasulan misalnya: Imam, Opzicther,
rasul dan sebagainya. Sadrach sebagai rasul jarang berkeliling, tetapi cukup jemaat itu
diperintahkan dari Karangjoso saja dibantu oleh Markus dan Yotham. Jaman ini Sadrach
dan jemaatnya sungguh-sungguh menikmati kemerdekaan Kristen. Tetapi sayang, dalam
kemerdekaan itu sama sekali tidak diisi untuk membangun dan memperluas jemaatnya
menurut ajaran Kerasulan. Apa sebabnya ? Mungkin Sadrach sendiri kurang jelas
dengan ajaran-ajaran yang baru, atau takut kalau dikatakan orang sebagai tukang
merubah peraturan sehingga dalam hal ini membingungkan para pengikutnya. Selama
ini tidak ada peristiwa-peristiwa penting, hanya hubungan dengan gereja kerasulan di
Batavia tetap berlangsung, juga dengan gereja kerasulan di Cimahi Jawa Barat yang
sekarang menjadi pusat Gereja Kerasulan di Indonesia.

17. SADRACH MENINGGAL DUNIA; MASALAH GEREJA KERASULAN JAWA

Mulai tahun 1900 kejayaan Jemaat Kerasulan Jawa di Karangjoso dan nama Sadrach
sangat termasyhur. Di almanak tahun 1900 – 1925, nama Sadrach selalu dicantumkan
sebagai Rasul Jawa Tengah, diakui sah oleh Pemerintah, juga dalam Majalah-majalah
Nederland Indie.
Sadrach telah lanjut usianya, maka segala pekerjaan di serahkan kepada pembantu-
pembantunya : Yotham Martorejo dan kawan-kawannya. Ia sering menderita sakit.
Pada tanggal 14 Nopember 1924 Sadrach menutup mata untuk selama-lamanya.
Penguburannya dipimpin oleh rasul Schmit dari Cimahi. Pendeta van Dijk dari
Kebumen (sebelum dipindah ke Wonosobo) Bupati Kutoarjo utusan dari jemaat-jemaat
yang tersebar di Jawa Tengah datang untuk memberi penghormatan terakhir.
Sepeninggal Sadrach, Jemaat Karangjoso dan sekitarnya goncang. Sadrach sendiri tak
berputra. Anak angkatnya yaitu Yotham Martorejo yang memperoleh warisan sehingga
sekarang rumah tempat tinggal Sadrach oleh cucu Yotham.
Pribadi Yotham tak berwibawa, tak mudah menggantikan kedudukan Sadrach. Ia sebagai
murid Zuidema, hatinya cenderung untuk menyerahkan tugas kegerejaan kepada
Zending. Tetapi rasul Schmit menghendaki supaya orang lain menggantikan kedudukan
41
Sadrach, jika Yotham tidak sanggup. Dalam suasana yang demikian pernah datang
seorang Pastoor berkunjung ke Karangjoso. Tak jelas apa yang dibicarakan. Baru
kemudian hari ternyata putera Yotham masuk Katholik.
Walau bagaimanapun keadaannya, Yotham menerima kedudukan sebagai pengganti
Sadrach. Tetapi banyak pemimpin kelompok tidak puas dibawah kepemimpinan
Yotham. Akibatnya ada yang memisahkan diri, yaitu Abraham Wongsorejo dari Wedi
Klaten. Juga Wigyosastro. Kelompok dibawah pimpinan Wijoyo juga memisahkan diri
dan akhirnya menyerah kepada Zending pada tahun 1933, dan pula tak disangka-sangka
Abraham Wongsorejo menghubungi pendeta van Dijk, menyatakan diri kepada Zending
dan oleh Zending ia diangkat menjadi guru Injil di Wonosobo.
Akhirnya Yotham Martorejo pada tahun 1933 menyerahkan jemaat Karangjoso kepada
Zending. Hal ini sebenarnya sudah menjadi angan-angan Yotham setelah Sadrach
meninggal dunia. Sesungguhnya tahun 1925 hingga tahun 1933 merupakan “tahun
berantakan” bagi jemaat Karangjoso. Ada beberapa pemimpin yang tetap
mempertahankan ajaran Sadrach Naluri. Karena Jemaat Karangjoso sudah diserahkan
kepangkuan Zending dengan resmi, maka mereka yang tetap mempertahankan kerasulan
telah memisahkan diri kepelbagai tempat, misalnya di desa Ketug, di daerah Solo,
Grojogan dan sebagainya.
Demikianlah Jemaat Kerasulan terpecah belah, ini sangat menyedihkan. Sedangkan
Sadrach sebelum meninggal dunia telah memberi pesan agar orang-orangnya jangan
tercerai berai.
Pelaksanaan penyerahan pada saat itu, telah diadakan pertemuan antara pendeta-pendeta
Zending dan pemimpin-pemimpin kelompok jemaat Karangjoso untuk mengadakan
pembicaraan bersama hal penyerahan jemaat Sadrach kepada Zending. Dalam
pembicaraan itu telah menelorkan suatu keputusan bahwa semua Jemaat Kerasulan
Sadrach diserahkan kepada Zending. Walaupun sudah demikian keputusannya, tapi ada
beberapa orang yang tidak setuju dan tidak rela dengan penyerahan itu, akhirnya mereka
memisahkan diri dari Jemaat Karangjoso. Penyerahan kepada Zending telah
dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 1933.
Sejak itu Yotham oleh Zending diangkat menjadi guru Injil di Karangjoso. Ia
mengajarkan seturut peraturan-peraturan Gereja yang sudah ditetapkan, Yotham sebagai
murid Zuidema yang setia telah mendapat pelajaran-pelajaran cukup dalam pengertian
ajaran Kitab Suci, hingga ajarannya tidak ada yang bertentangan dengan peraturan-
peraturan Gereja-gereja Zending. Adat-adat kebiasaan Jawa yang tercampur dengan
kepercayaan-kepercayaan tahyul dikalangan orang-orang Kristen makin hilang dan
pengertian hal ajaran Kitab Suci makin diperkaya.
Dengan kembalinya Jemaat Karangjoso kepada Zending, sejak saat itu juga, Jemaat
Karangjoso dimasukkan dalam wilayah Klasis Purworejo sebagai gereja yang belum
dewasa. Hingga tahun 1936 jumlah anggota gereja di Karangjoso 110 orang. Dan jumlah
anggota dalam Klasis Purworejo 1575 orang.

