Anda di halaman 1dari 16

1

TUGAS AKHIR SEMESTER


OIKUMENIKA

DISUSUN OLEH :

NAMA : Putri Victory Kalengkongan


NIM : 201841290

DOSEN : Pdt. Theogives Karundeng, M.Th

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISETEN INDONESIA TOMOHON
2021/2022
2

KATA PENGANTAR

 
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan
anugerahNya saya boleh diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas akhir semester
Oikumenika ini
Karya ilmiah ini disusun untuk memenuhi tugas akhir Mata Kuliah Oikumenika. Selain
itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang bagaimana sejarah lahirnya
Oikumenika.
Dalam penulisan karya ilmiah ini saya menyadari banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan
demi penyempurnaan karya ilmiah ini.
Untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada  Pdt. Theogives Karundeng, M.Th selaku
dosen dalam mata kuliah Oikumenika yang senantiasa membimbing kami. Harapan saya,
semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Manado, 12 Desember 2021


3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Oikumene berasal dari kata Yunaniοἰκουμένη (oikouménē), yang berasal dari kata όικος yang
berarti "rumah" dan μενήιν yang berarti "berdiam" atau "tinggal". Usaha-usaha oikumenis
telah dijajaki oleh gereja-gereja anggota PGI untuk terwujudnya gereja Kristen yang esa di
Indonesia. Dan nampaknya istilah Oikumene bukan lagi suatu hal yang asing, bahkan
menjadi satu mode dalam suatu kegiatan di antara beberapa gereja. Jiwa Oikumenis sering
diungkapkan dengan mengadakan suatu perayaan hari besar Kristen, seperti: Paskah dan
Natal bersama, dan sebagainya. Sehingga ada sebagian orang mengidentikkan kegiatan secara
bersama-sama itulah Oikumene. Segala usaha berupa pertemuan, konsultasi, rapat dan
mengadakan proyek secara bersama-sama itu sudah menyatakan kesadaran Oikumenis. Pada
abad ke-20, istilah "oikumene" dipakai dalam perujukan kepada Oikumenisme, yaitu upaya
penyatuan atau kerjasama antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam Kekristenan.
Pekerjaan oikumenisme berlangsung dalam bentuk negosiasi di antara komisi-komisi dari
berbagai denominasi serta melalui pembicaraan sejumlah organisasi inter-denominasional
seperti Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Topik-topik relevan termasuk
Baptisan, Ekaristi (Perjamuan Kudus) dan Pelayanan Kristiani. Sebenarnya gerakan
Oikumene bukanlah soal menguntungkan atau merugikan; bukan pula suatu target tertentu, di
mana gereja-gereja hanya bersikap memenuhi porsi kewajiban masing-masing untuk
memenuhi target itu. Tetapi Oikumene adalah suatu sikap iman yang mendorong gereja-
gereja untuk berjalan bersama-sama pada satu jalan dan arah yang sama. 1 Pada hakekatnya
gereja itu sudah satu dalam Kristus yang adalah kepala gereja. Dengan kesadaran ini
mendorong gereja-gereja berjalan bersama-sama pada satu jalan, menampakkan kesatuan
gereja Yesus Kristus di dunia ini.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gerakan Oikumene ini hadir dan berkembang serta manfaatnya dalam kehidupan
bergereja?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami apa yang menjadi tujuan gerakan Oikumene.
2. Menjelaskan bagaimana gerakan Oikumene ini hadir.

1
Eka Darmaputera, Berbeda tapi bersatu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974) 53.i
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Latarbelakang Gerakan Oikumene

- Gereja Katolik Roma dan Gerakan Oikumene

Sikap Gereja Katolik Roma terhadap Gerakan oikumenis ditentukan atas dasar pemahaman
bahwa Gereja yang benar adalah pengakuan Imannya hanya Gereja yang dipimpin oleh Paus,
sebagai wakil Kristus. Keesaan Gereja selaku tubuh Kristus telah menjadi nyata dalam Gereja
Katolik Roma dibawah pimpinan Paus, oleh sebab itu tidak perlu suatu Gerakan Oikumenis,
karena keesaan Gereja sudah ada dalam Gereja Katolik Roma. Atas dasar doktrin ini, maka
Gereja Katolik Roma menentukan beberapa sikap. Namun demikiann pada konferensi Fath
and Order di Edinburg tahun 1937. Hadir dalam konferensi itu lima orang Katolik Roma,
yang tidak mewakili Gereja Katolik Roma, dan harus diingat bahwa sebelum perang dunia
kedua memang semangat orang-orang protestan untuk mencari hubungan dengan Gereja
Katolik Roma juga kurang, bahkan beranggapan bahwa Gereja ini sesat, hanya beberapa
tokoh seperti Brent dan Soderblom menegaskan bahwa Oikumene tanpa Gereja Katolik
Roma belum lengkap.

- Gereja-gereja Ortodoks dan Gerakan Oikumene

Perlu diingat bahwa Gereja Katolik Roma dan Gereja-gereja Orthodox mempunyai doktrin
yang sama mengenai ekklesiologi, bahwa Gereja adalah kelanjutan dari Para Rasul dan dalam
hal ini berbeda dengan Gereja Kristen (Protestan). Aspek-aspek yang menarik dalam diskusi
atau percakapan Oikumenis antara Gereja-gereja orthodox dan Kristen (Protestan), yaitu:

1) Gereja-gereja Orthodox

Memahami bahwa Ekklesiologi sebagai “Ciptaan Roh Kudus” yang menyelamatkan melalui
pelayanan-pelayanan Sakramen, dan menyatakan bahwa doktrin atau pengajaran mereka
dirumuskan tanpa kekeliruan dan dibawah pimpinan Roh Kudus yang didasarkan atas tradisi
Rasuli serta melalui tujuh konsili Oikumenis. Seperti konsili pertama di Nicea tahun 325, dan
kedua juga di Nicea tahun 787.

