Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

PENGANTAR UMUM

Kuliah ini diberi judul PATROLOGI. Secara harafiah, Patrologi – Patrology – (Latin = ‘studi
mengenai para bapa’), adalah istilah yang muncul pada abad ke 17 untuk menamakan studi
mengenai para Bapa Gereja. Instruksi yang dikeluarkan pada tahun 1989 tentang studi mengenai
Para Bapa Gereja (dikeluarkan oleh Kongregasi Urusan Pendidikan Katolik) membedakan
Patrologi sebagai studi historis dan literer mengenai para Bapa Gereja (Fathers of the
Church), dan Patristik yang adalah studi mengenai pemikiran-pemikiran teologis mereka.1

Bapa-bapa Gereja, adalah nama umum bagi orang-orang Kristiani awal, tokoh-tokoh
Gereja yang menulis dalam bahasa Yunani, Latin, Siria, dan Armenia, dalam abad-abad
pertama, sesudah para Rasul dan sesudah Kitab Suci ditulis lengkap. Mereka menonjol karena
kesucian hidupnya dan kedalaman pengajarannya, yang secara umum diakui dalam Gereja.
“Masing-masing dengan cara yang berbeda dan tingkatan yang berbeda ‘menghasilkan’
karya klasik dalam kebudayaan Kristiani” (Instruksi yang dikeluarkan oleh Kongregasi Urusan
Pendidikan Katolik, 1989). Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II – sebagai contoh yang
signifikan dari masa kita – sangat sering mengutip bapa-bapa Gereja ini. Dalam perselisihan
teologis, orang sering merujuk pada Bapa-bapa Timur dan Barat. Kesamaan pendapat mereka
dipandang sebagai argumen yang menentukan (DS2 271; 510-520; 2856; 3541).

1.1. Siapa itu Bapa-bapa Gereja

“The Fathers for the most part were bishops, and some fewer held other clerical
rank. As such they exercised a degree of pastoral responsibility, and their writings
often reflect this. But laymen are also to be found in their ranks. Clement of
Alexandria ( c. 150-c.215) and Tertullian (c. 160- c 220) are perhaps the two most
importantant lay Fathers, and at least part of Origen’s (c. 185- c 254) prodigious
literary career occurred when he was a layman. The Desert Fathers, i.e., the monks
of the Egyptian Desert who flourished in the fourth and fifth centuries and who are
known primarily from stories told about them and from pithy sayings attributed to
them, were generally laymen as well. Finally, a few women can be numbered
among early Christian writers, the most notable being the Spanish (?) nun and
pilgrim Egeria (fl. before 448).3

1
Gerald O’Collins, SJ – Edward G. Farrugia,SJ, Kamus Teologi, (Yogyakarta:Kanisius, 1996), hal. 234.
2
DS = Denzinger , adalah suatu kumpulan kutipan dari dokumen-dokumen Gereja, yang untuk pertama
kalinya diterbitkan oleh Heinrich Joseph Denzinger pada tahun 1854. Cetakan yang ketiga puluh lima, dengan
perbaikan yang dilakukan oleh Adolf Schonmetzer, terbit pada tahun 1973. Karya-karyanya yang lain yang pantas
disebut ialah kumpulan teks-teks liturgis Timur Ritus Orientalium, Coptorum, Syrorum et Armenorum (Wurzburg,
1863-1864)., Ibid., 51.

3
Josef A. Komonchak, Marry Collins, Dermot A. Lane (Ed.), The New Dictionary of Theology,
(Bangalore:Theological Publications in India, 2003), hal. 387.
Jadi Bapa-bapa Gereja adalah:

1). Bapa-bapa Gereja adalah pengkhotbah-pengkhotbah Kristen, penulis-penulis,4


teolog-teolog besar yang mengembangkan teologi Kristen pada abad-abad pertama
sejarah gereja, ketika gereja memasuki alam pikiran kebudayaan Hellenisme. Mereka
berusaha mewartakan penyelamatan dalam Injil Yesus Kristus dalam konteks
kebudayaan Hellenisme itu. Tulisan-tulisan mereka sangat diagungkan Gereja, sebab
mereka yang masih dekat dengan para Rasul. Maka sesudah Kitab Suci sendiri,
merekalah sumber paling asli untuk mengenal alam pikiran umat Kristiani pertama
secara lebih mendalam.

