BAB III
GEREJA PADA ZAMAN BELANDA
Masa demi masa telah kita bicarakan bersama dalam modul-modul sebelumnya.
Kepada kita sudah diinformasikan tentang masa awal, kemudian gereja di bawah
kekuasaan Portugis. Sekarang ini kita berpindah pada Periode Gereja ketika Belanda
lewat Maskapai dagangnya yang terkenal VOC, berkuasa di bumi Nusantara. Dalam
modul yang cukup panjang ini akan mengetengahkan kepada kita tentang penderitaan
gereja pada masa-masa ketika VOC sungguh berkuasa dan tidak memberikan ruang gerak
sedikitpun kepada Gereja Katolik untuk tumbuh berkembang, kemudian kita mempelajari
bagaimana umat beriman Katolik baik yang ada di negeri Belanda sendiri maupun di
Indonesia berjuang demi kebebasan beragama. Kemudian dengan gembira hati kita
menyaksikan bagaimana gereja bangkit kembali dari puing-puing kehancuran akibat
kekerasan VOC, dan lebih gembira lagi kita merenungkan perkembangan pesat gereja
baik dalam hal jumlah maupun pelayanan dan akhirnya kita bersama kita menelusuri
peranan pendidikan dan peranan imam serta biarawan-biarawati dalam mengembangkan
gereja Indonesia.
3.1 MASA VOC-MASA GELAP (ABAD 17 DAN 18) DAN MASA PERJUANGAN
DEMI KEBEBASAN BERAGAMA
Permulaan abad ke-19 membawa perubahan besar untuk gereja di Indonesia. VOC
dibubarkan dan pemerintah Hindia-Belanda akhirnya mengakui kebebasan beragama
(1800). Gubernur H. W. Daendels (1808-1811) menerima instruksi (yang dikeluarkan
oleh Raja Louis pada tanggal 9 Februari 1807) agar beliau mengusahakan supaya semua
golongan bebas untuk mengamalkan agama dan dapat menjalankan ibadat dengan teratur.
Undang-undang yang baru itu dikeluarkan sebagai akibat perubahan yang
disebabkan oleh Revolusi Perancis (1789). Keadaaan baru itu menimbulkan harapan besar
akan perbaikan hasil umat Katolik. Dua abad penuh penganiayaan dan larangan yang baru
lalu itu sangat merugikan perkembangan gereja. Namun benih-benih yang telah ditanam
dalam abad ke 17 tidak mati seluruhnya.
Pembangunan kembali memang sulit dan berjalan pelan karena banyak halangan:
terutama kurangnya tenaga imam. Sampai pertengahan abad ke 19 hampir tak pernah
lebih dari tujuh imam yang tersedia untuk seluruh wilayah Indonesia. Ya, kadang-kadang
hanya dua, bahkan satu orang imam saja yang tercatat sempat bekerja. Selain itu,
“kebebasan beragama” yang baru itu belum berarti kebebasan penuh. Ketergantungan
pada pemerintah sangat kuat. Memang, pemerintah menggaji beberapa imam: tetapi justru
karena itu pemerintah menganggap dirinya berwenang untuk mengangkat, memindahkan
dan menghentikan para imam, seakan-akan mereka pegawai pemerintah belaka. Keadaaan
seperti ini tidak sehat dan mau tidak mau akan menimbulkan konflik. Dan memang
demikian terjadi. Marilah kita ikuti perkembangan penting itu langkah demi langkah.
Pada tanggal 4 April 1808 dua imam praja tiba di Jakarta dengan ijin pemerintah
untuk bekerja di antara orang-orang Katolik. Pastor Nelissen dan Pastor Prizen
selama beberapa hari bertamu di rumah seorang ahli bedah yang menyediakan rumahnya
sebagian untuk menjadi pastoran dan gereja. Pada hari Minggu 10 April untuk pertama
kalinya dirayakan Misa Kudus secara bebas dan tanpa rasa takut akan hukuman. Umat
Katolik bergembira. Pada bulan Mei sebuah tangsi bekas dapat diubah menjadi gereja
darurat dan pemerintah juga menyediakan gedung, pastoran yang letaknya tidak jauh dari
gereja (dekat lapangan Banteng). Gereja darurat tersebut diganti dengan sebuah kapel di
Gang Kenanga Utara, daerah Senen. Kapel itu dulu digunakan umat Protestan: gedung itu
cukup besar untuk 200 orang dan digunakan selama 20 tahun.
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.5
Pada akhir tahun 1808 itu Pastor Prizen membuka paroki di Semarang, dua tahun
kemudian menyusul Surabaya. Untuk masing-masing kota, dengan daerah luas hanya satu
imam saja. Dapat dibayangkan betapa sibuk mereka itu: mengajar agama, mengunjungi
orang-orang Katolik yang tinggal ratusan kilometer jauhnya dari gereja,
mempermandikan anak-anak, mengesahkan perkawinan, membuka rumah yatim piatu
(yang pertama 1817 di Semarang), mencari uang untuk mendirikan gereja-gereja. Ketika
pada tahun 1821 wabah kolera berjangkit, para imam dengan berani memelihara para
orang sakit sehingga mereka mendapatkan tanda-tanda jasa. Tapi karena wabah ini
seorang imam bernama Wedding menjadi sangat lemah, sehingga meninggal pada tahun
berikutnya. Pastor ini giat dalam serikat pembebasan budak belian, mengatur arsip negara
dan bekerja sama dengan ahli-ahli Protestan untuk menerjemahkan Kitab Suci ke dalam
bahasa Jawa.
Jumlah imam-imam yang kecil itu belum sempat untuk menyebarkan agama
Katolik. Memelihara dan menyegarkan iman umat yang ada sudah sangat susah.
Antara umat itu banyak yang acuh-acuh, tidak mengenal ajaran agamanya, malas ke Misa
pada hari Minggu, melaksanakan perkawinan yang tidak sah dan anak-anak
dipermandikan sangat lambat. Banyak orang yang hanya Katolik Statistik. Maka tugas
terutama para imam itu membina umat yang tak terpelihara sejak zaman VOC.
Kesulitan-kesulitan tersebut diperbesar oleh pendirian pemerintah Hindia-Belanda
yang hendak mengawasi setiap tindakan gereja. Pada tahun 1830 kebebasan beragama
dan beribadat dijamin oleh pemerintah “asal pelaksanaannya tidak
mengancam
ketenangan dan ketertiban umum”. Anak kalimat ini dapat ditafsirkan seenaknya
saja.
Konflik pertama terjadi antara pastor J. H. Scholten yang menjabat Prefek
Apostolik dan Pejabat Gubernur I. C. Baud. Pastor Scholten tidak setuju- dan
memang menurut hukum gereja tidak boleh membiarkan bahwa orang-orang Katolik
menjadi anggota organisasi Freemasonry
(free=bebas dan mason= tukang-tukang-tukang bangunan, sehingga secara
etimologis
berarti tukang-tukang bangunan yang bebas. Meski dari arti nama merujuk pada
tukang- tukang bangunan yang bebas, tetapi freemasonry bukanlah gerekan para tukang
bangunan. Gerakan ini adalah sebuah organisasi persaudaraan internasional yang
bertujuan untuk menghapus semua agama dan sistem keluarga, di samping tujuan-tujuan
politisnya. Disebut sebagai Freemason karena dalam perkembangan awalnya, gerekan
ini menyusup bahkan menguasai Serikat tukang batu di Skotlandia. Pada zaman VOC,
gerakan ini cukup kuat bahkan dikabarkan salah satu pemegang saham besar dalam
maskapai dagang VOC adalah pengikut gerakan Freemasonry)
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.6
dan melakukan perkawinan campur tanpa memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
hukum gereja. Pastor Scholten mau digugat Gubernur di pengadilan dan dibuang dari
wilayah Hindia-Belanda karena ia bersikap “kurang bekerjasama”. Akibat kejadian
tersebut banyak pegawai bersikap menentang kegiatan merasul para imam.
Untuk mencari keputusan damai, maka Pastor Scholten berangkat ke Roma dan
Belanda. Hasil pembicaraan adalah persepakatan antara Paus dan Raja Belanda,
bahwa daerah Indonesia dilepaskan dari Gereja Belanda dan mendapat kepala tersendiri
yang berpangkat Vikaris Apostolik dan ditahbiskan menjadi uskup. Sebagai Vikaris
Apostolik yang pertama dipilih J. Grooff yang mendarat di Jakarta pada tanggal 19 April
1845.
Bersama dengan Mgr. Grooff datang tiga imam baru yang mulai bekerja di
Jakarta, Semarang dan Surabaya meskipun belum diangkat secara tertulis menjadi
pegawai. Tapi pemerintah sudah menyetujuinya secara lisan. Tiga pastor lain yang sudah
lama di Jawa bertingkah laku kurang baik: mereka mengemukakan ajaran kurang
Katolik, lebih mementingkan mencari uang daripada jiwa. Maka uskup baru terpaksa
menjatuhkan suspensi dan menyuruh pastor-pastor baru supaya mengambil ahli tugas
mereka untuk sementara.
Kebijaksanaan Uskup ini ditentang keras oleh gubernur yang menekankan lagi
bahwa hanya pemerintah saja yang berhak mengangkat dan membebastugskan
para imam. Uskup berpegang teguh pada prinsip bahwa hanya uskuplah yang memiliki
wewenang itu dan sama sekali bukan gubernur. Oleh karena pendiriannya itu Mgr. Groff
dicap anti-kolonial, suka merampas hak pemerintah kolonial dengan menentukan tugas
para imam dan akhirnya bermaksud “membebaskan gereja samasekali dari kontrol
pemerintah”. Memang uskup menentang “hak” pemeritah untuk mencampuri urusan
intern gereja. Situasi menjadi semakin panas.
Pada bulan Januari 1846 Mgr. Grooff dilarang melaksanakan tugasnya sebagai
uskup dan diperintahkan meninggalkan Hindia-Belanda bersama dengan empat
imamnya setia itu dalam waktu 2 minggu. Uskup menyelesaikan semua urusan, tetapi
tidak menarik kembali suspensasi terhadap tiga pastor yang tingkah-lakunya kurang baik,
meskipun pemerintah menugaskan mereka untuk bekerja terus. Akibatnya, di seluruh
pulau Jawa tak ada seorang imam pun lagi yang bekerja dengan sah. Hanya di Padang,
Pastor Staal masih sempat bekerja satu tahun sebelum ia dibunuh oleh pelayannya. Jadi
pada tahun 1847 seluruh Indonesia kosong sama sekali dari imam.
