Anda di halaman 1dari 17

Pandangan Gereja Katolik tentang Agama-Agama lain dalam terang Nostra Aetate

PENDAHULUAN

Konsili Vatikan II telah memulai tahap baru dalam hubungan Gereja dengan agama-agama
lain. Banyak dokumen Konsili secara eksplisit mengacu kepadanya, dan terutama satu, deklarasi Nostra
Aetate, seluruhnya dikhususkan bagi hubungan antara Gereja Katolik dan agama-agama dan kepercayaan
lain.

Perubahan pesat di dunia dan perenungan yang paling dalam tentang misteri Gereja sebagai
sakramen keselamatan universal telah memupuk sikap ini terhadap agama-agama nonkristiani, dan
kepercayaan lain. Gagasan Gereja yang dulu bersifat eksklusivisme yang berpandangan bahwa di luar
Gereja tidak ada keselamatan (Extra ecclesiam nulla salus) sekarang berubah menjadi inklusivisme yang
terbuka bagi agama-agama lain. Keterbukaan baru terhadap agama-agama lain berhubungan erat dengan
pengalaman Gereja mengenai kekerasan dan keinginan untuk memperbaharui diri sesuai perubajan
zaman.

Cita-cita atau tujuan akhir dari dokumen ini adalah dialog. Dialog adalah norma dan cita-cita,
yang diperkenalkan kepada Gereja oleh Paulus VI dalam ensiklik Ecclesiam Suam. Sejak saat itu
dokumen ini sering dipakai Konsili dan juga dalam ajaran lain dari Gereja. Dialog tak hanya berarti
diskusi, melainkan juga mencakup semua hubungan positif dan konstruktif dengan orang-perorangan dan
komunitas iman lain yang ditujukan untuk saling mengerti dan saling memperkaya.

Seorang penggagas rumusan etika global, yang bernama Hans Kung mengatakan bahwa,tidak
akan ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian agama-agama, tidak akan ada perdamaian agama
tanpa adanya dialog antaragama, tidak akan ada dialog antar agama tanpa melacak nilai fundamental dari
setiap agama. Perkataan tersebut masih relevan dengan dunia sekarang. Namun, dialog agama yang
diusung tidak akan menemukan hasilnya tanpa mencoba merumuskan etika yang bisa mengatur secara
konkret pergaulan antarumat beragama.

Permasalahan mengenai hubungan antaragama dan antar umat beragama sangat menarik untuk
dibahas. Penulis berusaha untuk membahas permasalahan ini, dengan tujuan untuk menyadarkan
sekaligus memperlihatkan apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Pada paper ini lebih
banyak dibahas mengenai pandangan Gereja Katolik tentang hubungan antaragama.

BAB I

LATAR BELAKANG

DEKLARASI NOSTRA AETATE

1. Langkah kecil yang sangat berpengaruh

Gereja membuat suatu perubahan besar dalam hubungannya dengan agama-agama lain dengan suatu
langkah kecil. Langkah kecil itu adalah Deklarasi Nostra Aetate. Penyusunan konsep ini dilakukan oleh
Paus Yohanes XXIII. Namun diterbitkan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 28 Oktober 1965 dalam
suasana Konsili Vatikan II.
Dokumen ini merupakan salah satu dari keenambelas dokumen Konsili Vatikan II dan merupakan satu
dari ketiga jenis dokumen Konsili Vatikan II yang berjenis Deklarasi selain Dignitatis Humanae dan
Gravissimum Educationis. [1]

Banyak dokumen yang secara explisit menyinggung tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama
Lain. Tapi, yang secara implisit membahas tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama lain hanyalah
Nostra Aetate.

1.1. Peristiwa yang Mendahului Nostra Aetate

Nostra Aetate merupakan suatu pengembangan dari Ensiklik Ecclesiam Suam yang dikeluarkan oleh Paus
Paulus VI pada tanggal 6 Agustus 1964. Dokumen ini sering dipakai Konsili dan juga dalam ajaran lain
dari Gereja.

Salah satu isi dari Ensiklik Ecclesiam Suam adalah tentang dialog. Ensiklik tersebut mengartikan dialog
sebagai norma dan cita-cita. Ensikilik ini membawa angin segar bagi terciptanya dialog antara Gereja
Katolik dengan Agama-agama yang lain.[2]

Ensiklik ini juga yang membukakan jalan bagi terciptanya Dokumen Nostra Aetate

Dalam usahanya untuk mempererat hubungan antaragama dan kepercayaan, Gereja mendirikan
Sekretariat untuk Kesatuan Umat Kristen atau SPUC (Secretariat for the Promotion of the Unity of
Christians) pada saat Konsili Vatikan II sedang berlangsung. Sekretariat ini didirikan oleh Yohanes XXIII
pada bulan Januari 1963. Dari sekretariat ini dibentuk komisi-komisi khusus yang menangani usaha untuk
menjalin dialog dengan umat Yahudi, Gereja Ortodoks, Gereja Anglikan, Gereja Metodis, dan Gereja
Kristen seluruh dunia[3].

Sementara itu untuk menjalin dialog dengan umat bukan Kristen, Gereja mendirikan Sekretarat untuk
Umat bukan Kristen atau SNC (Secretariat for Non-Christians), pada hari Pentakosta 1964. Banyak
dokumen mengenai dialog dengan Budha, Hindu, dan terutama dengan Islam mengalir dari Sekretariat
untuk dialog antaragama ini. Menjelang tahun 1990, sekretariat ini berganti nama menjadi Sekretariat
atau Dewan Kepausan untuk Dialog Antarkepercayaan (Secretariat for Interreligious Dialogue).[4]

1.2 Sebuah Cita-cita

Dokumen Nostra Aetate merupakan perwujudan dari cita-cita, keterbukaan, dan kebhinekaan. Cita-cita
yang ingin dicapai oleh Gereja yaitu dialog. Dialog adalah norma dan cita-cita. Seperti yang diajarkan
oleh Paus Paulus VI dalam ensikliknya Ecclesiam Suam. Dalam ensiklik tersebut, dikatakan bahwa dialog
tidak hanya berarti secara harafiah, ataupun diskusi, tapi lebih mengarah kepada suatu hubungan atau
kontak antar agama yang ditujukan untuk saling mengerti dan saling memperkaya satu sama lain.

1.3 Misi Gereja

Dalam dokumen Konsili Ad Gentes art. 5 ditulis bahwa, "Misi Gereja dijalankan dengan kegiatan itu :
dengan itu dalam ketaatan kepada perintah Kristus dan digerakkan oleh rahmat dan kasih Roh Kudus,
Gereja hadir sepenuhnya bagi semua orang dan bangsa " Jadi, Gereja hadir bukan hanya untuk orang-
orang katolik saja, tapi juga bagi semua orang dimuka bumi ini tanpa memandang ras, suku, maupun
agama. Tapi Gereja juga bukan berarti mengkatolikkan semua orang.
Tugas/Misi Gereja memang hanya satu. Tapi dilaksanakan dengan cara yang berbeda sesuai dengan
situasi dan kondisi perkembangan misi, dan juga tempat diadakannya misi tersebut.

Misi Gereja yang ingin hadir sepenuhnya bagi semua orang dan bangsa, menjadi suatu landasan bagi para
Bapa Konsili untuk menerbitkan Dokumen Nostra Aetate.