Bapa Gereja yang menulis dalam Bahasa Latin disebut Bapa (Gereja)
Latin/Barat, dan yang menulis dalam Bahasa Yunani disebut Bapa (Gereja)
Yunani/Timur. Di Barat, masa Bapa-bapa Gereja berakhir dengan St. Isidorus dari Sevilla
(560-636) dan di Timur dengan St. Yohanes Damasenus/dari Damaskus (675-749)5.

Bapa-Bapa Gereja Latin/Barat yang termasyhur antara lain Tertulianus yang


montanis, St. Augustinus dari Hippo, St. Ambrosius dari Milan, Gregorius Agung,
dan St. Hieronimus; dan Bapa-Bapa Gereja Yunani/Timur yang termasyhur antara
lain St. Irenaeus dari Lyons (karyanya yang masih ada hanya tersedia dalam terjemahan
Latin), Klemens dari Alexandria, Origenes yang heterodoks, St. Athanasius dari
Alexandria, St. Yohanes Krisostomus, dan ketiga Bapa Kapadokia. Sebagian besar
Bapa-bapa Gereja adalah Uskup, tetapi ada juga yang imam, diakon, atau awam.

Studi mengenai teologi bapak-bapak gereja sangat membantu kita dalam memahami
lebih jauh apa yang sangat ditekankan gereja dewasa ini atau gereja setempat mengenai
“teologi kontekstual”. Kita dapat memahami dengan baik kontekstualisasi teologi, bila
kita memahami dengan baik tradisi gereja, ajaran-ajaran otentik gereja mengenai apa
yang terjadi dalam diri Yesus dari Nazareth. Tugas gereja setempat adalah mewartakan
wahyu ilahi dalam diri Yesus Kristus kepada umat setempat dengan menggunakan
kebudayaan setempat. Untuk itu, kita harus mengetahui wahyu ilahi lewat
mendengar/mempelajari Kitab Suci dan tradisi6 gereja yang merupakan sumber wahyu
ilahi7 bagi kita.
4
Josef A. Komonchak, Ibid., hal. 286-390.
5
Ibid., 39.
6
Tradition – (Latin – ‘penerusan’). Proses penerusan (tradisi sebagai tindakan) atau warisan yang
diteruskan (tradisi sebagai isi). Berkat Roh Kudus (penerus tradisi yang tak kelihatan), seluruh umat Allah diberi
kemampuan untuk meneruskan ingatan, pengalaman, pengungkapan, dan penafsiran atas pewahyuan diri Allah
yang paling dasar, yang menjadi sempurna dalam Kristus. Dengan demikian, tradisi berkaitan dengan Gereja yang
dalam “ajaran, hidup, serta ibadahnya” meneruskan kepada angkatan-angkatan berikutnya “dirinya seluruhnya,
imannya seutuhnya” (DV 8). Tradisi menentukan jati diri dan mempersatukan Gereja, menjamin kesinambungan
antara masa awal dan masa depan. Dalam umat Allah, para uskup mempunyai tanggung jawab istimewa dalam
meneruskan dan menafsirkan tradisi. Tradisi-tradisi tertentu dapat menjadi beku dan tidak meneruskan kabar
gembira keselamatan lagi dan perlu diperbaharui ( lih. Mrk 7:1-23; 10:2-12). Bagi Gereja Orthodox, tradisi yang
terutama terungkap dalam ibadah adalah mutlak untuk memahami berbagai masalah. Penerimaan oleh seluruh
Gereja menjadi tanda apakah suatu perkembangan baru sejalan dengan tradisi. Ibid., 336.
7
Wahyu – Revelasi: Penyingkapan oleh Allah mengenai sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.
Menurut PL, wahyu ilahi pertama-tama disampaikan melalui kata-kata (Yer 23:18.22) dan peristiwa-peristiwa dalam
2). Mereka juga adalah misionaris pertama yang melaksanakan adaptasi gereja yang
pertama, adaptasi dengan kebudayaan Yunani-Romawi. Dengan demikian, usaha mereka
merupakan suatu model/contoh untuk usaha kita mendirikan gereja setempat di salah
satu tempat di dunia ini.

3). Mereka juga adalah orang-orang kudus yang menghayati dengan baik apa yang
mereka ajarkan. Karena itu, hidup mereka dapat menjadi contoh yang baik bagi
spiritualitas kita.

