Anda di halaman 1dari 37

TUGAS MATA KULIAH SEJARAH GEREJA DAN OIKUMENE

SEJARAH GEREJA INDONESIA

Dosen Pengampu : Pdt. Hida Diyanto

Disusun oleh :
Yohanes Ayom Prabawani (A120181006)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN


FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SURAKARTA
Tahun 2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kemunculan agama Kristen yang dimulai dari sebuah negara di timur tengah atau lebih
tepatnya di negara Palestina, melalui sejarahnya yang sangat panjang hingga kini agama ini
menyebar ke seluruh penjuru dunia melalui misi penginjilannya. Tidak mengherankan
sekarang agama Krsiten menjadi agama dengan pemeluk terbanyak di dunia terutama di
benua Eropa dan Amerika.

Sama halnya dengan agama Islam, agama Kristen juga menyebarkan ajarannya ke
Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat subur
sekali, komoditi utama yang menguntungkan dan bisa membuat kaya pada zaman dahulu
yaitu rempah-rempah membuat bangsa barat tertarik datang ke Indonesia. Gereja-gereja di
Indonesia lahir adalah dari hasil pekerjaan lembaga misi yang sangat beragam, dan dapat
dikatakan bahwa misi sedikit banyak ada berhubungan dengan sejarah kolonialisme di
Indonesia, misalnya: zaman Portugis dan zaman VOC (Belanda).

Sejarah Gereja Indonesia yang dipaparkan akan lebih banyak menyinggung tentang
Gereja-gereja Katolik dan Protestan arus Calvinis dan Lutheran. Selain itu, pembahasan juga
berkisar pada Gereja-gereja kelompok Pentakostal dan denominasi lainnya yang masuk ke
Indonesia pada abab ke-19 dan 20. Informasi tentang Sejarah Gereja Indonesia meliputi
Sejarah Gereja Nestorian di Indonesia, Misi Gereja Katolik di Indonesia, Tersebarnya Kristen
Protestan (aliran Calvinis) di Indonesia dan Gereja Protestan Indonesia yang bertumbuh ke
arah kemandirian. Selain itu dibahas juga Gereja-gereja Indonesia yang telah berusaha
mandiri sebelum tahun 1930 yaitu beberapa Gereja Sumatera dan Gereja-gereja Pantekosta
yang berkembang di beberapa daerah di Indonesia.

Dalam tulisan-tulisan sejarah gereja yang disusun pada masa lampau, tokoh-tokoh,
perbuatan serta pemikiran para pekabar Injil yang dijadikan pusat pusat perhatian. Berita-
berita tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di tengah gereja muda yang sedang
berkembang (gereja-gereja yang lahir dari PI oleh para misionaris Eropa) hampir semua
keluar dari para zending. Merekalah yang mengirim laporan-laporan ke pengurus lembaga
pekabaran Injil yang telah mengutus mereka, menulis buku-buku kenang-kenangan, dari
tangan mereka pula berasal, sebagian besar buku-buku ilmiah mengenai Sejarah Gereja
Indonesia. Di balik itu, orang-orang Kristen yang telah bertobat dan dilayani oleh mereka
hampir tidak mempunyai suara karena mereka tidak banyak berbicara, apalagi menulis. Jadi,
kalau kita menggunakan saja sumber-sumber yang tersedia, para misionarislah yang menjadi
tokoh utama dalam sejarah gereja Indonesia. Namun, sejarah gereja yang hanya
memperlihatkan para pekabar Injil (misionaris dari Eropa), maka ia hanya merupakan sejarah
pekabaran Injil atau dapat kita katakan sebagai sejarah misi. Sejarah gereja seharusnya
meliputi bidang-bidang lebih banyak dari pada hanya pekabaran injil. Ada ibadah, ada
organisasi gereja, ada ajaran gereja, ada kesalehan hati, ada kelakuan orang-orang Kristen
terhadap saudaranya dan terhadap dunia sekitarnya. Singkatnya, Sejarah Gereja tidak lain
bagaimana orang-orang Kristen anggota suatu gereja menghayati dan mengungkapkan iman
mereka.

1.2. Tujuan Penulisan


1. Memahami gambaran umum tentang Indonesia secara wilayah, sosial masyarakat
dan politik hingga sebelum masuknya kekristenan di Indonesia.
2. Memahami periodisasi Sejarah Gereja di Indonesia.
3. Memahami berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi dalam proses
masuknya kekristenan di Indonesia, perjumpaan gereja dan kekristenan di
Indonesia dengan pemeluk agama dan kepercayaan lainnya.
4. Memahami sejarah lahir dan berkembangnya Gereja Protestan di Indonesia,
beberapa lembaga misi Protestan yang bekerja di Indonesia, serta denominasi
yang dihasilkannya sesuai dengan daerah kerjanya.
5. Memahami sifat dan karakter kekristenan di Indonesia, seperti: motivasi menjadi
Kristen, hidup persekutuan jemaat Kristen, perjumpaan gereja dengan budaya,
masalah lahirnya gereja-gereja suku dan gereja-gereja daerah, serta masalah
hubungan gereja dan negara di Indonesia.
BAB II

SEJARAH GEREJA INDONESIA DAN PERIODISASINYA

2.1. Arti Sejarah Gereja Indonesia

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi dua arti tentang “sejarah”, yaitu: (1) Sejarah
adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau (kejadian dan
peristiwa, fakta dan kenyataan dari masa lampau); dan (2) Sejarah adalah pengetahuan atau
uraian mengenai peristiwa-peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa yang
lampau. Jadi, berdasarkan definisi ini, belajar sejarah tidak lain berurusan dengan fakta masa
lampau (peristiwa-kejadian itu sendiri) dan usaha menguraikan fakta/peristiwa tersebut.

Kata “gereja” berasal dari kata dalam bahasa Portugis igreja, yang berasal dari kata
Yunani ekklesia yang berarti: mereka yang dipanggil. Mereka yang pertama dipanggil oleh
Yesus Kristus ialah para murid dan sesudah kenaikan Tuhan Yesus ke surga dan turunnya
Roh Kudus pada hari pentakosta, para murid itu menjadi rasul, artinya “mereka yang diutus”
untuk memberitakan Injil sehingga lahirlah Gereja.

Kata "Indonesia" berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu Indus yang berarti Hindia
dan kata dalam bahasa Yunani nesos yang berarti pulau. Jadi, kata Indonesia berarti wilayah
Hindia kepulauan, atau kepulauan yang berada di Samudera Hindia, yang menunjukkan
bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat. Sejak tahun
1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkungan akademik di luar Belanda, dan
golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik.

Jadi, Sejarah Gereja Indonesia dapat didefinisikan sebagai kisah tentang aktifitas
misionaris (misi) dan respon orang-orang di Nusantara terhadap panggilan Yesus Kristus
melalui pemberitaan Injil oleh para misionaris (Nestorian di Barus, Gereja Katolik dari
Eropa, Zending dari Belanda, dan Negara-negara lain), yang bermisi ke Nusantara pada abad
ke 7 – 21.

Belajar Sejarah Gereja Indonesia akan bermakna bagi kita untuk melihat dan
mengimani karya Allah Tritunggal pada masa lampau di Nusantara dalam diri orang-orang
pilihan-Nya (misionaris dan penerima Injil). Dengan kata lain belajar mengenal Allah melalui
sejarah umat-Nya serta melihat respon orang-orang pilihan-Nya pada masa lampau di
Nusantara. Dengan demikian kita akan dapat menghargai para utusan Injil (dari berbagai
denominasi) yang mula-mula walaupun mereka melakukan kekeliruan di beberapa tempat di
Indonesia, namun rela meneladani perkara-perkara yang baik dari kehidupan dan pelayanan
mereka pada masa lampau serta dapat menerima berbagai denominasi gereja dengan berbagai
kekurangan yang mungkin ada pada denominasi tersebut.

2.2. Periodisasi Sejarah Gereja Indonesia

Periodisasi berarti usaha membagi-bagi masa sejarah gereja itu atas periode (batas-
batas waktu) tertentu. Cara pembagian periode itu ada bermacam-macam; ada yang
membaginya dari segi perkembangan atau perluasan gereja itu; ada yang membaginya dari
segi pertumbuhan organisasi atau kepemimpinan gereja itu sendiri. Dr. Th. Mueller Krueger
dalam bukunya: Sejarah Gereja di Indonesia, membuat periodisasi sejarah gereja-gereja di
Indonesia, bertolak dari segi: siapa yang datang menyebarkan Injil itu. Dengan demikian dia
membuat periodisasi Sejarah Gereja di Indonesia sebagai berikut:

1. 1520-1605 : Zaman misi Katolik Roma


2. 1605-1800 : Zaman zending VOC
3. 1800-1940 : Zaman zending oleh lembaga-lembaga PI dari Eropa

Th. Van den End, dalam bukunya Ragi Carita 1, menggunakan periodisasi yang
berdasarkan beberapa segi sejarah gereja yang digabung, sehingga dengan demikian dia
membagi sejarah gereja di Indonesia atas dua zaman besar, yakni:

1. Tahun 1522-1800: Pada periode ini negara (Portugis dan VOC) memainkan
peranan penting dalam perluasan dan pemerintahan gereja. Di pihak lain PI
diselenggarakan oleh suatu lembaga gereja dan membawa serta bentuk ibadah
dan ajaran yang berlaku dalam gereja itu. Pendekatan terhadap agama dan
kebudayaan yang mereka temukan di Indonesia bersifat negatif semata-mata. Dan
orang-orang Indonesia tidak ikut serta dalam kepemimpinan gereja; organisasi
gereja bersifat hierarkis dan dipimpin oleh orang-orang Barat.
2. Tahun 1800-1940an yang kemudian dibagi atas beberapa sub-periode yakni:
tahun 1800-1860; tahun 1860-1920; dan 1920-1940an. Pembagian ini didasarkan
atas faktor perluasan, faktor pola berfikir para zending (misionaris), faktor
peranan orang-orang Indonesia dalam kehidupan gerejani dan faktor
perkembangan di bidang politis. Faktor-faktor ini berlaku bagi sejarah gereja di
Indonesia dilihat sebagai satu kesatuan.

Akan tetapi sebelum kehadiran Gereja Katolik di Nusantara, sudah didahului dengan
kedatangan Gereja Nestorian dari Persia di Barus Sumatera Utara. Untuk mengakomodasi
fakta ini dalam studi Sejarah Gereja, Dr. Fridolin Ukur menetapkan periodisasi Sejarah
Gereja Indonesia sebagai berikut:

1. Pra Sejarah Gereja di Indonesia (tahun 645-1930/1935). Masa ini dibagi dalam
beberapa periode:
a. Kedatangan kelompok Kristen Nestorian yang berpusat di Mesopotamia Hilir
(Irak) ke Sumatera yang terjadi antara tahun 645-1500.
b. Kedatangan Gereja Katolik di Indonesia antara tahun 1511-1666.
c. Tersebarnya Kristen Protestan ke Indonesia antara tahun 1605-1910. Yang
terbagi dalam dua tahap:
i. Zaman Calvinis VOC (1605-1800)
ii. Zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (1800-1930/1935)
d. Lahirnya Gereja-gereja Suku/Gereja Daerah dan Gerakan Pentakosta di
Indonesia.
2. Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1930-kini. Babak ini dibagi lagi dalam
beberapa periode:
a. Gereja dan Pergerakan Nasionalisme (1930-1941)
b. Gereja di Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
c. Gereja di Masa Perang Kemerdekaan RI (1945-1950)
d. Gereja yang bertumbuh/tinggal landas (1950-kini)

Periodisasi yang akan dipakai dalam makalah ini adalah periodisasi yang diajukan oleh
Dr. Muller Kruger karena jelas pembagiannya berdasar siapa yang menyebarkan Injil di
Indonesia. Dan sebagai tambahan adalah bagaimana akhirnya penyebaran Injil itu
berkembang di Indonesia.
BAB III

KONTEKS INDONESIA KETIKA INJIL MASUK

3.1. Konteks Geografis

Nusantara/Indonesia secara geografis terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara


benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya
yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara
(Kepulauan Antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di
dunia. Oleh karena wilayah kepulauan maka lingkungan alam, letak yang terpisah dan
terisolir oleh lautan, gunung-gunung dan sungai serta hutan belantara yang lebat, tidak
meratanya daya serap kebudayaan luar oleh suku-suku tersebut, kesemuanya itu
menimbulkan perbedaan-perbedaan yang berderajat dalam tingkat kebudayaan, keterbukaan,
penyesuaian dan sebagainya. Posisi Indonesia yang berada pada garis katulistiwa ini juga
mempunyai akibat terjadinya peletusan-peletusan gunung berapi yang banyak terdapat di
sepanjang pulau-pulau seperti Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores dan beberapa
kepulauan di NTT, Sulawesi Utara dan Halmahera.

