Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH GEREJA DI INDONESIA

“Gereja di Indonesia pada Masa Hindia Belanda 1800-1942”

Oleh Kelompok I:
1. Asni M. Seubelan (21210006)
2. Charly Elimanafe (21210117)
3. Gresmelan T. Anin (21210096)
4. Lita A. Letik (21210011)
5. Meilanny A.Tauho (21210001)
6. Naema Benu (21210108)
7. Oang K. Oematan (21210082)
8. Videl L. Selan (21210061)

PROGRAM STUDI TEOLOGI AGAMA KRISTEN


FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA
KUPANG 2023

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setalah bubarnya pemerintahan VOC pada tahun 1977 maka kemudian Pada abad ke-
19 yakni sejak 1 Januari 1800 pemerintah Kolonial Hindia-Belanda mengambil alih
kekuasaan dari tangan VOC. Kekuasaan pemeriantah Kolonial Hindia-Belanda, di
sebut sebagai “abad pekebaran Injil”.1 2
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda ini,
menganut azas netralitas dalam hal agama (salah satu dampak dari Revolusi Prancis)
sesuia dengan semangat penecerahan yang muncul dan berkembang di Eropa sejak
Abad ke-18. Pada tahun 1807 pemerintah menyatakan bahwa untuk seterusnya di
daerah-daerah jajahan akan berlaku kebebasan beragama.3 Oleh orang-orang Inggeris,
yang dari tahun 1811-1816 berkuasa di Indonesia, kebebasan tersebut diteguhkan dan
diperluas. Untuk seterusnya negara akan bersikap netral di bidang agama. Tidak akan
ada lagi gereja-negara, bahkan negara tidak akan memihak kepada agama Kristen lagi.
pada tahun 1815 di bawah pimpinan Wiliem I maka di bentuk satu gereja protestan,
yaitu GPI yang mencakup seluruh jemaat asuhan atau peninggalan dari VOC, di
4
dalamnya termasuk, jemaat-jemaat Luteran dan jemaat (prostestan).
Transisi yang terjadi di Eropa menciptakan suatu gerakan Pietisme/Revival yang
menghadirkan lembaga-lembaga Injil bisa hadir di Indonesia juga mendorong orang-
orang Pribumi untuk turut ikut di dalamnya. Maka kegiatan-kegiatan kekristenan dan
usaha-usaha Pekabaran Injil di Indonesia dilakukan oleh dua organisasi, yakni Gereja
Protestan di Indonesia (GPI) dan lembaga-lembaga Pl. GPI merupakan organisasi yang
mengorganisir seluruh gereja yang ditinggalkan oleh VOC dan merupakan wadah
kesatuan yang mencakup orang-orang kristen Eropa dan sebagian besar orang kristen
Indonesia. Lembaga-lembaga Pl yaitu, kemudian melakukan kegiatan-kegiatan zending
atau pekabaran Injil di daerah-daerah yang mendapat izin dari pemerintah Belanda dan
juga "meminjamkan" tenaga kepada GPI.5

1
Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana Sejarah Gereja Ringkas (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2019). 247
2
Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018).
Halaman 15
3
Dr. Th. Van Den End, Ragi Cerita 1 , Sejarah Gerja Di Indonesia Tahun 1500-1860-An (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2019). Halaman 145
4
Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja. Halaman 16
5
End, Ragi Cerita 1 , Sejarah Gerja Di Indonesia Tahun 1500-1860-An. Halaman 144

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Gereja di Indonesia pada Masa Hindia Belanda I (masa transisi):
1800-1811.
2. Bagaimana Geraja di Indonesia pada Masa Inggris: 1811-1815

1.3 Tujuan Penulisan


1. untuk mengetahui Gereja di Indonesia pada Masa Hindia Belanda I (masa
transisi): 1800-1811.
2. Untuk mengetahui Gereja di Indonesia pada Masa Inggris: 1811-1815.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Gereja di Indonesia pada Masa Hindia-Belanda I (masa transisi): 1800-1811.


