Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH GEREJA HKBP

Gereja HKBP Balige, Sumatra Utara

Huria Kristen Batak Protestan (disingkat sebagai HKBP) adalah gereja yang berdenominasi
Kristen Protestan dengan warisan tradisi Lutheran dan Reformed di kalangan masyarakat Batak,
umumnya Batak Toba. Gereja ini merupakan yang terbesar di antara gereja-gereja Protestan yang
ada di Indonesia dan Asia Tenggara.

Gereja HKBP tumbuh dari misi lembaga zending RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dari
Jerman dan Belanda melalui misionaris Pdt Heine, Pdt Klemmer, Pdt Betz dan Pdt Van Asselt.
Tanggal 7 Oktober 1861 dibuka daerah penginjilan baru Sumatra, di Bataklanden atau tanah Batak. Waktu
ini yang disebut sebagai hari jadi HKBP.

Daerah penginjilan baru ini diberinama Battamission yang dikemudian hari


disebut Batakmission atau Mission-Batak. Lembaga Mission Batak ini sejak 1881 dipimpin oleh
seorang pemimpin dengan jabatan Ephorus, oleh penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Pdt. I. L.
Nommensen yang melalui banyak rintangan untuk mengembangkan Gereja HKBP di Tanah Batak.

Penolakan-penolakan diterima, kemudian mencair setelah dia berhasil membaptis 4 pasangan


suami istri pada tanggal 27 Agustus tahun 1865 di Silindung. Kemudian berlanjut hingga 20
sampai 50 orang jemaat dalam suatu acara ibadah.

Perkembangan agama Kristen semakin terasa setelah Pdt. Nommensen membangun sebuah
perkampungan yang dinamakan Desa Huta Dame di Saitnihuta. Bertahun-tahun menjalankan misi
di tanah Batak, Nommensen lalu mengajukan permohonan kepada RMG Barmen agar misinya
diperluas hingga wilayah Simalungun.

Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta
Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba,
Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan
Bukum.

Batakmission dalam hal ini berarti himpunan dari seluruh para utusan RMG di Tanah Batak
beserta asetnya mencakup seluruh pargodungan dan jemaat serta pelayan pribumi. Lembaga
zending dan lembaga kegerejaan dipadukan dalam satu lembaga yang bernama Batakmission.
Lembaga ini sejak 1881 dipimpin oleh seorang pemimpin dengan jabatan ephorus yang
dilayankan oleh penginjil Ingwer Ludwig Nommensen (1881-1918).
SEJARAH GEREJA HKI

HKKI Pantoan, Gereja HKI Pertama

Huria Kristen Indonesia (disingkat: HKI), lahir, tumbuh, dan hidup dari dan oleh Firman Allah,
dan menjadi perwujudan persekutuan orang yang percaya kepada Allah Bapa, Anak-Nya Tuhan
Yesus Kristus, dan Roh Kudus, Allah yang Maha Esa. HKI merupakan bagian dari Gereja yang
Kudus dan Am, yang terpanggil dan terpilih serta diutus oleh Tuhan Yesus Kristus untuk
penyataan tubuh-Nya di dunia ini (Roma 12: 5; 1 Korintus 12: 27; Kisah Rasul 2: 40 – 57; Efesus
4:16).

HKI merupakan perwujudan dan pertumbuhan dari hadirnya Injil di tanah Batak yang
disampaikan oleh penginjil yang diutus oleh Badan Zending RMG (Rheinische Mission
Gesellschaft) dari negeri Jerman. Di antara penginjil itu adalah Pdt. DR. Ingwer Ludwig
Nommensen (digelari; Rasul Bangsa Batak). Di bawah pimpinannya orang Batak dibawa ke luar
dari kegelapan menuju terang Firman Allah (bnd. 1 Petrus 2:9), dan dari itu orang Batak
mendirikan gereja-gereja yang mandiri, yang merupakan anugerah Tuhan Allah.

Salah satu gereja yang merupakan buah pemberitaan Firman Allah di tanah Batak adalah Hoeria
Christen Batak (HChB), yang dideklarasikan berdiri sejak 1 Mei 1927 di Pantoan, Pematang
Siantar di hadapan wakil pemerintah, dan yang diakui secara resmi oleh Pemerintah Belanda
sebagai vereniging yang berbadan hukum dengan Besluit Nomor 29 tanggal 27 Mei 1933, dan
yang dapat melaksanakan sakramen (baptisan dan Perjamuan Kudus) dengan Besluit Nomor 17
tanggal 6 Juli 1933.

Pada Sinode Hoeria Christen Batak yang ke-29 tanggal 16-17 November 1946 di jemaat
HChB/HKI Patane-Porsea, Tapanuli Utara (sekarang Kab. TOBASA), nama Hoeria Christen
Batak diganti dan diperluas menjadi Huria Kristen Indonesia (disingkat: HKI), yang diakui dan
disahkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai organisasi gerejawi di Indonesia, dengan Besluit
Nomor Dd/pdak/137/68 tanggal 1 Januari 1968. Kemudian pengakuan itu diperbaharui dengan
Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan Departemen Agama
Nomor 178 tahun 1991.

Untuk mewujudkan tugas panggilannya, HKI melaksanakan pelayanan kasih, Sakramen Kudus,
dan Pemberitaan Injil ke seluruh umat manusia (Markus 16:15; Matius 18:19-20), supaya segala
lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa” (Filipi 2:11).
SEJARAH GEREJA GPDI

Jemaat GPDI Pertama Kalimantan Barat

Berdirinya Gereja Pantekosta di Indonesia tidak terlepas dari kedatangan dua keluarga missionaris
dari Gereja Bethel Temple Seattle, USA ke Indonesia pada tahun 1921 yaitu Rev. Cornelius
Groesbeek dan Rev. Richard Van Klaveren keturunan Belanda yang berimigrasi ke Amerika. Dari
Bali maka pelayanan beralih ke Surabaya di pulau Jawa tahun 1922, kemudian ke kota minyak
Cepu pada tahun 1923. Di kota inilah F.G Van Gessel pegawai BPM bertobat dan dipenuhkan
Roh Kudus disertai/disusul banyak putera – puteri Indonesia lainnya antara lain : H.N. Runkat, J.
Repi, A. Tambuwun, J. Lumenta, E. Lesnussa, G.A Yokom, R.Mangindaan, W. Mamahit, S.I.P
Lumoindong dan A.E. Siwi yang kemudian menjadi pionir-pionir pergerakan Pantekosta di
seluruh Indonesia.

Karena kemajuan yang pesat, maka pada tanggal 4 Juni 1924 Pemerintah Hindia Belanda
mengakui eksistensi “De Pinkster Gemeente in Nederlansch Indie” sebagai sebuah “Vereeniging”
(perkumpulan) yang sah. Dan oleh kuasa Roh Kudus serta semangat pelayanan yang tinggi, maka
jemaat-jemaat baru mulai bertumbuh di mana-mana. Tanggal 4 Juni 1937, pemerintah
meningkatkan pengakuannya kepada pergerakan Pantekosta menjadi “Kerkgenootschap”
(persekutuan gereja) berdasarkan Staatblad 1927 nomor 156 dan 523, dengan Beslit Pemerintah
No.33 tanggal 4 Juni 1937 di Cipanas Jawa Barat - Staadblad nomor 768 nama “pinkster
Gemente” berubah menjadi “Pinksterkerk in Nederlansch Indie”. Pada zaman pendudukan Jepang
tahun 1942, nama Belanda itu diubah menjadi “Gereja Pantekosta di Indonesia”. Ketika itu Ketua
Badan Pengoeroes Oemoem ( Majelis Pusat) adalah Pdt. H.N Runkat.

Selain perkembangan perlu juga dicatat beberapa perpecahan yang kemudian melahirkan gereja-
gereja baru di mana para pendirinya berasal dari orang-orang GPdI antara lain : Pdt. Ho Liong
Seng (DR.H.L Senduk) pendiri gereja GBI yang bersama Pdt. Van Gessel pada tahun 1950
berpisah dengan GPdI dan mendirikan GBIS, Pdt. Ishak Lew pada tahun 1959 keluar dan
mendirikan GPPS, sebelumnya pada tahun 1936 Missionaris R.M. Devin dan R. Busby keluar dan
membentuk Assemblies of God, tahun 1946 Pdt. Tan Hok Tjoan berpisah dan membentuk Gereja
Isa Almasih dan lain-lain sebagainya.

Peranan para pioner pun patut dikenang, sebab karena perjuangan mereka pohon GPdI telah
bertumbuh dengan lebat, mereka antara lain : Pdt. H.N. Runkat yang merambah ladang di Pulau
Jawa, (Jakarta, Jabar, Jateng, dll), tahun 1929 Pdt. Yulianus Repi dan Pdt. A. Tambuwun disusul
oleh Pdt. A. Yokom, Pdt. Lumenta, Pdt. Runtuwailan menggempur Sulawesi Utara, tahun 1939,
dari Sulut / Ternante Pdt. E. Lesnussa ke Makasar dan sekitarnya. Tahun 1926 Pdt. Nanlohy
menjangkau kepulauan Maluku (Amahasa) yang kemudian disusul oleh Pdt. Yoop Siloey, dll.
yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Oleh pengorbanan mereka GPdI bertumbuh dengan
pesat.
SEJARAH GEREJA GPI

Gereja Protestan di Indonesia (disingkat GPI) atau Protestant Church in Indonesia adalah
bekas Gereja Negara Hindia Belanda yang pada waktu itu bernama de Protestantsche Kerk in
Nederlandsch-Indie atau Indische Kerk, menjadi Gereja Protestan tertua di Asia. GPI
mewarisi jemaat-jemaat yang ditinggalkan oleh misi Portugis, Spanyol dan Belanda yang
dikemudian hari karena pekerjaan misi maka pelayanannya semakin meluas sehingga jemaat-
jemaat Indische Kerk dimandirikan menjadi Gereja Bagian Mandiri (GBM). GPI telah
memekarkan diri dalam beberapa gereja bagian, akan tetapi gereja-gereja itu harus tetap
memelihara keesaannya dalam persekutuan penuh.

