Anda di halaman 1dari 15

Tugas Ujian Semester Mata Kuliah Oikumenika

“Rangkuman dan Refleksi Teologi”

Dosen Pengampu : Pdt. Theogives Karundeng, M.Th

Disusun oleh

Revelin Jeisa Zevanya Punuh


201841310

Yayasan GMIM Ds. A.Z.R. Wenas


Universitas Kristen Indonesia Tomohon
Fakultas Teologi
2021
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas pertolongan-
Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas ujian akhir semester mata kuliah Oikumenika.

Penulis berterimakasih kepada Pdt Theogives Karundeng, M.Th selaku dosen pengampu
mata kuliah ini yang telah memberikan tugas ini kepada penulis dan teman-teman kelas
Oikumenika, terlebih dengan sabar boleh membimbing, mengajar kami selama satu semester ini.
Juga kepada semua pihak yang boleh membantu penulis dalam tugas akhir semester ini.

Karya ilmiah ini kiranya dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan mengenai Oikumenika. Semoga tugas ini dapat dipahami dan dapat berguna bagi
semua orang yang membacanya.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Untuk itu penulis
memohon maaf untuk kesalahan yang ada, juga membutuhkan kritik dan saran dari pembaca.

Desember , 2021

Revelin Jeisa Zevanya Punuh

Daftar Isi

2
Halaman Sampul…………………………………………………………………..1
Kata pengantar..........................................................................................................2
Daftar isi....................................................................................................................3
Bab 1 : Rangkuman.………………………………………………………………..4

Bab 2 : Refleksi Teologis…………………………………………………………..6

BAB I

3
RANGKUMAN

Materi Kelompok 1-12

1. Kata Oikumennikos menunjuk pada keseluruhan tempat di bumi  yang dihuni oleh


manusia. Ungkapan ini pada awalnya memang kata sehari-hari yang tidak berhubungan
dengan kehidupan gerejani. Namun setelah konsili Nicea (325)  yang merupakan konsili
oikumene pertama, ungkapan tersebut ditahbiskan dan dipakai sebagai istilah gerejani.
Konsili ini mengundang semua wakil gereja yang ada di kekuasaan Romawi saat itu, dan
wilayah Kekaisaran Romawi itulah yang disebut sebagai wilayah oikumene. Dengan kata
lain hanya wilayah Romawilah yang dimengerti sebagai Wilayah yang didiami manusia
dan sekaligus Warga Gereja. Pada setiap abad ada terjadi keretakan dalm gereja Kristen.
keretakan-keretakan besar terjadi setelah konsili Chalcedon(451), ditambah lagi penganut
Nestoris dan Cyrillus memisahkan diri, Gereja katolik pecah menjadi Gereja Ortodoks
Timur dan Gereja Katolik Roma.(1054-1204). Sama halnya dengan tahun 1517, Gereja
Protestan lahir. kemudian gereja-gereja Protestan terpecah lagi, sehingga timbul banyak
denominasi (kelompok gereja – gereja yang mempunyai dasar  yang sama) seperti
Lutheran, Calvinis, Anglikan, Babtis, Metodis dan seterusnya. Dalam perkembangan
gerakan oikumenes terlihat semakin muncul usaha-usaha yang dilakukan gereja untuk
menyatukan dari kepelbagaian tersebut.  baik itu dikalangan perkembangan penginjilan
dalam kaitan gerakan oikumene. Pada tahu 1910 dikota Edinburg, Skotlandia, diadakan
suatu konfrensi pekabaran Injil se-dunia. Konfrensi ini menjadi permulaan Gerakan
penyatuan antara Gereja-Gereja Protestan. Gerakan ini disebut gerakan Oikumene yang
pertama dipakai untuk seluruh dunia yang dihuni dan dalam sejarah Gereja dipakai untuk
menunjuk kepada se-Dunia. Bahasan yang pertama adalah mengenai Faith and Order.
Tujuan dari Faith and Order ini adalah mancari jalan menuju keesaan gereja. Dan Konsili
tersebut harus bersifat gerejani. Artinya para wakil harus benar-benar  resmi wakil dari
setiap Gereja. Gerakan ini timbul diantara orang Amerika  dan orang Anglikan. Disitu
Gereja-Gereja ynag sudah berabad-abad lamanya terpecah berai bertemu dan kembali
mempelajari iman  dan suasana rohani masing-masing. Pada perkembangan berikutnya
muncul gerakan Life and Work (kehidupan dan kegiatan) untuk mengatasi ketidak adilan
social ekonomi, pelopor pergerakan Life and work adalah Natahan Sodarblom (1866-