2.1.1 Keadaan Gereja dan Perubahannya pada Masa Hindia-Belanda
Keadaan gereja sekitar tahun 1800 di Indonesia sangat memprihatinkan. Jumlah
anggota-anggotanya selama dua abad hampir tidak ada pendeta. Hanya empat
orang pendeta saja pada tahun 1810. Belum ada pendeta bangsa Indonesia yang
berwewenang penuh. Hampir sepuluh tahun lebih orang kristen tidak dilayani oleh
seorang pendeta dan tidak mempunyai Kitab Suci dalam bahasa yang bisa mereka
pahami. Mereka juga tidak mempunyai majelis yang dapat memimpin mereka.
Agama kristen juga pada masa itu hilang dari beberapa daerah seperti Bolaang
Mongondow, Maluku Tenggara dan lain-lainya. Hampir agama itu hilang dari
seluruh Indonesia.6 Pendeta hanya tinggal beberapa orang saja daerah-daerah di
luar pusat tidak dikunjungi lagi. Yang pernah di layani 17 orang pendeta di Batavia,
sekarang tinggal satu. Jumlah anggota jemaat mulai mundur. Hanya di Maluku
agama Kristen mempunyai akar-akar yang kuat, tetapi jemaat Ambon tidak
mempunyai seorang pendeta sendiri selama kurang lebih 13 tahun. Berhubung
dengan keadaan perang serta kesulitan-kesulitan yang dialaminya sendiri, gereja di
Belanda tidak sanggup memberi bantuan berupa uang atau tenaga. Pemerintah tetap
membiayai jemaat-jemaat di Indonesia, tetapi secara resmi sudah tidak ada lagi
ikatan antara gereja dan negara.7
Keadaan jemaat-jemaat Kristen Protestan dari tahun ke tahun tidak menentu.
Pemerintah Belanda berusaha mengatasi keadaan ini, barulah setelah Inggris
mengembalikan Indonesia yang sudah sempat dijajah beberapa tahun dari tahun
1811-1816 yang akan di bahas dalam poin berikutnya. Raja Belanda yang baru pada
waktu itu yakni Wiliem 1, berusaha menggabungkan seluruh jemaat Protestan yang
ada di Indonesia menjadi satu badan, yakni Gereja Protestan di Indonesia.8 Dan
gereja ini langsung ditempatkan di bawah asuhan pemerintahan kolonial Belanda.
Untuk mengatur penyelenggaraan gereja ini, maka ditetapkanlah aturan-aturan dari
gereja tersebut.

6
End, Harta Dalam Bejana Sejarah Gereja Ringkas. Halaman 147
7
End, Ragi Cerita 1 , Sejarah Gerja Di Indonesia Tahun 1500-1860-An. Halaman 145
8
Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja. Halaman 15-16

4
Isi dari aturan-aturan dari gereja itu secara garis besarnya adalah sebagai
berikut: pertama, Yang menjadi anggota GPI adalah semua jemaat dan orang-orang
Kristen Protestan. Kedua, GPI dipimpin oleh sebuah Dewan Pengurus yang
diangkat oleh Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia (Jakarta). Ketua
Dewan Pengurus ini harus seorang yang menjabat pangkat tinggi dalam
pemerintahan atau negara. (baru pada abad 20 ketua dari dewan pengurus itu
ditetapkan dari kalangan pendeta). Anggota dari Dewan Pengurus ini ialah pendeta-
pendeta jemaat Protestan yang ada di Batavia dan tiga orang anggota jemaat yang
terkemuka. Ketiga, Jemaat setempat dipimpin oleh sebuah Majelis Jemaat yang
dipilih oleh Jemaat setempat itu sendiri, tetapi pengangkatannya harus disetujui
oleh pemerintah setempat. Keempat, Hubungan dengan gereja di negeri Belanda
akan berlangsung melalui sekelompok pendeta yang ada di sana, yang bertugas
untuk menguji dan meneguhkan pendeta-pendeta dan pekerja-pekerja gereja yang
lain yang akan diutus ke daerah-daerah jajahan. Kelima, Para pendeta yang
melayani di gereja itu adalah yang diangkat dan ditempatkan oleh Gubernur
Jenderal setelah ada usul dari Pengurus Pusat. Tugas-tugas gereja antara lain ialah.
Memelihara kepentingan agama Kristen pada umumnya dan kepentingan Gereja
Protestan khususnya, Menambah pengetahuan keagamaan dan memajukan
kesusilaan Kristen, dan Menegakkan ketertiban serta kerukunan dan memupuk
cinta kepada pemerintah dan tanah air.9 10

