Anda di halaman 1dari 27

PANDUAN UJIAN AKHIR

SEJARAH GEREJA KATOLIK DI INDONESIA

TAHUN 2023

Pernyataan 1

Lebih dari seratus lima puluh tahun, 1522-1677, di bawah bendera


Portugis dan Spanyol, Gereja Katolik berjuang dengan pelbagai
persoalan-nya untuk hadir di kepulauan Maluku yang berada di bawah
kekuasaan politik sultan-sultan.

Jawaban:

Penjelasan:
● Agama Katolik masuk ke Maluku bersama dengan kedatangan orang-orang
Portugis pada tahun 1522. Portugis menduduki Maluku tahun 1522 dan langsung
mewartakan Injil. Namun, kepentingan politik-perdagangan adalah yang utama,
sehingga aktivitas penginjilan praktis selalu dinomorduakan. Para imam yang
menyertai rombongan, praktis hampir tak berperan sedikitpun. Ketika itu para sultan
sudah memeluk agama Islam. Di Ambon, misalnya armada Portugis pernah
mendapat undangan oleh pimpinan suku setempat untuk melindungi diri. Kekuatan
mereka mengesankan para penduduk setempat: ada yang menginginkan kehadiran
Portugis, ada yang menentang. Khususnya mereka yang sudah memeluk agama
Islam menolak kehadiran mereka. Akibatnya, ada perbedaan sikap antara yang
sudah Islam dan yang masih menganut agama asli. Portugis pun memutuskan
untuk mendirikan benteng di Ambon, dan masuk pulalah agama Katolik di antara
mereka. Siapa para misionaris yang mewartakan injil kepada mereka tidak jelas.
Yang pasti bahwa di setiap benteng selalu tersedia seorang pastor atau Vicarius
untuk melayani kebutuhan rohani orang-orang Portugis.

● Tahun 1522 Portugal mendirikan benteng di Ternate dengan harapan dapat


memonopoli perdagangan di Maluku. Namun, tidak semua kepulauan Maluku berada
di bawah kuasa sultan Ternate. Sementara itu, relasi dengan sultan Ternate tidak
selalu berjalan mulus. Sebagian besar pekerja Portugis yang dikirim ke tempat2 jauh
bukanlah pribadi yang bermoral tinggi, melainkan rakus, ingin cepat kaya, sehingga
kepentingan raja dan Gereja di luar kepentingan mereka.

● Fransiskus Xaverius (1546-1547) di Maluku. Ketika Xaverius dkk Jesuit mendarat di


Maluku, ternyata mereka bukan kelompok misionaris pertama, karena di situ sudah
terdapat bangunan dari ordo religius lain: OP, OFM. Xaverius mendarat di Ambon 14
Februari 1546 dan menemui 7 kampung katolik yang kemudian segera dilayani.
Misinya di Asia dibiayai oleh Raja Joao. Kepahitan yang dialami oleh Xaverius: (1)
berasal dari orang2 Portugis sendiri (pedagang & militer) à hidup mereka
bertentangan dengan ajaran Xaverius sehingga menjadi penghalang utama
pewartaan Xaverius. (2) situasi kep. Maluku: lingkungan tidak mendukung à
transportasi sulit, makanan kurang, udara sangat panas, orang pribumi tidak selalu
ramah menerima pewartaannya. Namun, ia tidak putus harapan, karena ia melihat
titik terang: ada kesan bahwa orang pribumi yang masih kafir lebih suka menjadi
kristen daripada islam, diantara mereka terjadi permusuhan (tidak rukun). Kabar
gembiranya: di satu-dua pulau lain kehadiran orang pribumi yang sudah kristen
ternyata lebih besar daripada yang diduga berkat pewartaan mereka yang
mendahuluinya. Xaverius minta supaya dikirim Jesuit: “tidak harus pandai dan tidak
harus seorang imam, yang diperlukan adalah memiliki kerohanian yang kuat, yang
ingin hidup dan mati bersama dan di tengah-tengah kaum kafir, masih muda dan
sehat.” Xaverius sadar bahwa misinya tergantung Raja Portugal, namun interest misi
tak selalu sejalan dengan interes Raja. Maka, Xaverius bersedia menerima
“kompromi” demi kepentingan misi.

● Ketika tahun 1547 Xaverius meninggalkan Maluku, dilanjutkan 4 Jesuit (2 imam + 2


bruder) dan salah seorang dari mereka diangkat sebagai Superior Misi. 20 tahun
setelah keberangkatan Xaverius, merupakan masa keemasan karya misi di Maluku
(memetik buah kebaikan yang ditabur Xaverius). Sultan Hairun (Raja Ternate) sangat
memuji kebaikan Xaverius (meskipun dia tetap menjadi islam). Masa damai berakhir
tragis ketika tahun 1570 Sultan Hairun (ayah Baab Ullah) dibunuh oleh Diego Lopes
de Mesquita (kapten benteng Portugis di Ternate). Baab Ullah mengambil alih
kepemimpinan dan terjadi perang hingga 5 tahun sampai berhasil merebut benteng
Ternate dan mengusir Portugis tahun 1575. Pembunuhan Raja Ternate telah
menyebabkan kehancuran bagi karya misi seluruhnya. Melihat situasi yang
memburuk itu, sultan Tidore yang selalu bermusuhan dengan Ternate, mengambil
kesempatan dengan menawarkan pulaunya sebagai benteng Portugis yang baru.
Pada tahun 1578 Portugis menempati benteng baru di Tidore dan pusat misi
berpindah di sini. Namun, Jesuit dilarang keras untuk mewartakan Injil. Kondisi
diperburuk dengan adanya konflik internal: konflik di antara raja-raja lokal telah
memaksa orang katolik mengikuti raja mereka, kalau tidak akan mengalami
penganiayan. Konflik juga terjadi di kalangan hierarki katolik: (1) antara Jesuit dan
Vikaris Benteng à perkara yurisdiksi gerejani, soal biaya yang seharusnya dibayarkan
kepada imam2 diosesan utk suatu pelayanan sakramental. Tahun 1585Vikaris
setempat melarang Jesuit utk melayani sakramen baptis di Tidore dan menempatkan
di bawah ancaman ekskomunikasi dan interdict.

● · Tahun 1580-1640 Portugis dan Spanyol berada di bawah satu raja. Aktivitas
Gereja Katolik banyak dibatasi dan juga didukung dengan kebijaksanaan politis
Portugal (1580) dan Spanyol (1663). Kehadiran Portugal dan Spanyol (dan kemudian
Belanda) tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial-politik di Eropa dan kondisi
keagamaan pada khususnya.

● · Tahun 1648, berdasarkan Perjanjian Munster, Belanda mendapatkan


kemerdekaan dari Spanyol. Status independen ini juga sekaligus mencerminkan
puncak kekuatan ekonomi negeri Belanda, antara lain berkat dominasi VOC di Asia,
misalnya di Malaka (1641), Ceylon (1654), Makasar (1667), Maluku (1677).

● · 1677 VOC menyerang Kerajaan Siau. Keberangkatan rombongan misionaris


dari Siau mereka sekaligus menandai berakhirnya kehadiran Gereja Katolik di
kawasan Maluku. Keputusan untuk meninggalkan wilayah misi Maluku disebabkan
kesulitan2 yang harus ditanggung oleh misionaris utk karya mereka: (1)
ketergantungan akan dukungan militer, (2) perubahan pemerintahan sipil dan
gerejani, (3) kurangnya kebutuhan hidup.

● · Abad ke-17 Portugal sebagai negara penjajah tertua di zaman modern,


memiliki daerah jajahan terluas mulai dari pantai Afrika, beberapa pulau Atlantik
sampai Brasilia dan di Asia. Politik ekspansi Portugis: (1) melepas diri dari dominasi
Arab di bumi mereka sendiri, (2) memenuhi panggilan pimpinan Gereja untuk
mewartakan injil. Sehingga bula2 para Paus dari abad ke-15 harus menjadi latar
belakang politik ekspansi tersebut: “Gereja dan cita-cita keagamaan memainkan
peranan begitu penting dalam politik ekspansi, sehingga sama esensialnya
mengatakan mengapa dan di bawah lingkungan macam apa para klerus hadir di
sana.”

Pernyataan 2

Sekalipun kondisinya sebagai Gereja Katolik clandestine, periode VOC


(1677-1800) tetap merupakan periode penting bagi kelanjutan
keberadaan Gereja Katolik di Indonesia.

