Anda di halaman 1dari 16

DAFTAR ISI

YDAFTAR ISI............................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

BAB II MODEL KONTEKSTUALISASI C.L. COOLEN.......................................................2

Riwayat hidup C.L Coolen.....................................................................................................2

Model-Model Pendekatan Penginjilan C.L Coolen...............................................................3

Model Pendekatan C.L Coolen..........................................................................................3

Tinjauan Pola Pemberitaan Injil C.L. Coolen dari Sudut Kontekstualisasi...........................6

Tinjauan Kontekstualisasi Injil...............................................................................................9

Evaluasi pola kontekstualisasi Injil dan teologis C.L Coolen............................................9

Evaluasi Teologis pola Kontekstualisasi Coolen.............................................................10

Evaluasi Teologis Terhadap Pola Kontekstualisasi C.L Coolen.......................................11

BAB III PENUTUP..................................................................................................................14

Kesimpulan dan Refleksi.....................................................................................................14

DAFTAR KEPUSTAKAAN....................................................................................................15

1
2
BAB I PENDAHULUAN
Keberadaan gereja di satu daerah tidak terlepas dari adanya usaha-usaha pemberitaan

Injil yang dilakukan oleh orang-orang percaya yang memiliki beban untuk menjalankan

Amanat Agung Yesus Kristus di daerah tersebut. Demikian juga dengan keberadaan

kekristenan di Jawa Timur. Sejarah mencatat bahwa keberadaan gereja di Jawa Timur tidak

lepas dari peran penting tokoh awam yaitu D.L Coolen. Coolen dapat dikatakan sebagai akar

berdirinya gereja di Jawa Timur. Pola pendekatan Coolen adalah pendekatan budaya lokal,

dalam hal ini budaya Jawa, baik dalam usaha menyampaikan pesan Firman Tuhan maupun

usaha penginjilan. penelitian ini akan memberi satu tinjauan atau penyelidikan terhadap pola

pendekatan kontekstual yang dilakukan oleh Coolen dalam usaha pemberitaan Injil.1

Tujuannya agar gereja atau setiap pelayan Tuhan dapat belajar dari keberhasilan atau pun

kegagalan tokoh ini dalam usaha memberitakan Injil, agar kelak gereja dapat lebih baik lagi

dalam memberitakan injil secara kontekstual dalam konteks daerah pemberitaan injil masing-

masing. Dalam penulisan ini pertama, penulis akan memaparkan riwayat singkat tokoh ini.

kemudian, penulis akan memaparkan pola pendekatan penginjilan yang dilakukan oleh tokoh

ini. Dan, penulis akan memberikan satu tinjauan terhadap pola kontekstualisasi tokoh ini,

serta memberikan satu kesimpulan dan refleksi.

1 S.H Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa, Jilid 1 (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009), 97.
STT Berea | 3
BAB II MODEL KONTEKSTUALISASI C.L. COOLEN

Riwayat hidup C.L Coolen


C.L Coolen lahir pada tahun 1773 di Semarang, ayah Coolen berasal dari keluarga

Belanda yang berimigrasi ke Rusia yang kemudian menjadi serdadu sewaan dari tentara

VOC. Sedangkan ibu adalah seorang Jawa asli yang berasal dari keturunan Raja-raja

Mataram dan dari kalangan ningrat Solo. Karena berasal dari keluarga campuran orang Barat

dan Jawa, maka pandangan hidup dan pola asuh sangat berbeda antara pola asuh orang Barat

yang menuntut hidup mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Sedangkan dari

budaya Jawa, menerima asuhan dalam suasana rohani mistik Jawa dan dididik untuk menjadi

seorang yang ahli dalam soal pewayangan dan gamelan.2

Coolen menyelesaikan sekolah dasar di Semarang dan kemudian diangkat oleh

pemerintah menjadi seorang ahli gambar karena memiliki talenta menggambar. Tidak lama

kemudian, Coolen berhenti dari pekerjaan dan masuk artileri di Surabaya. Selanjutnya

menikah dan memiliki lima orang anak. Beberapa waktu kemudian juga berhenti dari

ketentaraan dan diangkat menjadi pejabat pemerintah bidang kehutanan di Mojoagung,

namun tidak turut bersama istri dan anak-anak. Karena jarak yang jauh antara Surabaya dan