Peraturan gereja ini membuka ruang sebesar-besarnya bagi campur tangan


pemerintah Hindia Belanda, mulai dari rekrutmen atau pengangkatan pendeta yang
hendak diutus ke Nusantara yang dijajahnya, sampai penetapan pimpinan oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada pemerintahan Hindia-Belanda Gereja
Protestan di Indonesia hanya di urus oleh Belanda dan orang-orang Indonesia di
abaikan begitu saja. Sehingga orang-orang yang telah menyusun peraturan itu
seakan-akan tidak mengetahui bahwa gereja itu terdapat orang Indonesia bahkan
mayoritas anggotanya adalah orang-orang Indonesia. Dalam pengurus GPI
terdapat pangkat-pangkat yang bersifat hirarki: yaitu Pendeta merupakan orang
Belanda yang secara langsung ditetapkan oleh gubernul jenderal, pendeta
pembantu merupakan pendeta yang diutus oleh lembaga pekebaran Injil yang

9
End, Harta Dalam Bejana Sejarah Gereja Ringkas. Halaman 250
10
End, Ragi Cerita 1 , Sejarah Gerja Di Indonesia Tahun 1500-1860-An. Halaman 146

5
dipekerjakan sebagai pembantu dalam Gereja Protestan di Indonesia, Pendeta
Pribumi yaitu pendeta yang diangkat dari orang Indonesia namun tidak boleh
malayankan Sakramen kecuali ia bertindak sebagai pendeta pembantu, dan yang
terakhir guru-guru jum’at tidak boleh menyelenggarakan ucapara (memberkati
nikah atau meneguhkan anggota sidi yang baru pun tidak), walaupun mereka yang
melayani jemaat setempat.11
Setelah keruntuhan VOC dan setelah seluruh kekuasaannya di Indonesia
diserahkan kepada pemerintah Belanda (termasuk kekuasaan atas gereja)
pemerintah menata ulang organisasi gereja di Indonesia. Dengan demikian antara
gereja dengan negara terciptalah hubungan yang sama eratnya seperti pada zaman
VOC. Tetapi kerugiannya sama juga. Sama seperti pada zaman VOC, kegiatan
gereja keluar dilumpuhkan. Dan dalam melaksanakan tugasnya pelayan-pelayan
gereja itu bertindak sebagai pegawai-pegawai negara. kehidupan gereja menderita
kerugian, karena: (a) gereja tetap dikuasai negara sedemikian rupa, hingga tidak
mungkin ia berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingan negara
(misalnya mengabarkan Injil di daerah di mana hal itu bisa menimbulkan
kekacauan); (b) anggota-anggota jemaat tidak sempat belajar bahwa gereja
merupakan urusan mereka sendiri, bahwa mereka misalnya bertanggung jawab atas
jalannya kehidupan gerejawi dalam hal keuangan; (c) semua pelayan gereja
berstatus pejabat negara. pemerintah tidak mau memihak lagi kepada gereja atau
agama mana pun. Jadi, negara tidak mau melakukan pekabaran Injil. Gereja selalu
terikat pada negara, dan tidak cukup bersemangat untuk melakukannya. Hal itu
harus dilakukan oleh orang-orang Kristen pribadi12

2.1.2. Kebijakan Pemerintah Pada Masa Hindia-Belanda


Pada tahun 1800 perubahan pengakuan pemerintah Portugis dan VOC sebagai
pemerintah Kristen dan mendukung satu gereia. Namun, setelah revolusi yang
teriadi di beberana negara-Eropa. Di Belanda revolusi terjadi pada tahun 1795.
Tahun 1799, VOC bubar. pemerintah Belanda yang baru itu menguasai daerah-
daerah jajahan secara langsung. Maka dalam Pemerintah azas-azas Pencerahan
digunakan di Eropa yang bersifat Netral. Pemerintah Kerajaan Belanda tidak lagi

11
Dr. Th. van Den End and S.J. Dr. J. Weitjens, Ragi Cerita 2 Sejarah Geraja Di Indonesia 1860-an-
Sekarang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019). Halaman 48-49
12
End, Harta Dalam Bejana Sejarah Gereja Ringkas. Halaman 250-251

