Anda di halaman 1dari 21

Petunjuk:

Baca dan kuasailah Sejarah eformasi berikut ini, setelah membaca ke dua artikel sebelumnya yaitu
tentang Sejarah Scholastik dan Sejarah Renaissance. Bahan ini adalah untuk kalangan sendiri, belum
mendapat ijin untuk dipublikasikan dalam bentuk apa pun.

Bahan ini akan turut ditanyakan dalam quiz minggu-minggu mendatang. Biasanya ketika membahas
munculnya reformasi selama ini di kelas, sering mahasiswa dari Gereja Katolik Roma (GKR) merasa
tidak nyaman karena GKR dituding dalam sejarah itu sebagai Gereja yang salah. Memang dari segi
Protestant demikian, tetapi kalau pun dari kalangan GKR menuliskannya, tetap hal-hal yang kurang
dipertimbangkan juga. Oleh karena itu sebelum kita membahasnya lebih lanjut, haraplah menguasai
isi artikel di bawah ini yang ditulis oleh seorang Katolik. Bila berkeinginan, bisa lebih lanjut membaca
di blog beliau:

https://ratadiajo.wordpress.com/2013/10/05/reformasi-gereja-munculnya-protestantisme/

REFORMASI GEREJA
(Munculnya Protestantisme)
Oleh: Ratadiajo Manullang

PENGANTAR

Dalam sejarah perjalanannya, Gereja bukan hanya memperlihatkan keberhasilan dan


kesatuan seperti yang dapat dilihat dan dirasakan seperti saat ini. Di dalamnya terdapat
sejumlah konflik, pergulatan, dan perpecahan (memiliki sejarah). Dalam masa praksis hidup
menggereja dan teologinya, masa depan Gereja dipertaruhkan dalam kurun waktu yang relatif
lama. Sejarah Gereja yang panjang ini memiliki tahap-tahap yang berbeda dalam masanya.
Tahap-tahap ini dapat disebut sebagai reformasi di dalam Gereja. Gereja pada awal masanya
telah berhadap-hadapan langsung dengan kebudayaan dan berbagai aliran agama. Komunitas
gerejawi juga berkonfrontasi dengan kebijakan dan otoritas pemerintah dalam kasus
penganiayaan dan struktur kepemimpinannya.

Berikut juga akan diperlihatkan secara garis besar sejumlah tokoh utama reformasi
yang tidak sejalan dengan pemikiran Gereja Katolik Roma. Munculnya reformasi ini dipicu
oleh berbagai macam situasi, mulai dari politik, nilai-nilai moral yang buruk, dogma, dll. Hal
tersebut memperlihatkan pergumulan dan dinamika yang hidup dalam ikhtiar Gereja untuk
mempertanggungjawabkan ajaran dan rumusan-rumusan iman dan memperbaharui diri..
Pengalaman pada masa silam memperlihatkan bahwa orang terseret dalam alam pikiran yang
sempit dan ekstrim, ketika ia secara berlebihan mengandalkan pada daya nalar insani belaka
dan mengesampingkan misteri ilahi; bahkan yang Ilahi terkadang hanya diterangkan dengan
premis-premis logika dan intelektualistis. Selain itu pemikiran yang berat sebelah dalam
menekankan paham tentang ajaran dan penafsiran Kitab Suci seperti yang akan di bahas
dalam masa Protestantisme dalam karya tulis ini.

1
Masa-masa yang sulit dalam perkembangan sejarah Gereja dapat dikatakan mencapai
puncaknya dalam reformasi Gereja. Dalam masa inilah Gereja terpecah baik dalam struktur
organisasinya, ajaran imannya, tata cara ibadatnya, dll. Dalam karya tulis ini, masa reformasi
Gereja akan menjadi bagian yang paling inti. Karya Tulis ini mengantar pada pemahaman
akan sejarah perkembangan Gereja yang lebih baik untuk memasuki pokok dari reformasi
Gereja.

BAB I

FAJAR REFORMASI

A. Kemerosotan Nilai Hidup yang Membawa Pada Pembaharuan[1]

Sebagaimana kehidupan gerejawi pada saat reformasi Gereja, demikian pula tarekat-
tarekat religius dalam periode itu seakan memikul beban tak tertanggungkan lagi, yang
bermuara pada dekadensi. Tarekat-tarekat tua selain Chartusian dan sebagian Cistersiensis
terlalu sedikit memberikan jawaban pada apa yang seharusnya mereka berikan. Hal ini antara
lain disebabkan oleh kelekatan pada kekayaan biara; peperangan berkelanjutan di lingkungan
sekitar biara dan pembalikan nilai-nilai telah menyebabkan relaksasi disiplin religius dan
ilmiah sistem per-pajakan yang sangat mengikat. Regula (Anggaran Dasar) dilaksanakan
dengan tanpa kesetiaan dan bakti; previlese-previlese yang ditebar oleh pejabat Gereja
menambah merosotnya nyali kebiaraan.

Sejumlah pertapaan Benediktin seperti St. Gallo, Fulda, Reichenau, Ellwangen secara
bertahap berubah menjadi tempat-tempat yang mendukung gaya hidup para bangsawan, dan
menerapkan model kehidupan yang serba bebas, sebagaimana hidup para bangsawan zaman
itu. Para kanonik regular pun telah melepas semangat askese, bahkan di antara anggota
Tarekat Mendicantes tidak lagi ditemukan semangat asali (saudara-saudara pertama).
Larangan untuk memiliki harta pribadi tinggal tetap di atas kertas dan sering kali imam-imam
sekular (dengan dalih reksa rohani dan pastoral) kehabisan idealisme pelayanan dan merosot
menjadi tuan-tuan yang bejat.

Kasus yang sangat menarik terjadi di kalangan para Fransiskan, yang mengalami
konflik internal dan sejumlah anggotanya melawan Paus Yohanes XXII yang dicap Anti-
Kristus Demikian pula dalam Tarekat Carmelit. Ada dua aliran: yang satu lebih keras, yang
lain lebih moderat. Sebagaimana tarekat yang lain, Carmelit pun terbelah menjadi dua
kelompok ketika skisma besar Barat berlangsung. Sejumlah komunitas menolak Regula
Eugenius IV (1431) yang mau memuaskan semua pihak. Sejak saat itu berkembang dua
kelompok yang berbeda dari semangat yang sama: Carmelit Observan dan Carmelit
Conventual. Tarekat Ksatria, dengan jatuhnya Tanah Suci ke tangan pasukan ekspansi Islam,
telah kehilangan tujuan utama untuk apa tarekat didirikan. Tentu saja, mereka masih dapat
bermanfaat untuk rnenyelesaikan sejumlah persoalan di Barat. Ketidaksepakatan antara
Tarekat Templar dan Hospitaller (St. Yohanes) di Palestina lebih banyak merusak situasi
Kekristenan daripada sebaliknya.

Pada akhir abad XIII ada tekanan untuk menjadikan dua tarekat itu menjadi satu.
Apalagi Konsili Vienne (1309-1311) di Francis telah mendorong dibubarkannya secara tragis
Tarekat Templar atas desakan Raja Philips IV. Sejumlah besar kekayaan dialihkan ke Tarekat
St. Yohanes. Kekayaan di Spanyol tetap dikelola oleh kelompok kesatria yang jumlahnya
tidak seberapa; sementara yang di Portugal diserahkan pada Tarekat Militia Jesu Christi

2
(Milisi Yesus Kristus). Pusat utama Tarekat St. Yohanes (Hospitaller) sejak 1310 berada di
llodi. Karena itu orang menyebutnya Kesatria dari Rodi. Dua abad berikutnya, mereka ini
dibutuhkan kembali dalam ikhtiar Eropa membendung pasukan Turki yang melakukan agresi
militer memasuki wilayah Kropa Kristen. Ketika (1522) pulau yang telah mereka
pertahankan secara heroik dirobek-robek oleh pasukan Sultan Soliman II, dari 1530-1798,
pemimpin Agung Tarekat berdiam di Malta. Dari sinilah nama itu bertahan sampai dewasa ini
Tarekat Ksatria dari Malta. Reformasi Protestantisme dan sekularisasi kemudian
menyebabkan kerugian yang tidak ternilai bagi tarekat, dan tinggal segelintir saja yang
bertahan hingga hari ini.

Sejumlah kemerosotan dalam hal disiplin di sebagian besar hidup kerahiban


memancing dan menghasilkan serial usaha reformasi. Reformasi dalam Gereja sangat
disuburkan bukan oleh teori dan orasi, melainkan oleh praksis iman yang radikal dan total
para perempuan heroik seperti Catharina Siena (1347-1380), Catharina Bologna (1463),
Catharina Genova (1510), Brigita Swedia (1303-1373), Yuliana Norwich (1414). Selain itu,
Paus Benedictus XII (sebelumnya adalah rahib Cistersiensis) mendorong berlangsungnya
pembenahan (1335) Kanonik Reguler St. Augustinus (1339) dan mendesak diadakannya
kapitel umum, kunjungan kanonik (yang ditetapkan oleh regula tarekat), dll. Di sejumlah
wilayah berdiri tarekat-tarekat baru, yang umumnya menyikapi kelesuan dan dekadensi
dalam Gereja. Misalnya: Kongregasi St. Yustina (Padova), 1412. Hal yang sama muncul di
Valladolit (Spanyol), 1390; di Kastl (di Oberpfals, Jerman), 1380, Petershausen, 1417,
Bursfeld di Gottingen (1434). Akan tetapi, di antara tarekat-tarekat religius yang berkembang
pesat adalah Fratres vitae communis atau Fraterherren, yang diinspirasikan oleh Gerard
Groote (1340-1384). Pada usia 35-an, Groote meninggalkan hidup duniawi, melepaskan
segala hak waris, rnenjalani hidup dalam permenungan yang intensif, dan akhirnya
ditahbiskan menjadi diakon. Dengan izin dari Uskup Utrecht, Groote mengabdikan diri
dengan penuh ketekunan dan kerajinan pada pewartaan tentang pertobatan serta pembaruan
religius masyarakat dan para klerus. Tetapi tidak lama kemu-dian muncul permusuhan
terhadap dirinya, yang memaksanya menarik diri ke kota asalnya, Deventer. Di sinilah
bersama dengan teman dan murid-murid yang memiliki ide yang sama dengan dirinya,
Groote memimpin hingga akhir hidupnya sebuah komunitas doa, studi, dan pengajaran. Pada
awal abad XV komunitas ini mendapat izin resmi dari Uskup Utrecht. Segera gaya hidup
komunitas ini menyebar di sejumlah kota di Belanda (terutama di Zwolle) dan Jerman Barat
Daya.