Mojoagung maka memperlemah ikatan keluarga Coolen dan istri. Selanjutnya, Coolen

menikah lagi dengan Sadjiah seorang wanita Jawa asal Mojoagung. Pada tahun 1829,

membuka hutan (142 ha) untuk menjadi lahan pertanian di daerah Ngoro kurang lebih 16 KM

dari Mojoagung atas izin dari pemerintah Belanda. Di sinilah Coolen menetap bersama anak-

anak, istri dan keluarga, dan sejumlah orang Jawa. Di daerah yang baru Coolen menjadi tuan

tanah yang sangat berpengaruh dan dihormati oleh masyarakat sekitar. Di daerah ini pula,

mulai memberitakan Injil kepada komunitas Jawa dengan metode dan cara kontekstualisasi.3

2Kruger Muller, Sejarah Gereja Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966), 66-68.
3Ibid.
STT Berea | 4
Model-Model Pendekatan Penginjilan C.L Coolen

Model Pendekatan C.L Coolen


Coolen adalah salah satu penginjil awam yang cukup berhasil meletakkan dasar bagi

keberadaan kekristenan di Jawa Timur. Keberhasilan dalam menanamkan benih Injil di Jawa

Timur secara khusus di daerah Ngoro, tidak lepas dari pola pendekatan yang membumi sesuai

dengan kultur atau budaya setempat. Adapun pola pendekatan penginjilan yang dilakukan

adalah sebagai berikut: Pertama, menjangkau daerah pedesaan sebagai basis penginjilan.

Dengan basis pedesaan maka dapat dilakukan usaha mengidentikkan diri seperti orang-orang

Jawa pada umumnya yang hidup di pedesaan yang agraris. Usaha lain juga dilakukan dengan

mentransformasikan hutan belantara menjadi sawah yang subur dengan alat-alat tradisional.

Dengan basis pedesaan, maka dalam penginjilan ini mengidentikkan diri dengan pola guru

ilmu, dalam konteks dan pengertian kehidupan pedesaan Jawa.4

Kedua, pendekatan kepada struktur sosial masyarakat pedesaan Jawa yang

holtikultura. Pendekatan sebagai seorang petani, membawa lebih dekat dengan masyarakat

desa yang pada umumnya adalah petani atau buru tani. Pendekatan ini, membawa hasil yang

baik bagi Injil. Pertama, dapat memperkenalkan Injil kepada keluarga sang istri, kemudian

kepada pembantu-pembantu, pada akhirnya berdampak bagi masyarakat. Dalam pendekatan

ini, Coolen memasukkan unsur kepercayaan dan keyakinan mistik Jawa, yang mempercayai

bahwa kawasan hutan yang akan dibuka di daerah Ngoro ada oknum pelindung yaitu Ki Gede

(kepercayaan mistik Jawa). Apa yang dilakukan oleh Coolen dalam merambah atau membuka

hutan yang baru untuk menjadi lahan pertanian dapat dikatakan sangat berhasil. Hal ini

menyebabkan nama Coolen tersohor di berbagai daerah sekitar Jawa. Hal ini tidak lepas dari

campur tangan para pengikut dan Tuhan dalam membuka hutan baru tanpa suatu kendala

yang berarti. Hal ini tidak lepas dari kepercayaan masyarakat Jawa yang pada waktu itu

4R..L. Budiman, Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi (Jakarta: Gunung Mulia, _______), 49.
STT Berea | 5
mempercayai bahwa hutan-hutan dijaga oleh roh-roh yang jahat, oleh sebab itu jikalau

seseorang membuka hutan untuk menjadi lahan pertanian maka harus berhadapan dengan

roh-roh tersebut.5 Keberhasilan membuka hutan menjadi lahan pertanian baru tanpa

menghadapi kendala, menjadikan Coolen disegani oleh masyarakat. Bahkan melalui

peristiwa ini, Coolen dipercaya sebagai seorang guru yang bijaksana atau seorang yang

memiliki ilmu (mistik), karena dengan berani menentang bahaya melawan roh-roh hutan,

bahkan menang sehingga dapat menggarap hutan menjadi lahan yang subur.