6
memihak kepada orang Kristen, sehingga gereja tidak lagi diurus oleh negara
secara langsung, melainkan melalui lembaga Indische Kerk (sekarang bernama
Gereja Protestan di Indonesia atau GPI). Gereja Protestan di Indonesia atau GPI
mengayomi seluruh jemaat yang pernah diurus oleh VOC. Jadi bukan saja seluruh
biayanya yang ditanggung oleh negera, tetapi juga badan pengurusnya, pendeta-
pendetanya bahkan anggota-anggota majelis-majelis jemaatnya di angkat dan di
atur oleh pemerintah. Hal ini diatur dalam peraturan gereja tersebut.13
Kebijakan dari pemerintah itu mengakibat GPI diberi struktur yang tidak
sesuai dengan hakekat gereja. Karena menurut hakekatnya, gereja harus dipimpin
oleh mereka yang memegang jabatan, sebagai wakil-wakil Kepala Gereja, yaitu
Kristus. Dalam memberi pimpinan, pedoman mereka ialah Firman Tuhan. Tetapi
dalam GPI pada abad yang lalu, pimpinan gereja berada di tangan tokoh-tokoh
pemerintah, yang mewakili kepala negara Belanda, dan yang memakai pedoman
yaitu kepentingan-kepentingan negara Belanda di Indonesia. Namun gereja pada
masa ini tidak mempunyai suatu rumusan Pengakuan Iman sebagai jati diri dan
yang menunjukan aliran yang di anut oleh gereja.

2.2 Geraja di Indonesia pada Masa Inggris: 1811-1815


Pada abad ke-18, minat baru terhadap sending yag timbul di Inggris, juga sampai ke
belanda. Karena itu, pada tahun 1797 didirikan lembaga penginjilan Nederlands
Zendeling - Genootschap (N.Z.G.) di Rotterdam. Selama Belanda berada dalam
kekuasaan Perancis (1795-1813), Indonesia dikuasai sementara oleh Inggris di bawah
kepemimpinan Gubernur Jenderal Raffles (1811-1816). Pada masa itu, N. Z. G. sempat
memulai pekerjaan sending di Indonesia. Setelah Indonesia kembali dalam kekuasaan
kerajaan Belanda, NZG terus mengusahakan pemeliharaan jemaat-jemaat kristen di
Maluku, Timor dan tempat-tempat lain di Indonesia Timur.14
Merosotnya kekuasaan VOC berbanding lurus dengan penderitaan gereja terutama
di daerah-daerah pinggir. Jumlah pendeta di Indonesia berkurang dengan cepat. Di
antara tahun 1803-1815 tidak ada pendeta satu pun di wilayah Maluku. Hanya ada satu
orang pendeta yang bertahan di Saparua sampai tahun 1801. Selama beberapa tahun
tidak ada pelayanan sakramen maupun khotbah kecuali yang sudah dicetak atau disalin

13
End, Ragi Cerita 1 , Sejarah Gerja Di Indonesia Tahun 1500-1860-An. Halaman 145
14
Dr. H. Berkhof and Dr. I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009). Halaman
310