Perjuangan Mgr. Grooff tidaklah sia-sia. Pada tahun 1847 tercapai kesepakatan
antara Paus dan Pemerintah Belanda yang pada pokoknya berisi: para imam
diangkat oleh uskup, yang sebelumnya dirundingkan dahulu dengan gubernur,
apakah orang yang
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.7
bersangkutan itu berbahaya untuk “ketenangan dan ketertiban” (rust en orde) setempat
atau tidak. Kalau gubernur menganggap orang itu baik maka mendapat gaji dari
pemerintah. Lalu hanya uskuplah yang mengontrol keuangan gereja. Sejak waktu itu
gereja Katolik di Indonesia terpisah dan bebas dari pemerintah secara administratif.
Gereja berdaulat untuk mengatur organisasi dan kebijaksanaannya menurut kehendaknya
sendiri. Hanya beberapa usaha diberikan subsidi oleh pemerintah. Atas kebebasan yang
kokoh itu berlangsunglah perkembangan selanjutnya.
Pada tahun 1830 seorang dokter Tionghoa atas inisiatif sendiri mulai mengajar
agama di antara kuli-kuli Tionghoa di Pulau Bangka. Seorang imam mengunjungi mereka
dan mempermandikan banyak orang. Umat ini berkembang baik sehingga seorang imam
yang telah belajar bahasa mereka menetap di pulau Bangka (1853) dan meluaskan
karyanya ke pulau Belitung, Riau dan kota Palembang. Akhirnya Deli dan Pontianak
dikunjungi juga dari Bangka (Sungaiselan). Inilah “Paroki” pertama yang berhasil
menyebarkan agama Katolik di antara kaum bukan Kristen dalam abad 19.
Waktu seorang imam pergi ke pulau Flores (1853), ia bertemu dengan kurang
lebih 3000 orang Katolik di daerah Larantuka yang hanya sekali dalam enam tahun
dikunjungi oleh seorang imam Portugis dari Dili-Timor.
Makin lama makin jelas bahwa gereja tak dapat berkembang baik, kalau tenaga-
tenaga rohaniwan tetap kecil; belum sampai 10 orang. Maka Mgr. Vrancken berangkat ke
Roma dan ke negeri Belanda untuk mencari sumber tenaga baru dan tetap. Maksud ini
berhasil baik dan sangat mempercepat perkembangan gereja. Pada tahun 1856 datang
tujuh suster Ursulin (OSU) dan mendirikan biara yang tertua di Indonesia: susteran St.
Ursula di Jalan Nusantara, Jakarta. Empat tahun kemudian mendarat dua pater Jesuit
untuk mengambil alih paroki Surabaya (yang pada tahun 1923 diserahkan kepada para
imam Lasaris).
Para pelayan dari golongan rohaniwan itu diperbesar dengan kedatangan empat
bruder pertama (1862) yaitu dari Konggregasi St. Aloysius (van Oudenbosch). Mereka
membuka sekolah untuk anak-anak laki-laki di Surabaya sama seperti suster Ursulin
untuk anak-anak perempuan. Kelak bersama dengan ratusan bruder dn suster dari
konggregasi lain, mereka semua membangun sistem sekolah dan rumah sakit Katolik
yang bermutu tinggi (qualified) dan merupakan sumbangan amat berharga untuk
perkembangan bangsa dan gereja.
Dengan kedatangan para pelayan tersebut telah diletakkan dasar yang kokoh kuat
untuk perambatan gereja Katolik yang pesat. Pada waktu Konsili Vatikan I ( 1870)
berakhir, gereja Katolik di Indonesia sudah siap memulai babak baru: meluas ke seluruh
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.8
kepulauan Nusantara. Pada waktu itu yang bekerja hanya 15 imam (di antaranya 10
Jesuit), telah dibangun 9 gereja, 4 sekolah susteran serta 1 sekolah bruderan.
Izin kebebasan beragama memberi peluang yang sangat besar bagi perluasan dan
perkembangan gereja Katolik di Indonesia. Perjuangan untuk mendapatkan hak yang
berhasil dengan baik ini membuat dasar-dasar yang sehat dan kuat demi perkembangan
gereja di masa yang akan datang boleh diletakkan. Bertambahnya tenaga para misionaris
mampu membawa Wahyu Ilahi kepada daerah, pulau dan suku yang belum mengenal
Almasih dan Kabar Gembira mengenai cinta kasih Allah Bapa. Dalam menjalankan usaha
penginjilan itu dapat dibedakan dua tahap:
Rangkuman
Sejarah panjang kekatolikan telah lama diawali di Indonesia. Para misionaris telah
memulai untuk menyebarkan Injil mulai dari Sabang sampai Merauke. Semangat
para misionaris itu, telah mendorong keinginan umat Katolik untuk mengembangkan diri
di Tanah Air, Indonesia. Dengan keanekaragaman suku bangsa para pemeluk agama
Katolik telah memberikan keunikan tersendiri untuk menghayati iman dalam coraknya
masing- masing.
Sejarah itu semua telah memberikan tempat bagi umat Kristiani untuk berkembang
dalam membangun diri dan masyarakat di mana umat Katolik tinggal. Berbagai tempat
telah menjadi sarana untuk pembangunan diri itu. Dan tempat sentral seperti Ibu Kota
Jakarta telah menjadi pusat dan ruang untuk memberikan sumbangan bagi pembangunan.
3. PERKEMBANGAN PESAT
Sesudah gereja Katolik memperoleh kekuasaan bergerak, mengadakan konsolidasi
dan menyusun organisasi sendiri, perkembangan berjalan semakin secepat usaha manusia,
kerelaan untuk mendengar kabar gembira diberkati Allah dengan anugerah yang
berlimpah-limpah dan bimbingan penyelenggaraanNya.
1. Flores-Pulau Katolik
Daerah yang diambil alih tarekat Serikat Sabda Allah (SVD) pada tahun 1912-
1914 meliputi pulau Flores, Solor, Adonara, Lomblen dan daerah Belu di pualu Timor.
Daerah-daerah lain khususnya Bali, Lombok dan Sumbawa-atas dasar “pasal 123”
merupakan wilayah terlarang sampai tahun tiga puluhan abad ini.
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.16
Sampai akhir perang dunia I tenaga dan fasilitas serikat tersebut masih kurang
sehingga beberapa imam Jesuit meneruskan kerasulan di pulau Flores (sampai 1920).
Baru sesudah itu permintaan umat yang setiap tahun bertambah di banyak tempat dapat
dipenuhi yaitu dengan menempatkan seorang imam tetap di tengah-tengah mereka. 29
misionaris Jerman yang terpaksa meninggalkan Afrika akibat perang dunia I mulai
bekerja di Nusa Tenggara. Pusat misi dipindahkan dari Larantuka ke Ende, Flores Tengah
supaya daerah tengah dan barat dapat dikerjakan dengan lebih baik. Stasi demi stasi
dibuka khususnya bila mana sebuah sekolah sudah merintis jalan.
Atas dasar pendidikan yang luas itu pada tahun 1926 dibuka Seminari Menengah
si Sikka yang disusul oleh Seminari Tinggi Santu Paulus pada tahun 1937. Dua uskup
“Sunda Kecil”yang pertama menemui ajalnya secara menyedihkan: uskup pertama Mgr.
Noyen meninggal di biara Steyl (Belanda) akibat demam dan lelahnya pada hari yang
ditetapkan untuk tahbisannya (1824). Penggantinya Mgr. Vestraelen dengan mobilnya
jatuh ke jurang ketika ia mau mengunjungi Seminari Todabelu (1932).
Bahwa penduduk pulau-pulau Nusa Tenggara siap dan rela menerima sabda ilahi-
asal mereka bebas tampak dengan jelas dari kemajuan yang tercapai pada perayaan pesta
perak misi SVD pada tahun 1938: umat berlipat ganda 10 kali dari 30.000 jumlah
imamnya naik dari 5 menjadi 107. Perkembangan ini sungguh luar biasa. Pada bulan
Agustus 1929 dibuka sebuah paroki di pulau Sumba, setelah pemerintah menghalanginya
puluhan tahun. Gereja sudah begitu berakar dalam hati rakyat sehingga kesukaran waktu
pendudukan Jepang tak dapat menggoyahkannya.
Pada tahun 1904, Romo Van Lith menerima tamu, utusan penduduk Kalibawang.
Para tamu memohon agar Romo sudi member pelajaran agama di desa-desa mereka.
Romo sanggup, lalu diantar dari desa ke desa. Dari keramahan Romo Van Lith, dari
kesediaannya menerima jamuan dengan lahap dan dari tutur sapanya, dia segera
memperoleh simpati dari penduduk, 168 diantaranya dipermandikan, setelah cukup
menerima pelajaran agama.
Untuk menyambut peristiwa besar itu dipilihlah suatu tempat keramat. Di daerah
itu terdapat “Sumber Suci”, tempat orang Jawa bersemedi. Di sanalah mereka dibawa dan
dipermandikan (15-12-1904). Dengan demikian dua hal sekaligus terpenuhi: menyucikan
168 orang dan menguduskan tempat keramat tersebut. Kelak tempat itu dipersembahkan
kepada Santa Perawan Maria dan menjaga tempat ziarah.
Sejak tahun 1904 dibuka beberapa sekolah Pendidikan Guru. Maksud Romo van
Lith adalah untuk membina guru yang sungguh-sungguh beragama Katolik dan mampu
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.18
mengajar dengan baik di sekolah negeri, supaya mereka di tengah lingkungan bukan
Katolik bergerak sebagai perintis Injil. Tujuan pendidikan itu: manusia yang
berkepribadian Katolik, bersemangat merasul dengan memberikan teladan hidup yang
baik dan memiliki pengetahuan yang bermutu. Sekolah-sekolah di Muntilan berhasil
mendidik rasul-rasul awam yang tahan uji dalam menghadapi masalah yang sulit.
Pada tahun 1911 sesudah lebih dari 10 tahun berusah keras-di seluruh Jawa
Tengah baru terdapat 1130 orang Katolik, 650 dari antara mereka tinggal di Muntilan.
Pada tahun itu juga empat siswa lulus ujian tamat sekolah guru. Dua di antara mereka itu
meminta supaya boleh menjadi imam. Mereka mendapat pelajaran bahasa Latin secara
diam-diam, sesudah selesai mengajar di sekolah karena biasanya generasi Katolik yang
kedua baru diizinkan menjadi imam. Baru dalam tahun 1913 dibuka seminari menengah
secara resmi. Dari 6 siswa yang yang masuk antara tahun 1911-1914 dua meninggal dan
tiga menjadi imam yaitu Romo F. Satiman (1926), A. Djajaspoetra serta A.
