YDAFTAR ISI............................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
DAFTAR KEPUSTAKAAN....................................................................................................15
1
2
BAB I PENDAHULUAN
Keberadaan gereja di satu daerah tidak terlepas dari adanya usaha-usaha pemberitaan
Injil yang dilakukan oleh orang-orang percaya yang memiliki beban untuk menjalankan
Amanat Agung Yesus Kristus di daerah tersebut. Demikian juga dengan keberadaan
kekristenan di Jawa Timur. Sejarah mencatat bahwa keberadaan gereja di Jawa Timur tidak
lepas dari peran penting tokoh awam yaitu D.L Coolen. Coolen dapat dikatakan sebagai akar
berdirinya gereja di Jawa Timur. Pola pendekatan Coolen adalah pendekatan budaya lokal,
dalam hal ini budaya Jawa, baik dalam usaha menyampaikan pesan Firman Tuhan maupun
usaha penginjilan. penelitian ini akan memberi satu tinjauan atau penyelidikan terhadap pola
pendekatan kontekstual yang dilakukan oleh Coolen dalam usaha pemberitaan Injil.1
Tujuannya agar gereja atau setiap pelayan Tuhan dapat belajar dari keberhasilan atau pun
kegagalan tokoh ini dalam usaha memberitakan Injil, agar kelak gereja dapat lebih baik lagi
dalam memberitakan injil secara kontekstual dalam konteks daerah pemberitaan injil masing-
masing. Dalam penulisan ini pertama, penulis akan memaparkan riwayat singkat tokoh ini.
kemudian, penulis akan memaparkan pola pendekatan penginjilan yang dilakukan oleh tokoh
ini. Dan, penulis akan memberikan satu tinjauan terhadap pola kontekstualisasi tokoh ini,
1 S.H Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa, Jilid 1 (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009), 97.
STT Berea | 3
BAB II MODEL KONTEKSTUALISASI C.L. COOLEN
Belanda yang berimigrasi ke Rusia yang kemudian menjadi serdadu sewaan dari tentara
VOC. Sedangkan ibu adalah seorang Jawa asli yang berasal dari keturunan Raja-raja
Mataram dan dari kalangan ningrat Solo. Karena berasal dari keluarga campuran orang Barat
dan Jawa, maka pandangan hidup dan pola asuh sangat berbeda antara pola asuh orang Barat
yang menuntut hidup mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Sedangkan dari
budaya Jawa, menerima asuhan dalam suasana rohani mistik Jawa dan dididik untuk menjadi
pemerintah menjadi seorang ahli gambar karena memiliki talenta menggambar. Tidak lama
kemudian, Coolen berhenti dari pekerjaan dan masuk artileri di Surabaya. Selanjutnya
menikah dan memiliki lima orang anak. Beberapa waktu kemudian juga berhenti dari
namun tidak turut bersama istri dan anak-anak. Karena jarak yang jauh antara Surabaya dan
Mojoagung maka memperlemah ikatan keluarga Coolen dan istri. Selanjutnya, Coolen
menikah lagi dengan Sadjiah seorang wanita Jawa asal Mojoagung. Pada tahun 1829,
membuka hutan (142 ha) untuk menjadi lahan pertanian di daerah Ngoro kurang lebih 16 KM
dari Mojoagung atas izin dari pemerintah Belanda. Di sinilah Coolen menetap bersama anak-
anak, istri dan keluarga, dan sejumlah orang Jawa. Di daerah yang baru Coolen menjadi tuan
tanah yang sangat berpengaruh dan dihormati oleh masyarakat sekitar. Di daerah ini pula,
mulai memberitakan Injil kepada komunitas Jawa dengan metode dan cara kontekstualisasi.3
2Kruger Muller, Sejarah Gereja Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966), 66-68.
3Ibid.
STT Berea | 4
Model-Model Pendekatan Penginjilan C.L Coolen
keberadaan kekristenan di Jawa Timur. Keberhasilan dalam menanamkan benih Injil di Jawa
Timur secara khusus di daerah Ngoro, tidak lepas dari pola pendekatan yang membumi sesuai
dengan kultur atau budaya setempat. Adapun pola pendekatan penginjilan yang dilakukan
adalah sebagai berikut: Pertama, menjangkau daerah pedesaan sebagai basis penginjilan.
