Anda di halaman 1dari 7

Gerakan Ekumenis di Indonesia

(Sejarah dan Tema-tema Penting bagi Kekristenan)1

Suwarto Adi
(Sosiologi Agama, Fakultas Teologi UKSW. Salatiga)

1. Pengantar
Kalau membandingkan dengan di tempat lain, khususnya pada tingkat global, proses gerakan
ekumenis di Indonesia berjalan jauh lebih cepat. Dalam waktu sekitar dua tahun sesudah
terbentuknya Dewan Gereja Dunia (DGD), sebuah badan yang mewadahi berbagai Gereja di
Indonesia telah lahir. Badan inilah yang menjadi wahana sekaligus sarana bagi proses
ekumenis di Indonesia, yaitu Dewan Gereja Indonesia (DGI).

Mengapa dan bagaimana proses gerakan ekumenis di Indonesia bergerak lebih cepat? Apa
faktor-faktor yang mempengaruhinya? Bagaimana proses membangun gerakan ekumenis di
tengah situasi Indonesia yang sedang mengalami peperangan? Bagaimana Gereja di tengah
situasi yang rumit tersebut mampu membangun gerakan ekumenis tanpa kehilangan peran
dalam kegiatan pergerakan nasional Indonesia?

Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan di atas, dengan menggunakan pendekatan historis
dan tematik. Artinya, selain menggunakan data-data sejarah, tulisan ini juga hendak
melakukan tafsir sosiologis atas data-data yang ada. Namun, untuk menjawab semua itu,
konteks sosial-historis menjadi hal penting, sebelum menganalisis aspek-aspek lain.

2. Latar Belakang Sosial-Politik: Perang Kemerdekaan dan Proses Dekolonisasi


Kehadiran Jepang menyebabkan beberapa badan pekabaran Injil dari Eropa, khususnya
Belanda mengalami putus hubungan dengan Gereja-gereja di Indonesia (Wal 2014). Situasi
ini membawa dua hal penting bagi Gereja di Indonesia. Pada satu sisi, hal ini menyiratkan
adanya harapan membangun relasi yang lebih baik antara Kristen dengan pergerakan nasional
(Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan
Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950 1994). Pada sisi lain, menghilangnya tokoh-tokoh
misi dari luar negeri membawa dampak keuangan yang tidak ringan pada Gereja; sebab
selama ini hampir seluruh pembiayaan Gereja dan lembaga yang terkait, seperti Pendidikan,
rumah sakit dan beberapa yang lain bergantung pada pembiayaan dari Gereja luar negeri.

Masa ini boleh dibilang sebagai masa singkat yang kacau. Berbagai pendapat, baik dari
kalangan pendeta lokal maupun pendeta pekabar Injil Belanda menjelaskan hal yang mirip.
Mereka menghadapi kesulitan. Bagi Gereja-gereja lokal kesulitannya adalah terputusnya
segala bantuan keuangan dan tuduhan berpihak kepada Belanda. Sedangkan, bagi pekabar

1
Materi kuliah untuk menggantikan tatap muka di kelas, karena bencana pandemi covid 19 di Indonesia; karena
itu kuliah dan perjumpaan sosial dihindari mulai tanggal 16-29 Maret 2020, termasuk di UKSW, Salatiga.

1
Injil Belanda kesulitannya lebih pada tidak adanya ruang gerak bagi penyelenggaraan
pekerjaan pokok kegerejaan maupun tugas pembantuan, seperti sekolah dan rumah sakit
Kristen.2 Kedua lembaga ini ditutup, atau lebih parah, disita oleh pemerintah Jepang. Selain
itu, di dalam tubuh kekristenan juga timbul ambiguitas: berpihak kepada Belanda atau turut
bergumul bersama dengan sesama anak bangsa dalam revolusi dan memperjuangkan
kemerdekaan.