Ketiga, pendekatan kepemimpinan yang berbasis pedesaan dengan nilai-nilai

Kristiani. Keberhasilan Coolen tidak terlepas dari pola pendekatan kepemimpinan terhadap

masyarakat yang dipimpin. Coolen menerapkan pola kepemimpinan yang bersifat patriakhal,

yang sama dengan apa yang dilakukan oleh kepala desa pada waktu itu. Kepemimpinan yang

berpihak kepada rakyat dan berusaha memperlakukan setiap pengikut dengan adil dan

bijaksana. Kemudian membentuk satu komunitas yang dilatih secara khusus dalam

ketrampilan pertanian, moral, disiplin hidup dan lain sebagainya. Dengan demikian, Coolen

mampu membawa masyarakat Ngoro untuk memiliki standar moral, etika kerja yang sangat

baik dibandingkan dengan masyarakat di luar komunitas tersebut. Bahkan dapat dikatakan

bahwa di daerah Ngoro menjadi satu tempat yang sangat makmur, tentram, tertib dan

nyaman, dibandingkan dengan daerah-daerah di sekitarnya.6 Hal ini tidak lepas dari sistim

kepemimpinan Coolen yang meletakan standar moral, etika, hukum sosial yang didasarkan

pada pengajaran Firman Tuhan.

Keempat, pendekatan penginjilan yang bersifat kultural. Pendekatan penginjilan yang

dilakukan oleh Coolen sangat berbeda dengan kebanyakan misionaris Barat yang

memberitakan Injil di pulau Jawa ataupun di Indonesia. Dalam pekabaran Injil usaha yang

dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan budaya dan natur masyarakat Jawa. Pemberitaan

5Ibid.
6 David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model (Jakarta: BPK,
1994), 25.

STT Berea | 6
Injil yang dilakukan bersifat holistik, mencakup berbagai dimensi kehidupan masyarakat

Jawa, yang meliputi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Menurut Coolen,

pemberitaan Injil harus masuk keberbagai aspek kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, di

manapun berada terus memberitakan Injil, bahkan saat sedang membajak sawah pun

memberitakan Injil.7

Coolen, dalam memberitakan Injil sangat menekankan tradisi-tradisi kosmis Jawa,

secara khusus yang berhubungan dengan pertanian. Oleh sebab itu, ritus-ritus yang sering

dilakukan oleh orang Jawa turun temurun diadopsi oleh Coolen. Misalnya, ritual sebelum

bajak di kenakan ke tanah atau penaburan benih pertama. Bagi kepercayaan Jawa, pria yang

pertama mengenakan bajak atau menabur benih haruslah seorang yang memiliki ilmu gaib

tertentu. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan masyarakat Jawa yang mempercayai adanya

Dewi padi yang disebut Dewi Sri. Maka, Coolen dipercayakan untuk memohon kepada Dewi

Sri (Dewi Padi) dengan nyanyian-nyanyian Jawa. Coolen melakukan ritual ini, dengan

pertama-tama memohon kepada Dewi Sri dan diakhiri dengan nama Yesus yang merupakan

Dewa yang lebih besar.8 Dalam usaha pemberitaan Injil yang sesuai dengan kultur budaya

lokal, maka dalam ibadah, berkhotbah memakai bahasa Jawa, lagu pujian diiringi musik

Jawa; gamelan, dan memakai bahasa Jawa. Bahkan untuk menceritakan kisah-kisah Alkitab

juga menggunakan sarana wayang, serta menjelaskan perbandingan antara tokoh-tokoh

Alkitab dengan tokoh pewayangan. Coolen juga menyusun sebuah ringkasan pengakuan

iman. Dalam pelafalan pengakuan iman tersebut, dilakukan dengan memakai irama musik

Jawa. Bahkan pengakuan iman ini kerap dinyanyikan oleh orang-orang Kristen Ngoro pada

perkumpulan-perkumpulan selesai ibadah.9

7Makmur Halim, Gereja di tengah-tengah Perubahan Dunia (Malang Gandum Mas, 2000), 38-40.
8Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: Suatu Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 18-19.