2) Gereja Roma Katolik

Pandangan Gereja Roma Katolik bahwa ada perbedaan dengan Gereja-Gereja Orthodox
dimana Roma Katolik beranggapan bahwa ajaran Gereja harus terbuka, sebab melalui Paus
yang tidak keliru atau konsili Roh Kudus dapat menambahkan ajaran-ajaran Gereja baru. Di
mana dalam Katolik Roma Uskup sebagai penjamin kebenaran dan keesaan Gereja, namun
kedudukan Paus sebagai pengganti Rasul Petrus, tidak lebih tinggi atau istimewa dari Uskup-
uskup yang lain. Hal ini menyebabkan perbedaan sehingga terjadilah apa yang disebut
dengan Schisma (perpecahan) dalam Gereja yakniGereja Timur dan Barat. Bagi Gereja-
gereja Orthodox, Oikumenis (Keesaan Gereja) pada dasarnya adalah bersifat Rohani dan
5

berbeda dengan keuskupan Roma Katolik yang menuntut Primat (kedudukan tertinggi)
Yuridis di Gereja, dimana hanya Gereja mempunyai Primat kehormatan.

Pada abad ke-20, istilah “oikumene” dipakai dalam perujukan kepada oikumenisme, yaitu
upaya penyatuan atau kerjasama antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam
Kekristenan. Dalam konteks ini, telah dianggap adanya (atau kelak akan terjadi) kesatuan
umat yang percaya di antara golongan-golongan Kristen yang berbeda-beda. Pada awal abad
ke-20, sejumlah pemimpin Gereja Kristen mulai menyadari bahwa perpecahan yang terjadi di
dalam. Gereja adalah sebuah masalah yang sangat besar. Sebelum meninggalkan murid-
muridnya, Yesus sendiri pernah memperingatkan akan kemungkinan ini melalui doanya
dalam Yohanes 17:20-21: "Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk
orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua
menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar
mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus
Aku." Karena itulah muncul gerakan oikumenis yang tujuannya adalah menciptakan keesaan
Gereja. Gerakan ini resminya dimulai oleh sekelompok pemimpin Gereja-gereja Protestan,
khususnya di dunia Barat, yang kemudian terwujud dalam bentuk Dewan Gereja-gereja se-
Dunia. Dengan gerakan ini, diharapkan seluruh umat Kristen di dunia dapat bekerja sama dan
saling mendukung. Pekerjaan oikumenisme berlangsung dalam bentuk negosiasi di antara
komisi- komisi dari berbagai denominasi serta melalui pembicaraan sejumlah organisasi
inter- denominasional seperti Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Topik-topik relevan termasuk
Baptisan, Ekaristi (Perjamuan Kudus) dan Pelayanan Kristiani.rpecahan terjadi ,segera mulai
pula usaha- usaha untuk memulihkan kesatuan yang telah di doakan oleh kristus.dan kesatuan
itu di sebut okuimenis.

B. Sejarah Gerakan Oikumene Hingga Konperensi di Edinburg 1910

Kurun waktu 100 tahun atau satu abad bukanlah waktu yang singkat. Dalam perspektif
sejarah geeja, Abad 20 dipandang sebagai suatu abad yang penting sebab terjadi banyak
dinamika gereja yang pentig dan menjadi tonggak bagi perkembangan gereja selanjutnya di
tengah dunia. Sejarah Gerakan Oikumene dunia yang dimulai dari peristiwa Edinburgh 1910
hingga bermuara pada terbentuknya Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) merupakan
bagian dari sejarah gereja yang penting dalam perkembangan Kerkistenan di dunia. Sejarah
Gerakan Oikumene hendaknya dapat diingat bukan hanya sebagai suatu “arsip” yang
tersimpan rapi bahkan yang lama-kelamaan menjadi usang, namun hendaknya dapat juga
dilihat sebagai suatu fondasi bagi upaya menjadi gereja-gereja yang bersatu di atas
kepelbagainnya sebagai bagian dari tubuh Kristus yang saling melengkapi dengan Kristus
sendiri sebagai kepalaNya. Sejarah panjang Gerakan Oikumene bukan hanya terjadi pada
masa lampau saja di abad 20, namun bagi orang Kristen pada masa kini, di abad 21 gerakan
oikumene tetap relevan untuk terus diwujudnyatakan sebagai panggilan gereja di tengah
dunia.

Yang menghadiri konperensi di Edinburg adalah wakil-wakil dari organisasi-organisasi


pekabaran Injil dan juga dari Gereja Anglikan. Itu berarti bahwa para peserta, yang berjumlah
6

lebih dari 1200 orang (hanya 17 dari gereja-gereja muda di lapangan pekabaran Injil), tidak
hadir sebagai orang perorangan tetapi atas nama organisasi-organisasi yang mereka wakill.
Konferensi Edinburgh adalah konferensi studi dan konsultasi untuk memanas sejumlah
persoalan yang timbul di lapangan pekabaran Injil. Soal-soal yang sensitif dihindari, seperti
soal-soal yang menyangkut teologi dan tata gereja. Oleh sebab itu di kemudian hari didirikan
Gerakan Faith and Order. Pokok-pokok yang dibahas di Edinburg adalah:

