Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SEJARAH GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA HINGGA TERBENTUKNYA


DEWAN GEREJA - GEREJA DI INDONESIA

Disusun oleh:

Nama : Indra Yosua Sambenaung

Nim : 1021513

Dosen : Ronald J.Massing, M.Th

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI DUTA PANISAL

PRODI TEOLOGI

2022
BAB I

A. Pendahuluan

Beberapa ajakan dari PGI (dulunya DGI) pada bulan oikumene 2013 yang telah
berusia 63 tahun adalah:

1. Terus-menerus tanpa mengenal lelah makin memperkuat persekutuan di dalam


wadah PGI dan sekaligus memperluas tekad kebersamaan dengan berbagai aliran
dan denominasi untuk pada akhirnya mewujud dalam Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia.
2. Terus berkomitmen, bertekad dan melakukan aksi dalam upaya mewujudkan
perdamaian dan keadilan bagi keutuhan ciptaan. Gereja-gereja diminta untuk
memberikan sumbangan-sumbangan nyata bagi kehidupan masyarakat yang
penuh damai tanpa kekerasan, hidup dalam damai sejahtera dengan siapa saja
tanpa memandang perbedaan yang ada.
3. Tak jemu-jemu untuk menyuarakan keadilan, penegakan hukum dan keberpihakan
kepada pelestarian alam. Keadilan bagi gereja haruslah meliputi perjuangan untuk
keadilan ekonomi, hak asasi manusia dan keadilan lingkungan.
4. Berpartisipasi secara penuh dalam gerakan kebersamaan Celebration of Unity
yang akan diselenggarakan Mei 2013, sebagai komitmen bersama bagi keutuhan
Tubuh Kristus di Indonesia.1

Dari seruan PGI tersebut di atas, nyata bahwa PGI memiliki pergumulan dan
sekaligus telah melewati banyak pergumulan dalam mewujudkan dirinya sebagai
pembawa damai sejahtera, ketenangan dan ketenteraman di mana dia berada, 2 dengan
harapan utama keesaan gereja makin terwujud.

Sebagai lembaga yang telah melewati banyak rintangan, termasuk waktu dirikan,
dalam tulisan ini akan diuraikan secara sederhana tentang “SEJARAH GERAKAN
OIKUMENE DI INDONESIA HINGGA TERBENTUKNYA DEWAN GEREJA-
GEREJA DI INDONESIA”.

1
http://www.pgi.or.id/index.php/agenda/item/66-bulan-oikumene-2013. Diakses pada hari Kamis, 15 Desember
2022, Pukul 11.51 WIB
2
Ayat kutipan penutup pesan bulan oikumene ini adalah: Yesaya 32:17
BAB II

B. Latar Belakang Pendirian DGI Dari Kondisi Nasional dan Internasional

Beberapa usaha di Indonesia yang bertujuan untuk menyatukan gereja-gereja di


Indonesia sebelum tahun 1925 antara lain:3

1. Pembentukan LAI di Jakarta tahun 1814, (secara resmi tanggal 9 Februari tahun
1954)4. Suatu badan ekumenis karena menggabungkan dan melayani semua pihak
dari gereja-gereja dan badan-badan pekabaran Injil yang beraneka warna.
2. Pembukaan pusat pendidikan yang diberi nama Seminari Depok, tahun 1878, yang
bertujuan: “supaya selekas mungkin sejumlah penginjil dapat dididik untuk
dipekerjakan di daerah-daerah pekabaran Injil”.
3. Penerbitan majalah bulanan tahun 1855 oleh Ds. King (Majalah Bulanan
Pembangunan) yang memungkinkan pertukaran pemikiran di antara para pekabar
Injil.
4. Pendirian Perhimpunan Para Pekabar Injil di Indonesia (Nederlands Indische
Zendings Bond) tahun 1881
5. Pembentukan Perwakilan Pekabaran Injil (Zendingconsulaat) di Jakarta, tahun
Christian de Jonge menuliskan bahwa “Lembaga ini memang bukan wadah
ekumenis karena tidak bertujuan untuk membentuk gereja yang esa, namun
orang-orang di dalamnya mendukung usaha memajukan gerakan ekumenis
gereja”.5