Dengan basis pedesaan maka dapat dilakukan usaha mengidentikkan diri seperti orang-orang
Jawa pada umumnya yang hidup di pedesaan yang agraris. Usaha lain juga dilakukan dengan
mentransformasikan hutan belantara menjadi sawah yang subur dengan alat-alat tradisional.
Dengan basis pedesaan, maka dalam penginjilan ini mengidentikkan diri dengan pola guru
holtikultura. Pendekatan sebagai seorang petani, membawa lebih dekat dengan masyarakat
desa yang pada umumnya adalah petani atau buru tani. Pendekatan ini, membawa hasil yang
baik bagi Injil. Pertama, dapat memperkenalkan Injil kepada keluarga sang istri, kemudian
ini, Coolen memasukkan unsur kepercayaan dan keyakinan mistik Jawa, yang mempercayai
bahwa kawasan hutan yang akan dibuka di daerah Ngoro ada oknum pelindung yaitu Ki Gede
(kepercayaan mistik Jawa). Apa yang dilakukan oleh Coolen dalam merambah atau membuka
hutan yang baru untuk menjadi lahan pertanian dapat dikatakan sangat berhasil. Hal ini
menyebabkan nama Coolen tersohor di berbagai daerah sekitar Jawa. Hal ini tidak lepas dari
campur tangan para pengikut dan Tuhan dalam membuka hutan baru tanpa suatu kendala
yang berarti. Hal ini tidak lepas dari kepercayaan masyarakat Jawa yang pada waktu itu
4R..L. Budiman, Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi (Jakarta: Gunung Mulia, _______), 49.
STT Berea | 5
mempercayai bahwa hutan-hutan dijaga oleh roh-roh yang jahat, oleh sebab itu jikalau
seseorang membuka hutan untuk menjadi lahan pertanian maka harus berhadapan dengan
roh-roh tersebut.5 Keberhasilan membuka hutan menjadi lahan pertanian baru tanpa
peristiwa ini, Coolen dipercaya sebagai seorang guru yang bijaksana atau seorang yang
memiliki ilmu (mistik), karena dengan berani menentang bahaya melawan roh-roh hutan,
bahkan menang sehingga dapat menggarap hutan menjadi lahan yang subur.
Kristiani. Keberhasilan Coolen tidak terlepas dari pola pendekatan kepemimpinan terhadap
masyarakat yang dipimpin. Coolen menerapkan pola kepemimpinan yang bersifat patriakhal,
yang sama dengan apa yang dilakukan oleh kepala desa pada waktu itu. Kepemimpinan yang
berpihak kepada rakyat dan berusaha memperlakukan setiap pengikut dengan adil dan
bijaksana. Kemudian membentuk satu komunitas yang dilatih secara khusus dalam
ketrampilan pertanian, moral, disiplin hidup dan lain sebagainya. Dengan demikian, Coolen
mampu membawa masyarakat Ngoro untuk memiliki standar moral, etika kerja yang sangat
baik dibandingkan dengan masyarakat di luar komunitas tersebut. Bahkan dapat dikatakan
bahwa di daerah Ngoro menjadi satu tempat yang sangat makmur, tentram, tertib dan
nyaman, dibandingkan dengan daerah-daerah di sekitarnya.6 Hal ini tidak lepas dari sistim
kepemimpinan Coolen yang meletakan standar moral, etika, hukum sosial yang didasarkan
dilakukan oleh Coolen sangat berbeda dengan kebanyakan misionaris Barat yang
memberitakan Injil di pulau Jawa ataupun di Indonesia. Dalam pekabaran Injil usaha yang
dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan budaya dan natur masyarakat Jawa. Pemberitaan
5Ibid.
6 David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model (Jakarta: BPK,
1994), 25.
