Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH SEJARAH GEREJA TENTANG

SEJARAH GEREJA SUMATERA UTARA

DISUSUN OLEH

Irene Toda Widu

Alpius Boulolo

Rivki Aprianggi

Kayus Wenyi

Yitro Felixson Riwu

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BETHEL JAKARTA PUSAT PENDIDIKAN AGAMA


KRISTEN TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat,sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.

Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen mata kuliah Sejarah gereja yang telah memberikan tugas terhadap kami. Kami juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah
ini.

Penulis juga berharap semoga Makalah ini mampu memberikan pengetahuan tentang
bagaimana sejarah gereja di sumatera utara bagi semua pihak yang memerlukan.

Jakarta, 19 Agustus 2022

Kelompok 8
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Keadaan Umum


Di pulau Sumatera, agama Islam sudah tersebar sejak abad ke-13. Dari Aceh,
agama itu meluas ke seluruh pantai Timur (abad ke-15), ke pantai Barat (abad ke-16) dan
ke pedalaman Minangkabau serta Bangka hulu (abad ke-17). Hanya daerah orang Batak
di sebelah Utara dan beberapa daerah terpencil lainnya yang tetap berpegang pada agama
nenek moyang.
Orang Portugis, lalu VOC, tidak berani menyerang kesultanan Aceh yang kuat
dan kerajaan-kerajaan Sumatera yang lain. Tetapi ter dapat beberapa tempat yang oleh
orang Barat dijadikan sebagai pangkalan untuk usaha dagang (bnd. § 4), seperti Padang
(sejak 1684) dan Bang kahulu (1711-1824 di tangan Inggris, lalu Belanda), sedangkan
pengaruh Kompeni bertumbuh terus di kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur sejak
abad ke-18. Pada tahun 1824, Inggris menyerahkan jajahannya di Sumatera kepada orang
Belanda. Sesudah itu, kekuasaan Belanda meluas terus. Melalui Perang Paderi (1821-
1838), mereka menjajah Minangkabau dan Mandailing-Angkola. Yang paling lama
bertahan ialah orang Batak Toba (tewasnya Si Singamangaraja XII, 1907) dan Aceh
(1906).
1.2 Usaha PI Sebelum 1856
VOC, dan juga Kompeni Inggris yang berkedudukan di Bangkahulu (East India
Company), tidak berminat akan penyebaran agama Kristen (§ 4). Pun dalam abad ke-19
pemerintah Belanda tidak melakukan usaha di bidang itu, apalagi di daerah kekuasaannya
di Sumatera yang sudah beragama Islam. Akan tetapi, di Eropa dan Amerika sudah
berdiri lembaga-lembaga pekabaran Injil yang siap untuk mengabarkan Injil walaupun
tidak ditugaskan oleh pihak gereja dan tanpa didukung oleh pihak guber nemen. Pada
tahun 1820 tiga utusan lembaga pl Baptis di Inggris datang ke Sumatera. Mula-mula
mereka bekerja di pesisir, namun tampak oleh mereka bahwa usahanya mustahil
membawa hasil selama mereka berco kol di pantai saja. Maka setelah mempelajari
bahasa Batak, pada tahun 1824 Burton dan Ward menerobos sampai ke Silindung di
wilayah suku Batak Toba. Mereka disambut dengan baik. Tetapi mereka terpaksa mundur
karena pada tahun itu juga orang Inggris menarik diri dari Sumatera dan pemerintah
Belanda menolak untuk memberi izin bekerja kepada warga negara Inggris itu. Perang
Paderi mencegah NZG (§ 30) mengambil alih pekerjaan mereka. Pada tahun 1834, dua
orang Amerika, Munson dan Lyman, menempuh lagi jalan dari Sibolga ke Silindung,
tetapi mereka dibunuh dalam perjalanan. Usaha lain, yang dilakukan orang Amerika tiga
tahun kemudian, mengalami kegagalan pula. Dalam pada itu, orang Belanda
mengalahkan pasukan Tuanku Imam Bonjol, dan daerah-daerah Batak di Selatan, yaitu
Mandailing dan Angkola, masuk wilayah jajahan Belanda. Berkat perdamaian yang