Dari tahun , ada tiga peristiwa atau usaha yang penting dalam lahirnya gerakan
ekumenis, yaitu:

1. Pekerjaan Dr. C. L. van Doorn yang diutus oleh Nederlandse Christen Studenten
Vereniging (NSCV, Persatuan Mahasiswa Kristen Nederland) untuk melayani di
kalangan mahasiswa, pelajar dan muda/i pada umumnya. Tahun 1926, ia menetap di
Kebon Sirih. Dan di tahun ini juga dibentuk Christelijke Studenten Vereniging (CSV,
Perhimpunan Mahasiswa Kristen). Tempatnya sekaligus merupakan tempat

3
Ini berdasarkan laporan Muller-Kruger yang mencoba memaparkan beberapa usaha yang dilaksanakan untuk
menyatukan kekristenan yang bercorak Protestan sebelum tahun 1925, dalam tulisan: Frank L. Cooley,
Bagaimana Terbentuknya D.G.I. Majalah Peninjau (Jakarta: LPS DGI, tahun II, Nomor 4, 1975), hlm.303.
4
Untuk tahun pendirian LAI ini secara resmi, Pilon berpendapat bahwa ini terjadi tahun P. K. Pilon,
Oikumenika: Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1972), hlm. 80.
5
Christian de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 83.
berkumpulnya orang-orang yang dilayaninya dari berbagai latar belakang (termasuk
suku dan daerah).
Pada waktu ini juga Federasi Wanita Kristen (Christen Jonge Vrouwen Federatie)
terbentuk di Kebon Sirih pada tahun 1928/1929 dengan bantuan dari CJVF di
Belanda. Federasi ini kemudian diterima sebagai anggota Wordls Young Womens
Christian Federation (Federasi Wanita Kristen se Dunia). Sampai masa perang, CJVF
ini sudah bekerja di seluruh Indonesia, dan terdiri dari wanita-wanita dan pemudi-
pemudi dari berbagai gereja, suku dan daerah terpencil. Ketika perang usai, federasi
ini yang berpusat di Batavia, hanya tinggal 2 anggota lagi (Ny. Mulia dan Nn.
Fransz). Dari segi tenaga dan dana mereka tidak bisa mengurus federasi ini. Semangat
perjuangan mereka membuat didirikannya PWKI ini lagi di Yogyakarta sesudah
proklamasi kemerdekaan, dan dinyatakan pula bahwa hanya WNI yang boleh menjadi
anggota PWKI.
2. Pada waktu ini juga Sekolah Teologia Tinggi yang didirikan tahun 1934 memainkan
peran untuk mendidik kader pribumi untuk gereja dan bakal gereja juga menjadi
tempat pertemuan orang dengan berbagai latar belakang, dan dengan harapan ketika
mereka menjadi pemimpin di gereja masingmasing tetap dipengaruhi oleh studi
mereka (jiwa ekumenis).6 Usaha-usaha ini memberikan warna bagi terciptanya DGI
karena mahasiswa yang terlibat dalam CSV konferensi se-asia WSCF di Citeurup
menjadi pengalaman yang mendorong beberapa dari mereka untuk terlibat dalam
gerakan ekumenis yang mulai timbul di Indonesia.7
3. Konferensi IMC-III di Tambaram pada tahun 1938, yang dihadiri oleh Sembilan
orang Indonesia, salah satunya adalah Dr. T. S. Gunung Mulia. 8 Para tokohtokoh ini
dengan gigih mendukung pendirian DGI. Selain hal tersebut di atas, Konferensi
Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910 juga memainkan peran dalam pendirian
DGI.

