Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“ PANDANGAN TERHADAP GEREJA SAAT INI “

DISUSUN OLEH
NAMA : DEBORA PANJAITAN ( 23010016 )

DOSEN PENGAMPU
CHARLES LUMBANTOBING S.TH

AKADEMIK KEPERAWATAN HKBP BALIGE


TAHUN AJARAN 2024/2025
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kasih dan karunia-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah mengenai “ PANDANGAN TERHADAP GEREJA SAAT
INI “. Penulisan makalah ini adalah salah satu tugas untuk mata kuliah Agama.
Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, terimakasih.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………ii
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………………1
I. Latar Belakang………………………………………………………………………..1
II. Rumusan Masalah…………………………………………………………………….1
III. Manfaat……………………………………………………………………………….1
BAB 2 PEMBAHASAN…………………………………………………………………….2
1. Definisi Gereja……………………………………………………………………….2
2. Apa yang menjadi tantangan gereja masa kini............................................................4
3. Apa saja keterlibatan gereja dalam menghadapi persoalan kemanusiaan...................5
4. Bagaimana sikap gereja dalam menghadapi kemiskinan di tengah Masyarakat…….5
BAB 3 PENUTUP…………………………………………………………………………..8
1) Kesimpulan…………………………………………………………………………..8
2) Saran………………………………………………………………………………….9
3) Referensi………...……………………………………………………………………9

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Gereja merupakan bangunan ibadat umat kristiani yang mewadahi kegiatan


spiritual bagi jemaatnya. Berbagai bentuk desain gereja telah tercipta sejak berabad-
abad silam dan beberapa diantaranya sekarang sudah menjadi aset sejarah. Seiring
berkembangnya agama kristiani, bentuk dari bangunan gereja menjadi makin variatif.
Bangunan gereja di eropa sangat identik dengan gaya klasik, eklektik maupun
modern.

Sedangkan di Indonesia dimana perkembangan umat kristiani (khususnya


katholik) yang dibawa oleh Belanda pada era kolonial juga masih membawa ciri eropa
khususnya penerapan ekletisme (gothic). Secara garis besar ada 3 hal yang diterapkan
oleh arsitek-arsitek Belanda di dalam merancang Gereja Katholik di Indonesia.
Pertama, sepenuhnya dalam arsitektur Eropa baik klasik, ekletik maupun modern.
Kedua, campuran antara arsitektur Barat dengan memasukkan elemen-elemen
tradisional dimana elemen Barat lebih menonjol. Ketiga, campuran antara arsitektur
Barat dengan elemen-elemen tradisional dimana elemen tradisional lebih menonjol.

II. Rumusan Masalah

1) Apa yang menjadi tantangan gereja masa kini?


2) Apa saja keterlibatan gereja dalam menghadapi persoalan kemanusiaan?
3) Bagaimana sikap gereja dalam menghadapi kemiskinan di tengah Masyarakat?

III. Manfaat

1) Memberikan Suatu pemahaman yang akurat tentang keberhasilan keberhasilan


dan kegagalan kegagalan gereja masa lalu.
2) Sebagai sumbangan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh gereja
sekarang dan menguji pemikiran pemikiran yang terjadi dalam pemahaman
teologis

