Disusun oleh :
Yohanes Ayom Prabawani (A120181006)
PENDAHULUAN
Kemunculan agama Kristen yang dimulai dari sebuah negara di timur tengah atau lebih
tepatnya di negara Palestina, melalui sejarahnya yang sangat panjang hingga kini agama ini
menyebar ke seluruh penjuru dunia melalui misi penginjilannya. Tidak mengherankan
sekarang agama Krsiten menjadi agama dengan pemeluk terbanyak di dunia terutama di
benua Eropa dan Amerika.
Sama halnya dengan agama Islam, agama Kristen juga menyebarkan ajarannya ke
Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat subur
sekali, komoditi utama yang menguntungkan dan bisa membuat kaya pada zaman dahulu
yaitu rempah-rempah membuat bangsa barat tertarik datang ke Indonesia. Gereja-gereja di
Indonesia lahir adalah dari hasil pekerjaan lembaga misi yang sangat beragam, dan dapat
dikatakan bahwa misi sedikit banyak ada berhubungan dengan sejarah kolonialisme di
Indonesia, misalnya: zaman Portugis dan zaman VOC (Belanda).
Sejarah Gereja Indonesia yang dipaparkan akan lebih banyak menyinggung tentang
Gereja-gereja Katolik dan Protestan arus Calvinis dan Lutheran. Selain itu, pembahasan juga
berkisar pada Gereja-gereja kelompok Pentakostal dan denominasi lainnya yang masuk ke
Indonesia pada abab ke-19 dan 20. Informasi tentang Sejarah Gereja Indonesia meliputi
Sejarah Gereja Nestorian di Indonesia, Misi Gereja Katolik di Indonesia, Tersebarnya Kristen
Protestan (aliran Calvinis) di Indonesia dan Gereja Protestan Indonesia yang bertumbuh ke
arah kemandirian. Selain itu dibahas juga Gereja-gereja Indonesia yang telah berusaha
mandiri sebelum tahun 1930 yaitu beberapa Gereja Sumatera dan Gereja-gereja Pantekosta
yang berkembang di beberapa daerah di Indonesia.
Dalam tulisan-tulisan sejarah gereja yang disusun pada masa lampau, tokoh-tokoh,
perbuatan serta pemikiran para pekabar Injil yang dijadikan pusat pusat perhatian. Berita-
berita tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di tengah gereja muda yang sedang
berkembang (gereja-gereja yang lahir dari PI oleh para misionaris Eropa) hampir semua
keluar dari para zending. Merekalah yang mengirim laporan-laporan ke pengurus lembaga
pekabaran Injil yang telah mengutus mereka, menulis buku-buku kenang-kenangan, dari
tangan mereka pula berasal, sebagian besar buku-buku ilmiah mengenai Sejarah Gereja
Indonesia. Di balik itu, orang-orang Kristen yang telah bertobat dan dilayani oleh mereka
hampir tidak mempunyai suara karena mereka tidak banyak berbicara, apalagi menulis. Jadi,
kalau kita menggunakan saja sumber-sumber yang tersedia, para misionarislah yang menjadi
tokoh utama dalam sejarah gereja Indonesia. Namun, sejarah gereja yang hanya
memperlihatkan para pekabar Injil (misionaris dari Eropa), maka ia hanya merupakan sejarah
pekabaran Injil atau dapat kita katakan sebagai sejarah misi. Sejarah gereja seharusnya
meliputi bidang-bidang lebih banyak dari pada hanya pekabaran injil. Ada ibadah, ada
organisasi gereja, ada ajaran gereja, ada kesalehan hati, ada kelakuan orang-orang Kristen
terhadap saudaranya dan terhadap dunia sekitarnya. Singkatnya, Sejarah Gereja tidak lain
bagaimana orang-orang Kristen anggota suatu gereja menghayati dan mengungkapkan iman
mereka.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi dua arti tentang “sejarah”, yaitu: (1) Sejarah
adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau (kejadian dan
peristiwa, fakta dan kenyataan dari masa lampau); dan (2) Sejarah adalah pengetahuan atau
uraian mengenai peristiwa-peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa yang
lampau. Jadi, berdasarkan definisi ini, belajar sejarah tidak lain berurusan dengan fakta masa
lampau (peristiwa-kejadian itu sendiri) dan usaha menguraikan fakta/peristiwa tersebut.
Kata “gereja” berasal dari kata dalam bahasa Portugis igreja, yang berasal dari kata
Yunani ekklesia yang berarti: mereka yang dipanggil. Mereka yang pertama dipanggil oleh
Yesus Kristus ialah para murid dan sesudah kenaikan Tuhan Yesus ke surga dan turunnya
Roh Kudus pada hari pentakosta, para murid itu menjadi rasul, artinya “mereka yang diutus”
untuk memberitakan Injil sehingga lahirlah Gereja.
Kata "Indonesia" berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu Indus yang berarti Hindia
dan kata dalam bahasa Yunani nesos yang berarti pulau. Jadi, kata Indonesia berarti wilayah
Hindia kepulauan, atau kepulauan yang berada di Samudera Hindia, yang menunjukkan
bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat. Sejak tahun
1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkungan akademik di luar Belanda, dan
golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik.
Jadi, Sejarah Gereja Indonesia dapat didefinisikan sebagai kisah tentang aktifitas
misionaris (misi) dan respon orang-orang di Nusantara terhadap panggilan Yesus Kristus
melalui pemberitaan Injil oleh para misionaris (Nestorian di Barus, Gereja Katolik dari
Eropa, Zending dari Belanda, dan Negara-negara lain), yang bermisi ke Nusantara pada abad
ke 7 – 21.
Belajar Sejarah Gereja Indonesia akan bermakna bagi kita untuk melihat dan
mengimani karya Allah Tritunggal pada masa lampau di Nusantara dalam diri orang-orang
pilihan-Nya (misionaris dan penerima Injil). Dengan kata lain belajar mengenal Allah melalui
sejarah umat-Nya serta melihat respon orang-orang pilihan-Nya pada masa lampau di
Nusantara. Dengan demikian kita akan dapat menghargai para utusan Injil (dari berbagai
denominasi) yang mula-mula walaupun mereka melakukan kekeliruan di beberapa tempat di
Indonesia, namun rela meneladani perkara-perkara yang baik dari kehidupan dan pelayanan
mereka pada masa lampau serta dapat menerima berbagai denominasi gereja dengan berbagai
kekurangan yang mungkin ada pada denominasi tersebut.
