Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SEJARAH GEREJA DI MALUKU

Disusun

Oleh : Monica Dei

Kelas : D Teologi

Nirm : 2020196691
SEJARAH GEREJA DI MALUKU

Sekitar tahun 1800, keadaan gereja di Indonesia memprihatinkan. Jumlah anggota-


anggotanya selama dua abad hampir tidak bertambah. Pendeta-pendeta tinggal empat
orang saja (1810). Belum ada pendeta bangsa Indonesia berwenang penuh. Kebanyakan
orang Kristen selama sepuluh tahun lebih tidak dilayani oleh seorang pendeta dan tidak
mempunyai Kitab Suci dalam bahasa yang dapat dipahaminya. Kebanyakan Jemaat tidak
mempunyai majelis yang dapat memimpin mereka. Pada zaman itu agama Kristen hilang
dari beberapa daerah seperti Bolaang Mongondow, Maluku Tenggara dan lain-lainnya.
Tampaknya seakan-akan agama itu akan hilang dari seluruh Indonesia.

Satu abad kemudian gambarannya lain sama sekali. Di banyak daerah di Indonesia
pekabaran Injil sedang dilakukan dengan giat oleh ratusan orang, dan pertama kalinya
dalam sejarah, tenaga-tenaga Indonesia mulai dididik pula. Dimana mana diusahakan
terjamahan Alkitab dan terjamahan tulisan-tulisan lain ke dalam perbagai bahasa daerah.
Dalam adab ke-19 dan pada awal ke-20 diletakkanlah dasar gereja-gereja Indonesia yang
ada sekarang.

Sekitar tahun 1800, masih ada kelompok-kelompok orang Kristen di Timor, Maluku
Tengah, Sulawesi Utara dengan Kepulauan sangir-Talaud, dan di kota-kot besar di Jawa dan
Sumatera. Gereja Protestan Indonesia, di mana-mana jemaat terkumpul, dijadikan gereja-
gereja-negara. Hal ini berarti bahwa bukan saja seluruh biayanya ditanggung oleh Negara,
tetapi juga badan pengurusnya, pendeta-pendetanya, malah anggota-anggota majelis-
majelis jemaatnya diangkat oleh pemerintah. Jadi, pemerintah Hindia Belanda meneruskan
kebijakan VOC atas gereja.

Haruslah diakui bahwa pemerintah ini memelihara jemaat –jemaat GPI lebih baik
dari pada VOC yang dulu. Jumlah pendeta terus bertambah. Ketika ternyata jumlah mereka
hanya cukup unuk melayani jemaat-jemaat berkebangsaan Eropa yang berdiam di kota-
kota besar, diangkatlah orang-orang Eropa lain yang berpendidikan kurang tinggi, menjadi
pendeta pembantu. Mereka ini berada dibawah pengawasan para pendeta, dan pada
khususnya melayani jemaat-jemaat Indonesia. Dalam hal ini mereka dibantu oleh sejumlah
besar pendeta pribumi dan guru jemaat yang berkebangsaan Indonesia. Pendeta-pendeta
pribumi dan guru-guru jemaat pun digaji oleh pemerintah.

Dengan demikian antara gereja dengan Negara terciptalah hubungan yang sama
eratnya seperti pada zaman VOC. Tetapi kerugiannya sama juga. Sama seperti pada zaman
VOC, kegiatan gereja ke luar dilumpuhkan. Dan dalam melaksanakan tugasnya pelayan-
pelayan gereja itu bertindak sebagai pegawai-pegawai Negara.

Kehidupan gereja menderita kerugian:

1) Gereja tetap dikuasai oleh Negara sedemikian rupa, sehingga tidak


mungkin ia berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingan Negara
(misalnya mengabarkan Injil di daerah di mana hal itu bisa menimbulkan
kekacauan).
2) .Anggota-anggota jemaat tidak sempat belajar bahwa gereja merupakan
urusan mereka sendiri, bahwa mereka misalnya bertanggung jawab atas
jalannya kehidupan gerejawi dalam hal keuangan.
3) Semua pelayan gereja berstatus pejabat Negara. Dari sebab itu, mereka
tergoda untuk bekerja juga sebagai seorang pejabat, yang pada jam yang
ditentukan meninggalkan pekerjaannya, dan bukan sebagai seorang
gembala, yang tidak pernah selesai mengasuh domba-domba
kawanannya.
4) Pendeta-pendeta dipilih dan diangkat tidak dengan melihat pada
pengakuan imannya. Ada banyak di antara mereka yang termasuk aliran
liberal dalam gereja. Mereka ini terasa tertarik pada ilmu pengatahuan,
umpamanya menjadi ahli dalam pengatahuan tentang kehidupan suku-
suku Indonesia tetapi mereka tidak merasa terpanngil untuk
mengabarkan Injil kepada suku-suku tersebut.
5) Sesuai dengan suasana kepegwaian, pendeta-pendeta tergoda untuk
memandang pembantu-pembantunya sebagai bawahannya. Mereka ini
tentu saja mendapat gaji yang lebih rendah! Dan pendeta-pendeta
pribumi, yang merupakan pegawai yang lebih “bawahan” lagi, tidak diberi
kuasa untuk melayankan sakramen. 1