1
BAB 2
PEMBAHASAN

Definisi gereja
Kata Gereja berasal dari kata dalam bahasa Yunani “Ekklesia” yang didefinisikan
sebagai “perkumpulan” atau “orang-orang yang dipanggil keluar.” Akar kata ”Gereja” tidak
berhubungan dengan gedung, tetapi dengan orang.
Menjadi ironis bahwa saat Saudara bertanya kepada orang mereka pergi ke gereja
mana, biasanya mereka akan mengatakan Baptis, Metodis, atau denominasi lainnya.
Seringkali mereka merujuk pada denominasi atau pada suatu bangunan.
Roma 16:5 berkata, “Salam juga kepada jemaat di rumah mereka...” Paulus merujuk pada
Gereja di rumah mereka, bukan pada gedung gereja, namun kumpulan orang-orang percaya.
Gereja itu tubuh Kristus. Efesus 1:22-23 mengatakan, “Dan segala sesuatu telah
diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai
Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang
memenuhi semua dan segala sesuatu.” Tubuh Kristus terdiri dari semua orang percaya, mulai
dari Pentakosta sampai Pengangkatan. Tubuh Kristus terdiri dari dua aspek:
Gereja universal/sedunia, yaitu Gereja yang terdiri dari semua orang yang memiliki
hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. 1 Korintus 12:13-14 mengatakan “Sebab dalam satu
Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang
merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.
Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota.”. Kita melihat
bahwa siapa pun yang percaya langsung menjadi bagian dari tubuh Kristus. Gereja Tuhan
yang sebenarnya bukanlah bangunan gereja atau denominasi tertentu. Gereja Tuhan yang
universal/sedunia adalah semua orang yang telah menerima keselamatan melalui iman di
dalam Yesus Kristus.
Gereja lokal digambarkan dalam Galatia 1:1-2, “Dari Paulus, seorang rasul, ... dan
dari semua saudara yang ada bersama-sama dengan aku, kepada jemaat-jemaat di Galatia.”
Di sini kita melihat bahwa di propinsi Galatia saat itu ada banyak gereja – apa yang kita sebut
sebagai gereja lokal. Gereja Baptis, gereja Lutheran, gereja Katolik, dan sebagainya bukanlah
gereja sebagaimana Gereja universal, namun hanyalah gereja lokal.
Gereja universal/sedunia terdiri dari mereka-mereka yang telah percaya pada Yesus untuk
keselamatan mereka. Anggota-anggota Gereja universal/sedunia ini sepatutnya mencari
persekutuan dan pembinaan dalam gereja lokal. Secara ringkas, gereja bukanlah bangunan
atau denominasi.

2
Menurut Alkitab, gereja itu Tubuh Kristus – setiap mereka yang telah menempatkan
iman kepada Yesus Kristus untuk keselamatannya (Yohanes 3:16; 1 Korintus 12:13). Dalam
gereja-gereja lokal terdapat anggota-anggota dari Gereja universal/sedunia (Tubuh Kristus).
Mengutip dari buku Teologi Pastoral dalam Beragam Sudut Pandang, Anton
Siswanto, Chandra Han, dan Denny Rope (2023:254), gereja yang misioner adalah gereja
yang melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus. Artinya, tidak ada pertumbuhan dalam
gereja apabila misi tidak dikerjakan.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa perkembangan pelayanan gereja
masa kini sudah tidak hanya sekadar sebagai rumah ibadah. Akan tetapi, juga diperuntukkan
sebagai kegiatan belajar.
Dengan kata lain, di dalam gereja, para jemaat akan dibina melalui berbagai kegiatan
gereja itu sendiri. Tentu saja kegiatan gereja ini merupakan bagian dari proses pengajaran,
baik yang bersifat umum maupun khusus. Salah satunya pengajaran PA (Pendalaman Alkitab)
Kategorial Remaja.
Saat ini gereja telah memiliki beberapa pelayanan kategorial yang menjadi wadah
pembinaan bagi warga gereja dalam keluarga dan masyarakat sesuai dengan kategori.
Tujuannya agar para jemaat dapat berperan aktif dalam pengembangan panggilan dan
pengutusan gereja secara utuh serta berkesinambungan.
Oganisasi Gereja akan berjalan dengan baik jika komunikasi antara jemaat dengan
pendeta bisa berjalan dengan baik, begitu juga dengan hubungan pendeta kepada guru huria
dan sintua atau bahkan yang lainnya bisa baik dan komunikasi mereka bisa berjalan dengan
baik maka setiap aturan dan juga setiap perencanaan kedepannya akan lanjar dan berjalan
dengan baik maka hubungan dalam Gereja itupun akan baik dan menghasilkan hasil yang
baik dalam suatu organisasi yaitu menjadi telan yang baik bagi Gereja-gereja lainnya. Akan
tetapi jika sebaliknya maka hasilnya juga akan sebaliknya juga, oleh karena itu dalam suatu
organisasi Gereja diperlukan komunikasi yang baik dan kerja sama yang baik anatara
pemimpin Gereja dengan jemaat agar mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan yang
diharapka Tuhan dari setiap manusia yang percaya kepada-Nya.