Jawaban:

1. Pengertian Istilah

Clandestine, apa artinya? Secara harafiah merupakan sebuah gerakan bawah tanah atau
gerakan tersembunyi, atau kegiatan gelap. Gereja Katolik Clandestine berarti Gereja yang
melakukan aktivitasnya secara sembunyi-sembunyi, tertutup, tidak terang-terangan. Dalam
misi Jesuit di Maluku, khususnya di Siau, Gereja Katolik mendapatkan tekanan oleh VOC.
VOC melarang segala sesuatu yang berbau Katolik, sehingga aktivitas Kekatolikan
dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi.

VOC merupakan singkatan dari Vereenigde Oost-Indische Compagnie yang merupakan


kongsi dagang Belanda didirikan pada tahun 1602 yang bergerak di Hindia Belanda.

2. Penjelasan

● 1605: VOC merebut benteng Portugis di Tidore dan Ambon. [Ternate dan Tidore
adalah dua kerajaan yang bermusuhan. Pada awalnya, Portugis memilih tawaran
Ternate untuk bersekutu lalu mendirikan benteng di sana. Setelah peristiwa
pembunuhan Raja Ternate: Sultan Hairun, balas dendam anaknya membuat Portugis
terusir dan kemudian ditampung oleh Tidore. Di Tidore ini, Portugis kembali
mendirikan benteng yang pada 1605 ini direbut VOC.]

● Dampak perebutan benteng: Semua misionaris ditahan atau diusir. Pribumi yang sudah
jadi Katolik diberi pilihan: jika ingin tinggal, harus melepaskan iman Katolik. Jika ingin
tetap Katolik, harus pergi ke Filipina.

● Ada daerah kecil bernama Siau yang rajanya (bernama Francisco Xavier Batahi) telah
menjadi Katolik, sejumlah orang Katolik bertahan dan berlindung bersama dengan dua
misionaris Jesuit.

● Setelah banyak kali gagal, armada Spanyol dari Manila berhasil menduduki Ternate
pada 1606, sehingga berkuasa secara politis-militer. Namun, secara Gerejani, masih di
bawah Portugis (diosis Malaka). Portugis di Asia mundur pada 1652, barulah kuasa
gerejani Maluku diserahkan ke Spanyol.

● Pada 1652 bersama Spanyol ini, Jesuit yang dibuang, datang kembali ke Maluku,
bersama Dominikan, Fransiskan, dan Agustinian. Jesuit adalah Portugis, sedangkan
tarekat-tarekat lain adalah Spanyol – muncul sentiment nasionalisme untuk kerja sama
sesama bangsa, Jesuit sendirian. Di sisi lain, raja-raja Ternate dan Tidore melarang
kegiatan misi, terlebih ada ancaman dari VOC. VOC memblokade lalu lintas laut,
sehingga armada Spanyol beserta misionaris terisolir.

● Spanyol mundur karena benteng Manila terancam oleh armada Cina pada tahun 1662-
1663 (bagi mereka, Maluku tidak menguntungkan dibanding Filipina, sehingga semua
pasukan Spanyol di Maluku ditarik). Kesetiaan Raja Siau yang Katolik kepada
Sapanyol membuat Spanyol meninggalkan beberapa orang, termasuk Yesuit untuk tetap
bermisi.

● Pada tahun 1677, VOC menyerang benteng Makassar sebagai pusat penyeludupan ke
Wilayah Maluku dan mengusir semua pedagang asing. Dari benteng Makasar, VOC
bergerak dan menyerang Kerajaan Siau, dan menjadi akhir misi Katolik dan Jesuit di
Maluku. VOC melarang total adanya kehadiran asing betapapun kecilnya. Rombongan
misionaris Katolik terakhir meninggalkan pulau Siau, menjadi tanda berakhirnya
kehadiran Gereja Katolik di kawasan Maluku dan Nusantara. Mulailah masa
clandestine.

● Point 4 dan 5 dokumen yang dipaksakan untuk ditandatangani Raja Siau pada 9
November 1677:

4. Tidak mentolelir agama selain Kristen Calvinis, dan semua benda-benda rohani
Katolik yang dipandang sebagai berhala harus disingkirkan/dibuang/dibakar.
5. Semua pengikut Paus (orang Katolik) tidak diizinkan tinggal di wilayah kerajaan
Siau, atau menghukum mereka sebagai pengacau keamanan.

● Periode VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dari tahun 1677-1800


merupakan salah satu era paling signifikan dalam sejarah Indonesia. VOC, atau yang
lebih dikenal sebagai Perusahaan Hindia Timur Belanda, adalah perusahaan dagang
yang didirikan oleh pemerintah Belanda dengan tujuan memonopoli perdagangan
antara Eropa dan Asia, khususnya di wilayah kepulauan Indonesia.
● Pada periode ini, VOC berhasil mengendalikan sebagian besar perdagangan rempah-
rempah, yang pada saat itu sangat berharga dan dicari oleh banyak negara di Eropa.
Kekuatan VOC tidak hanya dalam perdagangan, tetapi juga dalam pemerintahan dan
militer. Mereka memiliki hak untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan,
termasuk mengadakan perang, bernegosiasi dengan penguasa asing, dan
mengendalikan daerah-daerah yang mereka taklukkan.
● Dalam konteks agama, VOC membawa agama Protestan ke Indonesia. Mereka tidak
melarang agama lain, tetapi memberikan preferensi dan perlindungan kepada
Protestan. Ini berarti bahwa Gereja Katolik dan agama lainnya sering kali menghadapi
diskriminasi atau bahkan penindasan.
● Bagi Gereja Katolik, periode ini menjadi tantangan besar. Gereja harus beroperasi
secara rahasia atau "clandestine" untuk menghindari penindasan. Mereka tidak bisa
beribadah secara terbuka atau membangun gereja dalam skala besar. Misa dan
sakramen harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi ( aktivitas gereja katolik
dilarang),. tidak ada imam, tidak ada yang diijinkan untuk melayani orang2 katolik di
wilayah VOC.
● Periode VOC uang memNamun, meski dalam kondisi yang sulit dan tantangan yang
besar, Gereja Katolik berhasil bertahan. Mereka mempertahankan struktur dan
organisasi gereja, melakukan misa dan sakramen secara rahasia, dan bahkan terus
menyebarkan ajaran Katolik. Inilah sebabnya periode VOC dianggap penting bagi
kelangsungan hidup Gereja Katolik di Indonesia. Meski dalam tekanan dan tantangan,
Gereja Katolik tetap bertahan dan bahkan berkembang.

● Pentingnya periode ini:

Selama periode VOC, Belanda, yang mayoritas beragama Protestan, memiliki kebijakan yang
tidak mendukung Gereja Katolik. Karena itu, Gereja Katolik di Indonesia harus beroperasi
secara rahasia. Meski demikian, ada beberapa alasan mengapa periode ini sangat penting bagi
kelanjutan Gereja Katolik:

1. Periode Ini Menyaksikan Perlawanan dan Ketahanan: Meski beroperasi secara


rahasia, Gereja Katolik berhasil bertahan dalam iman mereka di Tengah . Ini
menunjukkan kekuatan dan ketahanan Gereja Katolik yang akhirnya membantu
mereka bertahan hingga hari ini.
2. Periode Ini Mengukuhkan Keberadaan Gereja Katolik: Meski dalam kondisi yang
sulit, Gereja Katolik berhasil menjaga keberadaannya dan bahkan tumbuh. Mereka
membina umat Katolik dan membangun komunitas yang kuat yang membantu Gereja
Katolik bertahan di Indonesia.
3. Periode Ini Menyediakan Fondasi Untuk Masa Depan: Pengalaman selama periode
VOC membantu membentuk cara Gereja Katolik beroperasi dan bertahan di masa
depan. Mereka belajar cara bertahan dalam kondisi yang sulit dan ini menjadi
pelajaran penting untuk generasi berikutnya.
4. Periode Ini Berkontribusi Pada Pertumbuhan Gereja Katolik: Meski harus beroperasi
secara rahasia, Gereja Katolik tetap berkontribusi pada pertumbuhan dan
perkembangan agama Katolik di Indonesia.

Pernyataan 3

Berdirinya Prefektur Apostolik Batavia pada tahun 1808 akan lebih


mudah dipahami dengan latar belakang pengetahuan situasi sosial-
ekonomi-politik di Eropa pada tahun-tahun itu, terutama perubahan di
Belanda.

Jawaban:

● Latar Belakang sosial-politik Eropa-Belanda

Untuk bisa memahami didirikannya Prefektur Apostolik Batavia pada


tahun 1807, pengetahuan sekilas tentang perkembangan sosial-politik
yang terjadi di Eropa, dan di Belanda khususnya, akan sangat
membantu.