dipaksakan itu ("Pax Neerlandica") maka di daerah itu, seperti juga di beberapa daerah
Indonesia lainnya, agama Islam berhasil masuk dan menarik penduduk secara damai,
padahal usaha kaum Padri untuk memaksa mereka menerima Islam telah gagal.
1.3 Van Der Tuuk
Akan tetapi, keadaan damai itu memberi kesempatan pula kepada orang Barat untuk
mengadakan penelitian di pedalaman Sumatera. Se orang ilmuwan berkebangsaan Jerman
bernama F. Junghuhn melakukan perjalanan di daerah orang Batak (1842), lalu
menerbitkan karangan tentang mereka. Karangan itu sampai ke tangan tokoh-tokoh
Lembaga Alkitab di Belanda. Maka mereka ini mengutus seorang ahli bahasa ber nama
H. Neubronner van der Tuuk ke Sumatera. Van der Tuuk adalah seorang ahli yang
terkemuka di bidang bahasa-bahasa Nusantara. Ia orang Barat pertama yang melakukan
penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, dan Bali. Antara tahun 1851-
1857 ia menetap di Barus. "Si Raja Tuk" ("Tuan yang Berkecukupan") yang ibunya
memang berdarah Indonesia, bergaul dengan orang Indonesia, termasuk orang Batak,
dengan cara yang agak menyimpang dari cara yang lazim dalam masyarakat kolonial
pada zaman itu. Ia merasa betah kalau mengenakan sarung, ia senang menyambut orang
Batak di rumahnya, yang menjadi tempat penginapan bagi pemikul-pemikul barang yang
datang dari pedalaman. Ia mempersilakan mereka duduk di atas kursi (bnd. § 46!) dan
bercakap-cakap dengan mereka sepanjang hari. Pada tahun 1853 ia menjadi orang Eropa
pertama yang sempat menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja.
Walaupun dia mengaku sebagai seorang ateis, tetapi didesaknya lembaga-lembaga
zending supaya mengutus pekabar-pekabar Injil ke Tapanuli sebelum seluruh daerah itu
diislamkan, sambil memberi nasihat supaya pekabar pekabar Injil itu mengawini puteri-
puteri Batak, membuka toko (supaya terbukti kejujurannya), dan memelihara ternak babi.
Namun, ia melaku kan persiapan yang lebih serius pula dengan menyusun sebuah kamus
dan tata bahasa Batak, mengumpulkan ratusan cerita serta peribahasa Batak dan
menerjemahkan kitab-kitab Injil serta beberapa bagian Alkitab yang lain ke dalam bahasa
itu. Dianjurkannya pula supaya pekabaran Injil dimulai bukan di Angkola-Mandailing,
sebab di sana Islam telah masuk, melainkan di Tapanuli Utara.
1.4 PI Di Tapanuli Selatan
Sementara itu, beberapa orang pekabar Injil dari Belanda sudah menetap di Tapanuli
Selatan. Mereka itu diutus oleh suatu jemaat kecil di Ermelo (§ 30), kemudian beralih
menjadi pengerja Panitia Jawa (§ 30). Para perintis itu bermaksud hendak mengikuti
nasihat Van der Tuuk mengenai tempat kerja mereka, tetapi pemerintah Belanda tidak
mem biarkan mereka masuk ke Tapanuli Utara dengan alasan tak dapat men jamin
keselamatan mereka di daerah yang belum ditaklukkan itu. Maka mereka menetap di
Sipirok dan di tempat-tempat lain di Angkola. Meski sebagian penduduk masih
berpegang pada agama nenek moyang, hasil yang diperolehnya sangat terbatas. G. van
Asselt, yang masuk paling pertama (1857), menebus beberapa orang pemuda lalu
memberi mereka pendidikan Kristen. Pada tanggal 31 Maret 1861 dua orang di antara
mereka dibaptisnya, Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar. Dalam tahun-tahun
berikutnya, Panitia Jawa melanjutkan karyanya di Angkola. Tetapi jumlah orang Kristen
tetap agak kecil: setelah berupaya selama 60 tahun jumlahnya baru 5.000 lebih. Jumlah
yang kecil ini dianggap tidak sanggup hidup sebagai gereja mandiri, maka pada pada