Periodisasi berarti usaha membagi-bagi masa sejarah gereja itu atas periode (batas-
batas waktu) tertentu. Cara pembagian periode itu ada bermacam-macam; ada yang
membaginya dari segi perkembangan atau perluasan gereja itu; ada yang membaginya dari
segi pertumbuhan organisasi atau kepemimpinan gereja itu sendiri. Dr. Th. Mueller Krueger
dalam bukunya: Sejarah Gereja di Indonesia, membuat periodisasi sejarah gereja-gereja di
Indonesia, bertolak dari segi: siapa yang datang menyebarkan Injil itu. Dengan demikian dia
membuat periodisasi Sejarah Gereja di Indonesia sebagai berikut:
Th. Van den End, dalam bukunya Ragi Carita 1, menggunakan periodisasi yang
berdasarkan beberapa segi sejarah gereja yang digabung, sehingga dengan demikian dia
membagi sejarah gereja di Indonesia atas dua zaman besar, yakni:
1. Tahun 1522-1800: Pada periode ini negara (Portugis dan VOC) memainkan
peranan penting dalam perluasan dan pemerintahan gereja. Di pihak lain PI
diselenggarakan oleh suatu lembaga gereja dan membawa serta bentuk ibadah
dan ajaran yang berlaku dalam gereja itu. Pendekatan terhadap agama dan
kebudayaan yang mereka temukan di Indonesia bersifat negatif semata-mata. Dan
orang-orang Indonesia tidak ikut serta dalam kepemimpinan gereja; organisasi
gereja bersifat hierarkis dan dipimpin oleh orang-orang Barat.
2. Tahun 1800-1940an yang kemudian dibagi atas beberapa sub-periode yakni:
tahun 1800-1860; tahun 1860-1920; dan 1920-1940an. Pembagian ini didasarkan
atas faktor perluasan, faktor pola berfikir para zending (misionaris), faktor
peranan orang-orang Indonesia dalam kehidupan gerejani dan faktor
perkembangan di bidang politis. Faktor-faktor ini berlaku bagi sejarah gereja di
Indonesia dilihat sebagai satu kesatuan.
Akan tetapi sebelum kehadiran Gereja Katolik di Nusantara, sudah didahului dengan
kedatangan Gereja Nestorian dari Persia di Barus Sumatera Utara. Untuk mengakomodasi
fakta ini dalam studi Sejarah Gereja, Dr. Fridolin Ukur menetapkan periodisasi Sejarah
Gereja Indonesia sebagai berikut:
1. Pra Sejarah Gereja di Indonesia (tahun 645-1930/1935). Masa ini dibagi dalam
beberapa periode:
a. Kedatangan kelompok Kristen Nestorian yang berpusat di Mesopotamia Hilir
(Irak) ke Sumatera yang terjadi antara tahun 645-1500.
b. Kedatangan Gereja Katolik di Indonesia antara tahun 1511-1666.
c. Tersebarnya Kristen Protestan ke Indonesia antara tahun 1605-1910. Yang
terbagi dalam dua tahap:
i. Zaman Calvinis VOC (1605-1800)
ii. Zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (1800-1930/1935)
d. Lahirnya Gereja-gereja Suku/Gereja Daerah dan Gerakan Pentakosta di
Indonesia.
2. Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1930-kini. Babak ini dibagi lagi dalam
beberapa periode:
a. Gereja dan Pergerakan Nasionalisme (1930-1941)
b. Gereja di Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
c. Gereja di Masa Perang Kemerdekaan RI (1945-1950)
d. Gereja yang bertumbuh/tinggal landas (1950-kini)
Periodisasi yang akan dipakai dalam makalah ini adalah periodisasi yang diajukan oleh
Dr. Muller Kruger karena jelas pembagiannya berdasar siapa yang menyebarkan Injil di
Indonesia. Dan sebagai tambahan adalah bagaimana akhirnya penyebaran Injil itu
berkembang di Indonesia.
BAB III
Pada masa ini secara politik, sebelum datangnya kekuatan politik dari Eropa, sudah ada
kerajaan-kerajaan di Nusantara yang berkuasa atas atas wilayah-wilayah di Nusantara, antara
lain: Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Melayu, Mataram Hindu, Kediri, Bali, Majapahit,
Singasari, dan beberapa kerajaan lain.
Secara ekonomi Indonesia memiliki sumber-sumber kekayaan alam yang sangat kaya,
yang belum sepenuhnya digarap dengan baik demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
seperti emas, intan, dan batu mulia lainnya, timah, besi, nekel, batu bara, teh, kopi, kelapa,
karet, tembakau, cengkeh, lada, kina, beras, jagung, minyak bumi dan sumber-sumber
meineral lainnya serta hutan dengan segala kayunya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah
perdagangan penting setidaknya sejak sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya
menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan
Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang
membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk
memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Setelah
sekitar 350 tahun penjajahan Belanda, Indonesia menyatakan kemerdekaannya di akhir
Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat tantangan dari bencana alam, korupsi,
separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.
Sebelum agama Kristen masuk ke Nusantara, sudah ada agama asli (agama suku) dan
agama-agama dari luar Nusantara yaitu agama Hindu, agama Budha dan agama Islam.
1. Agama Suku
Sebelum datangnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam dan Kristen ke
bumi Indonesia, masyarakat Indonesia asli adalah penganut agama suku (agama
primitif). Setiap suku yang ada di Indonesia mempunyai agamanya yang tersendiri
dan satu sama lain sangat berlainan menurut corak dan bentuk serta karakter masing-
masing (agama suku Batak, agama suku Jawa, suku Dayak, Irian, dll). Walau
berlainan satu sama lain, ada kesamaan corak secara umum, kesamaan ini nantinya
akan banyak memberi pengaruh terhadap sejarah kekristenan di Indonesia, misalnya
soal:
Sejak tahun 1540an, pekerjaan misi Katolik di Maluku mulai dilakukan lebih terarah
dan intensif. Pada waktu itu mulailah berdatangan penginjil-penginjil yang mempunyai
semangat penginjilan yang besar dari Eropa. Munculnya penginjil-penginjil yang
bersemangat itu didorong oleh semangat kontra-reformasi yang teradi dari pihak gereja Roma
Katolik terhadap golongan Protestan, terutama setelah berdirinya “Serikat Yesus” sebagai
salah satu perwujudan dari kontra-reformasi itu. Serikat Yesuit itu telah melatih dan
mempersiapkan sejumlah penginjil-penginjil Roma Katolik yang sangat bersemangat.
Dengan usaha yang dilakukan pengnjil Yesuit seperti Xaverius, usaha pekabar Injil Katolik
itu dapat dengan cepat mengalami perkembangan baik ke Maluku Utara, maupun ke Maluku
Selatan. Maluku dijadikan oleh Serikat Yesuit tersebut sebagai daerah kerja mereka. Dan ke
sana tenaga-tenaga penginjil Yesuit semakin banyak dikirimkan. Tetapi selama abad 16,
gereja Kristen di Maluku banyak menderita terutama karena pergolakan politis yang terus
menerus di sana.