1. Pekabaran Injil di seluruh dunia


2. Gereja di lapangan pekabaran Injil
3. Pendidikan dan pengkristenan
4. Berita Kristen dan agama-agama bukan-Kristen
5. Persiapan para pekabar Injil
6. Hubungan dengan pangkal di dalam negeri (homebase)
7. Hubungan dengan pemerintah
8. Kerjasama dan keesaan

Disepakati untuk menunjuk suatu Continuation Committee (Panitia Penerus, Panitia yang
melanjutkan) yang diberi tugas meneliti kemungkinan-kemungkinan untuk membentuk suatu
Panitia Pekabaran Injil Internasional. Keputusan ini di kemudian hari ternyata berarti langkah
awal di sejarah oikumene, sehingga Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910
dilihat sebagai saat kelahiran gerakan oikumenis. Walaupun konferensi pekabaran Injil
internasional di Edinburgh bukan yang pertama, melainkan yang keempat, namun maknanya
jauh lebih besar dari ketiga konferensi yang sebelumnya karena para peserta rela untuk
memberi bentuk konkrit kepada kerjasama di bidang pekabaran Injil dalam suatu wadah yang
bersifat permanen.2 Konferensi di Edinburgh memberikan suatu ciri baru kepada persekutuan
orang-orang Kristen. Pengikut-pengikutnya mewakili hampir seluruh umat Kristen pada
waktu itu. Mereka berasal dari berbagai-bagai bangsa, suku-bangsa, bahasa dan keyakinan
gerejawi. Itu yang membedakan konperensi di Edinburg dengan konperensi-konperensi lain
yang diadakan sebelumnya. Dalam pidato pembukaannya John Mott katakan, bahwa
pengikut-pengikut konferensi, yang berasal dari berbagai-bagai bangsa, suku-bangsa dan
persekutuan datang ke Edinburgh untuk mewujudkan kesatuan mereka dalam Kristus.3

C. Sejarah Gerakan Oikumene pasca Edinburg Sampai Terbentuknya Dewan


Gereja-gerejaSedunia

Konferensi Edinburgh berjalan dengan baik dan memberikan sumbangan besar bagi
perkembangan gerakan ekumene karena beberapa hal berikut ini:
Pertama, para peserta konferensi adalah wakil-wakil atau utusan-utusan Badan-Badan
Pekabaran Injil yang menghadiri konferensi bukan atas namanya sendiri. Karena itu,
keputusan-keputusan yang diambilnya mengingatkan Badan Pekabaran Injil yang
diwakilinya. Kedua, masalah-masalah yang dibicarakan dalam konferensi adalah masalah-

2
Dr. Christian de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020), 3 – 13.
3
Dr. J. L. Ch. Abineno, Oikumene dan Gerakan Oikumene, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 32 – 35.
7

masalah aktual dan mengenai hal-hal yang dihadapi bersama dalam bidang Pekabaran Injil.
Hasilnya sangat nyata dalam rumusan strategi dan rencana di bidang Pekabaran Injil. Hal-hal
tersebut antara lain, Pekabaran Injil kepada masyarakat bukan Kristen, pendewasaan jemaat,
perlengkapan para Pekabar Injil, tugas pendidikan para Pekabar Injil dan pemupukan kerja
sama untuk kesatuan. Ketiga, konferensi tidak membahas hal-hal yang memancing
perdebatan panjang, misalnya yang berkaitan dengan Lembaga Iman dan tata
Gereja. Keempat, masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam konferensi disalurkan dan
dilanjutkan di dalam wadah kesatuan. Wadah kesatuan ini disebut Dewan Misi Internasional
(International Missionary Council).
Konferensi di Edinburgh semakin menumbuhkan semangat Gereja-Gereja Protestan dalam
membangun kesatuan Gereja.  Kemajuan ini ditandai dengan dibentuknya secara resmi
Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (World Council of Churches, WCC) pada tanggal 23 Agustus
1948.  Dewan Gereja Dunia adalah sebuah persekutuan gereja-gereja yang mengakui Tuhan
Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat sesuai dengan Alkitab, dan berusaha untuk
memenuhi panggilan bersama untuk kemuliaan kepada Allah yang satu: Bapa, Anak dan Roh
Kudus.

D. Tokoh-tokoh serta Pemikirannya dari Gerakan Oikumene di Dunia

Setiap Tokoh-tokoh memiliki pemikiran yang berbeda satu sama lain dikarenakan memiliki
konteks yang berbeda dan bahkan masa periode waktu yang tak sama, tapi dengan segala
perbedaan yang di miliki bisa dikatakan semuanya memiliki satu tujuan yang sama yaitu mau
menjawab segala kebutuhan dan pertanyaan dari jemaat melalui pengalaman iman
spiritualitas mereka. Beberapa tokoh serta pemikirannya, ialah :