Tampilnya pemimpin-pemimpin visioner, seperti, misalnya Basuki Probowinoto, secara


perlahan tetapi pasti, Gereja-gereja, khususnya di Jawa menempuh arah yang lebih maju.
Mereka mulai membicarakan sebuah kerja sama setara antara dua gereja dewasa yang
tertuang dalam Kwitang Akkoord.3 Meski belum seluruhnya mandiri, beberapa Gereja di Jawa
turut berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan melalui pembentukan partai politik
(Parkindo), menggerakkan semangat ekumenisme, baik regional (Sinode Kesatuan dalam
GKJ) maupun nasional (DGI). Dengan demikian, selepas pendudukan Jepang, Gereja-gereja
hasil zending yang semula menjadi gereja tertutup, atau tanaman cangkokan dalam pot,
secara perlahan turut memberikan sumbangan kepada masyarakat dan bangsa melalui bidang
pendidikan dan kesehatan (Ngelow 1997).

Melalui semangat itulah secara perlahan namun pasti, Gereja-gereja membangun keterlibatan
serius dalam pergerakan kebangsaan. Meski lambat, sebetulnya, benih-benih gerakan
nasionalisme Kristen mempunyai akar yang cukup panjang di Indonesia. Keengganan
mengikuti pola Gereja Protestan (Indische Kerk, Gereja Negeri), mendorong Gereja-gereja
hasil zending lebih memilih menjaga jarak dengan pemerintah kolonial Belanda (Ngelow
1994, 50). Demikian juga, dorongan dari para tokoh zending yang kritis dan beraliran liberal
membuat beberapa Gereja suku –hasil zending—melahirkan pemikir Kristen yang
berorientasi pada persoalan sosial-politik bangsa dan tanah kelahirannya (Ngelow 1994, 52).

Keterlibatan para tokoh Kristen dalam pergerakan nasional merupakan proses evolusi
pemikiran yang panjang tentang kekristenan dan politik. Pekabaran Injil semula hanya
dipahami sebatas kerohanian saja. Asal orang menjadi Kristen dan berbuat baik sudah
dianggap cukup. Namun, pemahaman seperti itu melahirkan Gereja yang tertutup dan tidak
mempertautkan hidupnya dengan persoalan politik dan nasionalisme. Untungnya, ada
beberapa pemikir Kristen, biasanya tidak terikat secara formal dengan Gereja, yang terlibat
dalam gerakan kekristenan antar-bangsa, seperti, CSV, Christen Studenten Vereniging,
Gerakan Mahasiswa Kristen). Mereka ini yang memulai membahas soal kemerdekaan

2
Gereja-gereja Belanda dan badan misinya sendiri secara internal juga mengalami “perpecahan” dalam
pengembangan gagasan mengenai pekabaran Injil di Jawa atau Indonesia. Ada kelompok yang terus
mengharapkan Belanda kembali menguasai Indonesia dan, dengan begitu bagi, gereja agak mudah untuk
kembali melayankan tugas-tugas kegerejaannya. Namun, ada juga kelompok lain yang bersimpati dengan
gerakan nasionalis dan tentu saja juga secara tidak langsung mendorong gereja berpihak kepada bangsa dan
rakyatnya sendiri. Berkat tokoh-tokoh seperti Kraemer, Van Doorn, juga Bakker atau Verkuyl, gereja-gereja di
Indonesia akhirnya bisa memilih secara bijak tentang jati diri, pergumulan teologis, dan juga sikapnya sebagai
Kristen Indonesia. Lihat secara detail dalam: Hans van de Wal, Terbelah dalam Kancah Revolusi: Kaum
Protestan Belanda dan Pekabaran Injil Menghadapi Revolusi Indonesia (Kutoarjo, Yayasan Cemara, 2015).
3
Isi Kwitang Akkoord atau disebut juga sebagai Akkoorden van Samenwerking secara garis besar adalah:
“pekabaran Injil di Indonesia merupakan tanggung jawab gereja-gereja di Indonesia sendiri; dan dalam kerangka
seperti itu, gereja luar negeri dapat bekerja sama dengan memberikan bantuan untuk melaksanakan kewajiban
tersebut”.

2
sebagai hak semua bangsa. Melalui mereka, Gereja secara perlahan juga mulai membahas
nasionalisme sebagai pergumulan teologis (Wal 2014, 46-47).