Komunitas Fraterherren ini hidup dari pekerjaan tangan, khususnya menyalin buku-
buku liturgi dan buku-buku pelajaran. Mengembangkan misi populer, dengan kepedulian
terhadap pendidikan pada orang muda dan calon imam, selain melakukan publikasi buku-
buku serta pelestarian humanisme ningrat dalam sekolah-sekolah mereka. Di bawah bayang-
bayang Groote, yang dipengaruhi oleh Meister Eckhart (meski tidak sepenuhnya mengikuti
nasihat rohaninya) dan dalam relasinya yang akrab dengan seorang mistik Flamingo, J. van
Ruysbroeck, para murid Groote mengolah suatu bentuk devosi yang hangat dan batini, yang
dikenal dengan sebutan Devotio moderna, yang memberikan tekanan utama pada hal
mengikuti Kristus dan latihan mistik.

Fraterherren acap kali dimusuhi oleh para Mendicantes karena motto mereka, extra
religionem religiose vivere (di luar agama hidup secara religius), mereka itu memperkenalkan
hidup klausura (pingitan) dengan tidak mengucapkan kaul religius sebagaimana biasanya
kaum religius. Untuk ini rumah-rumah mereka dibangun dengan ilham dari Regula
Augustinae. Bentuk inilah yang menjadi daya dorong bagi reformasi Kanonik Reguler St.

3
Augustinus, yang pada 1430 memiliki 37 biara, dan akhir 1399 mempunyai 84 biara. Di
antara biara-biara Agustinian yang paling masyhur adalah biara Agnetenberg di Zwolle, di
mana pernah hidup dan berkarya Beato Thomas Hemerken Kempen, pengarang De
Imitatione Christi (1420-1424), sebuah buku yang paling diminati orang Kristen. Buku inilah
yang paling banyak dicetak dan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain setelah Kitab
Suci (lihat Thomas a Kempis, 1978).

Thomas H. Kempis dikenal pula sebagai wakil utama devosi baru. Devosi ini pada
prinsipnya merupakan upaya nyata dan praktis untuk menghidupkan kembali sekaligus
memperdalam kehidupan spiritual, yang sejak akhir abad XIV berkembang dan tersebar di
Negeri Belanda hingga wilayah-wilayah Jerman, Francis, dan Italia. Devosi ini menekankan
secara proporsional kehidupan batin setiap pribadi beriman dan mendorong dilakukannya
meditasi metodik, seperti misalnya tentang kehidupan dan penderitaan Yesus Kristus. Para
pemandu spiritual devosi ini acap kali dipribadikan dalam Augustinus (Uskup Hippo),
Bernardus (llairvaux, Bonaventura.

Minat akan hal-hal ilmiah pada abad XTV dan XV dapat digeneralisasikan: masih
tinggi. Hal ini terlihat dalam munculnya sejumlah universitas baru. Di Jerman, sampai
dengan 1517, terdapat 16 perguruan tinggi, yang memang mendominasi kehidupan
intelektual negeri tersebut. Tidak kurang jumlah ilmuwan yang mangembangkan
kemampuannya untuk mencapai perkembangan-perkembangan baru. Tetapi jika melihatnya
secara umum, kita akan berkesimpulan: kemampuan berkreasi para skolastik mulai
memperlihatkan gejala-gejala penurunan. Kurangnya orisinalitas dan banyak skolastik hanya
mengulang-ulang pandangan para maestro mereka. Studi tentang Kitab Suci dan warisan para
bapak Gereja tidak terjamin lagi, tetapi pendekatan (pemikiran) dialektik dan logis semakin
digemari. Lahirnya nominalisme tepat pada awal periode ini, yang menyebabkan ilmu
pengetahuan teologi mengalami suatu krisis besar, yang berlangsung hingga lahirnya gerakan
Protestantisme.

Nominalisme merupakan aliran pemikiran teologis, yang berkembang, tetapi praktis


merupakan reduksi terhadap paham-paham yang bersifat universal, yang selama ini menjadi
objek pemikiran, menjadi tanda-tanda yang kosong, tidak berarti dan tinggal sebuah kata saja
(nomina). Dengan demikian segala sesuatu yang dapat diperlihatkan dan secara rasional
memiliki dasar-dasar yustifikasi tidak dapat diukur atau dihitung, terutama iman
dipertanyakan. Sejalan dengan garis ini segera tiba sebuah afirmasi pada kebebasan absolut
Allah dan pewahyuan yang tidak dapat diverifikasikan, sehingga halnya akan sampai pada
arah yang berbeda hingga prinsip kebenaran ganda. Maksudnya, sesuatu dapat dikenali
sebagai benar oleh iman, (dan) kendati bertentangan dengan akal budi.

Sosok yang mewakili alam pikiran ini adalah William Ockham (1285-1349), seorang
Fransiskan dari Inggris (Goddu, 1994:231-310; Merino, 1993:341-435), yang dihormati
dengan gelar Doctor invincibilis et Venerabilis Inceptor (atau doktor yang tak terkalahkan
dan pencetus yang terhormat). Gelar terakhir ini (Venerabilis Inceptor) tidak menunjuk pada
perannya sebagai pemrakarsa sekolah nominalis, melainkan mengacu pada kenyataan
bahwa Ockham lantaran konfliknya dengan Takhta Suci tidak dapat melanjutkan karir
akademiknya, tetapi memperoleh dari Universitas Oxford bachaloreat (inceptor), pemula,
tanpa pernah mencapai magister. Kepeduliannya antara lain adalah ingin membebaskan
Gereja dari absolutisme kekuasaan politik (yang mempribadi dalam jajaran pemimpin seperti
Yohanes XXII). la hidup dan berpikir dalam konteks eksistensial dari separasi nyata antara
iman dan akal budi, filsafat dan teologi, teologi dan politik, Gereja dan Negara. Sejak 1329

4
Ockham tinggal di Munchen. Selain menjadi pendukung setia Ludwig dari Bavaria, yang
diekskomunikasi Sri Paus, ia sendiri juga musuh Paus Yohanes XXII dalam persoalan tentang
teori kemiskinan. Apakah sebelum kematiannya karena penyakit pes, ia rujuk dengan Gereja
dan tarekat Fransiskan, tidak serba jelas. Seturut legenda, Ockham pernah berkata kepada
Ludwig Bavaria (1314-1347), O imperator, defende me gladio, et ego defendam te verbo.
Artinya, ya kaisar belalah saya dengan pedang, dan saya akan membela paduka dengan kata-
kata.

Ockham yang merupakan sosok terbesar terakhir dari era skolastik dan dalam waktu
yang sama sosok pertama zaman modern, menyebarluaskan dan mematangkan doktrin
nominalisme. Karakter umum kriterialoginya adedahanti metafisika. Menurut Ockham, alam
semesta tidak memiliki apa-apa kecuali jiwa yang ia pandang bukan entitas nyata. Alam
semesta semata-mata adalah gambaran dari pikiran atau hal-hal singular (conceptus mentis).
Secara historis lebih pentinglah kenyataan ini: seraya meninggalkan setiap yustifikasi iman
oleh pihak akal budi, Ockham meruntuhkan penopang kokoh iman itu sendiri. Pada dasar
kepercayaan nominalistik terbujur pandangan ini: konsep-konsep dan realitas itu samasekali
terpisah, sehingga sebuah metafisika tentang ada itu tidak mungkin. Konsekuensinya: tidak
mungkin ada pengetahuan alami tentang Allah. Ockham memperlihatkan bahwa bukti-bukti
yang umum tentang Allah bukanlah logika.

Dalam kenyataannya, Ockhamisme tersebar luas di I nggris, Francis, dan Jerman


dalam abad XIV-XV, terutama di universitas-universitas terkenal zaman itu seperti Oxford,
Paris, Winn, Kriurl,Basel, Freiburg dan Tubingen. Persaingan antara dua jalan: via moderna
(nominalisme, terministae, conceptistae) dan via antique (realisme, realis) memenuhi kurun
waktu tersebut. Dengan separasi yang berlebihan antara iman dan ilmu pengetahuan,
nominalisme mematangkan persiapan dan jalan bagi para pembaru keagamaan abad XVI.
Martin Luther belajar banyak dari Ockham (sum Occamicae factionis). Perlu dikatakan,
skolastik yang konservatif dan klasik terbagi dalam pelbagai kelompok sekolah: Thomis,
Scotis, Augustin. Seorang Dominikan, Durando dari St. Porciano, profesor teologi di Paris
dan Avignon, kemudian dijadikan uskup di Le Puy dan Meaux, yang disebut Doctor
modcrnus, atau juga Doctor resolutissimus, kendati anti-tomistik tidak didaftar dalam
bilangan nominalistik. Sebab ciri khas pemikirannya adalah platonis-augustinian. Sementara
itu, Gregorius Rimini (Doctor authentic), general Tarekat Augustinian, Yohanes Bridano
(rektor Universitas Paris 1327, 1348), Albertus Saxonia, Marsilio Inghen, Henrich
Langenstein dinyatakan sebagai ockhamistis.

Fajar Reformasi di dalam Gereja abad XVI sebenarnya juga dimeriahkan oleh
tampilnya para reformator anti Gereja abad XV (Lea, 1962:43-55). Mereka itu adalah Jan
(Pupper) Goch; Johannes (Ruchrat) Oberwesel dan Wessel Gansfort. Goch berpandangan
bahwa hanya kebenaran-kebenaran religius saja yang diperlihatkan dalam Kitab Suci. la
berjuang melawan paham yang mengatakan bahwa kaul para biarawan memiliki arti khusus,
meski ia tidak sampai menghilangkan status religius yang de facto ada. Johannes Ruchrat
dengan tegas menyatakan: prinsip sola scriptura (hanya Kitab Suci sumber kebenaran. Sebab
di sanalah dinyatakan penyingkapan Diri Allah kepada manusia). la menentang indulgensi,
menolak ajaran tentang dosa asal, perminyakan suci tidak dipandangnya sebagai sakramen.
la kemudian dicopot dari jabatan uskup Worms, 1477, lalu beralih ke Mainz (sebagai pastor
paroki), tetapi kemudian diseret ke pengadilan inkuisisi dengan tuduhan ada hubungan
dengan para pengikut Huss (di Bohemia).

5
Kemudian karena ia bersedia menarik semua kesalahannya, lalu ia dihukum dengan
tinggal di biara Augustinian di Mainz sampai ia wafat. Gansfort, seorang awam dari
Groningen, dihormati oleh para pengagumnya sebagai Lux Mundi (Terang Dunia). Oleh para
lawannya (skolastik) dia disebut Magister Contradictionum.

