Pada awal-awal abad setelah wafatnya para rasul, murid-murid dari para rasul, para
pemimpin, dan para pengajar dari Gereja mula-mula telah berusaha sepenuh tenaga dengan
lisan dan tulisan untuk mengkomunikasikan dan mempertahankan iman mereka. Tulisan-
tulisan mereka ini dihargai dengan sangat tinggi, dan sering diedarkan bersama dengan
salinan dari Kitab Suci itu sendiri. Tulisan-tulisan ini menjadi bagian penting dari kesatuan
bacaan-bacaan rohani dari komunitas Kristen yang sedang berkembang, dan bahkan sering
digunakan dalam ibadah. Penulisnya secara umum dikenal sebagai Bapa-Bapa Rasuli
(Apostolic Fathers)1 atau Bapa-Bapa Gereja.
Mereka hidup pada akhir abad I sampai parohan pertama abad kedua (95-150),
beberapa di antaranya pernah duduk dikaki para rasul sebagai Rasul. Mereka memberikan
kepada kita informasi yang sangat berharga mengenai sejarah/historisitas cara hidup, iman,
dan ajaran dari jemaat Kristen setelah para rasul wafat. Konsep mereka mengenai
Kekristenan sangat sederhana. Mereka berpikir tentang Kristus terutama sebagai Pewahyu
akan pengetahuan dari satu-satunya Tuhan yang benar, dan sebagai Pribadi yang
memberitakan hukum yang maha tinggi dan moralitas yang sempurna. Para Bapa Rasuli
ingin mengetahui kebenaran mengenai Kristus. Mereka berpikir dan menulis mengenai
Dia.
Tulisan-tulisan mereka tersebut dibuat untuk beberapa tujuan. Beberapa tulisan
dibuat untuk menjelaskan dan mempertahankan kekristenan kepada penguasa-penguasa dan
raja-raja kafir ketika mereka sedang disidang atau sedang menunggu eksekusi hukuman
mati karena menolak menyembah raja kafir (misal: ketujuh Surat dari murid rasul Yohanes
yang bernama Ignatius dari Antiokhia). Tulisan-tulisan yang lain dibuat dengan tujuan
untuk menguatkan jemaat, menasihati, dan memberi pengajaran kepada Gereja. Banyak
pula tulisan yang dibuat sebagai reaksi Gereja dalam melawan ajaran-ajaran sesat dari
dalam dan luar komunitas Gereja itu sendiri (misal: tulisan-tulisan Irenaeus dari Lyon
[murid Polikarpus], dan tulisan-tulisan para Para Apologet lainnya, seperti Yustinus Martyr,
Tertulianus, dll.).
Hal yang paling berharga dari tulisan-tulisan ini adalah kesaksian mereka akan
ajaran Kristen yang lurus benar (orthodoxy), yang ditulis sebagai respon atas ajaran-ajaran
sesat. Studi akan sejarah dan ajaran Kristen yang lurus akan membawa kita kepada ajaran
inti Kristen: Tritunggal dan kodrat ganda Yesus (Allah sejati dan manusia sejati). Ajaran ini
secara implisit telah dipahami oleh Gereja mula-mula, dan kemudian diperjelas secara lebih
terperinci. Sejak guru-guru palsu menyelewengkan ajaran Tritunggal dan kodrat ganda
Kristus, para Bapa Gereja mengarahkan perhatian mereka untuk menolak ajaran guru-guru
palsu tersebut. Para Bapa Gereja menyerang ajaran sesat mereka dengan menggunakan
1
Istilah dari abad ke-16 untuk menunjuk kepada para penulis Kristen mula-mula yang tulisannya
tidak termasuk dalam kanon PB. Disebut “rasuli” karena mereka meneruskan ajaran para rasul dengan setia.
1
ajaran rasuli yang berdasar pada Kitab Suci. Inilah sebabnya tulisan-tulisan para Bapa
Gereja memberikan kepada kita informasi yang sangat penting untuk menentukan apa yang
sebenarnya dipercayai oleh umat Kristen pada awal-awal abad setelah era para rasul.