- Nathan Soderblom mempunyai gagasan untuk untuk mendirikan suatu dewan


gereja-gereja dimulai sejak akhir Perang Dunia Pertama. Semangat untuk
mendirikan dewan gereja-gereja sejajar dengan semangat untuk mendirikan Liga
Bangsa-bangsa (1919/1920). Dirasa perlu untuk mendirikan suatu persekutuan
gereja-gereja sebagai “jiwa” untuk kerjasama antara bangsa-bangsa.
- William Temple dari gerakan Faith and Order, yang mengusulkan pada tahun
1935 untuk membentuk suatu dewan oikumenis internasional gereja-gereja, dan
Joseph Oldham pada tahun 1936 mengusulkan dalam rapat untuk
memanfaatkan keadaan juga membicarakan masa depan gerakan oikumenis, yang
disepakati membentuk panitia dari wakil gereja-gereja yang berjumlah 33 orang.
Pada tanggal 8-10 Juli 1937 di London, disepakati mendirikan World Council of
Churches (WCC) yang mewakili gereja-gereja dan memperhatikan dalam banyak
bidang.
- Erasmus, Pendidik Okiumenis. Erasmus menjembatani dunia klasik Yunani-
Romawi dan dunia Kristen. Seorang pendidik yang kuliahnya berupa karya-karya
berseru kepada pemimpin dan umum agar memilih jalan salehdan rasional sambil
menjauhkan diri dari setiap macam pikiran dan tindakan yang berlebihan. Dia
berbicara kebajikan seharusnya diamalkan warga Kristen, meniru kelakuan
Yesuskhususnya kebajikan-Nya, rendah hati, lemah lembut, murah hati, kasih,
8

damai, kerelaan mengampuni serta kebebasan berkorban demi keselamatan


sesama-Nya. Dalam peranannya sebagai pendidik oikumenis, Erasmus mendidik
melalui usahanya memperoleh teks Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani yang
paling asli dan menjelaskan maknanya kepada jemaat. Erasmus tidak hanya peduli
dalam pelajaran saja tapi ia juga peduli terhadap kaum perempuan dalam usaha
hak mereka, pernikahan, kaum Kristen dan upacara gereja yang terkadang
dianggap mutlak oleh beberapa pihak.
- John Releigh Mott adalah seorang tokoh besar dalam kegiatan penginjilan di
kalangan mahasiswa di berbagai universitas di Amerika Serikat pada akhir abad
ke-19 dan permulaan abad ke-20. Ia juga dikenal sebagai seorang tokoh
pergerakan oikumene di dunia yang tiada tandingnya. Mott memulai kegiatan
pekabaran Injil.Sebenarnya Mott ke Cornell agar ia dapat bekerja pada pekerjaan
duniawi atau meneruskan usaha ayahnya. Di Cornell ia segera terpilih menjadi
wakil ketua Young Men Christian Association (YMCA) Cabang Cornell. Dia giat
memberitakan Injil di kalangan mahasiswa dan memimpin kebaktian di penjara-
penjara.Pada tahun 1888 ia menyelesaikan studinya di Cornell.

E. Latar belakang Gerakan Oikumene di Indonesia

Sejarah gereja di Indonesia, sejarah DGI, adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia pada
umumnya.  Sejarah gerakan ekumene berusaha agar semua gereja-gereja di seluruh dunia
bersama-sama menyatakan ke-Esa-an mereka dalam satu Tuhan melalui pelayanan dan
kesaksian bersama di tengah-tengah dan untuk umat manusia yang sedang menunjukkan
perbedaan-perbedaan, pertentangan-pertentangan dan perpecahan-perpecahan. Tujuan gereja-
gereja yang menjadi anggota-anggota DGI ialah mendirikan gereja yang Esa di
Indonesia. Dengan memasuki sejarah bersama ini, maka keragaman latar belakang teologis,
denominasi, suku, bahasa, tradisi budaya dan tradisi gerejawi tidak lagi dilihat dalam
kerangka perbedaan yang memisahkan melainkan mulai diterima sebagai harta yang berharga
dalam memperkaya kehidupan gereja-gereja dalam suatu proses meng-esa. Seiring dengan
proses ini, DGI sebagai wadah berusaha untuk menghimpunkan gereja-gereja anggotanya
dalam rangka menjawab persoalan kehidupan bergereja maupun persoalan kebangsaan
(dalam lingkup Negara Republik Indonesia). Gerakan ekumene di Indonesia, masih diwarnai
dengan peranan dari orang-orang Kristen yang berasal dari luar. Namun sejak abad ke-19
mulai muncullah para tokoh-tokoh/orang-orang Kristen Indonesia sendiri yang mulai
menyadari dan mengambil bagian secara aktif dalam gerakan ekumenis. perumusan yang
dilakukan dalam Sidang Raya ke IX di Tomohon pada tahun 1980 dan memutuskan:
Supaya empat tahun mendatang ini sungguh-sungguh dimanfaatkan DGI dan Gereja-gereja
Anggota untuk secara bersama-sama menyusun dan melaksanakan program-program yang
konkrit secara bertahap, di tingkat setempat, sewilayah dan nasional guna mempersiapkan
pembentukan satu Gereja Kristen Yang Esa di dalam Sidang Raya X DGI. Pada akhirnya
umat Allah mulai menyadari bahwa Keesaan Gereja itu bukan hanya sekedar Keesaan Rohani
tapi juga harus secara kelembagaan, sehingga keesaan rohani itu menjadi kesaksian kepada
dunia. Juga disadari bahwa keesaan bukanlah keseragaman dan bukan pula keterpisahan
melainkan keragaman dalam kebersamaan.
9