Apabila dihubungkan dengan penginjilan, bisa disimpulkan bahwa ada banyak


kesulitan dalam melaksanakan pekabaran Injil di Nusantara pada masa lampau. Namun kita
juga bersyukur karena ada gereja di Nusantara yang merupakan hasil pekaran Injil pada masa
lampau di Nusantara, baik pada masa VOC, Hindia Belanda, masa pengutusan zending-
zending ke Nusantara dan tanggungjawab orang Indonesia atas kabar baik tentang Yesus
Kristus yang sudah mereka terima dan sebarkan kepada orang lain.

3.2. Konteks Politik, Sosial-Budaya dan Ekonomi

Pada masa ini secara politik, sebelum datangnya kekuatan politik dari Eropa, sudah ada
kerajaan-kerajaan di Nusantara yang berkuasa atas atas wilayah-wilayah di Nusantara, antara
lain: Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Melayu, Mataram Hindu, Kediri, Bali, Majapahit,
Singasari, dan beberapa kerajaan lain.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat Nusantara sudah menanamkan sikap gotong


royong. Pola kebudayaan pada masyarakat Indonesia ada yang berlandaskan pada
penanganan penanaman padi dengan sistem irigasi (sawah) yang memungkinkan penduduk
tinggal menetap. Selain itu ada pula pola kebudayaan yang didasarkan pada penanganan
penanaman padi dengan sistem perladanganyang tidak memungkinkan orang menetap agak
lama di suatu tempat karena dalam waktu tertentu mereka harus berpindah mencari tanah-
tanah perawan untuk digarap. Kedua pola ini mempengaruhi pelayanan pekabaran Injil.
Orang yang memiliki budaya irigasi (sawah) memilih menetap dan mudah diadakan
pelayanan lanjutan tetapi ladang pindahan mempersulit pelayanan lanjutan karena
kecenderungan orang selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Secara ekonomi Indonesia memiliki sumber-sumber kekayaan alam yang sangat kaya,
yang belum sepenuhnya digarap dengan baik demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
seperti emas, intan, dan batu mulia lainnya, timah, besi, nekel, batu bara, teh, kopi, kelapa,
karet, tembakau, cengkeh, lada, kina, beras, jagung, minyak bumi dan sumber-sumber
meineral lainnya serta hutan dengan segala kayunya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah
perdagangan penting setidaknya sejak sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya
menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan
Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang
membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk
memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Setelah
sekitar 350 tahun penjajahan Belanda, Indonesia menyatakan kemerdekaannya di akhir
Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat tantangan dari bencana alam, korupsi,
separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.

3.3. Konteks Agama

Sebelum agama Kristen masuk ke Nusantara, sudah ada agama asli (agama suku) dan
agama-agama dari luar Nusantara yaitu agama Hindu, agama Budha dan agama Islam.

1. Agama Suku

Sebelum datangnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam dan Kristen ke
bumi Indonesia, masyarakat Indonesia asli adalah penganut agama suku (agama
primitif). Setiap suku yang ada di Indonesia mempunyai agamanya yang tersendiri
dan satu sama lain sangat berlainan menurut corak dan bentuk serta karakter masing-
masing (agama suku Batak, agama suku Jawa, suku Dayak, Irian, dll). Walau
berlainan satu sama lain, ada kesamaan corak secara umum, kesamaan ini nantinya
akan banyak memberi pengaruh terhadap sejarah kekristenan di Indonesia, misalnya
soal:

a. Agama-agama suku itu menganut paham animisme, yakni: kepercayaan


tentang adanya roh-roh atau kekuatan-kekuatan yang menguasai alam ini.
Setiap benda, baik itu pohon, binatang-binatang, tempat-tempat, diyakini
didiami oleh roh-roh tertentu.
b. Agama-agama suku itu mempunyai aturan hidup atau adat yang mengatur
segala aspek kehidupan, rohani dan jasmani. Adat itu tidaklah merupakan
aturan yang lepas dari agama dan menurut kepercayaan suku-suku itu, adat
tersebut diturunkan oleh dewa-dewa melalui nenek moyang suku-suku atau
marga-marga itu. Karena itu wibawa nenek moyang sangat dihormati bahkan
juga disembah bagaikan suatu dewa.
c. Apabila adat itu diikuti secara sempurna, dipercayai akan membawa selamat
atau berkat bagi masyarakat suku itu, tetapi sebaliknya apabila dilanggar akan
membawa kutuk atau malapetaka.
2. Agama Hindu dan Budha
Agama Hindu dan agama Budha telah masuk ke Indonesia sejak abad pertama
Masehi yakni melalui pedagang-pedagang yang datang dari India. Pada waktu itu
Indonesia memang telah ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari berbagai
negara di dunia, antara lain dari Tiongkok, India, Persia dan Mesir. Dari India
banyak pedagang-pedagang yang datang ke Indonesia untuk membeli rempah-
rempah dari saudagar-saudagar yang berasal dari Jawa dan Sumatera. Kemudian
dari antara pedagang-pedagang India itu ada juga yang berhasil tinggal di
Indonesia. Di Indonesia mereka berusaha untuk mengembangkan pengaruh
mereka yakni dengan menyebarkan agama dan budaya mereka, dan juga dengan
mendirikan beberapa kerajaan yang besar seperti kerajaan Sriwijaya yang
menganut agama Budha di Sumatera Selatan dan kerajaan Majapahit yang
menganut agama Hindu di Jawa. Kehadiran agama Hindu dan agama Budha itu
memang tidak menghalau begitu saja agama-agama suku yang sudah ada. Malah
di beberapa tempat seperti di Tapanuli (Tanah Batak), pengaruh Hindu itu telah
memperkaya agama dan budaya suku setempat yakni suku Batak. Bagi
masyarakat dan kepercayaan suku Batak, pengaruh kebudayaan dan agama Hindu
dan Budha sangat nyata sekali. Begitu besarnya pengaruh agama Hindu dan
Budha atas masyarakat Indonesia nampak dari sejumlah peninggalan-peninggalan
mereka di Indonesia, antara lain berupa candi-candi dan kuil-kuil, seperti Candi
Mendut dan Candi Borobudur. Sampai sekarang penganut agama Hindu dan
agama Budha masih banyak dijumpai di Indonesia, seperti di Jawa dan Bali, dan
bahkan kedua agama itu sudah merupakan agama yang diakui secara resmi di
Indonesia.
3. Agama Islam
Agama Islam masuk di Indonesia sejak abad ke-13, yang juga melalui jalur
perdagangan. Pedagang-pedagang Gujarat dari India Barat, yang datang
berdagang ke Indonesia menyebarkan agama itu di Indonesia. Para pedagang-
pedagang Gujarat yang membawa agama Islam itu sebelumnya mengenal agama
itu melalui para pedagang yang datang ke negeri mereka dari Arabia, dari Mesir
dan Persia, sejak abad 9. Di Indonesia, daerah yang pertama dimasuki oleh agama
Islam itu ialah Aceh, yang karena itu negeri tersebut masih digelari “serambi
Mekkah”. Kemudian setelah dari Aceh, agama Islam itu menyebar lagi ke daerah-
daerah Indonesia yang lain. Cara penyiaran agama Islam itu ialah dengan
memasuki kota-kota pelabuhan dan mengikuti jalur-jalur perdagangan. Kemudian
di tempat-tempat yang telah dimasuki, penyebar-penyebar agama Islam itu
berusaha menjalin hubungan dengan raja-raja, sultan-sultan atau penguasa-
penguasa setempat yakni dengan mengawini putri-putri raja-raja tersebut atau
sebaliknya. Dengan demikian pengaruh raja-raja setempat tersebut bisa
dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang Islam tersebut dalam usaha penyebaran
agama itu. Melalui raja-raja atau sultan-sultan itu maka berdirilah kerajaan-
kerajaan Islam yang berpusat di kota-kota pelabuhan atau di pusat-pusat
perdagangan, baik di Sumatera, Jawa sampai ke Maluku. Dari antara pemimpin-
pemimpin agama Islam yang kita kenal dari sejarah Indonesia, antara lain
Maulana Malik Ibrahim dan Falatehan.
4. Agama Kristen
Agama Kristen yang kita kenal sekarang ini masuk ke Indonesia melalui orang-
orang Eropa (Barat) mulai pada abad ke-16. Tetapi dalam penelitian sejarah
belakangan ini, telah ditemukan suatu bukti yang memberi petunjuk bahwa
sekitar pertengahan abad ke tujuh (kira-kira tahun 645 M) yang lalu kekristenan
telah pernah masuk di Indonesia yakni di daerah Barus, Tapanuli Tengah. Dalam
buku sejarah kuno yang ditulis oleh Shaykh Abu Salih Al-Armini tercantum suatu
daftar tentang gereja-gereja dan pertapaan-pertapaan dari propinsi Mesir dan
tanah di sekitarnya. Dalam daftar itu dinyatakan bahwa ada 707 gereja dan 181
tempat pertapaan Nasrani yang tersebar di mana-mana termasuk Indonesia.
Dalam daftar itu tercantum sebuah nama di Sumatra, yakni Fansur yang terdapat
banyak Gereja dan nasara Nasathariah. Nama Fansur sama dengan Pancur, yaitu
suatu tempat di dekat Barus di Tapanuli, Sumatra Utara. Tempat itu terkenal sejak
abad pertama tarik Masehi karena kaya akan kapur barus (kamfer) yang pada saat
itu merupakan bahan perdagangan yang sangat laku di pasaran Malabar di India
Selatan dan pasaran Eropah. Berdasarkan itu dapat diduga bahwa orang-orang
Nestorian dari Malabar yang terkenal dengan semangat pekabaran Injil telah
datang dan memberitakan Injil di daerah Sumatra sehingga lahirlah Gereja di
daerah sekitar Pancur dan Barus di sekitar pertengahan abad ke-7. Tetapi tidak
diketahui dengan jelas sampai kapan kekristenan di sana bisa berlangsung. Dan
kekristenan yang pernah ada di sana itu tidak berkesinambungan, karena tidak ada
orang-orang Kristen di Indonesia sekarang yang berasal dari kalangan Kristen
Nestorian tersebut. Rupanya kekristenan yang di Barus itu sempat menjadi hilang
lenyap, setelah pedagang-pedagang Nestorian itu meninggalkan tempat tersebut.
5. Agama Kristen Protestan
Agama ini mula-mula masuk ke Indonesia oleh orang-orang Belanda yang datang
ke Indonesia mulai tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelius de Houtman. Alasan
yang mendorong kedatangan Belanda ke Indonesia yang paling menonjol ialah
untuk berdagang. Mereka ingin memonopoli perdagangan antara Asia dan Eropa.
Dengan kebijaksanaan pemerintah Belanda, pedagang-pedagang Belanda itu
dipersatukan dalam satu kompeni (serikat) yang bernama: “Verenigde
Oostindische Compagnie” (Persatuan Maskapai di India Timur) yang disingkat
dengan VOC, tahun 1602. Pada masa itulah agama Kristen masuk ke Indonesia
sebagai salah satu misi imperialisme lama yang dikenal sebagai 3G, yaitu Gold,
Glory, and Gospel. VOC ini kemudian menjadi pemerintah atau penguasa di
Indonesia, karena kepadanya pemerintah Belanda memberi hak dan kekuasaan
untuk mengangkat militernya, membuat mata uang, dan mengadakan hubungan
diplomatik dengan negara-negara lain, dll. Dengan kekuasaan ini maka VOC bisa
bertindak keras di Indonesia demi memajukan usaha perdagangan mereka.
Sebagai pedagang, orang-orang Belanda tidak begitu mengutamakan usaha
penginjilan. Usaha penyebaran Injil kepada orang-orang pribumi hanya dilakukan
apabila usaha itu diperkirakan membawa keuntungan bagi usaha dagangnya.
Apabila ada suatu suku tertentu mau dikristenkan, adalah dengan maksud supaya
suku itu dapat dengan mudah dikuasai dan bisa setia kepada penguasa Belanda.
Untuk daerah-daerah yang sudah Islam, VOC tidak mengusahakan pekabaran
Injil, karena mereka takut akan memperoleh perlawanan dari masyarakat Islam
tersebut. Di wilayah-wilayah yang sudah dikuasai oleh VOC gereja didirikan,
semua pendetanya digaji oleh VOC. Dan setelah VOC bubar tahun 1799, gereja-
gereja yang didirikan oleh VOC itu diambil-alih oleh pemerintah Belanda.
Gereja-gereja yang berada di tangan pemerintah Belanda ini disebut: Gereja
Protestan di Indonesia (Indische Kerk).
BAB IV