Salah satu rintangan berat yang dihadapi Gereja pada waktu itu ialah dari pihak
penguasa setempat, terutama dari Sultan Hairun di Ternate, yang berkuasa dari tahun 1535-
1570. Sultan Hairun ini ingin mendirikan suatu kerajaan besar yang meliputi seluruh Maluku
dan daerah sekitarnya. Dalam usaha mewujudkan rencananya itu, kehadiran orang-orang
Portugis di sana dilihat sebagai rintangan. Karena itu Sultan Hairun selalu berusaha untuk
menghempang pengaruh orang-orang Portugis dan sekaligus menghambat masyarakat
setempat untuk masuk menjadi Kristen. Tetapi karena di antara penguasa-penguasa setempat
yang beragama Islam itu juga tidak ada kesatuan, di mana mereka juga saling berebut kuasa,
maka jemaat Kristen bisa bertahan terus. Penguasa Islam itu ada juga yang mencari
perlindungan dan bersahabat dengan orang-orang Portugis. Tahun 1557 Sultan Hairun
memaksa banyak orang Kristen Halmahera masuk Islam, membunuh banyak missionaris dan
merusak gereja. Akibat dari tindakan ini, orang-orang Portugis berusaha menangkap Sultan
Hairun yang akhirnya dibunuh tahun 1570. Karena akibat terbunuhnya Sultan Hairun
tersebut, masyarakat Islam yang ada di sana menjadi marah. Dengan dipimpin oleh anak
sultan yang terbunuh, perkampungan-perkampungan Kristen dibakar dan benteng orang-
orang Portugis diserang. Orang-orang Kristen di sana semakin berkurang karena murtad, dan
kekuasaaan Portugis semakin surut dan akhirnya runtuh. Hanya di Bacan dan Tidore ada
sejumlah kecil yang bisa bertahan selama beberapa puluh tahun lagi. Dan sejak tahun 1580,
orang-orang Spanyol yang menjadi Sekutu Portugis dan sebelumnya telah berkuasa di
Filipina berhasil mengalahkan Ternate tahun 1606. Berkat kemenangan ini maka missi
Kristen bisa kembali dijalankan di Halmahera (1606-1613), dalam jumlah yang kecil. Namun
missionaris Roma Katolik itu tahun 1613 terpaksa meninggalkan Halmahera karena diusir
oleh orang-orang Belanda yang telah berhasil menguasai daerah itu sejak tahun 1613.
Sedangkan orang-orang Belanda membiarkan orang-orang Kristen yang kecil itu begitu saja,
yang membuat kekristenan di sana sempat terlantar dan hilang lagi. Penginjilan ke Halmahera
baru dilanjutkan kembali pada abad 19.
Pada zaman Portugis, usaha penyebaran kekristenan ke Sulawesi Utara, Sangir dan
Talaud juga telah diusahakan sejak tahun 1560an. Tetapi alasan penerimaan agama Kristen
itu adalah sama dengan alasan penerimaannya di daerah Maluku, yakni terutama dalam
rangka meminta perlindungan kepada orang-orang Portugis, dalam menghadapi tekanan dan
serbuan tentara-tentara Sultan Hairun dari Ternate yang juga berusaha untuk memperluas
daerah kekuasaannya sampai ke sana. Karena adanya serangan dari pasukan-pasukan Sultan
Hairun itu, maka raja setempat meminta bantuan dari tentara orang-orang Portugis di Maluku
untuk melindungi mereka. Dan sebagai imbalan dari bantuan perlindungan yang diberikan
itu, maka masyarakat tersebut bersedia untuk dibaptis menjadi Kristen. Penginjil pertama
yang diutus oleh orang Portugis dari Maluku ke Sulawesi Utara ialah Diego Magelhaes, tahun
1568. Dia disambut oleh penduduk daerah Manado dengan gembira. Setelah mengajar
mereka hanya selama lebih kurang dua minggu lamanya, maka dia membaptis raja setempat
bersama dengan sejumlah 1500 orang rakyatnya. Ternyata orang-orang yang sudah dibaptis
itu tetap mengikuti kepercayaan dan cara kehidupan serta kebiasaan mereka yang lama yang
diturunkan oleh nenek moyang mereka. Dan karena pembinaan yang tidak ada, kekristenan
tersebut lama kelamaan menjadi hilang lenyap.
Pada abad ke 16, kekristenan juga telah masuk ke daerah Nusa Tenggara Timur,
terutama di daerah Solor, Flores dan Timor. Pekabar-pekabar Injil Katolik yang bekerja di
sana adalah dari Ordo Dominikan. Orang-orang Portugis juga melakukan usaha perdagangan
ke sana terutama perdagangan kayu cendana yang sangat berharga itu. Pada tahun 1556, telah
dibaptis sejumlah 5000 orang Timor oleh Pater Taveira dari Ordo Dominikan. Pembaptisan
juga dengan cepat sampai di daerah Solor dan Flores, sehingga menjelang akhir abad 16,
sudah ada sekitar 25000 orang yang dibaptis menjadi Kristen di sana. Namun gereja untuk
orang-orang Portugis dan pribumi masih dibedakan sebagaimana juga halnya yang terjadi di
daerah Maluku. Tetapi usaha penginjilan itu tidak begitu berkembang karena kurangnya
tenaga untuk membina orang-orang Kristen itu. Dan misi Roma Katolik itu juga makin
terpukul, setelah datangnya serangan dari Belanda ke sana mulai tahun 1613. Tetapi
kendatipun demikian, beberapa penginjil Roma Katolik masih bisa tetap bertahan di Solor
dan Ende. Karena itu orang-orang Katolik bisa bertahan terus di sana.
Sejumlah missionaris Roma Katolik dari Ordo Fransiskan pernah diutus ke daerah
Blambangan dan Panurukan dari tahun 1569-1599. Pada waktu itu penduduk daerah tersebut
masih menganut agama Hindu, sehingga sejumlah penduduk di sana berhasil dibaptiskan
termasuk beberapa anggota keluarga raja. Tetapi menjelang tahun 1600 usaha pekabaran Injil
itu terpaksa berakhir, karena kedua kerajaan itu berhasil diruntuhkan dan dikuasai oleh
kerajaan Islam. Orang-orang Kristen di sana juga pada akhirnya menjadi hilang.
Injil berkembang lebih cepat karena menjadi misi pemerintah Portugis dan Spanyol
sesuai perintah Kepausan sehingga tersedia dana. Masyarakat didukung oleh pemerintah
untuk menerima Injil sehingga pendirian bangunan gereja lebih mudah mendapat ijin.
Kekurangannya adalah jemaat memiliki motivasi yang salah, menjadi Kristen bukan karena
pertobatan tetapi karena ingin mendapat jaminan keamanan Negara (Portugis).