Tidaklah mengherankan jika selama abad ke-19 usaha-usaha Gereja Protestan


Indonesia di bidang pekabaran Injil kurang sekali. Dan pada saat itu Negara tidak campur
tangan lagi dalam soal-soal agama, melaikan bersikap “netral” . Jadi, Negara tidak mau
melaukan pekabaran Injil. Geraja terlalu terikat pada Negara, dan tidak cukup bersemangat
untuk melakukannya. Hal ini harus dilakukan oleh orang-orang Kristen pribadi. 2

Bukankah gereja-gereja resmi, di Indonesia maupun di Nederland, yang menjadi


pendorong usaha mengabarkan Injil di Indonesia, melainkan kalangan-kalangan orang
yang dijiwai oleh semangat Reviva/Pietisme. Kalangan itu mendirikan beberapa lembaga
pekabaran Injil, yang sejak tahun 1814 melaksanakan pekerjaan missioner di Indonesia.

Oleh karena pada tahun 1815 GPI kekurangan tenaga pendeta, maka gereja-gereja
itu mengadakan kerja sama dengan lembaga PI. Sehingga Joseph Kam menjadi zending
dari utusan NZG. Joseph Kam melihat bahwa hanya melalui pembenaan dibidang organisasi
gereja yang baik, akan mudah tercpta suatu gereja yang disiplin, tertata dengan baik dan
mempunyai struktur. 3

Jeseph Kam langsung terbenam dalam pekerjaan-pekerjaan. Dia satu-satunya


pendeta di seluruh Indonesia Timur, satu-satunya orang yang berhak melayangkan
sakramen-sakramen di jemaat-jemaat yang terbentang dari Kepulauan Sangir di Utara
hingga Pulau Wetar dan Kepulauan Tanimbar di Selatan. Sangir tidak dikunjungi lagi oleh
seorang pendeta sejak tahun 1789/; malahan, kota Ambon sendiri dibiarkan tanpa seorang
pendeta sejak tahun 1801 dan hanya dua kali sempat di kunjungi dari Makassar. Akibatnya
dalam waktu sepuluh bulan sesudah tiba di Ambon, Kam harus melayangkan babtisan
kepada 7.553 orang di jemaat-jemaat Pulau Ambon, Seram dan Lease saja. Pada hari
Paskah tahun 1815 Perjamuan Kudus dilayangkannya kembali untuk pertama kalinya sejak
13 tahun.

1
Thomas Wan Den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: Gunung Mulia, 2012). 247-251
2
Dr. Th. Van Den End, Ragi Carita 1 (Jakarta: Gunung Mulia, 2009). 145
3
Pd.t. Dr. M Tapilatu, “Sejarah Gereja Protestan Di Maluku,” Sururudin’s Weblog, last modified 2008,
sururudin.wordpress.com.03
Sama seperti di seluruh Indonesia, begitu juga di Maluku mutu kehidupan gerejawi
sangat merosot. Jasa Kam dalam memulihkan gereja di Maluku begitu besar, sehingga ia
diberi julukan “Rasul Maluku”.

Sakramen-sakramen sudah tidak dilayangkan lagi selama puluhan tahun.


Persediaan Kitab-kitab Suci dan tulisan-tulisan Kristen lainnya sering kali sudah lama habis
juga di beberapa jemaat, guru-guru pun tidak mempunyai Alkitab. Orang-orang
menawarkan puluhan ribu rupiah untk memperoleh sebuah PB. Dalam perjalannya
beberapa kali Kam terpaksa memotong-motong Alkitab yang dibawanya untuk dibagi-
bagikan di antara para guru. Hanya beberapa orang guru yang sanggup dan yang boleh
berkhotbah secara bebas; kebanyakan harus memakai khotbah yang sudah tercetak. Yang
ada hanya satu jilid saja, yang berisi 40 khotbah dan yang sudah dipergunakan selama 130
tahun. Guru-guru itu sendiri pun sering tidak memahami lagi bahasa khotbah-khotbah
tersebut.