Surat I Klemens kepada Jemaat di Korintus (ditulis di Roma dan diyakini oleh
Klemens Sang Uskup kr. 96 M)
Ignatius Uskup Antiokhia menulis 5 surat kepada 5 Jemaat di Asia Kecil, Surat
kepada Jemaat Roma dan Surat kepada Polykarpus semuanya ditulis pd 110 M
Surat Polycarpus kepada Jemaat Filipi
Fragmen “Eksegesis atas ucapan2 Yesus” oleh Papias Uskup Hierapolis pada kr. 125
“Gembala Hermas” (Shepherd of Hermas), sebuah tulisan apokaliptik ditulis antara 90
sampai 150 oleh Hermas, seorang penatua di Roma
“Surat Orang-orang Smirna tentang mati syahidnya Polykarpus”
Kitab Didache atau “Pengajaran Tuhan kepada orang-orang kafir melalui ke-12 rasul”
(dekade pertama ab. ke-2)
Surat Barnabas (sebuah risalat), ditulis di Alexandria antara 70-130.
Surat II Klemens (sebuah khotbah)
2
dipersoalkan Ignatius di sini ialah keesaan gereja. Peranan uskup di sini dilihat sebagai
fokus keesaan sebagai pertahanan terhadap perpecahan dan ajaran sesat.
Hindarilah perpecahan, sebab itulah permulaan kejahatan. Ikutilah uskupmu,
sebagaimana Yesus Kristus mengikuti sang Bapa; dan ikutilah para presbiter seperti
mengikuti para rasul; dan hormatilah para diaken sama seperti perintah-perintah
Allah. Jangan seorang pun melakukan apa pun yang berhubungan dengan jemaat
kecuali uskup. Ekaristi yang sah adalah yang dipimpin oleh uskup atau orang yang
diberi wewenang oleh uskup. Di mana pun uskup muncul, biarlah juga umat berada di
situ, sama seperti di mana Yesus berada, di situlah gereja semesta alam (katolik)
berada (Smyrneans/Surat kepada Jemaat di Smirna, 8).
5
Irenaeus termasuk yang pertama-tama menggunakan istilah Perjanjian Baru di
samping Perjanjian Lama. Tadinya “Alkitab” bagi orang Kristen berarti Perjanjian Lama.
Tulisan-tulisan para rasul dianggap sah, namun baru berangsur-angsur dihimpun menjadi
Perjanjian Baru. Pada zamannya, PB sudah mirip dengan PB pada zaman kita, jadi memuat
empat kitab Injil, Kisah Para Rasul, Surat-surat Paulus serta tulisan-tulisan lain. Perselisihan
pendapat mengenai bagian terakhir (Ibrani sampai Wahyu) masih berlangsung selama
beberapa waktu.
6. Tertulianus (160-225)
Tertulianus, anak seorang kepala serdadu Roma yang bertugas di Karthago Afrika
Utara. Ia seorang terpelajar yang telah dibekali dengan ilmu hokum dan logika. Kekuatan
intelektualnya yang luar biasa dipakai Tuhan untuk mempertahankan iman Kristen pada
zamannya.
Ia seorang yang sangat tangguh dan penulis yang kritis. Gayanya tegas bahkan
sarkastis (sangat bertolak belakang dengan gaya anggun Yustinus). Pokok pesannya kepada
mereka yang menentang gereja ialah bahwa orang-orang Kristen loyal terhadap negara;
penganiayaan oleh Roma melawan hukum. Dalam ranah teologis, ia menjelaskan Trinitas
dan natur Kristus lebih baik dari siapa pun sebelum dirinya dan dikemudian hari
membentuk dasar untuk pengertian gereja mengenai doktrin-doktrin penting. Konsili-
konsili besar pada dua setengah abad sesudahnya dituntun oleh pemikiran-pemikirannya.