Gereja-gereja yang termasuk lingkungan Klasis Purworejo adalah :

Purworejo sebagai ibu Jemaat 280 anggota


Temon (dewasa) 110 anggota
42
Kesingi (dewasa) 80 anggota
Pahlian (dewasa) 120 anggota
Kutoarjo (belum dewasa) 90 anggota
Dermosari (belum dewasa) 50 anggota
Geparang (belum dewasa) 100 anggota
Karangjoso (belum dewasa) 110 anggota
Tlepok (belum dewasa) 120 anggota
Pituruh, Jambean, Jenar-Purwodadi
Kaliboto, Kaligesing, tunggulrejo dan Rejosari 515 anggota
Jumlah 1575 anggota

Dari jumlah tersebut belum termasuk Jemaat Magelang yang juga termasuk lingkungan
Klasis Purworejo. Jumlah anggota Jemaat Karangjoso tahun 1938 = 122 anggota dan
tahun 1944 = 200 anggota.

18. TINJAUAN, ANALISA DAN PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN SEJARAH


SADRACH

Dalam sejarah Sadrach ini perlu kita tinjau kembali, menganalisa dan
mempertimbangkan apa yang telah terjadi dengan aktivitas-aktivitas pada masa lampau
hingga pada masa kini, dan masa akan datang. Sebagaimana telah dikemukakan oleh W.
Van de Meulen SJMA. Bahwa pengumpulan fakta-fakta sejarah saja belum cukup; ia
dapat menjadi barang yang mati, tanpa diaktualisir dengan peristiwa-peristiwa yang
komplek dalam masa silam dan kini. Tiap generasi menyumbangkan kreasinya sendiri.
Sebab tiap generasi menjadi arsitek yang dinamis untuk masa yang akan datang dengan
warisan masa-masa yang lalu. Ini melalui kondituitas yaitu pertalian yang bersifat
peralihan apa yang telah lampau dan sekarang, perubahan dan pembaharuan. Dalam
proses peralihan ini sebagian memberi kepada masa kini sebagai pengaruh dan
pelajaran-pelajaran penting.
Untuk menganalisa sejarah ini, kita tinjau beberapa hal-hal yang penting saja, yang
boleh menjadi pegangan kita.
Sejarah Sadrach ini dimulai dari pengembaraannya sebagai seorang santri sebelum ia
menjadi orang Kristen. Seperti yang telah diuraikan diatas. Sadrach berwatak keras
dalam mencari kebenaran Allah. Ialah seorang yang Progresif dan berjiwa bebas tidak
suka dipengaruhi orang lain. Ia selalu berdiri menurut kehendak dan pikiran sendiri.
Pelajaran-pelajaran Islam walaupun itu telah memberi dasar permulaan sejak kecil tapi
itupun belumlah memberi kepuasan hatinya dan belum menjadi sasaran yang ia
harapkan. Perkenalan dengan Kristus atau agama Kristen melalui Jellesma, Hoezoo dan
Tunggul Wulung belumlah mendalam, tetapi inilah sudah menjadi suatu dorongan yang
kuat untuk memperdalam lagi. Di tempat Mr. Anthing mulai terbentuk kepribadian
Kristen dengan mengambil keputusan hati untuk menerima baptisan. Ia dibina oleh
ajaran gereja Hervorm dari Gereja “Zion” di kota Batavia. Walaupun ia sudah menjadi
orang Kristen, cerdas, mempunyai cukup pengetahuan tentang Alkitab dan beriman, tapi
padanya masih ada yang belum dibuang, ini menurut kesaksian Mr. Anthing yaitu ada
43
beberapa ilmu-ilmu Jawa yang ia telah mempelajari dari guru-guru ilmu sebelum ia
menjadi Kristen. Ilmu-ilmu itu ia pakai sebagai alat untuk mengalahkan orang-orang
yang berilmu sehingga mereka bertobat dan menjadi Kristen. Ilmu yang dimiliki
Sadrach dirangkaikan dengan kepercayaan Kristen. Ini ternyata pada waktu Sadrach
berhadapan dengan guru-guru ilmu dimana ilmu yang Sadrach miliki itu tidak dapat