STT Berea | 6
Injil yang dilakukan bersifat holistik, mencakup berbagai dimensi kehidupan masyarakat
Jawa, yang meliputi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Menurut Coolen,
pemberitaan Injil harus masuk keberbagai aspek kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, di
manapun berada terus memberitakan Injil, bahkan saat sedang membajak sawah pun
memberitakan Injil.7
secara khusus yang berhubungan dengan pertanian. Oleh sebab itu, ritus-ritus yang sering
dilakukan oleh orang Jawa turun temurun diadopsi oleh Coolen. Misalnya, ritual sebelum
bajak di kenakan ke tanah atau penaburan benih pertama. Bagi kepercayaan Jawa, pria yang
pertama mengenakan bajak atau menabur benih haruslah seorang yang memiliki ilmu gaib
tertentu. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan masyarakat Jawa yang mempercayai adanya
Dewi padi yang disebut Dewi Sri. Maka, Coolen dipercayakan untuk memohon kepada Dewi
Sri (Dewi Padi) dengan nyanyian-nyanyian Jawa. Coolen melakukan ritual ini, dengan
pertama-tama memohon kepada Dewi Sri dan diakhiri dengan nama Yesus yang merupakan
Dewa yang lebih besar.8 Dalam usaha pemberitaan Injil yang sesuai dengan kultur budaya
lokal, maka dalam ibadah, berkhotbah memakai bahasa Jawa, lagu pujian diiringi musik
Jawa; gamelan, dan memakai bahasa Jawa. Bahkan untuk menceritakan kisah-kisah Alkitab
Alkitab dengan tokoh pewayangan. Coolen juga menyusun sebuah ringkasan pengakuan
iman. Dalam pelafalan pengakuan iman tersebut, dilakukan dengan memakai irama musik
Jawa. Bahkan pengakuan iman ini kerap dinyanyikan oleh orang-orang Kristen Ngoro pada
7Makmur Halim, Gereja di tengah-tengah Perubahan Dunia (Malang Gandum Mas, 2000), 38-40.
8Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: Suatu Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 18-19.
9Soediman Partonadi Soetarman, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan
Jawa Abad XIX (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 57-58.
STT Berea | 7
Kelima, pendekatan penginjilan dengan mengadaptasi ritual-ritual kaum Muslim.
Selain pendekatan penginjilan dalam kultur Jawa, Coolen juga berusaha untuk menempatkan
Misalnya, pengakuan iman dan doa bapa kami dilakukan sama dengan apa yang dilakukan
oleh para santri dalam berzikir. Orang yang baru percaya Tuhan wajib mengucapkan
Pengakuan Iman dan Doa Bapa Kami, sebagai bentuk pengakuan dan keabsahan menjadi
seorang Kristen. Apa yang dilakukan ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh orang
Muslim kepada orang yang baru menganut agama Islam, yaitu dengan mengucapkan dua
kalimat sahadat (Pengakuan Iman Muslim). Usaha untuk menyamakan pola kepemimpinan
agama Kristen dengan Muslim juga nampak dalam penggunaan nama gelar kerohanian.
Coolen tidak menyebut diri seorang pendeta (awam) tetapi kyai dan penghulu. Di sisi lain
Coolen sangat menentang adanya pembaptisan sebagai pertanda seseorang masuk ke dalam
kehidupan kekristenan. Menurut Coolen, baptisan merupakan tradisi Eropa oleh karena itu
tidak perlu diterapkan dalam masyarakat Jawa. Semua usaha penginjilan kontekstual yang
dilakukan oleh Coolen, tidak sedikit yang datang untuk berguru atau ngelmu (Jawa), karena
masyarakat sekitar sudah mengenal sosok Coolen sebagai tuan tanah dan sekaligus sebagai
sudut kontekstualisasi. Apa itu kontekstualisasi? Theological Education Fund yang pertama-
The setting between text and context, yakni interaksi antara teks/berita Injil dan konteks
dari penerima Injil. Dengan demikian kontekstualisasi melibatkan dimensi dialektis antara
STT Berea | 8
teks dan konteks dalam pendekatan Injil.11 Secara sederhana, kontekstualisasi dapat diartikan
dengan pemberitaan Injil sesuai dengan konteks pendengar (kultur). Dari istilah yang dipakai
terlihat adanya kesadaran terhadap perbedaan kultur antara pemberita dan pendengar.