1520-1605 : ZAMAN MISI KATOLIK ROMA

5.1. Gereja Nestorian di Indonesia (645-1500)


Van den End menyatakan tentang kedatangan orang-orang Nestorian ke Indonesia tidak
ada kepastian, apalagi tentang jemaat-jemaat yang mungkin mereka dirikan. Yang pasti ialah
bahwa tidak ada garis terus menerus (kontinuitas) antara mereka dengan kekristenan di
Indonesia masa kini. Pada abad-abad pertama sesudah Masehi, pedagang-pedagang Kristen
dari Mesir dan Persia menetap di Arabia Tenggara, di India Barat dan Selatan, dan di Sri
Lanka. Jemaat-jemaat mereka di India Selatan bertahan terus sampai sekarang (contohnya
Gereja Mar Thoma). Bukan tidak mungkin bahwa dari sana pedagang-pedagang Kristen
datang ke Indonesia juga.
Seorang sejarawan dari Mesir yang bernama Shaykh Abu Salih al Armini, dalam
karangannya yang berbahasa Arab dengan judul “ Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja
dan pertapaan-pertapaan dari propinsi-propinsi Mesir dan tanah-tanah diluarnya”,
menyebutkan: adanya Gereja-gereja Nestorian di kota Fansur, yaitu nama kuno untuk daerah
Barus di Sumatera Utara, Fansur: disana terdapat banyak Gereja dan semuanya adalah dari
Nasara (Kristen) Nasathiriah ( istilah bahasa Arab untuk Nestorian). Mungkin Fansur itu
adalah Barus di pantai Barat Sumatera Utara, mungkin juga ada orang-orang Kristen di Jawa.
Abd-Ishu, seorang tokoh Nestorian yang meningggal pada tahun 1318, telah menyusun satu
daftar keuskupan Nestorian dimana ia menyatakan bahwa ada keuskupan di “kepulauan
samudera, yaitu Debbag (Jawa)” yang adalah besarnya nomor limabelas dari daftar
keuskupannya. Menurut suatu naskah Gereja Nestorian, dinyatakan bahwa pada tahun 1503,
seorang patriak Nestorian mengutus tiga uskup ke Jawa.
Dari beberapa bukti historis di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat suatu
peninggalan purbakala yang membuktikan adanya Gereja Nestorian di Indonesia, namun
dilihat dari berbagai sumber bukti dan fakta sedemikian banyak sehingga kita dapat
simpulkan bahwa: Gereja Nestorian sudah ada di Indonesia, paling lambat pada abad ke-12,
sangat mungkin sebelum abad itu. Adanya kegiatan-kegiatan berdagang dan pekabaran Injil,
dalam sumber Th. Van den End disebutkan bahwa ciri kelompok Kristen Nestorian adalah
selain mempunyai semangat berdagang meka juga memiliki semangat pekabaran Injil. Kaum
Nestorian di negeri-negeri tetangga Indonesia menunjang pendapat di atas itu atau
kemungkinan oleh semangat itu maka mereka dapat hadir di Indonesia pada kurun waktu
yang disebutkan di atas.
Hilangnya jejak Gereja Nestorian di Indonesia mungkin disebabkan karena korban dari
politik, penganiayaan atau banyak faktor lainnya. Kesulitan mendapat data-data tentang
Gereja Nestorian di Indonesia pada masa lampau disebabkan karena tidak ada orang
Indonesia yang mendengar, dan mungkin bertobat dan menjadi Kristen pada waktu itu,
namun tidak menulis tentang kegiatan mereka yang berhubungan dengan penginjilan.

5.2. Kedatangan Gereja Katolik di Indonesia (1511-1666)


Gereja Katolik pada abad pertengahan mengatur seluruh bidang kehidupan negara.
Tugas Negara ialah melayani gereja, melindungi iman Kristen dari serangan musuh-
musuhnya dan mendukung penyiarannya ke luar. Konsep pemahaman seperti itu pada
akhirnya mempengaruhi Gereja Katolik di berbagai tempat, khususnya pada wilayah yang
dikuasai Portugis dan Spanyol. Misi Gereja Katolik dari Eropa ke Indonesia datang
bersamaan dengan tindakan kekuasaan bangsa Portugis di Indonesia. Bangsa ini selain
memperluas kekuasaan politik, dan ekonomi di Indonesia, juga merasa bertanggung jawab
atas penyiaran agama Kristen. Terlebih Paus pada waktu itu mendorong setiap Raja Portugis
agar mewartakan Iman Kristen Katolik di daerah kekuasaannya di seberang laut atau daerah
jajahan Portugis. Raja-raja Portugis diberi hak “Padroado” (bahasa Portugis). Padrao = tuan,
majikan, raja sebagai majikan, pelindung gereja di wilayahnya. Dalam hak Padroado, raja
bertanggung jawab dalam perluasan misi Katolik di daerah jajahan, dalam arti Raja Portugis
diberi hak untuk mengurus sendiri segala sesuatu yang menyangkut dengan Gereja dan Misi
di daerah jajahan. Raja Portugis boleh memilih dan mengangkat Uskup di daerah jajahannya
dan berhak mengirim misionaris ke daerah jajahan.

4.3. Penyebaran Kekristenan di Maluku

Orang-orang Portugis telah berhasil memasuki Indonesia terutama di daerah Maluku,


yakni dengan mendirikan benteng Portugis di Ternate tahun 1522. Pada tahun 1511, orang-
orang Portugis juga telah berhasil membuat Malaka di Malaysia sekarang sebagai benteng
pertahanan mereka, yang sekaligus sebagai pusat ekonomi, politik dan juga gerejani.
Sedangkan di India yang menjadi benteng pertahanan Portugis adalah di Goa, India Barat.
Dengan berdirinya Ternate sebagai salah satu benteng Portugis, maka pada waktu itu telah
ada tiga pusat kekuasaan Portugis di Asia yakni di Goa, Malaka dan Ternate. Ternate adalah
menjadi pusat kekuasaan dan missi Portugis di Indonesia bagian Timur. Dari Ternate inilah
dilakukan usaha penyebaran Injil, yakni kepercayaan Katolik ke berbagai tempat di sekitar
daerah Maluku, antara lain ke Ambon, Halmahera dan Morotai. Namun imam-imam Katolik
yang bekerja di daerah itu tidak memandang usaha penyiaran agama Kristen kepada
penduduk asli sebagai tugas utama, tetapi hanya merupakan tugas sampingan, karena tugas
utamanya adalah untuk melayani kerohanian orang-orang Portugis yang bekerja di sana.
Penyebaran agama Katolik itu dilakukan juga dalam rangka memudahkan penguasan
penduduk setempat. Dan banyak penduduk setempat yang ingin masuk menjadi Kristen
bukan karena mereka sudah percaya kepada Injil itu, tetapi hanya untuk meminta
perlindungan kepada orang-orang Portugis, karena sebelumnya penduduk setempat sering
mengalami tekanan-tekanan dan serbuan-serbuan dari Kesultanan Ternate yang sudah
beragama Islam.

Sejak tahun 1540an, pekerjaan misi Katolik di Maluku mulai dilakukan lebih terarah
dan intensif. Pada waktu itu mulailah berdatangan penginjil-penginjil yang mempunyai
semangat penginjilan yang besar dari Eropa. Munculnya penginjil-penginjil yang
bersemangat itu didorong oleh semangat kontra-reformasi yang teradi dari pihak gereja Roma
Katolik terhadap golongan Protestan, terutama setelah berdirinya “Serikat Yesus” sebagai
salah satu perwujudan dari kontra-reformasi itu. Serikat Yesuit itu telah melatih dan
mempersiapkan sejumlah penginjil-penginjil Roma Katolik yang sangat bersemangat.
Dengan usaha yang dilakukan pengnjil Yesuit seperti Xaverius, usaha pekabar Injil Katolik
itu dapat dengan cepat mengalami perkembangan baik ke Maluku Utara, maupun ke Maluku
Selatan. Maluku dijadikan oleh Serikat Yesuit tersebut sebagai daerah kerja mereka. Dan ke
sana tenaga-tenaga penginjil Yesuit semakin banyak dikirimkan. Tetapi selama abad 16,
gereja Kristen di Maluku banyak menderita terutama karena pergolakan politis yang terus
menerus di sana.