diketahui oleh mereka. Ini terjadi pada waktu Sadrach memberitakan Injil sebagai
pembantu Ny. Philips, dalam perjalanan ke Kutoarjo.
Sebaliknya segala ilmu yang dimiliki guru-guru itu sudah dimiliki juga oleh Sadrach.
Adapun kelemahan-kelemahan lain, Sadrach sebagai pemimpin Jemaat Kristen Jawa,
kurang memperhatikan ajaran-ajaran Kitab Suci dan membiarkan alat-alat kebiasaan
orang Jawa yang bersifat ketahayulan tetap berjalan dalam Jemaat, hanya beberapa
macam saja yang dilarang mereka berbuat misalnya : Wayangan, tayuban, dan
sebagainya yang nyata sekali bertentangan dengan sepuluh hukum Tuhan. Lain dari
pada itu, sebagaimana telah kita baca dihalaman depan, rupanya Sadrach telah
cenderung menjadi seorang yang sangat berpengaruh di kalangan pengikutnya. Hal ini
mengakibatkan timbulnya berbagai macam anggapan dikalangan para pengikutnya yang
tidak lagi sesuai dengan Kitab Suci Injil. Sikap Sadrach yang tidak tega terhadap
praktek-praktek pemujaan orang terhadap dirinya justru merupakan titik pangkal yang
melemahkan seluruh pelayanannya kepada pekabaran Injil di tanah Jawa. Dipihak lain
pemujaan yang berlebihan terhadap kepemimpinan Sadrach menyebabkan tidak adanya
orang lain yang mampu menggantikannya sehingga sesudah Sadrach meninggal dunia
dapat dikatakan bahwa persekutuan Kristen yang ia pimpin kemudian terpecah belah,
serta makin lama makin menipis, hal itu tentu patut disayangkan.
Tapi sebaliknya, Sadrach adalah orang yang sangat berwibawa. Ia sangat ditaati orang.
Pengaruhnya sangat besar dan tak mudah ditundukkan orang lain, dan berjiwa bebas lagi
pula suka bergaul dengan siapa saja yang dijumpainya. Baik kepada orang-orang yang
berpangkat atau kedudukan tinggi maupun sampai yang rendah. Hubungannya sangat
luas. Hatinya sangat keras dalam arti kata keras mencari kebenaran Allah, tapi ia ramah
terhadap sesama orang, baik orang itu pernah menyakitkan hati atau tidak, pendiriannya
selalu baik terhadap siapa saja, hal ini ternyata pada waktu ia dipenjarakan karena
dituduh melanggar peraturan pemerintah (pencacaran) dan lebih-lebih direndahkan
dihadapan orang banyak oleh Bieger. Apakah ia marah atau dendam sekali-kali tidak. Ia
terima segala hinaan dan fitnahan-fitnahan Bieger, sebagai suatu ujian imannya. Semua
diterimanya dengan besar hati. Dalam kenyataan ia telah mengangkat seorang pendeta
Belanda utusan NGZV. Yaitu Wilhelm menjadi pendetanya, dan apa yang diajarkan dan
diatur oleh Wilhelm tak pernah ditentangnya. Demikian pula dengan Adriaanse yang
sangat diharapkan bantuan-bantuannya, tapi sayang, Adriaanse bertindak terlalu hati-hati
hingga selalu tidak dapat mengambil keputusan sendiri. Adriaanse ingin merintis
kembali hubungannya dengan Sadrach tetapi ia kurang tegas dan terlalu takut kepada
atasanya, hingga gagal. Apakah jeleknya dan salahnya kalau Sadrach minta bantuan
demi kemajuan jemaatnya, tetapi selalu terhambat, karena Adriaanse tidak dapat
mengambil keputusan sendiri selalu minta ijin dari negeri Belanda. Sebenarnya hal ini
sangat mengecewakan jemaat Sadrach di Karangjoso. Lebih-lebih ketika Lion Cachet
dengan keputusannya yang kurang bijaksana.