Singkatnya, studi mengenai ajaran Bapa-bapa Gereja dan teolog-teolog pertama dalam
sejarah Gereja dapat memperluas horizon pengetahuan kita tentang ajaran Gereja; selain itu,
semoga studi ini memberi inspirasi untuk karya pastoral dan spiritualitas kita.

1.2. Kegunaan tulisan dari para Bapa Gereja.

Gereja Katolik senantiasa melihat pentingnya apa yang diajarkan oleh para Bapa Gereja.

1.2.1. Tradisi Suci adalah salah satu pilar kebenaran.

Santu Paulus mengatakan “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-
ajaran yang kamu terima dari ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan,
maupun secara tertulis.” (2Tes 2:15). Dan Katekismus Gereja Katolik menjelaskan:

KGK, 76: Sesuai dengan kehendak Allah terjadilah pengalihan Injil atas dua cara:

- Secara lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-

sejarah (Kel 15:1-21) dan kemudian lewat dunia ciptaan (Mzm 19:2; Keb 13:1-9). Sebagai pengantara wahyu Allah
yang utama, para nabi juga berbicara mengenai pewahyuan yang akan datang, yang menyelamatkan (Yes 40:1-11;
Yer 31:31-34). Dalam penjelmaan, hidup, wafat dan pengutusan Roh Kudus (DV 4: 17) Kristus adalah puncak
pewahyuan diri ilahi (Yoh 1:14.18; Ibr 1:1-2). Ia sekaligus adalah Pewahyu (pelaku), pewahyuan (proses aktif
penyingkapan), dan isi wahyu itu sendiri. Injil Yohanes adalah tulisan PB yang paling kaya memuat ajaran
mengenai wahyu (melalui kata-kata seperti kemuliaan, cahaya, tanda, kebenaran, saksi, sabda “Akulah Dia”, dan
terutama penjelmaan Sang Sabda). Dengan Kristus dan zaman rasuli, pewahyuan dasar sudah sempurna dan kita
hanya menunggu pewahyuan terakhir dan mulia, parousia (Tit 2:13; 1 Yoh 3:2; DV 4). Sejak abad Pertengahan
dan khususnya sejak Pencerahan, kebenaran pewahyuan dilawankan dengan kebenaran rasio yang dapat ditangkap
tanpa adanya pernyataan dari Allah sebagai yang mutlak perlu. Pandangan seperti ini melatarbelakangi ajaran
Konsili Vatikan I (DS 3004-3007; 3026-3029). Konsili Vatikan II memahami wahyu pertama-tama sebagai
pernyataan diri Allah secara pribadi yang mengundang jawaban iman pribadi (DV 2: 6) dan selanjutnya
sebagai pernyataan mengenai kebenaran-kebenaran ilahi (DV 7; 9; 10; 11; 26). Vatikan II mengakui bahwa
pewahyuan diri Allah pada dasarnya adalah menyelamatkan dan berciri sakramental, disampaikan melalui peristiwa-
peristiwa dan sabda ( DV 2; 4; 14; 17). Sejarah penyelamatan dan sejarah pewahyuan tidak dapat dipisahkan,
melainkan merupakan dua sisi dari realitas yang sama. Sejak Konsili ini, beberapa ahli telah berusaha
mengembangkan teologi mengenai wahyu dengan merenungkan komunikasi diri Allah yang simbolis, yang
dialami manusia dalam iman. Baik teologi Katolik maupun ajaran resmi Gereja kini semakin sadar akan karya Roh
Kudus yang menyampaikan wahyu dan keselamatan di luar Kristianitas yang institusional. (Gerald O’Collins, SJ-
Edward G. Farrugia, Op. Cit., 350-351).
penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan, dan karya Kristus
sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari”;
- Secara tertulis “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga
membukukan amanat keselamatan” (DV 7).