Keadaan yang baik berlaku di Sangir, walaupun di situ ada sekolah-sekolah dimana
murid-murid terpaksa memakai kayu putih sebagai ganti kertas. Yang paling jelek
suasananya ialah di Maluku Tenggara; di beberapa pulau orang hanya ingat bahwa nenek
moyang mereka pernah menjadi orang Kristen. Di Seram masih ada orang-orang Kristen
yang tidak segan mengayau .

Pekerjaan Joseph Kam tidaklah ternilai artinya bagi gereja di Maluku, bahkan di
seluruh Indonesia Timur. Sudah jelas tidak mungkin dalam waktu 18 tahun
memperbaharui gereja secara keseluruhan. Terlebih pula karena dalam banyak hal ia
meneruskan kebijkan zaman VOC saja. Ia tidak segan-segan melayangkan babtisan secara
massal tanpa persiapan yang wajar, sehingga pemisahan sakramen mau tak mau harus
dipertahankan. Ia tak segan-segan bersandar pada kekuasaan dan keuangan penjajah
Belanda. Lagi pula pemerintah gereja berlangsung dari atas. Yang penting ialah bahwa ia
membawa kesungguhan dan kegairahan Piatisme kedalam gereja Maluku. Bentuk bentuk
lama diberi isi yang baru. Semangat yang baru ini di kemudian hari memungkinkan
kegiatan besar orang-orang Ambon dalam usaha pekabaran Injil di luar daerah mereka
sendiri. Oleh kunjungannya yang berulang-ulang banyak jemaat mulai berjalan dengan baik
lagi. Hanya dikepulauan selatan ia tidak berhasil. Pekabar-pekabar Injil yang
ditempatkannya di sana, tidak tahan karena kesepian dan kelaparan.

Pekerjaan Kam mempengaruhi juga sejarah gereja di luar Maluku. Dialah yang
pertama mengunjungi jemaat di Minahasa sesudah zaman Kompeni. Dia juga yang
mempersiapkan Hellendroon, Riedel dan Schwarz, orang-orang yang kemudian mendirikan
gereja di Minahasa, untuk tugas mereka disana. Di kemudian hari, Gereja Maluku yang
dibarui melalui pekerjaan Kam itu akan menghasilkan ratusan orang guru dan guru Injil
untuk pekabaran Injil di Sulawesi, Irian dan daerah-daerah lain.

Sembilan tahun sesudah Kam meninggal dunia, kerja sama antara Gereja Protestan
dengan Zending yang telah berhasil begitu baik itu dihentikan oleh pemerintah. Tetapi
hasil-hasil pekrjaan Kam dan kawan-kawannya sudah tidak dapat lagi ditiadakan. Sejak
tahun 1850 orang-orang Ambon ikut membawa Injil ke seluruh Indonesia Timur.

Lama –kelamaan Negara menyingkirkan Zending dari wilayah Maluku. Sejak tahun
1835, pendeta-pendeta kota Ambon adalah orang-orang GPI, bukan lagi utusan-utusan
NZG. Bagi pekabar-pekab ar Injil yang tersebar ke mana-mana itu, keadaan tersebut berarti
bahwa di pusat tidak ada lagi seorang pendeta yang sehati-sepikir dengan mereka dan yang
menolong mereka dalam segala hal. Mereka sudah lama berada dalam keadaan yang sulit
dan sekarang mereka tidak tahan lagi. Pada tahun 1841 pekabaran Injil di pulau-pulau
Selatan dihentikan. Pada tahun 1842 keadaan menjadi lebih para lagi, oleh sebab dua
keputusan pemerintah: bahwa sekolah-sekolah akan merupakan urusan Negara belaka,
dan bahwa Maluku Tengah ditutup untuk pekerjaan Zending. Alasan untuk kedua tindakan
ini ialah bahwa pembaruan kehidupan gereja pasti akan bentrok dengan adat yang lama.
Raja-raja dan orang-orang kaya (sesepuh), sebagai pemelihara-pemelihara adat,
mengadukan Zending ke pemerintah Belanda tentang perbuatan-perbuatan pekabar-
pekabar Injil yang merusak adat. Pemerintah memihak kepada wakil-wakil adat dan,
dengan persetujuan GPI, mengambil keputusan –keputusan seperti yang tersebut di atas.
Negara betul-betul menyatakan diri sebagai netral.