tahun 1931 Panitia Jawa menyerahkan mereka kepada RMG, sehingga menjadi sebagian
dari HKBP. Namun, unsur kedaerahan tetap memainkan peranan, sehingga pada tahun
1975 HKBP melepaskan kembali jemaat-jemaat Kristen di Angkola. Juga pada tahun
1931, jemaat-jemaat yang sejak tahun 1869 dikumpulkan oleh zending Mennonite di
Mandailing diserahkan kepada RMG, tetapi penyatuan mereka dengan HKBP memeleset
karena orang Mennonite menolak pembaptisan anak-anak. Maka sebagian anggota
kemudian membentuk Gereja Mennonite Protestan Indonesia (GMPI). Pada tahun 1975
HKBP memenuhi keinginan jemaat-jemaatnya di Angkola sehingga mereka dapat
membentuk gereja tersendiri, yang mula-mula disebut HKBP-A(ngkola), dan sejak 1988
menyandang nama Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA). Pada tahun 1976 gereja
ini bergabung dengan GMPI. Dengan bantuan kaum Menonit dari Jawa, GKPA berhasil
menyusun terjemahan Alkitab dan sebuah buku lagi gereja dalam bahasa Batak Angkola.
Jumlah anggotanya ialah 26.000 orang dalam ± 160 jemaat.
1.5 Permulaan PI Di Utara
Disebabkan perang Hidayat (§ 23), sejumlah tenaga RMG di Kali mantan kehilangan
tempat kerja mereka. Lalu inspektur Fr. Fabri, salah seorang tokoh pemimpin RMG,
pergi ke Negeri Belanda untuk melaku kan pembicaraan mengenai lapangan kerja yang
lain. Di rumah salah seorang tokoh zending Belanda dilihatnya buku yang menarik
perhatian nya, karena dicetak dalam aksara yang belum dikenalnya. Ternyata buku itu
adalah terjemahan Injil Yohanes dalam bahasa Batak, karya Van der Tuuk. Fabri
memandang peristiwa itu sebagai isyarat dari Tuhan. Setelah mengadakan penyelidikan
di tempat, dan meminta persetujuan jemaat Ermelo, RMG mengutus tenaga yang terpaksa
menganggur di Kaliman tan itu ke Tapanuli. Pada tanggal 7 Oktober 1861 empat utusan
Jerman dan Belanda mengadakan kumpulan di Sipirok; mulai saat itu orang Jerman-lah
yang menjadi perintis karya pl di tanah Batak, sehingga tang gal tersebut oleh HKBP
dianggap sebagai tanggal kelahirannya. Konfe rensi tersebut mengambil keputusan agar
dua orang ditempatkan di daerah yang belum dikuasai Belanda. Mereka ini menetap di
tengah jalan antara Sipirok dan Silindung, di bagian paling selatan yang masih belum
mengenal pengaruh Islam. Di situ mereka berhasil, meski dengan susah payah,
"membendung" arus Islam yang datang dari Selatan.
1.6 Nommensen Ke Silindung
Sementara itu tibalah sejumlah utusan baru dari Jerman. Salah seorang di antaranya
ialah Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918). Nommensen berasal dari keluarga petani
yang miskin di Jerman Utara dan dibesarkan dalam lingkungan pengaruh pietisme. Pada
umur 12 tahun, ketika mendapat luka berat di kaki, ia bernazar akan membawa Injil
kepada orang kafir kalau kakinya sembuh. Untuk sementara waktu nazar itu tidak
mungkin dipenuhinya karena ia harus mencari nafkah bagi ibu beserta adik-adiknya.
Tetapi karena ia berbakat, ia berhasil men jadi guru bantu dan kemudian ia diterima
menjadi calon zendeling di Barmen. Di sana ia mendapat pendidikan selama 4 tahun.
Pada tahun 1862 ia mendarat di Padang dan sesuai dengan pesan Pengurus RMG ia
menetap di Barus. Sama seperti Van der Tuuk, ia menghuni rumah dan menikmati
makanan ala Batak (pada waktu itu ia belum kawin), dan suka menjamu orang Batak dari
pedalaman. Hanya saja, berbeda dengan Van der Tuuk, ia memberitakan Injil kepada
mereka. Tetapi karena Barus terletak di pinggir daerah Batak, maka didesaknya agar
boleh pindah ke pedalaman. Akhirnya sang Residen mengabulkan permohonannya dan