BAB V
Orang-orang Belanda mulai masuk di Indonesia tahun 1596 yang mula-mula dipimpin
oleh Kornelis de Houtman. Tujuan mereka datang ke Indonesia sama dengan tujuan orang-
orang Portugis, yakni melakukan usaha perdagangan dan ingin memperoleh hak tunggal
(monopoli) dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku. Untuk memajukan usaha
perdagangan itu pemerintah Belanda membentuk suatu maskapai besar tahun 1602 yang
disebut: “Verenigde Oostindische Compagnie” (VOC). Seluruh usaha perdagangan Belanda
ke Asia dimonopoli oleh badan ini. Daerah Maluku yang semula dikuasai oleh orang-orang
Portugis dapat dengan mudah ditakhlukkan oleh VOC. Sama seperti yang dilakukan oleh
orang-orang Portugis, di daerah-daerah yang dikuasai oleh VOC itu, petugas-petugas gereja
juga segera ditempatkan. Tetapi tujuan utama dari penempatan petugas-petugas gereja ini
ialah untuk kepentingan pelayanan rohani orang-orang Belanda yang bekerja di sana.
Sedangkan usaha pekabaran Injil kepada penduduk setempat sangat kurang dilakukan.
Pekabaran Injil baru dilakukan oleh pendeta-pendeta VOC apabila pekerjaan itu dirasa
mendukung kepada usaha mempercepat penguasaan penduduk setempat. Selaku orang-orang
yang beragama Protestan, orang-orang Belanda yang telah berkuasa, menakhlukkan orang-
orang Kristen yang baru itu menjadi Protestan. Namun petugas-petugas gereja Katolik itu
tidak diganti oleh VOC dengan tenaga-tenaga Protestan, sebab VOC belum mempunyai
tenaga untuk memelihara orang-orang Kristen yang sudah ada ataupun mengabarkan Injil
kepada orang-orang yang bukan Kristen. Karena itu tidak ada lagi pelayanan ibadah dan
pembinaan rohani bagi orang-orang Kristen peninggalan orang-orang Portugis itu.
Akan tetapi di kemudian hari tugas dari pendeta VOC itu juga meluas sampai kepada
penduduk yang dijajah yang belum Kristen. Pemerintah Belanda juga “diwajibkan untuk
memberantas dan melawan segala penyembahan-penyemabahan berhala dan agama kafir”,
atau dengan kata lain mengkristenkan bangsa-bangsa yang ditahklukkan. Akan tetapi tugas
ini hanya sedikit dilakukan. Dan apabila ini dilakukan selalu dikaitkan dengan pertimbangan
ekonomis dan politis, yakni usaha pengkristenan itu diperhitungkan bisa membantu usaha
untuk memperlancar keuntungan ekonomis atau perdagangan mereka dan memperlancar
proses penguasaan atas masyarakat setempat. Dalam hal ini pemerintah Belanda memang
menghendaki rakyatnya agar menjadi orang-orang Kristen. Karena dengan dikristenkannya
rakyatnya itu, mereka dianggap telah berada di bawah kekuasaan Belanda. Tetapi demi
menjaga ketertiban dan keamanan usaha perdagangan dan pemerintahannya, kewajiban untuk
mengkristenkan itu tidak banyak dilakukan. Dan bahkan hak-hak pendeta selalu dibatasi, dan
selalu disesuaikan dengan kebijaksanaan politik dari pemerintah. Segala kegiatan yang
dipikirkan oleh pendeta harus mendapat persetujuan lebih dulu dari pemerintah Belanda.
Termasuk surat-surat yang dikirimkan kepada gereja-gereja di negeri Belanda, harus terlebih
dahulu melalui penilaian gubernur jenderal Belanda di Indonesia. Dengan demikian maka
perkembangan gereja di Indonesia menjadi sulit diketahui oleh Gereja Induk di negeri
Belanda. Dengan kata lain bahwa pada zaman VOC, gereja adalah benar-benar di bawah
kekuasaan dan pengawasan pemerintah Belanda.
Gereja-gereja Calvinis memiliki atribut atau perangkat atau pola sebagai berikut:
Pendeta pertama yang ditempatkan Belanda di Indonesia terjadi tahun 1612, yakni Ds
Wiltenz. Dia ditempatkan di daerah Ambon. Tahun 1615 dibentuklah majelis gereja Kristen
Protestan yang pertama di Ambon. Majelis gereja inilah yang menyelenggarakan
pemeliharaan rohani atas orang-orang Kristen yang ada di daerah Ambon dan sekitarnya.
Tetapi usaha untuk mengabarkan Injil kepada penduduk pribumi setempat tidak dilakukan.
Orang-orang pribumi itu masih tetap sebagai kafir. Jadi pendeta dan majelis gereja yang ada
di Ambon itu hanya memelihara yang sudah ditanam. Tidak ada usaha mereka menanam Injil
itu bagi mereka yang belum Kristen.
Selain di Ambon tahun 1621 berdirilah sebuah jemaat di daerah Banda. Dan jemaat
inipun diperuntukkan untuk orang-orang Belanda yang bekerja di sana. Barulah di daerah
Aru ada sekitar 100 orang yang dibaptis dari penduduk setempat. Itupun tidak bertumbuh
dengan baik karena pemeliharaan yang kurang. Pada pertengahan abad 17, orang-orang
Spanyol yang sempat menguasai daerah Maluku Utara dan beberapa daerah Sulawesi Utara
sampai Sangir dan Talaud ditakhlukkan oleh orang-orang Belanda. Orang-orang Kristen yang
dulu sempat diasuh oleh orang-orang Spanyol itu, diambil alih oleh orang-orang Belanda.
Pendeta Belanda yang bertugas di Ternate sekitar tahun 1680-1689 berusaha menghubungi
orang-orang Kristen di sana. Sekitar tahun 1700, diperkirakan ada sejumlah 2500 orang
Kristen di sana. Tetapi jumlah ini semakin merosot karena kurangnya pemeliharaan terhadap
mereka. Bahkan kekristenan yang ada di Halmahera menjadi lenyap, karena orang-orang
Kristen di sana tidak pernah dikunjungi oleh pendeta VOC itu. Orang-orang Kristen yang ada
di pulau Timor mulai mendapat pemeliharaan dari pendeta VOC tahun 1670, karena raja
setempat meminta perlindungan Belanda dan meminta dirinya untuk dibaptis menjadi
Kristen.
Pada abad 17, pendeta VOC di Jakarta ditugaskan juga untuk mengunjungi tempat-
tempat yang sudah didiami oleh orang-orang Belanda yang ada di daerah Jawa dan Sumatera
Barat. Di Jakerta itu sendiri telah berdiri sebuah jemaat VOC tahun 1619, dan di Surabaya
berdiri sebuah jemaat tahun 1669. Di Padang Sumatera Barat dan di Semarang masing-
masing berdiri sebuah jemaat tahun 1750. Jadi menjelang akhir abad 18, yakni menjelang
akhir zaman VOC di Indonesia, jemaat-jemaat Kristen yang ada di Indonesia ada sebanyak
sepuluh jemaat yakni: 6 jemaat di Indonesia bagian Timur, yaitu di Ambon, Banda, Ternate,
Makassar, Manado dan Kupang; 3 jemaat di Jawa yakni di Jakarta, Surabaya dan Semarang,
dan satu jemaat di Sumatera yakni di Padang. Di daerah Jawa dan Sumatera, sama sekali
tidak dilakukan usaha penginjilan kepada orang-orang pribumi. Menurut catatan, jumlah
orang-orang Indonesia yang dibaptis selama zaman VOC itu sebanyak 43.000 orang, tetapi
dari antaranya hanya sebanyak 1205 orang yang diperbolehkan menerima sakramen
Perjamuan Kudus. Sedangkan yang ditinggalkan oleh Portugis sudah ada sebanyak 40.000
orang Katolik.