9Soediman Partonadi Soetarman, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan
Jawa Abad XIX (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 57-58.

STT Berea | 7
Kelima, pendekatan penginjilan dengan mengadaptasi ritual-ritual kaum Muslim.

Selain pendekatan penginjilan dalam kultur Jawa, Coolen juga berusaha untuk menempatkan

kekristenan sedekat mungkin dengan ritual-ritual dan kebiasaan-kebiasaan dari Muslim.

Misalnya, pengakuan iman dan doa bapa kami dilakukan sama dengan apa yang dilakukan

oleh para santri dalam berzikir. Orang yang baru percaya Tuhan wajib mengucapkan

Pengakuan Iman dan Doa Bapa Kami, sebagai bentuk pengakuan dan keabsahan menjadi

seorang Kristen. Apa yang dilakukan ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh orang

Muslim kepada orang yang baru menganut agama Islam, yaitu dengan mengucapkan dua

kalimat sahadat (Pengakuan Iman Muslim). Usaha untuk menyamakan pola kepemimpinan

agama Kristen dengan Muslim juga nampak dalam penggunaan nama gelar kerohanian.

Coolen tidak menyebut diri seorang pendeta (awam) tetapi kyai dan penghulu. Di sisi lain

Coolen sangat menentang adanya pembaptisan sebagai pertanda seseorang masuk ke dalam

kehidupan kekristenan. Menurut Coolen, baptisan merupakan tradisi Eropa oleh karena itu

tidak perlu diterapkan dalam masyarakat Jawa. Semua usaha penginjilan kontekstual yang

dilakukan oleh Coolen, tidak sedikit yang datang untuk berguru atau ngelmu (Jawa), karena

masyarakat sekitar sudah mengenal sosok Coolen sebagai tuan tanah dan sekaligus sebagai

guru yang bijaksana.10

Tinjauan Pola Pemberitaan Injil C.L. Coolen dari Sudut Kontekstualisasi


Dalam bagian ini, penulis akan melakukan tinjauan pola pemberitaan Injil Coolen dari

sudut kontekstualisasi. Apa itu kontekstualisasi? Theological Education Fund yang pertama-

tama mencetuskan istilah kontekstualisasi (1972) mendefinisikan kontekstualisasi sebagai:

The setting between text and context, yakni interaksi antara teks/berita Injil dan konteks

dari penerima Injil. Dengan demikian kontekstualisasi melibatkan dimensi dialektis antara

10Phil Parshall, Penginjilan Muslim:Pendekatan-pendekatan Kontemporer Pada Kontekstualisasi (terj.) (Baker


book house, 2005), 81-83.

STT Berea | 8
teks dan konteks dalam pendekatan Injil.11 Secara sederhana, kontekstualisasi dapat diartikan

dengan pemberitaan Injil sesuai dengan konteks pendengar (kultur). Dari istilah yang dipakai

terlihat adanya kesadaran terhadap perbedaan kultur antara pemberita dan pendengar.

Perbedaan kultur ini harus dijembatani karena jika tidak dijembatani akan berpotensi

menghalangi efektivitas pekabaran injil, karena keberhasilan komunikasi Injil berkaitan

dengan pemahaman masing-masing pihak yang terlibat. Kontekstualisasi bukanlah sesuatu

yang baru dalam kekristenan.