memberinya izin menetap di Silindung. Sebetulnya, tempat itu pun belum merupakan
tujuannya yang sebenarnya. Katanya, "Saya tidak mau mengeluarkan biaya besar untuk
membangun rumah sebelum sempat menancapkan bendera Salib di tepi Danau Toba".
Tetapi untuk sementara waktu (Mei 1864-1886) ia menetap di Silindung, mula-mula di
Hutadame, kemudian di Pearaja, yang kini menjadi pusat pimpinan gereja HKBP.
1.7 Suasana Di Silindung
Orang Batak merdeka, yang di tengahnya Nommensen menetap, bukanlah orang
biadab. Raja Pontas Lumbantobing (yang kemudian menjadi raja Batak pertama yang
dibaptis) telah menyanggupi untuk mengantarkan Nommensen dari Barus ke Silindung
dengan syarat diberi pernyataan tertulis bahwa dirinya tidak dianggap bertanggung jawab
atas keselamatan tuan-tuan dari Eropa itu. Raja agung orang Batak, Si Singamangaraja XI
dan anaknya, Si Singamangaraja XII, mengadakan surat-menyurat dengan Nommensen.
Tetapi pergaulan masyarakat di tandai oleh ketidakamanan dan kebuasan penduduk satu
kampung ter hadap yang lain. Karena takut kena bencana kalau menyambut seorang
asing yang tidak memelihara adat, maka mula-mula raja-raja di Silindung tidak mau
menjual tanah kepadanya untuk membangun rumah. Mereka biasa datang ke tempat
tinggalnya melemparkan kepadanya kata-kata yang menyakitkan hati. Beberapa kali
nyawa Nommensen terancam. Pada suatu malam, ketika raja-raja itu kembali berada di
rumahnya, mereka tinggal begitu lama sehingga mengantuk dan tertidur. Lalu Nom
mensen mengambil selimut dan menutupi badan mereka terhadap udara malam yang
dingin. Pada pagi hari mereka merasa malu. "Melihat kasih yang begitu besar, mereka tak
dapat bertahan lagi menghadapi Nommen sen." Tentu pertobatan itu mempunyai latar
belakang yang lebih jauh. Sikap menolak para raja disebabkan pula oleh kekhawatiran
mereka, jangan-jangan orang kulit putih ini menjadi perintis jalan bagi guber nemen
Belanda yang sudah berkuasa di pantai dan di Selatan. Di pihak lain, mereka khususnya
raja Pontas, tokoh yang berpandangan luas itu - menyadari bahwa mereka tidak kuat lagi
mempertahankan adat dan kemerdekaan mereka terhadap kuasa-kuasa yang mendesak
masuk, yakni agama Islam dan Kristen di satu pihak dan pemerintah Belanda di pihak
lain. Dalam suasana itu, penampilan Nommensen yang tidak memakai kekerasan, yang
menunjukkan jalan untuk mengatasi keadaan perang dan bunuh-membunuh, namun
menghormati sebagian besar tata hidup mereka itu tidak bisa tidak menimbulkan rasa
hormat dan simpati dalam hati raja-raja itu.
1.8 Agama Kristen Berakar Dan Meluas
Meskipun demikian, dalam tahun-tahun pertama Nommensen tidak dapat hidup
dalam suasana santai. Perang antar-kampung berkecamuk terus; bisa saja Nommensen di
tengah jalan bertemu dengan orang yang tangannya memegang kepala musuh yang baru
saja dipenggal. Orang orang Kristen pertama (yang dibaptis pada tanggal 27 Agustus
1865) diusir dari kampung halamannya karena tidak lagi mau memberi sumbangan untuk
upacara-upacara agama suku. Maka terpaksalah Nommensen mengumpulkan mereka
dalam kampung tersendiri, yang diberi nama Hutadame (= Yerusalem, kampung damai).
Setelah 7 tahun melakukan penginjilan, orang Kristen Batak berjumlah 1.250 jiwa. Tetapi
sepuluh tahun kemudian (1881) angka itu sudah lipat lima. Pada tahun 1918 sudah
tercatat 185.731 orang Kristen di wilayah kerja RMG di Sumatera Utara. Selama masa
itu, Nommensen yang menjadi pelopor dan pemimpin karya RMG di Sumut, mula-mula
selaku zendeling senior, kemudian juga secara formal, sebab pada tahun 1881 RMG