1.4 Teladan Kristus

Kristus memberikan banyak sekali teladan bagi kita. Kehidupan-Nya mengandung semua unsur Misi
Gereja. Salah satunya, Yesus memberi teladan pada seluruh umat bahwa kita harus terbuka untuk
berdialog dengan siapa saja apapun agamanya.

Misalnya, Yesus menyapa dan berdialog dengan wanita Samaria tentang keselamatan (lih Yoh. 4 :1-42).
Orang-orang Yahudi menganggap bahwa bangsa Samaria itu, setengah kafir. Yesus menolong seorang
perwira Romawi dari Kapernaum yang hambanya sakit (lih Mat 8 :5-13). Bangsa Romawi adalah bangsa
penyembah dewa-dewa. Yesus juga mendengarkan permohonan wanita Siro-Fenesia yang anak
perempuannya kerasukan roh jahat. Wanita tersebut adalah orang asing dari suku-suku penyembah
berhala (lih Mrk. 7 :24-30).[5]

Untuk menegaskan bahwa Yesus tidak memandang agama ataupun suku bangsa untuk berdialog, Yesus
pernah menceritakan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (lih Luk. 10 :25-37). Dalam
perumpamaan tersebut, Yesus ingin berpesan pada kita ; supaya kita hendaknya mampu menjadi sahabat
dan saudara bagi orang lain tanpa memandang suku maupun agama.

Gereja dalam pertimbangannya untuk mengeluarkan dokumen Nostra Aetate, bertolak dari teladan Yesus
ini. Sikap dan cara hidup Yesus menjadi salah satu pendorong terciptanya dokomen Nostra Aetate.

2. Konsep Extra Ecclesiam Nulla Salus

Konsep Extra Ecclesia Nulla Salus ini diperkenalkan oleh Santo Cyprianus pada sekitar abad ke-III. Pada
dasarnya, konsep ini ditujukan kepada baptisan orang-orang yang memisahkan diri dari Gereja. Ia
menyebut mereka para bidaah. Ia menegaskan bahwa baptisan para bidaah itu sesat dan tidak membawa
kepada keselamatan. Hanya pembaptisan dalam Gereja Katolik saja yang membawa keselamatan.
Pandangan Cyprianus ini didukung oleh para Bapa Gereja, seperti Irenaeus, Clemens dari Alexandria, dan
Origenes[6].

Santo Agustinus juga menyatakan bahwa diluar Gereja ada apa saja, kecuali keselamatan. Pandangan ini
menjadi populer sejak disebarluaskan oleh teolog, murid Santo Agustinus sekaligus uskup, Fulgentius
(467-533).

Seiring berjalannya waktu, pandangan ini semakin hari semakin lebih mengarah kepada keeksklusifan
Gereja. Salah tafsir mengenai ungkapan itu makin tak terelakkan ketika sampai pada zaman kolonialisme.
Bangsa-bangsa barat yang membawa kebudayaan Eropa dan juga sekaligus membawa pandangan yang
salah itu melakukan invasi dan kemudian menendang kebudayaan dan agama asli kemudian
menggantikannya dengan kebudayaan Eropa. Invasi kebudayaan ini semakin kuat dengan adanya
dukungan aliran sesat Yansenisme yang hadir dengan propaganda bahwa di luar Gereja tidak ada
keselamatan yang pada abad XVII-XIX mendapat simpati luas.

Pandangan ini bertahan hingga menjelang Konsili Vatikan II. Para Bapa Konsili sadar akan kondisi ini.
Sehingga dari konsep ini lahirlah Dokumen Nostra Aetate.
BAB II

HUBUNGAN GEREJA DENGAN AGAMA-AGAMA LAIN

1. Hubungan Gereja dengan Agama-agama Kristen Lain

1.1 Gereja Lutheran

Gereja Lutheran didirikan oleh Martin Luther. Ia adalah seorang biarawan Agustin, dan ditahbiskan
menjadi imam sekaligus dokter teologi dalam tahun 1512. Luther dan para pengikutnya memisahkan diri
dari gereja karena ajarannya bertentangan dengan ajaran Gereja, khususnya tentang pembenaran hanya
karena iman (sola fide), wewenang paus dan menolak beberapa ajaran teologi sebelumya dengan
bertumpu hanya pada Alkitab sesuai dengan tafsiran sendiri.[7]

1.1.1 Awal Perpecahan

Paus Julius II memulai pembangunan untuk Basilika St. Petrus di Roma pada tahun 1516. Penggantinya
Leo X meneruskan pembangunan tersebut. Paus Leo X meminta bantuan untuk pembangunan Basilika St.
Petrus kepada seluruh umat dengan berjanji akan memberikan indulgensi/pengampunan dosa bagi siapa
saja yang memberi sumbangsih bagi pembangunan tersebut.

Kabar tersebut beredar luas sampai di Jerman. Uskup Agung Albrecht dari Mainz memberi tugas kepada
seorang biarawan Dominikan, Johanes Tetzel, untuk mengumumkan indulgensi tersebut. Berita itu
sampai di Wittenberg, dimana tinggal seorang imam yang nantinya akan menorehkan tinta hitam dalam
sejarah Gereja Katolik, yaitu Martin Luther.

Setelah mendengar kabar tersebut, Luther langsung bereaksi. Ia menyusun 95 dalil, dan memakukannya
di pintu Gereja Universitas Wittenber, pada tanggal 31 Oktober 1517.

1.1.2 Reaksi Jerman dan Eropa

Pengumuman dalil ini menyebabkan kegelisahan besar di seluruh Jerman. Dalam waktu singkat, yaitu
sekitar 2 minggu, seluruh Jerman telah mengerti isi dalil Luther. Dan dalam kurun waktu satu bulan,
Eropa Barat dan Selatan dan yang merasa dikecewakan oleh kepausan, memberi dukungan yang kuat
kepada Luther. Tetzel dan ahli teologi lain melontarkan protes dan pembelaannya. Namun, Luther tetap
berpegang pada pendiriannya.

1.1.3 Reaksi Gereja[8]

Reaksi dari Gereja atas gerakan reformasi ini adalah Kontra-Reformasi atau Gerakan Pembaharuan
Katolik. Gerakan pembaharuan ini dimulai dengan menyelenggarakan Konsili Trente. Melalui Konsili
ini, Gereja Katolik berusaha untuk menyingkirkan keseksatan dalam Gereja dan menjaga kemurnian Injil.
Konsili juga menegaskan posisi Katolik dalam hal-hal yang disangkal oleh pihak Reformasi soal Kitab
Suci dan Tradisi, Penafsiran Kitab Suci, pembenaran, jumlah sakramen-sakramen, kurban misa, imamat
dan tahbisan, pembedaan imam dan awam serta lain-lainnya.

Paus, setelah mendengar keterangan dari Kaisar Maximilianus, memberi pilihan kepada Luther : menarik
kembali ajarannya atau menghadap pengadilan di Roma. Jika Luther tidan menarik kembali ajarannya,
maka ia akan dikucilkan.
1.1.4 Sikap Gereja sesudah Reformasi

Keadaan Gereja pada masa itu dapat dikatakan sangat jelek. Walaupun telah mengetahui bahwa telah
salah dengan mengeluarkan keputusan indulgensia bagi yang menyumbang, namun gereja tetap
mempertahankan diri. Tidak mau kalah, dan tidak mau malu. Walaupun memang tak dapat dipungkiri
bahwa banyak juga ajaran dari Luther yang tidak sesuai dengan ajaran dari Yesus sendiri.