Pada Selasa, 27 Februari 1605 di Benteng Victoria Ambon dilaksanakan ibadah pertama de
Protestantche Kerk in Nederlandsch-Indie yang kemudian dipandang sebagai awal dari
adanya gerakan Protestan di Indonesia bahkan di Asia, mendahului gerakan Protestan di
Amerika Utara (1607). Momentum historis inilah yang dijadikan hari berdirinya de
Protestantche Kerk in Nederlandsch-Indie (Indische Kerk), yang kemudian di Indonesiakan
menjadi Gereja Protestan di Indonesia (GPI).

Seiring dengan berpindahnya kedudukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke Batavia di tahun
1619, maka Indische Kerk juga beralih kantor pusatnya ke Batavia, Jakarta sekarang. Karena
misi untuk mewartakan Injil ke seluruh Indonesia yang kemudian diemban oleh de Protestantche
Kerk in Nederlandsch-Indie, maka dari Maluku menyebarlah pelayanan Indische Kerk ke
seluruh persada Nusantara, secara bertahap dengan tantangan dan pergumulan yang berbeda di
setiap daerah dan masanya. Pergumulan dan tantangan pelayanan karena luasnya geografis, dan
spesifiknya persoalan yang dihadapi, maka di tahun 1927, muncul ide untuk memilah wilayah
pelayanan dari Indische Kerk agar wilayah-wilayah dapat dijangkau dan pelayanan lebih efektif.

Pertemuan para pendeta tahun 1927 diambil satu kesepakatan yaitu: Keesaan Gereja harus tetap
dipertahankan, tetapi wilayah-wilayah diberi kemandirian yang lebih besar untuk mengatur
pelayanan di wilayah masing-masing. Kesepakatan inilah yang mengikat setiap Gereja yang
dimandirikan untuk menjaga ke-esa-an. Karena itu, di mana ada Gereja Bagian Mandiri dari
Indische Kerk tidak dibenarkan adanya Gereja Bagian Mandiri lainnya berdiri.

Dasar Teologis dari keesaan dan persaudaraan inilah yang menjadi pijakan dan disekapati, harus
dijaga dan dipelihara oleh Gereja-Gereja Bagian Mandiri yang dilahirkan dari satu “Induk”
yakni de Protestantche Kerk in Nederlandsch-Indie. Karena itu, pada hakikatnya Indische Kerk
adalah pewujudan dari Gereja Kristen Yang Esa sebagaimana Doa Tuhan Yesus kepada umat
(Yohanes 17). Inilah yang melatar belakangi mengapa “de Protestantche Kerk in Nederlandsch-
Indie” tetap eksis sampai kini.
SEJARAH GEREJA GKI

Gereja Kristen Indonesia Sinode Jawa Timur

Gereja Kristen Indonesia (GKI) dapat dikatakan sebagai sebuah “gereja baru” di Indonesia
sebagai buah penyatuan dari GKI Jawa Barat, GKI Jawa Tengah, dan GKI Jawa Timur.

Berdirinya GKI melewati perjalanan sejarah yang panjang, dimulai dengan berdirinya ketiga
gereja yang menyatu itu sebagai gereja yang berdiri sendiri-sendiri. Pada tanggal 22 Februari
1934 di Jawa Timur berdirilah gereja yang kemudian disebut GKI Jawa Timur.

Demikian juga, pada tanggal 24 Maret 1940 di Jawa Barat berdirilah gereja yang kemudian
disebut GKI Jawa Barat, dan pada tanggal 8 Agustus 1945 di Jawa Tengah berdirilah gereja
yang kemudian disebut GKI Jawa Tengah.

Awalnya, ketiga gereja ini dikenal dengan nama Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH)
yaitu gereja berbahasa Hokian. Gereja THKTKH di Jawa Tengah dan Jawa Timur didirikan oleh
Zending dari Belanda (Nederlandsche Zendings Vereeniging)

Sedangkan di Jawa Barat diawali oleh penemuan sebuah Alkitab berbahasa Melayu oleh Bapak
Ang Boen Swie di tahun 1858.

Nama Gereja Kristen Indonesia sendiri mulai digunakan pada tahun 1950. Penetapan nama ini
menunjukkan kesadaran GKI untuk dapat menjalankan misi dan panggilannya secara nasional,
tidak lagi terikat pada suku tertentu saja.

Sejak tanggal 27 Maret 1962 ketiga gereja itu memulai upaya menggalang kebersamaan untuk
mewujudkan penyatuan GKI, dalam wadah Sinode Am GKI.

Sesudah melewati perjalanan hampir tiga dekade lamanya, pada tanggal 26 Agustus 1988 ketiga
gereja tersebut diikrarkan menjadi satu gereja.
TUGAS AGAMA
SEJARAH 5 GEREJA INDONESIA

Nama : Indah Sari

Kelas : IX-2

Guru : Pak. Daniel Pakpahan

SMP N 10 TUALANG

Anda mungkin juga menyukai