6.5. Kesimpulan tentang misi Zending VOC di Indonesia
Berbeda dengan pemerintahan VOC yang hanya mengakui satu gereja yakni Gereja
Protestan, pemerintah kerajaan Belanda yang baru dipengaruhi oleh semangat “pencerahan”
di Eropa, menjadi bersifat netral. Di kerajaan itu kebebasan agama mulai diberlakukan.
Karena itu tidak ada lagi gereja negara, dan negara tidak akan memihak lagi kepada agama
Kristen. Tetapi ada dua kenyataan yang dihadapi di Indonesia oleh pemerintah kolonial
Belanda yang menghambat pelaksanaan dari azas itu secara penuh, yakni: (1) Adanya
sejumlah jemaat di Indonesia bekas asuhan dari VOC. Pemerintah Belanda sebagai pewaris
VOC, tidak bisa melepaskan jemaat-jemaat itu begitu saja. Ini mendorong pemerintah
kolonial Belanda untuk mendirikan Gereja Protestan di Indonesia yang dapat menampung
dan mengasuh seluruh jemaat bekas asuhan VOC itu; dan (2) Pemerintah kolonial Belanda
sadar bahwa orang-orang Islam di Indonesia rata-rata bersikap lebih memusuhi pemerintah
Belanda daripada orang-orang Kristen. Untuk mengatasi keadaan ini, maka pemerintah
kolonial Belanda mengambil kebijaksanaan bahwa sebaiknya daerah-daerah yang masih
beragama suku dikristenkan, sedangkan daerah Islam jangan. Dalam usaha untuk
mengkristenkan daerah-daerah yang masih menganut agama suku itulah maka lembaga-
lembaga Pekabaran Injil (PI) diizinkan masuk ke Indonesia. Pada zaman VOC, lembaga-
lembaga PI belum diizinkan masuk ke Indonesia.
Pada permulaan abad 19, atau pada permulaan pemerintahan kolonial Belanda di
Indonesia, keadaan jemaat-jemaat Kristen yang diwariskan oleh VOC itu tidak menentu.
Pendeta yang bertugas untuk melayani jemaat-jemaat itu hanya ditinggalkan beberapa orang
saja. Daerah-daerah di luar pusat tidak dikunjungi lagi. Karena itu jumlah anggota jemaat
semakin mundur. Karena kesulitan ekonomi pemerintah Belanda pada waktu itu yang
diakibatkan keadaan perang yang terjadi di negeri itu, maka gereja Belanda tidak sanggup
membantu berupa uang dan tenaga. Raja Belanda yang baru pada waktu itu yakni Willem I,
berusaha menggabungkan seluruh jemaat Protestan yang ada di Indonesia menjadi satu
badan, yakni Gereja Protestan di Indonesia. Dan gereja ini langsung ditempatkan di bawah
asuhan pemerintahan kolonial Belanda. Untuk mengatur penyelenggaraan gereja ini, maka
ditetapkanlah aturan-aturan dari gereja tersebut, antara lain:
a. GPI dipimpin oleh sebuah Dewan Pengurus yang diangkat oleh Gubernur Jenderal
yang berkedudukan di Batavia (Jakarta). Ketua Dewan Pengurus ini harus seorang
yang menjabat pangkat tinggi dalam pemerintahan atau negara. (baru pada abad 20
ketua dari dewan pengurus itu ditetapkan dari kalangan pendeta). Anggota dari
Dewan Pengurus ini ialah pendeta-pendeta jemaat Protestan yang ada di Batavia dan
tiga orang anggota jemaat yang terkemuka.
b. Jemaat setempat dipimpin oleh sebuah Majelis Jemaat yang dipilih oleh jemaat
setempat itu sendiri, tetapi pengangkatannya harus disetujui oleh pemerintah
setempat.
c. Tugas-tugas gereja antara lain ialah: memelihara kepentingan agama Kristen pada
umumnya dan kepentingan Gereja Protestan khususnya, menambah pengetahuan
keagamaan dan memajukan kesusilaan Kristen, menegakkan ketertiban serta
kerukunan dan menumpuk cintah kepada pemerintah dan tanah air.
d. Hubungan dengan gereja di negeri Belanda akan berlangsung melalui sekelompok
pendeta yang ada di sana, yang bertugas untuk menguji dan meneguhkan pendeta-
pendeta dan pekerja-pekerja gereja yang lain yang akan diutus ke daerah-daerah
jajahan.
Pada masa ini ada dua gerakan perubahan negeri Belanda yang menyebabkan beberapa
perubahan di antara tenaga pekabar Injil serta metode-metode dari misinya. Gerakan
pencerahan yang berkembang di Eropa menyatakan bahwa manusia telah menjadi dewasa
dan harus berani berdikari, melepaskan diri dari belenggu tahkyul, dogma, dan segala bentuk
keagamaan yang tidak sesuai dengan rasio; karena ratio adalah hakim akhir dalam segala hal
penting. Cara berpikir seperti itu mempengaruhi: (1) Tuntutan kebebasan dalam beragama,
dan negera tidak berhak mengklaim bahwa hanya satu gereja yang sah; (2) Memisahkan
gereja dan pemerintah; secara praktisnya pemerintah yang berdemokrasi dan bukan gereja
yang dikira berpikiran picik yang mewakili rakyat sesungguhnya (sekuler di atas rohani); dan
(3) Mempengaruhi sikap orang-orang Eropa terhadap bangsa-bangsa lain. Gerakan Pietisme
yang merupakan aliran dalam kelompok Kristen yang menekankan kesalehan dalam setiap
lapangan kehidupan. Munculnya pietisme sebagai reaksi terhadap ortodoxi yang kaku/tidak
dinamis. Kelompok Kristen pietis mengutamakan: (1) Kehangatan iman secara pribadi; (2)
Kesalehan pribadi; dan (3) Kepastian/pengalaman pribadi akan keyakinan keselamatan
berdasarkan karya Tuhan Yesus Kristus. Dua lembaga yang sangat terkenal Pietis adalah
Universitas Halle yang menamatkan lebih dari 6000 pendeta (sarjana yang ditabiskan
menjadi pendeta). Lembaga yang kedua adalah Hernnhut, pusat dari kaum Morafiah yang
secara pengorbanan mengutus satu dari 60 anggotanya sebagai utusan Injil kepada 4 penjuru
bumi dari tahun 1730 sampai tahun 1800. Orang-orang Belanda yang dipengaruhi oleh
pengaruh pietisme berminat mengikuti teladan Hernnhut, Willem Carey serta beberapa badan
penginjilan di negara Inggris yang juga mempengaruhi orang Kristen Belanda yang menaruh
minat pada penginjilan dan membentuk badan misi seperti: NZG (1797), NZV dan RMG
(1828). Bahkan di Indonesia selain Java Comite (1855), lahirlah lembaga Alkitab (1814)
sebagai reaksi orang Kristen Indonesia yang tidak puas dengan GPI, selain itu lahirlah
lembaga-lembaga PI di Batavia (1815) dan Surabaya (1815).