Dengan demikian, Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa kita harus melihat warisan
iman, bukan hanya secara tertulis (Kitab Suci), namun juga Tradisi Suci atau Tradisi yang hidup
dari generasi ke generasi. Hubungan antara keduanya dijelaskan sebagai berikut “Tradisi Suci
dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan terpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber
ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah
tujuan yang sama” (DV 9). Kedua-duanya menghadirkan dan mendaya-gunakan misteri
Kristus di dalam Gereja, yang menjanjikan akan tinggal bersama orang-orang-Nya “sampai
akhir zaman” (Mat 28:20).” (KGK, 80)

1.2.2. Tulisan dari Bapa Gereja adalah salah satu elemen dalam Tradisi.

Pertanyaannya sekarang adalah: bagaimana kita mengerti Tradisi? Untuk menjawab


pertanyaan ini, rupanya teks dari Yves Congar dapat membantu kita. Congar menulis: “In the
first place Tradition is something unwritten, the living transmission of a doctrine, not only by
word, but also by attitudes, mode of action, and which includes written documents, documents fo
the Magisterium, liturgy, patristic writings, catechisms, etc., a whole collection of things form
the evidence or monuments of Tradition.”[1] atau “Pertama-tama, Tradisi adalah sesuatu yang
tidak tertulis, pelimpahan yang berkesinambungan dari sebuah doktrin, bukan hanya dengan
kata-kata, tetapi juga dengan sikap, pola tingkah laku, dan yang mencakup dokumen tertulis,
dokumen Magisterium, liturgi, tulisan-tulisan patristik, katekismus, dll , seluruh koleksi hal-hal
bentuk bukti atau karya besar dari Tradisi.” Dengan demikian, kita melihat peran dari tulisan-
tulisan dari para Bapa Gereja (patristik), yang membentuk Tradisi.

1.2.3. Tulisan-tulisan para Bapa Gereja menjadi sumber yang dapat dipercaya

Kita dapat menggunakan prinsip “sesuatu yang semakin dekat ke sumber akan semakin
mendapatkan efek yang lebih besar.” Sesuatu yang lebih dekat pada sumber panas akan
mendapatkan efek yang lebih besar sesuai dengan sumbernya, dalam hal ini panas. Ini berarti
kesaksian orang-orang yang lebih dekat ke sumber (baik waktu dan lokasi) dapat lebih dipercaya
dibandingkan dengan kesaksian oleh orang yang terpisah jarak dan waktu. Contoh sederhana,
kalau kita ingin mendengar cerita kakek buyut kita, maka kita akan lebih percaya cerita atau
tulisan dari kakek kita – yang mengalami kehidupan kakek buyut kita -, daripada kesaksian
saudara misan kita.

Jadi, kalau misalkan seseorang ahli Alkitab mengatakan bahwa Injil Yohanes tidak ditulis
oleh Yohanes karena berdasarkan analisanya, yang mengatakan bahwa tidak mungkin seseorang
yang tidak berpendidikan dapat menuliskan suatu buku yang mengandung filsafat yang begitu
tinggi, maka salah satu cara untuk membuktikannya adalah:

a. Dengan apa yang tertulis di dalam Kitab Suci: bahwa Dia adalah murid yang dikasihi oleh
Yesus (lih. Yoh 21:20) dan dia adalah satu dari duabelas murid, di mana dia hadir ketika Yesus
yang telah bangkit menampakkan diri di danau Tiberias (lih. Yoh 21:1). Dia juga salah satu dari
tiga orang (Petrus, Yohanes dan Yakobus) yang senantiasa dekat dengan Yesus, yang melihat
Yesus dipermuliakan (lih. Mt 17:1-2) dan yang melihat sengsara Yesus yang dimulai di taman
Getsemani (lih. Mt 14:33). Dari gaya penulisan, maka tidak mungkin Petrus yang menuliskan
Injil Yohanes, karena terlihat gaya bahasa yang berbeda dengan surat rasul Petrus. Sedangkan
Yakobus juga tidak mungkin menuliskan Injil Yohanes, karena Injil Yohanes ditulis menjelang
tahun 100 dan rasul Yakobus diberitakan telah meninggal sekitar tahun 40 (lih Kis 12:2). Dan
kita tahu juga dari Yoh 19:35 “Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan
kesaksian ini dan kesaksiannya benar, dan ia tahu, bahwa ia mengatakan kebenaran, supaya
kamu juga percaya.” Dan akhirnya kita percaya bahwa Injil Yohanes ditulis oleh Yohanes,
karena dia mengatakan “Dialah murid, yang memberi kesaksian tentang semuanya ini dan yang
telah menuliskannya dan kita tahu, bahwa kesaksiannya itu benar.” (Yoh 21:24). Namun, tidak
semua orang dapat menerima argumentasi ini. Dalam kondisi seperti ini, maka kesaksian dari
para Bapa Gereja menjadi penting.

b. Dengan tulisan dari Bapa Gereja.

Menurut kesaksian St. Irenaeus (180 AD), yang menjadi murid dari St. Polycarpus,
yang adalah murid Rasul Yohanes, dan murid St. Ignatius Martir yang adalah murid langsung
dari Rasul Petrus dan Rasul Yohanes. Dengan demikian, kesaksian St. Irenaeus menjadi sangat
penting tentang para penulis Injil. Dalam bukunya yang terkenal Against the Heresies, Buku III,
bab 1,1 ia menggarisbawahi asal usul apostolik dari Kitab Suci:

“Kita telah mengetahui bukan dari siapapun tentang rencana keselamatan kita kecuali
dari mereka yang melaluinya Injil telah diturunkan kepada kita, yang pada suatu saat
mereka ajarkan di hadapan publik, dan yang kemudian, sesuai dengan kehendak Tuhan,
diturunkan kepada kita di dalam Kitab Suci, untuk menjadi dasar dan tonggak dari iman
kita…. Sebab setelah Tuhan kita bangkit dari mati [para rasul] diberikan kuasa dari atas,
ketika Roh Kudus turun [atas mereka] dan dipenuhi oleh semua karunia-Nya, dan
mempunyai pengetahuan yang sempurna: mereka berangkat menuju ujung-ujung bumi,
mengajarkan kabar gembira yang diberikan oleh Tuhan kepada kita…. Matius...
menuliskan Injil untuk diterbitkan di antara orang Yahudi di dalam bahasa mereka,
sementara Petrus dan Paulus berkhotbah dan mendirikan Gereja di Roma…. Markus,
murid dan penerjemah Petrus, juga meneruskan kepada kita secara tertulis, apa yang
biasanya dikhotbahkan oleh Petrus. Dan Lukas, rekan sekerja Paulus, juga menyusun
Injil yang biasanya dikhotbahkan Paulus. Selanjutnya, Yohanes, murid Tuhan Yesus
….juga menyusun Injil ketika tinggal di Efesus, Asia Minor.”

Hal serupa dituliskan juga oleh Origenes (185-254) tentang asal usul Injil, dalam In Matthew. I
apud Eusebius, His eccl 6.25.3-6:

“[Injil] yang pertama dituliskan oleh Matius, yang adalah seorang pemungut cukai, tetapi
kemudian menjadi rasul Yesus Kristus, yang menerbitkannya untuk umat Yahudi, dituliskan
dalam bahasa Ibrani. [Injil] kedua oleh Markus, yang disusun di bawah bimbingan St. Petrus,
yang telah mengangkatnya sebagai anak… (1 Pet 5:17). Dan ketiga, menurut Lukas, yang
menyusunnya untuk umat non-Yahudi, Injil yang dibawakan oleh Rasul Paulus; dan setelah
semuanya itu, [Injil] menurut Yohanes.

Eusebius dalam bukunya Ecclesiastical History (6, 14,5-7) merujuk kepada kesaksian
dari St. Clement of Alexandria, yang menuliskan bahwa Yohanes menuliskan Injil [Yohanes]
setelah penulis Injil yang lain menuliskan Injil-Injil lain [Matius, Markus, Lukas].

Dari beberapa kesaksian Bapa Gereja ini, maka sangat terlihat bahwa iman kita bukan
berdasarkan suatu khayalan, namun berdasarkan suatu fakta yang terjadi dalam sejarah
kekristenan. Tulisan-tulisan tersebut dapat memberikan bukti otentik, yang mendukung apa yang
telah dituliskan di dalam Kitab Suci.

1.2.4. Tulisan para Bapa Gereja bukanlah ajaran yang tidak mungkin salah, namun sangat
penting.

Kita melihat bahwa para Bapa Gereja membentuk sejarah kekristenan. Mereka yang
mempertahankan iman Katolik dan melawan ajaran-ajaran yang sesat. Mereka berjuang bukan
hanya dengan kata-kata, namun mereka juga menyediakan hidup mereka demi kemuliaan
Kristus. Mereka adalah orang-orang pilihan Alah yang dikaruniai rahmat iman yang begitu besar,
intelektual yang begitu tinggi, namun mempunyai kerendahan hati.