1. Tahun 1648, berdasarkan Perjanjian Munster, Belanda


mendapatkan kemerdekaan dari Spanyol. Status independen ini
juga sekaligus mencerminkan puncak kekuatan ekonomi negeri
Belanda, antara lain berkat dominasi VOC di Asia, misalnya di
Malaka (1641), Ceylon (1654), Makasar (1667), Maluku (1677).
Namun persaingan perdagangan yang semakin ketat dan
ditambah dengan korupsi, pada tahun 1795 kongsi dagang ini,
VOC, dinyatakan bangkrut. Suasana Belanda juga tidak lebih baik.
Tuntutan hak ber-politik menentang dinasti Oranye bermunculan di
sana-sini sehingga Belanda dengan mudah dikalahkan dan
dicaplok oleh ekspansi (Revolusi) Perancis sampai dengan tahun
1813.
2. Tahun 1814, Kongres Wina “mengadili” ekspansi Revolusi
Perancis. Semua penguasa mendapatkan kembali wilayah dan
kekuasaan politik-nya seperti sebelum Revolusi Perancis,
penguasa absolut yang mau dirobohkan oleh Revolusi Perancis.
Raja Belanda, WilhelmOranje, bahkan memperoleh wilayah yang
lebih luas; Belgia dan Luxemburg menjadi bagian dari Kerajaan
Belanda, BeNeLux. Situasi pun berubah. Undang-undang Belanda
cenderung diskriminatif, menomer-duakan warga Katolik. Padahal
dengan masuknya Belgia dan Luxemburg, kondisi demografi juga
berubah. Jumlah warga Katolik menjadi lebih banyak daripada
pemeluk Protestan. Karena Wilhelm I bersikukuh tidak mengubah
undang-undang yang dinilai diskriminatif itu, Belgia pun bergolak
dan berhasil melepaskan diri tahun 1830.
● Dampaknya di Hindia-Belanda, Indonesia

VOC yang sudah dinyatakan bangkrut, diambil alih oleh pemerintah


Belanda pada tanggal 31 Desember 1799. Sejak tanggal itulah
Indonesia menjadi jajahan Belanda dalam arti yang sebenarnya: Hindia-
Belanda. Pada periode ini, Belanda dikuasai oleh Perancis dengan
Liberte, Egalite, dan Fraternite-nya. Gereja Katolik di Indonesia yang
selama masa VOC tidak boleh melakukan aktivitas-nya pun (= periode
klandestin) mendapatkan egalite-nya berkat perjuangan orang-orang
Katolik di Belanda; egalite juga harus berlaku bagi “saudara seiman” di
tanah jajahan. Dengan persetujuan Raja Lodewijk Bonaparte (=suadara
Napoleon Bonaparte), pada tanggal 8 Mei 1807 Paus Pius VII (Luigi
Chiaramonte, 1800-1823) mendirikan Prefektur Apostolik Batavia.

Pernyataan 4

Periode Prefektur Apostolik Batavia (1807-1842) merupakan periode


yang tidak mudah baik bagi para Prefek Apostolik maupun para
misionaris; Gereja Katolik menghadapi persoalan ekstern maupun intern
yang pelik.
Jawaban

Prefektur Apostolik Batavia, 1807-1842

Ada tiga hal pokok yang membuat periode prefektur apostolik


batavia menjadi tidak mudah.

(1) Mgr. Nelissen, 1807-1817; (2) Mgr. Lijnen, 1817-1830; (3) Mgr.
Scholten, 1830-1842

1. Wilayah.

Selama pendudukan Portugis/Spanyol (1512-1677) kehadiran


Gereja Katolik hanya terbatas di Kepulauan Maluku dan
sekitarnya. Sejak 1807, wilayah-nya menjadi jauh lebih luas.
Dokumen resmi Propaganda Fide merumuskannya demikian: “...
untuk menghindari keraguan atas jurisdiksi dari misi Jawa ...
(diputuskan) ... bahwa wilayah kuasa misi Jawa menjangkau
seluruh pulau yang bergantung pada dominium Belgicum” (2 April
1826). Itulah wilayah nusantara, wilayah yang di-klaim VOC
sebagai wilayah jajahan-nya. Dan karena selama VOC eksistensi
Gereja Katolik tidak diakui, jelaslah bahwa setelah didirikan-nya
Prefektur Batavia segala sesuatunya harus mulai dari nol.

2. Policy.

Sebelumnya, Gereja Katolik di nusantara ada di bawah yurisdiksi


Portugal/Spanyol yang memiliki tradisi Katolik amat kuat. Tidak
berlebihan kalau dikatakan bahwa proses evangelisasi berjalan
seiring dengan kolonialisasi. Paling tidak di dalam teori,
pemerintah bertanggung jawab –juga secara finansial- atas
aktivitas Gereja Katolik. Praktek ini berbeda sekali di masa
pemerintah Belanda. Salah satunya berkaitan dengan kebebasan
beragama. Pengaruh Calvinis amat terasa entah di bidang
keagamaan maupun politik. Belum ditambah lagi selama hampir
150 tahun Gereja Katolik di Indonesia praktis dalam kondisi
“klandestin”. Secara internal Gereja perlu membenahi diri, dan di
waktu bersamaan Gereja harus menghadapi kebijakan politik –
eksternal- yang masih diskriminatif.
3. Masalah eksternal.

Masalah terbesar yang dihadapi oleh Gereja Katolik adalah


adanya campur tangan berlebihan dari pihak pemerintah,
teristimewa sikap pribadi Gubernur General-nya. Mereka ini
cenderung mempersempit gerak dan aktivitas Gereja Katolik.
Pihak pemerintah sendiri sudah membatasi antara lain dengan (a)
Surat Izin Kerja, het radicaal; (b) pembatasan jumlah tenaga
gerejani, (c) wilayah kerja-nya, dan (d) yang dirasa “sangat
diskriminatif” adalah mengebiri otoritas Pimpinan Gereja: ...bahwa
wewenang untuk menempatkan, mengganti, dan menghukum
misionaris ada di tangan Gubernur General!!!! Masih menunggu
waktu sekitar 40 tahun, 1847, bagi Gereja Katolik untuk
mendapatkan wewenang minimal-nya.

4. Masalah internal.

Pembatasan dan larangan dari pihak pemerintah masih diperparah


dengan kualitas misionaris yang ada, yang oleh Prefek Apostolik
ketiga –Mgr. Scholten- dirumuskan sebagai sebuah skandal.
Indisipliner. Parahnya persoalan indisipliner ini akanterasa
dampaknya sewaktu pimpinan memiliki otoritas yang jelas dan
dilaksanakan juga secara tegas.

Pernyataan 5

Dalam perjalanan Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, Grooff’s


Affair merupakan kasus yang bisa dinilai sebagai sebuah blessing
in disguise.

Pernyataan 6

Dengan adanya nota der punten, Mgr. Vrancken dan para misionaris
Jesuit dapat membuka stasi-stasi baru di antara pribumi tanpa
mengabaikan pelayanan di antara komunitas-komunitas Eropa dengan
mulai melibatkan pelayanan kongregasi religius lain.

Jawaban:
Pengertian istilah:

Nota der punten adalah kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah dan
gereja pada tahun 1547 dalam menanggapi konflik otoritas yang
disebabkan oleh Mgr. Grooff yang itu menjadi vikaris apostolik di
Suriname (KHK, ultramontanis) dan Rochussen penguasa tertinggi
(febronianits). Di dalam nota der punten termuat beberapa hal berikut ini:
Nota der punten: blessing in disguise;

- Vikaris mendapatkan otoritas eksklusif-nya dalam urusan gerejani

-Tetap butuh het radicaal, tetapi jumlah misionaris itu urusan gereja,

-Boleh bekerja di antara penduduk pribumi

- Misionarisnya tidak disebutkan bahwa harus diosesan

Penjelasan:

Kembalinya Jesuit ke Nusantara

Gagasan awal Mgr. Vrancken mengundang Jesuit adalah (1) Imam


diosesan bekerja untuk orang Eropa, dan (2) Jesuit melakukan karya
penginjilan di antara penduduk pribumi. Para uskup di Belanda
mempunyai gambaran lain. Para Jesuit Belanda dikirim ke Indonesia
untuk mengambil alih seluruh karya misi. Oleh karena itu para uskup
sangat terkejut sewaktu mereka masih menerima surat dari Mgr.
Vrancken yang mencari misionaris baru di antara para romo diosesan:
“Saya terkejut mendengar bahwa Mgr. Vrancken masih meminta dikirim
beberapa imam diosesan untuk misi. Bukankah Jesuit mau mengambil
alih? Menurut saya, misi Jawa tidak akan terjamin tanpa kehadiran Ordo
religius; mustahillah mengirim imam diosesan yang cocok dan yang
mempunyai panggilan untuk tugas demikian.”