a. Joseph Kam: Diutus oleh NZG ke Indonesia dan tiba di Ambon tahun 1815. Dalam
pelayanannya di Ambon, ia membabtis 3000 anak-anak Ambon yang belum sempat
dibabtis, akibat tidak adanya pelayanan seorang pendeta selama 20 tahun. Kemudian
antar tahun 1815-1816, Kam berkhotbah, mengajar, mengawasi, guru-guru dan
melayankan sakramen-sakramen kepada anggota-anggota gereja disekitar Ambon
dan kepada 70 jemaat dipedalaman (satu gereja sekali setahun). Selain itu ia
beberapa kali mengadakan perjalan basar yaiutu ke Ternate, Minahasa, dan Sangir.
Ia juga melayani di pulau-pulau selatan sampai ke Timor. Pada tahun 1835
datanglah guru Belanda yang beraliran pietis bernama Roskott. Roskott terbeban
mendirikan sekolah pendidikan guru (SPG) guna meningkatkan taraf rohani dan
kemampuan golongan guru. Satu tamatan SPGnya adalah W. Hehanusa (1799-1873)
yang kemudian hari di utus ke Minahasa. Disana ia ditahbiskan menjadi pendeta
Indonesia pertama dalam gereja Protestan.
b. Johan Friedrich Riedel: Ia diutus secara khusus untuk memberitakan Injil kepda
orang-orang yang bernama suku di Minahasa. Dalam pelayanan Riedel lepas dari
kekuasaan GPI, aparat pemerintah Hindia Belanda. Metode pelayanannya di
Minahasa antara lain: tidak memakai tenaga orang-orang di Tondano, artinya ketika
ia menginjili di daerah Tondano, ia memakai bahasa setempat tanpa memakai
penterjemah sebagaiman yang dilakukan oleh para misionaris ditemapat lain; Riedel
tidak menjelekan adat dan agama suku setempat dengan kata-kata pedas
sebagaimana yang dilakukan oleh pendeta-pendeta Belanda sebelumnya; dan
bersikap ramah kepada semua orang, mengundang mereka datang kerumahnya,
memberi kopi kepada mereka dan mengadakan diskusi dan ajaran Kristen secara
wajar.
c. Jellesma: Jellesma pindah dari Surabaya ke Mojowarno pada tahun 1851. Di sana ia
mempercayakan orang Jawa untuk kegiatan jemaat dan penyiaran Injil. Jellesma
bersikap selektif dalam menggunakan budaya Jawa dalam rangka misi gereja di
Jawa. Sikap selektif ini dapat dipahami oleh karena beberapa tokoh seperto Emde
dan Coolen berbeda sikap terhadap budaya. Sikap Emde yaitu menolak budaya Jawa
dalam pemberitaan Injil, sebaliknya sikap dari Coolen adalah bersikap memihak atau
pro kepada budaya Jawa dalam menyampaikan berita Injil. Dalam pelayanan
Jellesma, berhasil membabtis 2000 orang, memulai sekolah, menerbitkan buku-buku
rohani dari cerita Alkitab dan mengumpulkan satu bundel nyanyian rohani hasil dari
pekerjaan misi Jellesma adalah gereja Kristen Jawa Wetan.
d. Selain itu ada juga yang tidak berasal dari badan Zending, antara lain Emde dan
Coolen. Coenrad Coolen mendidik dalam kebudayaan Jawa sehingga menguasai
wayang musik dan tari-tarian Jawa. Kemudian Coolen membuka hutan pemukiman
sekitar 60 Km dari Surabaya, namanya Ngoro. Ngoro kemudian menjadi suatu desa
yang makmur dan Coolen dikenal sebagai seorang pemimpin dan guru Kristen.
Selain itu pada hari minggu, Coolen mengadakan kebaktian di pendopo rumahnya
sendiri dengan membaca satu pasal dari Alkitab menyanyikan nyanyian rohani dan
berdoa dengan gaya tembang: mengahabiskan waktu dengan bermain gemelan;
mengadakan wayang dan mengucapkan rumus-rumus Kristen seperti doa Bapa
Kami.
e. Geissler dan Ottow dari UZV: Mereka mengadakan hubungan akrab dengan orang-
orang Numfor (Papua). Lalu mengadakan kebaktian sendiri, akhirnya dalam bahasa
Numfor. Pada tahun-tahun berikutnya berdatangan banyak misionaris dari Zending
UZV dengan menerobos ke pedalam di berbagai tempat. Para zendeling itu
menghadapi banyak kesukaran/kesulitan: iklim yang buruk, penyakit malaria, dan
juga keganasan beberapa suku. Semua faktor ini menyebabkan banyak korban dari
para misionaris. Akan tetapi pada tahun 1940 telah di babtis 80.000 orang Irian,
kebanyakan menerima Kristus secara massal.
Rheinische Mission (RMG, 1828) sejak tahun 1834 mengutus missionaris melayani di
Indonesia dengan wilayah kerjanya di Indonesia, yaitu Sumatera Utara (Batak), hasilnya
HKBP, seorang missionaries yang terkenal dari misi RMG untuk Sumatera Utara, yaitu
Nomensen. Selain itu misi RMG diusahakan di Kalimantan, yaitu GKE dan di Nias, hasilnya,
yaitu BNKP dan gereja-gereja disamping BNKP.
Seperti sudah diuraikan dalam bagian terdahulu, sejarah Gereja Roma Katolik (RK) di
Indonesia telah dimulai pada zaman Portugis (abad 16). Pada waktu itu gereja-gereja RK
telah berdiri di beberapa daerah di Indonesia, seperti di daerah Maluku, Sulawesi Utara,
Sangir dan Talaud, NTT, dll. Tetapi pada zaman VOC, gereja-gereja Roma Katolik itu
sempat menjadi hilang, kecuali di sebagian daerah NTT, karena pemerintah VOC, sesuai
dengan keadaan di negeri Belanda, tidak mengizinkan keberadaan Gereja RK di daerah-
daerah yang dikuasai. Sebagian warga gereja RK peninggalan Portugis itu dipaksa menjadi
pengikut Gereja Protestan, dan sebagian lagi menjadi hilang begitu saja, karena tidak ada
pemeliharaan kepada mereka. Dan selama kekuasaan VOC itu, pekerjaan dan misi gereja RK
di Indonesia dilarang. Usaha gereja RK untuk memasuki kembali Indonesia, terjadi setelah
pemerintah Bealnda mengumumkan kebebasan beragama di negeri itu dan juga di negeri
yang dikuasai tahun 1808.