Salah satu rintangan berat yang dihadapi Gereja pada waktu itu ialah dari pihak
penguasa setempat, terutama dari Sultan Hairun di Ternate, yang berkuasa dari tahun 1535-
1570. Sultan Hairun ini ingin mendirikan suatu kerajaan besar yang meliputi seluruh Maluku
dan daerah sekitarnya. Dalam usaha mewujudkan rencananya itu, kehadiran orang-orang
Portugis di sana dilihat sebagai rintangan. Karena itu Sultan Hairun selalu berusaha untuk
menghempang pengaruh orang-orang Portugis dan sekaligus menghambat masyarakat
setempat untuk masuk menjadi Kristen. Tetapi karena di antara penguasa-penguasa setempat
yang beragama Islam itu juga tidak ada kesatuan, di mana mereka juga saling berebut kuasa,
maka jemaat Kristen bisa bertahan terus. Penguasa Islam itu ada juga yang mencari
perlindungan dan bersahabat dengan orang-orang Portugis. Tahun 1557 Sultan Hairun
memaksa banyak orang Kristen Halmahera masuk Islam, membunuh banyak missionaris dan
merusak gereja. Akibat dari tindakan ini, orang-orang Portugis berusaha menangkap Sultan
Hairun yang akhirnya dibunuh tahun 1570. Karena akibat terbunuhnya Sultan Hairun
tersebut, masyarakat Islam yang ada di sana menjadi marah. Dengan dipimpin oleh anak
sultan yang terbunuh, perkampungan-perkampungan Kristen dibakar dan benteng orang-
orang Portugis diserang. Orang-orang Kristen di sana semakin berkurang karena murtad, dan
kekuasaaan Portugis semakin surut dan akhirnya runtuh. Hanya di Bacan dan Tidore ada
sejumlah kecil yang bisa bertahan selama beberapa puluh tahun lagi. Dan sejak tahun 1580,
orang-orang Spanyol yang menjadi Sekutu Portugis dan sebelumnya telah berkuasa di
Filipina berhasil mengalahkan Ternate tahun 1606. Berkat kemenangan ini maka missi
Kristen bisa kembali dijalankan di Halmahera (1606-1613), dalam jumlah yang kecil. Namun
missionaris Roma Katolik itu tahun 1613 terpaksa meninggalkan Halmahera karena diusir
oleh orang-orang Belanda yang telah berhasil menguasai daerah itu sejak tahun 1613.
Sedangkan orang-orang Belanda membiarkan orang-orang Kristen yang kecil itu begitu saja,
yang membuat kekristenan di sana sempat terlantar dan hilang lagi. Penginjilan ke Halmahera
baru dilanjutkan kembali pada abad 19.

4.4. Penyebaran Kekristenan di Sulawesi Utara dan Talaud

Pada zaman Portugis, usaha penyebaran kekristenan ke Sulawesi Utara, Sangir dan
Talaud juga telah diusahakan sejak tahun 1560an. Tetapi alasan penerimaan agama Kristen
itu adalah sama dengan alasan penerimaannya di daerah Maluku, yakni terutama dalam
rangka meminta perlindungan kepada orang-orang Portugis, dalam menghadapi tekanan dan
serbuan tentara-tentara Sultan Hairun dari Ternate yang juga berusaha untuk memperluas
daerah kekuasaannya sampai ke sana. Karena adanya serangan dari pasukan-pasukan Sultan
Hairun itu, maka raja setempat meminta bantuan dari tentara orang-orang Portugis di Maluku
untuk melindungi mereka. Dan sebagai imbalan dari bantuan perlindungan yang diberikan
itu, maka masyarakat tersebut bersedia untuk dibaptis menjadi Kristen. Penginjil pertama
yang diutus oleh orang Portugis dari Maluku ke Sulawesi Utara ialah Diego Magelhaes, tahun
1568. Dia disambut oleh penduduk daerah Manado dengan gembira. Setelah mengajar
mereka hanya selama lebih kurang dua minggu lamanya, maka dia membaptis raja setempat
bersama dengan sejumlah 1500 orang rakyatnya. Ternyata orang-orang yang sudah dibaptis
itu tetap mengikuti kepercayaan dan cara kehidupan serta kebiasaan mereka yang lama yang
diturunkan oleh nenek moyang mereka. Dan karena pembinaan yang tidak ada, kekristenan
tersebut lama kelamaan menjadi hilang lenyap.

4.5. Penyebaran Kekristenan di Nusa Tenggara Timur

Pada abad ke 16, kekristenan juga telah masuk ke daerah Nusa Tenggara Timur,
terutama di daerah Solor, Flores dan Timor. Pekabar-pekabar Injil Katolik yang bekerja di
sana adalah dari Ordo Dominikan. Orang-orang Portugis juga melakukan usaha perdagangan
ke sana terutama perdagangan kayu cendana yang sangat berharga itu. Pada tahun 1556, telah
dibaptis sejumlah 5000 orang Timor oleh Pater Taveira dari Ordo Dominikan. Pembaptisan
juga dengan cepat sampai di daerah Solor dan Flores, sehingga menjelang akhir abad 16,
sudah ada sekitar 25000 orang yang dibaptis menjadi Kristen di sana. Namun gereja untuk
orang-orang Portugis dan pribumi masih dibedakan sebagaimana juga halnya yang terjadi di
daerah Maluku. Tetapi usaha penginjilan itu tidak begitu berkembang karena kurangnya
tenaga untuk membina orang-orang Kristen itu. Dan misi Roma Katolik itu juga makin
terpukul, setelah datangnya serangan dari Belanda ke sana mulai tahun 1613. Tetapi
kendatipun demikian, beberapa penginjil Roma Katolik masih bisa tetap bertahan di Solor
dan Ende. Karena itu orang-orang Katolik bisa bertahan terus di sana.

4.6. Penyebaran Kekristenan di Pulau Jawa

Sejumlah missionaris Roma Katolik dari Ordo Fransiskan pernah diutus ke daerah
Blambangan dan Panurukan dari tahun 1569-1599. Pada waktu itu penduduk daerah tersebut
masih menganut agama Hindu, sehingga sejumlah penduduk di sana berhasil dibaptiskan
termasuk beberapa anggota keluarga raja. Tetapi menjelang tahun 1600 usaha pekabaran Injil
itu terpaksa berakhir, karena kedua kerajaan itu berhasil diruntuhkan dan dikuasai oleh
kerajaan Islam. Orang-orang Kristen di sana juga pada akhirnya menjadi hilang.

4.7. Kesimpulan tentang Misi Gereja Katolik di Indonesia

Injil berkembang lebih cepat karena menjadi misi pemerintah Portugis dan Spanyol
sesuai perintah Kepausan sehingga tersedia dana. Masyarakat didukung oleh pemerintah
untuk menerima Injil sehingga pendirian bangunan gereja lebih mudah mendapat ijin.
Kekurangannya adalah jemaat memiliki motivasi yang salah, menjadi Kristen bukan karena
pertobatan tetapi karena ingin mendapat jaminan keamanan Negara (Portugis).
BAB V

1605-1800 : ZAMAN ZENDING VOC

6.4. Pemerintah VOC dan Gereja Kristen

Orang-orang Belanda mulai masuk di Indonesia tahun 1596 yang mula-mula dipimpin
oleh Kornelis de Houtman. Tujuan mereka datang ke Indonesia sama dengan tujuan orang-
orang Portugis, yakni melakukan usaha perdagangan dan ingin memperoleh hak tunggal
(monopoli) dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku. Untuk memajukan usaha
perdagangan itu pemerintah Belanda membentuk suatu maskapai besar tahun 1602 yang
disebut: “Verenigde Oostindische Compagnie” (VOC). Seluruh usaha perdagangan Belanda
ke Asia dimonopoli oleh badan ini. Daerah Maluku yang semula dikuasai oleh orang-orang
Portugis dapat dengan mudah ditakhlukkan oleh VOC. Sama seperti yang dilakukan oleh
orang-orang Portugis, di daerah-daerah yang dikuasai oleh VOC itu, petugas-petugas gereja
juga segera ditempatkan. Tetapi tujuan utama dari penempatan petugas-petugas gereja ini
ialah untuk kepentingan pelayanan rohani orang-orang Belanda yang bekerja di sana.
Sedangkan usaha pekabaran Injil kepada penduduk setempat sangat kurang dilakukan.
Pekabaran Injil baru dilakukan oleh pendeta-pendeta VOC apabila pekerjaan itu dirasa
mendukung kepada usaha mempercepat penguasaan penduduk setempat. Selaku orang-orang
yang beragama Protestan, orang-orang Belanda yang telah berkuasa, menakhlukkan orang-
orang Kristen yang baru itu menjadi Protestan. Namun petugas-petugas gereja Katolik itu
tidak diganti oleh VOC dengan tenaga-tenaga Protestan, sebab VOC belum mempunyai
tenaga untuk memelihara orang-orang Kristen yang sudah ada ataupun mengabarkan Injil
kepada orang-orang yang bukan Kristen. Karena itu tidak ada lagi pelayanan ibadah dan
pembinaan rohani bagi orang-orang Kristen peninggalan orang-orang Portugis itu.

Akan tetapi di kemudian hari tugas dari pendeta VOC itu juga meluas sampai kepada
penduduk yang dijajah yang belum Kristen. Pemerintah Belanda juga “diwajibkan untuk
memberantas dan melawan segala penyembahan-penyemabahan berhala dan agama kafir”,
atau dengan kata lain mengkristenkan bangsa-bangsa yang ditahklukkan. Akan tetapi tugas
ini hanya sedikit dilakukan. Dan apabila ini dilakukan selalu dikaitkan dengan pertimbangan
ekonomis dan politis, yakni usaha pengkristenan itu diperhitungkan bisa membantu usaha
untuk memperlancar keuntungan ekonomis atau perdagangan mereka dan memperlancar
proses penguasaan atas masyarakat setempat. Dalam hal ini pemerintah Belanda memang
menghendaki rakyatnya agar menjadi orang-orang Kristen. Karena dengan dikristenkannya
rakyatnya itu, mereka dianggap telah berada di bawah kekuasaan Belanda. Tetapi demi
menjaga ketertiban dan keamanan usaha perdagangan dan pemerintahannya, kewajiban untuk
mengkristenkan itu tidak banyak dilakukan. Dan bahkan hak-hak pendeta selalu dibatasi, dan
selalu disesuaikan dengan kebijaksanaan politik dari pemerintah. Segala kegiatan yang
dipikirkan oleh pendeta harus mendapat persetujuan lebih dulu dari pemerintah Belanda.
Termasuk surat-surat yang dikirimkan kepada gereja-gereja di negeri Belanda, harus terlebih
dahulu melalui penilaian gubernur jenderal Belanda di Indonesia. Dengan demikian maka
perkembangan gereja di Indonesia menjadi sulit diketahui oleh Gereja Induk di negeri
Belanda. Dengan kata lain bahwa pada zaman VOC, gereja adalah benar-benar di bawah
kekuasaan dan pengawasan pemerintah Belanda.

Pendeta-pendeta yang berbakat dan bersemangat yang melayani di Nusantara pada


zaman VOC antara lain:

a. Sebastian Danckaerts (1618-1622 di Ambon, 1624-1634 di Jakarta). Ia pandai


berkhotbah dalam bahasa Melayu. Ia juga sangat memperhatikan persekolahan. Atas
usulnya, pemerinta (VOC) tiap-tiap hari member beras kepada anak-anak sekolah,
sehingga banyak anak tertarik. Ia membuka sekolah guru untuk melatih penolong
yang cocok bagi pekerjaan di sekolah maupun di jemaat.
b. Adriaan Hulsebos : 1616-1622. Ia membentuk majelis gereja-gereja yang pertama di
kota Jakarta. Ia diutus ke Maluku oleh Gubernur Jenderal Coen untuk mengatur
pelayanan Gereja di sana. Di Banda, Hulsebos mengatur jemaat dan sekolah dengan
rapih, tetapi ia meninggal ketika kapalnya tenggelam waktu memasuki Teluk
Ambon. Bagian ini menegaskan bagaimana konteks geografis Indonesia, yaitu
nusantara adalah wilayah kepulauan. Ada berbagai resiko yang dialami oleh para
pelayan Tuhan ketika mengadakan pelayanan dari satu pulau ke pulau lain, seperti
yang dialami oleh pendeta Adrian Hulsebos.
c. Heurnius (1624-1632 di Jakarta, 1632-1638 di Saparua). Ia merupakan pendeta
zaman VOC yang berusaha melayani orang-orang Tionghoa yang pada waktu itu
sudah besar jumlahnya di Jakarta. Ia menyusun kamus Tionghoa-Latin-Belanda dan
terjemahan Pengakuan Iman Rasuli ke dalam bahasa Tionghoa. Ia mengusulkan
pendirian sekolah Teologi bagi orang-orang Indonesia di Indonesia. Namun gereja
di Nederland tidak meluluskan permintaan itu, karena takut ajaran gereja tidak dapat
dipertahankan secara murni di sekolah yang demikian.
d. Melchior Leijdecker (melayani di Batavia tahun 1678 – 1701). Ia menerjemahkan
Alkitab dalam bahasa Melayu, namun tidak sempat menyelesaikannya karena
sampai pada Efesus 6:6, Ia meninggal. Orang-orang lain melanjutkan dan
merevisinya karyanya. Bahasa yang dipakai tinggi sekali, perlu ada lampiran untuk
daftar kata-kata yang tidak dipahami oleh orang banyak.