Prawirapratama (1928). Pada tahun 1914 dua di antara mereka itu berangkat ke Eropa
untuk melanjutkan studi. Tahun berikutnya mereka masuk ke novisiat Serikat Jesus. Suatu
hasil yang betul-betul cepat.
Sebelum Romo van Lith meninggalkan Muntilan (1921) sudah banyak inisiatif
yang lahir di kota itu: tahun 1914 didirikan “Katolika Wandawa”, sebuah perhimpunan
sosial, empat tahun kemudian terbit mingguan “Swara tama” dalam bahasa Jawa. Pada
tahun yang sama itu didirikan kongregasi Maria untuk siswa-siswa dan juga Yayasan
Kanisius untuk mengurus ratusan sekolah. Pada tahun 1915 dari Muntilan
diselenggarakan pewartaan injil ke Jogyakarta yang sampai pada waktu itu hanya
mempunyai kurang dari 100 orang Katolik Jawa. Tiga tahun kemudia dibuka gereja
tersendiri untuk orang-orang yang berbahasa Jawa.
Seperti Muntilan berperan penting bagi kaum pria, demikian pula Mendut dengan
sekolah-sekolah dan asrama besar untuk kaum puteri Jawa. Di desa dekat candi
Borubudur itu Suster-suster Fransiskan (sejak tahun 1908) telah mendidik banyak ibu
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.19
guru yang meneruskan keyakinan mereka pada anak-anak murid dan anak-anak mereka
sendiri. Sayang, semuanya ditutup pada tahun 1943 akibat penjajahan Jepang.
Di kota Padang terdapat golongan Tionghoa yang sudah lama (sejak 1830)
bergaul dengan penduduk asli. Mereka datang sebagai bujangan dan sering mengambil
isteri khususnya dari suku Nias. Mereka memegang teguh adat Tionghoa tetapi berbahasa
Melayu-Padang. Usaha niaga, pertukangan serta pertanian mereka maju. Melihat
kemajuan pedagang-pedagang Belanda yang lebih pesat lagi, mereka cepat memahami
bahwa pendidikan modernlah yang sangat menguntungkan. Akan tetapi pada waktu misi
di Padang hanya menyelenggarakan sekolah-sekolah untuk anak-anak Belanda dan Indo.
Baru pada tahun 1917 suster Alfred dari Kongregasi Suster-suster Belaskasihan mulai
membuka sebuah sekolah bagi anak-anak puteri bukan Belanda secara sangat sederhana-
tanpa uang, tanpa alat-alat sekolah, tanpa buku (yang terpaksa ditulis dengan tangan). Dua
tahun kemudian seorang ayah Tionghoa mau memasukan puterinya ke sekolah itu. Suster
Alfred terpaksa menolak karena sekolah tidak berjalan dengan baik itu baru ditutup lagi.
Ayah itu pergi ke tempat muder, kemudian menghadap uskup. Terdorong rasa
belaskasihan, akhirnya uskup mengijinkannya. Peristiwa sederhana itu menjadi titik awal
perkembangan yang dahsyat: para orang tua Tionghoa berbondong-bondong bersama
puteri-puteri mereka mendatangi sekolah kecil itu. Mereka sendiri membawa bangku-
bangku sekolah yang ditempatkan dalam gang-gang. Satu setengah tahun kemudian
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.20
sekolah itu sudah mempunyai lebih dari 100 murid. Dalam tahun pelajaran yang baru 100
murid lagi mendaftarkan diri. Sekolah puteri inilah yang menjadi pangkal tolak bagi Mgr.
Mathias Brans untuk membangun masyarakat Tionghoa yang beragama Katolik.
Bapa uskup sangat mendesak suster-suster untuk menutup sekolah Eropa yang
“netral”, karena tidak berarti bagi misi. Sebaliknya beliau mendesak untuk membuka
sekolah bagi anak-anak Tionghoa. Karena sukses besar dari sekolah suster Alfred, maka
pada tahun 1922 suster membuka sekolah untuk anak-anak Tionghoa dengan bahasa
pengantar Belanda (HCS). Tahun 1927 sekolah itu mendapat subsidi, lalu dibagi dua dan
diperlengkapi dengan MULO (yang dapat disamakan dengan SLTP zaman sekarang ).
Untuk anak laki-laki “Tarekat Frater Santa Perawan Maria Bunda Yang
Berbelaskasihan” membuka dua HCS (1923 dan 1925) dan MULO (1925). Seperti
halnnya dengan daerah-daerah lain, anak-anak yang mau belajar terus, terpaksa pindah ke
Canisius College di Jakarta. Tahun 1924 sudah terdapat lebih dari 1000 murid di sekolah-
sekolah Katolik Padang, dan sepuluh tahun sesudahnya sudah mencapai angka 2000.
Karena para frater memberikan pendidikan sedemikian baik, maka sekolah-sekolah
pemerintah semakin kosong. Apalagi banyak anak pribumi diterima dalam sekolah Eropa
dan Tionghoa, pada hal itu dilarang pemerintah pada waktu itu. Maka dilancarkan
kampanye pers yang gencar untuk melawan sekolah-sekolah Katolik. Ijin untuk
mendirikan HIS ditolak oleh pemerintah kolonial, baik di Padang paupun di Bukittinggi
(1928). Maka frater-frater membuka HIS di Medan (1927) untuk anak-anak Batak,
meskipun tanpa subsidi.
Seperti telah dibicarakan di atas, gereja katolik di daerah suku Batak baru
diijinkan pemerintah kolonial pada tahun 1934. Persis 100 tahun sebelumnya dua pewarta
Injil Kebangsaan Amerika yang masuk tanah suku-suku Batak dibunuh orang kafir lalu
dimakan habis (pada batu peringatan yang didirikan tahun 1909 di Lobu Pining kata
‘aufgefress” (dimakan) dihapus karena dianggap menjelekkan nama leluhur). Maka tak
mengherankan bahwa pada saat gereja katolik mulai berkembang sudah terdapat umat
protestan yang besar jumlahnya lengkap dengan banyak pendeta, katekis, sekolah dan
lembaga social. Gereja protestan sudah bertahun-tahun (secara sistematis sejak
kedatangan L.J. Nommensen pada tahun 1864 di daerah Silindung) berjuang dengan
sepenuh tenaga melawan adat kekafiran, mendidik pendeta-pendeta serta kaum awam.
Dengan demikian mereka berhasil menembus dan membuka isolasi masyarakat Batak
yang telah berabad-abad lamanya sebagai akibat pendudukan daerah pantai oleh suku
Aceh dan Melayu.
Sejak tahun 1922 instansi gereja katolik di Jakarta dan Padang banyak menerima
surat yang meminta agar imam-imam diutus ke tanah Batak. Surat itu ditulis atas nama
puluhan kepala keluarga dari tarutung, Sibolga, serta Sipirok. Oleh karena imam-imam
dilarang pemerintah Belanda untuk bekerja di tanah Batak (atas dasar artikel 123 (177),
maka orang-orang Batak mau memprotesnya di Volksraad (1924). Setelah lama
diperjuangkan di Jakarta dan di Den Haag, akhirnya seorang diperbolehkan menetap di
Sibolga (1929) dan suster-suster Belaskasihan diijinkan membuka sekolah HCS (1930)
dan HIS (1932) di tempat itu. Sesudah jelas terang bahwa gereja katolik sama sekali tidak
mengganggu “rust en orde” dan bahwa ada keinginan besar di antara orang-orang
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.22
pribumi terhadap agama katolik, maka seluruh wilayah Tapanuli dibuka untuk misi
(1933).
Demikianlah agama katolik mulai masuk ke daerah Batak dari selatan seperti juga
agama Protestan 100 tahun sebelumnya. Akan tetapi jalan yang sudah dirintis manusia
lain daripada jalan yang direncanakan Allah. Kemajuan agama katolik tidak melalui
Selatan melainkan lewat Utara.
Sejak permulaan abad ini masyarakat Batak mulai terbuka dan bergerak maju
dengan gairah hidup. Suku Batak Toba meninggalkan daerahnya yang padat
penduduknya. Mereka pindah ke Timur-lalut, ke wilayah Batak Simalungun dan terus ke
pantai Timur di sekitar kota Medan. Khususnya sejak 1950 daerah perkebunan petani-
petani dari pedalaman. Mereka berpendapat bahwa tanah itu adalah miliki mereka yang
dulu dirampas oleh sultan-sultan pesisir dan dijual kepada “ondernemin”. Akibat
“transmigrasi” itu, paroki-paroki katolik di Medan sejak tahun duapuluhan sudah
dihubungi oleh orang-orang Batak yang keluar dari daerah pedalaman untuk mencari
pengalaman baru.
Pada tahun 1926 di Medan telah dipermandikan puluhan orang Batak yang
menghubungi pastor atas inisiatif mereka sendiri. Tahun berikutnya dibuka sekolah HIS
dan asrama untuk anak-anak batak yang semakin banyak jumlahnya. Karena desakan
orang-orang Batak untuk masuk katolik semakin banyak dan kuat, maka dibukalah
sebuah paroki khusus untuk mereka (1932). Dengan demikian landasan perkembangan
gereja katolik di antara suku Batak telah diletakkan.
Dari medan orang-orang Katolik dan ex-siswa sekolah katolik pulan ke kampung
asalnya di pedalaman. Mereka menyebarkan kabar tentang agama baru yang dilarang
masuk ke tanah Batak oleh pemerintah serta pengkambinghitaman malahan merupakan
“blessing in disguise” (rahmat yang tersembunyi) bagi gereja. Ketika seorang pastor
menetap di wilayah Batak Simalungan, yaitu di Pematang Siantar pada pertengahan tahun
1931, pastorannya dari pagi sampai malam dikerumuni oleh banyak orang ingin tahu. Itu
terjadi karena pastor belum diperbolehkan pergi mengajar keluar kota. Kepada orang-
orang datang itu pastor membagi-bagikan buku-buku kecil yang menjawab serangan-
serangan terhadap agama katolik. Bahan itu menjadi pokok permbicaraan di seluruh
daerah Batak.
