SEJARAH GEREJA DI INDONESIA (SGI) Judul Buku: “Sejarah Gereja di Indoensia Tahun 1500-1860an RAGI CARITA I” Penulis : Dr. Th. van den End Dosen : Fredrik Nathan Masela, M.Th
Oleh Nama : Irene Checillya Rodingan NIM : 19.0363 Tkt/Smstr : IV/VII
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI PROVIDENSIA ADONAY
BATU, NOVEMBER 2022 IDENTITAS BUKU Agama dan masyarakat Indonesia asli Sebelum agama Kristen mulai masuk ke Indonesia, agama di negeri ini sudah melalui sejarah yang panjang dan yang berbelit-belit. Agama Indonesia asli dibawa-serta oleh suku- suku yang pada zaman dahulu kala memasuki Indonesia. Sebutan “agama suku” tepat sekali. Sebab agama-agama itu memang masing-masing terikat kepada salah satu suku. Dalam lingkungan agama suku, orang tidak hanya menyembah dewa-dewa serta nenek moyang. Ia merasa segan juga terhadap oknum dan benda-benda dalam lingkungannya sendiri. Jika dibandingkan corak umum agama suku dengan agama Kristen sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci kita melihat beberapa perbedaan pokok: dalam agama suku tidak ada garis pemisah yang tajam antara pencipta dengan yang diciptakan. Pandangan agama suku dan agama Kristen tentang hubungan manusia dengan dewa/dengan Allah, berbeda dalam hal lain lagi. Agama-agama dari luar datang ke Indonesia Kepulauan Nusantara sejak permulaan tarikh Masehi menduduki tempat yang terkemuka dalam lalulintas perdagangan se-Asia. Saudagar-saudagar dari luar datang se Indonesia untuk berdagang, tetapi mereka juga membawa serta agama mereka masing- masing: Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Pada akhir abad ke-15, agama Islam telah diterima oleh kebanyakan penduduk pantai di Indonesia Barat dan berhasil mendirikan pangkalan penting di Indonesia Timur. Agama Kristen orang-orang Barat Orang-orang Barat yang datang ke Indonesia adalah orang-orang Kristen. Tetapi pola berpikir (ideology) mereka mengandung unsur-unsur yang mengingatkan kita kepada agama- agama suku. Unsur-unsur ini mempengaruhi bentuk injil yang dibawa ke Indoensia. Secara khusus, kita melihat bahwa semangat mengabarkan Injil sering – tetapi tidak selalu – jalin- menjalin dengan keinginan memperluas wilayah pengaruh bangsa sendiri. Orang-orang Barat datang ke Indonesia Dalam abad ke-16 sampai abad ke-18, orang-orang Barat berusaha membangun gereja di Indonesia dalam rangka pembangunan imperium perdagangan. Yang masuk lebih dahulu ialah orang-orang Katolik Roma, kemudian datang orang-orang Protestan. Tetapi metode- metode mereka tidak jauh berbeda: Gereja dan P.I-nya dikelola oleh negara jajahan, sehingga memakai cara-cara negara itu juga: penggunaan kekuasaan, sikap paternalistis, didahulukannya kepentingan-kepentingan politis dan ekonomis. Terdapat pula orang-orang yang mempunyai cita-cita lain dan yang memakai metode lain, tetapi mereka tidak berhasil mengubah pla yang lazim, ternyata dengan pola itu tidak mungkin membangun gereja yang hidup di Indoensia. Misi di Maluku sampai tahun-tahun 1540-an Pekerjaan Misi tetap dilakukan sebagai perluasan “Corpus Christianum” Portugis. Tidak kebetulan kalau seorang Gubernurlah yang paling memajukan perkara misi. Dan tidak mengherankan kalau pada saat tertentu orang-orang Portugis bersekutu dengan raja Ternate yang Islam melawan orang-orang Spanyol yang Kristen. Beberapa ribu orang dapat dibaptis, terutama di Halmahera Utara dan di Ambon. Tetapi keadaan Misi tidak menentu karena terlibat dalam persaingan antara raja-raja Maluku, karena jumlah imam sedikit dan semangat mereka tidak selalu cukup besar, dan karena orang-orang Portugis sendiri kurang memperlihatkan kehidupan Kristen yang baik. Prajurit-prajurit paus Kita telah melihat bahwa pada tahun-tahun 1540-an orang-orang Yesuit memilih Maluku sebagai salah satu wilayah kerja mereka. Mereka membawa semangat baru dan metode baru, yang mendobrak ideology-negara. Tetapi mereka harus tetap bekerja di dalam rangka lama. Dan mereka sendiri tidak bebas dari