Selain hal di atas, Konfrensi Pekabar Injil Sedunia di Edinburgh 1910 juga memainkan
peran dalam pendirian DGI. Konferensi Edinburgh ini bisa dikatakan titik mula lahirnya
gerakan Oikumene Internasional. Walaupun sebenarnya Gerakan Oikumene sudah
dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya, di mana gereja-gereja di Eropa mulai
mengadakan pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya. Tetapi jika diselidiki lebih
6
Christian de Jonge, hlm 84
7
Ibid
8
Dr. T. S. Gunung Mulia sendiri juga telah menghadiri konferensi sebelumnya yang dilaksanakan pada tahun
1928 di Yerusalem. Ibid.
jauh, sebenarnya sebelum konferensi Edinburgh 1910, pergerakan Oikumene baru dirintis
oleh beberapa negara dan belum dalam kategori Internasional. Pada konferensi Edinburgh
baru dapat dikatakan Internasional, karena terdiri dari berbagai negara di dunia dan
diikuti oleh utusan, dan 17 wakil dari Asia.9

C. Proses Pembentukan DGI

Pertemuan yang diprakarsai oleh GPI, GKJW, Gereja Kristus dan GKI Jabar, yang
dilaksanakan pada 12 Januari 1939, di Batavia, juga dihadiri oleh ke Sembilan tokoh yang
menghadiri DGD-III di Tambaran, diputuskan untuk membentuk suatu National Christian
Council. Panitia perancang anggaran dasar dewan ditunjuk, dan diketuai oleh Van
Randwijck. Pertemuan dari panitia ini berlangsung pada 23 Oktober 1939 di Batavia
menjelang sinode Am GPI (24-30 Okotber). Jabatan ketua kemudian dipercayakan
kepada Dr. T. S. G. Mulia; Van Randwijck menjadi sekretarisbendahara; dengan anggota:
beberapa peserta IMC-III di Tambaran dan tokoh-tokoh zending.10

Rencana pendirian DGI yang dikehedaki pertengahan tahun 1940 tidak terlaksana.
Pada pertemuan ketiga, 25 Oktober 1941, ada perbedaan pendapat tentang Anggaran
Dasar antara wakil-wakil zending dan wakil-wakil gereja menyangkut azas dewan yang
hendak dibentuk.11 Ditambah lagi dengan PD-II, rencana ini tidak terwujud sama sekali.

Unsur / faktor lain yang membuat gereja-gereja di Indonesia susah bersatu menurut
Pilon ada dua hal12, yaitu:

1. Gereja-gereja di Indonesia umumnya adalah gereja-gereja daerah.


2. Adanya perpecahan dan kurangnya koordinasi gereja-gereja Belanda yang
mengabarkan Injil di Indonesia.

T. B. Simatupang, sebagaimana dikutip ulang oleh Christian de Jonde, menegaskan


bahwa pengalaman gereja pada masa Jepang juga mempengaruhi gerakan ekumenis.
Jepang berusaha menggabungkan gereja-gereja di Indonesia dalam organisasi-oraganisi
persatuan.13 Di bawah pimpinan Pdt. Shirato, GPM, GKR, Bala Keselamatan, Gereja
9
Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene: Suatu Pendahuluan (Flores: Ledalero, cet., I, 2010), hlm. 90.
10
Georg Kirchberger, hlm. 90
11
Christian de Jonge, dengan merujuk catata dari Hartono, menyatakan perbedaan pendapat ini tidak jelas
tentang apa. Ibid, hlm. 85
12
P. K. Pilon, Oikumenika: Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1972), hlm. 72
13
Menurut T. B. Simatupang faktor yang memicu pembentukan DGI adalah: Doa Yesus dalam Alkitab (baca
Yoh.17:21) dan Pengakuan Iman; Jiwa Nasionalisme menjelang dan sesudah PD-II; Pengalam pemuda Kristen
dalam Christelijke Studentenvereniging (CSV, Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Kristen) dan pada
Sekolah Teologia Tinggi (sekarang: Sekolah Tinggi Teologia) di Jakarta; Pengalaman pada masa Jepang; dan
Adven dan Pentakosta terpaksa bergabung dalam Pergabungan Geredja-geredja Masehi di
Ambon-Syu. Di Minahasa, dewan serupa dibentuk dan GMIM mempercayakan kepada
Pdt. Rumambi dan Pdt. Luntungan untuk memimpin di bawah pengawasan Jepang. Pdt.
Myahira, ditunjuk sebagai pemimpin Persatoean Keristen Celebes di Makasar.