DGI didirikan pada tanggal 25 Mei 1950. Tujuan DGI adalah pembentukan gereja Kristen
yang esa di Indonesia. Yang menjadi persoalan bukan keesaan sendiri, tetapi bentuknya.
Dipinjam kiasan-kiasan yang dipakai pada sidang Sinode Am, yaitu mengenai bentuk jeruk
(federasi) atau mangga (keesaan total). Pada 1976 ditulis suatu konsep untuk sinode
oikumenis. Sekaligus dikatakan bahwa keesaan seharusnya keesaan dalam kepelbagaian,
secara konkrit federasi. Dikatakan juga bahwa tingkat regional penting untuk mewujudkan
keesaan yang nyata. Pada Sidang Raya X di Ambon akhirnya beberapa rencana dapat
terwujud, seperti penetapan Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM; sudah
diharapkan oleh Sidang RayaIV, 1960) dan Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK), akan
tetapi gereja yang esa tetap belum terwujud. Perubahan nama dari Dewan Gereja-Gereja di
Indonesia menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, dimaksudkan, menurut Tata
Dasar baru yang ditetapkan di Ambon, untuk meningkatkan hubungan antara gereja-gereja di
Indonesia.Beberapa pokok penting untuk tugas panggilan gereja-gereja dipikirkan dalam
rangka DGI/PGI (gereja dan pembangunan, gereja dan perubahan sosial), yang mungkin
tidak begitu dipikirkan dalam gereja-gereja anggota.Dalam hal ini DGI/PGI menjadi pelopor
dan pendorong untuk gereja-gereja anggota.

F. Sejarah Lahirnya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

Pada tanggal 6-13 November 1949 diadakan: ‘Konferensi Persiapan Dewan Gereja-gereja di


Indonesia.” Seperti diketahui sebelum Perang Dunia II telah diupayakan mendirikan suatu
Dewan yang membawahi pekerjaan Zending; namun karena pecahnya PD II maksud tersebut
diundur. Setelah PD II berdirilah tiga buah Dewan Daerah, yaitu: “Dewan Permusyawaratan
Gereja-gereja di Indonesia, berpusat di Yogyakarta (Mei 1946) ; “Majelis Usaha bersama
Gereja-gereja di indonesia bagian Timur”, berpusat di Makasar (9 Maret 1947) dan “Majelis
Gereja-gereja bagian Sumatera” (awal tahun 1949), di Medan.Ketiga dewan daerah ini
didirikan dengan maksud membentuk satu Dewan Gereja-gereja di Indonesia, yang
melingkupi ketiga dewan tersebut. Pada tanggal 21-28 Mei 1950 diadakan Konferensi
Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), bertempat di Sekolah Theologia
Tinggi (sekarang Sekolah Tinggi Teologi Jakarta).DGI didirikan pada tanggal 25 Mei 1950.
Tujuan DGI adalah pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia. Ketika gereja-gereja
di Indonesia mendeklarasikan berdirinya DGI (kini PGI), 25 Mei 1950, gerakan oikumene
sudah berjalan di berbagai tempat di Indonesia. Sebelumnya juga sudah ada gerakan bersama
Gereja-gereja di Sulawesi Utara, Gereja-gereja di Sumatera, Gereja-gereja di Jawa dan
sebagainya.

Ketika DGI dibentuk tahun 1950, dengan tujuan “Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia” belum ada bayangan atau gambaran mengenai Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia.Pada tanggal 25 Mei 1950, Anggaran Dasar DGI disetujui oleh peserta konferensi
dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia
(DGI) dalam sebuah “Manifes Pembentukan DGI”. Demikianlah DGI telah menjadi wadah
berhimpun Gereja-gereja di Indonesia.Anggotanya pun semakin bertambah dari waktu ke
waktu. Dengan makin berkembangnya jumlah anggota, maka makin menunjukkan semangat
10

kebersamaan untuk menyatu dalam gerakan oikoumene di Indonesia. Dalam wadah PGI,


gereja-gereja di Indonesia yang memiliki keragaman latar belakang teologis, denominasi,
suku, ras, tradisi budaya dan tradisi gerejawi, tidak lagi dilihat dalam kerangka perbedaan
yang memisahkan, melainkan diterima sebagai harta yang berharga dalam memperkaya
kehidupan gereja-gereja sebagai Tubuh Kristus. Seiring dengan perkembangan dan semangat
kebersamaan itu pulalah yang turut mendasari perubahan nama “Dewan Gereja-gereja di
Indonesia” menjadi “Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia” sebagaimana diputuskan pada
Sidang Raya X di Ambon tahun 1984. Perubahan nama itu terjadi atas pertimbangan: “bahwa
persekutuan lebih bersifat gerejawi dibanding dengan perkataan dewan, sebab dewan lebih
mengesankan kepelbagaian dalam kebersamaan antara gereja-gereja anggota, sedangkan
persekutuan lebih menunjukkan keterikatan lahir-batin antara gereja-gereja dalam proses
menuju keesaan”.

G. Sejarah Lahirnya Persekutuan Gereja Lembaga Injili Indonesia (PGLII) dan


PersekutuanGereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI)

Dalam sejarah PGLII,  tolak ukur utama dalam pergumulan untuk mewujudkan gerakan
bersama kaum injili di Indonesia adalah “persekutuan.” Kata kunci ini menjadi acuan awal
dari gerakan, yang oleh karenanya sejak awal tahun 1969 tokoh-tokoh injili di Indonesia
ketika membidani lahirnya gerakan dan wadah besar dimulai dengan kegiatan yang
kelihatannya kecil tetapi memiliki “power” yang sangat besar dan luar biasa, yaitu
“persekutuan.”
Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta di Indonesia, dua gerakan misi Kristen
modern dicirikan oleh dua pola pendekatan, yang satu oikumenikal dan yang lainnya
evangelical. Gerakan misi ini tentunya sangat berpengaruh bagi gerakan misi di Indonesia
yang akhirnya juga terpolarisasi pada dua gerakan misi, yaitu oikumenikal.