Gereja-gereja Calvinis memiliki atribut atau perangkat atau pola sebagai berikut:

a. Struktur presbiterial sinodal: bentuk pemerintahan gereja di mana kekuasaan


tertinggi berada dalam tangan para penatua. Di dalam gereja yang memakai bentuk
pemerintahan ini terdapat badan-badan yang bersifat hirarkis yaitu jemaat-jemaat
setempat yang terdiri atas pendeta-pendeta, penatua-penatua; klasis yang terdiri atas
pendeta-pendeta dan penatua-penatua yang mewakili jemaat-jemaat dalam wilayah
klasis, dan sinode atau siding raya yang merupakan badan tertinggi yang mempunyai
hak legislatif. Sinode terdiri dari pendeta-pendeta dan penatua-penatua yang diutus
klasis.
b. Dalam ibadah, penekanan pada pemberitaan firman Allah.
c. Pelaksanaan disiplin gereja secara ketat.
d. Ibadah dan tata ibadah sangat diperhatikan karena berkait erat, bahkan merupakan
satu kesatuan.
e. Perhatian pada jabatan-jabatan dalam gereja: pendeta, pengajar, penatua, syamas,
diaken dll.
f. Perhatian pada khotbah, nyanyian, baptisan dan Perjamuan Kudus.

6.4. Penyebaran Kekristenan di Beberapa Daerah

Pendeta pertama yang ditempatkan Belanda di Indonesia terjadi tahun 1612, yakni Ds
Wiltenz. Dia ditempatkan di daerah Ambon. Tahun 1615 dibentuklah majelis gereja Kristen
Protestan yang pertama di Ambon. Majelis gereja inilah yang menyelenggarakan
pemeliharaan rohani atas orang-orang Kristen yang ada di daerah Ambon dan sekitarnya.
Tetapi usaha untuk mengabarkan Injil kepada penduduk pribumi setempat tidak dilakukan.
Orang-orang pribumi itu masih tetap sebagai kafir. Jadi pendeta dan majelis gereja yang ada
di Ambon itu hanya memelihara yang sudah ditanam. Tidak ada usaha mereka menanam Injil
itu bagi mereka yang belum Kristen.

Selain di Ambon tahun 1621 berdirilah sebuah jemaat di daerah Banda. Dan jemaat
inipun diperuntukkan untuk orang-orang Belanda yang bekerja di sana. Barulah di daerah
Aru ada sekitar 100 orang yang dibaptis dari penduduk setempat. Itupun tidak bertumbuh
dengan baik karena pemeliharaan yang kurang. Pada pertengahan abad 17, orang-orang
Spanyol yang sempat menguasai daerah Maluku Utara dan beberapa daerah Sulawesi Utara
sampai Sangir dan Talaud ditakhlukkan oleh orang-orang Belanda. Orang-orang Kristen yang
dulu sempat diasuh oleh orang-orang Spanyol itu, diambil alih oleh orang-orang Belanda.
Pendeta Belanda yang bertugas di Ternate sekitar tahun 1680-1689 berusaha menghubungi
orang-orang Kristen di sana. Sekitar tahun 1700, diperkirakan ada sejumlah 2500 orang
Kristen di sana. Tetapi jumlah ini semakin merosot karena kurangnya pemeliharaan terhadap
mereka. Bahkan kekristenan yang ada di Halmahera menjadi lenyap, karena orang-orang
Kristen di sana tidak pernah dikunjungi oleh pendeta VOC itu. Orang-orang Kristen yang ada
di pulau Timor mulai mendapat pemeliharaan dari pendeta VOC tahun 1670, karena raja
setempat meminta perlindungan Belanda dan meminta dirinya untuk dibaptis menjadi
Kristen.

Pada abad 17, pendeta VOC di Jakarta ditugaskan juga untuk mengunjungi tempat-
tempat yang sudah didiami oleh orang-orang Belanda yang ada di daerah Jawa dan Sumatera
Barat. Di Jakerta itu sendiri telah berdiri sebuah jemaat VOC tahun 1619, dan di Surabaya
berdiri sebuah jemaat tahun 1669. Di Padang Sumatera Barat dan di Semarang masing-
masing berdiri sebuah jemaat tahun 1750. Jadi menjelang akhir abad 18, yakni menjelang
akhir zaman VOC di Indonesia, jemaat-jemaat Kristen yang ada di Indonesia ada sebanyak
sepuluh jemaat yakni: 6 jemaat di Indonesia bagian Timur, yaitu di Ambon, Banda, Ternate,
Makassar, Manado dan Kupang; 3 jemaat di Jawa yakni di Jakarta, Surabaya dan Semarang,
dan satu jemaat di Sumatera yakni di Padang. Di daerah Jawa dan Sumatera, sama sekali
tidak dilakukan usaha penginjilan kepada orang-orang pribumi. Menurut catatan, jumlah
orang-orang Indonesia yang dibaptis selama zaman VOC itu sebanyak 43.000 orang, tetapi
dari antaranya hanya sebanyak 1205 orang yang diperbolehkan menerima sakramen
Perjamuan Kudus. Sedangkan yang ditinggalkan oleh Portugis sudah ada sebanyak 40.000
orang Katolik.
6.5. Kesimpulan tentang misi Zending VOC di Indonesia

Kebijakan VOC yang mengorbankan misi atas kepentingan perdagangan menyebabkan


penyebaran kekristenan berjalan dengan lambat. Kekurangan tenaga misionaris disertai
sekaligus ketidakrelaan para misionaris atas kebutuhan untuk melatih dan meningkatkan
tenaga rohaniawan pribumi. Terlalu banyak perhatian diberikan kepada orang-orang Kristen
Belanda sehingga penginjilan orang-orang Indonesia diabaikan. Banyak pendeta VOC tidak
pernah mempelajari bahasa daerah/bahasa setempat ataupun bahasa Melayu. Banyak
permusuhan dan penghambatan dari kerajaan-kerajaan Islam.
BAB VI

1800-1940 : ZAMAN ZENDING OLEH LEMBAGA-LEMBAGA PI DARI


EROPA

Penyerahan kekuasaan atas Indonesia, termasuk kekuasaan atas Gereja kepada


Pemerintah Hindia Belanda oleh VOC. Setelah bubarnya VOC akhir tahun 1799 dan diganti
dengan kekuasaan pemeriantah Kerajaan Belanda, maka kegiatan-kegiatan kekristenan dan
usaha-usaha Pekabaran Injil di Indonesia dilakukan oleh dua wadah, yakni Gereja Protestan
di Indonesia (GPI) dan lembaga-lembaga PI. GPI merupakan wadah yang mengorganisir
seluruh gereja yang ditinggalkan oleh VOC itu. Lembaga-lembaga PI melakukan kegiatan-
kegiatan zending atau pekabaran Injil di daerah-daerah yang mendapat izin dari pemerintah
Belanda dan juga “meminjamkan” tenaga kepada GPI.

6.1. Gereja Protestan di Indonesia (Indische Kerk)

Berbeda dengan pemerintahan VOC yang hanya mengakui satu gereja yakni Gereja
Protestan, pemerintah kerajaan Belanda yang baru dipengaruhi oleh semangat “pencerahan”
di Eropa, menjadi bersifat netral. Di kerajaan itu kebebasan agama mulai diberlakukan.
Karena itu tidak ada lagi gereja negara, dan negara tidak akan memihak lagi kepada agama
Kristen. Tetapi ada dua kenyataan yang dihadapi di Indonesia oleh pemerintah kolonial
Belanda yang menghambat pelaksanaan dari azas itu secara penuh, yakni: (1) Adanya
sejumlah jemaat di Indonesia bekas asuhan dari VOC. Pemerintah Belanda sebagai pewaris
VOC, tidak bisa melepaskan jemaat-jemaat itu begitu saja. Ini mendorong pemerintah
kolonial Belanda untuk mendirikan Gereja Protestan di Indonesia yang dapat menampung
dan mengasuh seluruh jemaat bekas asuhan VOC itu; dan (2) Pemerintah kolonial Belanda
sadar bahwa orang-orang Islam di Indonesia rata-rata bersikap lebih memusuhi pemerintah
Belanda daripada orang-orang Kristen. Untuk mengatasi keadaan ini, maka pemerintah
kolonial Belanda mengambil kebijaksanaan bahwa sebaiknya daerah-daerah yang masih
beragama suku dikristenkan, sedangkan daerah Islam jangan. Dalam usaha untuk
mengkristenkan daerah-daerah yang masih menganut agama suku itulah maka lembaga-
lembaga Pekabaran Injil (PI) diizinkan masuk ke Indonesia. Pada zaman VOC, lembaga-
lembaga PI belum diizinkan masuk ke Indonesia.
Pada permulaan abad 19, atau pada permulaan pemerintahan kolonial Belanda di
Indonesia, keadaan jemaat-jemaat Kristen yang diwariskan oleh VOC itu tidak menentu.
Pendeta yang bertugas untuk melayani jemaat-jemaat itu hanya ditinggalkan beberapa orang
saja. Daerah-daerah di luar pusat tidak dikunjungi lagi. Karena itu jumlah anggota jemaat
semakin mundur. Karena kesulitan ekonomi pemerintah Belanda pada waktu itu yang
diakibatkan keadaan perang yang terjadi di negeri itu, maka gereja Belanda tidak sanggup
membantu berupa uang dan tenaga. Raja Belanda yang baru pada waktu itu yakni Willem I,
berusaha menggabungkan seluruh jemaat Protestan yang ada di Indonesia menjadi satu
badan, yakni Gereja Protestan di Indonesia. Dan gereja ini langsung ditempatkan di bawah
asuhan pemerintahan kolonial Belanda. Untuk mengatur penyelenggaraan gereja ini, maka
ditetapkanlah aturan-aturan dari gereja tersebut, antara lain:

a. GPI dipimpin oleh sebuah Dewan Pengurus yang diangkat oleh Gubernur Jenderal
yang berkedudukan di Batavia (Jakarta). Ketua Dewan Pengurus ini harus seorang
yang menjabat pangkat tinggi dalam pemerintahan atau negara. (baru pada abad 20
ketua dari dewan pengurus itu ditetapkan dari kalangan pendeta). Anggota dari
Dewan Pengurus ini ialah pendeta-pendeta jemaat Protestan yang ada di Batavia dan
tiga orang anggota jemaat yang terkemuka.
b. Jemaat setempat dipimpin oleh sebuah Majelis Jemaat yang dipilih oleh jemaat
setempat itu sendiri, tetapi pengangkatannya harus disetujui oleh pemerintah
setempat.
c. Tugas-tugas gereja antara lain ialah: memelihara kepentingan agama Kristen pada
umumnya dan kepentingan Gereja Protestan khususnya, menambah pengetahuan
keagamaan dan memajukan kesusilaan Kristen, menegakkan ketertiban serta
kerukunan dan menumpuk cintah kepada pemerintah dan tanah air.
d. Hubungan dengan gereja di negeri Belanda akan berlangsung melalui sekelompok
pendeta yang ada di sana, yang bertugas untuk menguji dan meneguhkan pendeta-
pendeta dan pekerja-pekerja gereja yang lain yang akan diutus ke daerah-daerah
jajahan.