Namun pembaruan gereja di Maluku tidak mungkin macet seluruhnya. Semengat


Pietisme masih bekerja terus di dalamnya. Utusan-utusan Zending tetap bekerja disana
juga, walaupun telah menjadi tenaga GPI. Sebab pemerintah mengadakan perjanjian
dengan Zending, yaitu bahwa Zending akan tetap menyediakan dan mendidik sejumlah
orang untuk dipekerjakan dalam GPI. Mereka ini diberi pangkat “pendeta pembantu”,
karena bekerja dibawah pemimpin pendeta-pendeta GPI. Lagi pula jemaat-jemaat
Indonesia mulai diasuh dengan baik dari pada sebelumnya. Dulu jemaat-jemaat ini tidak
mempunyai pelayan-pelayan khusus selain dari pada guru-guru sekolah/jemaat . sekarang
dalam GPI diadakan “pangkat” yang ketiga, yaitu pangkat pendeta pribumi (“penolong”).
Mereka ini diberi tugas untuk melayani jemaat-jemaat Indonesia dalam suatu distrik.
Jemaat –jemaat itu masing-masing tetap dilayani oleh guru jemaatnya.

Walaupun “status” pendeta-pendeta pribumi itu tidak begitu tinggi (pada umumnya
mereka tidak melayankan sakramen-sakramen), namun dianggap perlu untuk mengadakan
lembaga pendidikan khusus bagi mereka. Bagi guru-guru jemaat ada sekolah Roskott di
Ambon (1835-1864), yang disusul oleh sekolah-sekolah lain yang serupa itu. Para penolong
mula-mula dididik oleh pendeta-pendeta pembantu yang menjadi “atasan”nya, tetapi
kemudian untuk mereka didirikan lembaga pendidikan khusus juga, yaitu STOVIL (di
Ambon 1885, di Tomohon 1886, di Kupang 1920). Beberapa puluh tahun kemudian
barulah mereka diberi wewenang penuh seorang pendeta. Jadi akhirnya, hampir empat
abad sesudah agama Kristen masuk ke Indonesia tersedialah pemimpin-pemimpin rohani
kebangsaan Indonesia, dan pendidikan yang khusus untuk mereka.

Pendeta-pendeta dan guru-guru ini makin banyak dibutuhkan, baik dalam GPI
maupun diluarnya. Sebab mulai dari akhir abad ke-19,suasana dalam GPI sudah mulai
berubah. Pekabaran Injil mulai diperhatikan lagi. Untuk wilayah Maluku/Irian hal itu
berarti bahwa GPI “membuka tanah” di kepulauan Barat daya dan Maluku Tengah tersedia
pergi ke sana, betapa sulitnya suasana bekerja disana. Mereka didukung oleh jemaat
asalnya, dimana seringkali terdapat “perhimpunan pekabaran Injil”. Tradisi jemaat-jemaat
itu mereka bawa ke mana-mana: istilah-istilah khas Ambon, orkes suling, tetapi juga
beberapa kesalah pahaman yang khas Ambon tentang penggunaan Alkitab dan sakramen-
sakramen. Seperti yang dikatakan oleh seorang alhli: “kebudayaan Ambon menunjukkan
tenaga ekspansi yang besar dan agama Ambon, bahasa Ambon dan seluruh gaya kehidupan
Ambon merembes meluas ke dunia kepulauan di Timur”. Orang Ambon tidak segan-segan
juga bekerja di bawah lembaga-lembaga Zending yang lain. Hanya di daerah Tanah
Toraja/Luwu (Sulsel ) saja, selama 25 tahun (1913-1940), ada 50 lebih guru jemaat dan
guru Injil asal Ambon (di samping 45 orang Minahasa dan 4 orang Sangir). Tanpa kesetiaan
mereka, usaha dan hasil pekabaran Injil di Indonesia Timur tidak mungkin.

Dalam abad ke-20 organisasi GPI diperbaharui. Hubungan antara gereja itu dengan
Negara dilepaskan (1935/1950). Lagi pula dibentuklah gereja-gereja tersendiri: GMIIM,
GPM dan GMIT. Pada tahun 1935 Gereja Protestan Maluku menjadi mandiri.