3
Apa yang menjadi tantangan gereja masa kini?

Dalam materinya, Pdt. Urbanus menyampaikan Gereja merupakan kumpulan orang


yang dipanggil keluar oleh Allah untuk menjadi “milik Allah” yaitu mereka yang dibeli
dengan harga yang mahal, yaitu oleh darah Kristus (I Kor.6:20; I Pet.1:19) dengan tujuan
yaitu melanjutkan pekerjaan Allah di bumi, menyediakan wadah/sarana serta melaksanakan
pelayanan kasih.
Dikatakan, mengingat Gereja adalah kumpulan orang-orang, maka Gereja perlu diatur
sedemikian rupa agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan tertib dan teratur (I Kor. 13 :
33,40). Karena itu, manajemen Gereja sangat perlu dalam penataan kehidupan menggereja,
sehingga memerlukan pemimpin Gereja yang merupakan pelayan, gembala atau hamba
Tuhan agar dapat menghidupkan jemaat, membuat mereka berperan serta dalam setiap
kegiatan, memperlengkapi jemaat agar mampu bersaksi dalam perkataan dan perbuatan.
Pdt. Urbanus menambahkan bahwa tantangan Gereja masa kini bukanlah hal yang
mudah karena, Pertama; Tantangan itu selalu mengalami perubahan. Kedua; kepekaan untuk
menentukan sikap dan pengambilan keputusan. Terhadap hal ini, Pendeta mengajak peserta
melihat beberapa tantangan yang dihadapi Gereja masa kini yaitu tantangan lingkungan,
sosial politik, teknologi, tantangan ilmu pengetahuan, serta tantangan kepercayaan atau
Agama.
Dari sejumlah tantangan tersebut, kata Pdt. Urbanus, maka ada 2 (dua) solusi dalam
mengatasi tantangan tersebut, yakni Pertama; Solidaritas. Solidaritas diantara Gereja-Gereja
Kristen sangat diperlukan mengingat kekhasan dan kesulitan yang dialami Gereja.
“Gereja-Gereja perlu saling memperhatikan dalam sikap keterbukaan dan saling bekerjasama
agar dalam keragaman dan perbedaan, kita tetap menjaga ikatan persekutuan persaudaraan
sebagai sesama ciptaan Tuhan. Solidaritas dapat mengantar kita kepada saling memberi,
menerima dan memahami untuk mendukung dalam kehidupan keimanan kita,” katanya.
Yang kedua Dialog. Dialog diantara Gereja-Gereja Kristen akan menjadi “jembatan”.
Gereja terpanggil bukan untuk menjadi orang beragama tetapi terpanggil untuk bersama
Allah bekerja dalam rencana dan kehendak Allah bagi keselamatan dunia ciptaan-Nya. Gereja
dalam kehadirannya mesti menyatakan cinta kasih sebagaimana kasih Allah itu. Dialog
menjadi sarana membangun kesatuan pemahaman dan komitmen pelayanan menghadirkan
nilai kehidupan cinta kasih. Karena itu, dalam dialog dibutuhkan sikap ramah dan rendah
hati, terbuka dan bersedia mendengar, menghormati, dan mendengar pihak lain dalam
perbedaan-perbedaan.

4
Apa saja keterlibatan gereja dalam menghadapi persoalan kemanusiaan?

Keterlibatan gereja dalam menghadapi persoalan kemanusiaan dapat berupa


sumbangan kemanusiaan (pada daerah yang mengalami kekeringan, kelaparan, atau telah
mengalami bencana alam, misalnya) maupun usaha untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia supaya mereka dapat membangun kehidupan yang lebih baik, seperti proyek
sekolah gratis bagi masyarakat yang kurang mampu.
Gereja merupakan perkumpulan umat manusia yang percaya dan mengikut Yesus
Kristus. Dalam keberadaannya di dunia, gereja memiliki tiga tugas, yaitu koinonia, diakonia,
dan marturia.
1, Koinonia merupakan tugas gereja sebagai sebuah persekutuan. Mutu persekutuan tersebut
harus dipelihara dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman yang sedang
dihadapi.
2, Marturia merupakan tugas gereja untuk bersaksi. Bersaksi dalam hal ini berarti
memberitakan kabar baik Kristus melalui hal-hal yang dilakukan oleh gereja, baik sebagai
individu maupun persekutuan.
3. Diakonia merupakan tugas gereja untuk melayani. Pelayanan yang baik adalah pelayanan
yang dinyatakan melalui perbuatan, tidak hanya melalui perkataan saja.
Keterlibatan gereja dalam menghadapi masalah kemanusiaan merupakan perwujudan dari
tugas diakonia yang dimiliki oleh gereja, yaitu tugas gereja untuk melayani dunia tempatnya
berada. Pelayanan tersebut bertujuan untuk membantu sesama manusia sekaligus untuk
menghadapi persoalan kemanusiaan, seperti kelaparan, kemiskinan, kekurangan informasi,
dan sebagainya.

