Pendahuluan
Kata dialog sebenarnya diturunkan dari kata bahasa Yunani “dialogos” yang berarti
percakapan antara dua orang atau lebih. Kata ini mengindikasikan interaksi antara orang-
orang dengan sudut pandang yang berbeda dengan maksud untuk belajar satu dengan yang
lain. Dialog berbeda dengan berdisikusi. Dalam dialog setiap orang mempresentasikan,
menganjurkan sudut padang kepada orang lain supaya terciptalah satu pengertian; sedangkan
dalam diskusi setiap orang bermaksud untuk memenangkan atau menyakinkan orang akan
sudut pandangnya (Daen, 2015: 67-68). Dalam kamus Bahasa Indonesia kata dialog diartikan
sebagai percakapan. Tentu percakapan yang menghasilkan sesuatu yang bermakna dalam
kehidupan. Dalam hal ini dialog ekumenis. Percakapan yang mempunyai bobot atau nilai
yang tinggi dalam kehidupan yang beragam ini.
Kata oikumenikos menunjuk pada keseluruhan tempat di bumi yang dihuni oleh
manusia. Ungkapan ini pada awalnya memang kata sehari-hari yang tidak berhubungan
dengan kehidupan gerejawi, namun sejak diadakan Konsili Nicea (325) yang merupakan
konsili ekumenis pertama, ungkapan tersebut ditahbiskan dan dipakai sebagai istilah gerejani.
Konsili ini memang mengundang semua wakil Gereja yang ada di wilayah kekuasaan
Romawi saat itu, dan di wilayah Kekaisaran Romawi itulah memang yang dikenal sebagai
wilayah ekumene. Kenyataan itu memang yang dikenal “sebagai seluruh dunia” pada masa
itu. Dengan kata lain, dalam pengertian politik dan keagamaan, maka hanya wilayah Romawi
itulah yang dimengerti sebagai wilayah yang didiami manusia dan sekaligus warga Gereja
(Banawiratma dkk, 1997: 30).
Kata “oikumene” ini merupakan padangan (sinonim) dari kata lain yang juga dipakai
sebagai ungkapan dalam Gereja, misalnya “katolik” (Latin: catholica) dan “universal”.
Ketika kata ini mengacu pada pengertian yang sama, dan saling menjelaskan satu sama lain
dan juga mengalami perkembagan pemahaman sesuai dengan pemahaman yang ada pada
masa dan konteks historis tertentu. Ketiganya menunjuk pada ruang lingkup hakikat dan
tugas gerejani yang meliputi seluruh dunia dan menyangkut semua manusia. Dalam
1
pengertian itu, maka gerakan ekumenis selalu dihubungkan dengan gerakan untuk mencari
keutuhan/integritas Gereja, dan terutama merupakan panggilan untuk menyelenggarakan
kehidupan sejahtera bagi umat manusia maupun seluruh ciptaan (Banawiratma dkk, 1997: 30-
31). Pemahaman tentang gerakan “oikumenis” yang menekankan hakikat kesatuan Gereja ini
juga sebenarnya tidak terpisahkan dari konteks awal dari masalah-masalah pokok yang
dihadapi oleh Gereja pada saat mereka memakai ungkapan ini. Pada masa formatif itu Gereja
dihadapkan pada masalah ajaran-ajaran dogmatis yang berbeda. Gereja di masa itu telah
tersebar di pelbagai wilayah luas yang memiliki latar belakang sejarah, budaya serta
kekuasaan politik yang berbeda.
Pada 9 Oktober 1958, Paus Pius XII meninggal dunia. Kardinal Angelo Giuseppe
Roncalli di pilih pada 28 Oktober 1958 sebagai Paus Yohanes Paulus XXIII. Kematian Paus
Pius XII membuka zaman baru. Pada 25 Januari 1959, Paus Yohanes XXIII memaklumkan
rencana untuk mengadakan Konsili Ekumene.
2
digabungkan dengan Kristus, malah mengakui dan menerima sakramen-sakramen lain dalam
Gerejanya dan dalam jemaat-jemaat Gerejanya. Banyak dari mereka memiliki jabatan uskup,
merayakan Ekaristi Suci dan merawat ibadah terhadap Perawan Bunda Allah. Di samping itu
ada lagi persatuan doa dan amal rohani lainnya, malah ada semacam jalinan sejati dalam Roh
Kudus, yang dengan tenaga pengudusan-Nya dan yang menguatkan hasrat dan kegiatan untuk
mempersatukan semua atas cara yang ditetapkan Kristus, dalam satu kawanan, di bawah satu
Gembala secara damai. Dasar persatuan yang penting adalah permandian. Sesudah
dipermandikan orang harus mengakui Gereja, Sakramen-sakramen dan ordo Hierarkis
(aturan-aturan dalam jabatan). Gereja Katolik mengakui hal-hal itu dengan sempurna. Tiap-
tiap Gereja lain atau golongan lain adalah anggota umat Allah dan anggota Gereja Katolik
sejauh pengakuan imannya masing-masing (Königsmann, 1989: 26-27).
Dengan demikan, Gereja, satu-satunya kawanan Allah, sebagai tanda yang ditegakkan
antara bangsa-bangsa, mewartakan Injil damai kepada seluruh umat manusia dan berziarah
penuh pengharapan menuju tanah air surgawi. Inilah misteri suci kesatuan Gereja, dalam dan
oleh Kristus, berkat Roh Kudus yang mengusahakan serba ragam anugerah. Citra teragung
dan landasan misteri ini adalah kesatian Allah Esa, Bapa dan Putra dan Roh Kudus dalam
ketigaan Pribadi. Dalam satu dan satu-satunya Gereja Allah ini, sejak awal munculnya
beberapa perpecahan. Perpecahan itu sangat dicela oleh Rasul sebagai hal yang harus dikutuk
(Königsmann, 1989: 30).
3
Dialog Ekumene
2. Asas-asas dialog
Kekayaan rohani merupakan asas pertama bagi dialog ekumene. Jadi antara gereja
bukan katolik dan Gereja Katolik ada suatu kesatusn tertentu yang telah ada, yang harus
merupakan titik permulaan untuk dialog. Dialog ekumene memberi kesempatan kepada
setiap orang untuk meneruskan kekayaan Kristus yang menjadi dasar hidupnya kepada
saudara-saudaranya dan menerima kekayaan-kekayaan yang menjadi dasar hidup orang
lain.
3. Pokok-pokok dialog
Dialog ekumene dapat meliputi isi iman, soal-soal teologis, pokok-pokok yang
berkenaan dengan kehidupan liturgi dan rohani, sejarah, spikologi agama dan apa saja
yang berhungan dengan kehadiran, keaksian dari misi orang-orang Kristen di dunia.
4. Bentuk-bentuk dialog
Bentuk dialog yang paling sering diadakan ialah dialog yang timbul dengan spontan
bilamana orang-orang Kristen berjumpa satu sama lain. Dalam keluarga-keluarga
interkonfesional, dialog ekumene dapat dilaksanakan jika dikehendaki dengan dihindari
oleh iman-iman dari persekutuan-persekutuan yang bersangkutan (Königsmann,
1989:42).
4
Dialog Ekumenis di Papua
Gerakan ekumene yang sedang berkembang di Papua menarik untuk disimak. Secara konkrit
Gerakan ekumene di Papua berlangsung antara Gereja Katolik, Gereja-gereja yang ada di
bawah PGI yang umumnya beraliran Kalvinis dari Belanda, Gereja Evangelist dari Amerika
dan Australia, Gereja Kingmi Amerika dan Gereja Pentakosta Amerika dan Adven Hari
Ketujuh dari daratan Eropa.
Sejarah munculnya Gereja-gereja tak lepas dari reaksi Gereja Reformasi atas Gereja
Katolik, kemudian dari perpecahan dalam Gereja Protestan sendiri. Jadi, gerakan ekumenis
sebenarnya merupakan gerakan bertingkat, mulai dari gerakan persatuan Gereja-gereja
sealiran dari induk yang sama dalam cabang besar Gereja Protestan dan gerakan ekumene antar
aliran-aliran besar. potensi dan peluang mengembangkan gerakan ekumenis lebih mudah diwujudkan
pada tingkat aliran. Mengukur potensi gerakan ekumenis kianya dimulai dari kelompok aliran itu,
walaupun bisa terjadi bahwa keterlibatan ekumenis di luar kelompok aliran terjadi karena
kebuntuan intern.
Atas dasar ini Konferensi para Uskup di Indonesia membentuk satu komisi untuk
hubungan antarumat beragama, termasuk hubungan dengan Gereja lain, baik di tingkat
nasional maupun keuskupan, bahkan untuk beberapa tempat, di tingkat paroki. Hal ini dapat
disadari sepenuhnya oleh Gereja Katolik Papua, di mana terdapat begitu banyak aliran Gereja
lebih dari daerah lain di Indonesia. Gereja Katolik, khususunya Keuskupan Jayapura memprakarsai
pendirian lembaga ekumenis di Papua. Sehingga Persekutuan Gereja-Gereja di Papua (PGGP) yang
sekarang terdiri dari 48 Gereja dan denominasi dari semua aliran besar (Bahang, 2019: 74-85).
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang secitra dan segambar dengan Allah. Allah
menganugerahi manusia rahmat akal budi dan kehendak bebas untuk mengatur segala ciptaan yang
ada termasuk manusia itu sendiri. Sebelum manusia mengatur ciptaan Allah yang lain, manusia diajak
untuk lebih dulu membangun kerjasama yang baik dengan sesama yang lain, baik yang segama
maupun yang berbeda agama. Setelah itu manusia diajak untuk menyatukan satu nilai yang universal
dari proses kerjasama tersebut. Bahwa semua hal baik yang telah dibangun dalam proses kerjasama itu
dapat dipersatukan dan dibentuk menjadi satu nilai yang universal agar supaya semua orang yang ada
hidup seturut dengan apa yang telah ditetapkan. Dan ketetapan itu bukan serta merta lahir dari
keinginan manusia sendiri tetapi lahir dari daya dorong Allah sdalam diri manusia. Allah yang mau
5
menyatukan manusia untuk berkumpul bersama, menyatukan satu pikiran dan perasaan untuk melihat
masa depan hidup bersama yang lebih baik. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang dibuat oleh
manusia. Dalam hal ini Allah menghendaki manusia untuk melakukan dialog ekumenis antar agama-
agama tanpa menciptakan perbedaan. Sama seperti yang disabdakan dalam Injil Matius 7:24-25,
“Setiap orang yang mendngar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang
bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu
angin melanda rumah itu, tetapi ruma itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu”.
6
Daftar Pustaka
Bahang, Konstantinus. 2019. Ekumene di Papua dalam Limen, Th. 15, No. 2 (April)
2019. Jayapura: Biro Penelitian STFT Fajar Timur.
Banawiratma, dkk,. 1997. Tempat dan Arah Gerakan Ekumenis. Jakarta: Gunung
Mulia.
Daen, Philip, Ola, 2015. Pelintas Batas Yang Dialogis, dalam Limen Th. 11.No.2
(April) 2015. Jayapura:Biro Penelitian STFT Fajar Timur.
Königsmann, Josef. 1989. Gerakan dan Praktek Ekumene. Ende: Nusa Indah.