Alkitab; baik dalam Panjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, telah memaparkan

dengan jelas mengenai kontekstualisasi. Secara teologis dalam PL kontekstualisasi dimulai

dari Allah yang berinkarnasi lewat Firmannya. Pertama, Allah menyatakan diri melalui

penciptaan (Kej. 1). Dengan menyatakan diri yang adalah pencipta, Allah menunjukan

kehendak yang abadi, bahwa Dialah yang harus membuka tabir diri-Nya yang adalah

pencipta bagi manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Allah-lah penggerak utama

kontekstualisasi. Selanjutnya, Allah menggunakan mandat budaya sebagai pengejawantahan

kontekstualisasi. Hal ini dilakukan untuk memberikan wewenang bagi manusia untuk

berbudaya, memenuhi dan menguasai dunia. Di sini manusia dengan sendirinya dapat

mendayagunakan kreatifitasnya untuk berbudaya. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, Allah

menyatakan diri melalui perantaraan Anak, yaitu Yesus Kristus. Yesus merupakan gambaran

keagungan, kemuliaan Allah. Kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru dapat dilihat melalui

inkarnasi Kristus (logos) dalam seluruh aspek budaya hebraic dan kontekstualisasi Injil oleh

Rasul Paulus dalam lingkup pelayanan seutuhnya.12

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi secara teologis bukanlah

suatu yang baru karena penyataan diri Allah merupakan dasar dari kontekstualisasi.

Penyataan diri Allah melalui inkarnasi Yesus Kristus atau logos menjadi manusia (Yoh. 1:14),

11Hesselgrave, 34.
12Tt & Tp Soesilo dan Daud H. Mengenal Alkitab Anda. (Jakarta: LAI, 2001), 32.
STT Berea | 9
mempunyai implikasi yang luas. Ini berarti ia lahir ke dunia sebagai manusia, hidup dalam

sejarah manusia, menjadi bagian dari konteks budaya manusia. Ini juga menunjukan

solidaritas Yesus dengan manusia secara utuh dalam lingkup sosial - budaya manusia. Lebih

dari pada itu, tujuan inkarnasi Yesus memiliki tujuan misional, untuk membuktikan kasih

Allah kepada dunia (Yoh. 3:16), bagi pembebasan dunia itu sendiri (Yoh. 1:29). Kristus

dalam inkarnasi-Nya mengambil seluruh aspek manusia dan menggunakannya sebagai

wahana misi, menyatakan kehendak Allah yang kekal kepada dunia melalui konteks budaya

di mana tempat berada.13

Dengan pemahaman ini, maka penulis akan meninjau pola pendekatan yang dilakukan

oleh Coolen dalam aspek kontestualisasi yang diterapkan. Dan tinjauan ini dibatasi hanya

pada dua aspek penting dari kontekstualisasi itu sendiri, yaitu kontekstualisasi Injil dan

teologis. Kontesktualisasi injil berhubungan dengan sikap dalam memberitakan Injil yang

berkaitan dengan kepekaan dan sikap hormat terhadap perbedaan kultur yang ada antara

pemberita dan pendengar. Sedangkan kontekstualisasi teologis adalah berusaha membangun

kerangka teologi yang alkitabiah yang bebas dari pola pikir yang tidak sesuai dengan Alkitab.

Jadi, kontekstualisasi Injil berhubungan dengan hal praktis dalam pemberitaan Injil dan

kontekstualisasi teologi lebih ke arah isi dari berita Injil.

Tinjauan Kontekstualisasi Injil

Evaluasi pola kontekstualisasi Injil dan teologis C.L Coolen


Coolen begitu memahami konteks penerima Injil yaitu masyarakat Jawa pedesaan.

Dengan demikian, dapat memposisikan diri seperti Paulus katakan dalam I Kor. 9:22,

Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku
dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku menjadi segala-
galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara
mereka.

13Ibid.,
STT Berea | 10
Latar belakang Coolen yang dilahirkan oleh seorang ibu keturunan Jawa, mempermudah

proses adaptasi dalam lingkungan masyarakat Jawa dengan segala kompleksitasnya. Bagi

Coolen, kompleksitas budaya bukan menjadi suatu halangan dalam usahanya memberitakan

Injil kepada para pendengar. Pemahaman yang baik terhadap kultur lokal, memudahkan

Coolen mengemas injil sedemikian rupa, sehingga mudah untuk dipahami dan diterima oleh

masyarakat Jawa. Coolen dengan cerdas menggunakan simbol-simbol budaya untuk

menjembatani antara Injil dan konteks. Simbol-simbol budaya yang dipakainya (sebagai

tools) sangat efektif dalam usaha menyampaikan pesan Injil kepada masyarakat Jawa.

Adapun beberapa tools yang dipakai, diantaranya: bahasa, alat-alat musik (gamelan),

pewayangan, ekonomi, kepemimpinan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku turun temurun

dalam masyarakat Jawa. Perlu diakui bahwa secara filosofis penggunaan simbol-simbol

budaya dalam mengkomunikasikan injil adalah suatu pendekatan yang efektif. Dari simbol-

simbol budaya, seorang misionaris dapat mengkomunikasikan Injil yang dibungkus dengan

budaya setempat yang akhirnya dapat memiliki makna yang baru. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa keberhasilan pemberitaan Injil dari Coolen tidak lepas dari kemampuan

untuk menggunakan simbol-simbol budaya yang ada dalam menyampaikan pesan Injil. Dari

pemaparan di atas mengenai berbagai pendekatan penginjilan yang dilakukan oleh Coolen,

maka dapat disimpulkan bahwa Coolen dalam penginjilan menggunakan dua model

kontekstualisasi, yaitu model akomodasi dan adaptasi. Tomatala mendefinisikan model

akomodasi adalah suatu sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli yang

dilakukan dalam sikap, kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris, baik secara

teologis maupun secara ilmiah. Sedangkan model adaptasi adalah satu model yang tidak

mengasimilasikan unsur budaya dalam mengekspresikan Injil, tetapi menggunakan bentuk,

ide budaya yang dikenal.14 Model akomodasi dari Coolen dapat dilihat dari keterbukaanya

terhadap budaya asli, mulai dari hal-hal yang bersifat mistik, simbol-simbol budaya, sampai
14Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Malang: Gandum Mas, 1993), 77-78.
STT Berea | 11
kepada hal-hal yang menyangkut tradisi-tradisi, baik dari sosio-agama maupun sosio-kultur.

Sedangkan penggunaan model adaptasi adalah dengan menggunakan bentuk, ide dari budaya

yang sudah dikenal masyarakat Jawa pada waktu itu. Sebagai contoh, Coolen menggunakan

tokoh-tokoh wayang yang sudah dikenal, lalu ia membandingkan dengan tokoh-tokoh

Alkitab, pelafalan pengakuan iman dalam bentuk nyanyian seperti yang dilakukan oleh orang

Jawa Muslim dalam berzikir dan lain sebagainya.

Evaluasi Teologis pola Kontekstualisasi Coolen


Dalam meninjau kontekstualisasi teologis dari Coolen, maka penulis akan meninjau

dari beberapa kriteria teologi kontekstual, sebagaimana yang dipaparkan oleh Tomatala.

Tomatala, memaparkan setidaknya ada tujuh kriteria dimensi teologi kontekstual yang benar,

yaitu mempertahankan keunggulan Alkitab sebagai Firman Tuhan, norma iman dan perbuatan

dalam satu budaya; menekankan mengenai Allah sang pencipta alam semesta; kebenaran

Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat; menekankan Roh Kudus yang adalah Allah

sejati; menekankan manusia yang berdosa; mengakui gereja adalah persekutuan umat Allah

yang telah dipanggil dari dunia ke dalam Kristus untuk bersaksi bagi kebaikan Allah kepada

dunia; dan mengadaptasikan berita Injil kepada setiap budaya manusia, masuk ke dalam

pandangan hidupnya serta mengadakan transformasi/pembaharuan, perubahan kehidupan

manusia di dalam budaya manusia itu.15

Evaluasi Teologis Terhadap Pola Kontekstualisasi C.L Coolen.


Secara jujur dapat dikatakan bahwa proses kontekstual teologis C.L Coolen, tidak

sepenuhnya menekankan semua kriteria-kriteria yang telah dipaparkan di atas. Coolen dalam

proses kontekstualisasi tidak memulai dari apa yang dikatakan Alkitab, tetapi memulai dari

budaya. Dalam arti, menerapkan Injil dengan melihat realita budaya. Injil tidak menjadi

penekanan utama tetapi budaya. Injil menyesuaikan terhadap budaya, sehingga cenderung

15Ibid.