Dapat dikatakan bahwa hubungan Gereja Katolik dengan Gereja Lutheran pada masa Reformasi tersebut
sangat tidak akur. Para pengikut Luther menganggap bahwa Gerja katolik telah membohongi mereka
selama bertahun-tahun. Gereja awalnya juga menganggap mereka sebagai bidaah karena banyak ajaran
yang bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik.

1.1.5 Hubungan Gereja dengan Lutheran pada Masa Kini

Hubungan Gereja Katolik dengan Gereja Lutheran saat ini dapat dibilang harmonis. Hal ini dapat
tercermin dalam interaksi antara umat Gereja Katolik dan Jemaat Lutheran. Banyak kegiatan yang
dilakukan secara bersama-sama. Misalnya, ketika jemaat Lutheran mengadakan Ibadah Natal Bersama,
mereka mengundang beberapa tokoh umat dari Gereja Katolik untuk turut berpartisipasi dalam Ibadah
mereka. Begitu juga sebaliknya.

Di lain tempat, diselenggarakan Gerakan Ekumenis. Gerakan Ekumenis adalah kegiatanb-kegiatan dan
usaha-usaha yang diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat Kristen. Kegiatan-
kegiatannya antara lain, melaksanakan dialog, menyelenggarakan kerja sama demi kesejahteraan umum,
doa bersama atau ibadat bersama, dan menghindari kata-kata, penilaian, dan perbuatan yang dapat
menimbulkan hubungan yang kurang baik antar umat Kristiani.[9]

1.2 Gereja Ortodoks

1.2.1 Awal dan Perkembangan[10]

Gereja Ortodoks merupakan federasi Gereja-gereja otokefal (Yunani: mempunyai kepala sendiri), di
negara-negara Eropa Timur khususnya Rusia, dan negara-negara di pesisir timur Laut Tengah. Umat
ortodoks beribadat menurut ritus Byzantin dan mengikuti tata tertib gerejani Byzantin berkat pengaruh
besar umat di Konstantinopel.

Sejak 1054 Gereja Ortodoks tidak mengakui lagi kepemimpinan dari Uskup Roma atau Paus atas Gereja
sepenuhnya. Sebab-sebabnya sangat kompleks; antara lain, teologi di Bagian Timur lebih spekulatif;
kristologinya cenderung bersifat mistik; ibadat menekankan ritus dan doa dalam bahasa tertentu.

Sebab utama perpecahan bercorak politis: setelah kota Byzantium menjadi ibukota kekaisaran Romawi,
kedudukan uskup Byzantium meningkat. Para kaisar menggunakan uskup tersebut sebagai alat untuk
memanfaatkan Gereja demi kepentingan politik semata. Akhirnya uskup Konstantinopel menjadi yang
paling tinggi kedudukannya di bagian timur, walaupun masih mengakui bahwa Paus di Roma memiliki
kekuasaan tertinggi. Namun demikian, perbedaan dalam banyak bidang semakin luas (cara hidup
rohaniwan, bahasa ibadat, tanggal hari-hari raya, dll), sehingga hal-hal sepele menjadi dalih untuk
perpecahan total dalam skisma Timur pada tahun 1054.
1.2.2 Hubungan Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks[11]

Sejak tahun 1059, Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks saling mengutuk atau anathena. Namun kemudian
pada tahun 1965 tradisi tersebut dihapuskan, sehingga tidak ada lagi skisma, melainkan keadaan kurang
bersatu. Dialog resmi berlangsung pada tahun 1980 dan 1993. Masih ada sisa-sisa dendam di hati masing-
masing Gereja.

Akhir-akhir ini hubungan Gereja Ortodoks di Rusia, yaitu Batri Moskow dengan kepausan Vatikan
kurang lancar sejak beberapa keuskupan katolik dihidupkan kembali di Rusia. Ortodoks menganggap
negara itu milik mereka atau mereka anggap Teritorium Ortodoks.

Hubungan dengan Gereja Katolik menjadi hampir terputus dikarenakan pengangkatan bebrapa
admistrator apostolik Katolik Ritus Latin di Rusia, dan permintaan umat Katolik Ritus Ukraina, supaya
miliknya yang dirampas oleh rezim Stalin dan kemudian diberikan kepada umat Ortodoks itu
dikembalikan kepada mereka

2. Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristen

2.1 Agama Islam

2.1.1 Dari Lahirnya Islam hingga Perang Salib[12]

Sejarah hubungan antara umat Islam dan umat Kristiani kerap kali penuh ketegangan, yang
biasanya disebabkan tercampurnya kepentingan keagamaan dengan kepentingan duniawi pada kedua
belah pihak maupun tokoh-tokoh agama masing-masing. Umat Kristiani yang hidup di Jazirah Arab pada
zaman Nabi Muhammad tidak begitu banyak dan terpecah dalam beraneka aliran.

Mulanya hubungan Islam dan Kristen, baik: Rahib Bahira dekat Bosra di kaki gunung Draz
meramalkan, bahwa pemuda Muhammad akan menjadi orang besar. Waraqah bin Nawfal, seorang
Kristen dan anak paman Siti Kadijah, membela Muhammad waktu mengalami kesulitan di Mekkah. Raja
Abesimia yang Kristen melindungi 178 orang Islam yang mengungsi kepadanya karena dikejar orang
Quraish. Nabi Muhammad mempersilahkan delegasi Kristen Najran untuk menjalankan ibadat Kristen di
Mesjid Medinah.

Akibat agresi yang dilakukan Islam untuk menyebarkan agamanya di Jazirah Arab, banyak
daerah yang berpenduduk Kristen menjadi warga kelas dua menurut apa yang disebut Perjanjian Umar
(II), dan gerak-gerik serta kegiatan mereka dibatasi. Angkatan perang Islam menaklukkan negara-negara
yang sudah berabad-abad lamanya beragama Kristen, seperti: Mesir, Syria, Afrika Utara, dan bahkan
Spanyol. Lalu, tentara Turki antara abad ke-11 dan 18, merebut daerah-daerah Kristen di Turki dan
Balkan sampai ke ambang pintu kota Wina.

Oleh karena perang jihad yang untuk sementara dibalas dengan Perang Salib, maka hubungan
antara kedua pihak semakin buruk. Islam menyerbu Kekaisaran Byzantium secara perlahan-lahan, hingga
membuat Kaisar Byzantim melapor kepada Paus Urbanus II di Roma untuk membantu mengusir orang-
orang Islam tersebut. Dapat dikatakan, hasil akhir dari perang ini, yaitu kemenangan di pihak Islam. [13]

Kekalahan ini meninggalkan dendam di hati orang-orang Kristen, sehingga hubungan kedua
pihak semakin memburuk. Namun demikian, terdapat juga kontak kebudayaan yang subur, antara lain
literatur Yunani lewat masuknya universitas-universitas Islam ke Eropa.
2.1.2 Masa Kolonialisme hingga Perang Dunia II

Masa Kolonialisme tumbuh semarak sejak abad ke-16. Masa ini dilatarbelakangi oleh bangsa
Eropa yang menemukan berbagai penemuan besar. Negara-negara itu haus akan nama besar, kejayaan
dan kekayaan. Negara yang dapat dikatakan sebagai pencetus masa Kolonialisme ini adalah bangsa
Spanyol dan Portugal.[14]

Kedua negara ini, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, berhasil membebaskan
diri dari penjajahan Islam. Sejak itu, mereka langsung mulai merebut daerah-daerah penting dari beberapa
negara yang penduduknya beragama Islam di Afrika Timur, Asia Selatan dan Tenggara.