Baru setelah permintaannya akan imam diosesan tampaknya


mustahil, mulailah Mgr. Vrancken memikirkan untuk mempercayakan
misi Batavia kepada Jesuit Belanda. Sebenarnya Propaganda Fide
sudah menyerahkan misi Batavia kepada Jesuit Belanda pada tahun
1870, de facto, Jesuit mengambil alih pada tahun 1893 ketika Pater
Walterus Staal ditunjuk sebagai Jesuit pertama yang menjadi Vikaris
Apostolik Batavia. Dari 1859 sampai 1898 jumlah total Jesuit yang
dikirim ke Indonesia ada 107 (89 imam, 18 bruder). Stasi-stasi katolik
sudah didirikan di pulau-pulau besar di nusantara. Orang katolik yang
dilayani tidak lagi eksklusif orang Eropa. Di beberapa tempat jumlah
katolik-pribumi lebih banyak; di Flores dan Bangka bahkan hanya ada
katolik non-Eropa. Luasnya pelayanan terhadap kelompok katolik tidak
bisa dilepaskan dari harmonisnya kerjasama antara Vikaris Apostolik
(Mgr. Vrancken dan Mgr. Claessens) dan para pembantunya yang
praktis semuanya adalah Jesuit.

Di bawah Mgr. Vrancken, 1859-1871

Seperti telah disebut di atas, kehadiran Jesuit di Indonesia dimaksudkan


untuk berkarya di antara penduduk pribumi, untuk memulai karya
evangelisasi: “membawa penduduk pribumi kepada iman katolik.” Akan
tetapi perubahan-perubahan yang terjadi menuntut disesuaikannya
gagasan awal, misal: kurangnya tenaga, permintaan kunjungan pastoral,
luasnya wilayah, persoalan bahasa, kebijaksanaan pemerintah. Policy
vikariat haruslah berdasar pada kebutuhan-kebutuhan lokal. Trus, apa
yang dibuat Jesuit di bawah Mgr. Vrancken?

a. Re-organisasi

Bertambahnya jumlah tenaga Jesuit dan tersebarnya tempat tinggal


menuntut semakin besarnya peran Superior Misi. Jumlah misionaris
dapat bertambah berkat policy pemerintah kolonial yang tidak lagi
membatasi, asal saja Gereja Katolik yang menanggung beayanya.

Pertama-tama, Superior Misi mengusulkan agar tempat tinggal SM


dipindahkan dari Surabaya ke Batavia. Alasannya: di Batavia SM dapat
bertemu dengan setiap misionaris yang baru saja datang sebelum
mereka itu dikirim ke tempat tugas. Alasan lain adalah bahwa karena
kurangnya tenaga, SM juga harus menjadi pastor di tempat di mana ia
tinggal; tugas rangkap antara SM dan pastor. Akibat dari tugas-rangkap
ini, SM tidak bisa mengunjungi para misionaris di tempat lain yang
sebenarnya dituntut oleh tugasnya sebagai SM dan sangat diharapkan
oleh para misionaris. Usulan kedua, perlunya kas bersama di antara
misionaris untuk menjamin aktivitas dan keperluan mereka. Tidak semua
misionaris menerima gaji yang sama dari pemerintah. Dengan adanya
kas-bersama itu, gaji yang diterima dapat dipergunakan untuk
membantu mereka dan karya-kara yang memerlukan. Inilah yang
dikenal Arca Missionis.

b. Pendidikan anak

Banyaknya anak-anak indo merupakan pengalaman paling umum yang


ditemui oleh para misionaris di dalam kunjungan pastoral. Mereka ini
berasal dari pergundikan antara pria-Eropa dan wanita-pribumi. Sistem
kolonial Belanda yang tidak mengijinkan perkawinan Eropa-Pribumi
membenarkan (dalam arti melegitimasikan) praktek ini, dan supaya si
anak memiliki status legal sebagai seorang keturunan Eropa, si anak
harus “diakui” oleh ayahnya yang Eropa. Membaptiskan anak secara
kristen merupakan “tanda bukti” atau “pengakuan” yang paling biasa
dilakukan.

Persoalan biasanya muncul ketika sang ayah harus pindah tempat


atau harus kembali ke tanah air, sementara sang ibu adalah pribumi,
atau lingkungan tempat tinggal ibu bukan lingkungan kristen. Di dalam
situasi demikian kehadiran Gereja Katolik merupakan bantuan besar
bagi anak-anak indo ini. Orang-orang katolik biasanya mengorganisir
suatu yayasan untuk membantu mereka ini, dan nantinya yayasan ini
akan dapat mendukung didirikannya Panti Asuhan seperti di Semarang
(1809), Surabaya (1862), Jakarta (1864), dan di stasi-stasi lainnya. Dan
bagi orang-orang katolik sendiri organisasi untuk mengurus anak yatim
itu, praktis merupakan satu-satunya kegiatan awam dan karena itu
merupakan sarana yang amat penting bagi pembangunan jemaat katolik
di Indonesia.

Pater van den Elzen, Jesuit Belanda pertama yang bekerja di


Indonesia, sewaktu mulai bekerja di Surabaya melihat masa depan
Gereja Indonesia di dalam diri anak-anak indo ini. Dalam diri anak-anak
inilah Gereja Katolik mempunyai kesempatan untuk menanamkan sense
of Catholicism sejak masa kecil mereka, karena mereka ini mempunyai
tempat tinggal yang tetap. Oleh karena itu ia menyadari perlunya
kehadiran kongregasi bruder/suster untuk menangani mereka itu. Pada
tanggal 28 Mei 1862, 4 bruder CSA tiba di Surabaya. Pater van den
Elzen telah mempersiapkan segala sesuatunya sehingga para bruder
bisa langsung mengawali dibukanya sekolah khusus untuk anak laki-laki.
Sekolah bruderan di Surabaya bukanlah satu-satunya sekolah
yang dikelola oleh Gereja Katolik di Indonesia. Para suster OSU telah
membuka sekolah khusus untuk anak putri di Jakarta (1856), dan
kemudian di Surabaya (1864). Dibukanya sekolah-sekolah tersebut
mendapat sambutan antusias, juga dari mereka yang anti-katolik.
Sekolah-sekolah itu harus mandiri karena pemerintah tidak memberi
subsidi; pengelolaannya praktis tergantung penuh dari bayaran sekolah
siswa/i. Akibatnya jumlah anak katolik di sekolah itu sedikit karena
mereka itu miskin. Untuk memecahkan soal, didirikanlah sekolah paralel
-yang gratis tentu saja- khusus untuk anak-anak katolik.

Di stasi-stasi baru, membuka sekolah untuk anak menjadi praktek


umum bagi para misionaris. Mereka sadar bahwa, bagi penduduk
pribumi, pendidikan anak merupakan cara yang paling cocok dan efektif
untuk mengkristenkan kebiasaan-kebiasaan lokal yang terkadang tidak
sesuai dengan ajaran kristen. Dan bagi anak-anak indo, sekolah
menawarkan pendidikan katolik yang tidak bisa didapat dari lingkungan-
nya. Ketika pada tahun 1871 Mgr. Vrancken mengundurkan diri dan
kembali ke Belanda, ia bisa amat bangga karena telah memiliki sebegitu
banyak sekolah di vikariatnya, juga kalau sekolah-sekolah itu amat
sangat sederhana. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa di semua
stasi telah dibuka sekolah untuk pendidikan anak.

c. Pembukaan stasi baru

Juga kalau jumlah misionaris tetap tidak mencukupi Mgr. Vrancken


mencoba untuk memenuhi setiap permintaan untuk suatu kunjungan
pastoral dengan mengirimkan misionaris yang ada di daerah terdekat.
Ada alasan politis di balik tindakan ini. Mgr. Vrancken sadar betul akan
aturan main yang berlaku: begitu zending Protestan masuk ke suatu
wilayah, maka kemungkinan akan kehadiran Gereja katolik menjadi
tertutup. Memang ada undang-undang yang mengatur agar di satu
wilayah tidak terdapat dua macam Gereja, dubbele zending,
maksudnya misi katolik dan zending Protestan.