Waktu paroki Pematang Siantar dibuka (1931) hanya terdapat 19 orang Batak
Katolik yang dipermandikan di Medan (selain itu 174 orang Eropah, 5 orang Jawa dan 5
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.23
orang Tionghoa). Lima tahun sesudahnya umat Katolik Batak menjadi 1500 dan masih
ditambah 1200 calon permandian yang sedang mengikuti pelajaran agama. Karena daerah
itu sedemikian suburnya, maka pada tahun 1936 didirikan paroki kedua. Kini terdapat 4
paroki dengan kurang lebih 30.000 orang katolik.
Pada awal tahun 1933 para misionaris diijinkan untuk menjelajahi seluruh wilayah
Simalungan dan mengunjungi orang-orang yang memanggil mereka. Satu tahun
kemudian segala larangan pemerintah dihapus dan gereja dapat bergerak dengan bebas.
Perjuangan tujuh belas tahun lamanya akhirnya berhasil.
Tepat pada waktu pembukaan wilayah yang subur itu, timbullah rintangan-
rintangan baru. Krisis ekonomi sedunia sangat mencekik keuangan gereja juga.
Pemerintah menarik kembali subsidi untuk sekolah-sekolah yang justru pada saat itu
diminta oleh rakyat desa supaya makin diperbanyak. Sedangkan pada saat itu zending
protestan sudah menduduki kota penting, menyelenggarakan lembaga-lembaga yang lebih
kuat keuangannya dan telah mempunyai tradisi. Gereja Katolik terpaksa mulai karyanya
dengan sangat sederhana dan dengan tenaga yang sangat kurang di daerah pedesaan yang
masih terbelakang itu. Tetapi ada juga factor yang menguntungkan: propaganda anti-
katolik dari pemerintah, freemasonry dan zending justru menarik rasa ingin tahu dari
orang-orang yang bersifat kritis. Tenaga-tenaga inti gereja katolik (khususnya imam,
bruder dan suster) memiliki pendidikan tinggi yang sangat dihargai oleh orang Batak.
Para misionaris kapusin pada umumnya bersifat ramah-tamah, berbuka terhadap adat
istiadat Batak, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan agama katolik. Mereka bergaul,
turut menyanyi serta menari dalam pesta-pesta adat Batak.
Pada bulan Desember 1934 seorang imam Kapusin menyewa sebuah rumah kecil
di tepi danau Toba dekat kota mungil Balige. Waktu itu di daerah Toba terdapat 81 orang
katolik dan di Balige hanya 2 orang. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan
setengah juta orang protestan serta ½ juga orang yang belum Kristen. Pada malam
pertama pastor itu tidak bisa tidur. Kepalanya panas, terisi padat oleh berbagai rencana
dan masalah. Ia selalu dicurigai oleh pegawai-pegawai pemerintah dan orang-orang.
Sementara hujan lebat di luar, benaknya juga dihujani pertanyaan-pertanyaan: apakah
yang bisa saya lakukan sendirian dan dengan 200 gulden saja? Bagaimana caranya
membangun umat? Mari kita ikuti cerita sang misionaris…
Waktu hujan berhenti, aku bangun dan keluar rumah, masuk menembus
kegelapan. Aku berajalan-jalan di tepi danau, menikmati keheningan malam. Jauh
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.24
ditengah danau berkayuh beberapa sampan nelayan. Tak berapa jauh di mukaku, kulihat
dua nelayan sibuk memasukkan jala ke sampan. Tengah mereka berkemas-kemas itu,
kuhampiri mereka dari belakang,. Segera kusapa: horas be mahita mereka sangat terkejut.
Begitu melihat aku, mereka terus meloncat ke sampan dan bergegas berdayung ke tengah.
Celaka, gagallah usahaku pertama mendekati penghuni tepi danau yang indah itu.
Keesokan harinya, ketika aku sedang mengatur rumah, datanglah beberapa orang.
Mereka bersedia membantu, bahkan mereka melamar pekerjaan tetap. Mereka Tanya ini-
itu. Mereka sangat heran ketika melihat bahwa aku mempunyai banyak Kitab Suci dan
bukan gambar-gambar. Sebab mereka sudah lama dicekoki bahwa orang katolik tidak
boleh membaca Kitab Suci dan memuja patung adalah ibadat katolik yang terpenting.
Hari itu aku sangat sibuk melayani pertanyaan orang-orang.
Malamnya ketika aku baru mengenakan piyama hendak tidur, pintu diketuk orang.
Pintu aku buka. Kulihat dua nelayan yang kutemui malam sebelumnya diikuti oleh 10
Nikodemus lain. Mereka mendesak supaya aku segera menutup pintu. Lalu serentak
orang-orang itu duduk di lantai. Mereka cemas kalau-kalau ada orang dari luar melihat
lewat jendela atau pintu. Seribu satu pertanyaan dan kesulitan mereka tumpahkan
kepadaku. Pembicaraan malam itu tak karuan kacau dan bersimpang siur, tetapi pada
pokoknya berkisar pada tiga soal:
Hubungan pastor yang pertama itu merupakan saat mulai mengalirnya arus orang-
orang Batak yang mencari keterangan dari pastor. Apa yang dikatakan pastor itu
diteruskan ke desa-desa di lereng gunung dan di tepi danau. Dan setiap orang yang
mendengarnya, ingin lebih mengetahui dan datang sediri.
Dari langkah permulaan yang kecil itu, gereja terus semakin meluas hampir ke
seluruh tanah Batak, khususnya di sekitar danau Toba dengan berpusat di pulau Samosir.
Dari segala pelosok orang selalu menuntut gereja serta sekolah katolik. Imam-imam tidak
mempunyai waktu untuk berpropaganda, bahkan tak sanggup melayani semua
permintaan.
Alasan/motivasi orang memang sering tidak bersifat keagamaan murni: ada yang
mau menganut agama katolik, karena mengharapkan sekolah, karena ingin tahu dan tidak
puas atau berselisih dengan umat atau pemuka Protestan. Khususnya terhadap golongan
terakhir ini imam-imam sangat berhati-hati dan keras karena di antara mereka itu agak
banyak yang sudah dalam jemaat Protestan mereka sendiri suka mengacau. Supaya
jangan timbul harapan yang salah, orang-orang desa sendiri diwajibkan membangun
gereja dan sekolah sederhana. Misi ini hanya dapat menyelenggarakan beberapa sekolah
besar di kota-kota.
Maka dalam waktu singkat, kurang dari sepuluh tahun, bangkitlah segolongan
umat baru yang menghadapi tantangan berat: masa pendudukan Jepang. Umat Katolik
Batak rata-rata belum berumur 3 tahun. Mereka terpaksa ditinggalkan gembala-
gembalanya selama 8 tahun. Perekembangan cepat umat Katolik sebelum perang dapat
kita lihat di bawah ini.
Vikariat Padang/Medan
1925 1933 1941 1950
Orang katolik 5506 8.058 27.943 35,000
Calon 886 834 32.307 10.000
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.26
Permandian
Sekolah 21 33 208 -
Imam 17 21 44 -
Melihat perkembangan yang sangat dikaruniai Tuhan itu, patutlah kita kenangkan
jasa Mgr. Matthias Brans OFM Cap (meninggal 1969). Beliau adalah seorang misionaris
yang terbuka akan tuntutan zaman; beliaulah yang mengambil inisiatif untuk mengubah
kebijaksanaan misi dan mengarahkan ke wilayah yang baru itu, yaitu tanah Batak.
Perjuangannya selama 17 tahun untuk menghapuskan artikel 123 (177) membawa hasil
yang sangat besar.
Di Pulau Nias misi baru mulasi bergerak pada tahun 1939, setelah berkali-kali
orang Nias yang belum beragama Kristen meminta dengan sangat supaya mendapatkan
seorang Pastor. Umat Katolik bertumbuh dengan sedemikiann pesatnya sehingga orang-
orang yang belum dipermandikan dilath dipusat, yaitu di Gunung Sitoli, untuk kemudian
pulang dan megajar orawng-orawng se desa. Memang orang-orwang Kafirlah yang
mewarktan kabar Gembira tentang Almasih di pulau-pulau pantai barat Sumatra.
Perkembangan di pulau Nias sebelum pendudukan Jepang baru mencapai 108 orang
Katolik dan 1.400 calon permandian. Antara tahun 1950 dan 1958 umat berkembang dan
lebih kurang 3.000 menjadi 10.000 orang dan setahun kemudian mencapai 15.267. inilah
perkembagan yang paling cepat diseluruh Indonesia. Berkat bantuan para katekis yang
belum dipermandikan.
Irian atau “tanah panas” yang berhutan belantara dan berpantai rawa-rawa, sampai
akhir abad ke 19 masih merupakan bumi yang kurang dikenal dan terlupakan. Dalam
abab ke 16 pelaut-pelaut Spanyol (yang memberikan pualu itu nama Nueva Guinea) dan
Portugis kadang-kadang mampir di pantai utara dan pulau yang nomor dua luasnya di
dunia. Pada masa itu sudah terdapat orang-orang Katolik di kampung-kampung pesisir.
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.27
Pada tahun 1569 datanglah beberapa kepala suku Papua mengunjungi pulau Bacan dan
mengatakan bahwa banyak kawan mereka ingin dipermandikan.
Baru sejak tahun 1828 pemerintah Belanda berusaha untuk menguasai daerah
Irian Barat dan tujuh puluh tahun kemudian mulai mendirikan pos-pos administrasi yang
berpusat di Manokwari 1898. Sampai pada permulaan abad ini peta Irian tinggal kosong.
Gereja Protstan dimulai pada abad pertengahan abad yang lalu dengan pekabaran
Injil di Irian Barat. Halangan banyak, sehingga pada akhir abad yang lalu beberapa puluh
orang saja yang dipermandikan. Akan tetapi sejak permulaan abad ini zending maju
dengan cepat dan 50 tahun kemudian mencapai umat sebesar 140.000 orang beriman.
Usaha-usaha imam Jesuit untuk membuka misi di Irian gagal: satu misionaris dua
kali terpaksa pulang karena daerah pendaratannya dekat Selerika tidak aman (1892),
seorang Bruder mati karena demam panas di Pulau Kei sebelum ia dapat berangkat dan
satu imam lagi dibunuh yaitu P. Cornelis Le Cocq d’Armandville SJ.
Pater Le Cocq, seorang imam yang tak kenal lelah dan telah sangat berhasil di
pulau Flores, pada tahun 1894 mendarat dekat Fak-Fak. Lalu ia terus mendaki gunung-
gunung menuruni lereng-lereng dan bercakap-cakap dengan penduduk yang menurut kata
orang masih buas. Ia bergaul dengan mereka dan diterima dengan ramah. Selama 10 hari
sebanyak 73 anak-anak dipermandikan. Hal itu sangat membesarkan hatinya. Pada tahun
berikutnya P. Cocq kembali dibantu oleh 2 bruder Jesuit membuka stasi Kapaur (1895).