mengangkat dia menjadi Ephorus ("penilik", "ketua"). Jabatan tersebut tetap dipegangnya
sampai saat meninggal (23 Mei 1918). Orang Batak memberi dia gelar yang lain. yaitu
"Ompunta", "Nenek kita", yang menempatkan Nommensen pada tingkat yang sama
dengan Si Singamangaraja dan tokoh-tokoh sakti lainnya. Di samping itu ada pula pihak
ketiga yang menyatakan penghor matannya terhadap Nommensen, yakni dunia ilmu
pengetahuan: pada tahun 1904 ia diberi gelar doktor oleh Fakultas Teologi di Bonn,
Jerman (bnd. A.C. Kruyt, § 39). Maka perlu meneliti bagaimana pola kerja Nommensen,
begitu pula alasan mengapa masyarakat Batak menyambut agama Kristen dalam waktu
yang relatif singkat (bnd. § 37, 43, 44).
1.9 Pola Kerja Nommensen: Menerima Gerakan Berkelompok
Ciri pertama pola kerja Nommensen itu ialah bahwa ia rela untuk meninggalkan
corak berpikir yang pada waktu itu lazim di kalangan zending, bila menghadapi gerakan
massal ke agama Kristen (bnd. Kam § 20). Mula-mula orang masuk ke jemaat satu dua
sekaligus. Tetapi sete lah raja pertama dibaptis, ternyata orang bawahannya ingin masuk
Kristen bersama dia. Rekan-rekan Nommensen, bahkan pimpinan zending di Barmen,
berwaswas menghadapi mengalirnya ribuan orang masuk ke dalam gereja, tetapi dia
sendiri berkata, "sudah waktunya untuk menggunakan jala, bukan kail". Dalam hal ini ia
memang bersikap utuh, bukan setengah hati, sehingga dalam lingkungan pengaruhnya
tidak ada orang yang diterima menjadi calon baptisan, namun kemudian harus belajar
bertahun-tahun barulah dibaptis (§ 21); tidak pula diadakan pemi sahan sakramen (§ 15,
21). Sikap ini tidak terlepas dari kebijakan yang ditempuhnya dalam hal tata gereja dan
adat (lihat di bawah ini).
1.10 Aturan Jemaat 1866
Ribuan manusia yang masuk menjadi Kristen itu kehilangan tata atu hidup yang lama.
Agar mereka tidak tercabut, Nommensen secepat jen mungkin menyediakan bagi mereka
tatanan yang baru. Pada tahun 1866 (dua tahun setelah masuk ke Silindung)
ditetapkannya Aturan Jemaat Aturan itu meliputi kehidupan orang Kristen di dalam
jemaat dan dalam lingkungan keluarga. Jemaat Hutadame yang masih kecil itu akan
memi liki 4 orang penatua dan 3 orang diaken (di antaranya 1 perawat orang sakit, I
bendahara, dan 1 koster), 1 diakones (untuk merawat wanita yang sakit) dan I guru TKK.
Peribadatan dalam lingkungan keluarga diatur dengan teliti. Orang Kristen berdoa pada
waktu bangun dan tidur serta sebelum dan sesudah makan. Lima kali sehari, pukul 06.00,
09.00, 12.00, 15.00, dan 18.00, dibunyikan lonceng sebagai tanda supaya semua orang
berdoa dalam hati. Pada pagi hari orang dewasa datang ke rumah peng hantar jemaat
(zendeling) agar menerima suatu ayat Alkitab yang dapat direnungkannya sepanjang hari;
pada petang hari anak-anak dating mendengarkan cerita Alkitab dan pada malam hari
diadakan ibadah yang merangkap pengajaran agama kepada calon-calon baptisan. Juga
tentang ibadah jemaat pada hari Minggu aturan itu mengandung ketentuan-ketentuan
lengkap. Pun tentang adat perkawinan dan hukum kekeluargaan diberi petunjuk-petunjuk.
Menonjollah bahwa dalam aturan ini orang-orang Kristen dijadikan sebagai anggota
suatu masyarakat Kristen yang utuh; orang Kristen perseorangan tidak dibiarkan
menghayati imannya sendiri-sendiri, tetapi ditampung ke dalam persekutuan yang
bersifat menyeluruh. Kita teringat di sini akan cara Calvin mengatur kehidupan orang
Kristen di Jenewa, yaitu dengan memperluas suasana biara meliputi seluruh masyarakat
Kristen.
1.11 Peraturan Gereja Tahun 1881