Namun, tidak semua hal yang ditulis oleh mereka adalah tidak mungkin salah. Di sisi
lain, adalah suatu kenyataan bahwa mereka memberikan sumbangan tulisan-tulisan yang
begitu penting sehingga Gereja Katolik melalui Magisterium Gereja yang dilindungi oleh
Roh Kudus, dapat menyatakan suatu ajaran yang tidak mungkin salah dalam hal moral
dan iman. Kalau kita melihat dokumen Gereja, maka kita akan melihat begitu banyak kutipan
yang diambil dari tulisan para Bapa Gereja. Salah satu ciri dari tulisan para kudus adalah
kerendahan hati mereka untuk menyerahkan semua tulisan mereka dalam keputusan Magisterium
Gereja. Jadi, pada waktu kita membaca tulisan dari Bapa Gereja, kita juga harus melihat apa
yang dikatakan oleh Magisterium Gereja tentang topik tersebut, terutama untuk isu-isu yang
cukup kompleks. Dari sini, kita melihat kaitan yang erat antara Kitab Suci, Tradisi Suci dan
Magisterium Gereja. Ketiganya adalah seumpama pilar yang kokoh yang menyangga
kehidupan Gereja, sehingga tidak mudah diombang-ambingkan oleh doktrin-doktrin yang
bertentangan dengan kebenaran8.

1.3. Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja (oleh Konsili Vatikan II)

Sumber ajaran Iman Katolik bukan hanya Kitab Suci saja melainkan Kitab Suci, Tradisi
Suci dan Magisterium Gereja. Gereja Katolik selalu menolak ajaran Sola Scriptura (Hanya Kitab
Suci) yang didengungkan oleh saudara-saudari terpisah dalam persekutuan gerejawi Protestan.

8
Yves, Congar, The Meaning of Tradition, First Edition, First Printing., The Twentieth Century Encyclopedia of
Catholicism (Hawthorn Books, 1964), p.10 [↩]
Berikut ini Konsili Vatikan II menjelaskan hubungan antara Kitab Suci, Tradisi Suci dan
Magisterium Gereja dalam Dokumen Dei Verbum (Konstitusi Dogmatis mengenai Wahyu Ilahi
– Dei Verbum) artikel 7-10 .

1.3.1.Para Rasul dan pengganti mereka sebagai pewarta Injil.

Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, bahwa apa yang diwahyukan-Nya demi
keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada segala
keturunannya. Maka Kristus Tuhan, yang menjadi kepenuhan seluruh wahyu Allah yang
Mahatinggi (lih. 2Kor1:30 ; 2Kor3:16 ; 2Kor4:6), memerintahkan kepada para Rasul, supaya
Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para Nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-
Nya dengan mulut-nya sendiri, mereka wartakan pada semua orang, sebagai sumber segala
kebenaran yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan 9, dan dengan demikian dibagikan
kurnia-kurnia ilahi kepada mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan setia oleh para Rasul, yang
dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang
telah mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas
dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari. Perintah Tuhan dijalankan pula oleh para Rasul dan
tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat
keselamatan10.

Adapun supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup dalam Gereja,
para Rasul meninggalkan Uskup-uskup sebagai pengganti mereka, yang “mereka serahi
kedudukan mereka untuk mengajar”11.

Maka dari itu Tradisi suci dan Kitab Suci perjanjian Lama maupun Baru bagaikan cermin
bagi Gereja yang mengembara di dunia, untuk memandang Allah yang menganugerahinya segala
sesuatu, hingga tiba saatnya gereja dihantar untuk menghadap Allah tatap muka, sebagaimana
ada-Nya (lih. 1Yoh3:2).

1.3.2. Tradisi suci

Oleh karena itu pewartaan para Rasul, yang secara istimewa diungkapkan dalam kitab-
kitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai kepenuhan zaman melalui penggantian-
penggantian yang tiada putusnya. Maka para Rasul, seraya meneruskan apa yang telah mereka
terima sendiri, mengingatkan kaum beriman, supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran
warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara tertulis (lih. 2Tes2:15), dan
supaya mereka berjuang untuk membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan kepada

9
Lih. Mat 28:19-20 dan Mrk 16:15. KONSILI TRENTE, Sidang IV, dekrit tentang Kanon Kitab suci:
DENZ 783 (1591).
10
Lih. KONSILI TRENTE, teks yang sama; KONSILI VATIKAN I, Sidang III, Konstitusi dogmatis
tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu, DENZ. 1787 (3006).
11
S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, III,3,1: PG 7,848; HARVEY, 2, hlm. 9.
mereka (lih. Yud 3)12. Adapun apa yang telah diteruskan oleh para Rasul mencakup segala
sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang
dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta
meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya.