Setelah kemerdekaan Indonesia, keterlibatan Gereja melalui tokoh-tokoh Kristen semakin


meningkat. Proses keterlibatan itu ditempuh melalui dua cara: membentuk partai Kristen dan
mendorong keterlibatan orang Kristen dalam partai lain yang umum, seperti Amir Syarifudin
(Wal 2014). Meski menempuh jalan berbeda kedua kelompok ini menekankan pentingya
Kristen terlibat dalam proses nasionalisme dan revolusi di Indonesia dengan sungguh-
sungguh. Sejak masa itulah, Gereja-gereja, termasuk di luar Indonesia mendorong terjadinya
proses dekolonisasi di berbagai tempat di Asia.

Proses dekolonisasi ini mengubah mengubah relasi Gereja di Asia dan di Eropa. Selain
mengubah pola kerja sama misi, beberapa program yang berkaitan dengan pekabaran ini
ditransformasi menjadi bantuan pembangunan secara umum. Artinya, segala bentuk bantuan
keuangan dari negara Barat Kristen tidak hanya tertuju kepada gereja. 4 Demikian juga,
bantuan dari gereja Belanda tidak hanya ditujukan kepada gereja di Indonesia, tetapi juga
kepada negara-negara lain di luar Indonesia.5 Secara perlahan bantuan keuangan dari Gereja
Belanda kepada Gereja di Indonesia mengecil.

Hal ini mengakibatkan Gereja-gereja di Indonesia harus saling bekerja sama untuk
memperkuat satu sama lain. Seperti, diperlihatkan oleh B. Probowinoto, ketika terjadi
pemutusan hubungan dengan Gereja Belanda, membentuk suatu permusyawaratan Gereja-
gereja Jawa, yang kemudian menjadi Dewan Permusyawaratan Gereja-gereja di Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi di Jakarta (Konferensi Pekabar Injil), Makasar (Majelis Usaha
Bersama Gereja-gereja Kristen di Indonesia Timur), dan beberapa persekutuan pemuda
Kristen (Sairin 1997).

Dengan demikian, secara singkat, pada masa kemerdekaan dan dekolonisasi lahir secara
bersamaan gerakan ekumenis dan gerakan kebangsaan (Sairin 1997, 18), atau boleh
dikatakan bahwa gerakan ekumenis Gereja-gereja di Indonesia merupakan wujud gerakan
nasional mendukung terbentuknya negara Indonesia (Ngelow 1994, Sairin 1997, 25). Itulah
yang menyebabkan mengapa gerakan ekumenis di Indonesia lebih cepat berkembang dan
menemukan bentuknya dibanding di wilayah lain di luar Indonesia, bahkan pada tingkat
global.

3. Kelompok-kelompok yang Mempengaruhi


Setidaknya, ada empat kelompok yang turut mempengaruhi lahirnya gerakan ekumenis, yang
berpuncak pada terbentuknya Dewan Gereja Indonesia (DGI), yaitu: kalangan akademisi
teologi, para zendeling atau tenaga misi yang progresif, gerakan pemuda Kristen, dan para
pemimpin gereja yang terlibat dalam gerakan ekumenis global (Jonge 1996, Sairin 1997).

4
David Mossed and David Lewis, The Aid Effect: Giving and Governing in International Development (London
and Ann Arbor, Michigan: Pluto Press, 2005).
5
Ufford, “Cycles of Concern”, h. 89

3
Pada sekolah teologi, para mahasiswa diajarkan oleh para pendidik atau gurunya untuk mulai
terlibat dalam persoalan sosial-politik di mana gereja berada. Perhatian terhadap persoalan
politik tidak bisa diabaikan begitu saja oleh Gereja, khususnya di Jawa atau Indonesia secara
umum. Pertemuan antar-mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia turut menyemaikan
pentingnya menjalin kerja sama antar-gereja kelak. Sementara, para zendeling, yang
kebanyakan juga guru atau pendidik di sekolah teologia juga mendorong lahirnya pemikiran
tentang tanggung jawab Gereja terhadap lingkungan sosialnya. Para pendidik seperti,
Verkuyl, Bakker, Bavinck, adalah beberapa mentor yang mendorong pemikiran teologis yang
memberi tempat bagi ekspresi kebangsaan atau nasionalisme. Gereja di Indonesia sudah
selayaknya mempertimbangkan konteks bangsangya sebagai medan pelayanan dan kesaksian
(Wal 2014).