Gereja pertama di Indonesia diberi nama Gereja Sion. Gereja ini dikenal juga dengan nama
Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis berada di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan
Mangga Dua Raya. Peresmian gedung gereja dilakukan pada hari Minggu, 23 Oktober 1695
dengan dihadiri gubernur jenderal Willem van Outhoorn dan pemberkatan oleh Pendeta
Theodorus Zas. Khusus untuk gereja-gereja dari aliran ritual Pentakosta kadang-kadang
digolongkan terpisah dari kelompok gereja-gereja Protestan karena perbedaan ritual dan
pengakuan iman, meskipun dari sejarahnya gereja Pentakosta muncul dari denominasi-
denominasi ajaran Protestan.

Tokoh-tokoh injili menjadikan “persekutuan“ sebagai wahana dan wacana untuk :

 Membahas beban bersama dalam bidang pekabaran Injil dan misi di Tanah Air.
 Menggumuli kebutuhan hendak suatu wadah bagi Gereja, lembaga dan badan misi
Injili di Indonesia.
 Menampung aspirasi dari Gereja, yayasan dan badan-badan misi di Indonesia.
 Bersekutu dan bersama-sama memberitakan Injil.
11

Tokoh-tokoh yang terlibat secara intens dalam pergumulan proses lahirnya PII yaitu sebagai
berikut :

- Pdt. DR. P. Octavianus,


- Pdt. DR. Ais. M. O. Pormes,
- Pdt. G. Neigenfrad,
- Pdt. W. Hekmann,
- Brigjend. (Purn.) N. Huwae,
- Philip Leo,
- S. O. Bessie,
- Pdt. DR. HL. Senduk,
- Ev. S. Damaris,
- Pdt. Ernest Sukirman
- Pdt. Andreas Setisawan.

PGLI memliki dua jenis keanggotaan, yakni :Bagian Penuh dan Bagian Associate.

H. Perkembangan Pikiran Keesaan Gereja Sekarang Ini

Gerakan Oikumene yang berperan untuk menghubungkan Gereja yang terpecah supaya
bersatu kembali terus berkerja dengan harapan agar semua gereja saling mendukung di
dalam hidup pelayanannya masing-masing. Hal ini menjadi tugas hakiki orang kristen di
masa kini baik sebagai individu maupun kelompok mengingat kesatuan gereja erat
hubunganya dengan iman orang-orang percaya, karenanya kesatuan yang terwujud di dalam
gereja-gereja adalah perwujudan kesatuan Kristus dengan orang-orang percaya. Itulah
sebabnya, upaya penyatuan ini menjadi tugas panggilan kita semua. Jadi ini bukan tugas
gereja secara organisatoris. Salah satu cara untuk membangkitkan semangat tugas usaha
penyatuan gereja tersebut, adalah dengan menyadari bahwa kesatuan gereja bukan hanya
merupakan suatu anugerah Allah yang diberikan kepada gerejanya : satu Allah, satu iman,
dan satu baptisan (Ef. 4:5), melainkan adalah suatu tugas dan tanggung jawab yang di
dalamnya orang percaya harus ambil bagian dan berperan  aktif untuk mencapai kesatuan
yang dimaksud. Dengan demikian peran serta umat Tuhan sangat diharapkan sebagai wujud
nyata panggilan Kristus bagi umatNya. Gereja harus hidup dan bertumbuh melalui kesatuan
orang-orang percaya di dalam Kristus secara konkrit. Hidup dan bertumbuh, tidak hanya
dalam kalangan orang-orang percaya dalam satu tempat atau gereja, tetapi juga harus nyata
dengan orang-orang lain.
Dengan demikian usaha oikumene untuk menampakkan kesatuan gereja yang sudah terlanjur
terpecah-pecah menjadi tugas semua orang percaya, yang mengasihi Yesus sebagai Raja dan
Kepala Gereja. Jika pengorbanan Kristus benar-benar nyata dalam usaha memperdamaikan
dunia sehingga menjadi satu adanya, maka demikian juga gereja harus benar-benar nyata
dalam keesaan yang sesungguhnya, sebagai wujud nyata kesatuan antara Allah dengan
12

manusia yang sudah dipersatukan oleh Tuhan. Sehingga keesaan gereja dapat dinyatakan
melalui kesatuan dalam panggilan ibadah, kesaksian dan pelayanan gereja untuk
menyampaikan Injil Kerajaan Allah yang menyelamatkan manusia secara utuh dan
mempersatukan umat manusia seluruhnya.