Dalam periode 1859-1871 ada 17 imam (15 SJ dan 2 diosesan),


beberapa bruder dan suster baru yang datang ke Indonesia. Bruder dan
suster memusatkan pelayanan mereka di sekolah dan/atau di PA, para
imam berkeliling untuk mengunjungi komunitas-komunitas katolik.
Kurangnya sarana transportasi dan jauhnya jarak di antara mereka,
kunjungan pastoral itu bisa berlangsung selama berbulan-bulan.
Akibatnya pembinaan pastoral tidak teratur dan amat superfisial;
kesempatan untuk mengadakan suatu kontak personal dan lebih dalam
hampir mustahil.

Mendesaknya tambahan jumlah tenaga menjadi tidak bisa ditunda


lagi sewaktu kesempatan untuk bekerja dan tinggal di antara penduduk
pribumi diijinkan di wilayah-wilayah yang tidak disebut di dalam Nota
der punten 1847 (Bangka 1853, Flores 1859). Pada tahun 1859 itu,
ditandatanganilah suuatu Traktat Pembagian-Wilayah antara pemerintah
Belanda dan Portugis untuk pulau-pulau di Solor, Timor, Flores, dll.
Selama bertahun-tahun terjadi saling-tuduh antara kedua pemerintah
Eropa itu atas konflik yang berulang. Oleh karena itu, di dalam traktat
tersebut disebutkan bahwa beberapa daerah yang sudah berabad-abad
ada di bawah kekuasaan Portugis –berKTP katolik- diserahkan kpd
Belanda, dan sebaliknya. Kepada para penduduk di wilayah-wilayah
termaksud pemerintah Belanda menjamin adanya kebebasan beragama.
Dan karenanya pemerintah Belanda mempercayakan wilayah-wilayah
tersebut kepada Mgr. Vrancken selaku Vikaris Apostolik Batavia.
Wilayah kevikariatanpun bertambah luas. Kurangnya tenaga tidak
menghalangi Vikaris untuk segera mengirim misionaris ke tempat-tempat
tadi. Beberapa tahun sebelumnya, 1853, Mgr. Vrancken sudah harus
menempatkan seorang pastor permanen di Bangka. Di pulau itu sudah
ada komunitas Cina di bawah kepemimpinan seorang awam Tsen En
Njie. Mereka ini adalah buruh tambang timah dan karenanya bukan
kelompok yang permanen.

Adanya kunjungan-kunjungan pastoral yang dilakukan oleh para


misionaris itu akhirnya juga membuka mata bahwa kontak dengan
penduduk pribumi bukanlah sesuatu yang mustahil. Sayangnya,
cepatnya perkembangan stasi-stasi –yang tidak lagi terbatas pada
katolik Eropa- tidak seimbang dengan jumlah misionaris yang datang.
Antara lain karena alasan inilah Mgr. Vrancken harus mengubah secara
radikal policy yang telah ia pikirkan: Romo diosesan untuk kelompok
Eropa dan Jesuit untuk pribumi di Borneo.
Sudah pada tahun 1863 Mgr. Vrancken mempercayakan stasi
Ambarawa di Jawa kepada seorang Jesuit, romo van der Hagen. Pada
tahun yang sama ia mengirim seorang Jesuit lain bekerja di Flores, romo
G. Metz. Penugasan kedua Jesuit di atas sempat membuat Superior
Misi Jesuit tidak merasa enak, karena ia tidak diajak konsultasi
sementara Jendral Jesuit selalu menekankan agar Jesuit (di tanah misi)
tidak dibiarkan bekerja seorang diri. Akhirnya Vikaris
mengkomunikasikan ‘perubahan’ policy-nya dan meminta kesediaan
Jesuit untuk diutus ke manapun di bagian nusantara ini. Pada waktu
Mgr. Vrancken meninggalkan Indonesia pada tahun 1871, hanya tinggal
dua stasi yang ditangani oleh romo diosesan (Semarang dan Jakarta).
Lainnya, baik di Jawa maupun di pulau lain, praktis ada di bawah
tanggungjawab para Jesuit.

d. Jenis kerasulan lainnya

Di samping penyelenggaraan sekolah, panti asuhan, dan pembukaan


stasi baru, beberapa misionaris menjalankan kerasulan lain. Di satu
tempat karya ini mungkin tidak ditemukan, tetapi di tempat lain justru
mendapat prioritas. Di Flores, sebagai contoh, para misionaris yakin
bahwa Gereja Katolik harus menangani permasalahan sosio-ekonomi
penduduk setempat. Sehubungan dengan situasi ekonomi di tempat
kerjanya, romo G. Metz menulis demikian: “supaya karya misi
berkembang, penduduk harus ditolong baik secara material maupun
spiritual.” Keprihatinan utama-nya adalah bercocok tanam. Oleh karena
itu, di samping memberi katekese, para misionaris membantu penduduk
untuk belajar cara yang lebih baik dalam bercocok-tanam dan mencoba
mengembangkan jenis-jenis tanaman baru.

Jenis kerasulan lain yang sangat berarti adalah pastoral care di


antara para serdadu di rumah sakit. Sebagian besar orang Katolik-Eropa
yang ada di Indonesia bekerja dalam dinas militer dan pada umumnya
mereka itu sangat mengabaikan hidup keagamaan mereka. Berkat
kerajinan dan kesabaran para misionaris, banyak dari para serdadu itu
menemukan kembali iman mereka selama perawatan di rumah sakit.
Para misionaris yang mengenal betul medan dan cara hidup para
serdadu, pertobatan mereka sungguh mengandung makna yang berarti.
Nantinya, kerasulan Jesuit di antara para serdadu itu tidak terbatas pada
merawat dan mengunjungi orang sakit. Keterlibatan para misionaris ini
akan sangat dihargai oleh pemerintah Belanda, dan dengan demikian
akan mendukung relasi antara Gereja Katolik dengan pemerintah.

Pernyataan 7

Dengan masuknya politik liberal, Mgr. AC Claessens dapat melanjutkan


dan memperluas pembukaan stasi-stasi baru di antara pribumi meskipun
harus tetap memperhatikan adanya peraturan pemerintah - dubbele
zending- dan keterbatasan tenaga misionaris.

Jawaban:

Pengertian istilah:

Duble zending adalah hadirnya dua misi yang berbeda yakni misi dari
gereja katolik dan protestan dalam satu daerah yang sama, misalnya
misi di Bangka (1853) dan Flores (1859)

Di bawah Mgr. A.C. Claessens (1871-1893)

Selama sekitar duapuluh tahun di bawah kegembalaan Mgr. Claessens


kehadiran Gereja Katolik di Indonesia semakin meluas. Jumlah romo
diosesan semakin berkurang, Jesuit-nya meningkat. Meski demikian,
jumlah misionaris itu masih belum seimbang dibandingkan dengan
luasnya wilayah misi. Hubungan dengan pemerintah pusat pada
umumnya baik, namun pejabat-pejabat setempat dan pendatang-
pendatang baru sering menimbulkan permasalahan.

a. Perkembangan sosio-ekonomi di Indonesia

Pada tahun 1870, politik cultuurstelsel yang dikritik pedas karena


metode-metodenya yang opresif dan tidak manusiwai diganti dengan
liberalisme. Kebijaksanaan politik yang baru ini menghasilkan boom
ekonomi bagi usaha-usaha swasta di Indonesia. Bagi orang Eropa,
Indonesia tidak lagi dilihat sebagai tanah buangan tetapi lebih sebagai
suatu tempat yang menjanjikan keuntungan. Di samping opsir-opsir
militer dan pegawai pemerintah di antara orang Eropa yang ada di
Indonesia mulai ditemui pula para pedagang dan pengusaha
perkebunan. Ada semakin bermacam profesi, dan karenanya ada
semakin banyak pula perbedaan ideologi dan interest. Gereja Katolik
sering terlibat polemik dengan mereka karena masing-masing ingin
menanamkan pengaruh di masyarakat sedangkan ide dan
pandangannya bukan hanya berbeda tetapi terkadang tidak terdamaikan
dengan ajaran-ajaran Katolik. Apalagi di antara mereka itu ada yang
jelas-jelas dan secara publik menyatakan anti-Katolik.