6.2. Gerakan Pencerahan dan Pietisme

Pada masa ini ada dua gerakan perubahan negeri Belanda yang menyebabkan beberapa
perubahan di antara tenaga pekabar Injil serta metode-metode dari misinya. Gerakan
pencerahan yang berkembang di Eropa menyatakan bahwa manusia telah menjadi dewasa
dan harus berani berdikari, melepaskan diri dari belenggu tahkyul, dogma, dan segala bentuk
keagamaan yang tidak sesuai dengan rasio; karena ratio adalah hakim akhir dalam segala hal
penting. Cara berpikir seperti itu mempengaruhi: (1) Tuntutan kebebasan dalam beragama,
dan negera tidak berhak mengklaim bahwa hanya satu gereja yang sah; (2) Memisahkan
gereja dan pemerintah; secara praktisnya pemerintah yang berdemokrasi dan bukan gereja
yang dikira berpikiran picik yang mewakili rakyat sesungguhnya (sekuler di atas rohani); dan
(3) Mempengaruhi sikap orang-orang Eropa terhadap bangsa-bangsa lain. Gerakan Pietisme
yang merupakan aliran dalam kelompok Kristen yang menekankan kesalehan dalam setiap
lapangan kehidupan. Munculnya pietisme sebagai reaksi terhadap ortodoxi yang kaku/tidak
dinamis. Kelompok Kristen pietis mengutamakan: (1) Kehangatan iman secara pribadi; (2)
Kesalehan pribadi; dan (3) Kepastian/pengalaman pribadi akan keyakinan keselamatan
berdasarkan karya Tuhan Yesus Kristus. Dua lembaga yang sangat terkenal Pietis adalah
Universitas Halle yang menamatkan lebih dari 6000 pendeta (sarjana yang ditabiskan
menjadi pendeta). Lembaga yang kedua adalah Hernnhut, pusat dari kaum Morafiah yang
secara pengorbanan mengutus satu dari 60 anggotanya sebagai utusan Injil kepada 4 penjuru
bumi dari tahun 1730 sampai tahun 1800. Orang-orang Belanda yang dipengaruhi oleh
pengaruh pietisme berminat mengikuti teladan Hernnhut, Willem Carey serta beberapa badan
penginjilan di negara Inggris yang juga mempengaruhi orang Kristen Belanda yang menaruh
minat pada penginjilan dan membentuk badan misi seperti: NZG (1797), NZV dan RMG
(1828). Bahkan di Indonesia selain Java Comite (1855), lahirlah lembaga Alkitab (1814)
sebagai reaksi orang Kristen Indonesia yang tidak puas dengan GPI, selain itu lahirlah
lembaga-lembaga PI di Batavia (1815) dan Surabaya (1815).

6.3. Badan Zending yang Bercorak Calvinis

NZG (Nederlandsch Zendelinggenootschap) didirikan di Rotterdam pada tahun 1797


oleh sekelompok orang (anggota jemaat gereja Hervormd) yang didorong atau dipengaruhi
oleh pembentukan lembaga PI di Inggris, yaitu pendirian Baptist Missionary Society pada
tahun 1792, London Missionary Society tahun 1795 dan oleh orang-orang Herrnhut di
Nederland, yang mendirikan lembaga Pekabaran Injil pada tahun 1793. Dalam PI NZG para
utusan tidak terikat dengan ajaran pengakuan iman atau tata gereja dan tata kebaktian yang
khas Hervormd. Cukuplah kalau para anggota maupuin utusan NZG berpegang pada PL dan
PB sebagai dasar bagi pengetahuan akan kebenaran dan sebagai satu-satunya aturan untuk
iman dan jalan hidup, serta pada abad ke-12 pasal iman Kristen.
Para Misionaris yang diutus NZG ke Nusantara:

a. Joseph Kam: Diutus oleh NZG ke Indonesia dan tiba di Ambon tahun 1815. Dalam
pelayanannya di Ambon, ia membabtis 3000 anak-anak Ambon yang belum sempat
dibabtis, akibat tidak adanya pelayanan seorang pendeta selama 20 tahun. Kemudian
antar tahun 1815-1816, Kam berkhotbah, mengajar, mengawasi, guru-guru dan
melayankan sakramen-sakramen kepada anggota-anggota gereja disekitar Ambon
dan kepada 70 jemaat dipedalaman (satu gereja sekali setahun). Selain itu ia
beberapa kali mengadakan perjalan basar yaiutu ke Ternate, Minahasa, dan Sangir.
Ia juga melayani di pulau-pulau selatan sampai ke Timor. Pada tahun 1835
datanglah guru Belanda yang beraliran pietis bernama Roskott. Roskott terbeban
mendirikan sekolah pendidikan guru (SPG) guna meningkatkan taraf rohani dan
kemampuan golongan guru. Satu tamatan SPGnya adalah W. Hehanusa (1799-1873)
yang kemudian hari di utus ke Minahasa. Disana ia ditahbiskan menjadi pendeta
Indonesia pertama dalam gereja Protestan.
b. Johan Friedrich Riedel: Ia diutus secara khusus untuk memberitakan Injil kepda
orang-orang yang bernama suku di Minahasa. Dalam pelayanan Riedel lepas dari
kekuasaan GPI, aparat pemerintah Hindia Belanda. Metode pelayanannya di
Minahasa antara lain: tidak memakai tenaga orang-orang di Tondano, artinya ketika
ia menginjili di daerah Tondano, ia memakai bahasa setempat tanpa memakai
penterjemah sebagaiman yang dilakukan oleh para misionaris ditemapat lain; Riedel
tidak menjelekan adat dan agama suku setempat dengan kata-kata pedas
sebagaimana yang dilakukan oleh pendeta-pendeta Belanda sebelumnya; dan
bersikap ramah kepada semua orang, mengundang mereka datang kerumahnya,
memberi kopi kepada mereka dan mengadakan diskusi dan ajaran Kristen secara
wajar.
c. Jellesma: Jellesma pindah dari Surabaya ke Mojowarno pada tahun 1851. Di sana ia
mempercayakan orang Jawa untuk kegiatan jemaat dan penyiaran Injil. Jellesma
bersikap selektif dalam menggunakan budaya Jawa dalam rangka misi gereja di
Jawa. Sikap selektif ini dapat dipahami oleh karena beberapa tokoh seperto Emde
dan Coolen berbeda sikap terhadap budaya. Sikap Emde yaitu menolak budaya Jawa
dalam pemberitaan Injil, sebaliknya sikap dari Coolen adalah bersikap memihak atau
pro kepada budaya Jawa dalam menyampaikan berita Injil. Dalam pelayanan
Jellesma, berhasil membabtis 2000 orang, memulai sekolah, menerbitkan buku-buku
rohani dari cerita Alkitab dan mengumpulkan satu bundel nyanyian rohani hasil dari
pekerjaan misi Jellesma adalah gereja Kristen Jawa Wetan.
d. Selain itu ada juga yang tidak berasal dari badan Zending, antara lain Emde dan
Coolen. Coenrad Coolen mendidik dalam kebudayaan Jawa sehingga menguasai
wayang musik dan tari-tarian Jawa. Kemudian Coolen membuka hutan pemukiman
sekitar 60 Km dari Surabaya, namanya Ngoro. Ngoro kemudian menjadi suatu desa
yang makmur dan Coolen dikenal sebagai seorang pemimpin dan guru Kristen.
Selain itu pada hari minggu, Coolen mengadakan kebaktian di pendopo rumahnya
sendiri dengan membaca satu pasal dari Alkitab menyanyikan nyanyian rohani dan
berdoa dengan gaya tembang: mengahabiskan waktu dengan bermain gemelan;
mengadakan wayang dan mengucapkan rumus-rumus Kristen seperti doa Bapa
Kami.
e. Geissler dan Ottow dari UZV: Mereka mengadakan hubungan akrab dengan orang-
orang Numfor (Papua). Lalu mengadakan kebaktian sendiri, akhirnya dalam bahasa
Numfor. Pada tahun-tahun berikutnya berdatangan banyak misionaris dari Zending
UZV dengan menerobos ke pedalam di berbagai tempat. Para zendeling itu
menghadapi banyak kesukaran/kesulitan: iklim yang buruk, penyakit malaria, dan
juga keganasan beberapa suku. Semua faktor ini menyebabkan banyak korban dari
para misionaris. Akan tetapi pada tahun 1940 telah di babtis 80.000 orang Irian,
kebanyakan menerima Kristus secara massal.

6.4. Badan Zending yang Bercorak Lutheran

Rheinische Mission (RMG, 1828) sejak tahun 1834 mengutus missionaris melayani di
Indonesia dengan wilayah kerjanya di Indonesia, yaitu Sumatera Utara (Batak), hasilnya
HKBP, seorang missionaries yang terkenal dari misi RMG untuk Sumatera Utara, yaitu
Nomensen. Selain itu misi RMG diusahakan di Kalimantan, yaitu GKE dan di Nias, hasilnya,
yaitu BNKP dan gereja-gereja disamping BNKP.