4
1931) adalah seorang pendeta Lutheran di Swedia. Ketika perang dunia pertama 1914-
1918 terpecah dia menganggap suatu peristiwa itu sebagai suatu kegagalan gereja untuk
memperdamaikan bangsa-bangsa sehingga ia mulai mendorong gereja-gereja untuk
mencari perdamaian antara Negara-negara yang berperang. Usaha ini disambut baik oleh
gereja-gereja dari Negara yang netral.
2. Pada zaman Reformasi Gereja Katolik-Roma untuk pertama kali (sejak skhisma dengan
Gereja Ortodoks Yunani tahun 1054) diperhadapkan dengan ancaman perpecahan secara
besarbesaran. Walaupun Luther dengan cepat dikucilkan dari gereja (1521), namun tetap
diusahakan mencari perdamaian dengan pengikut-pengikutnya, kaum Injili, demi
kesatuan kaum Kristen terhadap ancaman Turki. Usaha-usaha ini, yang didorong oleh
pertimbangan-pertimbangan politik, menghasilkan pembicaraan-pembicaraan agama di
Leipzig (1539), Hagenau (1540), Worms (1540) dan Regens burg (Ratisbon, 1541) di
wilayah kekaisaran Jerman dan colloquium di Poissy (1561) di Perancis, tetapi perset
ujuan tidak dicapai. Di kalangan kaum Injili ternyata tidak mungkin juga untuk mencapai
suatu kesatuan. Walaupun satu dalam kritik terhadap Roma, namun soal Perjamuan
Kudus akhirnya memisahkan para pengikut Luther dengan kaum Injili di Jerman Selatan
dan Swis. Usaha perdamaian melalui pembicaraan di Marburg (1529) gagal. Pada tahun
1549 Calvin dan Bullinger berhasil dalam usaha mereka untuk mempersatukan Reformasi
Swis melalui Consensus Tigurinus, akan tetapi perpe cahan dengan para pengikut Luther
tidak dapat dipulihkan kembali. Walaupun kaum Injili memisahkan diri dari Roma,
namun tetap ada kesadaran, baik di kalangan Protestan maupun di kalangan Katolik-
Roma, bahwa satu warisan menjadi milik bersama, yaitu warisan gereja kuno. Kaum
reformator mengakui ketika simbol gereja kuno (pengakuan iman rasuli, Nicaea-
Constantino pel dan Athan asius) sebagai simbol oikumenis, dan lebih luas, menerima
hasil konsili-konsili oikumenis gereja kuno sebagai sesuai dengan Alkitab. Timbul
kesadaran bahwa usaha-usaha untuk memulihkan perpecahan yang diakibatkan
Reformasi harus bertolak dari warisan bersama. Kesadaran ini hidup khususnya di
kalangan kaum Humanis, cendekiawan Katolik maupun Protestan yang mengecam
keadaan Gereja Katolik-Roma pada zaman itu karena telah menyimpang dari ajaran dan
praktek gereja kuno. Baik bagi para humanis Katolik, seperti Erasmus, maupun bagi
humanis-humanis yang memilih pihak Reformasi, seperti Melanchthon, jelas bahwa