Bagaimana sikap gereja dalam menghadapi kemiskinan di tengah


Masyarakat?
Teologi bukanlah sekedar pengajaran tentang “apa yang dikatakan oeleh Alkitab” atau
tentang “sejarah perjalanan umat Allah”. Teologi harus bersentuhan dengan berbagai
pergumulan dan persoalan nyata manusia. Melalui teologi, gereja melihat, menanggapi, dan
menyoroti bagaimana Allah berprakarsa, merencanakan, bekerja, dan berperan dalam
penanganan masalah-masalah kemanusiaan. Salah satu di antaranya adalah masalah
kemiskinan.
JB banawiratma dan J. Muller mengatakan, “mengingat teologi selalu harus berbicara
berhadapan dengan masyarakat, maka seluruh usaha teologi harus mempunyai ciri sosial atau
kontekstual, agar dapat dipahami secara lebih jelas dan karena itu lebih berfungsi bagi
Gereja.”.

5
Oleh karena itu, gereja pun seharusnya bertanggung jawab untuk membantu
masyarakat miskin. Apalagi kita tahu, Allah peduli kepada orang-orang miskin dan peduli
untuk mengatasinya. Kemiskinan bukanlah kehendak Allah, bukan juga karena perintah atas
dosa. Kemiskinan juga bukan hal baik untuk ditiru atau dijadikan ukuran kedekatan dengan
Allah. Karena itulah, manusia harus berjuang untuk keluar dari jurang kemiskinan.
Allah sendiri, melalui umat-Nya, berusaha membantu orang-orang miskin. Dalam
Ulangan 15:11 Allah berfirman: “… Haruslah engkau membuka tangan lebar-lebar bagi
saudara-mu yang tertindas dan yang miskin di negerimu.” Dalam Yesaya 58:6-7 Allah
katakan, “… supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali
kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya
engkau memecahkan-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang
miskin yang tak punya rumah, dan jika kamu melihat orang telanjang, maka kamu memberi
dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Ya 58:6-7).
Masalahnya sekarang, banyak gereja yang mengabaikan atau tidak serius menjalankan
tugasnya untuk membantu orang-orang miskin. Padahal, gereja perlu memberdayakan
mereka, sehingga mereka mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Alkitab Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) sendiri banyak sekali
berbicara tentang perintah Allah untuk memperhatikan dan mengasihi kaum miskin. Dalam
PB, Yesus katakan bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kita lakukan untuk
mencintai salah seorang dari yang paling hina ini – mereka yang lapar, haus, telanjang, sakit,
yang hidup sebagai orang asing dan orang tahanan – kita tidak melakukannya juga untuk
Tuhan (Mat .25:42-45).
Perintah Tuhan untuk mencintai sesama seperti mencintai diri kita sendiri pun tak
terlepas dari pengertian mencintai orang-orang miskin. Beberapa ayat dalam PL tentang
perintah Tuhan untuk mencintai kaum miskin ini, antara lain: Janganlah engkau memperkosa
hak orang miskin di antaramu dalam perkaranya (Kel. 23:6); Sebab TUHAN mendengarkan
orang-orang miskin, dan tidak memandang hina orang-orang-Nya dalam tahanan (Mzm.
69:34); Ia akan menyayangi orang lemah dan orang miskin, Ia akan menyelamatkan nyawa
orang miskin (Mzm. 72:13); Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi
siapa yang memberikan belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia (Ams. 14:31).
Dengan demikian, keberpihakan kita kepada kaum miskin seharusnya muncul
berdasarkan pengalaman kita dengan Firman Allah. Jorge C. Bravo dalam Samuel Amirtham
dan John S. Pobee mengatakan, “Dasar-dasar dari refleksi dan misi kita harus terjadi dengan
membaca dan membaca ulang Alkitab dalam konteks pengalaman rakyat. Iman kita muncul
dari pengalaman sehari-hari dengan Allah dan dengan sesama kita. Itu sebabnya, pemilihan
untuk diubah kepada yang miskin dan yang tersisih adalah hasil pembacaan ulang amanat
Alkitab dalam menjawab serbuan dari orang-orang miskin dan tersisih, ke dalam jantung
gereja. Perhatian kepada kaum miskin tentu saja tidak berarti bahwa gereja harus terdiri atas
orang-orang miskin. Dalam hal ini tentu saja gereja pun harus melindungi orang-orang kaya,
yang dengan kekayaannya, mereka dapat membantu memberdayakan orang-orang miskin.