Namun, menurut Holtrop yang dikutip ulang oleh Hartono, dikutip ulang oleh
Christian de Jonge, badan ini tidak begitu berfungsi, karena: pendeta-pendeta Jepang
tidak hanya melaksanakan perintah atasan mereka, tetapi juga sungguh-sungguh
membantu gereja-gereja di Indonesia yang kehilangan dukungan dari Barat 14 dan
sekaligus mau menyadarkan orang-orang Kristen di Indonesia bahwa agama Kristen
bukan hanya urusan Barat tapi juga urusan orang Asia.15

Akibat dari hasil kemerdekaan pada 1945 dalam gereja-gereja yang ada di Indonesia
adalah mencari orientasi / cara kerja baru. 16 Sesudah PD-II, badan pengurus GPI, gereja-
gereja Gereformeerd, Zendingconsulaat dan organisasi sekolahsekolah Kristen
mendirikan panitia darurat untuk membenahi dan menolong gerejagereja yang menderita
karena PD-II. Konferensi zending di Batavia, pada tanggal Agustus 1946 memutuskan
untuk menetukan kebijaksanaan-kebjaksanaan di masa depan. konferensi atas prakarsa
Zendingconsulat yang membahas: tempat dan tugas misi dan para misionari dalam NKRI
dan rencana pendirian badan ekumene.17 Dan satu hal yang perlu dilakukan adalah
memberikan bentuk kepada dewan-dewan gereja dan pekabaran injil yang direncanakan
sebelum perang.18 Dalam konferensi ini, M. de Niet mengusulkan pendirian Balai Kristen
untuk gereja-gereja dalam dan luar negeri yang menjalankan evangelisasi di NKRI. 19
Kesimpulan dari konferensi ini antara lain:

1. Ekumene di antara gereja-gereja di Indonesia sebelum PD II harus dilanjutkan dan


diperluas.
2. Tujuan kerja sama ekumene ini adalah pembentukan suatu gereja yang esa di
Indonesia.

Pengaruh gerakan oikumenis dari luar (IMC, WSCF, DGD) dan pengaruh dari tokoh-tokoh pekabaran injil.
Christian de Jonge, hlm. 85.
14
Christian de Jonge, hlm. 85
15
Ibid
16
Georg Kirchberger, hlm. 133
17
Ibid, hlm. 134
18
Christian de Jonge, hlm. 85
19
Georg Kirchberger, hlm. 134
3. Dewan gereja-gereja di Indonesia dimaksudkan sebagai badan kerja sama
gerejagereja di Indonesia dan gereja-gereja luar negeri yang mengirim zendingnya
ke Indonesia.

Karena situasi politik mempersulit pertemuan dewan gereja-gereja di Indonesia dan


badan pekabaran Injil Nasional, maka dianjurkan agar gereja dan bakal gereja-gereja di
wilayah tertentu membentuk dewan regional untuk melakukan dan mendukung tugas
bersama.20

D. Pembentukan DGI

Pada tanggal 22 Mei 1946 didirikan Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja di


Indonesia (DGP) dengan beranggotakan 6 gereja. DGP ini mengadakan konferensi
dengan wakil dari gereja gereja Belanda di Jakarta, yang menghasilkan Kwitang Accoord
(Kesepakatan Kwitang, Mei 1947), yang mengatur hubungan ekumenis antara gereja-
gereja Belanda dan gereja-gereja Jawa. 21 Pada Maret 1947 juga diadakan konferensi di
Malino (dekat Makasar) oleh gereja-gereja dan pekabaran Injil untuk Indonesia bagian
Timur. Konferensi ini menghasilkan Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Keristen
(MOBGK) dengan pusat di Makasar. Tujuan akhir MOBGK ini adalah pembentukan
DGI. Pada 28 Oktober 2 November 1949, diadakan konferensi ke-2 yang membahas
rencana pembentukan DGI. Sekretaris MOBGK, Pdt. Rumambi, tahun 1948, dipilih jadi
sekretari GPI, dan pindah ke Jakarta. Di Jakarta, Pdt. Rumambi melanjutkan usaha
pembentukan DGI.22 Selain itu usaha lain, berdasarkan laporan Hartono yang dikutip oleh
Christian de Jonge, pembentukan perhimpunan gerejagereja lain juga terjadi, seperti:
Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa (1948) dan Madjelis Keristen di Medan
(1949).23