Mereka mengajar anak-anak, membuka asrama dan mempersiapkan daftar kata-kata
bahasa daerah itu yang diterbitkan pada tahun 1903. Pada akhir tahun 1895 badan P. Le
Cocq sudah sangat kurus dan lemah sehingga pembesarnya mau memindahkannya ke
pulau Jawa. Tetapi atas permintaannya sendiri, ia mendapat ijin untuk menyelidiki pantai
selatan Irian ke arah Timur untuk mencari tempat yang lebih subur. Baik atasannya
maupun kedua bruder mencoba menghalangi-halangi P. Cocq karena badannya sudah
sangat payah dan lagi cuaca kurang baik untuk berlayar. Orang-orang di pantai waktu itu
masih suka makan daging orang dan mengayau. P. Le Cocq menjawab: mereka tidak suka
daging saya. Daging saya sudah alot. Kecuali itu saya tinggal kulit pembalut tulang.
Namun pada bulan Maret 1896 ia berangkat juga dengan menyewa sebuah sekunar milik
seorang pedagang dari Geser, Achmat bin Addbdullah Atamini. Belum sampai pada
tujuannya, sekunar diserang angin rebut, sehingga terpaksa membuang sauh kurang lebih
1 km dari pantai. Akhirnya, misinonaris itu dengan sampan yang penuh dengan barang-
barang mendarat di pantai dekat kampung Kipya. Orang-orang menerima imam itu
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.28
dengan baik sekali. Ketika sampan hendak kembali ke Sekunar, gelombang sangat tinggi.
Para pendayung menasehati P. Cocq supaya bermalam saja di pantai, tapi ia bersikeras
hendak pulang. Rupanya ketegangan di pantai inilah yang menyebabkan P Cocq dibunuh
oleh para pendayung itu sebelum sampan mencapai sekunar. Akibatnya, misi pertama di
Irian terpaksa ditutup (Juli 1896). Pada tahun 1958 diberkati sebatang Salib besar dari
besi di tempat yang malang itu.
Sementara itu misi di Maluku yang berpusat di Langgur, pulau kei, berkembang
dengan pesat, sehingga wilayah itu dipisahkan dari Vikariat Batavia dan dijadikan
Prefektur Apostolik tersendiri (1902), yang meliputi seluruh kepulauan Maluku dan Irian
Barat. Wilayah luas itu diserahkan kepada Konggregasi Misionaris Hati Kudus yang
sudah berpengalaman di Irian Timur sejak 1881.
Prefek Apostolik baru, Mgr. M. Neyens MSC sangat giat mengadakan perjalanan
keliling Maluku dan Irian Barat. Misi biasanya mengikuti pos-pos yang didirikan
pemerintah. Hal itu menguntungkan kedua belah pihak: bagi misi karena daerah yang
dituju sudah diamankan dulu, dan bagi pemerintah karena misi memajukan rakyat
setempat dengan mendidik mereka. Gereja bergerak cepat untuk mendahului pengaruh
Islam yang masuk dari pulau-pulau Maluku.
Tiga tahun sesudah pos Merauke dibuka, beberapa misionaris menetap di sana
(1905). Tanpa senjata apapun mereka menghubungi penghuni-penghuni pedalaman,
memelihara orang-orang sakit dan membantu mereka. Waktu semacam penyakit menular
yang sangat berbahaya sudah merenggut duapertiga jiwa anggota suku Kaja-Kaja (1909),
P. Vertenten MSC mengadakan aksi besar-besaran untuk menyelamatkan suku ini
dari pemusnahan total. Pater ini juga melindungi suku tersebut terhadap suatu
ondernerming yang mau mengambil tanah subur untuk perkebunan-perkebunan kelapa.
Pada tahun 1910 Mgr. Neyens meminta ijin untuk membuka tiga stasi di daerah
Doreri atau Kepala Burung. Dengan dalih “rust en orde” pemerintah Hindia-Belanda
secara gegabah menetapkan sebuah garis pemisah antara daerah zending di Utara dan
daerah misi di Selatan. Ini berarti bahwa misi dipaksa menyerahkan suatu daerah yang
sudah dibuka dekat Fak-Fak oleh P. Le Cocq. Garis pemisah yang aneh dan kurang adil
itu dihapus duapuluh lima tahun sesudahnya, yaitu pada tahun 1927, meskipun masih
diperlukan surat ijin istimewa dari Jakarta, bilamana mau masuk daerah “asing”.
Pada tahun 1920 di seluruh Irian Barat baru terdapat 250 orang katolik. Jumlah
misionaris tidak banyak, tetapi tidak segan-segan mereka masuk ke daerah yang belum
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.29
aman dan belum pernah diinjak orang luar. Mereka sering mengadakan perjalanan ke
pedalaman dan menemukan sungai-sungai serta gunung-gunung baru yang belum
digambarkan pada peta. Demikian juga mereka bertemu dengan suku-suku baru. Kalau
suatu daerah sudah dibuka, sekolah-sekolah sederhana didirikan untuk memperkenalkan
orang pedalaman dengan dasar-dasar kehidupan manusia yang sangat elementer seperti
jangan saling membunuh, hidup rukun, dapat membaca dan berpakaian. Dalam usaha
pendidikan itu, guru-guru dari kepulauan Kei dan Tanimbar sangat besar jasanya.
Dalam jangka waktu yang agak singkat pertambahan jumlah umat sangat
meningkat. Tahun 1937 umat katolik berjumlah 9454, padahal 17 tahun sebelumnya baru
250. Oleh karena itu pater-pater msc mendapat bantuan dan tenaga dari para
imam dan
bruder OFM (1937). Murid-murid Santu Fransiskus itu menetap di Manokwari,
kemudian membuka stasi-stasi baru. Begitu mereka bekerja, para misionaris itu sudah
dapat mengambil hati penduduk; P. Frankemolen misalnya dicintai, karena ia
membuatkan mesin-mesin penggergajian dan alat penumbuk sagu dari potongan-
potongan pipa besi.
Waktu para rohaniwan ditangkap dalam Perang Dunia II, guru-guru awam
meneruskan kehidupan gerejani di Irian Barat bagian Utara dan Barat. Oleh Kempetai
beberapa rohaniwan dibunuh dengan kejam. Bagian selatan tidak jadi diduduki oleh
tentara Jepang, sehingga di daerah Merauke umat tetap dipelihara baik oleh gembala-
gembalanya.
Panitia sementara katolik untuk aksi politik pada tahun 1917 sudah berpendirian
bahwa seluruh penduduk Indonesia harus diikutsertakan dalam pemerintahan desa, daerah
dan Negara supaya pemerintah sendiri (zelfbestuur) dipersiapkan dengan baik. Romo van
Lith pada tahun berikutnya sudah melahirkan keyakinan bahwa Nusantara merdeka pasti
akan timbul.
Pandangan Romo van Lith itu mempengaruhi beberapa orang untuk, mendirikan
Pakempalan Politik katolik Djawi (PPKD) adalah “ikut bekerjasama memajukan
perkembangan negara”, menurut tafsiran I.J. Kasimo sama artinya dengan
memperjuangkan kemerdekaan bangsa. “Pakempalan” itu berkerjasama dan bergabung
dalam federasi indische Katholieke Partij (IKP,1918) dan mendapat jauh satu wakil di
Volksraad (1924-1927). Sebenarnya sejak permulaan dicita-citakan satu partai katolik
(bangsa) Indonesia, terpisah dari IKP (kebanyakan golongan katolik Belanda). Maksud
itu dipercepat dengan keluarnya peraturan pemerintah bahwa partai-partai yang sama
sekali pribumi atau Belanda saja yang mendapat perwakilan di Volksraad. Maka pada
tahun 1925 PPKD melepaskan diri dari IKP. Sifat kedaerahan diperluas dengan
berlingkup nasional. Pada tahun 1929 nama PKKD diubah menjadi Persatuan Politik
Katolik Indonesia (PPKI), yang mempunyai puluhan cabang di Jawa, Sumatera dan
Sulawesi. Untuk saling mempererat hubungan antara cabang-cabang, maka diterbitkan
mingguan “Soeara Katholiek” (1928): padahal tahun 1941 sudah terbit 41 cabang.
Rangkuman
Sejak perkembangan jumlah umat Katolik semakin meningkat di seluruh tanah
air, mulai dirasakan untuk mengabdi bagi kepentingan nasional. Umat Katolik mulai
melibatkan diri dalam bidang social, ekonomi, politik, budaya, lembaga
swadaya dan organisasi yang lainnya. Banyak tokoh yang dapat kita ambil sebagai
sebuah pengabdian
yang menggagumkan bagi pembangunan nasional. I.J Kasimo adalah salah
satu tokoh terkenal yang telah menyumbangkan peran besar bagi pembangunan
sumber daya
manusia di Indonesia.
Dengan kata lain, perwujudan iman Katolik mesti juga bukan hanya di tingka
internal Gereja melainkan juga di lingkungan eksternal Gereja. Kedua sisi ini
menjadi ruang yang saling mengisi dan berdiri sendiri. Oleh karena itu, melalui
perjuangan para umat Katolik dalam memberikan teladan pengabdian menjadikan umat
Katolik untuk semakin terlibat secara aktif dan penuh bagi pengembangan pembangunan
nasional.
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.32
3.4 PERKEMBANGAN PERAN SEKOLAH DAN PARA IMAM SERTA
BIARAWAN-BIARAWATI
Perkembangan umat Katolik tak bisa dimengerti tanpa peranan sekolah Katolik.
Sekolah telah merintis jalan; baik di Padang, Sumatra dan di Tomohon, Minahasa
maupun Singkawang, Klimantan dan di seluruh pulau Flores sekolah-sekolah menjadi alat
penghubung dengan penghuni daerah. Sebagaian besar Orang Katolik generasi pertama
mengenal agamanya melalui sekolah. Akan tetapi sekolah Katolik bukanhanya
memperkenalkan gereja, tetapi sekaligus membuka jalan untuk kemajuan. Sering sekali
sekolah Katolik adalah sekolah pertama di suatu daerah dan dalam jangka panjang
merupakan sekolah satu-satunya. Baik sekolah umum maupun sekolah kejuruan yang
bermutu itu memberikan harapan untuk hari depan.