5
gereja kuno harus menjadi patokan perbaikan keadaan gereja. Satu contoh dari pihak
Katolik adalah George Cassander (1522-1566). Dari pihak Protestan dapat disebut pada
zaman Reformasi Melanchthon dan Bucer, dan untuk abadabad berikut Grotius, Dury dan
Calixtus. Jelas dari latar belakang mereka sebagai cendekiawan Humanis bahwa usaha
perdamaian mereka agak bersifat intelektual dan individual, dan kurang berakar dalam
gereja.
3. Continuation Committee yang ditunjuk di Edinburg 1910 mulai pekerjaannya, tetapi
karena pecahnya Perang Dunia Pertama (1914 – 1918) pembentukan Panitia Pekabaran
Injil terhambat. Baru pada tahun 1921 di Lake Mohonk, New York, dapat didirikan
International Missionary Council (IMC), Dewan Pekabaran Injil Internasional yang
berpusat di London dan New York. Konperensi-konperensi pekabaran Injil yang
diadakan sejak Edinburgh (1910) sampai saat IMC memutuskan untuk menggabungkan
diri dengan Dewan Gereja-gereja Sedunia adalah sebagai berikut. II. Yerusalem, 23
Maret-8 April 1928. Yang dibicarakan adalah hubungan antara gereja-gereja muda dan
tua (Relations between the Younger and Older Churches, jilid III laporan Yerusalem),
hubungan dengan agama-agama lain (yang menyatakan perubahan dalam sikap terhadap
dan pemahaman teologis mengenai agama-agama lain dan mengenai tugas pekabaran
Injil), sekularisasi (yang dilihat sebagai bahaya yang lebih besar dari agama-agama kafir)
serta comprehensive approach (pendekatan menyeluruh III. Tambaran (rencana dahulu
Tiongkok, tetapi di sana telah pecah perang dengan Jepang), 12-29 Desember 1938. Yang
memainkan peranan besar dalam komperensi ini adalah buku Dr. H. Kraemer, The
Christian Message in a non-Christian World, yang ditulis untuk melawan buku yang
ditulis oleh suatu panitia orang-orang Awam dari Amerika di bawah pimpinan W.E.
Hocking dengan judul Rethinking Missions (1932). Di dalamnya ditujukan peleburan
semua agama dalam suatu persaudaraan yang mencakup seluruh dunia. Selain itu diberi
perhatian di Tambaran kepada kemandirian gereja-gereja muda, pendidikan untuk
pendeta-pendeta pribumi dan pendidikan teologi yang baik, kerja sama dan keesaan. IV.
Whitby (Kanada), 5-24 Juni 1947. Tema adalah “The Christian Witness in a
Revolutionary World” (Kesaksian Kristen dalam dunia yang revolusioner). Gereja-gereja
tua dan muda mulai saling mengakui sebagai “partners in obedience” (mitra dalam
ketaatan), yang sama-sama diperhadapkan dengan tugas mengabarkan Injil di seluruh

6
dunia.. Baik gerejagereja tua maupun gereja-gereja muda merupakan bagian gereja
oikumenis, gereja sedunia, dan diperhadapkan dengan tugas yang sama, yaitu
mengabarkan berita pengharapan (hal itu sekarang lebih ditekankan dari pertobatan)
kepada seluruh dunia. Gereja-gereja tua dan muda harus saling membantu dalam
melaksanakan tugas ini sambil saling memperhatikan kebutuhankebutuhan masing-
masing dan sambil mentaati perintah yang satu dan sama dari Yesus. V. Willingen
(Jerman), 5-12 Juli 1952, dengan tema “The Missionary Obligation of the Curch”
(Kewajiban gereja untuk mengabarkan Injil). Pekabaran Injil ditempatkan dalam terang
eskatologis. Dibicarakan soal nasionalisme yang dihadapi oleh gereja-gereja di
negaranegara yang baru merdeka atau yang sedang memperjuangkan kemerdekaan. 6 VI.
Achimota (Ghana, Afrika), 28 Desember 1957- 8 Januari 1958. Tema adalah “The
Christian Mission at this Hour” (Misi Kristen pada saat ini). Diputuskan untuk
mengintegrasikan IMC dengan DGD. Didirikan Theological Education Fund (TEF, Dana
Pendidikan Teologis) untuk pendidikan teologis di Asia, Afrika dan Amerika Selatan.
Pada tahun 1948 didirikan Dewan Gereja-gereja Sedunia. Walaupun antara IMC dan
DGD sejak permulaan ada kerjasama erat di berbagai-bagai bidang, IMC pada mulanya
ingin berdiri sendiri sebagai organisasi terpisah. Ada ketakutan bahwa perhatian untuk
pekabaran Injil akan tenggelam karena perhatian untuk oikumene. Akan tetapi di
kemudian hari pendapat-pendapat seperti ini mulai berubah. Karena semakin banyak
gereja muda telah menjadi anggota Dewan Gereja-gereja Sedunia, dirasakan bahwa
kedua badan ini sekarang hampir melakukan tugas yang sama. Kerja sama antara gereja-
gereja lebih diperkuat karena sekarang terjadi di dalam rangka organisasi oikumenis yang
sama. Segi yang lebih hakiki dalam keputusan untuk bergabung itu adalah pertimbangan
teologis bahwa tidak boleh dipisahkan antara gereja dan pekabaran Injil, sebab pekabaran
Injil adalah corak azasi dari gereja. Seluruh gereja bertanggung jawab atas penginjilan
dunia. Perlawanan terhadap penggabungan antara IMC dan DGD muncul di kalangan
Gereja-gereja Ortodoks dan kaum evangelikal. Gereja-gereja Ortodoks khawatir bahwa
penggabungan ini membuka pintu untuk proselitisme (memenangkan orang dari gereja-
gereja lain). Kaum evangelikal melihat dalam keputusan New Delhi bukti lagi bahwa
gereja-gereja ekumenikal telah melupakan tugas pekabaran Injil. Mereka mengadakan
kongres internasional di Lausanne (1974) dan pada pertemuan Continuation Committee