Kemudian yang sangat perlu dicatat adalah peranan kelompok pemuda yang tergabung dalam
gerakan mahasiswa Kristen, CVS. Berkat bimbingan dua tokoh penting, yaitu Kees van
Doorn dan Hendrik Kraemer, para pemuda yang tergabung dalam CSV mempunyai wawasan
nasionalis yang sekaligus ekumenis. Mereka sering didorong untuk bertemu dengan sesama
gerakan dari luar negeri, dan membahas soal ekumenisme global dan peran sosial masing-
masing pemuda dalam konteks bangsanya (Jonge 1996, Wal 2014). Pertemuan-pertemuan
ekumenis global itulah yang mendorong para pemuda memprakarsai gerakan ekumenis
nasional.

Selain itu, pemimpin Gereja yang sering mengikuti pertemuan ekumenis global juga turut
membentuk arah bagi lahirnya gerakan ekumenis nasional. Misalnya, pertemuan di
Tambaran, tahun 1938, atau kunjungan John Mott pada tahun 1926 di Jawa turut
mempengaruhi wawasan ekumenis pimpinan Gereja di Indonesia. Keterlibatan para tokoh
Gereja pada pertemuan IMC, International Missionary Council atau pertemuan global-
ekumenis lainnya juga turut mempercepat lahirnya gerakan ekumenis di Indonesia.

Dari berbagai kelompok itulah nama-nama perintis gerakan ekumenis muncul dan memegang
peranan penting terbentuknya DGI, antara lain, TSG Mulia, WJ Rumambi, J. Leimena, Tine
Fransz, JE Siregar, B. Probowinoto, TS Sihombing, Marjo Sir, SC Nainggolan, Simon
Marantika, RM Luntungan, Tjan Tong Ho, dan BA Supit (Sairin 1997). Semua tokoh ini
kemudian berkomitmen membentuk Dewan Gereja di Indonesia (DGI) pada 25 Mei 1950,
padaa saat perayaan Pentakosta, kira-kira enam (6) bulan sesudah pengakuan Kedaulatan
Indonesia, 27 Desember 1949 (Sairin 1997, 17).

4. Kemandirian Gereja dan Politik Kebangsaan


Seperti disinggung di depan, untuk menjawab konteks sosial politik Indonesia yang sedang
berjuang, Gereja-gereja perlu merumuskan sikapnya. Gereja di Indonesia walau dilahirkan
oleh Rahim Gereja Barat bukan berarti harus berpihak kepada Barat, apalagi penjajah. Hal itu
dibuktikan dengan jiwa kepeloporan yang dilakukan sejak politik etis Belanda. Gereja
memilih merintis Pendidikan di wilayah pelosok dengan Pendidikan kritis-etis supaya
melahirkan orang Indonesia yang bisa membaca dan berpikiran dalam etika Barat. Namun,
dengan terputusnya hubungan Belanda –karena kedatangan jepang—Pendidikan kritis etis itu

4
berubah menjadi kritis-nasionalis. Artinya, dengan kesadaran yang tumbuh, bukan etika Barat
yang dihayati, tetapi kesadaran nasionalis yang tumbuh sebagai gantinya.

Apalagi, di kalangan para zendeling aliran progresif, Gereja harus turut terlibat dalam
pergumulan sosial di mana Gereja ada. Gereja diajarkan untuk melakukan kesaksian
berdasarkan konteks dan pergumulan sosial yang ada di sekitarnya. Bertambah luasnya
pergaulan dengan Gereja-gereja lain secara internasional turut memberi arah baru
pergumulan teologis Kristen Indonesia.