44
Akhirnya membawa kerugian besar dipihak Zending sendiri. Dengan keputusan itu
berarti menutup rapat bagi Jemaat Sadrach untuk mengadakan kontak dengan pihak
Zending, ini berarti pula bahwa kemungkinan untuk saling belajar juga tertutup. Lion
Cachet seorang Belanda dan bertindak seperti orang Belanda terhadap jemaat di negeri
Belanda yang sudah banyak kemajuan dalam pengertian Alkitab. Dalam hal ini tentulah
tak dapat disamakan dengan keadaan orang Jawa. Pandangannya kurang sesuai dengan
cara hidup orang Jawa. Pertanyaan yang penting setiap kali muncul disini,
bagaimanakah dapat menilai kekristenan orang Jawa dengan segala watak dan hati dan
serta keistimewaannya ? Kecuali orang yang dapat hidup bersama-sama, bergaul
bersama-sama dalam waktu yang lama. Hal ini tak dapat dipandang sepintas lalu saja
sebagai kaum wisatawan. Lion Cachet bertindak dan mengambil keputusan dengan
apriori seperti kaum wisatawan saja, dan sangat berbeda pandangannya dengan
Wilhelm yang sudah bergaul bersama-sama hingga mengerti benar-benar apakah yang
dikehendaki dan cara bagaimana harus melayani jemaat yang masih terlalu kurang
dalam pengertian sebagai orang Kristen terhadap orang-orang Kristen Jawa. Ia merintis
segala kesukaran-kesukaran yang ia hadapi untuk menuju kearah kemurnian jemaat-
jemaat Jawa dengan usaha membuka sekolah.
Ia mengetahui bahwa adat-adat kebiasaan orang Jawa memang tak mudah dibuang saja,
bahkan semua harus dilakukan dengan bijaksana dan penuh kesabaran. Perintisan
dimulai dari pendidikan sekolah guru Injil bagi anak-anak, dimana ia telah
menganjurkan kepada jemaat-jemaat supaya orang-orang tua menyekolahkan anak-
anaknya. Ternyata tindakan dan usaha Wilhem membawa berkat Tuhan yang amat besar,
dengan penambahan-penambahan anggota jemaat yang tidak sedikit, baik di daerah
Bagelen maupun sampai di wilayah Yogyakarta. Jasa Wilhelm amat besar bagi Jemaat
Jawa. Tetapi sayang usaha-usaha Wilhelm sangat ditentang oleh rekan-rekannya sendiri
yaitu Horstman, Vermeer dan Zuidema.
Apakah mungkin mereka iri hati, mengapakah Wilhelm dapat bergaul baik dengan
orang-orang Jawa sedangkan mereka tidak ? Dalam hubungan ini muncul suatu
pertanyaan pokok dalam misi pekabaran Injil yang dilakukan oleh gereja-gereja dari
Barat : bagaimanakah kaitan antara kebudayaan dan Injil, seberapa jauhkan Injil telah
tercampur baur dengan kebudayaan barat dalam hal ini kebudayaan negeri Belanda ?
bagaimana hubungan antara identitas kulturil dan Injil keselamatan ? Sampai seberapa
jauhkah perbedaan antara kekristenan Jawa dan kekristenan Belanda ? Persoalan-
persoalan itulah yang nampaknya terus menerus digumuli oleh Kyai Sadrach terbukti
ketika ia mengatakan bahwa Jemaat Kristen Jawa tidak ingin dijadikan “Kristen Londo”,
karena Kristen Jawa tetap menurut peraturan dan adat serta pemikiran Orang Jawa, asal
tidak menyimpang dari kepercayaan Kristen. Hal ini ternyata mereka telah memberikan
laporan-laporan yang bertentangan dengan laporan Wilhelm kepada NGZV, seolah-olah
ingin menjatuhkan Wilhelm. Laporan-laporan mereka lebih dikuatkan oleh kenyataan-
kenyataan yang dilihat sendiri oleh Lion Cachet dari dekat, ketika ia berjumpa dengan
seorang yang menderita sakit dan ingin minta obat dari Sadrach dan mendengar sendiri
dari beberapa murid Sadrach dari hal kesaktian-kesaktian Sadrach dan sebagainya.
Sayang, Lion Cachet hanya banyak mendengar dari murid-murid Sadrach saja dan
kurang menghubungi Sadrach sendiri, dan tidak mengetahui benar-benar apa yang