7
“Gerakan Lausanne” ini di Mexico (1975) diputuskan untuk mendirikan Consultative
Council of World Evangelicals (Dewan Penasihat Kaum Injili Sedunia). Konperensi
berikut (disebut Lausanne II) gerakan ini diadakan di Manila, 11-20 Juli 1989, dengan
tema “Mengabarkan Kristus sampai Ia datang”.
4. Nathan Soderblom mempunyai gagasan untuk untuk mendirikan suatu dewan gereja-
gereja dimulai sejak akhir Perang Dunia Pertama. Semangat untuk mendirikan dewan
gereja-gereja sejajar dengan semangat untuk mendirikan Liga Bangsa-bangsa
(1919/1920). Dirasa perlu untuk mendirikan suatu persekutuan gereja-gereja sebagai
“jiwa” untuk kerjasama antara bangsa-bangsa.
William Temple dari gerakan Faith and Order, yang mengusulkan pada tahun 1935 untuk
membentuk suatu dewan oikumenis internasional gereja-gereja, dan Joseph Oldham pada
tahun 1936 mengusulkan dalam rapat untuk memanfaatkan keadaan juga membicarakan
masa depan gerakan oikumenis, yang disepakati membentuk panitia dari wakil gereja-
gereja yang berjumlah 33 orang. Pada tanggal 8-10 Juli 1937 di London, disepakati
mendirikan World Council of Churches (WCC) yang mewakili gereja-gereja dan
memperhatikan dalam banyak bidang.
Erasmus, Pendidik Okiumenis. Erasmus menjembatani dunia klasik Yunani-Romawi dan
dunia Kristen. Seorang pendidik yang kuliahnya berupa karya-karya berseru kepada
pemimpin dan umum agar memilih jalan salehdan rasional sambil menjauhkan diri dari
setiap macam pikiran dan tindakan yang berlebihan. Dia berbicara kebajikan seharusnya
diamalkan warga Kristen, meniru kelakuan Yesuskhususnya kebajikan-Nya, rendah hati,
lemah lembut, murah hati, kasih, damai, kerelaan mengampuni serta kebebasan
berkorban demi keselamatan sesama-Nya. Ia bersedia memperkaya pengalaman
Kristianinya dengan pikiran para pengarang kuno. Erasmus adalah seorang yang suka
damai, dia cenderung tidak mau memihak. Namun seiring dengan berjalannya waktu,
Erasmus berpendapat bahwa kita harus memihak karena tanah netral sudah tidak ada.
Artinya apabila kita tidak memihak, barangkali hasilnya akan lebih buruk lagi. Dalam
peranannya sebagai pendidik oikumenis, Erasmus mendidik melalui usahanya
memperoleh teks Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani yang paling asli dan menjelaskan
maknanya kepada jemaat. Erasmus tidak hanya peduli dalam pelajaran saja tapi ia juga