I. Nilai-nilai Yang Sesuai Dengan Gerakan Oikumene di Indonesia


1. Kesatuan dan Iman Kristen
Sama seperti kita, dalam hidup kepercayaan kita, harus bertumbuh dari panggilan
kita kepada pemenuhan panggilan. Demikian pula kita sebagai Gereja harus
bertumbuh dari kesatuan kita dalam Kristus kepada kesatuan yang nampak: bukan
saja nampak di antara kita (nampak di dalam), tetapi juga nampak kepada orang-
orang lain (nampak ke luar). Hanya dengan jalan itu saja orang dapat percaya
kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat yang diutus oleh Allah. Karena itu
usaha oikumene, yaitu usaha untuk menampakkan kesatuan Gereja-Gereja yang
terpecah-pecah bukan saja usaha dari pemimpin-pemimpin Gereja dan dari "tokoh
tokoh oikumene", tetapi dari semua anggota Gereja sebagai akta ketaatan mereka
kepada Kristus, Tuhan Gereja.
2. Kesatuan dan Ajaran yang Benar
Hal-hal ini, yaitu kesatuan, pengutusan, kebenaran, pengudusan dan kasih tidak
dapat kita pisah-pisahkan satu dari yang lain kesatuan bukan saja erat
berhubungan dengan pengutusan, kesatuan juga erat berhubungan dengan
kebenaran, dengan pengudusan dan dengan kasih. Karena itu tugas gerakan
oikumene ialah bukan saja membangunkan Gereja-Gereja untuk berusaha
menampakkan kesatuan mereka, tetapi juga untuk berusaha membaharui diri
mereka dalam pengakuan, kehidupan dan pelayanan mereka.
3. Kesatuan dan Keanekaragaman
Keanekaragaman itu maksudnya: keaneka-ragaman kharisma yang Gereja-Gereja
peroleh dari Tuhan Gereja untuk hidup dan pelayanan mereka di dunia tidak
dianggap oleh gerakan oikumene sebagai suatu kerugian, tetapi sebaliknya sebagai
suatu kekayaan. Karena itu ia tidak berusaha menciptakan organisasi yang
seragam atau tata ibadah yang seragam atau bentuk kehidupan Jemaat yang
seragam, dan lain-lain untuk Gereja-Gereja. Yang ia buat ialah: memimpin
Gereja-Gereja yang terpecah pecah (oleh ajaran, tradisi, dan lain-lain) itu ke
dalam percakapan satu dengan yang lain, sehingga dengan jalan itu yaitu dengan
jalan mendengarkan bersama Firman Allah di bawah pimpinan Roh Kudus
mereka mudah mudahan, oleh kesaksian dan pelayanan mereka, dapat
memberikan bentuk kepada kesatuan mereka.
4. Kesatuan dan Perpecahan
Salah satu bahaya yang terus-menerus mengancam kesatuan Gereja dalam hidup
dan pelayanannya ialah polarisasi dan pertentangan. Mengapa? Karena polarisasi
dan pertentangan - yang timbul karena rupa-rupa sebab hampir selalu lebih
mementingkan diri dan prestise sendiri daripada keutuhan dan keselamatan
Gereja, sehingga kalau tidak lekas-lekas dicegah atau diatasi, polarisasi-polarisasi
13

dan pertentangan-pertentangan yang demikian dapat mendatangkan bencana bagi


Gereja.

J. Lima Dokumen Keesaan Gereja

Ketika DGI dibentuk tahun 1950, dengan tujuan ”Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia” belum ada bayangan atau gambaran mengenai Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia. Baru kemudian dikembangkan pemahaman dan gambaran mengenai apa yang
dimaksud dengan Gereja Kristen Yang Esa tersebut. Dalam proses pengembangan
pemahaman dan gambaran tersebut dari satu Sidang Raya ke Sidang Raya berikutnya,
semakin dirasakan adanya semacam ketegangan antara dua kecenderungan:

- Kecenderungan untuk mengutamakan ”keesaan rohani dalam Kristus”, dan karena itu
enggan membahas halhal yang menjurus pada penyatuan secara struktural
organisatoris.
- Kecenderungan untuk mengutamakan keesaan struktural organisasi, dan karena itu
kurang sabar terhadap segala perbedaan dan sikap mempertahankan identitas diri
masing-masing.

Mengikuti perkembangan gerakan oikoumene sedunia, DGI pada periode 1950–1971


berusaha mewujudkan keesaan gereja secara struktural, dengan menekankan aspek-aspek
keseragaman ajaran (pemahaman iman), liturgi dan tata gereja. Pendekatan fungsional
dikembangkan pada tahun 1970-an, yang antara lain bermuara pada penekanan keragaman
dalam kebersamaan (keesaan dalam kepelbagaian gereja), dan pentingnya menetapkan
agenda panggilan bersama, pemahaman iman bersama, dan penerimaan terhadap perbedaan
antargereja, serta dukungan kelembagaan oikoumenisnya.

K. Konteks Kehidupan Beroikumene di Indonesia

Latar Belakang situasi beroikumene di Indonesia dengan beberapa latar belakang, yaitu latar
belakang pertama, Agama Kristen diduga sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke-7, berupa
kekristenan Nestorian yang berkembang dari Palestina ke India dan Cina. Tidak ada
kesinambungan dengan gereja yang kemudian disebarkan oleh para rohaniwan Katolik
Portugis dan Spanyol pada abad ke-16, dan kemudian oleh kalangan Protestan Belanda sejak
abad ke-17.Latar bekalang kedua gereja-gereja Protestan di Indonesia adalah pekerjaan
badanbadan zending, khususnya dari Negeri Belanda (Calvinis) dan dari Jerman (Lutheran),
yang masuk ke Indonesia sejak abad ke-19. Latar belakang ketiga adalah kekristenan
denominasi yang umumnya berasal dari Amerika Utara (dan Inggris), yang umumnya masuk
pada abad ke-20. Jemaat-jemaat Pentakosta, Kemah Injil, Metodis, Adven, Bala Keselamatan
termasuk pada latar belakang ini. Dengan pengecualian Kemah Injil dan BK, gereja-gereja
denominasi mulanya merupakan fenomena kota. Latar belakang historis gereja-gereja
Indonesia yang demikian memperlihatkan bahwa sejak awal gereja-gereja bertumbuh sendiri-
sendiri di tengah-tengah masyarakat yang relatif terisolasi satu dengan yang lain. Baru
kemudian, oleh pengaruh pergerakan nasional, muncul semangat nasionalisme, yang turut
14