Merupakan gereja bentukan pemerintah Belanda zaman colonial yaitu GPI. Dari Gereja
ini berasal beberapa Gereja yang beraliran Calvinis di Indonesia yaitu: GMIM di yang
berkembang di Minahasa, GPM yang berkembang di Ambon, GMIT yang berkembang di
wilayah NTT, GPIB yang berkembang di wilayah Indonesia bagian Barat, GPIBT, GPID,
GPIG, GKLB, GPI Irja (sekarang Papua). Di kemudian hari, yaitu pada pertengahan abad ke-
19 bertambah lagi organisasi gereja yang beraliran Calvinis, yaitu GKJ, GKI Jateng, GKS di
Sumba, GKI Sumut, Gereja Toraja, GGRI (Gereja-gereja Reformasi Indonesia) yang bekerja
di Sumba Timur, Irian Jaya (Papua), dan Kalimantan.
Gereja ini dimulai di Swis tahun 1525. Gereja ini merupakan bagian dari gerakan
annabaptis yang muncul di Eropa tidak lama setelah Marthin Luther mengadakan Reformasi
Gereja. Nama Mennonit berasal dari nama Menno Simon, tokoh gerakan Anabaptis di
Belanda, yang menganut garis moderat (menolak gaya nubuat Melchior Hoffman, 1493-1543
yang menubuat sbb: Yerusalem baru yang rohani tak lama lagi akan terwujud di Strasburg)
dan anti kekerasan. Kehadiran gereja ini di Indonesia melalui dua organisasi gereja di
Semarang, yaitu GITJ yang berpusat di Pati, dan PGKMI yang berpusat di Semarang. Kedua
gereja ini telah menjadi anggota PGI.
Ketika Indonesia sempat dijajah oleh Inggris tahun 1811-1816, usaha PI Baptis telah
mulai masuk ke Indonesia, yang diutus oleh “Baptist Missionary Society” dari Inggris, dan
juga melalui pusat PI Baptist yang didirikan oleh William Carey di India. Antara tahun 1813
dan 1857, sudah ada 20 orang utusan Baptis bekerja di Indonesia. Di antaranya yang terkenal
ialah Nathaniel Ward dan Richard Burton, yang telah berhasil menerobos sampai ke daerah
Silindung dan tepi Danau Toba, Tapanuli Utara, tahun 1824. merekalah penginjil yang
pertama masuk ke Tanah Batak, walaupun hasil penginjilan mereka belum ada. Dari tahun
1814-1818, Jaber Carey (anak dari William Carey), pernah bekerja di Ambon. Tetapi setelah
pemerintah Belanda kembali berkuasa di Indonesia, kebanyakan penginjil berkebangsaan
Inggris kembali ke India. Namun Nathaniel Ward yang pernah datang ke Tanah Batak,
bertahan terus di Padang sampai kematiannya tahun 1850. Dan di Semarang, Gottlab
Brueckner menerjemahkan kitab PB ke dalam bahasa Jawa, yang kemudian disita oleh
pemerinatah dan dilarang peredarannya. Sesudah kematiannya tahun 1857, PI Baptis di
Indonesia menjadi terhenti. Kemudian tahun1952, Konvensi Baptis Selatan (KBS) dari
Amerika Serikat diberi izin untuk masuk bekerja di Indonesia. KBS ini merupakan golongan
Baptis terbesar, tetapi ajarannya bersifat ortodoks, dan tidak masuk menjadi anggota Dewan
Gereja-gereja seDunia. Pusat PI KBS di Indonesia dijadikan di Jawa, dengan mendirikan
sebuah rumah sakit di Kediri tahun 1955, dan Seminary Theologia di Semarang tahun 1954.
Gereja-gereja Baptis yang ada di Indonesia yang berbenatuk kongregationalis, bergabung
dalam Gabungan Gereja Baptis Indonesia (GGBI) dengan pusat di Jakarta dan beranggota
kira-kira 60000 orang. Tetapi selain itu sudah ada lagi satu badan gereja Baptis yang besar di
Indonesia, yakni Gereaja Baptis Irian Jaya (GBIJ), yang lahir oleh hasil penginjilan “The
Australian Baptist Missionary Society” di pedalaman Irian mulai tahun 1938.
Gere Gereja Pentakosta pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1922 melalui dua
orang Amerika keturunan asal Belanda, bernama C.E. Groesbeek dan D.R. Van Klaveren.
Mereka berdua diutus oleh “Bethel Temple” di Seattle, di Pantai Barat Amerika Serikat.
Mereka sebelum ke Jawa telah bekerja di Bali antara tahun 1921-1922 tetapi diusir oleh
pemerintah Belanda, namun sebelum mereka diusir, mereka telah bekerja dengan begitu baik
sehingga menarik hati beberapa tokoh yang kemudian meneruskan semangat gereja
Pantekosta ke berbagai wilayah di Indonesia, yaitu keseluruh Jawa Timur,Sumatera Utara,
Minahasa, Maluku, dan Irian. Salah satu pusat gerakan pentakosta di Indonesia adalah Cepu,
kemudian Surabaya. Kemudian gerakan ini meluas ke Temanggung, Jawa Tengah, Cepu,
Surabaya, dan Bandung, ke Sumatera. Di Indonesia Gereja Pantekosta mempunyai banyak
ragam oraganisasi Gereja Pantekosta yang terbesar adalah Gereja Pantekosta Di Indonesia
(GPDI). Dengan berbgai ragam organisasi Gereja Pantekosta ini, maka pada tahun 1970
diusahakan satu-kesatuan Gereja Pantekosta yang disebut “Dewan Panetkosta Indonesia”
(DPI), dan tahun 1998 berubah menjadi Persekutuan Gereja-Gereja Pantekosta Indonesia
(PGPI). Selain wadah ini, adapula yang masuk kedalam keanggotaan DGI-PGI (Dewan
Gereja Indonesia/Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia). Denominisasi gereja pentakosta
yang menjadi anggota PGI adalah: GIA, GBIS, GPPS, GGP,GBI, GTDI. Selain itu ada juga
yang bergantung dalam PII (Persekutuan Injil Indonesia). Sampai tahun 1931, gereja itu
masih satu kesatuan, tetapi sejak tahun 1931 gereja itu telah terbagi-bagi paling sedikit atas
25 gereja, belum termasuk gereja-gereaja yang hanya terdapat di satu tempat yang berjumlah
28 gereja lagi (ini perhitungan tahun 1980). Dan di Sumut, ada beberapa gereja pentakosta
yang membawa nama pribadi pendeta yang mendirikannya, misalnya: GPdI Sinaga (1941),
GPdI Siburian (1948), GPdI Sianturi (1966), GPdI Sianipar (1971), dll. Beberapa dari antara
gereja-gereja Pentakosta, telah ada yang masuk anggota DGI/PGI, yakni: Gereja Isa Almasih,
Gereja Bethel Injil Sepenuh, Gereja Pentakosta Pusat Surabaya dan Gereja Gerakan
Pentakosta. Jumlah anggaota seluruhnya yang tergolong kepada Gereja Pentakosta di
Indonesia berkisar antara 1,2-1,5 juta orang.