dilakukan oleh Sadrach sendiri. Ia tak menyadari bahwa pengikut-pengikut Sadrach
45
sangat setia pada Gurunya. Mereka menjunjung tinggi gurunya. Maka keputusan Lion
Cachet itu benar-benar menutup pintu segala kemungkinan untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan Jemaat tersebut Wilhelm seolah-olah menjadi saingan besar
terhadap rekan-rekannya sendiri. Soal ini berarti pihak Zending salah bertindak
meskipun tujuan dan maksudnya mungkin benar. Akhirnya membawa perpecahan,
berantakan dan kemunduran yang amat menyedihkan. Tetapi dipihak Sadrach tetap
teguh, sedikitpun tak goyah. Pengikut-pengikutnya tetap setia kepadanya. Akhirnya
Sadrach memutuskan hubungan dengan Zending. Adapun kerugian yang diderita oleh
Zending adalah pertama kehilangan 2 pendeta utusan yaitu Wilhelm dan Vermeer.
Horstman kembali ke Nederland karena istrinya meninggal dunia. Murid-murid Sekolah
Keuchenius ditarik kembali oleh orang tuanya, hingga kosong dan anggota Jemaat Jawa
dalam orang tuanya, hingga kosong dan anggota Jemaat Jawa dalam lingkungan
Zending sebagian besar meninggalkan Gerejanya, menurut catatan mula-mula jumlah
6374 dan kini hanya tinggal 150 termasuk jemaat-jemaat : Purworejo, Temon, Tegal,
Pekalongan dan daerah Banyumas. NGZV, tidak berdaya lagi untuk menrintis kembali
jemaat Jawa di Jawa Tengah ini, maka mereka mencoba menyerahkan tugas ini kepada
Synode Gereja-gereja Gereformeerd di Nederland. Akhirnya Gereja-gereja ini mengutus
Adriaanse, tetapi Adriaanse pun gagal usahanya.
Dalam situasi demikian itu, dalam keadaan yang masih keruh itu, datang seorang
Tionghoa dari aliran gereja Kerasulan di Magelang bernama Liem Tjhing King, mula-
mula kedatangannya memberitahu tentang meninggalnya Mr. Anthing yang saat itu
sudah menjadi rasul di Indonesia. Inilah sebagai suatu dorongan mula-mula masuknya
Sadrach menjadi rasul, dasar pada saat itu Sadrach merasa bebas tidak tergantung lagi
kepada Zending maupun aliran lain. Ia bebas 100 %, dengan demikian maka baginya
bebas untuk mengambil tindakan-tindakan selanjutnya menurut kehendaknya sendiri.
Dorongan menjadi rasul lebih dikuatkan ketika ia meninjau keluarga Anthing dan
menghadiri kebaktian di gereja Kerasulan. Kemudian ia menyatakan kesediaannya
diangkat menjadi Rasul. Sifat dan ciri Sadrach, ia selalu suka pada hal yang ia anggap
baru. Hatinya sangat tertarik masuk menjadi Rasul mengikuti teladan-teladan gurunya
yaitu Mr. Anthing. Biasanya orang diangkat menjadi rasul berdasarkan percaya akan
nubuat-nubuat yang datang daripada Allah sendiri. Menurut kepercayaan Gereja
Kerasulan, Rasul itu harus tetap ada hingga akhir jaman. Orang yang diangkat menjadi
Rasul berhak melayani sakramen-sakramen gereja. Kedudukan inilah sebenarnya yang
dikehendaki Sadrach dimana ia dulu sebagai kaum awam tapi sekarang sebagai Rasul
yang berhak melayani Baptisan dan Perjamuan Suci, hingga tidak lagi memerlukan
pendeta untuk melayaninya. Dengan pengangkatan Sadrach menjadi Rasul, sebenarnya
bagi Sadrach belum jelas, bagaimanakah peraturan-peraturan yang harus dipraktekkan,
bukti bahwa segala peraturan Gerejanya masih tetap memakai peraturan-peraturan yang
lain, hanya ada beberapa penambahan yang terdapat dalam jabatan-jabatan.
Ketika Sadrach meninggal dunia, terjadi kegoncangan. Jemaat Sadrach terpecah belah
dan berantakan. Ini sebenarnya hanya disebabkan Yotham yang menghendaki agar
Jemaatnya diserahkan kepangkuan Zending. Ia sendiri tidak ada kesanggupan untuk