suatu ideology-gereja yang tidak segan memakai alat-alat negara demi melindungi dan memajukan Misi. Pekerjaan Fransiskus Xaverius di Maluku (1546-47) Fransiskus Xaverius lahir pada tahun 1506 dari keluarga bangsawan di Spanyol. Ia mempersiapkan diri untuk menjadi seorang Imam, tanpa merasa panggilan yang khusus. Xaverius bekerja dulu di Goa di tengah-tengah orang-orang Portugis dan Indo-Portugis yang kehidupannya bobrok. Xaverius menjadi perintis Misi gaya baru dan merupakan salah seorang tokoh yang paling menarik di antara para misionaris abad ke-16. Di Ternate, Fransiskus menyusun semacam katekismus, dalam bentuk suatu syair yang mengandung penjelasan tentang Pengakuan Iman Rasuli. Sewaktu di Ternate, Xaverius tidak hanya memperhatikan ornag yang sudah Kristen, tetapi ia juga bergaul dengan orang-orang Islam. Di Ambon, pada saat kedatangan Xaverius ada 7 kampung yang telah masuk Kristen. Fransiskus berusaha juga menyebarkan Injil kepada orang yang masih menganut agama nenek-moyang. Xaverius tidak dapat tinggal lebih lama di Ambon dan di Maluku. Ia merasakan diri sebagai seorang perintis, tidak mau menetap di suatu tempat. Agama Kristen di Maluku Utara (1547-akhir abad ke-18) Di Maluku Utara, keadaan politis sepanjang abad ke-16 begitu rumit sehingga orang- orang Yesuit tidak berhasil menciptakan suatu Gereja Kristen yang mantap. Dua kuasa imperialistis hidup di sana berhadap-hadapan, bergumul satu sama lain dan akhirnya saling merusakkan. Ketika kuasa Portugis dan Spanyol runtuh, Gereja juga mesti hilang karena tidak sanggup berdiri sendiri. Dengan kedatangan orang-orang Belanda keadaan politis menjadi lebih tenang, tetapi kekristenan di Maluku Utara tinggal reruntuhan saja. Gereja di Maluku Selatan selama masa Portugis (1538-1605) Dalam dasawarsa-dasawarsa pertama, gereja di Maluku selatan dapat berkembang dengan baik. Tetapi setelah itu, perang datang merusakkan harapan yang ada. Pada akhir zaman Portugis, keadaan kekristenan tidak menggembirakan, baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Jumlah orang-orang Kristen sudah lama tidak bertambah lagi; jemaat-jemaat kebanyakan tidak diurus; tidak ada usaha-usaha untuk mendidik pemimpin-pemimpin pribumi. Gereja di Maluku Selatan pada zaman VOC (1605-1800) Pada tahun 1605, angkatan laut VOC merebut benteng-benteng Portugis di Banda dan di Ambon. VOC adalah badan perdagangan, tujuannya sama dengan tujuan orang portugis yaitu memperoleh monopoli, hak tunggal untuk jual-beli rempah-rempah. Kebijaksanaan VOC membaw aakibat bagi penyiaran agama Kristen. Orang-orang Kristen di Ambon dan Lease mempunyai agama yang sama seperti orang-orang Portugis, musuh VOC. Patut diperhatikan bahwa dalam kekosongan orang Ambon tetap mau menjadi Kristen. Setelah 2 tahun, ketika Ambon dikunjungi lagi olehsuatu Armada VOC, orang-orang Kristen Ambon meminta juga agar sekolah dibuka kembali. Gereja di Sulawesi Utara dan Sangir-Talaud (1653-1800) Mula-mula perkembangan agama Kristen di Sulawesi utara memberi harapan baik. Tetapi bagi orang-orang Portugis-Spanyol maupun Belanda, daerah ini merupakan daerah- pinggir sehingga tidak mendapat perhatian yang secukupnya. Pekerjaan diganggu juga oleh perang dan oleh kematian banyak pekerja. Akibatnya, gereja di Minahasa dan di Sangir- Talaud selama masa itu tetap lemah. Pada akhir masa VOV ia malah menjadi sama sekali terlantar. Gereja di Nusatenggara Timur (1556-permulaan abad ke-19) Agama Kristen dibawa ke Nusatenggara Timur mulai tahun 1556, dengan perantaraan orang-orang Portugis dan orang-orang Belanda. Sama seperti di daerah-daerah lain, perluasannya terjalin dengan sejarah ekonomis dan politis daerah itu, dan cara orang memahami iman Kristen dipengaruhi unsur-unsur agama suku dan ideology-negara dari Barat. Pada akhir zaman ini, baik Gereja Katolik-Roma maupun Gereja Protestan mempunyai pangkalan di NTT. Tetapi perkembangan agama Kristen yang lebih luas dan lebih mendalam baru datang pada abad ke-19 dan ke-20.