8
peduli terhadap kaum perempuan dalam usaha hak mereka, pernikahan, kaum Kristen
dan upacara gereja yang terkadang dianggap mutlak oleh beberapa pihak.
John Releigh Mott adalah seorang tokoh besar dalam kegiatan penginjilan di kalangan
mahasiswa di berbagai universitas di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan
permulaan abad ke-20. Ia juga dikenal sebagai seorang tokoh pergerakan oikumene di
dunia yang tiada tandingnya. Mott memulai kegiatan pekabaran Injil.Sebenarnya Mott ke
Cornell agar ia dapat bekerja pada pekerjaan duniawi atau meneruskan usaha ayahnya. Di
Cornell ia segera terpilih menjadi wakil ketua Young Men Christian Association
(YMCA) Cabang Cornell. Dia giat memberitakan Injil di kalangan mahasiswa dan
memimpin kebaktian di penjara-penjara.Pada tahun 1888 ia menyelesaikan studinya di
Cornell.
5. Perbedaan yang paling menyolok antara tujuan DGD dan tujuan DGI/PGI ialah bahwa
DGI bertujuan mendirikan gereja yang esa di Indonesia, sedangkan DGD hanya mau
menciptakan suasana yang baik sehingga gereja-gereja sendiri mulai bersatu. Dalam
anggaran dasar DGI 1950 usaha pertama adalah melakukan berbagai-bagai hal yang
menunjang tujuan DGI, pembentukan gereja yang esa. DGD hanya berbicara mengenai
aksi dan studi bersama. Dalam tata dasar PGI yang diputuskan pada Sidang Raya X di
Ambon (1984) tujuan tidak lagi “pembentukan”, tetapi “perwujudan” Gereja Kristen
yang Esa di Indonesia. Perubahan ini mungkin mencerminkan kesulitan yang dialami
DGI, kemudian PGI, untuk memberi bentuk konkrit pada keesaan gereja. “Usaha-usaha”
dirumuskan dengan lebih umum (walaupun ditujukan kepada pokok-pokok panggilan
tugas bersama untuk usaha-usaha yang lebih konkrit).
Beberapa pokok penting untuk tugas panggilan gereja-gereja dipikirkan dalam rangka
DGI/PGI (gereja dan pembangunan, gereja dan perubahan sosial), yang mungkin tidak
begitu dipikirkan dalam gereja-gereja anggota. Dalam hal ini DGI/PGI menjadi pelopor
dan pendorong untuk gereja-gereja anggota. Sekaligus timbul bahaya bahwa DGI/PGI
kehilangan hubungan dengan anggota-anggota gereja biasa dan menjadi wadah di
samping gereja-gereja anggota, bukan lagi wadah dari gereja-gereja anggota, singkatnya
mulai hidup sendiri, dengan kepentingan-kepentingan (umpamanya keuangan) tersendiri.
Soal keuangan lebih rumit lagi, karena DGI/PGI tidak hanya mengatur biaya sendiri yang

9
sebagian besar dari luar negeri, tetapi juga menyalurkan bantuan luar negeri kepada
gereja-gereja anggota.
6. Pada tanggal 6-13 November 1949 diadakan: ‘Konferensi Persiapan Dewan Gereja-
gereja di Indonesia.” Seperti diketahui sebelum Perang Dunia II telah diupayakan
mendirikan suatu Dewan yang membawahi pekerjaan Zending; namun karena pecahnya
PD II maksud tersebut diundur. Setelah PD II berdirilah tiga buah Dewan Daerah, yaitu:
“Dewan Permusyawaratan Gereja-gereja di Indonesia, berpusat di Yogyakarta (Mei
1946) ; “Majelis Usaha bersama Gereja-gereja di indonesia bagian Timur”, berpusat di
Makasar (9 Maret 1947) dan “Majelis Gereja-gereja bagian Sumatera” (awal tahun 1949),
di Medan. Ketiga dewan daerah ini didirikan dengan maksud membentuk satu Dewan
Gereja-gereja di Indonesia, yang melingkupi ketiga dewan tersebut. Pada tanggal 21-28
Mei 1950 diadakan Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI),
bertempat di Sekolah Theologia Tinggi (sekarang Sekolah Tinggi Teologi Jakarta). DGI
didirikan pada tanggal 25 Mei 1950. Tujuan DGI adalah pembentukan gereja Kristen
yang esa di Indonesia. Ketika gereja-gereja di Indonesia mendeklarasikan berdirinya DGI
(kini PGI), 25 Mei 1950, gerakan oikumene sudah berjalan di berbagai tempat di
Indonesia. Sebelumnya juga sudah ada gerakan bersama Gereja-gereja di Sulawesi Utara,
Gereja-gereja di Sumatera, Gereja-gereja di Jawa dan sebagainya.
7. Dalam catatan PII, kami melihat bahwa tolak ukur utama dalam pergumulan untuk
mewujudkan gerakan bersama kaum injili di Indonesia adalah “Persekutuan”. Kata kunci
ini menjadi acuan awal dari gerakan, yang oleh karenanya sejak awal tahun 1916 tokoh-
tokoh injili di Indonesia ketika membidani lahirnya gerakan dan wadah besar (PII)
dimulai dengan kegiatan yang kelihatannya kecil tetapi memiliki “power” yang sangat
besar dan luar biasa, yaitu “Persekutuan”.
Tokoh-tokoh injili menjadikan “persekutuan“ sebagai wahana dan wacana untuk :
 Membahas beban bersama dalam bidang pekabaran Injil dan misi di Tanah Air.
 Menggumuli kebutuhan hendak suatu wadah bagi Gereja, lembaga dan badan misi Injili
di Indonesia.
 Menampung aspirasi dari Gereja, yayasan dan badan-badan misi di Indonesia.
 Bersekutu dan bersama-sama memberitakan Injil.