Peraturan gereja yang ditetapkan pada tahun 1881 menggunakan pendekatan yang
sama, tetapi dalam lingkungan yang sudah menjadi jauh lebih luas dan kompleks. Dalam
tahun 1870-an agama Kristen telah meluas hingga meliputi sejumlah marga (puak) di
seluruh daerah Silin dung bahkan di luarnya. Makin para zendeling mengenal masyarakat
Batak, makin sadarlah mereka akan arti marga serta peranan para sesepuh marga (para
raja) dalam masyarakat itu. Maka dalam mendirikan pos pos pl (jemaat-jemaat) baru dan
dalam mengatur jemaat-jemaat itu me reka mengikuti pola kemargaan. Tiap pos pl yang
baru didirikan di pusat daerah salah satu marga; pos itu menjadi jemaat induk, lalu
kampung kampung di sekitarnya menjadi jemaat-jemaat cabang. Induk bersama cabang-
cabangnya merupakan resort, yang dipimpin oleh seorang zen deling (kemudian juga oleh
seorang pendeta Batak). Maka batas-batas resort sedikit banyak bertindih dengan batas-
batas sesuatu marg. Pun para sesepuh marga (para raja) diberi peranan, di samping para
penatua, dalam kehidupan jemaat di kampungnya, yaitu dalam menyelenggarakan adat
menurut pengertian Kristen. Fungsi itu mereka jalankan bukan se laku kepala
pemerintahan di kampung itu, melainkan selaku sesepuh marga, jadi tokoh masyarakat
setempat. Hal ini mengikuti pola yang telah ditetapkan Luther dalam tata gereja tahun
1528 di Jerman. Maka penatua dan raja secara bersama merupakan sokoguru jemaat
setempat. Pendeta (mula-mula: zendeling) hanya terdapat di jemaat-induk; guru/
penghantar jemaat pun tidak ada di semua jemaat dan bagaimanapun merupakan tokoh
yang datang dari luar dan yang sewaktu-waktu dapat dipindahkan lagi. Maka struktur
yang telah bertumbuh dalam tahun tahun 1870-an inilah yang ditetapkan di dalam tata
gereja tahun 1881. Gereja dan marga/sukubangsa saling meresap, bertumbuh menjadi
satu Dari segi perluasan agama Kristen, kebijakan ini sangat menguntungkan. Sebab
dengan demikian tercipta kemungkinan bagi marga untuk masuk Kristen secara
berkelompok. Lagi pula, kecuali dalam tahun-tahun per tama, bagi seorang Batak masuk
Kristen tidak berarti menyangkal ibu bapaknya, marga-sukunya, tetapi ikut serta dalam
pembaruan marga serta suku itu. Peraturan gereja tahun 1881 itu dikembangkan terus.
Tetapi maknanya, yaitu penciptaan gereja-suku, tetap terpelihara. Makna itu diungkapkan
secara singkat-padat dalam rumus pembukaan tata gereja tahun 1930, "Huria Batak
Kristen Protestan ialah persekutuan semua orang Kristen Batak Protestan...".