Perbedaan kultur ini harus dijembatani karena jika tidak dijembatani akan berpotensi
Alkitab; baik dalam Panjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, telah memaparkan
dari Allah yang berinkarnasi lewat Firmannya. Pertama, Allah menyatakan diri melalui
penciptaan (Kej. 1). Dengan menyatakan diri yang adalah pencipta, Allah menunjukan
kehendak yang abadi, bahwa Dialah yang harus membuka tabir diri-Nya yang adalah
pencipta bagi manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Allah-lah penggerak utama
kontekstualisasi. Hal ini dilakukan untuk memberikan wewenang bagi manusia untuk
berbudaya, memenuhi dan menguasai dunia. Di sini manusia dengan sendirinya dapat
menyatakan diri melalui perantaraan Anak, yaitu Yesus Kristus. Yesus merupakan gambaran
keagungan, kemuliaan Allah. Kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru dapat dilihat melalui
inkarnasi Kristus (logos) dalam seluruh aspek budaya hebraic dan kontekstualisasi Injil oleh
suatu yang baru karena penyataan diri Allah merupakan dasar dari kontekstualisasi.
Penyataan diri Allah melalui inkarnasi Yesus Kristus atau logos menjadi manusia (Yoh. 1:14),
11Hesselgrave, 34.
12Tt & Tp Soesilo dan Daud H. Mengenal Alkitab Anda. (Jakarta: LAI, 2001), 32.
STT Berea | 9
mempunyai implikasi yang luas. Ini berarti ia lahir ke dunia sebagai manusia, hidup dalam
sejarah manusia, menjadi bagian dari konteks budaya manusia. Ini juga menunjukan
solidaritas Yesus dengan manusia secara utuh dalam lingkup sosial - budaya manusia. Lebih
dari pada itu, tujuan inkarnasi Yesus memiliki tujuan misional, untuk membuktikan kasih
Allah kepada dunia (Yoh. 3:16), bagi pembebasan dunia itu sendiri (Yoh. 1:29). Kristus
wahana misi, menyatakan kehendak Allah yang kekal kepada dunia melalui konteks budaya
Dengan pemahaman ini, maka penulis akan meninjau pola pendekatan yang dilakukan
oleh Coolen dalam aspek kontestualisasi yang diterapkan. Dan tinjauan ini dibatasi hanya
pada dua aspek penting dari kontekstualisasi itu sendiri, yaitu kontekstualisasi Injil dan
teologis. Kontesktualisasi injil berhubungan dengan sikap dalam memberitakan Injil yang
berkaitan dengan kepekaan dan sikap hormat terhadap perbedaan kultur yang ada antara
kerangka teologi yang alkitabiah yang bebas dari pola pikir yang tidak sesuai dengan Alkitab.
Jadi, kontekstualisasi Injil berhubungan dengan hal praktis dalam pemberitaan Injil dan
Dengan demikian, dapat memposisikan diri seperti Paulus katakan dalam I Kor. 9:22,
Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku
dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku menjadi segala-
galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara
mereka.
13Ibid.,
STT Berea | 10
Latar belakang Coolen yang dilahirkan oleh seorang ibu keturunan Jawa, mempermudah
proses adaptasi dalam lingkungan masyarakat Jawa dengan segala kompleksitasnya. Bagi
Coolen, kompleksitas budaya bukan menjadi suatu halangan dalam usahanya memberitakan
Injil kepada para pendengar. Pemahaman yang baik terhadap kultur lokal, memudahkan
Coolen mengemas injil sedemikian rupa, sehingga mudah untuk dipahami dan diterima oleh
menjembatani antara Injil dan konteks. Simbol-simbol budaya yang dipakainya (sebagai
tools) sangat efektif dalam usaha menyampaikan pesan Injil kepada masyarakat Jawa.
Adapun beberapa tools yang dipakai, diantaranya: bahasa, alat-alat musik (gamelan),
dalam masyarakat Jawa. Perlu diakui bahwa secara filosofis penggunaan simbol-simbol
budaya dalam mengkomunikasikan injil adalah suatu pendekatan yang efektif. Dari simbol-
simbol budaya, seorang misionaris dapat mengkomunikasikan Injil yang dibungkus dengan
budaya setempat yang akhirnya dapat memiliki makna yang baru. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa keberhasilan pemberitaan Injil dari Coolen tidak lepas dari kemampuan
untuk menggunakan simbol-simbol budaya yang ada dalam menyampaikan pesan Injil. Dari
pemaparan di atas mengenai berbagai pendekatan penginjilan yang dilakukan oleh Coolen,
maka dapat disimpulkan bahwa Coolen dalam penginjilan menggunakan dua model
akomodasi adalah suatu sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli yang
dilakukan dalam sikap, kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris, baik secara
teologis maupun secara ilmiah. Sedangkan model adaptasi adalah satu model yang tidak
ide budaya yang dikenal.14 Model akomodasi dari Coolen dapat dilihat dari keterbukaanya
terhadap budaya asli, mulai dari hal-hal yang bersifat mistik, simbol-simbol budaya, sampai
14Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Malang: Gandum Mas, 1993), 77-78.