Persekutuan dan pergumulan bersama yang dilakukan selama dua tahun akibatnya
melahirkan wadah yang agung dalam arus aksi misi injili bagi gereja, lembaga, yayasan dan
badan-badan misi injili di Indonesia. Mendahului lahirnya Persekutuan Injili Indonesia, di

10
Ramayana Hotel City, Tanah Abang- Jakarta, pada tanggal 15 Juni 1971 diselenggarakan
persekutuan/pertemuan yang didatangi oleh l.k 100 hamba-hamba Tuhan.

8. Gereja adalah persekutuan orang percaya, umat pilihan yang dipanggil dan dihimpun oleh
Allah Bapa, keluar dari kegelapan menuju kepada Tuhan Yesus Kristus yang adalah
terang dunia. Gereja meliputi semua orang percaya di segala tempat dan waktu.
Keberadaannya nyata dalam persekutuan, pelayanan dan kesaksian ditengah masyarakat
dan negara. Gereja menjadi persekutuan yang dinamis, dengan hidup pribadi dan karya
Yesus Kristus menjadi dasar terbentuk dan kehadirannya. Gereja terpanggil
memberitakan Injil Kerajaan Allah, yaitu keselamatan melalui Tuhan Yesus Kristus,
kepada segala makhluk. Keberadaan Gereja sebagai alat Tuhan untuk menyatakan kasih-
setiaNya yang menjamin kehidupan dan keselamatan manusia. Sekalipun dalam
pergumulan dan menderita, Gereja dipanggil Tuhan untuk mengupayakan damai
sejahtera bagi semua orang.
9. Tujuan gerakan oikumene ialah berusaha menghubungkan (mempersatukan) kembali
Gereja-Gereja Tuhan yang terpecah-pecah pada waktu ini dan membantu Gereja-Gereja
yang terpecah pecah itu untuk menampakkan kesatuan mereka dalam hidup dan
pelayanan mereka. Berhubung dengan itu mungkin kita bertanya: Apakah usaha untuk
menampakkan kesatuan Gereja ada hubungannya dengan iman kita? Atas pertanyaan ini
rasul Paulus menjawab: Ya ! Malahan lebih daripada itu. Usaha itu, menurut dia, adalah
suatu unsur hakiki dari iman Kristen. Sebab kesatuan maksudnya ke satuan dalam Yesus
Kristus, bukan saja adalah suatu pemberian Allah kepada GerejaNya - "satu Tuhan, satu
iman, satu baptisan" (Ef 4:5) tetapi juga suatu tugas yang harus ia tunaikan: "Berusahalah
memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai-sejahtera" (Efs 4:3).
Sama seperti kita, dalam hidup kepercayaan kita, harus bertumbuh dari panggilan kita
kepada pemenuhan panggilan. Demikian pula kita sebagai Gereja harus bertumbuh dari
kesatuan kita dalam Kristus kepada kesatuan yang nampak: bukan saja nampak di antara
kita (nampak di dalam), tetapi juga nampak kepada orang-orang lain (nampak ke luar).
Hanya dengan jalan itu saja orang dapat percaya kepada Yesus Kristus sebagai
Juruselamat yang diutus oleh Allah. Karena itu usaha oikumene, yaitu usaha untuk
menampakkan kesatuan Gereja-Gereja yang terpecah-pecah bukan saja usaha dari