Marilah kita mengikuti kekuatan, hasrat, dan kepercayaan dari apologet besar ini. Tetapi
dengan anugerah Allah, kita mencari roh yang lemah lembut, di mana Tertulianus lemah
dalam hal ini. Efesus 4:15, bahwa kita harus “membicarakan” kebenaran di dalam kasih.
Tertulianus menulis lebih dari 30 karya yang tergolong dalam tiga golongan utama,
tetapi hanya dua golongan yang dapat dikategorikan sebagai tulisan-tulisan yang bersifat
pembelaan (apologi) dan dogmatis melawan ajaran sesat.
Tulisan-tulisan bersifat apologi. Yang terkenal di antaranya hanya diberi judul
Apologia. Ia berdebat melawan praktek tidak adil yang menghukum mati orang-orang
beriman, hanya karena mereka Kristen.
Kami hanyalah orang kemarin, namun kami telah mengisi semua tempat-tempatmu –
kota, pulau, benteng, kota kecil, pasar, perkemahan, kami ada pada suku-sukumu,
perusahaan, istana senat serta forummu. Tak satu pun kami tinggalkan kepada kalian,
kecuali kuil-kuil ilah-ilahmu (Apology/Apologia 37).
Kekejamanmu [terhadap kami], betapapun unggulnya, tidak menguntungkan bagimu.
Sesungguhnya ia justru menarik orang untuk bergabung dengan golongan kami. Setiap
kali anda membabat kami, jumlah kami malah bertumbah. Darah orang Kristen adalah
benih [gereja] …Kekerasan hati yang kalian kecam itu justru pengajaran bagi kami.
Sebab, siapakah yang – pada waktu melihatnya – tidak tergerak untuk bertanya apa
yang menyebabkannya? Siapa yang – setelah bertanya – tidak tergerak untuk menerima
iman kami? (Apology/Apologia, 50).
Karya-karya dogmatis melawan Ajaran Sesat. Bersama Irenaeus, Tertulianus adalah
lawan paling tangguh terhadap aliran Gnostisisme. Uraian yang paling terkenal adalah De
Praescriptione Haereticorum (Bantahan terhadap Orang-orang Sesat). Ia menolak hak
penganut-penganut ajaran sesat untuk menggunakan Alkitab. Ia juga menyerang Marcion
(orang murtad terbesar abad ke-2) ia memadukan Gnostisisme dengan kekristenan menurut
rasul Paulus.
6
Karena mereka penganut ajaran sesat, tidak mungkin mereka orang Kristen sejati …
Dengan demikian mereka bukan orang Kristen maka mereka tidak berhak atas Alkitab.
Pantaslah kalau kita bertanya kepada mereka, “siapakah kalian? Bila dan dari mana
kalian datang? Karena kalian bukan daripadaku, apa yang kalian buat dengan milikku?
Sungguh, Marcion, dari mana hakmu untuk menebang hutanku? Atas ijin siapa,
Valentinus, Anda membelokkan arus mata airku? Atas kuasa siapa, Apelles, Anda
memindahkan batas-batas tanahku? Inilah milikku … Akulah ahli waris para rasul
(Bantahan terhadap orang-orang Sesat, 37).
Anak Allah telah disalib. Aku tidak malu karena tindakan itu memalukan. Anak Allah
mati. Hal itu dapat dipercaya karena tidak masuk akal. Ia dikuburkan dan bangkit
kembali. Ini pasti karena tidak mungkin (De Carne Christi/Daging Kristus, 5).
Selain itu Tertulianus sangat mengkritik filsafat Yunani yang dianggapnya sumber
ajaran sesat. Ia menekankan sifat paradoksal dari iman dan kontras antara agama Kristen
dan filsafat. Walaupun demikian ia tidak membuang unsur-unsur filsafat Yunani yang
sesuai dengan agama Kristen. Secara pribadi, Tertulianus banyak “berutang” kepada filsafat
Stoa.