1.12 Injil dan Adat


Pendekatan para zendeling terhadap adat suku Batak serupa dengan yang berlaku
terhadap susunan masyarakat. Para zendeling, dengan didukung oleh pemerintah
kolonial, berupaya untuk membendung tindakan sewenang-wenang para raja, namun
menghormati kekuasaan raja-raja itu, bahkan menampung kekuasaan itu di dalam aturan
gereja. Mereka juga menolak unsur-unsur adat Batak yang dianggapnya bertentangan
dengan agama Kristen, namun berupaya menampung adat itu dalam suatu peraturan adat
Kristen. Pada tahun 1867, Nommensen telah menyusun beberapa ketentuan yang
menyangkut perilaku orang Kristen selaku warga masyarakat, menjadi padanan peraturan
jemaat yang mengatur hidup mereka selaku anggota gereja. Ketentuan itu menyangkut
hukum perkawinan, hal main judi serta pencurian, dan hal bekerja pada hari Minggu. Di
kemudian hari, "adat Kristen" ini diperluas terus. Para zendeling malah berupaya untuk
menyusun suatu "hukum adat Kristen" yang lengkap.
1.13 Latar Belakang Pendekatan Ini
Upaya ini berdasarkan keyakinan bahwa adat masing-masing bang sa, sama seperti
susunan kemasyarakatannya, telah disediakan bagi bang sa-bangsa itu di waktu mereka
diadakan oleh Allah (Kej. 11). Walaupun adat asli itu sudah diputarbalikkan, akibat
merajalelanya kekafiran dan dosa dalam lingkungan bangsa-bangsa, namun banyak unsur
di dalamnya masih baik, dengan akibat orang mengakui Injil sebagai sesuatu yang wajar
("praeparatio Evangelica", persiapan untuk penerimaan Injil). Setelah orang menerima
Injil maka tinggal menyaring adat mereka, lalu unsur-unsurnya yang baik hendaknya
dipelihara terus. Di bidang ini pun kita melihat zending, khususnya zending RMG di
Sumatera Utara, menjalin unsur kesukuan dan unsur kekristenan menjadi satu gereja-
suku yang begitu kokoh. Oleh Nommensen, pendekatan ini dipilih karena tuntutan
praktik; rekan-rekannya yang datang belakangan menjadikannya sebagai dasar usaha
mereka, dan Gustav Warneck (1834 1910), ahli ilmu pekabaran Injil Jerman yang
terkenal itu, menampungnya dalam teori bahwa yang menjadi tujuan usaha pl bukan
pertobatan orang perseorangan, melainkan pertobatan bangsa-bangsa. Anaknya J.
Warneck (Ephorus 1920-1932) berkata, "Jemaat dan gereja sedapat mungkin dibangun
berdasarkan bentuk-bentuk kemasyarakatan dan sosial yang ditemui sebelumnya oleh
zending di dalam kehidupan sesuatu bangsa. Jemaat yang telah bertumbuh itu bergabung
dengan sifat dan kebiasaan, tata cara, dan hukum milik bangsa itu, bahkan berakar di
dalamnya." Kebijakan menghormati adat terdapat pula dalam lingkungan zending
Belanda pada zaman itu (§ 39, 40), namun di situ tidak dijalankan dengan kesungguhan
yang sama besarnya seperti dalam zending Jerman. Tetapi dalam lingkungan RMG pun
sejak tahun 1920-an orang menyadari bahwa upaya untuk menyaring dan menampung
adat itu sebetulnya tidak begitu gampang, kalau tidak mau dikatakan mustahil. Sebab
pada hakikatnya seluruh adat diresapi "kekafiran". Di pihak lain, upaya menciptakan
hukum Kristen pun mustahil, sebab pada hakikatnya tidak ada "hukum Kristen". Hal ini
justru membedakan agama Kristen dengan agama Islam dan Yahudi, yang masing-
masing memiliki hukumnya Sementara itu, orang Batak sudah biasa dengan pembauran
agama Kristen dan adat (yang menyambung kesatuan antara agama dan adat dalam
agama mereka yang lama), sehingga pembauran itu tidak dapat ditiadakan lagi.
1.14 Ciri-ciri lain kebijakan Zending
Sesuai dengan pandangannya mengenai peranan masyarakat dan adat suku,
Nommensen bersama rekan-rekannya memperhatikan kehi dupan masyarakat dalam arti
yang luas. Dari semula mereka memberi bantuan pengobatan, mendirikan sekolah,
menebus budak, memperkenal kan cara bercocok tanam yang baru, meminjamkan uang
dengan bunga rendah. Upaya ini dilakukan tidak hanya agar orang yang bukan Kristen
tertarik olehnya pada Injil, tetapi juga supaya orang yang sudah menerima Injil dapat
hidup dalam suasana yang sesuai dengan Kabar Kesukaan itu. Di kemudian hari,
khususnya jasa-jasa di bidang kesehatan dan pendidikan ditingkatkan menjadi jaringan
yang luas. Pun dari semula, Nommensen meletakkan dasar bagi gereja-suku yang hendak
dibangun nya itu dengan menciptakan sarana-sarana yang akan memungkinkan kehadiran
gereja-suku itu. Jelaslah bahwa tidak mungkin kelak, apabila jumlah jemaat semakin
besar, tiap-tiap jemaat dilayani oleh seorang zendeling, sebagaimana Hutadame dilayani
oleh Nommensen. Maka Nommensen mengangkat orang Batak menjadi guru/penghantar
jemaat di samping "sintua" (penatua). Seminari Guru (yang telah didirikan tahun 1868 di
Parausorat, dekat Sipirok, lalu pada tahun 1879 dipindahkan ke Pansurnapitu di