Kepentingan ekonomi dan politik mereka yang bertentangan itu mempertajam dan dipertajam
oleh perbedaan ras, kultural, dan terlebih agama. Dengan mundurnya kekuatan kesultanan-kesultanan dan
majunya kekuatan negara-negara kolonial (Belanda, Inggris, dan Prancis), pertentangan lama tidak
mereda. Setelah Perang Dunia II, banyak bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
memperoleh kembali kemerdekaan mereka, misalnya; Pakistan, Aden, Somalia, Sudan, Siria, Aljazair,
dan Monako. Beberapa diantaranya berkat melambungnya harga minyak, menjadi kaya dan mendukung
penyebaran Islam dengan dana keuangan yang besar, khususnya di Afrika, tempat umat Kristen maupun
Islam berkembang cepat menggeser kepercayaan asli suku-suku Afrika.[15]

2.1.3 Setelah Konsili Vatikan II

Sikap Gereja terhadap agama Islam dapat dilihat dalam Nostra Aetate art. 3, tentang agama
Islam. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa Gereja menghormati dan menghargai agama Islam, yang
hanya mengakui Allah yang satu atau monotheisme. Gereja sudah dapat menerima perbedaan pendapat
yang menyolok antara Kristen dan Islam, yaitu: Pengakuan Yesus sebagai Allah. Walaupun mereka tidak
mengakui-Nya sebagai Allah, namun mereka tetap menghormatinya sebagai Nabi.

Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang
hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan
bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia... Memang mereka tidak
mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi.
Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-
saat tertentu berseru kepadanya. (NA art. 3)

Konsili juga mau mengajak umat Kristiani maupun umat Muslim untuk melupakan
pertikaian dan permusuhan yang memang sering terjadi, dan mendorong kedua belah pihak untuk saling
memahami. Agar supaya tercipta perdamaian dan keadilan.

Memang benar, di sepanjang zaman cukup sering telah timbul pertikaian dan
permusuhan antara umat kristiani dan kaum Muslim. Konsili suci mendorong
mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati
melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta
mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun
perdamaian dan kebebasan. (NA art. 3)

2.2 Agama Yahudi

2.1.1 Sejarah singkat Bangsa Yahudi[16]


Pada mulanya, nama Yahudi dikenakan kepada anggota suku Yuda, putera Yakob dengan
isterinya Lea. Sesudah kerajaan Salomo pecah, bagian selatan dengan ibukota Yerusalem menamakan
diri kerajaan Yehuda. Sesudah pembuangan di Babilonia, semua warga bangsa Israel disebut Yahudi.
Setelah Baitullah di Yerusalem dibangun kembali, negeri yang setengah otonom, setengah tergantung
dari Persia, kemudian direbut oleh pengganti-pengganti Iskandar Agung.

Setelah Jenderal Romawi, Pompeius, menduduki seluruh negeri Palestina, raja Herodes serta
putera-puteranya memerintah negeri itu di bawah kekuasaan kaisar, yang diwakili oleh seorang gubernur

2.1.2 Penggabungan Kristen-Yahudi[17]

Orang-orang Yahudi yang telah dikalahkan oleh Romawi, melakukan pemberontakan


melawan Roma yuang mengakibatkan penghancuran kota Yerusalem beserta Baitullah (70 SM), yang
dibangun oleh Herodes dan sering dikunjungi oleh Yesus.

Akibat penghancuran tersebut, banyak anggota komunitas Qumran, yaitu umat perjanjian
yang memisahkan diri dari bangsa Yahudi lain yang dipandang lalai mematuhi hukum taurat, yang lolos
dari penghancuran biara mereka, menggabungkan diri dengan umat kristen keturunan Yahudi, yang
mengungsi dari Yerusalem sebelum kota ini dihancurkan. Umat Kristen-Yahudi yang menjadi tempat
pelarian dari para Qumran itu, berasal dari umat perdana di Yerusalem sama seperti umat-umat di
Antiokia atau kota lain yang didirikan oleh Paulus di Asia kecil dan Yunani.

2.1.3 Pertentangan

Banyak pertentangan yang terjadi antara orang Kristen dan Kristen-Yahudi, antara lain:
mengenai penyunatan. Kristen Yahudi memaksa agar orang-orang yang menjadi Kristen harus mengikuti
adat Yahudi (sunat) dan mengikuti hukum taurat.

Selain itu, ada juga yang mempertentangkan tentang makanan najis. Paulus melawan
semuanya itu dalam berbagai suratnya. Ia mengemukakan keyakinan bahwa Kristus membebaskan orang
dari hukum PL. Pada konsili para Rasul di Yerusalem, ajaran Paulus tersebut disetujui oleh umat perdana
di Yerusalem.

2.1.4 Sikap Konsili Vatikan II

Dalam Konsili Vatikan II, Gereja menyadari bahwa besarlah pusaka rohani yang diwarisi
oleh umat Kristiani dan juga bangsa Yahudi. Maksud dari pusaka rohani tersebut yaitu bahwa bangsa
Yahudi adalah bangsa terpilih dan juga keturunan Abraham. Wahyu Perjanjian Lama pun diterima
melalui bangsa itu.

Oleh karena itu, Gereja menyarankan untuk menanamkan sikap saling pengertian dan saling
menghargai. Dan hal tersebut dapat terwujud melalui studi Kitab Suci dan Teologi, serta dialog.

Maka karena sebesar itulah pusaka rohani yang diwaris bersama oleh umat
Kristiani dan bangsa Yahudi, Konsili suci ini bermaksud mendukung dan
menganjurkan saling pengertian dan saling penghargaan antara keduanya, dan
itu diwujudkan terutama melalui studi Kitab Suci dan teologi serta dialog
persaudaraan. (NA art. 4)
Gereja juga menyarakan agar jangan sampai menyudutkan bangsa Yahudi berkaitan dengan
kematian dari Tuhan kita, Yesus Kristus. Jangan juga menggambarkan orang Yahudi itu dibuang.
Seolah-olah hal tersebut dapat disimpulkan dari Kitab Suci. Katekese dan pewartaan pun harus selaras
dengan Injil.

Meskipun para pemuka bangsa Yahudi beserta para penganut mereka


mendesakkan kematian Kristus, namun apa yang telah dijalankan selama Ia
menderita sengsara tidak begitu saja dapat dibebankan sebagai kesalahan kepada
semua orang Yahudi zaman sekarang... hendaknya orang-orang Yahudi jangan
digambarkan seolah-olah dibuang oleh Allah atau terkutuk, seakan-akan itu
dapat disimpulkan dari Kitab Suci. (NA art. 4)

Gereja juga mengecam diskriminasi terhadap orang-orang Yahudi. Pun terhadap


penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang membenci bangsa
Yahudi.