7.7. Gereja Advent
Gerakan Adevntis mulai masuk ke Indonesia tahun 1900 yang dibawakan oleh seorang
pendeta Adventis dari Amerika, bernama Dr. Ralph Waldo Munson. Mula-mula dia menetap
di Padang. Dari Padang dia berusaha menyebarkan ajaran itu ke Tapanuli melalui seorang
putera Batak bernama Immanuel Siregar, yang telah menerima ajaran Adventis itu melalui
Waldo Munson. Di tempat-tempat lain seperti di Minahasa (Sulut) usaha penyebaran ajaran
Adventis juga telah dimulai tahun 1920 dan di Ambon tahun 1921. Tetapi pada waktu itu
mereka belum bisa melakukan missinya itu dengan bebas kareana belum memperoleh izin
dari pemerintah Belanda. Tetapi setelah pemerintah Belanda mengizinkan Adventis
menjalankan missinya di Indonesia tahun 1930an, maka pertumbuhan gerakan Adventis di
Indonesia berjalan dengan cukup pesat. Pada tahun 1985, jumlah anggota Gereja Masehi
Advent Hari Ketujuh di Indonesia telah berjumlah sekitar 150000 orang dalam 1500 jemaat.
Tiap jemaat, selain dilayani oleh seorang pendeta. Pelayan-pelayan yang lain yang dikenal
dalam gereja itu terdiri dari: penatua-penatua, diaken-diaken, bendahara, pemimpin Sekolah
Alkitab dan pemimpin usaha PI. Pelayan-pelayan ini dipilih oleh jemaat. Seluruh jemaat
Adventis tergabung dalam Uni Indonesia, yang terdiri atas sejumlah distrik. Pusat Gereja
Masehi Adventis Hari Ketujuh Sedunia ialah di Washington, Amerika Serikat. Sekali empat
tahun diadakan Sidang Raya, yang dihadiri utusan-utusan jemaat untuk memilih Pengurus
Am Uni Indonesia.
Utusan Bala Keselamatan yang pertama ke Indonesia tahun 1894, yakni dua orang
perwira yaitu: J.G. Brouwer dan E.A. van Emerik dari Belanda. Mereka mula-mula tinggal di
Purworejo, Jateng, tetapi kemudian pindah ke Semarang. Di kota ini tahun 1903 dibuka
sebuah Pusat Latihan untuk mendidik perwira-perwira (setaraf pendeta) Indonesia. Selain itu,
di kota tersebut juga dibuka sebuah tempat penampungan tuna wisma “Bugangan” dan koloni
Salib Putih di Salatiga. Bala Keselamatan juga membuka beberapa Rumah Sakit Kusta dan
Rumah Sakit Umum. Selain di pulau Jawa, Bala Keselamatan juga membuka kegiatannya di
luar Jawa. Misalnya tahun 1913, telah dibuka sebuah koloni di lembah Palu, Sulawesi
Tengah, dan menjadikan tempat itu sebagai pangkalan usaha penginjilan di kalangan suku-
suku setempat. Pelopor pekerjaan Bala Keselamatan di Sulawesi itu ialah Letkol. Leonard
Woodward bersama istrinya. Metode yang dipakai ialah mendirikan sekolah, rumah-rumah
sakit dan mendidik anak daerah menjadi guru, sehingga pada akhirnya usaha itu diserahkan
kepada mereka. Tahun 1984, di Indonesia ada 60000 orang anggota, dan 3500 orang perwira.
Semua anggota itu terbagi atas 4 divisi dan 7 distrik. Tiaap-tiap “jemaat” disebut korps. Pada
hari Minggu ada dua macam kebaktian, yakni: pagi, “kebaktian kesucian”, yang menghantar
umat Allah kepada kesucian. Dan malam hari diadakan “kebaktian tebusan”, yang terutama
ditujukan kepada orang-orang yang belum bertobat agar mereka memperoleh tebusan.
Kebaktian adalah bersifat terbuka dan bebas.
BAB VIII
PENUTUP
1. Banyak orang masuk menjadi Kristen pada mulanya, karena mengharapkan bantuan
perlindungan dari orang-orang Barat yang datang ke negeri mereka dalam menghadapi
musuh-musuh mereka. Ada juga yang tertarik menjadi Kristen karena melihat orang-
orang Barat bersama agama mereka mempunyai wibawa yang cukup tinggi, dibanding
dengan diri dan agama mereka. Kepribadian para pekabar Injil ada juga yang menjadi
daya tarik bagi orang-orang Indonesia untuk masuk menjadi Kristen. Pelayanan yang
dilakukan oleh para missionaris, seperti pelayanan kesehatan yang baik, pendidikan dan
usaha-usaha sosial dalam rangka membantu orang-orang miskin, dan meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat juga menjadi motivasi untuk masuk Kristen.
2. Pandangan bahwa kekristenan identik dengan penjajahan menjadikan masyarakat
banyak yang tidak mau memeluk Kristen.
3. Kurangnya persiapan dan pembinaan kembali kepada orang Kristen baru pada masa
Portugis dan VOC.
4. Ajaran yang diberikan mencerminkan pergumulan di Eropa yang tidak sesuai dengan
situasi di Indonesia.
5. Para pekabar Injil tidak banyak mengenal lingkungan hidup orang-orang hidup orang-
orang yang diinjili, yakni agama dan kebudayaan mereka. Pekabaran Injil yang
dilakukan oleh misionaris yang menghargai budaya lokal lebih mudah diterima oleh
penduduk.
6. Banyak misionaris yang rela berkorban untuk melakukan tugas penginjilan meskipun
daerah Indonesia saat itu dikenal dengan banyak konflik dan bencana alam.
7. Perlu dokumentasi sejarah agar tidak hilang seperti gereja Nestorian, sehingga dapat
dipelajari oleh generasi mendatang.
REFERENSI
Aritonang, Jan. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1995.
De Jonge, Christian. Gereja Mencari Jawab: Kapita Selekta Sejarah Gereja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. 1994.
Kruger, Th. Muller. Sedjarah Geredja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1966.
Ukur, Fridelin. Pengkajian Kembali Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1979.
Van den End, Th. Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia. BPk. 1988.