mempengaruhi cita-cita untuk menjadi gereja yang esa di tengah-tengah bangsa Indonesia.
Perkembangan itu memperlihatkan bahwa gerakan ekumene bukan dalam kerangkan
rekonsiliasi, sebagaimana di Eropa dan Amerika, melainkan memuarakan bersama sejarah
gereja-gereja dalam suatu visi “gereja yang esa di Indonesia”. DGI Menjadi PGI adalah usaha
untuk bekerjasama di kalangan zending sudah berlangsung sejak tahun 1880- an, dan menjadi
lebih gencar sejak konferensi pertama pekabaran Injil sedunia (IMC) tahun 1910 di
Edinburgh. Sesuai perkembangannya, gerakan ekumene di Indonesia mula-mula diarahkan
untuk kerjasama antara badan-badan zending. Setelah beberapa gereja berdiri, digagas
kelembagaan ekumenis beranggotakan badan-badan zending dan gereja. Tetapi akhirnya pada
bulan Mei 1950 dibentuk Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI). Pembentukan DGI
dimotori oleh para pemimpin gereja dan zending dari Indonesia bagian Timur, yang
melanjutkan usaha membentuk suatu wadah ekumenis pada akhir tahun 1930-an.

L. Kegiatan-kegiatan Oikumenis Dalam Pelayanannya di Tengah Gereja dan


Masyarakat

Oikumene adalah suatu sikap iman yangmendorong gereja-gereja untuk berjalan bersama-
sama pada satu jalan dan arah yang sama.Pada hakekatnya gereja itu sudah satu dalam
Kristus yang adalah kepala gereja. Dengankesadaran ini mendorong gereja-gereja berjalan
bersama-sama pada satu jalan, menampakkankesatuan gereja Yesus Kristus di dunia ini.
Pemahaman ini masih bersifat umum, untuk ituselanjutnya perlu penelahan lebih khusus dari
perspektif Alkitab.

Berbagai Kegiatan-kegiatan Oikumene :

1. Melaksanakan Natal bersama dalam satu wilayah.


2. Membuat Kumpulan Para wanita untuk latihan koor.
3. Membuat kumpulan muda-mudi gereja.
4. Membuat sebuah perlombaan Cerdas Cermat Alkitab.

Kegiatan PMK Oikumene :

- Ibadah rutin seminggu sekali.


- Doa pagi.
- Fellowship.
- Bakti Sosial.
- Ibadah Natal.
- Ibadah Paskah.

BAB III

PENUTUP
15

A. Refleksi Teologis Oikumenis

Bertahun-tahun kemudian, gereja-gereja Indonesia yang tergabung dalam PGI (dahulu DGI)
berusaha mencapai tujuan dasar PGI, yaitu mendirikan gereja Kristen di Indonesia. Tujuan ini
diumumkan 35 tahun lalu. Dari segi waktu, waktu yang cukup lama telah berlalu, namun
sampai saat ini tujuan yang diinginkan belum juga datang. Apa yang telah berhasil dibahas
dan dirumuskan dalam sebuah piagam tidak mudah untuk dicapai dalam kenyataan.
mengapa? Jika dilacak, berbagai alasan bisa dikemukakan. Di samping masih terdapat
perbedaan pendapat mengenai Oikumene di antara gereja-gereja, juga ada keengganan dan
keraguan terhadap motivasi dari gerakan ini. Oleh sebab itu mungkin perlu dikaji kembali
akan tujuan yang sudah dicanangkan itu, apakah itu masih relevan, terlebih lagi apakah itu
sesuai dengan Alkitab. Gerakan Oikumene kemudian mencoba memahaminya dari kaca mata
Alkitab, yang diharapkan nantinya akar, membantu gereja sehingga mempunyai pandangan
yang utuh dan dapat menentukan sikap dengan tepat. Kesatuan di antara orang percaya/gereja
bukan merupakan tujuan akhir, melainkankesatuan itu mempunyai tujuan untuk
pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh Kristus. Jadi keesaan itu dapat terwujud
dalam kepelbagaian karunia. Kesatuandalam iman dibutuhkan untuk menuju kedewasaan
yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.Dalam perwujudan keesaan, gereja perlu pengenalan
yang lebih mendalam tentang Kristus,supaya dapat bertumbuh bersama dan tetap diikat
dalam suatu pelayanan yang dihangatkandalam kasih Kristus, yang memungkinkan
pertumbuhan setiap anggota menuju kedewasaan iman.

B. Kesimpulan

Semenjak menjadi gerakan persekutuan gereja di awal abad ke-20, Oikumene terus
melakukan berbagai upaya untuk dapat meningkatkan kesatuan dan persatuan antarumat
kristiani di seluruh dunia. Gerakan ini bersifat interdenominasi sehingga merangkul seluruh
gereja dan lembaga Kristen di bawah keyakinan bahwa Tuhan memperlakukan umat kristiani
sebagai satu umat yang sama, tanpa kecuali.Meski tidak semua kelompok Kristen
memproklamasikan diri sebagai anggota gerakan Oikumene, gerakan ini tetap berperan
sebagai agen negosiasi di antara beragam denominasi gereja di berbagai belahan dunia.
Dalam gerakan Oikumene ini biarlah semua yang dilakukan hanya berpusat pada Kristus
demi keesaan gereja. Sehingga gerakan Oikumene ini terus berkembang, bertumbuh dan
berbuah di dalam Kristus. Tetap melakukan apa yang baik sesuai dengan kehendak-Nya dan
kasih sukacita terus ada dalam gerakan Oikumene ini.
16

DAFTAR PUSTAKA

DarmaputeraEka,Berbedatapibersatu,(Jakarta:BPKGunungMulia,1974)

Dr. de Jonge Christian, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020)

Dr. J. L. Ch. Abineno, Oikumene dan Gerakan Oikumene, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1984)

Anda mungkin juga menyukai