Silindung, akhirnya tahun 1901 ke Sipoholon) mulai 1884 mengadakan pendidikan
lanjutan bagi sejumlah guru. Pada tahun 1885 tiga lulusannya yang pertama ditahbiskan
menjadi pendeta yang berwenang melayankan sakramen. Di luar lingkungan RMG,
wewenang itu baru tiga puluh tahun kemudian mulai diberikan kepada orang Indonesia (§
55). Tetapi jelaslah pula bahwa tidak mungkin RMG menanggung biaya ratusan
penghantar jemaat/ pendeta dan gedung-gedung gereja serta sekolah yang dibutuhkan
kelak. Dan yang lebih penting lagi: bagaimana orang Kristen Batak akan merasa bahwa
gereja itu adalah urusan mereka sendiri, kalau staf tenaga gereja itu ditanggung oleh
pihak luar? Maka dari semula jemaat-jemaat Kristen diwajibkan membiayai sendiri
gedung gereja dan lain-lain serta menanggung gaji tenaga pelayan. Bahkan selama masa
pendidikannya calon guru harus ditanggung oleh keluarganya. Di samping hal swa praja
dan swa-sembada, Nommensen memperhatikan pula hal swa-karya atau perluasan gereja
oleh anggotanya sendiri. Para penatua diutus berdua untuk membawa Injil ke kampung-
kampung yang masih beragama suku. Tantangan ini diemban sungguh-sungguh oleh
orang Kristen Batak: pada tahun 1899 mereka sendiri mendirikan Kumpulan Zending
Batak (Pardonganon Mission Batak, "Kongsi Batak") yang kemudian bernama "Zending
Batak". Di samping memperhatikan jemaat jemaat dalam perantauan, Zending Batak itu
menjalankan usaha pl yang dikaruniai hasil baik di Samosir, Enggano, Mentawai,
Sumatera Tengah (suku Sakai), bahkan di Malaysia. Ketua Zending Batak pada masa
pertama itu ialah Pendeta Henoch Lumbantobing, salah seorang utusannya yang paling
bersemangat ialah Pendeta Tyranus Hasibuan.
1.15 Menuju HKBP Yang Mandiri
Sampai tahun 1914, wibawa para zendeling RMG yang dikepalai olch tokoh
Nommensen itu tetap sangat besar. Tetapi peristiwa-peristiwa Perang Dunia I yang sangat
berdarah itu (di Jerman, 7% dari seluruh penduduk laki-laki tewas di medan perang, di
Perancis 6%) merusak citra orang kulit putih di mata orang Asia. Di pihak lain, masuknya
pen didikan Barat dan pembangunan jalan-jalan raya (1919 jalan poros Siantar-Tarutung-
Sibolga) membuka Tano Batak bagi pengaruh-penga ruh dari luar. Dengan wafatnya
"Ompu" Nommensen pada tahun 1918, angkatan zendeling yang menikmati wibawa yang
tak tergoncangkan telah pergi; para pengganti mereka adalah manusia biasa, yang
kebijakan nya layak diragukan atau bahkan ditentang. Proses itu diperhebat oleh
kesulitan-kesulitan yang dialami RMG di bidang daya dan dana akibat kekalahan Jerman.
Jumlah pekabar Injil berkurang, sedangkan jumlah jemaat dan orang Kristen bertambah
besar. Akibatnya, para zendeling menjadi tokoh administrator dan penilik yang tidak lagi
sempat berhu bungan dengan orang banyak. Sementara itu muncullah angkatan orang
Batak yang telah mendapat pendidikan modern dan yang dipengaruhi oleh gerakan
nasional yang telah bertumbuh di pulau Jawa. Pada tahun 1917, M.H. Manullang (yang
telah menentang kebijakan RMG di bidang pendidikan dengan jalan mengadakan aksi
mogok belajar di sekolahnya. pada tahun 1906) mendirikan Hatopan Christen Batak
(Himpunan Kristen Batak). Himpunan ini bertujuan merebut kedudukan yang lebih baik
bagi orang Batak di bidang sosial dan ekonomi. Pada tahun 1927 mereka, bersama
beberapa tokoh kelompok oposisi lain, langsung menyerang RMG dengan mendirikan
Huria Christen Batak (HChB), yang melarang orang asing memegang kedudukan
kepemimpinan. Di samping HChB berdiri pula beberapa kelompok lain yang tidak
berhubungan dengan zending Dengan demikian mulailah proses perpecahan di kalangan
orang Kristen Batak yang selama itu merupakan kesatuan di bawah naungan RMG,
proses itu berjalan terus sampai sekarang. Dalam dasawarsa-dasa warsa berikut HChB
bertumbuh menjadi gereja terbesar kedua dalam lingkungan suku Batak (1997: 350.000
jiwa). Pada tahun 1946 mayoritas besar jemaat-jemaatnya menerima nama baru, yakni
Huria Kristen Indonesia, yang di anggap sesuadengan perkembangan sesuai dengan
perkembangan zaman.
1.16 Kesimpulan
Usaha pekabaran Injil di Sumatera Utara mula-mula dirintangi oleh keadaan politik.
Pekabar-pekabar Injil pertama yang berhasil masuk terpaksa menetap di pinggir Tanah
Batak. Tetapi di bawah pimpinan Nommensen, karya pl menerobos ke jantung daerah-
daerah yang masih murni beragama suku. Dalam perjumpaan dengan sistem sosial
budaya orang Batak, Nommensen mengembangkan pendekatan menyeluruh yang
menghasilkan lembaga gereja-rakyat (gereja-suku). Namun, sejak 1927 kesatuan gereja-
suku itu terpecah. HKBP dan gereja-gereja asal RMG lainnya menunjukkan ciri-ciri khas
yang membedakannya dari sebagian besar gereja-gereja lain di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai