DISUSUN OLEH
Alpius Boulolo
Rivki Aprianggi
Kayus Wenyi
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat,sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen mata kuliah Sejarah gereja yang telah memberikan tugas terhadap kami. Kami juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah
ini.
Penulis juga berharap semoga Makalah ini mampu memberikan pengetahuan tentang
bagaimana sejarah gereja di sumatera utara bagi semua pihak yang memerlukan.
Kelompok 8
BAB 1
PENDAHULUAN
Peraturan gereja yang ditetapkan pada tahun 1881 menggunakan pendekatan yang
sama, tetapi dalam lingkungan yang sudah menjadi jauh lebih luas dan kompleks. Dalam
tahun 1870-an agama Kristen telah meluas hingga meliputi sejumlah marga (puak) di
seluruh daerah Silin dung bahkan di luarnya. Makin para zendeling mengenal masyarakat
Batak, makin sadarlah mereka akan arti marga serta peranan para sesepuh marga (para
raja) dalam masyarakat itu. Maka dalam mendirikan pos pos pl (jemaat-jemaat) baru dan
dalam mengatur jemaat-jemaat itu me reka mengikuti pola kemargaan. Tiap pos pl yang
baru didirikan di pusat daerah salah satu marga; pos itu menjadi jemaat induk, lalu
kampung kampung di sekitarnya menjadi jemaat-jemaat cabang. Induk bersama cabang-
cabangnya merupakan resort, yang dipimpin oleh seorang zen deling (kemudian juga oleh
seorang pendeta Batak). Maka batas-batas resort sedikit banyak bertindih dengan batas-
batas sesuatu marg. Pun para sesepuh marga (para raja) diberi peranan, di samping para
penatua, dalam kehidupan jemaat di kampungnya, yaitu dalam menyelenggarakan adat
menurut pengertian Kristen. Fungsi itu mereka jalankan bukan se laku kepala
pemerintahan di kampung itu, melainkan selaku sesepuh marga, jadi tokoh masyarakat
setempat. Hal ini mengikuti pola yang telah ditetapkan Luther dalam tata gereja tahun
1528 di Jerman. Maka penatua dan raja secara bersama merupakan sokoguru jemaat
setempat. Pendeta (mula-mula: zendeling) hanya terdapat di jemaat-induk; guru/
penghantar jemaat pun tidak ada di semua jemaat dan bagaimanapun merupakan tokoh
yang datang dari luar dan yang sewaktu-waktu dapat dipindahkan lagi. Maka struktur
yang telah bertumbuh dalam tahun tahun 1870-an inilah yang ditetapkan di dalam tata
gereja tahun 1881. Gereja dan marga/sukubangsa saling meresap, bertumbuh menjadi
satu Dari segi perluasan agama Kristen, kebijakan ini sangat menguntungkan. Sebab
dengan demikian tercipta kemungkinan bagi marga untuk masuk Kristen secara
berkelompok. Lagi pula, kecuali dalam tahun-tahun per tama, bagi seorang Batak masuk
Kristen tidak berarti menyangkal ibu bapaknya, marga-sukunya, tetapi ikut serta dalam
pembaruan marga serta suku itu. Peraturan gereja tahun 1881 itu dikembangkan terus.
Tetapi maknanya, yaitu penciptaan gereja-suku, tetap terpelihara. Makna itu diungkapkan
secara singkat-padat dalam rumus pembukaan tata gereja tahun 1930, "Huria Batak
Kristen Protestan ialah persekutuan semua orang Kristen Batak Protestan...".