6
Dengan kekayaan itulah gereja membantu dan mengentaskan masyarakat dari
kemiskinan.
Michael Wilson dalam salah satu tulisannya tentang pendampingan pastoral
menyatakan bahwa pendampingan pastoral merupakan sesuatu yang bersifat situasional.
Tekanan pada sifat situasional dari pendampingan pastoral ini didasarkan pada keyakinan
Wilson bahwa bentuk-bentuk pendampingan pastoral diperlukan pada konteks di mana
pendampingan pastoral itu dilaksanakan. Itulah sebabnyaq secara tegas Wilson mengatakan
bahwa: “pendampingan pastoral mempengaruhi berbagai pertanyaan yang terus menerus
membentuk konteks seperti 'dunia macam apa yang kita harapkan?; komunitas macam apa
yang kita inginkan dalam kehidupan bermasyarakat?'”Jika pernyataan Wilson ini dikaitkan
dengan gereja sebagai salah satu dasar pelayanan atau pendampingan pastoral, menurut
penulis pernyataan ini mengandung tiga makna penting. Pertama dalam pernyataan ini ada
pengakuan bahwa tidak ada praktik pendampingan atau pelayanan pastoral yang tidak
berkonteks. Semua praktik pelayanan pastoral gereja lahir dan dibentuk oleh konteks tertentu.
Pelayanan pastoral karenanya merupakan bentuk tanggapan gereja terhadap berbagai
permasalahan yang dihadapi pada waktu dan tempat tertentu. Sesuatu yang kemudian
diteruskan sebagai tradisi. Pendidikan yang berkaitan dengan ini adalah pertanyaan-
pertanyaan kritis tentang konteks dengan mana manusia hidup, serta mewarnai pendekatan
metode, dan bentuk pelayanan pastoral yang diterapkan. Dengan demikian pelayanan pastoral
bersifat unik dan khas untuk setiap konteks. Sesuatu yang mendorong Wilson secara khusus
menegaskan bahwa tidak ada cetak biru pelayanan pastoral yang berlaku umum untuk segala
situasi dan tempat. Yang penting , yang tak kalah penting adalah penguatan imperatifnya
dimana gereja sendiri sebenarnya perlu selalu mencari pendekatan, metode, dan bentuk
pelayanan pastoral yang lebih relevan dengan konteks kebutuhan. Satu tuntutan yang wajar
karena konteks merupakan sesuatu yang terus berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari
satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian, jika gereja tidak memikirkan dan merancang
bentuk-bentuk pelayanan pastoral yang relevan dengan kebutuhan konteks, maka pelayanan
pastoral gereja akan kehilangan relevansinya.
Sehubungan dengan itu, Theodore Wedel melukiskan bahwa bahaya abadi yang
dihadapi gereja adalah ketidak-relevanan. Pada khususnya, bahaya ini sangat hebat pada saat
gereja berhasil secara lahiriah. Relevansi yang dimaksud adalah relevansi terhadap kebutuhan
manusia yang mendalam. Artinya, gereja harus relevan dengan situasi manusia yang
menimbulkan rasa sakit, kelaparan akan arti kehidupan, dan kehausan akan hubungan yang
bermakna. Pendampingan dan konseling pastoral adalah alat-alat yang berharga yang
melaluinya gereja tetap relevan dengan kebutuhan manusia