6.5. Badan Zending Gereja non Calvinis dan Lutheran


a. Gereja Baptis: CAMA adalah Gerakan Alliance (persekutuan) yang lahir di Amerika
Serikat pada tahun 1880-an. Gerakan ini merupkan hasil dari salah satu kebangunan
rohani yang terjadi di Amerika Timur Laut. Pendiri dari CAMA adalah A. B.
Simpson, mantan pendeta gereja Presbiterian di New York, yang keluar dari jabatan
pendeta gereja tersebut, karena ingin mengabdi untuk pelayanan kepada kaum
miskin dan kepada orang berdosa, selain itu karena ia tidak bisa lagi menerima
kebisaaan gereja Presbiterian membabtis anak-anak. Salah satu missionary dari
CAMA yang terkenal di Indonesia adalah R. A. Jaffray. Pada tahun 1930 Jaffray
meninggalkan Tiongkok dan memulai pelayanan PI di Makasar dan menjadikan kota
Makasar sebagai pusat misi Jaffray di Indonesia, dan juga menjangkau orang-orang
didaerah lain seperti Bali, Lombok, Sumbawa, Kalimantan Timur, Kalimantan
Barat, Sumatera Selatan,dan pedalaman Iran (Papua). Di Makasar , didirikan gedung
bernama “Kemah Injil”, dengan gaya arsitektur pribumi. Selain itu Jaffray
mendirikan sekolah Alkitab di Makasar, yang sejak tahun 1958 dengan nama
“Jaffray Bible College” beberapa tahun kemudian berubah nama menjadi STT
Jaffray (1966), dan mendirikan badan penerbit “Kantor Kalam Hidup atau sekarang
Toko Buku Kalam Hidup”. Medan pelayanan CAMA di Kalimantan Timur dilayani
oleh seorang misionari yang bernama George E. Fisk, yang melayani sekaligus
perintis di Kalimantan Timur pada tahun 1929, dengan suku Dayak Kayan dan
Dayak Kenyah di Kalimantan Timur bagian Utara.
b. Gereja Metodis: Board of Missions and Church Extension of the Methodist Church
(Dewan Pekabaran Injil dan Perluasan Gereja-Gereja Metodis) dibentuk pada tahun
1818. Badan misi ini pada tahun 1855 mengutus misionaris untuk melayani di
semenanjung Melayu dan Singapura, kemudian ke Jawa, Sumatera tahun 1905 dan
Kalimantan tahun 1905. Di kemudian hari oleh karena keterbatasan dana maka misi
metodis hanya tebatas di pulau Sumatera, yaitu dibagian timur Sumatera Utara,
Medan kemudian ke daerah Palembang.
c. Gereja Pentakosta: Gereja Pentakosta pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1922
melalui dua orang Amerika keturunan asal Belanda, bernama C.E. Groesbeek dan
D.R. Van Klaveren. Mereka berdua diutus oleh “Bethel Temple” di Seattle, di Pantai
Barat Amerika Serikat. Mereka sebelum ke Jawa telah bekerja di Bali antara tahun
1921-1922 tetapi diusir oleh pemerintah Belanda, namun sebelum mereka diusir,
mereka telah bekerja dengan begitu baik sehingga menarik hati beberapa tokoh yang
kemudian meneruskan semangat gereja Pantekosta ke berbagai wilayah di Indonesia,
yaitu keseluruh Jawa Timur,Sumatera Utara, Minahasa, Maluku, dan Irian. Salah
satu pusat gerakan pentakosta di Indonesia adalah Cepu, kemudian Surabaya.
Kemudian gerakan ini meluas ke Temanggung, Jawa Tengah, Cepu, Surabaya, dan
Bandung, ke Sumatera. Di Indonesia Gereja Pantekosta mempunyai banyak ragam
oraganisasi Gereja Pantekosta yang terbesar adalah Gereja Pantekosta Di Indonesia
(GPDI). Dengan berbgai ragam organisasi Gereja Pantekosta ini, maka pada tahun
1970 diusahakan satu-kesatuan Gereja Pantekosta yang disebut “Dewan Panetkosta
Indonesia” (DPI), dan tahun 1998 berubah menjadi Persekutuan Gereja-Gereja
Pantekosta Indonesia (PGPI). Selain wadah ini, adapula yang masuk kedalam
keanggotaan DGI-PGI (Dewan Gereja Indonesia/Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia). Denominisasi gereja pentakosta yang menjadi anggota PGI adalah: GIA,
GBIS, GPPS, GGP,GBI, GTDI. Selain itu ada juga yang bergantung dalam PII
(Persekutuan Injil Indonesia).
d. Gereja Adventis: Gereja Adven masuk ke Indonesia pada tahun 1900 oleh seorang
pendeta Methodist Amerika bernama R.W. Munson. Ia masuk gereja karena
disembuhkan dari penyakitnya pada waktu dirawat di rumah sakit Adventis di
Amerika Serikat. Dan atas permintaanya maka ia menjadi utusan Adventis di Asia
Tenggara pada tahun 1900 ia menetap di Padang. Dari sana Adventis dibawah ke
Sumatera Utara (Tanah Batak) oleh Immanuel Siregar. Munson sendiri pindah ke
Sumatera Utara pada tahun 1904 dan membuka pelayanan di kota Medan.
Kepindahan Munson ini disebabkan karena ia mengalami perlawanan yang sangat
serius di Padang dari pihak-pihak non Kristen. Sementara Gereja Adventis di Jawa
(Surabaya) diusahakan oleh Sister Petra Tunheim tahun 1906 misi dari Australia.
Gereja Adventis juga meletus ke Jakarta, Jawa Barat, Minahasa, Maluku, Tapanuli,
Lampung,dan Kalimantan
e. Gereja Bala Keselamtan: Gereja ini masuk ke Indonesia melalui cabangnya di
Belanda pada tahun 1894, dua perwira Gereja Bala Keselamatan diutus ke Jawa dan
mereka menetap di Puworejo kemudian pindah ke Semarang dan disana dibuka
pusat latihan untuk mendidik perwira-perwira bangsa Indonesia, kemudian tahun
1950 di Jakarta.

6.5. Gereja Lokal di Indonesia


Pada tahun 1950 gereja-gereja Protestan aliran Calvinis yang merupakan hasil misi
zaman VOC dan Belanda memisahkan diri dari Negara (pemerintah Belanda) dalam bidang
keuangan. Sejak saat itu gereja berusaha mandiri walaupun harus menghadapi berbagai
kendala. Gereja yang memisahkan diri dengan pemerintahan Belanda, pada akhirnya
dimekarkan menjadi beberapa gereja suku, yaitu: Gereja Masehi Minahasa (GMIM, tahun
1934), Gereja Protesten Maluku (GPM, tahun 1935), Gereja Masehi Injili Timor (GMIT,
tahun 1947), dan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB, tahun 1949).
Di daerah Maluku, ada dua gereja yang tergolong besar, yakni: Gereja Protestan
Maluku (GPM), yang kadang-kadang juga disebut Gereja Ambon, dan satu lagi Gereja
Masehi Injili Halmahera (GMIH). Pekabaran Injil di Maluku dan Papua dilakukan oleh Ordo
Yesuit, NZG, UZV, Mennonit, RMG, dan VOC. Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam
penyebaran kekristenan di Maluku adalah Fransiscus Xaverius dan Josef Kam. Sedangkan
gereja Injili di Papua dipelopori oleh C.W. Ottow dan J.G. Geissler dari Jerman yang diutus
oleh badan zending Belanda.
Ada delapan yang tergolong gereja Protestan ayang tumbuh di daerah Sulawesi, yakni:
Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Masehi Injili Sangir dan Talaud (GMIST),
Gereja Masehi Injili Bolang Mongondow (GMIBM), Gereja Kristen Sulawesi Tengah
(GKST), Gereja Kristen Toraja Makale Rantepao, Gereja Toraja Mamasa, Gereja Protestan
Sulawesi Tenggara (Gepsultara), dan Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS). Tokoh-tokoh
yang berpengaruh dalam penyebaran Injil di Sulawesi antara lain Josef Kam, Ds.
Hellendoorn, Ds. Buddingh, Dr. A.C. Kruyt, N. Adriani, van de Loosdrecht, dan beberapa
tokoh lainnya.
Di Nusa Tenggara dan Bali, ada beberapa gereja yang berkembang pesat, antara lain:
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Gereja Kristen Sumba (GKS), dan Gereja Kristen
Protestan Bali (GKPB). Dengan tokoh-tokohnya yaitu Ds. M. van den Broek, Ds. De Bruyn,
Dr. Jaffray, dan Made Rungu. Di Kalimantan terdapat Gereja Kalimantan Evangelis (GKE)
dan Gereja Methodist. Penginjilan dilakukan oleh RMG yang dilanjutkan oleh Bassler
Mission, CAMA, dan GPIB.
Di Jawa, berkembang pula Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Gereja Kristen Jawa
(GKJ), Gereja Methodist, Gereja Baptis, Gereja Pentakosta, Gereja Kristen Pasundan, dan
yang lainnya. Tokoh yang berpengaruh dalam penyebaran Injil adalah Coolen di Ngoro,
Emde di Wiung, Paulus Tosari (Kassan) di Mojowarno, Jellesma, Keukhenius di Tegal,
Tunggul Wulung (Kyai Ibrahim) di Juwono (dekat Gunung Muria), Kyai Sadrakh yang
sering disebut “rasul Jawa”, Paulus Khow Tek San, Oostrom-Philips. Badan Zending yang
bekerja di daerah ini adalah NGZV, NZG, DZV.
BAB VII
1940-SEKARANG: PERKEMBANGAN GEREJA DI INDONESIA

7.1. Gereja Katolik

Seperti sudah diuraikan dalam bagian terdahulu, sejarah Gereja Roma Katolik (RK) di
Indonesia telah dimulai pada zaman Portugis (abad 16). Pada waktu itu gereja-gereja RK
telah berdiri di beberapa daerah di Indonesia, seperti di daerah Maluku, Sulawesi Utara,
Sangir dan Talaud, NTT, dll. Tetapi pada zaman VOC, gereja-gereja Roma Katolik itu
sempat menjadi hilang, kecuali di sebagian daerah NTT, karena pemerintah VOC, sesuai
dengan keadaan di negeri Belanda, tidak mengizinkan keberadaan Gereja RK di daerah-
daerah yang dikuasai. Sebagian warga gereja RK peninggalan Portugis itu dipaksa menjadi
pengikut Gereja Protestan, dan sebagian lagi menjadi hilang begitu saja, karena tidak ada
pemeliharaan kepada mereka. Dan selama kekuasaan VOC itu, pekerjaan dan misi gereja RK
di Indonesia dilarang. Usaha gereja RK untuk memasuki kembali Indonesia, terjadi setelah
pemerintah Bealnda mengumumkan kebebasan beragama di negeri itu dan juga di negeri
yang dikuasai tahun 1808.

7.2. Gereja Calvinis (Presbiterian, Reformed)

Merupakan gereja bentukan pemerintah Belanda zaman colonial yaitu GPI. Dari Gereja
ini berasal beberapa Gereja yang beraliran Calvinis di Indonesia yaitu: GMIM di yang
berkembang di Minahasa, GPM yang berkembang di Ambon, GMIT yang berkembang di
wilayah NTT, GPIB yang berkembang di wilayah Indonesia bagian Barat, GPIBT, GPID,
GPIG, GKLB, GPI Irja (sekarang Papua). Di kemudian hari, yaitu pada pertengahan abad ke-
19 bertambah lagi organisasi gereja yang beraliran Calvinis, yaitu GKJ, GKI Jateng, GKS di
Sumba, GKI Sumut, Gereja Toraja, GGRI (Gereja-gereja Reformasi Indonesia) yang bekerja
di Sumba Timur, Irian Jaya (Papua), dan Kalimantan.

7.3. Gereja Lutheran

Gereja-gereja yang beraliran Lutheran di Indonesia seperti: HKBP, GKPS, GPKB,


GKPI, HKI, GKLI, GKPA, GKPM. Gereja-gereja ini adalah hasil pelayanan badan misi
Rheinische Missions-gesellschaft (RMG), sebuah lembaga PI dari kawasan Rheinland,
Jerman. Selain itu, lembaga ini bekerja di Nias dan sekitarnya, hasilnya: BNKP, ONKP,
AMIN.
7.4. Gereja Mennonit

Gereja ini dimulai di Swis tahun 1525. Gereja ini merupakan bagian dari gerakan
annabaptis yang muncul di Eropa tidak lama setelah Marthin Luther mengadakan Reformasi
Gereja. Nama Mennonit berasal dari nama Menno Simon, tokoh gerakan Anabaptis di
Belanda, yang menganut garis moderat (menolak gaya nubuat Melchior Hoffman, 1493-1543
yang menubuat sbb: Yerusalem baru yang rohani tak lama lagi akan terwujud di Strasburg)
dan anti kekerasan. Kehadiran gereja ini di Indonesia melalui dua organisasi gereja di
Semarang, yaitu GITJ yang berpusat di Pati, dan PGKMI yang berpusat di Semarang. Kedua
gereja ini telah menjadi anggota PGI.