Gereja di Indonesia Barat, khususnya di Batavia (Jakarta) (±1550 - ±1800)
Dalam abad ke-16 sampai ke-18, agama Kristen tidak berhasil disebarkan di Indonesia Barat seperti di Indonesia Timur. Selama masa itu, di Indonesia Barat hanya terdapat “jemaat-jemaat-benteng”. Yang utama di antara jemaat-jemaat itu ialah Batavia. Kota itu merupakan pusah pemerintahan dan dari sebab itu menjadi juga pusat gereja di Indonesia. Setelah tahun 1750, kehidupan gerejani di Batavia dan di jemaat-jemaat lain mulai merosot, akibat krisis yang dialami VOC. Menjadi Kristen Orang-orang Indonesia, yang oada zaman Misi dan VOC ingin masuk Kristen, sering berbuat demikian dengan didorong oleh alasan yang kurang sesuai dengan amanat Injil dan tanpa mengenal isi amanat itu dengan baik. persiapan yang mereka terima sebelum dibaptis adalah begitu singkat sehingga tidak ada kesempatan untuk betul-betul menjelaskan kepada mereka apa makna langkah yang mereka ambil. Hal ini berarti bahwa mereka, apabila masuk Kristen, kurang menyadari perbedaan antara kepercayaan serta tata hidup yang lama dan yang baru. Para pekabar Injil berusaha untuk mengatasi kekurangan itu dengan memberi katekisasi sesudah baptisan, tetapi usaha itu karena pelbagai sebab tidak memadai. Akibatnya jemaat-jemaat Kristen di Indonesia selama masa itu tetap lemah secara batiniah. Jemaat Kristen Dalam ibadah, orang-orang Indonesia yang merupakan 90% dari orang-orang Kristen di Indonesia dalam abad-abad ini, tidak mendengar atau memakai bahasa-ibu mereka sendiri. Dan ibadah itu berlangsung dalam bentuk-bentuk yang diimpor dari negeri Belanda. Alkitab pun bagi mereka hanya tersedia dalam bahasa Melayu, dan itupun baru setelah dua abad lamanya mereka menganut iman Kristen. Hampir semua orang Kristen Indonesia tidak pernah ikut merayakan sakramen Misa/Pertemuan. Tenaga yang menggembalakan dan melayani mereka adalah orang-orang asing, atau orang dari kalangan sendiri tetapi yang biasanya kurang memperoleh pendidikan. Disiplin gerejani tidak dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh terhadap penguasa-penguasa dan tidak kena-mengena dengan dosa-dosa mereka yang merusak masyarakat. Organisasi gereja tidak memberi kesempatan kepada jemaat untuk berdiri sendiri. Pengaruh pemerintah menyebabkan gereja diliputi suasana yang tidak cocok dengan hakekatnya sendiri. Pelayanan diakonat dilaksanakan dengan sungguh- sungguh, tetapi tidak mempunyai relevansi bagi sebagian besar orang-orang Kristen Indonesia. Dengan demikian, tidaklah mengherankan kalau mereka ini pada zaman yang sedang dibicarakan ini belumlah sanggup memberi kesaksian yang kuat ke luar. Anggota jemaat dan masyarakatnya Berita-berita mengenai pendatang-pendatang dari Eropa hampir selalu bernada suram. Mereka memeras orang-orang pribumi, mereka menipu pemerintahannya sendiri (korupsi), mereka tidak menghormati perkawinan dan mengganggu wanita-wanita pribumi. Harus diakui bahwa hasil usaha-usaha mengabarkan Injil dan menanamkan gereja di Indonesia selama waktu dua setengah abad (1522-1799) adalah mengecewakan. Perubahan-perubahan di Indonesia dan di Eropa Sekitar tahun 1800 mulailah suatu babak baru dalam sejarah gereja di Indonesia. Orang-orang Indonesia dan orang-orang Barat yang bertemu dalam babak ini sudah mengalami perubahan, dibandingkan dengan periode sebelumnya. Mayoritas orang-orang Indonesia pada abad