STT Berea | 12
bersifat sinkretis. Penekanan terhadap pentingnya budaya membawa Coolen sulit untuk

membedakan antara teks dan konteks. Bahkan, tidak melihat pembaptisan dan Perjamuan

Kudus sebagai sakramen yang diperintahkan Tuhan, yang merupakan simbol yang

menunjukkan seseorang masuk dalam persekutuan dengan sesama orang percaya dan Kristus.

Coolen memandang bahwa baptisan dan perjamuan kudus merupakan suatu tradisi Eropa,

karena itu tidak perlu diterapkan kepada orang Jawa. Untuk hal ini, Akkeren, berkomentar:

Coolen tidak memiliki pengetahuan aneka metode atau teori penginjilan sekitar adaptasi,

asimilasi dan lain sebagainya. Barangkali kuatir kalau-kalau orang Jawa yang menerima

agama Kristen lewat baptisan lalu berharap bisa memperoleh kewarganegaraan Belanda, dan

karenanya bebas dari kerja paksa di bawah sistem tanam paksa.16 Namun apapun alasannya,

menurut penulis, baptisan merupakan suatu sakramen dan perintah Yesus (Mat. 28:18-20)

yang tentunya berlaku universal. Baptisan bukan berasal dari tradisi Barat tetapi merupakan

tradisi Alkitab yang merupakan bagian dari Amanat Agung Yesus.

Selanjutnya dari sisi Kristologi, penulis melihat bahwa citra Coolen tentang Yesus

Kristus dan berita-beritanya sangat diwarnai oleh pengaruh-pengaruh Jawa. Misalnya, ketika

berdoa di tempat pertanian, dalam doan tetap memakai Dewi Sri yang merupakan dewi padi

orang Jawa, dan diakhiri dengan dalam nama Yesus. Coolen juga menyampaikan doa

dengan memohon kepada gunung semeru untuk memberkati pertanian. Pendekatan

penginjilan kontekstual teologis seperti ini, menurut penulis akan mengaburkan esensi Injil

sebagai kebenaran yang absolut, dan mengaburkan peran Yesus sebagai Tuhan yang adalah

pencipta, pemelihara seluruh aspek hidup manusia. Tidak adanya batasan antara teks dan

konteks akan sangat berbahaya bagi perkembangan iman dan pemahaman orang Kristen

Jawa. Bahkan tidak dapat disangkali bahwa orang Kristen Jawa akan menghadapi bahaya

sinkretisme.

16Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: Suatu Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur. (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1994), 23-24.

STT Berea | 13
Namun di sisi lain, secara praksis pola-pola penginjilan yang dilakukan oleh Coolen

membawa satu transfomasi hidup. Hal ini dapat dilihat dari pola hidup orang Kristen dalam

berinteraksi dan berelasi dalam masyarakat. Orang-orang yang sebelum Kristen memiliki

hidup yang tidak benar, berubah menjadi orang yang benar. Pola guru yang dicontohkan

Coolen, yang dapat diteladani oleh masyarakat menjadi satu wadah yang efektif untuk

membawa murid-muridnya kepada suatu pembaharuan hidup. Pola ini sesuai dengan pola

yang diajarkan Alkitab, di mana Yesus menjadi tokoh sentral, sebagai guru yang dapat

membawa transformasi positif kepada murid-murid-Nya. Secara sederhana dapat

disimpulkan bahwa secara teologis, pola pendekatan penginjilan Coolen sangat menekankan

konteks dari pada teks, sehingga terjadi kesimpangsiuran, kerancuan, bahkan pengaburan

esensi Injil itu sendiri.17 Namun disisi praktis, dapat dikatakan bahwa Coolen dapat membawa

suatu transformasi yang utuh dalam semua aspek kehidupan para pengikut. Dan juga sukses

menjembatani budaya dan Injil sehingga Injil dapat di terima dengan baik oleh masyarakat

Jawa. Coolen membawa ekonomi orang Kristen (Jawa) menjadi lebih baik, menjadikan orang

Kristen memiliki etika hidup Kristen yang baik dalam hubungan dengan sesama, dan menjadi

teladan dalam hal kepemimpinan walaupun gagal dalam kehidupan keluarga.