Selain itu Gereja, yang mengecam segala penganiayaan terhadap siapa pun juga,
mengingat pusaka warisannya bersama bangsa Yahudi. Gereja sangat
menyesalkan kebencian, penganiayaan, pun juga unjuk-unjuk rasa antisemitisme
terhadap bangsa Yahudi, kapan pun dan oleh siapa pun itu dijalankan, terdorong
bukan karena motivasi-motivasi politik, melainkan karena cinta kasih
keagamaan menurut Injil. (NA art. 4)

2.1.5 Upaya Memajukan Dialog dengan Agama Yahudi[18]

Pada tahun 1979, Paus Yohanes Paulus II menyampaikan suatu khotbah di Auschwitz (Polandia),
yang menyebut pemusnahan massal bangsa Yahudi adalah Golgota Dunia Modern.
Dalam amanatnya di Mainz, Jerman, Paul Paulus II menyatakan 3 dimensi dialog dengan bangsa
Yahudi:
1. Pertemuan antara Umat Allah Perjanjian Lama dan Umat Perjanjian Baru
2. Terjalinnya saling menghargai antar Gereja-gereja Kristen dewasa ini dan Umat Perjanjan Musa
sekarang.
3. Tugas Suci untuk memberi kesaksian tentang Allah yang Esa di dunia dan bersama-sama
memperjuangkan kedamaian serta keadilan.
Ketika mengunjungi Sinagoga Agung di Roma, Paus Johannes Paulus II menegaskan bahwa
Perjanjian Allah dengan bangsa Yahudi tidak terubahkan
Dalam pertemuan dengan komunitas Yahudi di Warsawa, Paus menyebut Pembasmian Bangsa
Yahudi sebagai tanda peringatan bagi seluruh umat manusia
Pada 1971 dibentuk panitia internasional sebagai penghubung resmi antara Komisi untuk Hubungan
Agama dengan Umat Yahudi dan Komisi Yahudi Internasional untuk Konsultasi antar-agama.
Paus Benedictus XVI menyapa hangat umat Yahudi di Koln (Jerman), waktu berkunjung ke Sinagoga
di kota tersebut (2005).

3. Hubungan Gereja Katolik dengan Agama Bukan Kristen

3.1 Agama Asli

Agama asli masih tetap berpengaruh mendalam pada hidup keagamaan banyak orang, yang
telah menganut salah satu agama yang ada di dunia, khususnya Agama Kristen Katolik. Unsur ajaran
kosmis dari agama-agama aslilah yang masih cukup banyak terdapat dalam hidup keagamaan orang-orang
Indonesia dimana-mana. Ajaran kosmis yang dimaksud adalah ajaran tentang jagad raya. Bagaimana itu
dijadikan, bagaimana perkembangannya, dan bagaimana cara menggunakannya.[19]

3.1.1 Dasar dan Ajaran[20]

Dasar yang mendalam dari agama-agama suku adalah dongeng-dongeng mengenai ciptaan
dan di dalamnya hubungan ke Allahan dengan ciptaan. Ada 2 tema pokok dari cerita-cerita penciptaan:

1. perang suci antaa dunia atas dan dunia bawah atau perkawinan suci antara surga dan dunia. Keduanya
disusul dengan perceraian.

2. keterangan tentang terjadinya bermacam-macam tumbuh-tumbuhan, yang diperlukan oleh manusia


untuk dapat hidup, dan tentang kenyataan bahwa manusia akan mati suatu saat nanti.

Jadi, cerita-cerita ciptaan itu dimaksud untuk menerangkan tentang terciptanya alam semesta,
dunia, musim, pergantian terang dan gelap, dan sebagainya, dan menunjukkan fungsi segala sesuatu.
Pengaturan allah/dewa mereka atas alam semesta setiap manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan dan setiap
kejadian mempunyai tempat yang penuh arti. Masing-masing harus berbuat sesuai dengan hal itu dan
wajib menaati peraturan-peraturan dan larangan-larangan tertentu.

Dalam agama asli/suku inilah pada umumnya timbul keprcayaan bahwa tidak hanya manusia
saja yang berjiwa melainkan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Karena itu, mereka sangat menghormati
alam.

Sebagian besar agama-agama asli juga percaya bahwa seorang yang telah meninggal tetap
berhubungan dengan para anggota suku yang masih hidup. Orang-orang yang sudah meninggal tersebut
mempunyai pengaruh yang langsung dan kuat atas orang-orang yang masih hidup. Mereka juga
kebanyakan mengenal imam-imam yang bertugas mempertahankan hubungan orang-orang yang masih
hidup dengan nenek moyang, dewa-dewa, jin-jin, dan setan-setan.

3.1.2 Agama-agama Asli di Indonesia[21]

Ada berbagai macam agama asli di Indonesia, seperti antara lain Aluk To Dollo di Sulawesi,
Sabulungan di Mentawai, Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan dan lain-lain. Ada juga yang
disebut agama-agama suku, seperti penduduk-penduduk beberapa pulau sebelah barat Sumatera, beberapa
suku kecil dan bagian suku-suku yang besar di Sumatera, kelompok-kelompok besar dari suku Dayak di
Kalimantan, Toraja di Sulawesi dan dari penduduk pulau Sumba dan penduduk Irian Jaya.

Selain itu, masih terdapat apa yang kini dinamakan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, yang menurut negara sama kedudukannya dengan agama dalam hal pengalaman ke-Tuhanan Yang
Maha Esa.

3.2 Aliran Kepercayaan

3.2.1 Ajaran[22]

Aliran kepercayaan dalam dokumen Nostra Aetate disebut juga kepercayaan terhadap Yang
Mahatinggi. Aliran ini mementingkan sikap batin dan berkisar pada ilham diri sendiri, yakni:
peningkatan integrasi diri manusia

pengalaman batin bahwa diri pribadi beralih ke kesatuan dan persatuan yang lebih tinggi.

Partisipasi dalam tata tertib sempurna yang mengatasi daya kemampuan manusia biasa.

Aliran kepercayaan berusaha untuk meraih kesempurnaan hidup dengan jalan mencapai budi
luhur. Hal tersebut dilakukan secara perseorangan ataupun dalam kelompok-kelompok. Organisasi atau
persekutuan tidak dipentingkan, sumber utamanya adalah tradisi agama asli. Aliran Kepercayaan juga
menanamkan ke dalam hidup para penganutnya perasaan keagamaan yang mendalam.[23]

3.2.2 Hubungan Aliran Kepercayaan dan Agama Asli

Aliran kepercayaan tidak langsung berkembang dari agama asli, tetapi unsur-unsur kebatinan,
kerohanian, dan kejiwaaan yang mengembangkan budi pekerti serta adat, sudah ada dalam agama-agama
asli di seluruh nusantara. Agama-agama asli mengalami banyak tantangan seiring berjalannya waktu.
Tidak hanya dari agama-agama yang sudah diakui, tapi juga dari perkembangan kebudayaan dan
modernisasi.

Menurut kepercayaan asli seluruh alam merupakan satu kesatuan sakral, yang didekati
manusia melalui sistem penggolongan dan pembagian. Pandangan ini tidak cocok dengan alam pikiran
modern, dan memaksa para penganut agama asli mengubah cara berpikir dan mereka menemukannya
pada Aliran Kepercayaan itu.[24]

3.3 Penyesuaian Gereja Katolik dengan Kebudayaan yang ada.

3.3.1 Bahasa[25]

Tugas Gereja dalam menyelidiki bahasa dan kebudayaan suatu bangsa tempat Gereja bekerja,
bukan hanya untuk memberikan sumbangan pada ilmu pengetahuan linguistik mengenai bangsa-bangsa
ini, tapi yang terpenting adalah mengungkapkan kepercayaannya sendiri dalam bahasa-bahasa dan
beberapa aspek kebudayaan bangsa-bangsa ini.