Faktor lain yang perlu dicatat berkenaan dengan fajar Reformasi Protestantisme
adalah munculnya krisis religius. Tentu hal itu tidak perlu meniadakan sejumlah prestasi
seperti khotbah para imam dan religius yang membangkitkan kesalehan religius, bangunan-
bangunan (seni religius dalam bidang arsitektur) yang sangat indah, munculnya fondasi-
fondasi untuk pelayanan demi penyembuhan jiwa-jiwa, remedium animae, lahirnya
konfraternitas yang berperan pada kultus, lembaga-lembaga sosial karitatif, karya-karya tulis
dan katekese yang tak tertandingi, penyebaran Kitab Suci, drama-drama religius, lagu-lagu
Gereja, tersebarnya latihan-latihan rohani, devosi dan doa-doa seperti rosario, angelus, jalan
salib, keikutsertaan umat dalam pelayanan Gereja, gairah untuk mendapat indulgensi dan
ziarah, meningkatnya kultus kepada orang suci dan barang-barang suci seperti relikui.

Tetapi memang tidak dapat disangkal bahwa pada saat itu berkembang pula
penyalahgunaan khotbah-khotbah demi menebarkan indulgensi, ziarah-ziarah yang nyaris
menjadi virus, dalam semangat avontur. Tersebar luas kepercayaan akan takhayul, gugon-
tuhon (kepercayaan sia-sia), magia, astrologia, ilmu hitam (santet), dukun, sihir, nujum,
peramal. Pada umumnya, kepercayaan akan setan ditafsirkan dan disebarluaskan dengan
gambar-gambar, yang kadang-kadang berlebih-lebihan demi menciptakan jiwa yang takut
akan Allah dan terror.

Dalam kehidupan moral, terasa ada kekurangan besar berkaitan dengan otoritas
gerejawi dan sipil yang sudah sangat merosot, suasana tidak aman, tidak ada kepastian
hukum, penggunaan kekerasan, penipuan, riba, pelacuran. Sementara itu, terlalu banyak
klerus hidup tidak sesuai dengan panggilan mereka, kehidupan duniawi terlalu merasuk
dalam Curia, korps kardinal, bahkan para paus di Roma. Orang-orang Gereja itu memburu
kekayaan danmengumpulkannya. Banyak tarekat religius dan pertapaan mengalami
kemerosotan. Klausura dan regula kemiskinan nyaris tidak lagi dilaksanakan. Adalah sangat
signifikan ke-nyataan bahwa pada saat meletusnya Reformasi Protestan, sejumlah besar
anggota tarekat religius yang tidak merasa bahagia dan kecewa menemukan pintu keluar dari
biara dengan membuang ke kakus semua kaul-kaul religius.

Meski segala kekalutan dan situasi buruk menerjang Gereja, namun Roh Tuhan, yang
tidak pernah meninggalkan Gereja, menyelamatkan juga dari situasi mengerikan ini seraya
memberikan kehidupan baru. Dalam rahim Kekristenan masih ada di mana-mana kekuatan-
kekuatan perawan dan kudus yang menjadi sumber penyehatan dan pengudusan. Umumnya
kekuatan itu berasal dari wilayah Latin, terutama Mediteran, yakni Italia dan Spanyol,
Negara terakhir ini selain memiliki semangat penaklukan kolonial yang berawal dengan
ekspedisi fantastis yang dikepalai oleh Christoforus Columbus, juga menjadi negara
Katolik yang sedang datang. Perjuangan panjang Spanyol untuk mengusir orang-orang
Muslim, yang memuncak dalam perebutan kembali Granada, 1492, telah memberi sinyal
akan bangkitnya semangat Kekristenan yang menuntut untuk selalu diperhitungkan, nyaris
fanatik, yang mempersekutukan para bangsawan (priyayi) dan rakyat jelata.

BAB II

6
TOKOH-TOKOH REFORMASI GEREJA

A. Alasan-alasan Munculnya Reformasi Protestantisme[2]

Ada sekurang-kurangnya empat alasan munculnya Reformasi Protestantisme. Alasan-


alasan itu sangat kompleks dan oleh karena itu tidak dapat disederhanakan, misalnya hanya
menyangkut kebejatan moral kepausan.

Alasan pertama yang mungkin bagi munculnya Reformasi Protestantisme adalah


nasionalisme dan bangkitnya negara-negara nasional. Contoh yang paling mencolok adalah
benturan frontal yang tidak terelakkan antara Paus Bonifatius VIII dan Raja Philips. Yang
dimaksudkan dengan nasionalisme di sini adalah tumbuhnya kesadaran sebagai nasion dari
sejumlah bangsa (yang berarti negara-negara) di benua Eropa.

Alasan kedua yang mungkin adalah ketidakpuasan dan kekacauan di bidang


ekonomi. Pada kurun waktu Reformasi, penghuni Eropa berjumlah sekitar 65 hingga 80 juta
jiwa. Sistem ekonomi yang berlaku adalah kapitalisme. Kelas borjuis, yang sering dianggap
sebagai pelaku ekonomi kapitalis, berkembang di kota-kota. Mereka ini tetap memegang
peranan ekonomis sejak abad-abad terakhir Zaman Pertengahan. Teknologi baru di bidang
pertambangan, perkapalan dan percetakan menyegarkan ekonomi. Tetapi tatanan
perekonomian yang demikian menimbulkan sejumlah ketidakpuasan sekaligus kesenjangan
dalam masyarakat pada umumnya. Para bangsawan (rendahan) semakin tidak mempunyai
tempat dalam masyarakat yang mengalami erosi feodalisme. Sementara itu, kebanyakan
orang tetap tinggal buta huruf. Para petani, khususnya di Jerman, adalah kelompok yang
diperalat dan yang mencari perbaikan hidup melalui ekonomi uang. Kedua kelompok
(bangsawan rendahan dan kaum tani) ini sangat rentan terhadap tendensi revolusioner.
Kedua-duanya juga berperan bagi lajunya Reformasi Lutheran dan munculnya tradisi
Anabaptis.

Alasan ketiga yang mungkin adalah kelemahan kepausan. Ada sinyalemen yang
memperlihatkan bahwa sejak 1300, suksesi dalam rangka kepausan mencapai ambang
kejenuhan. Sejumlah peristiwa membuktikan sinyalemen tersebut, misalnya Masa Kepausan
di Avignon, 1305-1377; Skisma Besar Gereja Barat, ketika dalam kurun waktu yang sama
Gereja dipimpin oleh 3 (tiga) paus secara serentak, 1378-1417; Konsiliarisme, 1409-1460;
Gagasan-gagasan para Reformator yang sangat berjasa, seperti Wycliffe dan Huss; para Paus
yang berpola hidup borjuis. Selain itu Kepusan membiarkan lewat begitu saja reformatio in
capite et membris (pembaruan dalam diri pimpinan dan anggota Gereja), yang sudah
diserukan agar dilaksanakan (seruan Konsili Konstanz, 1414-1417). Lebih buruk lagi adalah
kualitas dan moral para prelat dan hierarki dalam tata pemerintahan Kuria Roma, kemewahan
dan nepotisme (misalnya beberapa saudara dekat dari paus, kendati masih sangat muda
dijadikan kardinal. Paus Sixtus IV mengangkat 6 (enam) saudara dekatnya untuk dijadikan
kardinal, di antaranya Kardinal Petrus Riario yang mati karena tidak mengontrol diri dalam
makan, minum, dan nafsu syahwatnya. Usianya hanya 28 tahun. Innocentius VIII sebelum
dipilih jadi paus sudah mempunyai sejumlah anak haram yang diketahui umum).

Tentu saja, borok dan kebusukan para pemimpin Gereja tidak dapat disangkal. Situasi
semacam ini de facto menyuburkan sikap berontak Irrhadap lembaga Gereja yang dipimpin
orang-orang yang tidak becus dan bermoral bejat, dll. Upaya mereformasi Gereja sebenarnya
hendak mengangkat pembaruan dalam Gereja yang tidak saja menyangkut adat kebiasaan
(luaran), tetapi juga dan terutama dalam dogma serta struktur gerejawi. Bagi Luther, dosa

7
para rohaniwan adalah mengkhianati kebenaran. Singkatnya, Luther tidak menuntut hukuman
atas kebejatan moral dan penyalahgunaan, melainkan substansi dan doktrin kepausan yang
menurutnya tidak benar.

Alasan keempat yang mungkin adalah keadaan Gereja Roma yang sangat
memprihatinkan. Sejumlah paus yang tidak layak dibanggakan sama sekali, misalnya
Alexander VI. Dosa Gereja Roma yang teramat besar adalah kerakusannya. Tidaklah sulit
percaya, bahwa orang Jerman berpikir tentang pajak (kepausan) itu diperuntukkan terutama
demi memIayani gaya hidup para uskup gerejawi. Selain itu, para imam bawahan
berpenghasilan sangat rendah, pendidikan mereka pun ala kadarnya, longgarnya penghayatan
selibat, dan praktis mereka ini digolongkan dalam status sosial yang rendah sebagaimana
rakyat kebanyakan. Sementara itu, para bangsawan dan pangeran gerejawi tersebut
membawahi sejumlah Gereja (dan urusan administrasi keuangan), tetapi mereka ini lebih
sering absen. Revitaliasasi hidup membiara merupakan bagian yang signifikan dari
Reformasi Katolik.

1. B. Martin Luther, 1483-1546[3]

Luther lahir 10 November 1483 di Eisleben, Saxonia, wafat 18 Februari 1546.


Berasal dari keluarga petani. Ayahnya, Hans Luder, mengawini Margaret Ziegler. Pada
musim panas, 1484, keluarga Luder pindah ke Mansfeld, Magdeburg dan Einsenach, Pada
1501, Luther belajar di Universitas Erfurt dan meraih gelar MA. Salah satu ciri lingkungan
universitas ini adalah pengaruh skolastik yang begitu kuat dalam wujudvia moderna, dan
yang sarat dengan pengaruh nominalisme (Ockhamisme). Luther dibesarkan dalam
lingkungan yang akrab dengan praktik-praktik kesalehan kepercayaan Katolik tradisional.
Ibunya yang devosional mengajarkan kepada dan mendorong anak-anaknya agar menghadiri
Perjamuan Tuhan secara teratur.

Secara mendadak ia memutuskan untuk masuk biara. Keputusan ini merupakan


pemenuhan atas ikrar kepada Santa Anna yang diucapkannya, karena ia selamat dari bahaya
petir yang mengancam keselamatan jiwanya (2 Juli 1505), Saya akan masuk biara, jika saya
selamat! Ikrar itu dipenuhi dengan menjadi anggota kelompok rohaniwan Kanonik Regular
Santo Augustinus (Ordo Sancti Augustini Eremitae) di Erfurt. Keputusan ini tentu
mempunyai akar mendalam: kecemasan yang sejak masa kecilnya menghantuinya, kegalauan
pikiran akan pengadilan Allah yang menakutkan dan perlunya keselamatan jiwa. Pada 1507,
ia ditahbiskan menjadi imam di Wittenberg. Masuknya Luther dalam lingkup kebiaraan
terutama dimotivasi oleh ketakutan religius akan malapetaka seandainya nasar (ikrar)
pribadinya tidak dipenuhinya. Dalam hal ini menjadi biarawan identik dengan usaha
menenangkan dan menenteramkan diri dari segala usikan jiwa.

la mengalami krisis antara 1515-1517. Krisis ini membuatnya tidak dapat memenuhi
lagi kewajiban-kewajibannya sebagai biarawan. Ia terjatuh dalam melankonia. Kegersangan
yang bermuara pada kegelisahan rohani itu akhirnya terjawab dalam Turmerleibnis, atau
pengalaman menara. Di dalam sebuah menara ia mendapat pencerahan melalui bacaan Roma
3:28 dan 4:6-8, Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan
karena ia melakukan hukum Taurat. Dan lagi, Seperti juga Daud menyebut berbahagia
orang yang dibenarkan Allah bukan berdasarkan perbuatannya: Berbahagialah orang yang
diampuni pelanggaran-pelanggarannya, dan yang ditutupi dosa-dosanya; berbahagialah
manusia yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan kepadanya.

8
Maka bagi Luther, kebenaran Allah itu adalah rahmat, suatu pemberian cuma-cuma
dari Allah. Konkupisensi, baginya, tetap tidak dapat diatasi dan menjadi dosa pribadi
sungguhan dalam diri orang Kristen yang telah dibaptis. Luther menyatakan, kata keadilan
dalam Kitab Suci tidak mengisyaratkan hukuman terhadap pendosa, melainkan mengacu
pada tindakan, dengan mana Allah menyilih dosa-dosa sejauh dosa-dosa itu ditinggalkan
melalui jalan iman, yakni pertobatan. Luther memperoleh jalan keluar dari ke-cemasannya:
cukuplah beriman, untuk mengetahui dan merasa disela-matkan. Dari hal ini, yang adalah
jalan singkat untuk mencapai tesis-tesis lainnya, Luther membela perlunya keselamatan
sebagai inti ajaran. Luther samasekali tidak memimpin pemberontakan mana pun juga. la
hanyalah mempercepat saat proses perubahann dalam tubuh Gereja.

Secara substansial doktrin teologis Martin Luther yang paling penting terdiri atas tiga
hal, yakni:

1) Ajaran tentang yustifikasi (pembenaran) yang radikal atas manusia melalui sola fide.
Slogan yang paling terkenal dari gerakan pembaruan keagamaan yang dilancarkannya
berbunyi, Pembenaran hanya oleh iman.

2) Ajaran tentang infalibilitas (ketidak-sesatan) Alkitab, yang dipandang sebagai satu-


satunya sumber kebenar-an. (Tetapi ada pandangan yang mengatakan bahwa butir ini
agaknya tidak diajarkan oleh Martin Luther, dan halnya baru muncul dari para pengikutnya
yang tertentu, antara lain Kaum Konservatif Injili abad XX).

3) Ajaran tentang imamat umum dalam kaitannya dengan kuasa untuk menafsirkan Alkitab.
Semua proposisi teologis lainnya yang dimajukan Luther selalu merupakan konsekuensi dari
prinsip-prinsip tersebut, misalnya ajaran tentang yustifikasi; predestinasi; kembali ke Alkitab;
sakramen; Gereja; pemikiran politik reformasi dan pengaruh pemikiran reformasi atas
sejarah. Berikut ini dikemukakan penjabaran atas substansi doktriner tersebut di atas:

Doktrin tradisional Gereja mengatakan, manusia diselamatkan oleh iman dan karya-
karyanya (iman menjadi nyata sungguh-sungguh ketika diwujudkan dan diungkapkan secara
konkret dalam karya-karya). Karya manusia menjadi kesaksian otentik hidup Kristen,
manakala diinspirasikan dan digerakkan oleh iman yang benar. Jadi, karya insani itu mutlak
perlu. Dengan gigih Luther menentang nilai karya manusia. Secara psikologis Luther
frustrasi, karena tidak mampu memperoleh keselamatan dengan karya dan usahanya sendiri.
la merasa cemas akan keselamatan kekal. Solusi yang tepat dari kebuntuan tersebut cukuplah
beriman demi keselamatan. Imanlah yang membebaskan dan secara radikal mencabut
kekhawatiran hidup insan beriman.

Hanya karena iman (sola fide) manusia dibenarkan. Maksudnya, hanya iman yang
menyelamatkan manusia, dan bukan karya-karya (sekalipun baik dan terpuji dari pihak)
manusia, misalnya amal kasih (derma); matiraga. Keselamatan itu bukan merupakan imbalan
dan terjadi lanpa jasa dari pihak manusia. Jika otoritas tidak merupakan jaminan (baca:
otoritas itu falibel), maka satu-satunya yang menjamin kepastian adalah iman dalam Allah.

lustitia Dei (keadilan Allah) semata-mata dianugerahkan oleh Allah kepada manusia.
Keadilan ini tanpa jasa dan hak manusia. Kedaulatan Allah atas keadilan semata-mata
menjadi hak prerogatif-Nya, tanpa kemampuan manusia sedikit pun untuk menggugatnya.
Pengampunan Allah tidak membawa manusia pada suatu pembaruan batin secara ontologis:
manusia telah dan tetap berdosa, tetapi Allah menghendaki supaya manusia diperbarui dan

9
disucikan. Manusia itusimul iustus et peccator (benar serentak pendosa). Memang, akhirnya
ajaran ini mempunyai bobot otoritatif dalam gerakan teologi Protestantisme. Manusia
mendapat keadilan Allah bukan lantaran karya-karyanya, melainkan hanya merupakan
kepastian akan keselamatan yang dilakukan Allah.

Hanya Alkitab sajalah otoritas yang infalibel (yang-kalis-dari-kesesatan) yang manusia


butuhkan. Sri paus, uskup, konsili-konsili dan seluruh tradisi insani bukan saja tidak berguna,
tetapi juga dan malahan menghalangi manusia memahami Alkitab secara benar. Sola
Scriptura (hanya Alkitab). Maksudnya, Alkitab yang merupakan asas tunggal tanpa ada yang
lain dalam hidup menggereja, berisi semua kebenaran yang diwahyukan Allah. Pada dirinya
sendiri Alkitab cukup memberikan kepada Gereja kepastian tentang semua kebenaran ilahi.
Dalam konteks ini, tidak ada hubungan antara tradisi dan kepengantaraan Gereja dengan
kuasa mengajar (magisterium), sehingga bagi Luther terbukalah jalan untuk menguji atau
menafsirkan secara bebas. Alkitab menjadi tempat pengungsian yang terakhir. Alkitab adalah
batu karang, di mana tiada badai dan bencana insani mampu menggoyahkannya. Dengan
demikian Luther menolak Gereja yang hierarkis sebagaimana diperlihatkan oleh Gereja
Roma. Manusia beriman tidak membutuhkan mediasi insani. Sebab kebebasan manusia
beriman, yang adalah anak-anak Allah, telah memungkirrkan Allah berhubungan langsung
dengan masing-masing orang beriman. Akibatnya adalah ia menolak Ekaristi sebagai kurban.
Karena kurban (salib) Yesus Kristus hanya terjadi sekali (di Kalvari), tidak terulang dan
untuk selama-lamanya. Luther kemudian mereduksikan jumlah sakramen dari 7 (tujuh)
menjadi 2 (dua): Baptis dan Ekaristi. la juga mendevaluasi pengertian/pemahaman tradisional
tentang sakramen. Dikuranginya tanda-tanda lahiriah dari rahmat (sakramentali), iman dan
kebebasan yang sungguh kuat tentang kultus.

Reaksi hierarki Gereja Katolik Roma. Dengan tersebarluasnya tesis tentang indulgensi, Leo
X mengundang Luther untuk datang dan mempertanggungjawabkan pandangannya ke Roma.
Friederich yang bijaksana dari Saxonia meminta, agar Luther hadir di Roma; dan cukuplah
diinterogasi di Augsburg tetapi interogasi sendiri tidak menghasilkan banyak hal. Sebab bagi
Luther paus telah dicekoki dengan informasi yang bukan saja tidak cukup, tetapi juga salah;
jika demikian halnya situasi akan menjadi lebih rumit lagi.

Kemudian, 1519, di Leipzig berlangsung perdebatan ekstra sengit antara Luther dan Johannes
Eck (1486-1543), yang, meski gagal meyakinkan Luther untuk meninggalkan pandangan-
pandangannya, berhasil menyampaikan penjelasan kepada publik untuk pertama kalinya
doktrin tentang primat paus dan infalibilitas konsili-konsili. Sementara itu, Luther berpegang
teguh pada prinsip dasariah gerakannya, yakni menganggap Kitab Suci sebagai satu-satunya
sumber kebenaran yang diwahyukan oleh Allah. Setelah perdebatan teologis di Leipzig
tersebut, Eck pergi ke Roma untuk membantu mempersiapkan kecaman terhadap Luther.
Pada 15 Juni 1520, Paus Leo X mengeluarkan bulla Exsurge Domine (Bangkitlah Tuhan),
yang menutup proses terhadap Luther (DS 1451-1492). Bulla ini mengecam 41 (empat puluh
satu) tesis yang ditarik dari ajaran-ajaran Luther, yang dipandang As either heretical,
scandalous, false, offensive I o pious ears or seductive of simple minds, and against Catholic
truth. Eck dan Duta Besar, Aleander, bertanggung jawab atas penyebarluasan bulla Exsurge
Domine di Jerman. Kedua tokoh tersebut mendesak Martin Luther untuk menarik ajarannya
dalam 2 (dua) bulan. Tentu saja, taat pada desakan, yang berarti menarik kembali ajaran yang
sudah tersebar luas bukanlah perkara mudah. Sebab banyak orang sudah terlanjur
berbondong-bondong memperkuat barisan Luther (orang-orang terdidik dan tidak terdidik,
kaya dan miskin, dari lapisan atas maupun bawah dalam strata masyarakat).