7
oleh pendeta. Kehidupan gereja pada waktu itu dijalankan oleh para guru sekolah. Sejak
dahulu, kekristenan di Ambon terutama dipelihara oleh guru-guru oleh karena
keterbatasan jumlah pendeta. Bahan-bahan pengajaran yang digunakan berasal dari
salinan yang dibuat oleh para pendeta. Orang-orang kristen di luar kota Ambon sudah
biasa dengan pelayanan sakramen yang jarang sekali terjadi. Mereka bertemu muka
dengan seorang pendeta paling banyak satu kali setahun bahkan sering juga kurang dari
itu. Jadi tidak banyak perubahan yang mereka rasakan dengan kepergian pendeta
terakhir.
Pemerintah Inggris menyadari bahwa cara berpikir orang-orang kristen di Ambon
masih dipengaruhi oleh pola pikir agama suku. Karena itu, Pemerintah Inggris
mendatangkan seorang pendeta dari India, Jabez Carey, pada tahun 1813. Ia
merupakan anak dari tokoh sending yang terkenal yaitu William Carey. Ia disuruh
ayahnya meninjau kembali buku-buku sekolah dan kitab katekismus, menyerang
baptisan anak-anak, dan membentuk "gereja-gereja injili", yang terdiri dari orang-orang
yang betul-betul takut akan Allah. Tetapi Carey belum berhasil mewujudkan cita-cita
ini, ketika orang-orang Belanda kembali memegang kekuasaan di Maluku (1817), dan
mengusir dia (1818). Selama Belanda berada dalam kekuasaan Perancis (1795-1813),
Indonesia dikuasai sementara oleh Inggris di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal
Raffles (1811-1816).15
Seperti telah disebutkan di atas, abad ke-19 adalah abad pekabaran injil, sehingga
pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia, terdapat usaha-usaha pekabaran Injil.
Namun bukanlah gereja-gereja resmi di Indonesia maupun di Nederland, yang menjadi
pendorong usaha tersebut, melainkan lembaga pekabaran Injil yang dipelopori
16
kalangan revival/petiesme. Salah satunya yakni Nederlands Zendeling -
Genootschap (N.Z.G.) yang didirikan pada tahun 1797 di Rotterdam. N. Z. G. sempat
memulai pekerjaan sending di Indonesia pada masa pemerintahan Inggris. Kemudian
setelah Indonesia kembali dalam kekuasaan kerajaan Belanda, N.Z.G.terus
mengusahakan pemeliharaan jemaat-jemaat kristen di Maluku, Timor dan tempat-
17
tempat lain di Indonesia Timur.
Merosotnya kekuasaan VOC berbanding lurus dengan penderitaan gereja terutama
di daerah-daerah pinggir. Jumlah pendeta di Indonesia berkurang dengan cepat. Di

15
Ibid.
16
End, Harta Dalam Bejana Sejarah Gereja Ringkas. Halaman 251
17
Berkhof and Enklaar, Sejarah Gereja.

8
antara tahun 1803-1815 tidak ada pendeta satu pun di wilayah Maluku. Hanya ada satu
orang pendeta yang bertahan di Saparua sampai tahun 1801. Selama beberapa tahun
tidak ada pelayanan sakramen maupun khotbah kecuali yang sudah dicetak atau disalin
oleh pendeta. Kehidupan gereja pada waktu itu dijalankan oleh para guru sekolah. Sejak
dahulu, kekristenan di Ambon terutama dipelihara oleh guru-guru oleh karena
keterbatasan jumlah pendeta. Bahan-bahan pengajaran yang digunakan berasal dari
salinan yang dibuat oleh para pendeta. Orang-orang kristen di luar kota Ambon sudah
biasa dengan pelayanan sakramen yang jarang sekali terjadi. Mereka bertemu muka
dengan seorang pendeta paling banyak satu kali setahun bahkan sering juga kurang dari
itu. Jadi tidak banyak perubahan yang mereka rasakan dengan kepergian pendeta
terakhir.
Pemerintah Inggris menyadari bahwa cara berpikir orang-orang kristen di Ambon
masih dipengaruhi oleh pola pikir agama suku. Karena itu, Pemerintah Inggris
mendatangkan seorang pendeta dari India, Jabez Carey, pada tahun 1813. Ia
merupakan anak dari tokoh sending yang terkenal yaitu William Carey. Ia disuruh
ayahnya meninjau kembali buku-buku sekolah dan kitab katekismus, menyerang
baptisan anak-anak, dan membentuk "gereja-gereja injili", yang terdiri dari orang-orang
yang betul-betul takut akan Allah. Tetapi Carey belum berhasil mewujudkan cita-cita
ini, ketika orang-orang Belanda kembali memegang kekuasaan di Maluku (1817), dan
mengusir dia (1818).
Sebelum Jabez diusir, pada tahun 1815, GPI mengadakan kerja sama dengan
lembaga PI, yaitu NZG untuk mengangkat pendeta atau pendeta-pembantu GPI. Salah
seorang di antara mereka ialah Joseph Kam (1769-1833). Kam diangkat menjadi
pendeta kota Ambon, dan seluruh Indonesia Timur menjadi wilayah pekerjaannya. Di
samping itu, ia tidak hanya memelihara jemaat-jemaat yang sudah ada dari zaman VOC,
tetapi menangani juga pekabaran Injil dalam lingkungan orang bukan Kristen. Pada saat
Kam tiba di Ambon, ia langsung disambut dengan pelayanan-pelayanan gereja. Dia
satu-satunya pendeta di seluruh Indonesia Timur, satu-satunya orang yang berhak
melayankan sakramen-sakramen di jemaat-jemaat yang terbentang dari Kepulauan
Sangir di Utara hingga Pulau Wetar dan Kepulauan Tanimbar di Selatan. Sangir tidak
dikunjungi lagi oleh seorang pendeta sejak tahun 1789; malahan, kota Ambon sendiri
dibiarkan tanpa seorang pendeta sejak tahun 1801 dan hanya dua kali sempat
dikunjungi dari Makassar. Akibatnya dalam waktu sepuluh bulan sesudah tiba di
Ambon, Kam harus melayankan baptisan kepada 7.553 orang di jemaat-jemaat Pulau