Mengenai bahasa-bahasa daerah dan bahasa nasional Indonesia ada beberapa kesulitan yang
berhuubungan dengan arti-arti dan nilai rasa pelbagai kata. Misalnya ketika diterjemahkan doa Bapa
Kami dari bahasa latin ke bahasa Indonesia. Tapi dengan penyelidikan bahasa yang cukup baik kesulitan
dapat diatasi.

Sekarang di berbagai daerah telah dipakai bahasa, budaya, dan kesenian daerah untuk
dimasukkan dalam misa. Juga Kitab Suci diterbitkan beberapa kali dalam bahasa Indonesia, bekerja sama
dengan Lembaga Alkitab Indonesia dan Lembaga Biblika Indonesia.

3.3.2 Musik[26]

Di bidang musik sudah ada beberapa contoh yang baik tentang penggunaan pelbagai macam
musik asli Indonesia dalam upacara-upacara ibadat umat katolik. Misalnya, di Flores, di Jawa Tengah
yang memakai Gamelan dalam misa, dan di Minahasa yang menggunakan kolintang untuk mengiringi
misa. Di Minahasa khususnya, sudah ada nyanyian misa (Kyrie, Gloria, Sanctus dan Agnus Dei) yang
memakai bahasa daerah. Gaya musiknya juga disesuaikan dengan budaya Minahasa.
3.4 Sikap Gereja Katolik terhadap Agama Asli dan Aliran Kepercayaan

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja dengan penuh keyakinan menegaskan bahwa iman dan
wahyu orang bukan Kristen dapat bersifat menyelamatkan dan bahwa Gereja harus menolak semua
sarana yang memaksa dalam pewartaan imannya. Sarana-sarana yang dimaksud tersebut adalah semacam
sifat fanatisme berlebihan dan sifat menakut-nakuti kebudayaan lain.[27]

Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci.
Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup,
kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang
diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang
menerangi semua orang (NA art. 2)

Dalam pernyataan ini dapat dilihat bahwa di dalam lembaga Gereja dan institusi serta
tradisinya, dalam orang-orang kudus dan kitab-kitab sucinya, pesan kristiani secara aktif disingkapkan
oleh Roh Kudus di tengah-tengah kita dan melampaui rintangan-rintangan budaya, seturut janji yang
Yesus berikan kepada para Rasul-Nya.

4. Kerja Sama antar Umat Beragama untuk Membangun Persaudaraan Sejati

Tak dapat dipungkiri bahwa kerja sama antarumat beragama apalagi persaudaraan sejati antar
umat beragama belum dihayati dan dilaksanakan oleh seluruh umat manusia. Masih terlalu banyak
konflik dan pertikaian yang terjadi dimana-mana baik secara massal maupun kecil-kecilan. Di Irlandia
Utara terjadi kerusuhan dan perang antar umat katolik dan umat Protestan. Kerusuhan ini sudah
berlangsung lama. Di Khasmir, umat Hindu dan Islam saling perang. Setiap saat, kerusuhan dapat pecah
lagi. Di Negara kita pun masih ada. seperti kerusuhan di Ambon dan Poso yang melibatkan umat Islam
dan Kristen. Ada juga kerusuhan kecil-kecilan yang terjadi di tempat-tempat tertentu.

Kehidupan rukun dan damai antar pemeluk agama menjadi dambaan seluruh masyarakat.
Namun kehidupan rukun dan damai tersebut belum dapat dinikmati sepenuhnya. karena masih ada konflik
yang bernuansa agama seperti yang telah disebutkan di atas. Konflik ini terjadi antara lain karena orang
sering kali menyalahgunakan agama untuk kepentingan tertentu, misalnya demi kekuasaan. Selain itu,
orang kurang mendalami agamanya dan kurang memahami agama orang lain sehingga mudah diadu
domba.

4.1 Masalah-masalah Agama

Ada 3 hal utama yang menjadi penyakit agama sekarng ini: fanatisme, takhayul, dan fatalisme.

4.1.1 Fanatisme

Fanatisme adalah sikap menonjolkan agamanya sendiri dengan kecenderungan menghina agama lain dan
mengurangi hak hidupnya. Fanatisme sering mengarah ke dominasi politik dan cita-cita mendirikan
Negara agama.

Sebab-sebab dari fanatisme agama itu kompleks.

Antara lain: kurang mengenal agama lain karena hidup dalam daerah tertutup, pendidikan agama yang
sempit dan defensif yang mencari-cari kejelekan dari agama lain, rasa bangga yang berlebihan atas
kejayaan agamanya sendiri dengan tidak melihat kekurangan-kekurangan diri, rasa takut akan kemajuan
agama lain, dan lain-lain.

Sebab-sebab ini umumnya kurang disadari, sehingga fanatisme bisa sampai menutup diri
sama sekali terhadap agama lain, membabibuta dan bertahan lama sekali. Sebab yang utama dari
fanatisme agama adalah tidak adanya keyakian yang tenang, dewasa, realistis dan terbuka.

Fanatisme adalah sikap mental yang paling berbahaya untuk perkembangan pribadi, kesatuan
bangsa dan kerukunan internasional.

Perkembangan pribadi dicekik, karena fanatisme membelenggu orang-orang dalam


pandangan hidup yang tetap sama, statis, tertutup, sehingga tidak ada evolusi dan perluasan pandangan
yang sangat dibutuhkan untuk mencapai kedewasaan akhlak. Fanatisme ini juga cenderung mencurigai
hasil-hasil ilmu pengetahuan dan dengan demikian menanam kebodohan.

Sejarah agama-agama besar banyak dinodai oleh fanatisme agama. Tak ada satu agama
besarpun yang bersih dalam hal ini. Perang-perang dashyat dicetuskan oleh fanatisme. Misalnya, Perang
Salib pada abad pertengahan, yang berkobar antara bangsa-bangasa penganut agama Kristen dan Islam.

4.1.2 Takhayul

Takhayul adalah kepercayaan yang terlalu besar akan benda atau perayaan tertentu, untuk
dengan demikian mendapat bantuan dari Tuhan. Orang sebetulnya lebih percaya akan benda atau
perayaan tertentu daripada akan Tuhan sendiri. Takhayul terutama merajalela dikalangan bangsa yang
menganut agama primitif, yaitu animisme. Manusia, hampir selalu dengan perantaraan seorang imam atau
dukun, dengan perayaan-perayaan tertentu, seperti pengorbanan, persembahan, penyiksaan, bertapa,
matiraga, berusaha mencegah pengaruh roh-roh jahat dan mendapat bantuan dari roh-roh yang baik.

Tempat-tempat tertentu, lebih-lebih kuburan dianggap keramat. Diambil tanah dari situ untuk
mendapatkan berkat. Atau sebaliknya tempat-tempat tertentu dianggap angker. Orang-orang
berpandangan bahwa tempat-tempat itu diduduki oleh roh-roh jahat.

Takhayul dapat berkembang menuju ilmu hitam jika ia bermaksud dengan bantuan dari roh-
roh merugikan sesama manusia, dimana ia mengabdikan Tuhan, atau kekuasaan adikodrati untuk
kepentingannya sendiri. Tuhan harus melayani kepentingan manusia.