menggantikan kedudukan Sadrach. Yotham yang sejak muda menjadi murid Wilhelm
dan Zuidema di sekolah Keuchenius. Sedikit banyak ia telah memperoleh pengertian-
pengertian tentang Kitab Suci dan peraturan Gereja. Ia berpendirian lain dari pada
46
Sadrach, bahkan ia lebih condong untuk menyerahkan kepangkuan Zending. Angan-
angan ini sebenarnya sudah ada sebelum Sadrach meninggal dunia, ia sebenarnya tidak
setuju dengan peraturan-peraturan adat-adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang
Kristen Jawa yang oleh Sadrach dibiarkan saja, dan lagi tentang pendirian gereja
kerasulan dalam hati Yotham kurang setuju, karena ia anggap menyimpang dari ajaran
kitab suci. Tapi angan-angan tetap tinggal angan-angan saja. Hal ini barulah terwujud
setelah Sadrach meninggal dunia.
Rasul Schmidt dari Cimahi mencoba mempertahankan aliran kerasulan Sadrach, maka
diusulkan supaya mencari pengganti orang lain. Akhirnya Yotham menerima juga untuk
menggantikan kedudukan Sadrach. Sebenarnya Yotham sudah mempunyai rencana-
rencana tertentu. Dengan menerima pengangkatan itu termaksud hanya agar memuaskan
rasul dari gereja Kerasulan dan pemimpin-pemimpin kelompok yang masih setia kepada
Sadrach. Hal ini terbukti dalam pimpinannya tidak dapat memuaskan kepada pemimpin-
pemimpin kelompok atau para imam. Karena itu beberapa pemimpin kelompok telah
memisahkan diri dari Jemaat itu dan akhirnya mereka telah menyatukan diri kepada
Zending. Menurut Yotham, haruslah diadakan pembaharuan Jemaat sebab mengingat
tidak ada kemajuan sama sekali. Ia telah mengadakan musyawarah, dengan mengundang
beberapa pendeta Zending dan semua pemimpin kelompok bermaksud akan
menyerahkan Jemaat-jemaat Sadrach pengakuan Zending. Dengan senang hati Zending
menerima baik, tetapi ada beberapa pemimpin yang telah mempertahankan Naluri
Kerasulan Sadrach. Mereka terpaksa memisahkan diri. Dan hingga kini Jemaat
Kerasulan Naluri tetap ada. Misalnya di desa Ketug, sebagai pemimpin sampai pada saat
ini (akhir 1971) ialah Bapak Martosugondo, yang masih keturunan Yotham Martorejo
sendiri.
Jumlah anggota Jemaat hanya terdapat beberapa orang saja, sedangkan anak-anak dan
cucu-cucunya tidak mengikuti aliran itu. Mereka menjadi anggota Jemaat GKJ (Gereja
Kristen Jawa). Jemaat Karangjoso dipersatukan dengan jemaat-jemaat lain. Sebagai ibu
jemaat adalah jemaat di Purworejo. Dengan demikian sampai pada saat ini, adat-adat
kebiasaan yang dulu masih berjalan dalam jemaat, ternyata sekarang sudah lenyap sama
sekali, nyanyian-nyanyian yang dipakai sekarang adalah Nyanyian Kidung seperti yang
dipergunakan di jemaat-jemaat lain. Liturgi Kebaktian dan peraturan-peraturan lain kini
sudah sesuai dengan Jemaat lain. Hingga pada saat ini (akhir 1971) sebagai guru Injil
adalah Bp. Soeprapto Martoseputro, cucu dari Yotham Martorejo.
Sampai pada saat ini juga di Karangjoso masih ada Gereja Kerasulan Baru, tapi ini
bukan Gereja Kerasulan naluri Sadrach. Gereja tersebut dalam corak dan bentuk lain,
yang memakai bahasa campuran yaitu kotbah dengan bahasa Jawa tetapi nyanyiannya
bahasa Indonesia.
Demikian Sejarah Jemaat GKJ di Karangjoso dapat berjalan dengan baik karena berkat-
berkat Tuhan setelah mengalami berbagai proses yang tak mudah dilupakan dalam
Sejarah Gerejani.
Bagaimana menilai orang seperti Kyai Sadrach ? Pertanyaan ini memang sulit sekali
dijawab. Dan buku kecil ini juga hanya semacam sketsa yang tidak memberikan
penjelasan-penjelasan terperinci tentang masalah-masalah tehologia yang dihadapi oleh
Sadrach.