STT Berea | 11
kepada hal-hal yang menyangkut tradisi-tradisi, baik dari sosio-agama maupun sosio-kultur.
Sedangkan penggunaan model adaptasi adalah dengan menggunakan bentuk, ide dari budaya
yang sudah dikenal masyarakat Jawa pada waktu itu. Sebagai contoh, Coolen menggunakan
Alkitab, pelafalan pengakuan iman dalam bentuk nyanyian seperti yang dilakukan oleh orang
dari beberapa kriteria teologi kontekstual, sebagaimana yang dipaparkan oleh Tomatala.
Tomatala, memaparkan setidaknya ada tujuh kriteria dimensi teologi kontekstual yang benar,
yaitu mempertahankan keunggulan Alkitab sebagai Firman Tuhan, norma iman dan perbuatan
dalam satu budaya; menekankan mengenai Allah sang pencipta alam semesta; kebenaran
Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat; menekankan Roh Kudus yang adalah Allah
sejati; menekankan manusia yang berdosa; mengakui gereja adalah persekutuan umat Allah
yang telah dipanggil dari dunia ke dalam Kristus untuk bersaksi bagi kebaikan Allah kepada
dunia; dan mengadaptasikan berita Injil kepada setiap budaya manusia, masuk ke dalam
sepenuhnya menekankan semua kriteria-kriteria yang telah dipaparkan di atas. Coolen dalam
proses kontekstualisasi tidak memulai dari apa yang dikatakan Alkitab, tetapi memulai dari
budaya. Dalam arti, menerapkan Injil dengan melihat realita budaya. Injil tidak menjadi
penekanan utama tetapi budaya. Injil menyesuaikan terhadap budaya, sehingga cenderung
15Ibid.
STT Berea | 12
bersifat sinkretis. Penekanan terhadap pentingnya budaya membawa Coolen sulit untuk
membedakan antara teks dan konteks. Bahkan, tidak melihat pembaptisan dan Perjamuan
Kudus sebagai sakramen yang diperintahkan Tuhan, yang merupakan simbol yang
menunjukkan seseorang masuk dalam persekutuan dengan sesama orang percaya dan Kristus.
Coolen memandang bahwa baptisan dan perjamuan kudus merupakan suatu tradisi Eropa,
karena itu tidak perlu diterapkan kepada orang Jawa. Untuk hal ini, Akkeren, berkomentar:
Coolen tidak memiliki pengetahuan aneka metode atau teori penginjilan sekitar adaptasi,
asimilasi dan lain sebagainya. Barangkali kuatir kalau-kalau orang Jawa yang menerima
agama Kristen lewat baptisan lalu berharap bisa memperoleh kewarganegaraan Belanda, dan
karenanya bebas dari kerja paksa di bawah sistem tanam paksa.16 Namun apapun alasannya,
menurut penulis, baptisan merupakan suatu sakramen dan perintah Yesus (Mat. 28:18-20)
yang tentunya berlaku universal. Baptisan bukan berasal dari tradisi Barat tetapi merupakan
Selanjutnya dari sisi Kristologi, penulis melihat bahwa citra Coolen tentang Yesus
Kristus dan berita-beritanya sangat diwarnai oleh pengaruh-pengaruh Jawa. Misalnya, ketika
berdoa di tempat pertanian, dalam doan tetap memakai Dewi Sri yang merupakan dewi padi
orang Jawa, dan diakhiri dengan dalam nama Yesus. Coolen juga menyampaikan doa
penginjilan kontekstual teologis seperti ini, menurut penulis akan mengaburkan esensi Injil
sebagai kebenaran yang absolut, dan mengaburkan peran Yesus sebagai Tuhan yang adalah
pencipta, pemelihara seluruh aspek hidup manusia. Tidak adanya batasan antara teks dan
konteks akan sangat berbahaya bagi perkembangan iman dan pemahaman orang Kristen
Jawa. Bahkan tidak dapat disangkali bahwa orang Kristen Jawa akan menghadapi bahaya
sinkretisme.
16Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: Suatu Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur. (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1994), 23-24.
STT Berea | 13
Namun di sisi lain, secara praksis pola-pola penginjilan yang dilakukan oleh Coolen
membawa satu transfomasi hidup. Hal ini dapat dilihat dari pola hidup orang Kristen dalam
berinteraksi dan berelasi dalam masyarakat. Orang-orang yang sebelum Kristen memiliki
hidup yang tidak benar, berubah menjadi orang yang benar. Pola guru yang dicontohkan
Coolen, yang dapat diteladani oleh masyarakat menjadi satu wadah yang efektif untuk
membawa murid-muridnya kepada suatu pembaharuan hidup. Pola ini sesuai dengan pola
yang diajarkan Alkitab, di mana Yesus menjadi tokoh sentral, sebagai guru yang dapat
disimpulkan bahwa secara teologis, pola pendekatan penginjilan Coolen sangat menekankan
konteks dari pada teks, sehingga terjadi kesimpangsiuran, kerancuan, bahkan pengaburan
esensi Injil itu sendiri.17 Namun disisi praktis, dapat dikatakan bahwa Coolen dapat membawa
suatu transformasi yang utuh dalam semua aspek kehidupan para pengikut. Dan juga sukses
menjembatani budaya dan Injil sehingga Injil dapat di terima dengan baik oleh masyarakat
Jawa. Coolen membawa ekonomi orang Kristen (Jawa) menjadi lebih baik, menjadikan orang
Kristen memiliki etika hidup Kristen yang baik dalam hubungan dengan sesama, dan menjadi
17Handoko Yakub Tri, Prinsip Kontekstualisasi dalam Pekabaran Injil Yesus http://www.gkri-exodus.org/.
Diakses pada Selasa, 8 November 2016.
STT Berea | 14
BAB III PENUTUP
segala usaha penginjilan yang dilakukan oleh ke-dua tokoh gereja ini. Ada banyak warisan
rohani dan hal yang berharga yang telah ditanamkan oleh tokoh ini bagi gereja. Secara khusus
gereja di Jawa Timur. Meskipun harus diakui ada banyak kekurangan dari tokoh ini. Coolen
memiliki kelebihan dan juga kekurangan dalam pendekatan penginjilan. Coolen sangat
menekankan budaya Jawa sehingga Injil begitu mudah diterima oleh orang Jawa. Dalam
menabur benih Injil, ia memakai dan menggunakan sepenuhnya adat istiadat Jawa, beserta
Berdasarkan pengalaman dari tokoh ini, maka sebagai bahan refleksi dan pelajaran
bagi gereja hari, penulis mengusulkan beberapa hal di bawah ini. 1. Gereja perlu memikirkan
pola-pola pendekatan penginjilan yang tepat dalam usaha penginjilan dalam konteks Asia
secara khusus di Indonesia. 2. Perlunya seorang hamba Tuhan, penginjil, misionaris untuk
mengerti konteks budaya di mana pun ia melayani. 3. Perlunya gereja memiliki pemahaman
yang utuh terhadap Firman Tuhan termasuk dalam proses hermeneutiknya, agar dalam proses
penginjilan kontekstualisasi tidak terjebak dalam sinkretisme. 4. Gereja harus melihat sisi
positif dari ke dua tokoh ini, untuk menemukan strategi yang tepat dalam penginjilan lintas
budaya. 5. Seorang penginjil atau hamba Tuhan harus mengerti batas antara sinkretisme dan
kontekstualisasi, sehingga dapat mengimplementasikan Injil dengan benar dan baik. 6. Gereja
harus mengevaluasi kembali pola pelayanan misi yang diterapkan saat ini, apakah masih
relevan dengan keadaan zaman atau tidak? Agar Injil tetap relevan maka perlu adanya satu
STT Berea | 15
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Akkeren, Philip van. Dewi Sri dan Kristus: Suatu Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa
Timur. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Aritonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006.
End, Van Den. Ragi Carita: Sejarah Gereja Indonesia I. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980.
Halim, Makmur. Gereja Di Tengah-Tengah Perubahan Dunia. Malang Gandum Mas, 2000.
Hesselgrave, David J. dan Edward Rommen. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model.
Jakarta: BPK, 1994.
Muller, Kruger. Sejarah Gereja Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966.
STT Berea | 16