Melalui kegiatan pendeta-pendeta pembantu, pendeta-pembantu pribumi dan guru-


guru, GPI mau tak mau menjadi gereja yang aktif ke luar juga. Sesudah tahun 1900 malah
ada beberapa pendeta yang berminat pada pekabaran Injil, misalnya pendeta di kota
Makassar, yang mulai bekerja di Mamasa, Tana Toraja dan daerah Sulawesi Timur (1912).
Hal itu sebenaranya tidak sesuai dengan status pejabat-pejabat gereja itu yakni selaku
pegawai-pegawai suatu Negara yang netral. Untuk sementara pemerintah Kolonial
membiarkan mereka, sebab kegiatan mereka itu mencegah masuknya Islam di daerah-
daerah tersebut. Secepat mungkin daerah-daerah itu diserahkan kepada badan-badan
Zending.

Karena alasan yang sama, pemerintah menganggap lebih baik melepaskan saja
hubungan-hubungannya dengan GPI. GPI sendiri sebenarnya tidak mau, karena takut
dengan akibat-akibatnya perpisahan itu dibidang keuangan. Jemaat-jemaat tidak bisa
memberi sumbangan, kecuali untuk diakonia! Tetapi sesudah perundingan –perundingan
yang lama, pada tahun 1935 terwujudlah perpisahan antara gereja dan Negara. Hanya,
untuk sementara (selama tahun 1950), Negara masih menanggung anjaran belanja GPI.
Disamping itu diambillah keputusan untuk memberikan otonomi kepada wilayah-wilayah
GPI masing-masing. Begitulah, di samping GMIM dan GMIT, lahir Gereja Protestan Maluku
(1935). Anggota gereja-gereja ini, yang merantau ke kota-kota besar di Indonesia Barat,
sejak tahun 1948 dikumpulkan dalam GPIB, yang merupakan gereja anak yang keempat
dari GPI lama.

Dengan demikian gereja menjadi bebas mencari bentuk pemerintah yang lebih
sesuai dengan wujudnya sendiri dari pada pemerintahan dari atas seperti yang telah
dipraktikkan dalam GPI. GPM menetapkan bahwa pemerintah dari atas itu harus diganti
dengan system presbiteral-sinodal: jemaat-jemaat masing-masing akan memilih majelisnya;
majelis-majelis itu akan mengutus wakil-wakilnya ke rapat klasis, dan klasis lagi ke sinode.
Begitulah berkumpul sinode yang pertama, di mana ditanyakan bahwa GPM berdiri sendiri
(1935). Sekarang, jemaat tidak usah lagi menantikan keputusan-keputasan dan keuangan
dari atas, tetapi bisa belajar untuk bertanggung jawab sendiri. Dalam rangka pembaruan
organisatoris itu juga, setiap pemimpin jemaat harus diberi wewenang untuk melayangkan
sakramen-sakramen menurut asas presbiterial, yaitu bahwa semua pelayan Firman
mempunyai wewenang yang sama. Hanya, masih ada beberapa factor yang menyebabkan
bahwa corak hiearkis tetap terpengaruh juga. Karena perkembangan dan perekonomian
jemaat-jemaat di Wilayah Ambon-Lease berbeda besar dengan apa yang ada di luar
wilayah itu, maka diperlu kan adanya sentralisasi, antara lain dalam hal pengangkatan
dan pengagajian para pendeta, yang tidak bisa dijalankan sendiri oleh jemaat-jemaat di
luar wilayah itu. Selain itu, walaupun semua pemimpin jemaat mendapat hak untuk
melayangkan sakramen-sakramen, namun ada kecenderungan untuk membedakan
pendeta-pendeta menurut pendidikan yang telah diterimanya.4

Sesudah pencobaan berat yang dialami gereja dan rakyat di Maluku pada masa
perang dunia dan pemberontakan tahun 1950, maka 1960 Sinode mengeluarkan “pesan
tobat” oleh Pdt.Th.P. Pattiasina yang dimana pesan tobat ini hampir sama dengan
pengakuan iman, dan dalam hal ini juga mereka membahas bahwa diperlukan
permaharuan gereja yang hanya dapat berlaku oleh Firman Allah dan Roh Kudus.
Kemudian para calon Pendeta diharapakan memiliki pengetahuan umum yang
memungkinkan mereka mengenal dan memahami soal kemasyarakan dengan sudut
pandang Teologi. 5

Kesimpulan:

Gereja protestan di Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh VOC kemudian diganti
oleh pemerintah Hindia-Belanda dan pada saat pemerintahannya mereka menjadikan GPI
gereja negara sehingga dari biaya, pengurusnya, pendetanya, anggota majelisnya diangkat
4
Thomas Wan Den End, Harta Dalam Bejana. 251-260
5
SJ Dr. Th. Van Den End dan Dr.J.Wheitjens, Ragi Carita 2 (Jakarta: Gunung, 2009). 79
oleh pemerintah. Pemerintahan Hindia-Belanda diakui memelihara jemaat lebih baik dari
VOC, sehingga kekurangan pendeta dan mengangkat orang Eropa yang kurang
berpendidikan menjadi pendeta pembantu. Adapun dampak dari penguasaan Gereja
dijadikan milik negara yaitu, pelayan-pelayannya bertindak sebagai pegawai negara, gereja
tidak bisa berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingan negara dan gereja tidak
bisa bertanggungjawab sendiri dan beberapa pendeta dipilih tidak sesuai imannya.
Sehingga abad 18 pekabaran injil kurang sekali karena negara bersifat netral, tidak
memihak pada gereja atau agama manapun.

Pieteisme mendirikan beberapa Lembaga pekabaran injil, tahun 1814 melakukan


misionaris di Indonesia sehingga tahun 1815 GPI kekurangan pendeta dan mengadakan
Kerjasama dengan Lembaga PI yaitu NZG dan beberapa diangkat menjadi pendeta
pembantu GPI salah satunya Joseph Kam. Dia diangkat menjadi pendeta Ambon, seluruh
Indonesia Timur menjadi wilayah pekerjaannya dan bahkan menangani pekabaran Injil
diluar umat Kristen.

Setelah Kam meninngal, Negara menyingkirkan Zending dari Maluku, tahun 1835
pdt. Kota ambon bukan lagi NZG tetapi diganti oleh orang2 GPI, tahun 1841 pekabaran injil
dipulau selatan dihentikan. tahun 1842 keadaan lebih para karena pemerintah
mengadakan keputusan bahwa sekolah menjadi urausan Negara dan Maluku ditutup untuk
pekerjaan Zending. Namun, pembaruan di Maluku tidak mungkin macet seluruhnya
sending tetap bekerja disana. Lama kelamaan seiring berjalannya waktu mereka
mempunyai pdt. Pribumi atau penolong dan pada tahun 1868 mereka didirikan pendidikan
khusus yaitu Stofil hingga baru beberapa tahun mereka barulah diberi wewennag penuh
seorang pdt. Akhir adad 19 suasana dalam GPI sudah berubah. Pada abad 20 Hubungan
antara gereja dan negara dilepaskan dan dibentuklah gereja2 tersendiri yaitu, GMIM,
GPM,GMIT. Tahun 1935 GPM menjadi mandiri. Tahun 1935 GPM berdiri sendiri dan
membuat Sinode hingga pada tahun 1960 Sinode mengeluarkan pesan tobat oleh Pdt. Th.
Pattiasina dimana pesan tobat ininhampir sama dengan pengakuan iman.
Setelah Kam meninngal, NEGARA menyingkirkan Zending dari Maluku, tahun 1835 pdt. Kota ambon
bukan lagi NZG tetapi diganti oleh orang2 GPI, tahun 1841 pekabaran injil dipulau selatan dihentikan.
tahun 1842 keadaan lebih para karena pemerintah mengadakan keputusan bahwa sekolah menjadi
urausan Negara dan Maluku ditutup untuk pekerjaan Zending. Namun, pembaruan di Maluku tidak
mungkin macet seluruhnya sending tetap bekerja disana. Lama kelamaan seiring berjalannya waktu
mereka mempunyai pdt. Pribumi atau penolong dan pada tahun 1868 mereka didirikan pendidikan
khusus yaitu Stofil hingga baru beberapa tahun mereka barulah diberi wewennag penuh seorang pdt.
Akhir adad 19 suasana dalam GPI sudah berubah. Pada abad 20 Hubungan antara gereja dan negara
dilepaskan dan dibentuklah gereja2 tersendiri yaitu, GMIM, GPM,GMIT. Tahun 1935 GPM menjadi
mandiri. Tahun 1935 GPM berdiri sendiri dan membuat Sinode hingga pada tahun 1960 Sinode
mengeluarkan pesan tobat oleh Pdt. Th. Pattiasina dimana pesan tobat ininhampir sama dengan
pengakuan iman.

Anda mungkin juga menyukai