Pada tahun 1827 di rumah yatim piatu Semarang sudah diberikan pelajaran. Kira-
kira tiga puluh tahun kemudian (1856) Suster Ursulin membuka sekolah Katolik yang
pertama yaitu di Jakarta, jalan nusantara (Nordwijk) bersama dengan asrama untuk anak-
anak putri; sekolah untuk anak-anak laki-laki menyusul dua tahun kemudian. Di
Surabaya, Bruder-bruder dari Santo Aloysius mulai membangun sekolah besar pada
Tahun 1862 dan tahun berikutnya suster-suster Ursulin untuk anak-anak perempuan.
1. Nusa Tenggara
Pada tahun 1862 telah dibuka sekolah Katolik untuk anak-anak lelaki Larantuka.
Inilah juga merupakan sekolah yang pertama diseluruh Nusa Tenggara. Jadi sejak
tahun1862 telah dimulai pendidikan di Flores melalui persekolahan. Di sekolah Larantuka
ini terdapat putra-putra kepala suku dari seluruh Flores Timur dan pulau-pulau di
sekitarnya. Di samping sekolah untuk anak-anak laki-laki di Larantuka, didirikan lagi
yang lain di Lela, Koting serta Atapupu, dan untuk anak-anak perempuan di Larantuka
(1879) dan Maumere yang kemudian dipindahkan ke Lela. Para imam Jesuit yang
memulai karya perutusan di pulau Flores sejak 1863 mencapai hasil yang sangat
memuaskan melalui sekolah-sekolah.
Sejumlah besar sekolah-sekolah itu sangat membebani keuangan serikat Jesus, sebab
keuangan sekolah-sekolah itu juga mempunyai asrama untuk menampung anak-anak dari
pulau dan desa yang jauh. Umumnya pendidikan dan penginapan diberikan secara cuma-
Cuma . di samping mengurus sekolah seluruh kebutuhan murid-murid itu, misi harus
membayar gaji guru-guru membeli bahan dan alat sekolah, serta menanggung bangunan
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.33
dan pemeliharaan gedung. Untuk setiap anak selama satu tahun diperhitungkan kira-kira
30 Gulden. Itu berarti gereja harus megumpulkan 20.000 Gulden setiap tahun untuk
meneruskan sekolah-sekolahnya di Indonesia pada permulaan abad ke 19. Sekolah
Katolik yang bersiswa siswi kurang lebih 700 orang itu tak mungkin diperluas sebelum
mendapat subsidi dari pemerintah.
Baru pada tahun 1905 pemerintah mulai memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah
Katolik. Guna mengurus hal yang sedemikian penting bagi sekolah swasta itu dengan
baik dan secara menyeluruh, maka Romo Van Lith serta Pater E. Engbers SJ mengadakan
perundingan dengan pemerintah di Jakarta. Pada tahun 1913 tercapai kesepakatan dalam
perjanjian persekolahan “Flores-Sumba-Regeling” untuk sekolah-sekolah misi dan
zending di Indonesia Timur. Sesudah beberapa perubahan pada tahun 1915, perjanjian
tersebut berlaku terus sampai pada masa pendudukan Jepang 1942.
Perjanjian itu diadakan karena bagaimanapun juga pemerintah tak mampu membagun
suatu system persekolahan secara luas dan merata sebab kekurangan tenaga dan
pengalaman yang dibutuhkan. Maka pemerintah dengan rela mengijinkan Gereja Katolik
di Flores dan Timor mennyusun suatu system persekolahan pribumi sebagaimana
dijalankan Gereja Protestan di Sumba. Untuk keperluan itu pemerintah memberikan
sumbangan. Di lain pihak pimpinan gereja berhak membuka sekolah dan menempatkan
tenaga sedangkan Negara menanggung sebagian besar biaya. Dengan demikian tidak
tercipta “monopoli persekolahan” gereja sebab pemerintah berhak untuk mendirikan
sekolah negeri. Jika gereja lalai memenuhi syarat-syarat yang dituntut pemerintah ,
bantuan dapat dicabut kembali. Gereja menjamin kebebasan kepada orangtua yang
melarang anak-anak mereka untuk mengikuti pelajaran agama Katolik. Puluhan tahun,
malahan sampai masa kini, yayasan-yayasan Katolik dan instansi-instansi pemerintah
bekerjasama di bidang persekolahan di Nusa Tenggara.
Suasana itu membawa untung besar bagi ribuan anak Nusa Tenggara yang mendapat
pendidikan dasar.
Tabel di bawan ini memperlihatkan naiknya jumlah sekolah SD, dengan guru dan
murid- murid antara 1915-1942.
Dalam bidang pendidikan kejujuran yang amat penting untuk pembangunan itu,
tercapailah kemajuan besar dengan dibukanya “Sekolah Pertukangan Pusat Santu Jeseph”
di Ende (1924). Sekolah itu adalah hasil usaha para misionaris Jerman yang sampai
perang dunia I menyelengarakan sekolah pertukangan terkenal di Lome, ibu kota Negara
Togo di Afrika. Akibat perang mereka pindah ke Flores dan meyadari betapa pentingnya
pendidikan kejuruan untuk kemajuan pulau itu: dalam persekolahan pertukangan, bruder-
bruder ahli kejuruan memimpin bagian-bagian pertukangan, yakni penyusunan huruf
(tukang set), percetakan, penjilidan, pertukangan besi, cat, jahit dan sepatu.
Tahun 1928 seluruh sekolah mempuyai murud-murid yang lengkap untuk tiap
bagian. Di samping sekolah pusat di Ende, didirikan lagi bengkel-bengkel kerja di
Larantuka, Maumere, dan Halilulik. Lalu gereja memperoleh juga perkebunan di
Nanghale, Todabelu, Lewoleba sebagai sumber bahan makanan dan sumber pendapatan.
Didirikan juga sekolah kerajianan tangan putri di Ndona, Djopu, Lela, Larantuka,
Lahurus. Sekolah-sekolah ini lebih disukai anak perempuan dari pada sekolah umum.
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.35
Manfaat besar dari sekolah-sekolah yang bertujuan memperbaiki perekonomian
rakyat di Nusa Tenggara, tak dapat disangkal lagi. Inillah bukti bahwa sejak puluhan
tahun gereja mengusahakan perbaikan sosial dan pembangunan ekonomi rakyat.
Sangatlah menarik perbandingan antara murid laki-laki dan perempuan. Makin lama
daerah tertentu memeluk agama Katolik, makin banyak anak putri mendapat pendidikan.
Dengan demikian gereja khususnya para suster mempersiapkan emansipasi wanita serta
pembagunan rumah tangga yang baik.
Pada tahun 30-an keuangan gereja sangat menipis. Bantuan dari luar negeri hampir
terhenti sama sekali akibat depresi ekonomi sedunia dan larangan mengirim uanag ke laur
Jerman. Subsidi pemerintah setiap tahun diperkecil dengan drastic sekali. Banyak
sekolah terpaksa ditutup. Mgr Verstraelen mengeluh dalam suratnya “hampis semua
sumber keuagan kering……..dari mana ku peroleh uang 187 imam, suster dan bruder?
Misinaris bar uterus menerus datang, tapi tiada sumbangan uang. Banyak asrama tidak
terbiayai lagi. Sekolah-demisekolah ditutup sedangkan sedangkan subsidi pemerintah
dibatalkan samasekali.” Pentupan surat kabar “Bintang Timur” dan “Kristus Ratu Itang”
tak terhindarkan lagi walaupun sudah terbit selama 10 tahun. Tetapi sumbangan-
sumbangan sederhan dari umat pribumi sendiri menyelamatkan kemacetan total. Dalam
tahun-tahunyang sulit itu pembangunan dan perbaikan gereja-gereja kecil, gedung-gedung
sekolah, pembayaran para gaji guru sebagian besar ditangung oleh umat Katolik yang
baru lahir itu.
Pada bulan Mei 1942 seluruh Nusa Tenggara diduduki seluruh tentara Jepang.
Seluruh sekolah Katolik diambilalih dan pelajaran agama dilarang di sekolah (September
1942). Tetapi berkar protes keras dari Raja Sika, Don Thomas Ximenes da Silva, larangan
tersebut tidak berlaku di wilayah Maumere. Di beberapa tempat lain penguasa Jepang
secara diam-diam mengijinkan pelajaran agama, mempermandikan anak-anak, mencatat-
perkawinan dan penguburan orang mati secara Katolik. Dengan demikian banyak guru
yang tidak dipecat oleh Jepang meneruskan karya misi dalam masa sulit itu. Hal ini
khususnya berlaku dipulau Timor yang sama sekali kekosongan tenaga Imam. Karena 30
suster diijinkan tinggal di Flores, maka pendidikan putri tidak begitu merosot seperti
pendidikan anak-anak lelaki yang terpaksa menitik beratkan olah raga dan latihan
ketentaraan.
Sistem sekolah Katolik di Nusa Tenggara dibicarakan dengan agak panjang karena
dengan perantaraan ratusan sekolah itu Gereja menampakkan agama dalam hati ribuan
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.36
orang yang sungguh yakin akan kebenaran Injil dan sekaligus mempersiapkan mereka
untuk menjadi warga Negara yang dapat menyumbang keahlian serta ketekunan kepada
perkembangan Nusa dan Bangsa.
Pada akhir tahun 1898 empat imam Jesuit yang sejak beberapa tahun sudah
bekerja di kalangan orang Jawa mengadakan rapat di Magelang guna menentukan garis
besar usaha mereka dalam menanamkan agama Katolik di antara suku Jawa. Usaha
mengadakan hubungan secara langsung dengan mengajar agama di desa-desa kurang
berhasil. Samalh nasibnya mendekati rakyat melalui pejabat-pejabat desa seperti lurah,
bekel dan carik, yaiut dengan meminjamkan uang kepada mereka, supaya mereka dapat
membeli alat-alat pertanian, bibit yang baik atau sapi. Juga sekolah kecil di desa-desa
tidak memajukan perkembangan umat seperti yang diharapkan. Sama juga dengan
meyediakan obat-obatan, menyewakan tanah atau memajukan kerajinan tangan di antara
masyarakat desa. Semua jalan itu telah dicoba tapi mengecewakan. Lalu empat imam
sampai pada kesimpulan ini:
Gereja harus dimulai dalam masyarakat Jawa yang masih asli dan utuh, maksudnya
bukan di kota-kota besar. Bahasa dan adat-istiadat Jawa harus dipelajari baik-baik. Inilah
kesimpulan terpenting yang diajukan dan ditekankan oleh Romo Van Lith gereja harus
membuka sekolah-sekolah pendidikan guru dengan tujuan mendidik mereka dengan
sebaik-baiknya. maksud semula tidak untuk menghasilkan pendidik-pendidik bagi
sekolah Katolik. Ini hampir tidak ada. Para guru yang mau dididik itu dimaksudkan
sebagai ahli pendidikan yang mengajar terutama di sekolah-sekolah negeri dan sekaligus
berpengaruh berkat keyakinan dan kepribadian yang kuat. Untuk mencapai cita-cita itu,
Romo van Lith mencari anak dari keluarga yang baik dan terpandang: anak bangsawan,
pegawai dan pemuka-pemuka masyarakat. Mengingat keadaan waktu itu, anak muda ini
perlu diasramakan. Itulah jalan yang tepat untuk membina pribadi-pribadi yang
berkeyakinan dan berkemauan yang mampu berdiri sendiri dan melaksanakan tugasnya
dengan tepat dalam keadaan apapun juga.