Pada Januari 1948, Pdt. Rumambi menulis nota kepada panitia yang menyiapkan
pembentukan Majelais Gereja-gereja di Indonesia yang berisi beberapa usulan bagaimana
pembentukan dewan dengan menggunakan pengalaman keikutsertaanya dalam beberapa
sidang (IMC di Whitby, tahun 1947; konferensi pemuda di Oslo, tahun 1947). 24 Pada
tahun 1949, diusahakan pendirian DGI sebelum Konferensi East Asia Christian
Conference di Bangkok, namun tidak tercapai karena:
20
Diadaptaso dari Georg Kircheberger, hlm. 134-135.
21
Christian de Jonge, hlm. 85.
22
Ibid, hlm. 86.
23
Ibid.
24
Ibid.
“keadaan-suasana di Indonesia belum memberi kesempatan untuk melancarkan niat
itu. Ternyata bahwa pada Konperensi Gereja-gereja di Indonesia yang pertama itu,
belumlah dapat diteruskan langkah kepada pembentukan resmi dari pada Dewan
Gereja-gereja di Indonesia...... sesudah……. gereja-gereja….... beroleh kesempatan
untuk mempelajari hasil-hasil...... Konperensi Persiapan ini, supaya pada konperensi
yang akan diadakan kira-kira pada waktu Pantekosta 1950, Dewan Gereja-gereja di
Indonesia dengan resmi dapat diperdirikan. 25

Jadi, bisa dikatakan, kegagalan pembentukan DGI sebelum diadakannya


konferensi di Bangkok, sesuai dengan harapan Rumambi, dikarenakan:

1. Keadaan gereja masa pasca-kemerdekaan yang belum stabil.


2. Gereja-gereja otonom di tiap daerah yang belum mau menerima tujuan dewan
yang dibentuk.
3. Agenda konferensi yang belum matang dan jelas.

Namun, usaha itu tidak berhenti, sebagaimana dikatakan Rumambi 26, pada
tanggal 6-11 November 1949, diadakan konferensi Persiapan Dewan Geredja-geredja
di Indonesia, yang dihadiri oleh 19 utusan mewakili 28 gereja di seluruh Indonesia. 27
Hasil dari konferensi ini adalah, ditetapkannya kepastian pembentukan DGI pada
bulan Mei Seluruh persiapan pun dimatangkan. Dan akhirnya, dalam konferensi yang
dilaksanakan tanggal 21-28 Mei28 ini, membuahkan hasil. Pada tanggal 25 Mei 1950,
25
W. J Rumambi dalam Frank L. Cooley, Bagaimana Terbentuknya D.G.I. Majalah Peninjau (Jakarta: LPS
DGI, tahun II, Nomor 4, 1975), hlm
26
Ibid
27
dari gereja di Indonesia bagian Timur, 3 dari Sumatera, 1 dari Kalimantan, dan 11 dari Jawa. Cooley
menambahkan bahwa, ada dua gereja non-pribumi yang menghadiri konferensi ini, yaitu: Gereja Methodis dan
Gereja-gereja Gereformeerde; penasehatnya ada 21 orang, yakni: 14 orang Indonesia dan 7 orang Belanda; dan
ada 9 orang peninjau. Jadi semua ada 49 orang (termasuk 12 orang Barat). Ibid.
28
Ada 22 gereja yang hadir pada konferensi ini, antara lain: HKBP; Gereja Batak Karo Protestan; Geredja
Methodis Sumatera; Banua Niha Keriso Protestan; Huria Kristen Indonesia; Gereja Toraja; Geredja Dajak
Evangelis; Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat; Gereja Protestan Indonesia; Geredja-geredja
Gereformeerd; Geredja Pasundan; Patunggilan Pasamuan Kristen sekitar Muria; Geredja Kristen Djawa Tengah;
Geredja Kristen Djawa Tengah Utara; Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe Hwee Djawa Barat; Gereja Kristus;
Djakarta Chi Hui; Geredja Kristen Tionghoa Djawa Tengah; Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee /Khoe Hwee
Djawa Timur; Geredja Kristen Protestan Bali; Geredja Kristen Sumba ;Geredja Kristen Maluku. Ketua Umum
PGI adalah Pdt. Dr. A.A. Yewangoe dari Gereja Kristen Sumba dan Sekretaris Umum adalah Pdt. Dr. Gomar
Gultom, M.Th dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) periode Saat ini terdapat 89 sinode gereja, yaitu:
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), Gereja Batak Karo Protestan
(GBKP), Gereja Bala Keselamatan (GBK)/ The Salvation Army (TSA), Gereja Methodis Indonesia (GMI),
Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), Gereja Masehi Injili di Sangihe Talaud (GMIST), Gereja Masehi Injili di
Minahasa (GMIM), Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow (GMIBM), Gereja Kristen Sulawesi Tengah
(GKST), Gereja Toraja, Gereja Kristen Rejang (GKR), Gereja Kristen di Sumatera Bagian Selatan (GKSBS),
Gereja Toraja Mamasa, Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS), Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara
(GEPSULTRA), Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH), Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Kristen
Injili di Tanah Papua, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja kristen
DGI terbentuk. DGI bertujuan untuk pembentukan gereja Kristen yang esa di
Indonesia. Yang menjadi masalah bukan keesaan, tapi bentuknya. Bentuk ini sering
dikiaskan dengan: bentuk jeruk (federasi29 ) atau mangga (keesaan total).30

protestan bali (GKPB), Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Kristen
Jawa (GKJ), Gereja Kristen Pasundan (GKP), Gereja Kristus, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat
(GPIB), Gereja Protestan di Indonesia (GPI), Gereja Isa Almasih (GIA), Gereja Kristen Muria Indonesia
(GKMI), Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Gereja Kristen Pemancar Injil (GKPI), Gereja Bethel
Injil Sepenuh (GBIS), Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Huria Kristen Indonesia (HKI), Gereja
Kristen Luwuk Banggai (GKLB), Gereja Kristus Tuhan (GKT), Gereja Protestan Indonesia di Donggala
(GPID), Gereja Punguan Kristen Batak (GPKB), Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo (GPIG), Gereja
Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU), Gereja Kristen, Kalimantan Barat (GKKB), Gereja Gerakan Pantekosta
(GGP), Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Gereja Protestan Indonesia di Buol Toli-Toli (GPIBT),
Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM), Gereja Kristen Indonesia Sumatera Utara, Gereja Kristen
Protestan Angkola (GKPA), Gereja Protestan Minahasa (KGPM), Gereja Mission Batak (GMB), Angowuloa
Masehi Indonesia Nias (Gereja AMIN), Gereja Kristen Anugerah (GKA), Gereja Protestan Indonesia di Luwu
(GPIL), Gereja Kebangunan Kalam Allah (GKKA), Gereja Kristen Kalam Kudus (GKKK), Orahua Niha Keriso
Protestan (ONKP), Gereja Kristen di Sumatera Bagian Selatan (GKSBS), Gereja Kristen Kalimantan Barat
(GKKB), Igreja Protestante iha Tmor Lorosa'e, Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja
Kristen Injili Indonesia (GKII), Gereja Masehi Injili Indonesia (GEMINDO), Gereja Kristen Injili di Indonesia
(GEKISIA), Gereja Kristen Luther Indonesia (GKLI), Gereja Protestan Persekutuan (GPP), Gereja Kristen Setia
Indonesia (GKSI), Gereja Tuhan di Indonesia (GTdI), Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS), Gereja Kristen
Perjanjian Baru, Angowuloa Fa Awosa Kho Yesus (AFY), Gereja Rehoboth, Gereja Protestan Indonesia di
Papua, Gereja Kristen Protestan Pak Pak Dairi (GKPPD), Gereja Keesaan Injili Indonesia (GEKINDO), Gereja
Masehi Protestan Umum (GMPU), Gereja Protestan di Sulawesi Selatan (GPSS), Gereja Kristen Oikoumene di
Indonesia (GKO), Gereja Sahabat Indonesia (GSI), Gereja Pusat Pantekosta Indonesia (GPPI), Gereja Utusan
Pantekosta di Indonesia (GUPDI), Gereja Protestan Indonesia Banggai Kepulauan (GPIBK), Gereja Masehi
Injili di Talaud (GERMITA), Gereja Kristen Abdiel(GKA), Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI), Gereja
Sidang-Sidang Jemaat Allah (GSSJA), Gereja Kristus Yesus (GKY), Gereja Kristen Protestan Injili Indonesia
(GKPII), Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII), Gereja Protestan Soteria di Indonesia (GPSI), Gereja Kristen
Sangkakala Indonesia, Kerukunan Gereja Masehi Protestan Indonesia (KGMPI) dan Gereja Bethel Tabernakel
(GBT). Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi Anggota PGI:
1. Mempunyai Tata gereja sendiri memberitakan Firman Allah dan melayani sakramen sesuai dengan kesaksian
Alkitab.
2. Mempunyai Anggota Dewasa yang sudah dibaptis/sidi sekurang-kurangnya orang.
3. Menunjukkan kerjasama yang baik dengan gereja-gereja tetangganya, terutama gereja anggota PGI.
4. Menyatakan persetujuannya secara tertulis terhadap Dokumen Keesaan Gereja serta kesediaannya untuk
melaksanakan semua hal dan kewajibannya sebagai gereja anggota dengan bersungguh-sungguh.
5. Menyatakan kesediaan mencantumkan "ANGGOTA PGI" di belakang nama gereja yang bersangkutan.
Tokoh penting DGI dari BNKP adalah: Yupiter Gulö. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan-
Gereja-gereja-di-Indonesia, Diakses pada hari Jumat, 29 Mei 2013, pukul 02.36 WIB.
29
Federasi adalah gabungan beberapa perhimpunan yang bekerja sama dan seakan-akan merupakan satu badan,
tetapi tetap berdiri sendiri
30
Christian de Jonge, hlm. 8
BAB III

E. Kesimpulan

Dalam penguraian SEJARAH GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA HINGGA


TERBENTUKNYA DEWAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA di dalam tulisan ini,
terlihat faktor yang menyebabkan didirikannya DGI ada faktor dari dalam negeri
Indonesia sendiri (khususnya dari kekristenan) dan ada juga dari luar negeri. Dan juga
terlihat bahwa DGI sampai terbentuk menjadi lembaga yang disahkan dan diakui, dan
yang sekarang terdiri dari berbagai anggota gereja, telah melewati perjalanan yang cukup
panjang dan berat. Hendaklah kita, sebagai mahasiswa teologi mengambil hikmah dari
semangat juang para pendiri DGI ini yang tidak kenal lelah. Dan biarlah cita-cita
pendirian lembaga ini juga kita wujudkan di mana pun kita melayani.
DAFTAR PUSTAKA

Cooley, Frank L., Bagaimana Terbentuknya D.G.I. Majalah Peninjau, Jakarta: LPS DGI,
tahun II, Nomor 4, 1975.

https://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan-Gereja-gereja-di-Indonesia

http://www.pgi.or.id/index.php/agenda/item/66-bulan-oikumene-2013

Jonge, Christian de, Menuju Keesaan Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006

Kirchberger, Georg, Gerakan Ekumene: Suatu Pendahuluan, Flores: Ledalero, cet., I,


2010

Pilon, P. K., Oikumenika: Bagian Sejarah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1972

Anda mungkin juga menyukai