Tumbuhnya perusahaan-perusahaan swasta baik di Jawa atau di


pulau lain –khususnya di pulau Sumatera- tentu saja menuntut
perbaikan pelayanan umum seperti transportasi dan komunikasi. Dan
tuntutan ini semakin tidak bisa ditunda dengan dibukanya terusan Suez
pada tahun 1869. Pembukaan terusan Suez memperpendek jarak
antara Eropa dan Indonesia. Di Jawa dimulai instalasi telephone dan
telegram. Jalan-jalan KA dibangun untuk menghubungkan kota-kota
dengan yang mempunyai sumber ekonomi. Bertambahnya perusahaan
pelayaran membuat hubungan laut antar pulau semakin sering dan
teratur. Gereja Katolik turut menikmati perkembangan ini karena
memperlancar ruang gerak para misionaris. Jumlah misionaris yang
sedikit bisa sedikit teratasi dengan mobilitas yang tinggi.

b. Gereja di Flores

Flores tetap menjadi prioritas. Metode kerasulan yang dipakai mengikuti


usulan romo G. Metz, yakni menaikkan kehidupan sosio-ekonomi dan
membuka sekolah-sekolah kejuruan. Para bruder Jesuit yang baru
datang biasanya langsung ditugaskan di Flores untuk menangani
pendidikan para pemuda; untuk para pemudi pendidikan dipercayakan
kepada para suster Fransiskanes (OSF) yang datang ke Flores pada
tahun 1879. Pertumbuhan yang cepat Gereja Katolik di Flores tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh Raja Larantukan, Don Lorenzo. Ia dididik di
sekolah misi dan mempunyai keinginan besar untuk membawa semua
anak buahnya kepada iman katolik. Dengan cepat Larantuka menjadi
pusat misi bukan hanya bagi desa-desa di sekitarnya tetapi juga bagi
pulau-pulau lain, seperti Timor Barat dan Sumba.
Pusat misi lain di Flores adalah Maumere. Sebenarnya orang-
orang katolik di sini jumlahnya lebih banyak dan kehadirannya pun lebih
awal. Melulu karena alasan lokasi dan iklim saja-lah yang menunda para
Jesuit untuk mengirim misionaris permanen. Banyaknya Jesuit yang
meninggal pada tahun-tahun pertama menggambarkan tidak
gampangnya situasi misi di Maumere. Keprihatinan utama yang dihadapi
para Jesuit pada masa-masa permulaan adalah membersihkan
kebiasaan-kebiasaan tidak baik yang menyertai perayaan-perayaan
religius yang sudah ada sejak masa Portugis. Berkat keteguhan para
misionaris, dan khususnya pendekatan yang tak kenal kompromi tetapi
dengan penuh cinta dari romo Le Cocq d’Armandville, kebiasaan-
kebiasaan tidak baik tadi bisa diatasi. Kehadiran para Suster sangat
diperlukan tetapi para misionaris menundanya sampai tahun 1890
karena resikonya terlampau besar. Sejak permulaan kegiatan misi di
Flores mengkombinasikan pendekatan sosio-ekonomi-budaya dari
penduduk. Pengembangan bercocok tanam membawa peningkatan
kehidupan ekonomi, penggunaan air bersih berhasil menghapus
berbagai jenis penyakit, pendidikan dan katekese tidak hanya berhasil
menanamkan nilai-nilai kristiani tetapi juga menciptakan sense of
community di antara penduduk. Lalu berkat hubungan baik dengan
pemerintah, Mgr. Claessens berhasil meminta pemerintah untuk
menambah frekuensi pelayaran antara Flores dengan pulau-pulau lain.
Perkembangan yang terjadi di Flores juga diakui oleh pemerintah
kolonial dan para pegawai sipil yang melewati Flores. Maka tidak
berkelebihan kalau dalam laporannya ke Propaganda Fide, Mgr.
Claessens melukiskan bahwa “dalam peredaran waktu misi di Flores
akan menjadi mutiara bagi Vikariat Apostolik Batavia.”

c. Gereja di Minahasa

Gereja Katolik di Minahasa, Sulawesi Utara, menghadapi suatu policy


yang sama sekali berbeda dari Gereja di Flores. Oposisi dari para
pegawai kolonial lokal terhadap Gereja Katolik bukanlah hal yang jamak.
Di Flores, ada jaminan dukungan dari Gubernur General. Lain di
Minahasa. Di sini para pegawai lokal, para pendeta protestan, dan
bahkan GG sendiri –secara langsung atau tidak- menghambat
pertumbuhan Gereja Katolik. Mereka menganggap Minahasa sebagai
daerah yang eksklusif untuk karya zending pun kalau ada beberapa
penduduk yang sudah memeluk agama katolik. Kunjungan pastoral
seorang Jesuit pada tahun 1868, sebagai contoh, berakhir dengan
protes resmi GG terhadap Mgr. Vrancken. Untuk tidak memperkeruh
suasana mulai tahun itu, komunitas katolik di Minahasa untuk sementara
tidak mendapat kunjungan pastoral.

Pada tahun 1884, jumlah orang katolik sudah mencapai 4,000


orang. Sekali lagi Mgr. Claessens mengajukan permintaan kepada GG
yang baru, O van Rees, untuk mendirikan stasi di Minahasa. Kali ini
permintaan diijinkan dengan tiga syarat: (1) pemerintah memutuskan
agar stasi didirikan di Manado dan bukan di Minahasa; (2) karena bukan
stasi-nya orang Eropa, urusan finansial bukan tanggung jawab
pemerintah; (3) untuk meredakan ketidaksetujuan pihak protestan,
pemerintah meminta agar Gereja Katolik mengangkat seorang pastor
lain, artinya, bukan romo van Meurs yang sebenarnya sudah mengenal
baik daerah dan penduduknya.

d. Gereja Katolik di wilayah-wilayah lain

Sementara di stasi-stasi baru Gereja Katolik tumbuh baik dalam jumlah


maupun kegiatan, di stasi non-Eropa pertama dan tertua, yaitu stasi
Bangka yang eksklusif imigran Cina, malah harus ditinggalkan.
Perhatian Gereja terhadap komunitas ini tidak pernah kurang seperti
terlihat dari kualitas dan jumlah misionaris yang ditugaskan ke stasi ini.
Pada akhirnya Vikaris dan Superior Misi Jesuit berkesimpulan bahwa
situasi sosial di Bangka tidak memungkinkan dibangunnya sebuah
komunitas katolik yang nyata dan solid. Kebutuhan rohani di Bangka
kemudian dilayani dari stasi Singkawang, Kalbar, yang didirikan pada
tahun 1885.

Singkawang didirikan sebagai pusat untuk memiliki kontak dengan


orang-orang Dayak. Untuk mewartakan Injil kepada mereka inilah
sebenarnya Mgr. Vrancken telah mengundang Jesuit Belanda ke
Indonesia. Setelah tigapuluh tahun (1859-1889) akhirnya Jesuit dapat
mengadakan kontak dengan mereka. Romo Staal, pastor Singkawang
dan yang nantinya menjadi Vikaris Batavia, mengungkapkan pentingnya
kerasulan di antara orang Dayak sbb.: “Kita memerlukan beberapa
dekade untuk membawa penduduk ini menjadi orang-orang kristen yang
solid … Nuraniku mengatakan bahwa kita mempunyai dasar alasan
yang kuat untuk berharap akan berhasilnya karya ini, dan bahwa kita
bertanggungjawab bila kita tidak mencobanya.”

Ketika Mgr. Claessens memutuskan untuk meninggalkan stasi


Bangka dan menempatkannya di bawah Singkawang, sebenarnya juga
ada alasan lain. Pada waktu itu ia telah menerima permintaan untuk
membuka stasi baru di Kepulauan Kei. Pada tahun 1888 romo Kuster
dikirim ke Kei. Tanpa melupakan adanya kekecewaan pada tahuan-
tahun awal, simpati penduduk setempat dan dukungan para pegawai
kolonial akhirnya Gereja Katolik juga berkembang dengan cepat di
wilayah ini.

Pernyataan 8

Pada akhir abad XIX, Gereja Katolik di Indonesia mengalami perubahan


krusial, yaitu diserahkannya Vikariat Batavia kepada Jesuit dan
sekaligus beberapa tantangan yang menuntut penyelesaian segera.