9
Ambon, Seram dan Lease saja. Pada hari Paskah tahun 1815, Perjamuan Kudus
dilayankan- nya kembali untuk pertama kalinya sejak 13 tahun.
Secepat mungkin Kam juga mengunjungi jemaat-jemaat yang letaknya lebih jauh
dari pusat. Dari Agustus 1817 sampai Februari 1818 ia melakukan perjalanan ke
Ternate, Minahasa dan Sangirasa Kam dalam memulihkan gereja di Maluku begitu
besar, sehingga ia diberi julukan "Rasul Maluku". Pekerjaan Joseph Kam tidaklah
ternilai artinya bagi gereja di Maluku, bahkan di seluruh Indonesia Timur. Pekerjaannya
juga mempengaruji sejarah gereja di luar Maluku. Dialah yang pertama mengunjungi
jemaat di Minahasa sesudah zaman VOC. Dia juga yang mempersiapkan Hellen-doorn,
Riedel dan Schwarz, orang-orang yang kemudian mendirikan gereja di Minahasa, untuk
tugas mereka di sana. Di kemudian hari, Gereja Maluku yang dibarui melalui pekerjaan
Kam itu akan menghasilkan ratusan orang guru dan guru Injil untuk pekabaran Injil di
Sulawesi, Irian dan daerah-daerah lain. Sembilan tahun sesudah Kam meninggal dunia,
kerja sama antara Gereja Protestan dengan Zending yang telah berhasil begitu baik itu
dihentikan oleh pemerintah. Tetapi hasil-hasil pekerjaan Kam dan kawan-kawannya
sudah tidak dapat lagi ditiadakan. Sejak tahun 1850 orang-orang Ambon ikut membawa
Injil ke seluruh Indonesia Timur.

10
BAB III
KESIMPULAN

Dua aliran utama di Eropa, yaitu Pencerahan dan Pietisme/ Revival. Hasil-hasil
pencerahan ialah kebebasan manusia yang menjurus kepada ilmu pengetahuan.
Dari sinilah, dalam abad ke-19, bangsa Eropa memungkinkan perluasan kekuasan
melalui laut. Namun dengan Pietisme yang menginginkan supaya orang yang
menamakan diri Kristen benar-benar menghayati imannya. Melalui Pietisme,
lembaga-lembaga Pekabar Injil hadir di Indonesia, yaitu Gereja Protestan di
Indonesia dan Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG). GPI meneruskan
keadaan yang berlaku pada zaman VOC. Gereja Prostestan di Indonesia (GPI) di
peralat oleh negeri. Gereja juga tidak mempunyai tata gereja dan pengakuan iman
sebagai sebagaimana selayaknya gereja miliki. Ketika Kerajaan Inggris
mengalahkan Kerajaan Belanda, maka pelayanan gereja terhadap orang-orang
Kristen di Nusantara ini terabaikan. Akibatnya, banyak orang Kristen yang telah
dibaptis beralih kembali ke agama suku mereka atau memeluk agama lain.
Misalnya, pelayanan jemaat-jemaat Kristen yang terbengkalai di Bolaang
Mongondow (Sulawesi Utara), Maluku Tenggara dan lain-lain.

11
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2018.
Berkhof, Dr. H., and Dr. I. H. Enklaar. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009.
End, Dr. Th. Van Den. Ragi Cerita 1 , Sejarah Gerja Di Indonesia Tahun 1500-1860-
An. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019.
End, Dr. Th. van Den, and S.J. Dr. J. Weitjens. Ragi Cerita 2 Sejarah Geraja Di
Indonesia 1860-an-Sekarang. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019.
End, Thomas Van Den. Harta Dalam Bejana Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2019.

12

Anda mungkin juga menyukai