Dengan perayaan tertentu, misalnya dengan mengucapkan mantera, ia seakan-akan mau


memaksa Tuhan atau roh untuk melakukan sesuatu baginya. Takhayul merusak iman yang sejati,
menutup terhadap ilmu pengetahuan, dan sering memboroskan uang.

Tak dapat disangkal bahwa takhayul di Indonesia, baik di kota maupun di daerah, masih tebal
sekali. Takhayul membelenggu jiwa dalam ketakutan.

4.1.3 Fatalisme

Fatalisme adalah sikap mudah menyerah pada nasib. Sebab-sebabnya sering kali adalah
kekurangan tenaga dibantu oleh alasan-alasan religius. Nasib dianggap ditakdirkan oleh Tuhan.
Sikap fatalistis mengakibatkan manusia kurang berusaha menentang sengsara, terlalu mudah
menghibur diri dengan perayaan-perayaan keagamaan dan menantikan surga. Orang-orang fatalis
mempunyai pandangan tentang Tuhan yang picik dan paham yang tidak realistis tentang dunia. Tuhan
seakan-akan menakdirkan segala nasib buruk. Ia mudah lari ke dalam impian idealistis. Misalnya, jika
dalam perkawinan ada suatu ketegangan, cepat diambil kesimpulan bahwa jodoh ini memang tidak
ditakdirkan oleh Tuhan, jadi baiknya diceraikan saja.

Kritik Karl Marx dan Lenin terhadap agama sejauh menyangkut fatalisme adalah benar.
Fatalisme di Indonesia yang bercokol di belakang topeng agama melumpuhkan daya tekun, kekuatan
untuk melawan rintangan-rintangan, dan jelas menghambat pembangunan nasional di segala bidang.

4.2 Dialog dan Kerja Sama

Dewasa ini dialog agama-agama terasa amat kuat pengaruhnya. Pengaruhnya nyata tidak
hanya dalam hidup Gereja partikular Asia yang menganut pola masyarakat pluri-religius, melainkan juga
telah mewarnai Gereja universal pada umumnya. Sebab gerakan dialog dengan agama-agama lain telah,
sedang dan pasti akan dirintis di mana-mana mulai dari tingkat yang paling kecil yaitu keluarga,
kampung, dan desa sampai tingkat yang lebih luas nasional dan internasional

4.2.1 Dialog Kehidupan

Dialog kehidupan diperuntukkan bagi semua orang dan sekaligus merupakan level dialog
yang paling mendasar. Sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalam masyarakat majemuk yang paling
umum dan mendasar ialah ciri dialogis.

Kita sering hidup bersama dengan umat beragama lain dalam suatu lingkungan atau daerah.
Dalam hidup bersama itu, kita tentu berusaha untuk bertegur sapa, bergaul, saling mendukung dan saling
membantu satu sama lain. Hal itu dilakukan bukan saja demi tuntutan sopan santun dan etika pergaulan,
tetapi juga tuntutan iman kita.

4.2.2 Dialog Karya

Yang dimaksudkan dengan dialog karya adalah kerjasama yang lebih intens dan mendalam
dengan para pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih jelas dan tegas, yakni pembangunan
manusia dan peningkatan martabat manusia. Bentuk dialog semacam ini sekarang kerap berlangsung
dalam kerangka kerjasama organisasi-organisasi internasional, di mana orang-orang kristen dan para
pengikut agama-agama lain bersama-sama menghadapi masalah-masalah dunia.

Dalam hidup bersama dengan umat beragama lain, kita sering diajak dan didorong untuk
bekerja sama demi kepentingan bersama atau kepentingan yang lebih luas dan luhur. Kita bekerja sama
dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, kegiatan sosial karitatif, kegiatan rekreatif, dan sebagainya. Dalam
kegiatan-kegiatan seperti itu, kita dapat lebih saling mengenal dan menghargai.

4.2.3 Dialog Pengalaman Iman

Dialog pengalaman iman atau pengalaman keagamaan merupakan dialog tingkat tinggi.
Dialog pengalaman iman dimaksudkan untuk saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai
tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi.
Dalam hidup beriman, kita dapat saling memperkaya, walaupun berbeda agama. Ada banyak
ajaran iman yang sama, ada banyak visi dan misi agama yang sama. Lebih dari itu, semua orang ternyata
mempunyai perjuangan yang sama dalam menghayati ajaran imannya, dan dalam hal ini kita dapat saling
belajar, saling meneguhkan, dan saling memperkaya.

4.3 Ajaran dan Pandangan Gereja Katolik

4.3.1 Injil

Gereja berpegang pada sikap Yesus sendiri. Semasa hidup-Nya di dunia, Yesus menyapa dan
bersahabat dengan siapa saja apa pun keyakinan dan agamanya. Misalnya, Yesus menyapa dan berdialog
tentang keselamatan dengan wanita Samaria (Yoh. 4:1-42). Oleh orang-orang Yahudi, bangsa Samaria
dianggap bangsa yang setengah kafir. Yesus menolong perwira Romawi dari Kapernaum yang hambanya
sakit (Mat. 8:5-13). Bangsa Romawi adalah bangsa penyembah dewa-dewa. Yesus juga mendengarkan
permohonan wanita Siro-Fenesia yang anak perempuannya kerasukan roh jahat. Wanita ini adalah orang
asing dari suku-suku penyembah berhala (Mrk. 7:24-30). Yesus tidak mempersoalkan agama, tetapi belas
kasih dan persaudaraan.

Untuk menegaskan sikap-Nya itu Yesus menceritakan perumpamaan tentang orang Samaria
yang baik hati. Orang Samaria itu sanggup menjadi sesama bagi orang lain yang menderita, tanpa
memandang asal-usul dan latar belakang hidupnya. Orang yang berbeda suku, agama, cara beribadah, dan
berbeda kebudayaannya ditolongnya, dikasihinya sepenuh hati dengan segenap jiwa dan akal budinya.
Itulah persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati antara manusia dan sesama makhluk Tuhan. Persaudaraan
sejati tidak dibatasi oleh ikatan darah, suku, atau agama. Setiap manusia siapa pun dia sungguh harus
dikasihi sebagai saudara dan sesama.

4.3.2 Konsili Vatikan II

Dalam dokumen Nostra Aetate Art. 1 dan 2 mengatakan bahwa kita hendaknya menghormati
agama-agama dan kepercayaan lain, sebab dalam agama-agama itu terdapat pula kebenaran dan
keselamatan. kita hendaknya berusaha dan bersatu dalam persaudaraan sejati demi keselamatan manusia
dan bumi tempat tinggal kita.

Nostra Aetate juga menegaskan bahwa setiap orang yang tidak mencintai sesamanya dan
tidak mau bersikap sebagai saudara dengan umat dari agama yang lain, maka ia tidak mengenal Allah.
Hal ini terinspirasi dari Injil.

Gereja melalui dokumen ini ingin mengecam segala bentuk diskriminasi berdasarkan
keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, atau lainnya yang berlawanan dengan semangat
Kristus.

BAB III

RELEVANSI NOSTRA AETATE

Pluralisme agama merupakan realitas sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Namun tidak jarang persoalan pluralitas agama seringkali menimbulkan persoalan yang
menghantar manusia kepada sikap konflik horizontal. Para penganut agama tertentu seringkali
menganggap agamanya sebagai satu-satunya kebenaran mutlak dan mengabaikan kebenaran yang ada
dalam agama-agama yang lain. Akibatnya kekerasan terhadap agama menjadi sebuah realitas sosial yang
membuat kelompok-kelompok agama berada dalam situasi keagamaan, kecurigaan, sikap sektarian dan
lain sebagainya[28].