47
Namun, buku seperti ini sangatlah penting artinya. Sebab didalamnya dilukiskan
pergumulan seorang pemimpin agama Kristen di Jawa melawan otoritas Gereja resmi,
badan Zending serta pemerintah kolonial Belanda. Hal seperti ini belum pernah dikupas
secara khusus dalam literatur Kristen. Sehingga sering menimbulkan kesan ditengah
masyarakat luas dan juga dikalangan warga Gereja, seolah-olah persoalan semacam ini
tidak pernah ada.
Masalah pokok yang bisa muncul dari buku kecil semacam ini dapat dirumuskan dalam
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : Sampai seberapa jauhkah pekabaran Injil di
Indonesia ini tercampur dengan unsur-unsur kebudayaan Barat, khususnya
kolonialisme ? Apakah perbedaan atau pertentangan antara kebudayaan Barat
dan kebudayaan Jawa dapat dianggap sebagai pertentangan antara Injil dan
unsur-unsur kekafiran dari kebudayaan Jawa ? Bagaimana hubungan antara
identitas kulturil dengan pertobatan kepada Injil Yesus Kristus ?
Riwayat Kyai Sadrach dalam buku ini sedikitnya menunjukkan bahwa pada
waktu itu (pertengahan abad ke-19), Gereja Kristen belum mampu memikirkan
pertanyaan-pertanyaan seperti itu secara jernih. Sejarah akan berkembang ke
arah lain, seandainya gereja benar-benar taat kepada Tuhannya.

Diketik Ulang oleh:


Pdt.Immanuel Adi S.
http://www.konseling1.blogspot.com

48

Anda mungkin juga menyukai