11
pemimpin-pemimpin Gereja dan dari "tokoh tokoh oikumene", tetapi dari semua anggota
Gereja sebagai akta ketaatan mereka kepada Kristus, Tuhan Gereja.
10. – (Dokumen I) Pernyataan Iman Gereja-Gereja Anggota Persekutuan Gereja-
Gereja di Indonesia
– (Dokumen II) Pokok-Pokok Panggilan dan Tugas Bersama Gereja-Gereja di
Indonesia (PPTB PGI) 2019–2024
– (Dokumen III) Pemahaman bersama iman Kristen, Persekutuan gereja-gereja di
Indonesia
- (Dokumen IV) Komitmen Keesaan Gereja-Gereja Anggota PGI
- (Dokumen V) Tata Dasar Persekutuan Gereja- Gereja di Indonesia
11. Latar belakang pertama, Agama Kristen diduga sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke-
7, berupa kekristenan Nestorian yang berkembang dari Palestina ke India dan Cina. Tidak
ada kesinambungan dengan gereja yang kemudian disebarkan oleh para rohaniwan
Katolik Portugis dan Spanyol pada abad ke-16, dan kemudian oleh kalangan Protestan
Belanda sejak abad ke-17. Khusus untuk gereja-gereja Protestan di Indonesia, salah satu
latar belakangnya adalah “pengalihan” jemaat-jemaat Roma Katolik di Indonesia bagian
Timur (kecuali Flores) menjadi jemaat-jemaat Protestan Calvinis setelah Belanda
memenangkan pertarungan menguasai Nusantara melawan Portugis pada awal abad ke17.
Jemaat-jemaat ini, yang terdiri dari orang-orang Belanda dan orang asing lainnya, dan
penduduk pribumi yang di-kristen-kan, merupakan jemaat-jemaat jauh Gereja Protestan
Belanda, dan sesuai keadaan masa itu menjadi tanggungjawab pemeliharaan VOC, badan
dagang Belanda yang berkuasa di Nusantara. Setelah VOC dibubarkan karena bangkrut
oleh korupsi pada akhir abad ke-18, pemerintah Kerajaan Belanda mengabil
tanggungjawab atas jemaat-jemaat Protestan di Indonesia dan membentuk sebuah gereja
yang menyatukan semua kelompok Protestan di Indonesia, menjadi Het Protestantsche
Kerk in Nederlandsch-Indie, disingkat Indische Kerk. Gereja ini dibentuk dan dijalankan
oleh pemerintah kolonial sebagai bagian dari administrasi pemerintah kolonial.
Hakekatnya lebih sebagai departemen pelayanan agama Kristen, daripada sebagai sebuah
gereja. Tidak berlaku sistem presbiterial-sinodal Kalvinis, melainkan birokrasi kolonial.
Proses pemandirian Indische Kerk dari pemerintah kolonial baru berhasil pada Sinode
Am ke II tahun 1933 (yang pertama tahun 1916), dalam bentuk pelembagaan gereja-
gereja teritorial Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM, 1934), Gereja Protestan

12
Maluku (GPM, 1935), Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT, 1947), dan jemaat-jemaat di
luar ketiga wilayah itu menjadi Gereja Prostestan di Indonesia bagian Barat (GPIB,
1948). Tetapi Indische Kerk – yang dikenal sebagai Gereja Protestan Indonesia (GPI),
tidak dibubarkan, tetap ada sebagai suatu sinode gerejawi tanpa jemaat sendiri, dan
menjadi salah satu anggota PGI. Kini dalam lingkungan keluarga GPI terdapat 12 “gereja
bagian”
12. Usaha-usaha oikumenis telah dijajaki oleh gereja-gereja anggota PGI untuk terwujudnya
gereja Kristen yang esa di Indonesia. Dan nampaknya istilah Oikumene bukan lagi suatu
halyang asing, bahkan menjadi satu mode dalam suatu kegiatan diantara beberapa gereja.
JiwaOikumenis sering diungkapkan dengan mengadakan suatu perayaan hari besar
Kristen seperti: Paskah dan Natal bersama, sehingga orang mengidentikkan kegiatan
secra bersama-sama itulah Oikumene. Segala usaha berupa pertemuan , konsultasi, rapat
dan mengadakan proyek secara bersama-sama sudah menyatakan kesadaran Oikumenis.
Disini jelas kesadaran hanya terlihat secara lahiriah berupa kegiatan-kegiatan.Ada
sebagian orang melihat gereja Oikumene sebagai suatu usaha untuk menyatukan seluruh
gereja, dengan mempunyai satu tata gereja, satu pengakuan iman, satu papan nama, satu
kuasa administratif. Pendek kata, menjadikan satu semuanya (uniformitas). Hal ini berarti
seluruh gereja, dengan berbagai latar belakang, berlainan suku, bahasa, kebudayaan, dan
tradisi di lebur menjadi satu. Akibatnya satu pihak, orang kecewa karena sampai begitu
jauh dan lama tidak ada tanda-tanda peleburan jadi satu gereja Kristen yang esa di
Indonesia. Pada pihak lain, ada orang yang kuatir dan menjadi takut jika seluruh gereja
harus meleburkan diri menjadi satu gereja. Hal ini berarti setiap gereja akan kehilangan
identitasnya. Maka ada, sebagian gereja mengambil jarak dalam mengikuti gerakan
Oikumene. Selama keputusan bersama menguntungkan, maka akan ditaati. Jika tidak
sesuai dengan selera dan pendapat, maka akan saling berjalan sendiri-sendiri. Sebenarnya
gerakan Oikumene bukanlah soal menguntungkan atau merugikan , bukan pula suatu
target tertentu, di mana gereja-gereja hanya bersikap memenuhi porsi kewajiban masing-
masing untuk memenuhi terget itu. Tetapi Oikumene adalah suatu sikap iman yang
mendorong gereja-gereja untuk berjalan bersama-sama pada satu jalan dan arah yang
sama. Pada hakekatnya gereja itu sudah satu dalam Kristus yang adalah kepala gereja.
Dengan kesadaran ini mendorong gereja-gereja berjalan bersama-sama pada satu jalan,