Kepentingan politis maupun konflik rasial-etnik telah memasuki ranah persoalan agama.
Bahkan kadang sulit untuk dicari perbedaan yang jelas mana peristiwa yang bermotifkan agama dan yang
berlandaskan kepentingan lainnya. Persoalan seperti ini yang belum bisa dijawab oleh agama dalam
meanamkan sikap toleransi atau mencintai dan proses penciptaan ketenteraman antaragama.

Menghadapi realitas pluralitas agama-agama dewasa ini, yang cenderung melahirkan konflik
dan mengatasnamakan agama, maka dilihat sangat tepat apa yang digagas oleh Konsili Vatikan II bahwa
dialog merupakan satu-satunya langkah yang tepat untuk menuju perdamaian dengan kelompok-
kelompok agama lain[29]. Tak ada jalan lain untuk memahami setiap perbedaan dalam agama-agama
selain melalui dialog sebagai dialog kehidupan. Dialog bukan hanya sekedar dialog semata, melainkan
betul-betul menjadi milik setiap manusia yang berdialog dengan orang lain. Hanya dengan cara demikian,
kekerasan dan berbagai perbedaan dalam agama dapat diatasi.

1. Nostra Aetate: Bukan sekedar Konsep tapi sebuah Tindakan Nyata

Penegasan Konsili Vatikan II mengenai sikap positif terhadap agama-agama lain yang salah
satunya tertuang dalam dokumen Nostra Aetate bersifat konkret. Maksudnya sikap-sikap dialogis Gereja
setelah Konsli Vatikan II tidak hanya bersifat konseptual, melainkan diwujudkan dalam tindakan-tindakan
nyata.

Dalam menegaskan tindakan sikap dialogisnya, Konsili Vatikan II membedakan tiga kelompok
umat:

1. Kelompok Umat Kristen yang Lain

2. Kelompok Umat bukan Kristen

3. Kelompok bukan Umat Beriman atau Kaum Atheis[30]

Sikap positif Konsili Vatikan II yang secara umum diwujudkan dalam dialog harus dipahami
dalam kerangka hubungannya dengan ketiga kelompok tersebut. Terhadap kelompok umat Kristen yang
lain sikap positif Gereja Katolik dicetuskan dengan mendirikan sekretariat untuk kesatuan Umat Kristen
atau SPUC (Secretariat for the Promotion of the Unity of Christians). Sekretariat ini didirikan oleh
Yohanes XXIII pada bulan Januari 1963. Dari sekretariat ini dibentuk komisi-komisi khusus yang
menangani usaha-usaha lebih jauh dalam menjalin dialog dengan umat Yahudi, Gereja Ortodoks, Gereja
Anglikan, Gereja Metodis dan Persekutua Gereja Kristen seluruh dunia. Banyak dokumen tentang dialog
lahir dari sekretariat ini.

Untuk menjalin dialog dengan umat bukan Kristen, Gereja Katolik mendirikan sekretariat untuk
umat bukan Kristen atau SNC (Secretariat of Non-Christians) pada bulan Mei 1964. Menjelang tahun
1990 sekretariat ini berganti nama menjadi Sekretariat atau Dewan Kepausa untuk Dialog Antar
Kepercayaan (Secretariat for Interreligious Dialogue). Sekretariat ini telah mempromosikan pendirian
Institut kepausan untuk studi Agama Islam. Banyak dokumen mengenai dialog dengan Budha, Hindu, dan
terutama dengan Agama Islam mengalir dari sekretariat untuk dialog antaragama ini.[31]

Sedangkan sikap dialogis Gereja terhadap kaum Atheis , diwujudkan dengan didirikannya
Sekretariat untuk dialog dengan kaum Atheis atau SU (Secretariat for Unbelievers) pada bulan April
1965. Sekretariat untuk urusan kaum Atheis ini memiliki arti penting. Bukan saja karena alasan praktis
untuk menjalin dialog, melainkan karena pendirian sekretariat ini menandai perkembangan sikap Gereja
Katolik. Gereja Katolik tidak lagi mengambil sikap menentang melainkan sahabat yang bersedia
bekerja sama dengan mereka yang berkehendak baik kendati tidak mengimani Allah. Gereja bersikap
menyapa dan merangkul.[32]

Pendirian sekretariat-sekretariat di atas memang belum memberikan gambaran sampai sejauh


mana kedalaman sikap positif Gereja Katolik terhadap penganut ajaran lain. Namun pendirian sekretariat
itu dan masih akan disusul dengan pembentukan aneka komisi khusus serta banyak dokumen yang
dihasilkan.

2. Sikap Positif terhadap Umat Beragama Lain[33]

2.1 Yahudi

Tahun 1974 didirikan komisi khusus untuk menjalin kontak dengan umat Yahudi atau CRRJ
(Comittee for Religous Relation with the Jews) dan juga diterbitkan dokumen Guidlines on Religous
Relation with the Jews, yang merupakan salah satu implementasi Nostra Aetate.

Pada tanggal 12 Maret 1979, Paus Yohanes Paulus II bertemu dengan para pemimpin komunitas
Yahudi sedunia dan menyerukan rekonsiliasi dan kerja sama. Beberapa hari berikutnya, 25 Maret 1979,
pakta perdamaian Camp-David ditandatangani.

Pada ulang tahun ke-37 penerbitan dokumen Nostra Aetate, Gereja merayakannya dengan
mengundang para rabi, teolog dan ahli dalam dialog antaragama. Dalam perayaan ini, Gereja mengutuk
gerakan anti-semitisme dan membuka era baru dialog antara Gereja Katolik dan Yahudi.[34]

2.2 Ortodoks

Pada Desember 1965, Paulus VI dan Patriarch Athenagoras I mencetuskan deklarasi bersama
yang disebut Mutual Forgiveness. November 1979, Yohanes Paulus II dan Patriarch Dimitrios I sepakat
mendirikan Komisi Internasional gabungan Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Sebuah komisi yang
mengusahakan dialog lebih luas dan mendalam. Tahun 1990, dibentuk komisi khusus yang bertugas
menormalisasikan hubungan Gereja Ortodoks dan Gereja Katolik di Ukraina Barat.

2.3 Anglikan

Maret 1966, Paulus VI dan Uskup Agung Mikhael Ramsey menandatangani kesepakatan
bersama untuk menjalin dialog menuju persatuan seutuhnya antara Gereja Katolik dan Anglikan.

Tahun 1067, dibentuk komisi khusus yag menangani dialog bersama katolik-Anglika, ARCIC I
(Anglikan-Roma Catholic International Comission). Tahun 1982, Yohanes Paulus II meneguhkan
rekonsiliasi dengan kunjungannya yang sangat bersejarah ke Inggris, sekaligus melanjutkan ARCIC II
dengan Uskup Agung Robert Runcie. Tapi pada tahun 1992, Uskup Agung gereja Anglikan telah
menahbiskan seorang uskup wanita, yang dikatakan oleh Vatikan sebagai the great and grave obstavle
(rintangan yag besar dan parah) untuk menuju kepada rekonsiliasi sejati.

Anda mungkin juga menyukai