Berdasar pemikiran itulah, Gereja menekankan pentingnya kemandirian, baik dalam soal
dana dan pemikiran. Surutnya bantuan keuangan dan bentuk lain dari Gereja di luar negeri,
mendorong Gereja-gereja di Indonesia merumuskan model kemandirian. Lalu, persekutuan
antar-gereja menjadi pilihan yang sangat realistis. Sebab, hanya dengan bersekutu itulah akan
lahir bentuk-bentuk kemandirian yang bisa dicapai bersama. Persekutuan ini kemudian
ditransformasi kedalam perjuangan kemerdekaan bersama kelompok lain di Indonesia.
Keesaan atau ekumenisme Gereja dengan demikian sejalan dengan politik kebangsaan umat
lain di Indonesia. Gerakan keesaan Gereja adalah wujud lain dari gerakan nasionalis di antara
Gereja-gereja di Indonesia (Jonge 1996, Sairin 1997).

Sekali lagi, di sini terlihat bahwa proses pembentukan gerakan ekumenis di Indonesia
berjalan jauh lebih cepat di tempat lain, karena situasi politik yang menuntut Gereja berpikir
cepat. Sebab, semakin lama Gereja memutuskan untuk tidak Bersatu, semakin lambat pula
terlibat dalam gerakan kemerdekaan. Justru, konteks sosial politik menjadi faktor yang
menjadikan matang gerakan ekumenis di Indonesia. Kesatuan Gereja menjadi wujud dari
komitmen politiknya mendorong kesatuan Indonesia.

5. Ekumenisme dalam Partisipasi Politik Gereja


Kalau keterlibatan tokoh Kristen dalam partai politik bisa dianggap sebagai bentuk partisipasi
politik Kristen, maka ada dua model yang ditempuh oleh Kristen. Pertama, adalah proses
pembentukan partai Kristen Indonesia. Proses ini memang memperlihatkan betapa Kristen,
apapun latar belakangnya, perlu tergabung dalam partai politik—sebagai arena
memperjuangkan aspirasi politik. Artinya, kekristenan dikaitkan dengan politik secara khusus
melalui satu wadah yang bercorak Kristiani juga. Cara ini cukup memadai pada waktu
demokrasi parlementer awal republik ini. Karena dengan cara ini, wakil-wakil Kristen bisa
memperjuangkan aspirasinya secara terbuka dalam proses politik. Cara ini ditempuh oleh
beberapa tokoh, seperti Probowinoto, Latuharhary, WZ Johannes, dan Maramis (Wal 2014),
yang mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Cara kedua adalah Kristen bisa terlibat dalam proses politik melalui wadah berbagai politik,
apapun partainya. Artinya, orang Kristen harus berjuang melalui saluran yang ada. Dengan
demikian, orang Kristen harus terus mampu berjuang di tengah segala lingkungan.
Kekristenan seperti ini memperlihatkan kesatuan antara Gereja dan lingkungan sosial-politik.
Gereja atau Kristen mesti terlibat secara langsung dan tidak harus membuat satu media yang
memisahkan dirinya dengan lingkungannya. Cara ini dipilih oleh Amir Syarifudin (Ngelow
1997).

5
Terlepas dari dua model yang ada dalam sejarah kekristenan di Indonesia, hal itu
memperlihatkan bahwa partisipasi politik Kristen tidak seharusnya dipisahkan dari gerakan
ekumenis Gereja. Cara pertama memang memperlihatkan ekumenisme yang terlembagakan.
Namun, cara itu mungkin akan membatasi gerakan ekumenis secara luas dengan agama-
agama lain. Sementara, cara kedua lebih membuka kerja sama ekumenis yang lebih luas,
mencakup hubungan dengan agama lain. Dua cara itu pernah dilakukan oleh Kristen dalam
sejarah partisipasi politik di Indonesia.

6. Masa Depan Gerakan Ekumenis di Indonesia


Sekarang ini, bercermin pada sejarah, situasi sosial-politik Indonesia berubah secara
menyeluruh. Hadirnya teknologi jejaring menjadi tantangan tersendiri bagi gerakan ekumenis
(Adi 2015). Selain itu, menguatnya gerakan radikalisme keagamaan dan politik sekarang
turut memberikan tantangan yang tidak ringan bagi ekumenisme lintas-agama. Namun,
setidaknya, belajar dari model keterlibatan Kristen dalam politik dan ekumenisme, Gereja-
gereja bisa mengambil sikap yang bijaksana saat ini.