13
menampakkan kesatuan gereja Yesus Kristus di dunia ini. Pemahaman ini masih bersifat
umum, untuk itu selanjutnya perlu penelahan lebih khusus dari perspektif Alkitab

BAB II

REFLEKSI TEOLOGIS

            Gereja yang Esa sudah terpecah-pecah menjadi banyak gereja. seringkali orang
Kristen merasa dirinya terpaksa bercerai, oleh karena mereka tidak setuju lagi tentang kebenaran
Tuhan yang dinyatakan-Nya dalam injil. Karena jikalau Kristus , yang adalah kebenaran dan
hidup GerejaNya, tidak terbagi, semestinya Gereja pun tidak boleh terbagi-bagi. Kesatuan harus
kita kejar bersama-sama. Puncak daripada gerkan oikumene adalah untuk  mencapai suatu
kesatuan yang utuh dalam satu Tubuh Kristus. Akibat dari beebagai macam pemahaman dan
penafsiran Alkitab dari berbagai denominasi Gereja mak tak dapat dipungkiri bahwa gereja
sudah tidak menjadi satu lagi. Akibatnya sudah banyak perecahan yang terjadi diadala, gereja.
Hal ini dikarenakan masih banyak yang menutup diri terhadap pemahaman yang tidak sesuai
dengan apa yang dipahaminya. Artinya mereka tetap bertahan dengan apa yang dianggapa
mereka benar.

            Salah satu bentuk oikumene yang ada dikampus kita sendiri  adalah Sinode Oikumene
Mahasiswa (SOM). Tapi kenapa SOM terlihat nampaknya sulit berkembang dikampus tercinta
kita ini? Salah satu yang menjadi Faktor penyebab menurut penyeminar adalah: kita masih
terkunci dengan apa yang ada pada kita. Artinya kita lebih mau membangun suku, gereja kita
masing-masing daripada yang bersifat diatas kepelbagaian. Kita telalu menutup diri dengan rasa
kebersamaan, dimana kita lebih mementingkan kelompok kita sendiri.

            Sebab itu sebagai umat Allah yang satu Tubuh, mari kita bangun rasa kebersamaan itu.
Agar orang tidak berkata oikumene itu menjadi Oi’kemane ? Tanpa ada arah dan tujuan yang
pasti. Agar kiranya ke-Esaan gereja itu bisa terwujud dan tampak dalam praksisnya.

Dalam kehidupan bergereja, gereja terpanggil untuk melakukan tri tugas gereja yaitu bersekutu
(koinonia), bersaksi (marturia), dan melayani (diakonia). Itulah sebabnya, gereja juga terpanggil

14
untuk ikut serta membangun bangsa, negara dan masyarakat, di mana gereja itu ditempatkan
Tuhan. Keterlibatan dalam pembangunan benar-benar dinampakkan; kepedulian terhadap
masalah kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan juga dinyatakan; sikap kritis terhadap
masalah keadilan, pemerataan dan kesejahteraan ditampilkan, karena memang begitu seharusnya
kehidupan gereja dan orang-orang Kristen yang menjadi anggotanya. Landasannya: pesan Tuhan
Yesus, agar apa yang telah dilakukan-Nya dilanjutkan oleh para pengikut-Nya (Lukas 4:18-21;
Yohanes 13:12-17). Dalam Alkitab juga dikatakan “Banyak Anggota, Tetapi Satu Tubuh”
artinya bahwa tubuh Kristus hanya satu saja, sedangkan anggota-anggotanya banyak dan
semuanya dipersatukan dalam satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan (I Korintus 12:12-27;
Efesus 4:3-6). Juga Tuhan Yesus melukiskan persekutuan itu dalam perumpamaan pokok anggur
yang benar dengan ranting-rantingnya (Yohanes 15:1-8); kawanan domba yang dipimpin oleh
seorang Gembala yang baik yakni Tuhan Yesus sendiri (Yohanes 10:10b-14); Ia pun
mendoakan, “supaya semuanya menjadi satu” (Yohanes 17:21).

15

Anda mungkin juga menyukai