17Handoko Yakub Tri, Prinsip Kontekstualisasi dalam Pekabaran Injil Yesus http://www.gkri-exodus.org/.
Diakses pada Selasa, 8 November 2016.

STT Berea | 14
BAB III PENUTUP

Kesimpulan dan Refleksi


Berdasarkan apa telah dipaparkan diatas maka secara positif gereja harus menghargai

segala usaha penginjilan yang dilakukan oleh ke-dua tokoh gereja ini. Ada banyak warisan

rohani dan hal yang berharga yang telah ditanamkan oleh tokoh ini bagi gereja. Secara khusus

gereja di Jawa Timur. Meskipun harus diakui ada banyak kekurangan dari tokoh ini. Coolen

memiliki kelebihan dan juga kekurangan dalam pendekatan penginjilan. Coolen sangat

menekankan budaya Jawa sehingga Injil begitu mudah diterima oleh orang Jawa. Dalam

menabur benih Injil, ia memakai dan menggunakan sepenuhnya adat istiadat Jawa, beserta

simbol-simbol budayanya. Namun karena sangat menekankan budaya Jawa ia cenderung

menciptakan jemaat Kristen yang sinkretis.

Berdasarkan pengalaman dari tokoh ini, maka sebagai bahan refleksi dan pelajaran

bagi gereja hari, penulis mengusulkan beberapa hal di bawah ini. 1. Gereja perlu memikirkan

pola-pola pendekatan penginjilan yang tepat dalam usaha penginjilan dalam konteks Asia

secara khusus di Indonesia. 2. Perlunya seorang hamba Tuhan, penginjil, misionaris untuk

mengerti konteks budaya di mana pun ia melayani. 3. Perlunya gereja memiliki pemahaman

yang utuh terhadap Firman Tuhan termasuk dalam proses hermeneutiknya, agar dalam proses

penginjilan kontekstualisasi tidak terjebak dalam sinkretisme. 4. Gereja harus melihat sisi

positif dari ke dua tokoh ini, untuk menemukan strategi yang tepat dalam penginjilan lintas

budaya. 5. Seorang penginjil atau hamba Tuhan harus mengerti batas antara sinkretisme dan

kontekstualisasi, sehingga dapat mengimplementasikan Injil dengan benar dan baik. 6. Gereja

harus mengevaluasi kembali pola pelayanan misi yang diterapkan saat ini, apakah masih

relevan dengan keadaan zaman atau tidak? Agar Injil tetap relevan maka perlu adanya satu

pendekatan penginjilan secara holistik.

STT Berea | 15
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Akkeren, Philip van. Dewi Sri dan Kristus: Suatu Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa
Timur. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.

Aritonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006.

Budiman, R. L. Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi. Jakarta: Gunung Mulia,


_______.

End, Van Den. Ragi Carita: Sejarah Gereja Indonesia I. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980.

Halim, Makmur. Gereja Di Tengah-Tengah Perubahan Dunia. Malang Gandum Mas, 2000.

Handoko, Yakub Tri. Prinsip Kontekstualisasi dalam Pekabaran Injil Yesus


http://www.gkri-exodus.org/. Diakses pada Selasa, 8 November 2016.

Hesselgrave, David J. dan Edward Rommen. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model.
Jakarta: BPK, 1994.

Muller, Kruger. Sejarah Gereja Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966.

Parshall, Phil. Penginjilan Muslim:Pendekatan-pendekatan Kontemporer Pada


Kontekstualisasi. Granpid: Baker Book House, 2005.

Partonadi, Soetarman Soediman. Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu


Ekspresi Kekristenan Jawa Abad XIX. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Soekotjo, S. H. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa, Jilid 1. Yogyakarta: Taman Pustaka


Kristen, 2009.

Tomatala, Yakob. Teologi Kontekstualisasi. Malang: Gandum Mas, 1993.

Tt &tp Soesilo, Daud H. Mengenal Alkitab Anda. Jakarta: LAI, 2001.

STT Berea | 16

Anda mungkin juga menyukai