Masyarakat jejaring memang memudahkan relasi dan komunikasi, tetapi kalau tidak kritis
kita bisa terjebak pada dua hal: kedangkalan informasi dan persoalan –karena hal itu
disampaikan kepada kita berulang-ulang dengan format yang beraneka ragam; atau
berikutnya, melampaui kebenaran (beyond or post-truth), sebab kemasannya jauh lebih indah
dari esensi informasi, sehingga kita kehilangan makna terdalam dalam informasi atau
persoalan yang ada.

Jebakan yang kedua itulah yang seringkali melahirkan radikalisme. Tanpa memahami esensi
dari sebuah kebenaran, orang digerakan keyakinannya. Akibatnya, yang muncul adalah
prasangka atau patologis yang menggerakan tindakan seseroang atau kelompok. Situasi ini
jelas menghadirkan kesulitan dalam membangun relasi atau dialog. Semua perjumpaan
dilandasi oleh prasangka. Kalau situasi ini tidak segera diatasi akan melahirkan berbagai
bentuk kekerasan, dari simbolik sampai fisik.

Mendasarkan pada situasi tersebut, kemungkinan jalan yang baik adalah mengembangkan
gerakan ekumenis mengikuti garis pemikiran Amir Syarifudin. Kekristenan harus
diperlihatkan kepada semua pihak, tanpa menggunakan media yang bercorak Kristiani,
karena di sanalah aktualisasi nilai Kristen akan memperoleh makna yang sesungguhnya.
Artinya, gerakan ekumenis bukan sekadar gerakan yang menyatukan Gereja, tetapi juga harus
mampu membangun kesatuan di antara berbagai perbedaan. Singkatnya, gerakan ekumenis
tidak mencakup antar-gereja saja, tetapi lebih luas harus mencakup antar-agama dan antar-
kelompok sosial. Dialog dan kerja sama antar-gereja diperluas menjadi antar-agama.

7. Penutup
Kiranya tulisan ini bisa memberikan gambaran yang memadai tentang Gerakan ekumenis di
Indonesia. Namun, untuk membahas lebih detail tentang sejarah gerakan itu secara

6
kronologis, silahkan membaca buku de Jonge (Jonge 1996) untuk melengkapi apa yang
diuraikan di sini. [***]

Salatiga, 20 Maret 2020

Kepustakaan
Adi, Suwarto. “JKLPK, Masyarakat Jejaring dan Tantangan Ekumene (Sebuah Refleksi dan
Proyeksi).” In Menapak dan Meninggalkan Jejak, by JKLPK Indonesia, 45-57.
Jakarta : JKLPK Indonesia, 2015.
Fitzgerald, Thomas E. The Ecumenical Movement: An Introductory History. Wesrport, CT:
Praeger Publisher, 2004.
J. B. Banawiratma, dkk. Tempat dan Arah Gerakan Ekumenis. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1994.
Jonge, Christiaan de. Menuju Keesaan Gereja: Sejarah, Dokumen-Dokumen dan Tema-tema
Gerakan Oikumenis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Ngelow, Zakaria J. Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan
dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1994.
Ngelow, Zakaria J. “Tunas Zaitun Liar Cangkokan: Kristen dan Pergerakan Nasional
Indonesia.” In Gerakan Oikumene: Tegar Mekar di Bumi Pancasila, Buku Peringatan
40 Tahun PGI, by J. M. Pattiasina dan Weinata Sairin, 3-15. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1997.
Oduyoye, Mercy. Siapa yang Akan Menggulingkan Batu Itu? Dekade Oikumenis Gereja-
gereja dalam Solidaritas dengan Perempuan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.
Sairin, J. M. Pattiasina dan Weinata. Gerakan Oikumene: Tegar Mekar di Bumi Pancasila
(Buku Peringatan 40 Tahun PGI). jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Wal, Hans van de. Terbelah dalam Kancah Revolusi: Kaum Protestan Belanda dan
Pekabaran Injil Belanda Menghadapi Revolusi Indonesia. Purworejo: Yayasan
Cemara, 2014.

Anda mungkin juga menyukai