ke-19 menganut Islam. Orang-orang Belanda sendiri sudah terpengaruh oleh aliran Pencerahan dan Pietisme. Rasa superioritas mereka terhadap orang-orang Indonesia pada masa ini lebih hebat lagi, tetapi dorongan untuk mengabarkan Injil ke antara mereka ini menjadi lebih kuat pula. Dalam menjalankan pekabaran Injil itu, mereka akan menggunakan metode yang berlainan daripada dalam abad-abad sebelumnya. Gereja Protestan di Indonesia Pada tahun 1814 Joseph Kam bersama dua rekannya tiba di Indonesia. Agar memahami struktur dan cara bekerja Gereja Protestan di Indonesia, perlu kita lebih dahulu meninjau kebijaksanaan pemerintah Hindia-Belanda dalam hal agama. Pada tahun 1807 pemerintah menyatakan bahwa untuk selanjutnya di daerah-daerah inggris, yang dari tahun 1811-1816 berkuasa di Indonesia, kebebasan tersebut diteguhkan dan diperluas. Pada permulaan abad ke-19, keadaan jemaat-jemaat Kristen tidak lagi tinggal beberapa orang saja. setelah orang- orang Inggris mengembalikan jajahannya di Indonesia kepada Nederland. Dan terus menerus berkembang ke arah yang positif. Lembaga-lembaga pekabaran Injil Sekitar tahun 1800, gerakan Pietisme dan Revival menghasilkan sejumlah lmebaga p.I. lembaga-lembaga ini tidak menghiraukan batas-batas gereja maupun nasional. Corak kerohanian mereka tak ubahnya adalah corak Pietisme, yang menekankan pertobatan perorangan dan yang bersikap kritis terhadap ilmu duniawi. Namun demikian, ternyata lembaga-lembaga itu peka terhadap rasa superioritas orang-orang barat terhadap bangsa- bangsa non-Barat. Orang-orang Indonesia yang hendak masuk Kristen sebaiknyalah sekaligus menerima peradaban Barat dan kekuasaan negara-negara Barat. Tetapi hubungan antara lembaga-lembaga p.I. dengan pemerintah colonial tidak pernah menjadi rukun seratus persen. Gereja Protestan di Maluku (1800-1864) Sekitar tahun 1800, hubungan gereja di Maluku dengan dunia luar terputus untuk sementara waktu. Di Maluku Tengah, kehidupan gerejani berlangsung terus di bawah pimpinan para guru, menurut corak yang berlaku sejak abad ke-17. Di wilayah-wilayah luar, jemaat-jemaat semakin lemah atau malah menghilang. Mulai tahun 1813, tenaga-tenaga baru membawa kekristenan gaya baru ke Maluku. Unsur baru ini lama-lama mulai mengerjakan pembaharuan dalam jemaat-jemaat. Pemerintah berusaha mengekangnya, tetapi pembaharuan itu berjalan terus. Gereja di Minahasa sampai penyerahannya kepada GPI (1800-1880) j Gereja di NTT sampai penyerahannya kepada GPI (1800-1860) Bersama Maluku dan Minahasa, kepulauan Timor merupakan daerah kegiatan NZG dalam kerjasama dengan pemerintah Hindia-Belanda (GPI). Tetapi pekerjaan di Timor berbeda sekali dengan yang di Minahasa, karena pada zendeling tidak berhasil memasuki dunia orang-orang Timor-asli yang beragama suku. Dan pekerjaan di jemaat-jemaat yang sudah berdiri sejak zaman VOC pun berjalan tersendat-sendat. Dalam kehidupan jemaat- jemaat itu, tradisi zaman VOC belum berhasil diganti dengan pola zending baru. Oleh karena itu NZG dalam tahun-tahun 1850-an menarik diri dari Timor dan lapangan ini kembali jadi daerah GPI semata-mata. Pekabaran Injil di Kalimantan Selatan sampai perang Hidayat (1836-1859) RMG mulai bekerja di Kalimantan pada tahun 1835. Para zendeling menetap di pedalaman yang masih beragama suku. Dengan susah payan dan dengan korban jiwa yang cukup besar, mereka berhasil membaptis