Tertulianus juga menulis melawan Monarkianisme yang menitikberatkan “monarki”
atau pemerintahan tunggal dari Allah – mereka adalah monoteisme keras. Mereka
memperdaya doktrin ketritunggalan dengan mengemukakan pandangan yang cerdik, bahwa
Sang Bapa adalah Anak adalah Roh Kudus. Mereka bukan tiga tokoh yang berbeda
melainkan 3 nama yang berbeda dari satu oknum. Tertulianus menjawab mereka dalam
suatu karya penting berjudul, Adversus Praxean (Melawan Praxeas). Praxeas adalah
seorang pengikut Monarkianisme yang tak dikenal, yang melawan Montanisme (aliran yang
dianut Tertulianus). Seperti dikatakan Tertulianus, “Praxeas berhasil menyelesaikan dua
pekerjaan setan di Roma: ia menghalau nubuat dan memasukkan kefasikan. Ia mengusir
Paraklet (dengan menolak nubuat-nubuat Montanisme) dan menyalibkan Allah Bapa
(dengan mengatakan bahwa Anak Allah adalah Allah Bapa).” Menjawab Praxeas,
Tertulianus mengatakan bahwa Allah adalah satu zat atau hakikat dalam tiga pribadi. Ia
yang menciptakan istilah-istilah yang nantinya dipergunakan dalam rumusan-rumusan
mengenai doktrin Ketritunggalan dan Inkarnasi.
Perfeksionismenya lambat laun membuatnya menarik diri dari gereja dan beralih
kepada kelompok ekstrem Montanisme yang sangat menekankan pada pewahyuan langsung
Roh Kudus, karunia-karunia Roh Kudus, berorientasi pada eskatologis serta
disiplin/asketisme yang ketat. Pandangan-pandangan Montanis yang legalistic cocok
dengan dirinya. Semakin tua ia semakin tidak suka kepada gereja resmi yang dianggapnya
berkompromi dengan dosa dan dunia. Ia tidak mengijinkan pernikahan setelah
menjanda/menduda. Ia bahkan menulis surat kepada istrinya bahwa sangatlah berdosa jika
istrinya menikah lagi setelah ia meninggal. Setelah berada diluar gereja ia banyak menulis
karangan yang mencela gereja.
Ia bahkan kemudian keluar dari montanisme yang dianggapnya kurang disiplin. Ia
meninggalkan jemaat Montanis yang ia pimpin dan membentuk denominasi sendiri yang
kemudian dikenal dengan kaum Tertulianis. Dua ratus tahun kemudian Augustinus berusaha
membawa kembali kelompok ini ke dalam gereja.
2
Kaisar Yustinian memimpin sebuah gerakan untuk mengutuk dan menghancurkan beberapa buku
Origenes.
8
harfiah oleh sebab itu perlu penggalian lebih dalam untuk mencari makna yang terselubung.
Makna terselubung itu disampaikan dalam bentuk alegoris. Metode ini pertama-tama
digunakan oleh orang-orang Yunani untuk mencari pelajaran dalam cerita-cerita yang
kurang sedap mengenai ulah dewa-dewi mereka.
Walaupun kesungguhan Origenes untuk menjadi orang Kristen ortodoks dan
keikhlasannya untuk berbakti kepada Kristus serta dedikasinya pada pelayanan-Nya tidak
perlu diragukan lagi, tetapi jelas pula bahwa sebenarnya seluruh teologinya telah diresapi
Platonisme. Namun tidak semua ide-idenya yang tidak ortodoks berasal langsung dari
Origenes melainkan dari murid-muridnya yang mengambil pemikirannya melebihi
maksudnya.3
7. Athanasius (297-373)
Lahir dan dididik di kota dan disekolah yang sama dengan Origenes: Aleksandria,
Mesir.
3
Rick Cornish, Lima Menit Sejarah Gereja (Bandung: Pionir Jaya, 2007), 40
9