Jawaban:

Berikut adalah penjelasan lengkap dengan pernyataan tersebut:

# “Penyerahan Vikariat Batavia kepada Jesuit:”


- Pada akhir abad k-19 (1893), tanggung jawab evangelisasi di
Nusantara secara kanonik dialihkan dari para imam praja kepada
Serikat Jesus (Mgr. Staal menjadi vikariat apostolik di Batavia.
- Perubahan ini terjadi karena satu vikariat apostolik yang mencakup
seluruh Nusantara dianggap terlalu luas, sehingga wilayah dan
tanggung jawab harus dibagi-bagi.
# ”Tantangan yang Dihadapi:”
- “Kekurangan Tenaga Misionaris:” Salah satu tantangan utama
adalah kekurangan tenaga misionaris yang berkualifikasi dan
bersedia bekerja di kondisi yang sulit di Indonesia.
- “Pembagian Wilayah:” Diskusi tentang pembagian wilayah-wilayah
gerejawi menjadi penting untuk efektivitas pelayanan, mengingat
kebhinekaan suku, bahasa, dan budaya di Indonesia.
- “Penerimaan Pewartaan Injil:” Meskipun belum ada tanda-tanda
yang jelas bahwa orang Jawa akan menerima pewartaan Injil, ada
laporan yang menyebutkan bahwa di daerah pedalaman
kemungkinan itu bukan sesuatu yang mustahil. Berdasarkan surat-
surat yang ditulis oleh pater Van Lith.
- “Pertimbangan Finansial:” Pembagian wilayah juga membawa
pertimbangan finansial, karena membagi wilayah hanya akan
menciptakan ketidakcocokan, merongrong kesatuan dan
memperberat kekuatan finansial.

Istilah-istilah asing dalam konteks ini meliputi:

- “Vikariat Batavia:” Wilayah gerejawi yang dipimpin oleh seorang


vikaris apostolik, yang pada masa itu mencakup seluruh Hindia
Belanda.
- “Jesuit:” Anggota dari Serikat Jesus, sebuah tarekat religius Katolik
yang didirikan oleh Santo Ignatius Loyola.
- “Imam Praja:” Imam yang berasal dari Negeri Belanda dan dikirim
sebagai misionaris ke Hindia Belanda.
- “Serikat Jesus:” Tarekat religius Katolik yang anggotanya, Jesuit,
berkomitmen pada pendidikan, intelektualisme, dan misi.

Perubahan ini merupakan langkah penting dalam sejarah Gereja Katolik


di Indonesia, karena menandai transisi kepemimpinan dan strategi
dalam upaya evangelisasi di wilayah tersebut. Tantangan-tantangan
yang dihadapi menuntut solusi yang bijaksana dan adaptasi terhadap
kondisi lokal.

Pernyataan 9

Agar supaya dapat memusatkan perhatian pada karya misi di antara


orang Jawa, misionaris Jesuit menyerahkan pelayanan wilayah-wilayah
gerejani Luar Jawa kepada Kongregasi-kongregasi lain.

Jawaban:
Untuk memfokuskan upaya mereka pada karya misi di antara
orang Jawa, misionaris Jesuit memutuskan untuk menyerahkan
tanggung jawab pelayanan di wilayah-wilayah gerejani di luar Jawa
kepada kongregasi-kongregasi lain. Ini berarti bahwa Serikat Yesus
akan berkonsentrasi pada evangelisasi dan pembangunan komunitas
Katolik di pulau Jawa, sementara kongregasi lain akan mengambil alih
tugas serupa di wilayah lain di Indonesia. Berikut adalah penjelasan rinci
mengenai pernyataan tersebut:

# “Fokus Misionaris Jesuit:”


- Misionaris Jesuit memiliki tradisi panjang dalam pendidikan dan
evangelisasi, dan mereka memilih untuk memusatkan sumber
daya dan tenaga mereka pada pulau Jawa, yang memiliki populasi
besar dan merupakan pusat politik dan ekonomi Indonesia.

# “Penyerahan Pelayanan Wilayah Luar Jawa:”


- Untuk memungkinkan fokus ini, misionaris Jesuit menyerahkan
tanggung jawab pelayanan di wilayah-wilayah gerejani di luar Jawa
kepada kongregasi-kongregasi lain yang juga aktif dalam misi di
Indonesia.
- Kongregasi-kongregasi ini termasuk, tetapi tidak terbatas pada,
Kongregasi Murid-Murid Tuhan (CDD), Kongregasi Hati Maria Tak
Bernoda (CICM), dan Serikat Xaverian (SX), yang semuanya
memiliki kehadiran dan pelayanan di Indonesia.
# “Kongregasi-Kongregasi Lain:”
- Kongregasi-kongregasi ini adalah komunitas religius yang
anggotanya bekerja dalam berbagai bidang pelayanan, seperti
pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan sosial, serta evangelisasi
dan pembangunan komunitas.
- Dengan menyerahkan tanggung jawab wilayah-wilayah gerejani di
luar Jawa, misionaris Jesuit dapat memastikan bahwa pelayanan
dan pengembangan Gereja Katolik terus berlangsung di seluruh
Indonesia, sementara mereka sendiri dapat lebih fokus pada misi
mereka di Jawa.

# “Istilah-istilah asing dalam konteks ini meliputi:”


- “Misionaris Jesuit:” Anggota dari Serikat Jesus, sebuah tarekat
religius Katolik yang didirikan oleh Santo Ignatius Loyola.
- “Kongregasi:” Komunitas religius dalam Gereja Katolik yang
anggotanya hidup bersama dengan tujuan religius tertentu.
- “Evangelisasi:” Proses menyebarkan ajaran agama Kristen,
khususnya ajaran Katolik, kepada orang-orang yang belum
mengenalnya.
- “Pelayanan Gerejawi:” Aktivitas dan layanan yang disediakan oleh
Gereja Katolik untuk memenuhi kebutuhan rohani dan sosial
umatnya.

Keputusan ini mencerminkan strategi adaptif yang diambil oleh


Gereja Katolik untuk memaksimalkan dampak misi mereka di Indonesia,
dengan membagi tanggung jawab sesuai dengan kekuatan dan focus
masing-masing kongregasi.

Pernyataan 10

Sewaktu ada beberapa Kongregasi yang berminat untuk terlibat


berkarya di Jawa, Jesuit membatasi pelayanan di Jakarta dan sebagian
Jawa Tengah. Peran dan pendekatan misi Romo van Lith memainkan
peran yang sentral.

Jawaban:

Membuka karya misi di antara Orang Jawa; Romo van Lith dan
Muntilan

Keputusan untuk memfokuskan karya misi di Pulau Jawa ternyata


mendapat dukungan penuh dari pimpinan provinsi di Belanda. Dukungan
penuh tersebut diwujudkan dengan segera dikirimnya tiga tenaga muda
yang dikhususkan untuk “misi Jawa”. Mereka adalah Pater van Lith,
Hoevenaars, dan Engbers. Dalam catatan-nya Pater Provinsial bahkan
menulis bahwa Belanda rela melepas putra-putranya yang terbaik untuk
“misi Jawa”. Lagi-lagi karya misi di Hindia Belanda dihadapkan pada
jalan bersimpang. Misi Jawa yang baru seumur jagung dan belum
menampakkan hasilnya sudah diwarnai dengan konflik besar di antara
para penanggungjawab-nya. Romo van Lith dan Romo Hoevenaars
bukan hanya berbeda visi tetapi juga tampaknya tidak bisa bekerjasama.
Beratnya konflik dan sengitnya perselisihan di antara kedua rasul Jawa
hampir membuat Pimpinan Misi untuk menutup saja karya yang baru
saja diawali itu. Dalam suasana yang amat genting ini, tidak berlebihan
untuk mengatakan “peristiwa Kalibawang” sebagai sebuah mukjizat.
Pendekatan misi Romo van Lith akhirnya dipilih sebagai arah baru karya
misi di antara orang Jawa, pendekatan budaya. Bahasa untuk zaman
kita, dialog adalah sebuah keharusan.

Jika para misionaris ingin membawa orang non-Kristen kepada Kristus,


mereka harus menemukan titik-awal bagi pengjinjilan. Di dalam agama
mereka-lah terletak hati dari orang-orang ini.

l Kalau para misionaris mengabaikan ini, mereka juga akan kehilangan


titik temu untuk menawarkan kabar gembira dalam hati mereka.Romo
Hoevernaars mendapat bantuan hukum tapi orang jawa mati-matian
bahwa kalau sudah terkena air, maka bisa dikatakan itu adalah baptisan-
terkait pratek mericik anak2 yang hadir dengan air.anak2 melaporkan
kepada orang tua dan orang tua tidak menerima praktek itu.

Di Pulau Jawa, khususnya, di mana penduduk yang paling maju dari


seluruh kepulauan ini tinggal, mempelajari Hinduisme, Budhisme, Islam,
dan budaya Jawa adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda.
Agama-agama ini telah berkembang, tetapi agama asli tidak pernah
tercabut dari hati orang-orang ini.

Berpangkal dari pendekatan gaya Muntilan, gaya van Lith, inilah


Serikat Jesus melayani Gereja di antara penduduk pribumi yang masih
berada di bawah penjajahan Belanda. Mulai dengan kaderisasi awam
pribumi di Kolese Xaverius Muntilan, menyiapkan tenaga-tenaga
gerejani di Muntilan-Code-Mertoyudan, membina kesadaran berpolitik
menuju self-government lewat tulisan dan keterlibatan langsung, Romo
van Lith menempatkan Serikat Jesus dan Gereja menjadi bagian integral
dari pergulatan pribumi. Tentu saja bukan tanpa kesalahpahaman dan
konflik, pro dan kontra. Warisan spiritualitas Bapa Ignatius yang
kemudian diterjemahkan dalam konteks budaya oleh Fransiskus
Xaverius, Alessandro Valignano, Matteo Ricci, Roberto de Nobili,
Alexandre de Rhodes di bumi Asia diupayakan tertanam pula di bumi
Indonesia. Dokumen-dokumen misi yang muncul pada periode ini
mengkonfirmasi langkah, orientasi, dan arah keterlibatan Serikat Jesus.
Tokoh-tokoh awam-Katolik pun bermunculan, panggilan Jesuit pribumi
juga berkembang. Bersama dengan awam, Kongregasi-kongregasi
religius lain Serikat Jesus melibatkan diri dalam pergulatan masyarakat
Indonesia dalam mempersiapkan kemerdekaan dan masa-masa awal
kemerdekaan. Keterlibatan penuh anggota-anggota Serikat Jesus dan
Gereja Katolik selama periode-periode tersebut membuahkan hasil yang
baik. Gereja dipandang sebagai bagian dari bangsa Indonesia sendiri
dan tidak dilihat sebagai institusi asing

Dengan dimulainya pembagian wilayah para Jesuit berharap dapat


mengintensifkan pelayanan mereka di wilayah yang lebih sempit.
Nyatanya mereka masih harus menunggu karena para MSC tidak
segera datang dan karena berkecamuknya Perang Dunia I. Setelah
menyerahkan wilayah misi di luar Pulau Jawa pada tahun 1919, para
misionaris Jesuit dapat memusatkan karya pelayanannya sebatas di
Jawa. Namun, ketika beberapa Kongregasi/Ordo lain dari Belanda
memperlihatkan minat untuk juga bekerja di Jawa, pimpinan Jesuit
mengusulkan rencana kepada Propaganda Fide untuk juga membagi
wilayah misi di Jawa menjadi beberapa prefektur. Secara kronologis,
pembagian itu adalah sbb.:

tahun 1923, wilayah yang kemudian akan menjadi Prefektur Malang


kepada Karmelit (OCarm), dan Prefektur Surabaya kepada Lazaris
(Congregatio Missionis, CM);

tahun 1927, wilayah yang kemudian akan menjadi Prefektur Purwokerto


kepada Misionaris Hati Kudus (MSC) dan Prefektur Bandung kepada
Salib Suci (Ordo Sanctae Crucis, OSC);

tahun 1929, wilayah yang kemudian akan menjadi Prefektur Sukabumi,


dan yang sekarang Keuskupan Bogor kepada Fransiskan (Ordo
Fratrum Minorum, OFM).

Pernyataan 11
Demi kemuliaan Allah yang lebih besar –AMDG- di Indonesia telah hadir
banyak kongregasi baik Imam, Bruder, maupun Suster untuk melayani
baik di keuskupan-keuskupan maupun di pelbagai jenis karya sehingga
pada tanggal 3 Januari 1961 misi Indonesia dinyatakan sebagai hierarki
mandiri dengan dekrit Quod Christus Adorandus dari Paus Johannes
XXIII.

Jawaban:

Pengertian istilah;

AMDG:

AMDG: "Ad maiorem Dei gloriam" adalah frasa Latin yang dapat diterjemahkan
sebagai "Untuk kemuliaan Allah yang lebih besar." Frasa ini adalah moto atau
semboyan dari Ordo Yesuit (Society of Jesus), sebuah ordo keagamaan dalam
Gereja Katolik yang didirikan oleh Santo Ignatius Loyola pada tahun 1540. Makna
dari moto ini mencerminkan komitmen Yesuit untuk bertindak dan bekerja untuk
kepentingan dan kemuliaan Allah yang lebih besar daripada kepentingan pribadi
atau kelompok. Ide ini mencerminkan semangat pengabdian dan pelayanan bagi
orang lain yang menjadi landasan spiritualitas Yesuit.

Quod Christus Adorandus:

Quod Christus Adorandus: Pada 3 Januari 1961 Paus Yohanes XXIII mengeluarkan
Konstitusi Apostolik Quod Christus untuk mendirikan hirarki Katolik di Indonesia.
Enam Provinsi Gereja diadakan (Jakarta, Semarang, Ende, Medan, Pontianak dan
Makassar); vikariat-vikariat apostolik menjadi keuskupan atau keuskupan agung.
Pelaksanaan Konstitusi Apostolik tersebut dipercayakan kepada Internunsius
Apostolik pada waktu itu, Uskup Agung Gaetano Alibrandi.

penjelasan:

Hierarki Mandiri

Dengan berlanjutnya pembagian wilayah ini, maka para misionaris Jesuit tinggal
mempunyai wilayah pelayanan di Jakarta dan sebagian wilayah Jawa Tengah. Pada
tahun 1940 sebagian wilayah Jawa Tengah itu akan menjadi Vikariat Semarang.
Propaganda Fide mempercayakan kegembalaan vikariat baru Semarang itu ke
tangan seorang imam pribumi Jesuit, Romo Albertus Soegijapranata, yang berarti
juga Uskup pribumi Indonesia pertama. Beberapa tahun sebelum ini, Mgr. Willekens
sudah memulai pembinaan imam diosesan untuk Vikariat Batavia (dan Semarang).
Waktu itu pendidikan imam pribumi untuk anggota religius memang sudah dimulai di
Kolese Santo Ignatius. Para calon imam diosesan ini pun bergabung di sana
(Seminari ‘Code’) sampai nantinya berpindah ke tempat yang baru di Kentungan.
Dengan semakin banyaknya tenaga misionaris dan tenaga-tenaga pribumi,
Gereja Katolik juga semakin berkembang baik di dalam jumlah maupun kegiatan.
Masih ada beberapa Kongregasi/Ordo lain lagi yang menawarkan diri untuk turut
ambil bagian bagi perkembangan Gereja. Di Sumatra (SCJ, SSCC, SX), Kalimantan
(MSF, CP, OMI, SMM), Sunda Kecil (CSsR, OCD, CMF) dan wilayah-wilayah misi
lain juga mulai dibagi. Kehadiran dan peranan para Bruder (CSA, CMM, FIC, MTB,
dll) dan Suster (OSU, OSF, SCMM, SSpS, CB, JMJ, SPM, ADM, PI, FMM, KFS,
FSGM, FCh, dll.) tidak bisa dilupakan di dalam perkembangan ini. Kehadiran para
religius ini memperindah pelayanan Gereja dalam bidang kesehatan, pendidikan,
dan sosial. Wajah Kristus hadir dalam bentuk Rumah Sakit, Sekolah-sekolah dari
pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Bahkan pelayanan pendidikan ini, di
Semarang khususnya, menjangkau pelosok-pelosok wilayah yang bahakn Sekolah
Negri pun belum hadir. Juga dalam pelayanan sosial, Gereja hadir dalam bentuk
Panti Asuhan, kursus-kursus ketrampilan dan lainnya.

Akhirnya, pada tanggal 3 Januari 1961, dengan Surat Apostolik-nya Quod Christus
Adorandus Bapa Suci Paus Yohanes XXIII menyatakan daerah misi Indonesia
sebagai Hierarki Gerejani yang mandiri. Status mandiri ini memungkinkan Gereja
Indonesia bisa terlibat aktif di dalam Konsili Vatikan II, sejajar dengan Gereja-Gereja
lain. Dan kiranya memang inilah salah satu yang melatarbelakangi keinginan Paus
Yohanes XXIII meningkatkan status Gereja Indonesia sebagai Hierarki Mandiri.
Tidak boleh dilupakan bahwa sewaktu Surat Apostolik itu dideklarasikan Indonesia
juga sudah memiliki beberapa Kongregasi Suster Pribumi: TMM (Tarekat Maria
Mediatrix - Amboina), CIJ (Congregatio Imitationis Jesu - Ende), KKS (Kongregasi
Keluarga Suci -Pangkal Pinang), ADSK (Abdi Dalem Sang Kristus – Ungaran), PRR
(Puteri Reinha Rosari - Larantuka). Seminari Menengah dan Seminari Agung, juga
tempat pendidikan-pendidikan imam religius pun sudah muncul di pelbagai tempat.

Anda mungkin juga menyukai