Tradisi yang berasal dari para rasul itu berkat bantuan Roh Kudus berkembang dalam
Gereja13: sebab berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang
diturunkan, baik karena kaum beriman, yang menyimpannya dalam hati (lih. Luk 2:19 dan 51),
merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena mereka menyelami secara mendalam
pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai
pengganti dalam martabat Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti. Sebab dalam
perkembangan sejarah gereja tiada hentinya menuju kepenuhan kebenaran ilahi, sampai
terpenuhilah padanya sabda Allah.

Ungkapan-ungkapan para Bapa suci memberi kesaksian akan kehadiran Tradisi itu pun
Gereja mengenal kanon Kitab-kitab suci selengkapnya, dan dalam Tradisi itu Kitab suci sendiri
dimengerti secara lebih mendalam dan tiada hentinya dihadirkan secara aktif. Demikianlah
Allah, yang dulu telah bersabda, tiada hentinya berwawancara dengan Mempelai Putera-Nya
yang terkasih. Dan Roh Kudus, yang menyebabkan suara Injil yang hidup bergema dalam
Gereja, dan melalui gereja dalam dunia, menghantarkan Umat beriman menuju segala kebenaran,
dan menyebabkan sabda Kristus menetap dalam diri mereka secara melimpah (lih. Kol 3:16).

1.3.3. Hubungan antara Tradisi dan Kitab Suci.

Jadi Tradisi suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya
mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan
menjurus ke arah tujuan yang sama. Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub
dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan
Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti
mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara,
menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian gereja menimba kepastian
tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu
keduanya (baik Tradisi maupun Kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa
kesalehan dan hormat yang sama14.

1.3.4. Hubungan keduanya dengan seluruh Gereja dan magisterium.

Tradisi suci dan Kitab Suci merupakan satu perbendaharaan keramat sabda Allah yang
dipercayakan kepada gereja. Dengan berpegang teguh padanya seluruh Umat suci bersatu dengan
para Gembala dan mereka dan tetap bertekun dalam ajaran para Rasul dan persekutuan, dalam
pemecahan roti dan doa-doa (lih. Kis 2:42 yun). Dengan demikian dalam mempertahankan,

12
Lih. KONSILI NISEA II: DENZ. 303 (602). KONSILI KONSTANTINOPEL IV, Sidang X, kanon 1:
DENZ. 336 (650-652).
13
Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 4 tentang iman dan akalbudi:
DENZ. 1800 (3020).
14
Lih. KONSILI TRENTE, Sidang IV, dalam teks yang sama: DENZ. 783 (1501).
melaksanakan dan mengakui iman yang diturunkan itu timbullah kerukunan yang khas antara
para Uskup dan kaum beriman15.

Adapun tugas untuk menafsirkan secara otentik sabda Allah yang tertulis dan diturunkan
itu16 dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup17, yang
kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus. Wewenang Mengajar itu tidak berada
diatas sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang
diturunkan saja, sejauh sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus,
didengarkannya dengan khidmat, dipeliharanya dengan suci dan diterangkannya dengan setia;
dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani
sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah.

Maka jelaslah tradisi suci, Kitab suci dan Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana
Allah yang mahabijaksana, saling berhubungan dan berpadu sedemikian rupa, sehingga yang
satu tidak dapat ada tanpa kedua lainnya, dan semuanya bersama-sama, masing-masing dengan
caranya sendiri, di bawah gerakan satu Roh Kudus, membantu secara berdaya guna bagi
keselamatan jiwa-jiwa.

15
Lih. PIUS XII, Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus, 1 November 1950: AAS 42 (1950) 756;
bandingkan dengan ungkapan S. SIPRIANUS, Surat 66,8: HARTEL, III, B, hlm. 733: “Gereja ialah umat yang
bersatu dengan Imam dan kawanan yang menganut Gembalanya”.
16
Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 3 tentang iman: DENZ. 1792
(3011).
17
Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani Generis, 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) 568-569: DENZ. 2314
(3886).
Sumber: http://www.ekaristi.org/vat_ii/Konstitusi_dogmatis_ttg_Wahyu_Ilahi

Anda mungkin juga menyukai