7
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan

Gereja sebagai perkumpulan, perhimpunan dan persekutuan orang-orang


percaya bersama dengan Allah di dalam Kristus, harus terus bertumbuh dan
berkembang demi dan untuk kemuliaan Nama-Nya. Gereja sebagai persekutuan tidak
terbatas pada gedung yang mewah, tetapi di mana pun umat percaya berkumpul dan
melaksanakan persekutuan, maka disitu juga Allah hadir bersama dengan mereka.
Persekutuan ibadah yang dilakukan sebagai upaya manusia membangun dan menjaga
relasinya dengan Allah tetap baik. Selain itu, bersekutu dalam suatu persekutuan
ibadah berarti mengucap syukur atas kebaikan-kebaikan- Nya, bersyukur atas berkat
yang selalu la berikan kepada umat manusia. Oleh sebab itu, dalam suatu persekutuan
ibadah manusia hendaknya dapat memberikan yang terbaik kepada-Nya sebagai
wujud ungkapan syukur. Gereja sebagai persekutuan harus menjalankan tiga tugas
panggilan gereja, yakni: bersekutu, bersaksi dan melayani.

Gereja sebagai gedung persekutuan hendaknya menjadi tempat umat manusia


beribadah dan bersekutu bersama-sama dengan-Nya, karena itulah yang menjadi
fungsi utama gedung gereja. Gereja sebagai gedung kebaktian menjadi tempat bagi
umat percaya untuk menghayati, mengamalkan dan memberitakan karya keselamatan
Allah bagi seluruh dunia. Namun, gereja tidak hanya menjadi tempat mewacanakan
karya keselamatan Allah, tetapi juga menjadi tempat mewujudkan karya keselamatan
Allah bagi umatnya, melalui aksi konkrit atau tindakan nyata. Gereja sebagai gedung
persekutuan harus menciptakan suasana yang nyaman dan aman, supaya umat percaya
(warga jemaat) yang datang bersekutu dapat fokus untuk bersekutu dengan-Nya dan
benar-benar merasakan kehadiran-Nya di tengah-tengah persekutuan yang dilakukan,
1956

Spiritualitas Kristen adalah sikap dan komitmen yang mendalam untuk


mengikatkan diri kepada Allah di dalam Kristus. Seseorang dapat dikatakan memiliki
spiritualitas yang baik, apabila ia mampu mengamalkan seluruh kehidupannya sebagai
seorang beriman dan berusaha menjalankan hidupnya sesuai dengan kehendak-Nya.
Spiritualitas lahir dari pengalaman iman manusia berjumpa dengan Allah, melalui
persekutuan ibadah yang dilakukan. Oleh karena itu, manusia sebagai orang-orang
percaya harus rajin dan tekun untuk bersekutu, beribadah, menjalankan praktik-
praktik ritual seperti doa, memuji dan memuliakan Nama-Nya, membaca dan
mendengarkan Firman-Nya, maka spiritualitasnya akan terbentuk dengan baik.
Dengan demikian, gereja dan spiritualitas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, karena keduanya saling mempengaruhi.

8
B. Saran

Jemaat sebagai anggota gereja harus memahami makna gereja dan bagaimana
menghidupi gereja itu dalam diri masing-masing. Tidak hanya rajin beribadah di
gereja, tetapi juga harus memiliki pengetahuan tentang makna dari gereja tersebut.
Jemaat harus lebih banyak bertanya kepada Pendeta atau Majelis yang paham tentang
makna gereja, agar memperoleh pengetahuan tentang makna gereja.
Persekutuan ibadah tidak terbatas pada gedung gereja saja, tetapi di mana umat berada
dan melaksanakan persekutuan, maka disitu juga Allah hadir. Oleh sebab itu,
penutupan gedung gereja tidak boleh menjadi alasan bagi warga jemaat untuk tidak
beribadah.

C. Referensi

1. Midiankhsirait.wordpress.com
2. E-Journal Universitas Atma Jaya Thomas Aquinas
3. https:ntt.kemenag.go.id
4. https://osf.io

Anda mungkin juga menyukai