7.5. Gereja Baptis

Ketika Indonesia sempat dijajah oleh Inggris tahun 1811-1816, usaha PI Baptis telah
mulai masuk ke Indonesia, yang diutus oleh “Baptist Missionary Society” dari Inggris, dan
juga melalui pusat PI Baptist yang didirikan oleh William Carey di India. Antara tahun 1813
dan 1857, sudah ada 20 orang utusan Baptis bekerja di Indonesia. Di antaranya yang terkenal
ialah Nathaniel Ward dan Richard Burton, yang telah berhasil menerobos sampai ke daerah
Silindung dan tepi Danau Toba, Tapanuli Utara, tahun 1824. merekalah penginjil yang
pertama masuk ke Tanah Batak, walaupun hasil penginjilan mereka belum ada. Dari tahun
1814-1818, Jaber Carey (anak dari William Carey), pernah bekerja di Ambon. Tetapi setelah
pemerintah Belanda kembali berkuasa di Indonesia, kebanyakan penginjil berkebangsaan
Inggris kembali ke India. Namun Nathaniel Ward yang pernah datang ke Tanah Batak,
bertahan terus di Padang sampai kematiannya tahun 1850. Dan di Semarang, Gottlab
Brueckner menerjemahkan kitab PB ke dalam bahasa Jawa, yang kemudian disita oleh
pemerinatah dan dilarang peredarannya. Sesudah kematiannya tahun 1857, PI Baptis di
Indonesia menjadi terhenti. Kemudian tahun1952, Konvensi Baptis Selatan (KBS) dari
Amerika Serikat diberi izin untuk masuk bekerja di Indonesia. KBS ini merupakan golongan
Baptis terbesar, tetapi ajarannya bersifat ortodoks, dan tidak masuk menjadi anggota Dewan
Gereja-gereja seDunia. Pusat PI KBS di Indonesia dijadikan di Jawa, dengan mendirikan
sebuah rumah sakit di Kediri tahun 1955, dan Seminary Theologia di Semarang tahun 1954.
Gereja-gereja Baptis yang ada di Indonesia yang berbenatuk kongregationalis, bergabung
dalam Gabungan Gereja Baptis Indonesia (GGBI) dengan pusat di Jakarta dan beranggota
kira-kira 60000 orang. Tetapi selain itu sudah ada lagi satu badan gereja Baptis yang besar di
Indonesia, yakni Gereaja Baptis Irian Jaya (GBIJ), yang lahir oleh hasil penginjilan “The
Australian Baptist Missionary Society” di pedalaman Irian mulai tahun 1938.

7.6. Gereja Pentakostal

Gere Gereja Pentakosta pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1922 melalui dua
orang Amerika keturunan asal Belanda, bernama C.E. Groesbeek dan D.R. Van Klaveren.
Mereka berdua diutus oleh “Bethel Temple” di Seattle, di Pantai Barat Amerika Serikat.
Mereka sebelum ke Jawa telah bekerja di Bali antara tahun 1921-1922 tetapi diusir oleh
pemerintah Belanda, namun sebelum mereka diusir, mereka telah bekerja dengan begitu baik
sehingga menarik hati beberapa tokoh yang kemudian meneruskan semangat gereja
Pantekosta ke berbagai wilayah di Indonesia, yaitu keseluruh Jawa Timur,Sumatera Utara,
Minahasa, Maluku, dan Irian. Salah satu pusat gerakan pentakosta di Indonesia adalah Cepu,
kemudian Surabaya. Kemudian gerakan ini meluas ke Temanggung, Jawa Tengah, Cepu,
Surabaya, dan Bandung, ke Sumatera. Di Indonesia Gereja Pantekosta mempunyai banyak
ragam oraganisasi Gereja Pantekosta yang terbesar adalah Gereja Pantekosta Di Indonesia
(GPDI). Dengan berbgai ragam organisasi Gereja Pantekosta ini, maka pada tahun 1970
diusahakan satu-kesatuan Gereja Pantekosta yang disebut “Dewan Panetkosta Indonesia”
(DPI), dan tahun 1998 berubah menjadi Persekutuan Gereja-Gereja Pantekosta Indonesia
(PGPI). Selain wadah ini, adapula yang masuk kedalam keanggotaan DGI-PGI (Dewan
Gereja Indonesia/Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia). Denominisasi gereja pentakosta
yang menjadi anggota PGI adalah: GIA, GBIS, GPPS, GGP,GBI, GTDI. Selain itu ada juga
yang bergantung dalam PII (Persekutuan Injil Indonesia). Sampai tahun 1931, gereja itu
masih satu kesatuan, tetapi sejak tahun 1931 gereja itu telah terbagi-bagi paling sedikit atas
25 gereja, belum termasuk gereja-gereaja yang hanya terdapat di satu tempat yang berjumlah
28 gereja lagi (ini perhitungan tahun 1980). Dan di Sumut, ada beberapa gereja pentakosta
yang membawa nama pribadi pendeta yang mendirikannya, misalnya: GPdI Sinaga (1941),
GPdI Siburian (1948), GPdI Sianturi (1966), GPdI Sianipar (1971), dll. Beberapa dari antara
gereja-gereja Pentakosta, telah ada yang masuk anggota DGI/PGI, yakni: Gereja Isa Almasih,
Gereja Bethel Injil Sepenuh, Gereja Pentakosta Pusat Surabaya dan Gereja Gerakan
Pentakosta. Jumlah anggaota seluruhnya yang tergolong kepada Gereja Pentakosta di
Indonesia berkisar antara 1,2-1,5 juta orang.
7.7. Gereja Advent

Gerakan Adevntis mulai masuk ke Indonesia tahun 1900 yang dibawakan oleh seorang
pendeta Adventis dari Amerika, bernama Dr. Ralph Waldo Munson. Mula-mula dia menetap
di Padang. Dari Padang dia berusaha menyebarkan ajaran itu ke Tapanuli melalui seorang
putera Batak bernama Immanuel Siregar, yang telah menerima ajaran Adventis itu melalui
Waldo Munson. Di tempat-tempat lain seperti di Minahasa (Sulut) usaha penyebaran ajaran
Adventis juga telah dimulai tahun 1920 dan di Ambon tahun 1921. Tetapi pada waktu itu
mereka belum bisa melakukan missinya itu dengan bebas kareana belum memperoleh izin
dari pemerintah Belanda. Tetapi setelah pemerintah Belanda mengizinkan Adventis
menjalankan missinya di Indonesia tahun 1930an, maka pertumbuhan gerakan Adventis di
Indonesia berjalan dengan cukup pesat. Pada tahun 1985, jumlah anggota Gereja Masehi
Advent Hari Ketujuh di Indonesia telah berjumlah sekitar 150000 orang dalam 1500 jemaat.
Tiap jemaat, selain dilayani oleh seorang pendeta. Pelayan-pelayan yang lain yang dikenal
dalam gereja itu terdiri dari: penatua-penatua, diaken-diaken, bendahara, pemimpin Sekolah
Alkitab dan pemimpin usaha PI. Pelayan-pelayan ini dipilih oleh jemaat. Seluruh jemaat
Adventis tergabung dalam Uni Indonesia, yang terdiri atas sejumlah distrik. Pusat Gereja
Masehi Adventis Hari Ketujuh Sedunia ialah di Washington, Amerika Serikat. Sekali empat
tahun diadakan Sidang Raya, yang dihadiri utusan-utusan jemaat untuk memilih Pengurus
Am Uni Indonesia.

7.8. Gereja Bala Keselamatan

Utusan Bala Keselamatan yang pertama ke Indonesia tahun 1894, yakni dua orang
perwira yaitu: J.G. Brouwer dan E.A. van Emerik dari Belanda. Mereka mula-mula tinggal di
Purworejo, Jateng, tetapi kemudian pindah ke Semarang. Di kota ini tahun 1903 dibuka
sebuah Pusat Latihan untuk mendidik perwira-perwira (setaraf pendeta) Indonesia. Selain itu,
di kota tersebut juga dibuka sebuah tempat penampungan tuna wisma “Bugangan” dan koloni
Salib Putih di Salatiga. Bala Keselamatan juga membuka beberapa Rumah Sakit Kusta dan
Rumah Sakit Umum. Selain di pulau Jawa, Bala Keselamatan juga membuka kegiatannya di
luar Jawa. Misalnya tahun 1913, telah dibuka sebuah koloni di lembah Palu, Sulawesi
Tengah, dan menjadikan tempat itu sebagai pangkalan usaha penginjilan di kalangan suku-
suku setempat. Pelopor pekerjaan Bala Keselamatan di Sulawesi itu ialah Letkol. Leonard
Woodward bersama istrinya. Metode yang dipakai ialah mendirikan sekolah, rumah-rumah
sakit dan mendidik anak daerah menjadi guru, sehingga pada akhirnya usaha itu diserahkan
kepada mereka. Tahun 1984, di Indonesia ada 60000 orang anggota, dan 3500 orang perwira.
Semua anggota itu terbagi atas 4 divisi dan 7 distrik. Tiaap-tiap “jemaat” disebut korps. Pada
hari Minggu ada dua macam kebaktian, yakni: pagi, “kebaktian kesucian”, yang menghantar
umat Allah kepada kesucian. Dan malam hari diadakan “kebaktian tebusan”, yang terutama
ditujukan kepada orang-orang yang belum bertobat agar mereka memperoleh tebusan.
Kebaktian adalah bersifat terbuka dan bebas.
BAB VIII

PENUTUP

Beberapa pergumulan dalam penyebaran kekristenan di Indonesia sampai sekarang,


sebagai akibat warisan sejarah kekristenan atau gereja itu dari masa yang lalu, antara lain di
Indonesia antara lain:

1. Banyak orang masuk menjadi Kristen pada mulanya, karena mengharapkan bantuan
perlindungan dari orang-orang Barat yang datang ke negeri mereka dalam menghadapi
musuh-musuh mereka. Ada juga yang tertarik menjadi Kristen karena melihat orang-
orang Barat bersama agama mereka mempunyai wibawa yang cukup tinggi, dibanding
dengan diri dan agama mereka. Kepribadian para pekabar Injil ada juga yang menjadi
daya tarik bagi orang-orang Indonesia untuk masuk menjadi Kristen. Pelayanan yang
dilakukan oleh para missionaris, seperti pelayanan kesehatan yang baik, pendidikan dan
usaha-usaha sosial dalam rangka membantu orang-orang miskin, dan meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat juga menjadi motivasi untuk masuk Kristen.
2. Pandangan bahwa kekristenan identik dengan penjajahan menjadikan masyarakat
banyak yang tidak mau memeluk Kristen.
3. Kurangnya persiapan dan pembinaan kembali kepada orang Kristen baru pada masa
Portugis dan VOC.
4. Ajaran yang diberikan mencerminkan pergumulan di Eropa yang tidak sesuai dengan
situasi di Indonesia.
5. Para pekabar Injil tidak banyak mengenal lingkungan hidup orang-orang hidup orang-
orang yang diinjili, yakni agama dan kebudayaan mereka. Pekabaran Injil yang
dilakukan oleh misionaris yang menghargai budaya lokal lebih mudah diterima oleh
penduduk.
6. Banyak misionaris yang rela berkorban untuk melakukan tugas penginjilan meskipun
daerah Indonesia saat itu dikenal dengan banyak konflik dan bencana alam.
7. Perlu dokumentasi sejarah agar tidak hilang seperti gereja Nestorian, sehingga dapat
dipelajari oleh generasi mendatang.
REFERENSI

Aritonang, Jan. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1995.

De Jonge, Christian. Gereja Mencari Jawab: Kapita Selekta Sejarah Gereja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. 1994.

Kruger, Th. Muller. Sedjarah Geredja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1966.

Locher, GPH. Tata Gereja-gereja Protestan di Indonesia: Suatu Sumbangan Pikiran


Mengenai Sejarah dan Asas-asasnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1997.

Ukur, Fridelin. Pengkajian Kembali Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1979.

Van den End, Th. Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia. BPk. 1988.

Anda mungkin juga menyukai