beberapa ratus orang Dayak. Hasil itu mereka capai dengan menggunakan berbagai metode. Akan tetapi, perang Hidayat pada tahun 1859 merusak hasil pekerjaan mereka dan memaksa mereka memulai pekerjaannya kembali hampir dari titik permulaan. Jemaat-jemaat di Jawa sampai saat pimpinan diambil-alih oleh Zending (tahun-tahun 1830-an sampai 1860an) Kita telah melihat bahwa dalam abad ke-19 pekabaran Injil di Jawa dirintis oleh beberapa orang perorangan di kota-kota maupun di pedalaman. Lembaga-lembaga zending barulah mulai bekerja dengan sungguh setelah tahun 1860. Pekerjaan di kota-kota tidak banyak berhasil. Sebaliknya di pedalaman, terutama berkat usaha orang-orang Jawa sendiri, pada tahun 1860-an sudah terdapat banyak orang Kristen: ribuan di Jawa Timur dan Tengah, ratusan di Jawa Barat. Jemaat-jemaat Kristen ini pada umumnya mempunyai corak jawa yang nyata. Badan-badan zending, yang sejak tahun 1850 lama-kelamaan mulai bertindak sebagai wali jemaat-jemaat Kristen Jawa itu, berusaha untuk mengurangi unsur kejawen di dalamnya. Gereja Katolik-Roma sampai masuknya Serikat Yesus (1880-1859) Dalam abad ke -17 dan ke-18, secara resmi tidak ada Gereja Katolik-Roma di wilayah VOC. Dilihat dari sudut pandang Katolik yang tradisionol, maka tahun-tahun 1750- 1815 merupakan zaman kemunduran bagi Gereja Katolik-Roma. Semangat p.I berkurang dan Misi mendapat pukulan yang hebat ketika untuk sementara waktu (1773-1814) Serikat Yesus dibubarkan. Pada tahun 1795, Nederland direbut oleh tentara revolutioner dari Perancis. Tata negara yang telah berlaku selama abad ke-17 dan ke-18 ditiadakan. Pada tahun 1808 kedua imam itu tiba di Batavia. Satu orang tinggal disana, yang lain menetap di Semarang Tinjauan umum atas periode 1800-1860: A. Para zendeling Utusan-utusan zending yang pada ke-19 datang ke Indonesia, sedikit-banyak dipengaruhi oleh Pietisme. Hal ini menjadi nyata dalam berbagai segi usaha p.I. yang mereka jalankan. Dalam beberapa hal, mereka meneruskan kebijaksanaan gereja VOC sebelumnya; dalam hal-hal lain mereka benar-benar memulai suatu babak baru dalam sejarah Zending. Yang membuat kita bersikap Kritis terhadap metode mereka ialah terutama cirinya yang individualistis. Ciri ini menyatakan diri dalam pandangan mereka mengenai jemaat Kristen dan dalam pelayanan Firman dan sakramen oleh mereka. Tinjauan umum atas periode 1800-1860: B. Orang-orang Kristen Indonesia Dalam berapa hal, sikap para zendeling yang memandang remeh gereja dari zaman VOC itu, tidak dapat dibenarkan. Jemaat-jemaat hasil usaha mereka menghadapi persoalan-persoalan yang sama, akibat kekurangan-kekurangan yang sama dari pihak pemimpin-pemimpin mereka. Namun demikian, tercatat juga kemajuan. Untuk pertama kali terdapat jemaat-jemaat diluar wilayah yang secara langsung dikuasai pemerintah Hindia Belanda; baru sekarang juga terdapat jemaat-jemaat orang jawa. Untuk pertama kali terdapat tenaga pribumi diatas tingkat guru jemaat/sekolah. Dan terutama: sekarang lebih daripada dahulu , ragi Injil di masukkan ke dalam masyarakat Kristen dan di sana sini juga dalam masyarakat non-Kristen. Periode 1800-1860 ini merupakan babak permulaan suatu zaman baru, yakni babak Zending Baru mengikat pinggang dan mulai bekerja. Dalam babak berikutnya (±1860-1930), kegiatan zending akan berkembang terus, baik dari sudut jumlah tenaga maupun dari sudut metode kerjanya. PENUTUP