10
Pada 1520, Luther menerbitkanAn den christlichen Adel deutscher Nation (Kepada
Bangsawan Kristen Bangsa Jerman) yang tersebar luas dalam waktu yang sangat singkat.
Pengarang dengan sengaja menulisnya dalam bahasa Jerman. Sebab karya ini dikhususkan
bagi orang Jerman. Di sini Luther mau merobohkan tiga tembok yang memungkinkan Gereja
Roma bertahan. Tembok pertama: perbedaan antara imam (kekuasaan spiritual) dan awam
(kekuasaan duniawi). Tembok kedua: hak istimewa hierarki untuk menafsirkan Kitab Suci.
Tembok ketiga: previlese paus untuk memanggil konsili (Perihal Malapetaka Pembuangan
Babilonia Gereja) yang dimaksudkan Luther untuk menghancurkan doktrin tradisional Gereja
Roma tentang sakramen-sakramen. Luther tetap mempertahankan sakramen Baptis dan
Ekaristi, sambil menyangkal transubstansiasi dan makna kurban Ekaristi. Dalam De libertate
Christiana (Tentang Kebebas-an Kristen) Luther menyanjung kebebasan (batin) manusia,
yang dibenarkan oleh karena iman dan kesatuan dengan Kristus. Baginya perbuatan-
perbuatan yang baik tidak bermanfaat untuk pembenaran. Manusia tentu saja tetap wajib
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik, akan tetapi hal itu tidak lebih daripada
konsekuensi logis dari pembenaran. Dengan kata lain, justru karena manusia dibenarkan
karena imannya, maka ia wajib melakukan pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan
baik.

Setelah melewati batas waktu yang ditentukan dari penetapan l.\::urge Domine,
Melanchthon memimpin para mahasiswa fakultas di VV111 ctiberg ke lembah Sungai Elbe
untuk melakukan ritus pembakaran I in k u-lmku. Selain teks-teks hukum dan skolastik
klasik, turut dimusnahkan karya-karya Eck. Luther sendiri membakar bulla Exsurge Domine,
iIn11 sobuah salinan Kitab Hukum Kanonik, dasar yuridis bagi corpus (lirislianorum Abad
Pertengahan. Tindakan ini bersifat provokatif. Ia sendiri menyadari arti perbuatannya. Pada
3 .l.in. 1521, dikeluarkanlah bulla Decet Romanum Pontificem yang mengekskomunikasi
Luther dan para pendukungnya. Pemimpin Gereja Roma saat itu sudah kehilangan akal, dan
tidak tahu lagi cara mempertahankan kekuasaannya di Jerman, tanpa dipermalukan oleh ulah
salah seorang anggota Gereja, Martin Luther.

Sebelum menegaskan sikap melalui bulla Decet Romanum Pontificem tersebut Roma
memanfaatkan Karel V. Akan tetapi, Kaisar Katolik ini memiliki tiga buah pemikiran demi
memberikan masukan kepada Roma: Kaisar dapat taat kepada Roma dan mengutuk Luther
dengan mandat kekaisaran, sebab dirinya selalu berada dalam sabuk pengaman paus atau dia
berusaha melakukan negosiasi pribadi untuk meyakinkan Luther agar tunduk pada Roma;
atau memberi kesempatan kepada Luther untuk menjelaskan duduk perkaranya di depan
Parlemen dan biarlah parlemen yang memutuskannya. Karel V memilih yang terakhir.
Singkatnya, Parlemen Worms akhirnya memutuskan, Luther dan semua prndukungnya diusir
dari wilayah kekaisaran; karya-karyanya dinyatakan sebagai bidaah dan harus dimusnahkan;
penyebarluasan doktrin I Aitheran dilarang; siapa saja yang berkomunikasi dengan Luther
akan ditangkap dan harta kekayaannya akan disita.

Ketika terlihat bahwa otoritas Negara dan Gereja menolak Martin Luther, maka ia
menyeru pada para bangsawan dan terutama kepada rakyat jelata. Bagaikan gayung
bersambut Luther kini menjadi pemimpin gerakan keagamaan yang segera melahirkan sebuah
revolusi. Dalam perjalanan kembali ke Wittenberg, Luther diculik oleh satuan laskar
berkuda yang bertindak atas suruhan Friederich dari Saxonia dan mengamankannya di kastel
Wartburg. Selama sekitar satu tahun (awal Mei 1521 hingga awal Maret 1522) Luther tinggal
di kastel tersebut. Di sini Luther memakai nama samaran Junker Georg. Sementara itu, di
dalam masyarakat beredar isu, misalnya ia diculik oleh para musuhnya (kaki tangan Karel V),
ia sudah dihabisi, dan lain sebagainya. Di kastel Wartburg Luther benar-benar aman.

11
Kesibukan utamanya menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru dari bahasa Yunani ke dalam
bahasa Jerman yang selesai ia kerjakan dalam 3 bulan dan dicetak di Wittenberg, September.
1522, yang disebut September-testament. Cetakan pertama sebanyak 3.000 eksemplar terjual
habis dan cetakan kedua dibuat pada Desember, yang kemudian disebut Dezember-
testamenf). Terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman bukanlah yang pertama. Sebab
sudah ada puluhan terjemahan sebelumnya. Akan tetapi, kualitas terjemahannya tidak baik.
Apalagi terjemahan-terjemahan itu merupakan terjemahan dari Vulgata, bukan dari teks asli
yang berbahasa Ibrani dan Yunani. Luther ingin menerjemahkan Alkitab sedekat mungkin
dengan teks aslinya. Terjemahan ini mempunyai arti positif, khususnya bagi perkembangan
bahasa Jerman dan nasionalisme. Hanya dua belas tahun kemudian, 1534, Luther berhasil
menyelesaikan terjemahan seluruh Alkitab. Selain itu, Luther menulis sejumlah karya,
misalnya Rationis Latomianae confutatio. Buku ini selesai dicetak pada 7 Mei 1521. Berisi
jawaban Luther atas tulisan seorang profesor di Louvain, Latomo. De votis monasticis; De
abroganda missa privata dan Vom Miflbrauch der Messe. Selain itu, Luther menulis buku-
buku sekunder, misalnya Komentar tentang Mazmur, Surat-surat Paulus, Bacaan-bacaan
dalam Perjamuan Tuhan, Argumen-argumen Melawan Bulla Ekskomunikasi, In coena
Domini dan Magnificat verdeutschet und ausgelegt (1521), yang ditujukan kepada Pangeran
Johann Friederich Saxonia. Kepadanya Luther berterima kasih, karena laskar Pangeran sudah
menculik-nya setelah ekskomunikasi kepausan dijatuhkan.

C. REFORMASI CALVINIS[4]

Ketika Lutheranisme terancam krisis dan nyaris kehilangan daya lariknya, Calvin
(1509-1564) mengambil alih kepemimpinan Reformasi di dalam Gereja Kristus (pada
pertengahan abad XVI). Yohanes Calvin lahir di Noyon, Piccardia (Francis), 10 Juli 1509.
Calvin, yang lebih muda 26 tahun daripada Luther, adalah generasi kedua reformis.
Calvin menempuh formasi formal di Paris, dan mendapat pengaruh humanis dari lingkungan
Jacques Lefevre dEtaples (atau Faber Stapulensis, 1455-1536). Pada usia 18 tahun ia
memperoleh gelar MA. Gelar sarjana hukum diperolehnya pada 1532.

Ia seorang teolog otodidak (Calvin pernah menjadi mahasiswa fakultas teologi dan
mempelajari teologi formal, sebelum studi hukum, meski ia hanya mempelajari tahap-tahap
awal dan dasar teologi. Calvin adalah seorang Francis. Negeri ini menganut paham monarki
absolut. Para Reformis di Francis hidup tanpa perisai, singkatnya, reformasi di Francis
menciptakan sebuah Gereja yang disirami oleh darah para martirnya yang menentang
kekuasaan otoritas sentral yang membenarkan diri dengan istilah un roi, une loi, une foi (satu
saja, satu hukum, satu iman). Pada akhir 1533 Calvin mulai menyatakan dirinya sebagai
penganut Protestan. Kemudian Calvin menetap di Basel. Di kota ini ia menerbitkan karya
utamanya, Christianae Religionis Institutio (1536). Dalam karyanya ini Calvin menuduh
Gereja Katolik Roma memperbudak nuraninya di bawah hukum yang menyebabkan
kekhawatiran dan teror serta ketidakpastian keselamatan. Dalam edisi pertama Christianae
Religionis Institutio Calvin, mengajarkan bahwa Gereja pada hakikatnya adalah invisible.
Gereja itu orang-orang terpilih bersama-sama, hanya dikenali oleh Allah semata-mata. Pada
mulanya Institutio dimaksudkan sebagai katekismus atau buku pelajaran agama. Sudah
menjadi rahasia umum, Luther sangat berpengaruh pada Institutio. Pada pokoknya Institutio
(edisi I) terdiri atas 6 (enam) bab: Perihal hukum; Syahadat; Doa Tuhan; Sakramen Baptis
dan Perjamuan Tuhan; Argumen-argumen Melawan Sakramen-Sakramen (Gereja) Roma;
pembicaraan tentang kemerdekaan kristiani. Calvin menulis (1543) sebuah karya polemik, di
mana ia meminta secara ironis menginventarisasi semua tubuh orang suci dan relikui
mereka yang ada di Italia, Francis, Jerman dan Spanyol serta kerajaan-kerajaan lain.

12
Reformis Calvin menetap di Geneva sampai ajal merangkulnya, 27 September 1564.
Geneva boleh dikatakan sebagai pusat gerakan Calvinis. Di sanalah Calvin berhasil
mewujudkan sebuah pemerintahan teokratis yang diinspirasikan oleh Reformasi, sangat keras
dalam tataran hidup religius dan moral. Di Geneva pula ia melaksanakan prinsip-prinsip
keagamaan secara organisatoris dan definitif.

Reformator dari Geneva ini dikenal karena karya kerasulannya yang tidak mengenal
letih, seorang sahabat yang setia dan penuh perasaan, kaya akan minat dan cita-cita, mampu
menghadapi dan memecahkan pelbagai kasus. Terhadap manusia Calvin lebih pesimis
daripada Luther, Calvin lebih optimis di hadapan Allah. Teks utama bagi Calvin adalah Roma
8:31, Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Calvin yakin bahwa Allah
bersama dengan dirinya dalam usaha membangun kota orang-orang terpilih di atas bumi,
yakni Geneva, Israel baru dari Allah. Yang menonjol pada diri Calvin cita rasa keagamaan
yang mendalam. Tumbuh padanya sikap mau mencari Tuhan yang mewahyukan diri-Nya
sekaligus yang tersembunyi, Allah dalam Kitab Suci dan Allah para nabi. Jasa utama Calvin
tidak terdiri atas orisinalitas konsep-konsep pernikiran teologisnya, melainkan dalam
sistematisasi organis dari tesis-tesis reformator sebelumnya, yang sering kali tidak teratur,
bahkan berlawanan. Oleh karena itu, Christianae Religionis Institutio merupakan Summa
Theologiae bagi para Calvinis. Beberapa simpul dari pandangan Calvin dapat dikemukakan
berikut ini:

* Calvin menyangkal kehadiran nyata (presentia realis) dan hanya mengakui presensi
virtual, sejauh Kristus melalui sakramen menyatakan rahmat-Nya kepada manusia.

* Melalui kehendak-Nya Allah samasekali tidak tergantung pada jasa manusia atau dosa-
dosa manusia. la memilih beberapa orang untuk kehidupan kekal, dan yang lain sudah
ditetapkan-Nya untuk hidup dalam api yang kekal.

* Karya-karya baik (secara moral) manusia tidak berpengaruh pada keselamatan. Kendati
demikian manusia beriman tetap berkewajib-an melakukan karya-karya itu demi memuliakan
Allah.

* Perlindungan ilahi merangkum semua aktivitas temporal orang-orang terpilih. Kepastian


ini mendorong orang Calvinis untuk menghadapi dengan penuh keberanian segala bentuk
risiko yang terkandung dalam komersialitas. Gereja tidak memiliki suatu kekuasaan temporal
yang langsung, tetapi otoritas sipil mereduksi diri sebagai suatu instrumen dalam tangan-
tangan Gereja.berikut penetapan penitensi yang keras.

Ciri-ciri Hakiki Teologi Calvinis, adalah bagi Calvin sumber satu-satunya dan
terlengkap dari iman kepercayaan Kristen adalah Kitab Suci, tidak ada sumber pelengkap
iman, seperti misalnya tradisi. Hal ini tidak perlu berarti bahwa Calvin mengesampingkan
kesaksian tradisi yang meneguhkan eksegese. Kepengantaraan Gereja yang menjamin bahwa
Alkitab adalah karya dan tulisan suci, menyeluruh tidak diterima oleh Calvin. Karena tidak
ada sesuatu pun yang menjamin kepengantaraan Gereja dan kesaksian Gereja itu semata-mata
insani. Kitab Suci sendiri memiliki kemampuan untuk menunjukkan dirinya sendiri, yakni
para jemaat beriman mengenal melalui tindakan Roh yang berkarya. Kitab Suci menjadi
istilah perbandingan untuk membuktikan otentisitas Kristen dari dekrit-dekrit konsili Gereja
Kuno, bapak-bapak Gereja, sekurang-kurangnya sampai dengan Santo Augustinus.
Akibatnya, Calvin mengkritik Ana-baptis yang dicampuradukkan dengan spiritualistis, yang
menegaskan kembali bahwa diri mereka adalah revelasi-revelasi baru Roh Kudus.

13
Selain itu, Calvin juga mengkritik Gereja kepausan yang menempatkan hubungan
Roh Kudus dengan magisterium (kuasa mengajar). Calvin memiliki eksegese yang kurang
bebas ketimbang Luther, kendati tidak sepenuhnya harfiah, ada unsur eksegese subjektif,
mengingat Calvin sendiri mengedepankan eksegesenya sendiri. Visi teologis yang muncul
dari pandangan tersebut dipusatkan pada gagasan: kedaulatan yang mutlak dan bebas serta
kemuliaan Allah Pencipta dan Penyelenggara. Tujuan penciptaan adalah pengenalan dan
penyembahan dari pihak manusia kepada Allah. Tujuan penebusan adalah membangun
kembali gambaran Allah dalam manusia yang dirusak oleh dosa dengan model Kristus,
Gambar Sempurna Bapa. Hanya melalui pemulihan kembali seperti itu manusia dapat
mengenal dan menyembah Allah secara sempurna serta mengabdi pada kemuliaan-Nya.

Tujuan dari semua ciptaan dan penebusan adalah pemuliaan diri Allah, oleh karena itu
dapat direncanakan dan diprogramkan secara tepat aeterno (sejak kekal) oleh Allah demi
tercapainya tujuan tersebut. Program kedaulatan dan kemuliaan Allah terwujud dalam Gereja
melalui tindakan Putra Allah. Sebab selain Ia adalah Sabda pencipta alam semesta dan
manusia; Dia juga melakukan rencana Allah dengan memimpin dunia serta semesta ciptaan.
Kesimpulannya: siapa yang mengenal Kristus berarti mengenal rencana dan kehendak Allah
serta tahu bagaimana harus mewujudkannya. Kedaulatan mutlak dan bebas dari pihak Allah
ini tidak dikondisikan oleh apa dan siapa pun juga. Allah mewujudkan rencana keselamatan-
Nva bukan hanya dengan menciptakan Gereja, tetapi di dalam Gereja sendiri sambil
menyelamatkan orang-perorang dengan memilih secara bebas, dan dengan pencurahan
rahmat. Dalam artian tidaklah dibutuhkan kepemimpinan hirarki dalam manentukan
keselamatan. Allah menghadirkan panggilan umum (universalis vocatio) yang tidak termasuk
keselamatan; dan menghadirkan panggilan khusus (specialis vocatio) yang termasuk
keselamatan. Pilihan ini dilakukan secara bebas dan berasal dari Allah semata-mata. Allah
sajalah memutuskan siapakah yang memperoleh keselamatan dan siapakah yang ditentukan
untuk tidak selamat. Namun demikian, masing-masing pribadi dapat yakin akan keselamatan
ilahi bagi dirinya, jika ia didapatkan bersatu dengan Kristus.

Kedaulatan bebas Allah juga berkaitan dengan paham tentang eklesiologi. Bagi
Calvin, Gereja adalah universus electorum numerus (segenap orang yang terpilih): para
malaikat, orang hidup dan mati, di mana pun ditemukan. Gereja itu meliputi sejumlah
orang yang terpilih. Mereka ini dipilih di dalam Kristus; dan oleh karena itu dimasukkan di
dalam Kristus supaya terbentuklah semuanya menjadi satu tubuh dengan-Nya. Kristuslah
satu-satunya kepala Gereja. Gereja itu tidak dapat dilihat (invisible). Jadi, Gereja ini pasti
tidak sebagaimana dipresentasikan oleh institusi Gereja Katolik Roma. Gereja yang terdiri
atas orang-orang pilihan itu menjadi terlihat lantaran notae. Maksudnya: pewartaan Kabar
Gembira; pelaksanaan sakramen-sakramen seturut penetapan Kristus. (Inilahraotae dari The
Confession of Augsburg); ketaatan pada firman Allah, yakni tata tertib, sesuatu yang khas
dalam Gereja Calvinis.

Notae Gereja itu terungkap melalui para pelayan (diakon, pastor, doktor, penatua)
terutama tiga terakhir. Ketiganya tidak lebih daripada orgareon Allah. Artinya, lembaga ilahi,
sarana tindakan penyelamatan dari pihak Allah. Oleh karena itu, mereka adalah pelayan
manusia, terutama karena dilakukan oleh manusia dan di antara manusia. Jadi, Gereja adalah
tempat, di mana Allah bertindak secara berdaulat.

1. D. REFORMASI ANGLIKAN[5]

14
Anglikanisme muncul di Inggris pada abad XVI melalui kebijakan politik keagamaan.
Raja Henry VIII berikut konstitusi satu Gereja nasional. Kebijakan dan alasan Henry VIII
(1491-1547) untuk memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma bukanlah menyangkut soal
teologis, melainkan lebih-lebih bersifat personal dan politis. Aspirasi-aspirasi ini sudah
digeluti Inggris sejak abad pertengahan. Hal itu didukung oleh kebijaksanaan pemerintah
Inggris untuk tidak menaklukkan Eropa Kontinental, melainkan dengan mencari wilayah baru
di luar Eropa dalam bentuk ekspansi kolonialisme dengan wajah perdagangan dan eksplorasi
keilmuan dan kemanusiaan. Pemisahan antara Inggris dan Roma itu mencapai klimaksnya
secara lima tahap yang menegaskan pola kebijakan politis Negeri Inggris di bawah kekuasaan
Henry VIII, Edward VI, Maria Katolik Tudor, dan Elizabeth I. Berikut ini kita lihat satu demi
satu pola kepemimpinan tokoh-tokoh tersebut.

Raja Henry VIII. Henry VIII dari dinasti Tudor menikahi janda Cathrine Aragon,
putri Raja Ferdinand Katolik, raja Spanyol dan paman Karel V (pada 1509). Cathrine sudah
dinikahi oleh (mendiang) saudara kandung Henry VIII, yang bernama Arthur. Pada 1525,
Cathrine berusia 40 tahun. Dalam usia tersebut Cathrine tak memperlihatkan lagi harapan
akan mendapat keturunan (laki-laki) dari perkawinannya. Bukannya tanpa usaha gigih
pasangan ini, mengingat dari rahim Cathrine Aragon telah lahir 5 (lima) orok, tetapi vang
bertahan hidup lama hanyalah Maria (Katolik) Tudor. Raja Henry VIII sangat mendambakan
keturunan laki-laki, dan berencana bercerai untuk kemudian menikahi Anne Boleyn yang
lebih mudah. Keinginan untuk mendapatkan keturunan laki-laki itu diperkuat kuat dengan
alasan stabilitas kekuasaan wangsa Tudor. Henry VIII konon dihantui oleh perang sipil yang
pernah terjadi di Inggris, jika putrinya, Mary Tudor, memegang kendali pemerintahan
Kerajaan Inggris. Dengan kata lain, stabilitas dan kesejahteraan (seluruh warga) Kerajaan
hanya dijamin oleh kekuatan dan kearifan yang lebih banyak ditumpukan pada laki-laki
daripada perempuan. Henry VIII merasionalisasikan keinginan untuk menikahi Anne Boleyn
dengan menghadirkan dalam ingatannya sosok Mathilda, putri Raja Henry I (1135) yang
memerintah Kerajaan Inggris. Di bawah kekuasaannya Inggris hancur berantakan dalam
perang sipil selama hampir 2 (dua) dekade.

Pada 1527, Henry VIII Si Pendukung Poligami yang jatuh cinta pada Anne Boleyn
berupaya memperoleh alasan-alasan legal dengan pelbagai dalih, yakni demi membatalkan
perkawinannya yang pertama (dengan Cathrine Aragon). Dalih yang dipakai oleh pihak
Henry VIII demi membatalkan perkawinan dengan Cathrine adalah lmamat 20:21.
Bersikukuh pada penegasan Imamat 20:21 tersebut, Henry VIII setelah mendengarkan
pandangan para Durna Kerajaan, menyatakan bahwa perkawinan pertama itu tidak sah.
Dispensasi yang diberikan oleh Paus Yulius II juga tidak sah. Sebab dispensasi itu melawan
hukum yang ditetapkan sendiri oleh Allah. Pada 1529, mungkin juga karena paus khawatir,
seandainya tidak memutuskan, maka akan menjengkelkan paman Cathrine, Kaisar Karel V,
yang saat itu berpengaruh di Italia, paus memperlihatkan diri lebih energik. Henry kemudian
pasang kuda-kuda dengan memanggil sidang umum antar-imam kepala Gereja Inggris, 1531.
Thomas More bereaksi atas klausul itu, dan menarik diri. Lalu di-angkatlah primat Inggris
yang baru, Thomas Cranmer, yang pada Januari 1533 memberkati perkawinan antara Henry
VIII dan Anne. Hanya beberapa bulan kemudian, untuk memperlihatkan legalitas
tindakannya, ia sendiri menyatakan pembatalan perkawinan yang pertama: Henry dan
Cathrine. Paus Clemens VII lalu mengekskomunikasi Henry. Yang terakhir ini menjawab,
dengan tindakan supremasi, yang menegaskan bahwa sebagai Raja Inggris ia berdaulat atas
Gereja di wilayah Inggris, yang hingga saat itu berada di bawah kekuasaan paus Rezim yang
baru ini kemudian mempertahankan iman yang lama dan mengikuti sebagian tata cara
Katolik dan Lutheran. Reformasi Gereja di Inggris ini diterima begitu saja oleh sebagian

15
besar rakyat Inggris, tanpa resistensi: uskup melekat pada massa dan para pembantunya
mengikuti begitu saja para pembesar mereka.

Keberhasilan reformasi Gereja di Inggris ini adalah berkat kemampuan para


pimpinan. Mereka itu tahu bagaimana mempersiapkan secara berangsur-angsur tanpa
menghambur-hamburkan hal-hal yang diperlukan. Juga pada saat itu ada ketidakjelasan
teologis. Hal ini dalam kcnyataannya telah menghalangi orang untuk melihat gawatnya
keadaan dan masalah di Gereja Inggris. Selain itu, Paus Clemens VII sendiri larut dalam
sikap tidak tegas dan serba ragu-ragu terutama dalam menghadapi peristiwa genting seperti
kasus Gereja di Inggris.

Raja Edward VI. Edward VI (1547-1553), pengganti Henry VIII, lahir dari
perkawinan kctiga (hasil perkawinan antara Henry VIII dan Jane Seymour). Kokuasaan
kerajaan sebenarnya dijalankan oleh paman Edward. Pada masaini skisma berubah kodratnya
menjadi bidah. Sebab atasprakarsa raja diciptakanlah ritus baru, yang disebarluaskan dalam
Book of Common Prayer, 1549, yang lebih dikenal dengan istilah The Prayer Book.

Dalam The Prayer Book dibuanglah setiap ungkapan (atau kalimat) yang menyatakan
Ekaristi sebagai kurban. KemudianSimbol (Pengakuan Iman) diungkapkan dalam 43 artikel
(yang dalam redaksi definitive dalam 1571, direduksi menjadi 39). Dalam Simbol ini Gereja
Inggris menerima tesis Calvinisme tentang Ekaristi. Di sana pula ditambahkan perkenanan
bagi para imam untuk menikah dan pentahbisan. Hal terakhir ini mengidentifikasikan para
imam Gereja Anglikan pertama-tama sebagai pelayan Sabda (dalam pengertian
Protestantisme). Reformasi Edward VI ini praktis mereduksi jumlah sakramen Gereja
menjadi dua saja, yakni Baptis dan Komuni Suci. Pada akhirnya kontroversi religius pada
masa Edward VI seakan digiring dan dipusatkan pada sakramen-sakramen sekitar altar, yakni
Ekaristi dan Pelayanan Komuni Suci serta masalah teologis yang disebut transubstansiasi.
Berkat revisi atas Prayer Book (1552) yang dikerjakan oleh Cranmer, menjadi sempurnalah
penempatan Anglikanisme dalam ranting gerakan pem-baruan keagamaan Protestantisme.

Ratu Maria Katolik Tudor. Edward VI memimpin Kerajaan Inggris dalam kurun
waktu relatif singkat. Kematiannya mengantar Maria KatolikTudor (1553-1558), putri
Henry VIII dan Cathrine Aragon, ke takhta kerajaan. Marialah yang berupaya dengan gigih
merestorasi Gereja Katolik Roma di Kerajaan Inggris. Upaya ini pada mulanya berhasil.
Tetapi keberhasilan berhenti bersama kematian Ratu Maria. Ada pula kemungkinan bahwa
kegagalan restorasi Ratu Maria lantaran aliansi mandul dan steril antara Inggris dengan
Spanyol. Perkawinan dengan Philips II dan sikap re/aii/keras terhadap segala bentuk oposisi
religius maupun politis. Selama lima tahun berkuasa tidak kurang dari 300 orang dihukum
mati atas alasan yang berbau keagamaan. Ratu Maria dengan demikian mengembalikan
Kekatolikan di Inggris dengan tangan besi. Hukuman yang dijatuhkan pada lawan-lawan
politik keagamaannya menerjang tanpa ampun sejumlah elite politik, seperti Hooper, Latimer,
Ridley dan Cranmer, yang memperlihatkan gelagat dan terang-terangan mengusahakan
separasi Inggris dari Gereja Katolik Roma.

Reaksi atas politik tangan besi Ratu Maria demi memulihkan Kekatolikan di
Kerajaan Inggris terlihat dalam karya propagandis berjudul Acts and Monuments, 1563, karya
John Foxe. Kekatolikan pada masa Ratu Maria ditegakkan di Inggris dengan daya fanatisme
dan semangat keduniaan. Pada hal yang dibutuhkan Inggris saat itu adalah penemuan
kembali spirit kepemimpinan dan pemerintahan yang bersih, di samping infusi yang sehat
dari iman-kepercayaan. Pada 1550-an agama Katolik Roma tidak dapat menawarkan tuntutan

16
dan kebutuhan mendasar tersebut. Dan mungkin komunitas (Geneva ala Calvinisme
memberikan inspirasi bagi pemenuhan tuntutan tersebut. Ratu Maria dan Kardinal Pole wafat
pada hari yang sama, November 1558. Mereka menyaksikan kegagalan politik mereka, masa
kepemimpinan Ratu Maria telah menggagalkan (kesempatan) Roma unluk berpengaruh
dalam Gereja Inggris. Perang, jauhnya Calais, bangkitnya kekuasaan Spanyol, anti-
klerikalisme dan ketidaksukaan akan kepausan turut mematangkan keberpihakan Inggris pada
protestantisme, sekaligus ketidakpopuleran agama Katolik Roma.

Ratu Elizabeth I. Ratu Maria digantikan oleh Elizabeth, yang sepanjang


pemerintahan-nya mengancam pendukung Katolik Roma dan dominasi Spanyol. Elizabeth
yang naik takhta pada usia 25 tahun, fasih berbicara Francis, Latin, dan Italia. Pada 1559,
dipromulgasikan hukum yang mengakui ratu adalah pemimpin tertinggi Gereja Inggris, dan
menetapkan bahwa setiap fungsionaris negara dan Gereja wajib melakukan sumpah setia
pada yang berdaulat, yakni Ratu. Dalam tahun itu, Mattias Parker ditahbiskan menurut ritus
terbaru primat Inggris. Tahbisan itu tidak sah demi cacat esensial dalam materi dan forma.
Sebab di dalam ritus itu ditiadakan setiap bentuk rumusan yang langsung atau tidak langsung
mengungkit Ekaristi sebagai kurban. Akibatnya, sejak saat itu tidak ada juga konsekrasi, yang
dikatakan merupakan asal-usul hierarki Anglikan yang baru, juga tidak ada tahbisan. Sebab
Gereja Anglikan telah memutuskan hubungan dengan pengganti para Rasul di Roma.

Pada 1570, Paus Pius V mengekskomunikasi Ratu Elizabeth. Ekskomunikasi ini (di
luar perhitungan paus) membahayakan posisi, bahkan kehidupan orang-orang Katolik di
Inggris dan di Irlandia. Mereka ini dianggap sebagai pengkhianat (politik) negara. Beberapa
tahun kemudian tersingkaplah rahasia mengenaskan ini: Sri Paus Gregorius XIII melalui
sekretarisnya tidak menghalangi upaya menyingkirkan Ratu Elizabeth. Upaya
penyingkiran ini seandainya berhasil akan dinilai sah dan sangat berarti bagi Gereja
Katolik Roma. Syukurlah, gagasan edan itu gagal dalam pelaksanaannya.

1. E. Reformasi Katolik[6]

Bagaman upaya reformasi dilakukan Gereja Katolik? Sebenarnya upaya itu sudah ada
sebelum reformasi Luther, misalnya: gerakan devotio moderna, pembaharuan di bidang hidup
membiara, mendidik kaum klerus agar berpengetahuan dan disiplin, dll. Tapi deng pecahnya
reformasi Luther & yg lain, Gereja perlu membentuk refonmasi yang lebih terarah.

Reformasi yg Diimpikan. Sepanjang paruh pertama abad 16, Gereja Katolik baru bisa
merindukan reformasi. Mengapa `terlambat? ada dua alasan: pertama, para Paus takut akan
konsiliarisme yg muncul akibat sekularisme. Kedua, berkaitan dg keterlibatan Paus dalam
menagani konflik antara 3 raja yg haus kekuasaan: Henri VIII, Fransiskus I, dan Karel V.

Dalam situasi krisis seperti itu, dituntut kesabaran. Gereja sesungguhnya telah berjuang
melalui tarekat-terekat yang ada. Tarekat-tarekat religius yang ada inilah yang akan mejadi
instrumen dalam menjalankan reformasi Gereja.

Reformasi yg Terprogram. Upaya terprogram yang dilakukan Gereja adalah Konsili


Trente (1545-1563). Konsili ini dibagi jadi 3 periode (1545-147; 1551-1552; 1562-1563).
Konsili ini menghasilkan program pembaharuan yang bersifat pastoral, selain menandaskan
kembali kebenaran-kebenaran iman yang diserang Protestan.

17
Reformasi yg Diterapkan. Hasil konsili Trente dijabarkan dalam suatu aksi
pembaharuan yang konkrit. Munculnya buku Katekese, penerbitan Kitab Suci Vulgata, buku
misa dan ibadat harian yg baru adalah bukti konkrit konsili. Selain itu ada juga tokoh-tokoh
reformator dari Gereja Katolik. Misalnya: Uskup Karolus Boromeus. la dipandang sebagai
model uskup yang dirindukan Konsili Trente. Uskup lainnya adalah Fransiskus dari Sales.
Saat itu Spanyol menjadi tempat yang penting di mana reformasi dapatt menembus
kehidupan Gereja.

Konsili Trente juga memikirkan pembinaan imam yg baik. Maka konsili menegaskan
perlunya seminari sebagai tempat mendidik calon imam. Konsili juga mendorong kunjungan
pastoral yang intensif. Dengan demikian, reformasi Gereja Katolik merupakan penegasan
kembali atas iman yg telah diterima, sekaligus perbaika segi kehidupan, moral, iman dan
ajaran.

BAB III

PENUTUP

Zaman modern yg dimaksud di sini mengacu pada rentang waktu antara akhir
abad 15 sampai pertengahan abad 17. Peristiwa-peristiwa historis saat itu muncul suatu
refleksi teologis: Ecclesia semper reformanda (Gereja selalu diperbarui). Kesadaran akan
pembaruan ini sebenarnya sudah ada sejak abad 13 dg Reformasi Gregorian. Dalam konteks
zaman modern, kata reformasi berarti munculnya gerakan Reformasi Protestan. Pad abad itu
muncul dua gerakan reformasi, yaitu Reformasi Protestan & Reformasi Katolik.

Latar Belakang Timbulnya Reformasi Protestan Setidaknya ada 2 kategori alasan munculnya
Reformasi Protestan: yaitu alasan sosial (sosio-religius) clan alasan teologis. Alasan sosio-
religius:

Reformasi Protestan muncul krn kebobrokan moral pihak kepausan. Alasan mi


dianggap tdk lagi memadai bagi bnyk kalangan.
Alasan sosial lainnya: faktor nasionalisme. Bangsa-bangsa di Eropa menginginkan
hidup mandiri & berhak menuntut pajak sendiri, tanpa campur tangan pihak kepausan.
Faktor ekonomi: kesenjangan di bidang ekonomi menimbulkan ketidakpuasan bnyk
pihak. Para petani menjadi sangat rentan terhadap gerakan revolusioner.
Alasan lain: fakta bahwa pihak kepausan tidak tampil sebgai lembaga yang
berwibawa.

Alasan teologis: dengan melihat 3 doktrin Protestan: pembaharuan oleh krn iman,
imamat semua org beriman & ketidaksesatan KS; gerakan Protestan bisa memberikan
jawaban teologis terhadap kecemasan batin bnyk orang. Gerakan Martin Luther ditandai
dengan munculnya Individualisme dan sekularisme. Semangat individual tampak dalam
kecenderungan untuk menegaskan identitas kepribadian mereka. Bangsa-bangsa Eropa saling
berperang memperluas daerah kekuasaan. Sedag semangat sekuler tampak daalm
kecenderungan untuk berpisah dari Inkuisisi Gereja.

Reformasi Martin Luther Luther adalahan seorg biarawan yang pandai. Ia pernah
mengalami krisis rohani. Ketika ia membaca Kitab Suci, ia menemukan teks: Rom 1:16-17.
Sejak itu dia berubah pikiran tentang Allah. Allah ternyata mahamurah, bukan pemarah.
18
Pertentangan dalam Gereja muncul karena adanya praktik indulgensi. Pada saat berkhotbah,
seorang anggota Ordo Dominikan,Tetsel, menyerukan teologi yg membahayakan umat:
begitu kotak bergemericig & jiwa akan terbang dari api penyucian : Teologi ini ditentang
oleh Luther, meskipun ia tidak menolak praktik indulgensi. Tapi ia mengingatkan bahwa
pengampunan itu berasal dari Allah. Indulgensi semacam itu mengandung resiko bhw org
akan mencari rasa aman yang keliru (asal memberi kolekte banyak, akan selamat). Luther
mempertanyakan kuasa hirarki Gereja. Menurutnya, hanya Tuhan yag bisa mengampuni
dosa. la bertanya juga: jika Paus memiliki kuasa membebaskan jiwa-jiwa dari api penyucian,
mengapa ia tidak punya kasih untuk mengosongkan api penyucian? Paus Leo X
menginginkan agar Luther menarik kembali dalil-dalilnya. Tapi. Luther tetap berpegang Pada
pernyataannya.

Yohanes Calvin. Alasan kepindahan Calvin ke Gereja Reformasi (tahun 1533) tidak terlalu
jelas. Mungkin karena pengaruh ajaran Melchior Wohnar yang menganut gagasan Luther,
mungkin karena kematian ayahnya yang diekskomunikasi, atau kondisi keluarganya yang
direndahkan krn bnyk hutang. Calvin mewariskan pandangan teologis yg khas. Awalnya,
Calvin menerima penyelamatan karena iman. Tapi akhirnya ia sampai pada doktrin
predestinasi. Menurutnya, tindakan saleh merupakan tanda sbg seorg terpilih. Kekuatan para
terpilih adl baptis & sakramen perjamuan kudus. Tpi, bagi Calvin, roti dan anggur bukanlah
tubuh dan darah Kristus. Kehadiran Kristus dalam Ekaristi hanya bersifat spiritual. Calvin
sangat membenci gambar Kudus. Baginya, gambar-gambar itu `gambaran yg keliru
(pendewaan). Maka bentuk penolakannya diungkapkan dgn menghancurkan gambar &
patung Kudus.

Reformasi di Inggris Tokoh penting dalam revolusi di Inggris adalah Raja Henri
VIII. la semula mempertahankan ortodoksi Gereja Katolik melawan Lutheran. Tapi karena
pernikahan rahasianya dengan Katarina dari Aragon oleh Uskup Thomas Cranmer, ia
diekskomunikasi Gereja bersama dengn isteri dan uskup tersebut. Ekskomunikasi terhadap
raja dibalas dengan pernyataan Henri VIII bahwa dirinya adalah `satu-satunya pemimpin
tertinggi di Gereja Inggris. Para klerus, biarawan, pegawai negeri, dan kalangan intelektual
diwajibkan bersumpah setia terhadap raja. Tahun 1536, Henri VIII membubarkan biara-biara
& mengejar-ngejar para rahib. la memaksa mereka menikah dan merampas tanah mereka.
Henri VIII juga mendekatkan diri pada Protestan. Ketika Elizabet naik tahta menjadi ratu, ia
membenci kepausan. Ia membangun Gereja Anglikan dengan model kombinasi antara Gereja
Katolik dan Kalvinis. Hal itu untuk meredam pertentangan Katolik dan Protestan dalam
tubuh Gereja Anglikan. la hanya menetapkan dua sakramen, menolak aspek kurban misa,
mengakui kehadiran Kristus dalam Ekaristi, dan memberikan hak kepada uskup serta imam
untuk menikah.

Sedangkan Reformasi dari diri Gereja Katolik sendiri sebenarnya sudah ada sebelum
reformasi protestantisme di mulai. Namun bobot dari pergerakan itu amatlah kecil dan
terbatas. Setelah munculnya pergerakan yang mendongkel kemapanan gereja Katolik barulah
pembaharuan dalam tubuh Gereja Katolik mendapat perhatian yang serius. Hal itu
ditunjukkan dengan adanya pembaharuan hidup dalam berbagai bidang termasuk di dalamnya
perbaikan akan kebenaran ajaran iman.

Adanya reformasi dalam Gereja yang mengakibatkan perpecahan bukanlah suatu yang
diinginkan dalam Gereja. Situasi dan perihal hidup yang terjadi pada jaman itu, memang
menuntut suatu perubahan yang radikal di dalamnya. Saat ini bukalah masalah siapa yang
harus dipersalahkan dala situasi ini. Pertanyaannya adalah bagaimana membina hubungan

19
dengan situasi yang telah terjadi, apa yang harus dilakukan untuk mempersatuan kembali
perpecahan yang telah terjadi, meskipun tampaknya hal ini tidak mungkin. Namun hal ini
haruslah senantias di cari dan di usahakan solusinya senantiasa.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Berkhof. H, Sejarah Gereja (disadur oleh Dr. I.H. Enklaar dalam bahasa Indonesia). BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 2009.

Dr. De Jonge. C. Pembimbing ke Dalam Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009.

Kenneth, Curtis.A, dkk. Seratus Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen. BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2004.

Kristiyanto Eddy. OFM, Gagasan Yang Menjadi Peristiwa. Kanisus, Yogyakarta, 2001.

Kristiyanto Eddy. OFM, Reformasi Dari Dalam (Sejarah Gereja Zaman Modern). Kanisus,
Yogyakarta, 2004.

[1] Pada bagian ini, penulis merangkum dan membahasakan sendiri secara sistematis bagian
yang perlu dalam membahas bab ini dari buku Eddy Kristiyanto OFM, Reformasi Dari
Dalam (Sejarah Gereja Zaman Modern). Kanisus, Yogyakarta, 2004, hlm 22-32.

[2] Bdk; Dr. De Jonge. C. Pembimbing ke Dalam Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia,
Jakarta, hlm, 33-38.

[3] Bdk; Kenneth, Curtis.A, dkk. Seratus Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen. BPK
Gunung Mulia, hlm 50-67.

[4] Bdk;Dr. Berkhof. H, Sejarah Gereja (disadur oleh Dr. I.H. Enklaar dalam bahasa
Indonesia). BPK Gunung Mulia, hlm, 44-54

[5]Bdk; Kristiyanto Eddy. OFM, Gagasan Yang Menjadi Peristiwa. Kanisus, hlm, 35-47.

[6] Ibid; hlm 55-60

Tentang iklan-iklan ini

Share this:

Twitter
Facebook3
Cetak
Pocket
Google

20
Reddit
Surat elektronik
LinkedIn1
Pinterest
Tumblr

Terkait

Ajaran Infalibilitas di Dalam Gerejadalam "Teologi"

Aborsi 2dalam "Artikel lepas"

Relikwi dalam Gereja katolikdalam "Liturgi"

Tinggalkan komentar

Filed under Teologi

Berikan Balasan

21

Anda mungkin juga menyukai