Metode Romo van Lith itu pada pergantian abad ini belum diketahui apakah akan
berhasil atau tidak. Cita-cita Romo van Lith adalah membina orang yang mampu berdiri
sendiri dan melangsungkan karya kerasulan atas inisiatif sendiri. Dengan demikian ia
meletakkan dasar bagi banyak panggilan, baik untuk imamat maupun untuk kerasulan
awam dalam arti luas.
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.37
Pada pertengahan tahun 1899 sekolah pendidikan guru (normaalschool)
dipindahkan dari Semarang ke Mendut dan tahun berikutnya ke Muntilan. Pada
tahun 1904 dibuka 'kweekschool' (= sekolah pendidikan guru) untuk guru-bantu
yang boleh mengajar di sekolah negeri "tingkat II", sekolah ini diperlengkapi
dengan sekolah rakyat latihan; dua tahun kemudian ditambah 'kweekschool" untuk
guru-guru yang berhak menjadi kepala sekolah negeri tingkat I. Tahun 1907
ditambah "Hollands Inlandse Kweekschool (HIK)'. Pada tahun 1909 sudah terdapat
107 calon guru dan di antara mereka itu 75 beragama Katolik.
Kompleks sekolah di Muntilan yang semakin besar itu, pada tahun 1911
diberi nama Kolese Xaverius. Seperti sudah diuraikan di atas, Kolese itu juga
menjadi seminari yang pertama di seluruh Indonesia. Pada tahun 1921 para Bruder
Kongregasi Santa Perawan Yang Terkandung Tak Bernoda (FIC) mengambil alih
sekolah dasar pribumi dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar (HIS) dan
juga asrama putera. Sekarang bruder-bruder tersebut di Muntilan masih
menyelenggarakan "SPG van Lith" dengan asrama serta SD latihan, perusahaan
penuangan huruf dan pertukangan kayu. Suster-suster Fransiskanes membuka sebuah
rumah sakit (1926) dan beberapa sekolah untuk anak puteri. Dengan demikian di
Muntilan terdapat kompleks sekolah-sekolah Katolik yang luas. Dari sini ratusan
guru tersebar ke seluruh Indonesia. Mereka meneruskan kekayaan yang tiada ternilai
yang diterima di Muntilan: agama yang kuat dan pengetahuan. Suasana keagamaan
menghayati seluruh kehidupan anak-anak. Hampir 50 tahun kemudian pusat
pendidikan ini dibumihanguskan oleh orang-orang yang tak bertanggung-jawab
karena iri hati. Akan tetapi semangat Muntilan tidak pernah padam.
Sejak tahun 1918 makin lama makin banyak sekolah Katolik yang beraneka
macam bentuk dan corak dibuka di pulau jawa. Guru-guru sekolah itu sering rajin
memberikan pelajaran agama di luar ruang sekolah, di desa dan di kampung. Dengan
demikian agama Katolik mulai dikenal, disukai dan akhirnya dianut.
Untuk mengurus sekolah-sekolah yang makin banyak itu didirikan pula
banyak yayasan: sejak tahun 1918 Perkumpulan Kanisius yang kemudian menjadi
Yayasan Kanisius (1927) mulai bergerak di Jawa Tengah. Sejak tahun 1920 kota kecil
ambarawa menjadi pusat pendidikan kedua: 2 sekolah pendidikan guru (pria: 1920;
wanita: 1924) dan sebuah MULO dari bruder (1928).
Pada tahun 1924 "Yayasan Strada" membuka sekolahnya yang pertama di
Gunung Sahari, Jakarta. Di Ibu kota, Yayasan ini sekarang menyelenggarakan
45 sekolah. Banyak yayasan katolik yang yang sebagian besar diurus oleh kaum
biarawan
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.38
(seperti Budimulia, Tarakanita, Marsudirini, Pangudi Luhur) dan sebagian lagi oleh
kaum awam (seperti misalnya Yayasan Melania sejak 1925), mendirikan dan
menyelenggarakan sekolah dengan segala tingkat dan jurusan. Sekolah-sekolah
suster dan bruder di Jakarta, dan khususnya "Canisius College" (sejak 1927
sebagai Algemene Middelbare School/AMS clan 1937 tambah HBS), menerima
dalam asrama-asrama banyak muda dan mudi dari segala daerah Nusantara yang
mau melanjutkan studinya. Sejak 1931 usaha yang semakin luas itu dikoordinir dan
diwakili dalam segala urusannya dengan pemerintah oleh Kantor Waligereja Indonesia
bagian B di Jakarta.
Walaupun perkembangan itu berjalan pesat dan semakin meluas, namun
sekolah katolik tetap dihargai oleh masyarakat karena mutu pelajaran, tata tertib dan
suasana pergaulan yang pantas dipertahankan dengan sedapat-dapatnya. Taraf yang
bermutu itu sering menuntut pengorbanan dari staf pengajar maupun para pelajar.
Masa depan bangsa sangat memerlukan warga negara yang berkepribadian baik, sadar
akan kesejahteraan umum, bersifat kritis dan memiliki pengetahuan yang bermutu.
Seluruh umat Katolik wajib menjaga, agar nama baik dari sekolah-sekolahnya jangan
sampai dinodai oleh praktek-praktek yang biasa terjadi tetapi menggelapkan masa
depan tunas bangsa kita.
1. Pendidikan Imam.
Seperti sudah dipaparkan, pada tahun 1911 dua pemuda lulusan HIK Muntilan
minta untuk menjadi Imam. Uskup Jakarta masih memegang pandangan tradisionil,
yaitu bahwa baru anak-anak dari keluarga yang sudah katolik dapat menjadi
Imam. Perkembangan seperti di Muntilan dianggap terlalu pagi dan cepat. Maka
Romo van Lith naik banding ke Roma dan pada bulan Mei tahun berikutnya sudah
mendapat ijin resmi. Pada tahun 1913 seorang lulusan sekolah guru melamar lagi
untuk menjadi Imam. Maka segera dibuka Seminari Menengah Pertama di Indonesia
dalam kompleks sekolah kolese Xaverius di Muntilan. Oleh karena tenaga pendidik
di Muntilan kurang, maka tahun 1914 dua seminaris pertama berangkat ke Eropa
untuk melanjutkan studi mereka. Pada 15 juli 1915 dua anak Jawa pertama masuk
Novisiat Jesuit. Oleh karena panggilan baru terus bertumbuh, maka pada tahun 1922
di Yogyakarta dibuka novisiat Jesuit.
Lama-kelamaan timbul keinginan untuk menerima anak-anak lulusan
sekolah rakyat dalam seminari menengah dan bukan saja lulusan sekolah guru
atau MULO. Hal ini baru terlaksana sejak tahun 1925: di Yogyakarta dibuka seminari
untuk anak tamatan sekolah rakyat. Pada saat mereka lulus, mereka dapat memilih
ordo atau kongregasi imam apa yang mereka mau masuki. Sebelum pendudukan
Jepang seminari ini menghasilkan Imam-imam Yesuit, Karmelit, kapusin, MSC,
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.41
Lasaris, Fransisikan, Mariana-Hill, Pasionis, Salib Suci serta SCJ dan sejak tahun 1936
terbuka kesempatan untuk menjadi imam praja.
Pada tahun 1936 di Muntilan dibuka seminari Tinggi dengan lima
mahasiswa pertama: satu tahun sebelum ini sudah dimulai kursus filsafat di
Todabelu/Flores. Seminari Muntilan sejak permulaan terbuka untuk calon Imam
dari beberapa keuskupan. Waktu pendudukan Jepang seminari ini pindah ke suatu
bagian Rumah Sakit "Panti-Rapih", lalu ke asrama "Panti-Rapih" dan akhirnya ke
asrama Budi Utomo.
Sejak Perang Dunia selesai, sebagian besar keuskupan mempunyai seminari
menengah sendiri: pulau Jawa terdapat 6, sulawesi dan Maluku 4, di Sumatera
3, di Irian Barat dan Kalimantan masing-masing 2. Di Flores pada tahun 1921
kurang lebih 12 siswa normaalschool di Ndona minta untuk menjadi imam. Mula-
mula mereka mendapat satu jam pelajaran bahasa Latin. Pada tahun 1926 Seminari
Menengah dibuka di Sikka, yang tiga tahun kemudian pindah ke gedung baru di
Todabelu, suatu tempat yang nyaman dan sehat, 1000 m di atas laut.
Pada tahun 1933 tujuh pemuda masuk novisiat SVD dan mereka itu mulai
mendapat kursus Filsafat bersama dengan para novis ke seminari Tinggi di Ledalero
dekat kota Maumere. Oleh karena rasa kebingungan baik di antara pembesar-pembesar
Gereja maupun di antara para seminaris sendiri apakah mereka dapat bertahan sebagai
imam dalam masyarakat yang baru saja Katolik, maka pentahbisan dua imam pertama
di Flores diundur sampai januari 1941. Tahun berikutnya ditahbiskan dua imam Flores
lagi.
Memang tidak semua seminaris akhirnya ditahbiskan menjadi imam. Di
antara mereka yang pernah masuk Seminari Menengah tapi keluar lagi
terdapat banyak yang menjadi guru Sekolah Katolik atau Katekis, dan yang lain lagi
menjadi pegawai, perwira atau wartawan, yang penting, agar supaya mereka jangan
lupa akan tugas untuk membangun gereja dalam lingkaran baru dan tugas untuk
membangun gereja dalam lingkungan baru dan sesuai dengan pendidikan yang
pernah mereka terima!
Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero yang pada permulaan pendudukan
Jepang mempunyai 15 mahasiswa, dua puluh tahun kemudian diisi dengan 88
mahasiswa frater SVD dan 31 mahasiswa calon imam praja yang sejak tahun 1958
mendiami kolese Santu Petrus Ritapiret. Selain dua Seminari Tinggi tersebut masih
terdapat Seminari Hati Kudus Pineleng/Manado, Seminari Ratu para Rasul di Batu
(Jawa Timur), Seminari "Pastor Baik" di Pematang Siantar, sebuah seminari di
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.42
Bandung dan di Kediri.
Mendidik imam-imam pribumi dengan baik dan memperbesar jumlah
mereka merupakan tugas seluruh umat katolik. Gereja dalam setiap negara harus
dapat berdiri sendiri, berkembang dan mengutus rasul-rasul keluar wilayahnya untuk
menyampaikan kabar gembira yang secara cuma-cuma diterima dan wajib diteruskan
sampai pada ujung bumi. Imam pribumi yang pertama ditahbiskan pada tahun 1926;
pada tahun 1969 terdapat 115 imam praja dan 248 imam pribumi anggota ordo atau
kongregasi. Jumlah itu masih kurang sekali. Andaikata hanya mereka saja yang harus
memikul seluruh karya gereja, hal itu berarti rata-rata 1 imam untuk 6.100 orang
beriman. Daerah yang paling setia menjawab panggilan Tuhan adalah pulau Bali
dengan rata-rata 1 calon imam untuk 105 anggota umat, daerah yang paling
kering adalah Keuskupan Agung Jakarta dengan 1 calon imam untuk 15.000 umat
katolik.
Karena jumlah imam meskipun sangat dibantu oleh para suster dan bruder
tidak memadai untuk memelihara umat katolik yang berkembang cepat, sejak tahun
1963 diselenggarakan akademi-akademi katekis. Pada sidang Majelis Agung
Waligereja Indonesia pada bulan November 1970 para uskup mengusulkan pada
Bapa Suci paulus VI supaya bapak-bapak yang sudah berkeluarga ditahbiskan
menjadi imam. Perkembangan gereja selain berkat rahmat ilahi, juga sangat
tergantung dari jumlah dan mutu para gembala seperti terbukti dalam sejarah gereja di
negara kita ini.
2. Kaum Biarawan
Sumbangan para suster dan bruder tidak kalah dengan kaum imam serta awam
dalam mengembangkan gereja di nusantara. Terutama kalau kita ingat bahwa kelompok
rohaniwan yang pertama sekali tiba di Indonesia bukanlah tarekat imam, melainkan para
biarawati ursulin (1856). Baru sesudahnya tiba para pater Jesuit (1850) yang diikuti oleh
bruder-bruder Aloysius (1862). Sampai awal abad ke-20 tenaga mereka itu diperkuat
dengan tibanya tiga konggregasi suster, yaitu Suster-suster Santu Fransiskus (Semarang
tahun 1870), Suster Belaskasihan (Padang tahun 1885) dan suster Pengabdi Roh Kudus
(SSSpS) mendarat. Konggregasi ini sekarang memustkan karyanya di Nusa Tenggara.
Rumah sakit, klinik dan karya sosial merupakan lapangan kerja mereka di samping
beberapa sekolah. Di sana mereka bekerja bersama para ursulin dan suster-suster Karolus
Boromeus yang tiba di Indonesia pada tahun 1918. Konggregasi-konggregasi suster yang
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.43
baru kita sebut itu adalah konggregasi-konggregasi perintis di Indoensia. Mereka inilah
yang sekarang merupakan konggregasi-konggregasi terbesar.
Karya para suster terutama terdapat dalam bidang pendidikan dan kesehatan (rumah
sakit, poliklinik danklnik bersalin). Sepertiga dari semua suster di Indonesia sekarang
berkecimpung dalam bidang perguruan dan seperlima di lapangan kesehatan. Rupanya
kedua bidang itulah yang sejak permualaan sangat mereka rasakan sebagai sarana terbaik
untuk menyumbangkan darma bakti kepada masyarakat. Di mana-mana kita temui
sekolah-sekolah umum dan kejuruan yang dipimpin oleh para biarawati; dari taman
kanak-kanak sampai sekolah lanjutan bahkan beberapa akademi. Rumah sakit besar
pertama yang diselenggarakan oleh para biarawati adalah rumah sakit “Sint Carolus” di
Jakarta yang berdiri pada tahun 1919 dan diselenggarakan oleh para suster Karolus
Boromeus. Dua tahun kemudian, lahirlah adiknya di Bandung bernama “Boromeus”. Di
Mendut (jawa Tengah), suster-suster Santu Fransiskus membuka sekolah perawat pertama
tahun 1920. Rumah sakit besar pertama di Jawa Timur didirikan oleh suster-suster Misi
Pengabdi Roh Kudus, pada tahun 1925 di Surabaya. Dua tahun kemudian, suster-suster
Santu Fransiskus membuka rumah sakit “St. Elisabeth” di Semarang. Sejak itu
bermunculanlah klinik dan rumah sakit mereka di mana-mana, seperti Boro, Promasan,
Ambarawa dan lain sebagainya. Di luar jawa, suster-suster Santu Fransiskus mendirikan
rumah sakit yang besar dan termodern pada wkatu itu, yaitu “St. Elisabeth” di Medan
(1930). Sampai sekarang, karya kesehatan para biarawati memberikan pelayanan yang
sangat diakui kebaikannya oleh masyarakat umum.
Para bruder pun memainkan peranan penting. Lapangan karya mereka yang utama
adalah pendidikan. Lebih dari dua pertiga bruder di Indonesia bekerja sebagai pendidik.
Sekolah para bruder telah mendidik banyak sekali anak laki-laki, yang kini menduduki
tempat terkemuka dalam masyarakat. Sekolah bruderan pertama berdiri pada tahun 1862
di Surabaya. Institut ini kemudian (pada tahun 1906) mendapat adik di Jakarta, bertempat
di Merdeka timur. Sejak tahun 1911 bruder-bruder Aloysius juga menyelenggarakan
rumah yatim piatu di Semarang. Sementara itu bruder-bruder dari Konggregasi Santa
Perawan Maria Tak Bernoda mulai menetap di Yogya sejak tahun 1920. Di sana mereka
mendirikan sekolah-sekolah dan memimpin Percetakan Kanisius (1922). Sedikit demi
sedikit karya para bruder melebar. Konggregasi-konggregasi bruder pun juga bertambah
banyak. Di Wonosobo para bruder dan suster bekerjasama menyelenggarakan pendidikan
untuk anak-anak bisu-tuli, karya ini terkenal di seluruh Indonesia. Sementara itu, sejak
tahun 1950-an, sebagian bruder bekerja di lapangan karya sosial dan pembangunan
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.44
masyarakat, baik sendirian maupun bersama para imam atau awam; misalnya dalam
pertenunan di Boro, percetakan di Desa Putera dan dalam rangka yayasan Sugijapranata.
Namun jalan yang harus ditempuh tidaklah selalu mudah. Kesulitan datang dari
pemerintah Hindia-Belanda yang tidak selalu bersikap baik terhadap usaha katolik atau
dari rakyat serta adat setempat yang masih banyak berprasangka terhadap para pewarta
Injil. Suster-suster Jesus Maria dan Joseph misalnya harus menunggu 9 tahun sebelum
diberi ijin pemerintah untuk membuka sekolah di Tomohon. Kesulitan lain dialami oleh
para bruder dan suster di Padang dan Jawa Barat yang begitu kokoh adanya.
Dari pengabdian yang tak kenal lelah itu, munculah inspirasi dari para pemuda/i
untuk mengikuti jejak para rasul itu.
Kesulitan yang terutama dialami dalam bidang panggilan hidup membiara terletak
dalam penerimaan status “tidak menikah”. untuk kebanyakan suku, “tidak menikah”
adalah suatu cela, suatu kekurangan, sesuatu yag tidak masuk akal. Dalam suku Batak
misalnya, seorang gadis yang tidak menikah adalah manusia yang tidak berarti. Dalam
pola masyarakat patriarkal, pemuda yang menikah adalah penerus keluarga. Maka
pemuda yang tidak menikah dipandang sebagai pembunuh kelanjutan hidup krabat atau
marganya. Kesulitan lain dicatat oleh seorang suster: dahulu seorang gadis Indonesia
mengalami perubahan besar bila masuk novisiat. Pertama-tama dia harus menyesuaikan
diri dengan makanan yang serba lain dan cara sopan santun Erupa. Ini kerapkali
mengakibatkan tekanan jiwa. Dalam pergaulanpun dia mengalami suasana yang lebih
terbuka. Padahal gadis Indonesia tidak mudah mencurahkan isi hati. Kesukaran-kesukaran
ini cukup menimbulkan kesulitan bagi panggilan membiara. Meskipun demikian, dengan
agak cepat berkembang pula jumlah biarawan/wati. Kalau pada tahun 1933 baru terdapat
20 orang suster dan 6 bruder pribumi Indoneisa, maka pada tahun 1968 terdapat sekitar
3000 suster dan 278 bruder pribumi.
Sejarah Gereja Indonesia/Modul 3 3.45
Ordo-ordo kontemplatif mendapat perhatian juga: Rubiah Klaris di Pacet (tiba di
Indonesia pada tahun 1934). Para suster Karmelitas Tak Bersepatu (OCD) (sejah tahun
1939) di Tomohon, Badjawa dan Lembang. Para rahib Trappis membuka biara di
Rawaseneng pada tahun 1953. Dengan 20 anggota dan belasan calon, nampaknya para
Trappis akan berkembang baik. kerja keras dan berdoa menjadi kekhususan pengabdian
mereka. Mereka giat mengerjakan peternakan, perkebunan dan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid I-IV, Penerbit Arnoldus Ende Flores
2. Indonesianisasi; Dari Gereja Katolik di Indonesia, menjadi Gereja Katolik
Indonesia, Dr. Huub J.W.M. Boelaars, Ofm Cap, Kanisius 2005
3. Katolik di Masa Revolusi Indonesia, Jan Bank, Grasindo, 1999
4. Ragi Carita Jld 2, Dr. Th.van den End dan Dr.J.Weitjens, SJ, BPK Gunung Mulia,
2002
5. Sejarah Gereja Katolik Indonesia
6. Dokumentasi Hasil SAGKI 2005, Bangkit dan Bergeraklah, Obor 2006
7. Dr. M. Purwanto Pr, Gereja Katolik Indonesia Memandang ke Depan, Hasil
refleksi Bersama, Kanisius, 2003
8. Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia