Anda di halaman 1dari 7

K.

ALIRAN-ALIRAN GEREJA
- PANTEKOSTA
-BALA KESELAMATAN
- ADVENT

I. GEREJA PENTEKOSTA
Gereja-gereja Pentakosta di Indonesia dan di seluruh dunia berasal dari
gerakan Pentakosta yang timbul di Amerika Utara sekitar tahun 1906.
Sama seperti CAMA, gerakan itu merupakan salah satu tunas “Holiness
Movement” (Gerakan Kesucian) yang timbul di dalam Gerakan Metodis
pada masa John Wesley dan menekankan kembali pertobatan secara
mendadak yang menjadi cita-cita dalam kebnagunan Metodis abad ke-
18, serta kesempurnaan Kristen yang dianjurkan dalam teologi Wesley
dan mula-mula dipertahankan dalam praktik kehidupan jemaat. Lama-
kelamaan penganut Gerakan Kesucian ini keluar dari Gereja Metodis
dan membentuk organisasi-organisasi tersendiri. Menjelang tahun 1900,
salah seorang tokohnya bernama Ch. F Parham mengembangkan ketiga
pokok ajaran kemudian hari menjadi ciri gerakan Pentakosta pada
umumnya, yaitu penekanan pada eskatologi, pada baptisan dengan Roh,
dan pada karunia-karunia Roh, khususnya karunia bercakap-cakap
dengan bahasa Roh (karunia lidah), sebagai tanda seorang telah
menerima baptisan Roh. Gerakan Pentakosta merupakan cabang
Gerakan Kesucian, tetapi dengan penekanan khusus pada karunia-
karunia Roh. Pada tahun 1972, pengikut aliran Pentakosta di seluruh
dunia mencapai sekitar 20 juta orang. Gereja Pentakosta mempunyai
ciri-ciri tertentu sama. Watak gerakan Pentakosta yang spontan dan
tidak memiliki organisasi ketat, gerakan itu masuk ke Indonesia dengan

83
cara yang tidak berencana, kira-kira bersamaan waktu di beberapa
tempat. Pada tahun 1922-1925 seorang Inggris beristrikan orang
Belanda, bernama William Bernard, di utus ke Jawa oleh salah satu
kelompok Pentakosta di Belanda. Di situ ditemukan sejumlah orang
Kristen yang bergabung dalam sebuah kelompok doa, yang tertarik
kepada ajaran Pentakosta dan yang di kemudian hari memainkan
peranan penting dalam gerakan Pentakosta di Indonesia.

Sejarah gerakan Pentakosta di Indonesia, dilihat dari sudut


lembaga-lembaganya. Pada tahun 1923, penginjil-penginjil Pentakosta
yang berada di Indonesia. Antara tahun 1971-1980 tidak terjadi lagi
perpecahan dalam lingkungan gereja-gereja Pentakosta. Dalam tahun
1930-an salah satu gereja Pentakosta yang besar di Amerika yakni,
“Assemblies of God”, memulai karya pl di Jakarta. Gereja ini
mempertahankan ajaran tradisional mengenai Trinitas dan menolak
ajaran “Jesus Only”.

1923 Pinksterbeweging (J.Thiessen),kemudian Gereja Gerakan


Pentakosta (GPP).

1923 De Pinkstergemeente in Nederlands-Indie/Pinksterkerk/ Gereja


Pentakosta di Indonesia (Groesbeek, Van Klaveren. Van Gessel,
Bernard)

1931/5 De Pinkster Zending, kemudian Gerea Utusan Pentaakosta


(GUP)

1931 Gemeente Van God, kemudian sidang emaat Allah, dengan di


kemudian hari bergabung dengan Sidang Jemaat Allah dari
Amerika Serikat

1941 GPdI-Sinaga (Sunut)

84
1946 Sing Ling Kauw Hwee, kemudian menjadi Gereja Isa Almasih
(Semarang)

1948 GpdI- Siburian (Sumut)

1951 Sidang Jemaat Pentakosta

1952 Gereja Bethel Injil Sepenuh

1957 GBIS pecah, disamping GBIS berdiri Gereja Bethel Tabernakel

1959 Gereja Pentakosta Pusat Surabaya (Isak Lew)

1960 GBIS pecah lagi, berdirila Gereja Nazareth Pentakosta

1966 GpdI- Sianturi(Sumut)

1967 Gereja Pentakosta Elim (Surabaya, Timor)

1969 GBIS pecah lagi, berdirilah Gereja Bethel Indonesia

1970 GBT pecah, bverdirilah Gereja Taberbakel

1971 GpdI- Sianturi pecah, berdirilah GpdI- Sianipar (Sumut)

Sejarah kegiatan Pentakosta di Indonesia memperlihatkan


beberapa ciri khas yang membedakan diri sejarah karya pl oleh
lembaga-lembaga zending “kontinental”.

• Para penginjil Pentakosta pada umumnya tidak menghormati asas


comity yang dianut oleh lembaga-lembaga Eropa.

• Berbeda dengan lembaga pl “kontinental”, para penginjil Pentakosta


dan juga gereja-gereja yang lahir melalui usaha mereka tidak
menyelenggarakan kegiatan dalam bidang pendidikan, kesehatan,
dll.

85
• Berhubungan dengan kenyataan yang digambarkan di atas, maa para
penginjil Pentakosta pada umumnya lebih mudah bergerak
ketimbang para zendeling lembaga-lembaga dari Eropa.

• Pada masa itu belum tersedia Alkitab dalam bahasa setempat, dan
kalaupun ada belum belum tentu orang bisa membacanya karena
mereka pada umumnya buta huruf.

• Latar belakang teologi aliran Pentakosta dan lembaga-lembaga


Eropa masing-masing. Baik lembaga-lembaga pekabaran Injil
maupun gerakan Pentakosta merupakan hasil gerakan kebangunan.

2. Gereja Bala Keselamatan


Bala keselamatan (salvation Army) didirikan pada tahun 1878 di
London oleh William Booth (1829-1912). Mula-mula Booth menjabat
pendeta gereja Metodis di Inggris. Tetapi karena gerejanya mengganggap
dia terlalu giat mengadakan kampanye pekabarn Injil dan terlalu banyak
berurusan dengan para gelandangan, pemabuk, pelacur, dan lain-lain. Maka
pada tahun 1862 dia keluar. Tiga tahun kemudian didirikanya lembaga pI
(di dalam negeri) yang mellaukan kampanye di dalam kemah yang berpinda
pindah. Pada tahun 1878 organisasi itu dirombak menjadi “The Salvation
Army” (Bala keselamatan, BK) yang disusun menurut pola militer,
“Kolonel” “Kapten” dan seterusnya.

Tidak lama setelah Bala Keselamatan mendirikan cabang di


Negeri Belanda, cabang ini pada gilirannya menjadi induk Bala
Keselamatan di Indonesia. Pada tahun 1894 dua perwira diutus ke Jawa.
Mereka menetap di Purworejo. Tetapi beberapa tahun kemudian pusat

86
usaha BK dipindahkan ke daerah Semarang. Di situ pada tahun 1903
dibuka pusat Latihan buat mendidik perwira-perwira bangsa Indonesia.
Di situ juga dibuka tempat penampungan orang tuna wisma
“Bugangan”, dan koloni Salib Putih di Salatiga, setelah banjir dan
kelaparan yang berlangsung pada tahun 1902. Bala Keselamatan
mendirikan pula beberapa rumah sakit kusta dan rumah sakit umum.
Pimpinan Koloni Salib Putih di Salatiga memandang prelu
menciptakan sarana transmigrasi bagi penghuni Koloni itu. Maka
didirikan koloni yang serupa di lembah palu (Sulteng). Mulai tahun
1913 Bala keselamatan menanggung pengelolaan koloni tersebut yang
seklaigus dijadikanya sebagai pangkalan karya pI di kalangan penghuni
daerah itu. Salah seorang perintis Karya itu adalah letnan-Kolonel
Leonard Woodward bersama Istri (di sulawesi 1917-1949). Metode
yang dipakai tidak banyak mendirikan sekolah dan rumah sakit,
Mendidik anak daerah menjadi guru, dan akhirna menyerahkan
pekerjaanya kepada mereka itu. Hanya tidak ada pelayanan baptisan
kepada yang masuk Kristen dan dalam ibadah jemaat tidak ada
perayaaan perjamuan.
Kini (1984) di Indonesia terdapat 3.500 lebih perwira (Opsir,
tenaga staf) Bala keselamatan dengan 60.000 anggota yang terbagi atas
4 divisi dan & distrik. Tiap “Jemaat setempat disebut “Korps” Tiap hari
Minggu pagi diadakan kebaktian yang disebut “Kebaktian Kesucian”
sebab bermaksud hendak menghancurkan umat Allah ke kesucian dan
memberi pelajaran tentang cara memelihara dan mengembangkan berkat
kesucian itu. Tiap Minggu malam diadakan “Kebaktian tebusan” dengan
madsud agar dalam kebaktian itu orang yang belum bertobat boleh
mendapat tebusan. Acara kebaktian itu bersifat lebih terbuka dan ramai.
Kegiatan kegiatan Bala keselamatan lainya mencakup kebaktian di luar
gedung kebaktian, penyiaran buku dan majalah (Majalah Intenasional

87
“War Cry yang di Indonesia berjudul “Berita Keselamatan”)
Pembianaan orang muda, pengelolaan sekolah, rumah sakit, panti
asuhan, dan kegiatan sosial lainya.

3. Gereja Adven

Gereja Advent Hari Ketujuh berakar dalam gerakan kebangunan


yang berlangsung di Amerika Serikat Tahun 1820 .Dalam gerakan ini,
unsur Eskatologi (Penantian Kedatangan Kembali Kristus) sangat di
pentingkan. Salah seorang petani bernama William Miller, yang
kemudian hari menjadi penginjil dalam Gereja Baptisan, intah
menafsirkan nubuat – nubuat dalam kitab Daniel dan Wahyu. Ratusan
Pendeta dan puluhan ribu orang percaya menerima penafsiran itu. Pada
tahun 1844 Kristus telah memulai penyucian tempat yang kudus dalam
sorga, sesudah itu baru Dia akan datang kembali ke bumi. Bersamaan
waktu mereka menerima ajaran gereja Baptis Hari Ketujuh mengenai
Hari Sabat. Perintah mengenai hari Sabat malah dijadikan sebagai
perintah yang utama. Perayaan hari Minggu di nyatakan merupakan “
Tanda Binatang Didahi” Anggota- anggota gereja dilarang makan
daging babi, merokok, dan minum minuman alkohol; mereka wajib
memberikan persepuluhan. Kini Gereja Adven KeTujuh mempunyai
anggota delapan puluh juta lebih ( orang dewasa yang telah dibaptis) di
seluruh dunia. Sarana yang dipakai ialah kursus-kursus Alkitab serta
kerangka-kerangka lain, siaran radio, dan sekolah-sekolah. Berbeda
dengan gerakan Pentakosta, Gereja Advent mementingkan pendidikan
umum dan kegiatan di bidang kesehatan.
Gereja Adventis pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun
1900. Seorang pendeta Metodis Amerika bernama R.W. Munson, yang
telah bekerja di Birma dan di Singarupa, masuk Adventis di Amerika.

88
Pada tahun 1900 ia menetap di Padang. Dari Padang, ajaran Adventris
dibawa ke Tanah Batak oleh Immanuel Siregar, putera orang Batak
yang pertama masuk Kristen pada tahun 1861. Karena di Padang
Munson mengalami perlawanan sengit, ia berpindah ke Sumatera Utara
dan pada tahun 1904 membuka pekerjaan di kota Medan. Pada tahun
1912, Gereja-gereja Adventris yang pertama di Indonesia dibentuk di
Sumberwekas (Jatim) dan di Jakarta (Salemba). Sister Tunheim menjadi
superintenden karya Pi Adventis di Jawa Barat. Pada masa itu,
pemerintahan Belanda masih melanggar pI ganda. Pada masa perang
dunia ke II, para utusan luar negeri dan jemaat-jemaat mengalami
kesulitan yang serupa dengan yang dialami gereja-gereja lain. Sesudah
perang, kegiatan Advent meluas ke seluruh pelosok Indonesia,
khususnya ke daerah-daerah tempat agama Kristen sudah dikenal.
Karena gereja Advent sangat mementingkan pendidikan umum, di
Indonesia terdapat jaringan sekolah Adventis sampai dengan tingkat
Universitas. Pertumbuhan gereja menyebabkan Uni Indonesia dibagi
menjadi Uni Indonesia Barat dan Indonesia Timur (1964).
Kini (1995), anggota (dewasa) Gereja Masehi Advent Hari
Ketujuh di Indonesia berjumlah sekitar 110.000, dalam 900 lebih
jemaat. Mereka bergabung dalam Uni Indonesia, yang terbagi atas
sejumlah distrik.1

1
Aritonang Jan S. Berbagai aliran di dalam dan di sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung
Mulia,1999

89

Anda mungkin juga menyukai