Anda di halaman 1dari 4

1

Fakta mengenai perpecahan Gereja (Gereja-Gereja) – Bagian 1

Pada bagian ini, akan dipelajari perkembangan kekristenan yang banyak dipengaruhi oleh
situasi politis, budaya, tradisi liturgis dan ajaran doktrinal. Faktor-faktor ini menjadikan Gereja
sebagai institusi yang tampak dalam berbagai kelompok yang memiliki kekhasan masing-masing.
Tidak jarang muncul pertentangan dan konflik antar kelompok sebagaimana tampak dalam
perkembangan sejarah.

1. Perpecahan dalam Gereja kuno


Berbagai Gereja kuno dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu Gereja-Gereja Timur
Kuno dan Gereja Ortodoks. “Kuno” di sini bukan berarti “ketinggalan jaman” namun menunjuk
periode waktu kekristenan pada abad-abad pertama.

1.1. Gereja-Gereja Timur Kuno


Pada abad I dan II berkembang pusat-pusat kekristenan di luar Yerusalem. Terlebih dengan
terjadinya pengejaran orang-orang Kristen, kelompok-kelompok jemaat berkembang di berbagai
kota besar dalam dunia helenis. Di tempat-tempat tersebut berkembang tradisi liturgi, episkopat
monarkis dan berbagai literatur. Ketika Gereja-Gereja Timur hidup di wilayah yang dikuasai
Kekaisaran Persia (Iran, Iran, Siria, Pakistan, Asia Tengah), hubungan dengan Gereja-Gereja yang
berada di wilayah yang dikuasai Kekaisaran Roma (Roma, Konstantinopel, Alexandria, Antiokia,
Yerusalem) menjadi tidak mudah dan bahkan tidak mungkin apabila kedua kekaisaran tersebut
berperang. Gereja-Gereja terkotak-kotak mengikuti batas-batas politik.
Titik perpecahan yang amat menentukan adalah Konsili Efesus (431) dan Konsili Kalsedon
(451). Dalam Konsili Efesus ditetapkan gelar Maria sebagai Theotokos sebagaimana diusulkan
oleh Sirilus dari Alexandria. Konsili menolak gelar Kristotokos sebagaimana diajarkan oleh
Nestorius (uskup Konstantinopel) yang dilahirkan di Antiokia. Karena alasan politis, Gereja Persia
tidak dapat ambil bagian dalam Konsili Efesus dan oleh karenanya tidak mengakui konsili ini.
Teologi mereka pun lebih dekat dengan apa berkembang di Antiokia. Karena situasi politis,
Gereja-Gereja Timur kuno juga tidak dapat menghadiri Konsili Kalsedon yang menetapkan dua
kodrat dan satu pribadi bagi Kristus. Mereka mengatakan bahwa ajaran Kalsedon salah. Di
Antiokia sendiri, jemaat terpecah antara yang mengakui Konsili Kalsedon dan yang menolak
Kalsedon. Pada abad VI, Jakobus Baradaios menetapkan hirarki anti Kalsedon. Gereja-Gereja
Timur kuno ini dikenal sebagai Gereja Monofisit (Kristus hanya memiliki satu kodrat yaitu kodrat
Ilahi).
Gereja-Gereja Timur kuno dapat dibagi dalam dua kelompok tradisi liturgi yaitu liturgi
Siria Timur dan liturgi Siria Barat. Yang termasuk dalam tradisi liturgi Siria Timur adalah Gereja
Siria Timur dan Gereja-Gereja India – Siria Timur. Yang termasuk dalam tradisi liturgi Gereja
Barat adalah Gereja Siria Barat, Gereja-Gereja India yang terikat dengan Siria Barat, Gereja
Ortodoks Armenia, Patriak Ortodoks Koptik dari Alexandria dan Gereja Ortodoks Etiopia.

1.2. Gereja Ortodoks


Di wilayah Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantin, kekristenan menjadi
agama negara. Terjalin “simfoni” antara negara dan agama. Ajaran Kalsedon tentang dua kodrat
dalam Kristus dipegang teguh di Kekaisaran Timur ini. Persoalan yang muncul terkait dengan
gambar atau ikon Kristus. Ikon merupakan spiritualitas yang setral dalam Gereja Ortodoks. Orang
bertanya-tanya apakah Kristus digambarkan sebagai seorang figur saja atau digambarkan dengan
2

memperhatikan dua kodrat yang dimiliki (keilahian dan kemanusiaan). Pada saat yang sama,
Kristus tidak dapat digambar sebagaimana pandangan Arianisme (hanya sebagai ciptaan) atau
Monofisitisme (hanya sebagai Allah) atau Nestorianisme (dua pribadi). Penghormatan ikon
diijinkan dalam Konsili Nicea II (787). Melalui ikon-ikon, orang dibawa masuk ke dalam realitas
kekudusan yang digambarkan.
Gereja Ortodoks terdiri dari Gereja-Gereja Ortodoks. Mereka menyebut diri sebagai Gereja
yang satu, kudus, katolik dan apostolik sebagai terumus dalam syahadat. Ortodoksi berarti sebagai
pujian yang benar. Minggu pertama prapaskah disebut sebagai minggu ortodoksi. Gereja-Gereja
yang termasuk di dalam Gereja Ortodoks adalah:

a. Patriak ekumenis di Konstantinopel


b. Patriak Alexandria
c. Patriak Antiokia
d. Patriak Yerusalem
e. Patriak Moskau
f. Patriak Serbia
g. Patriak Rumania
h. Patriak Bulgaria
i. Berbagai Gereja di Georgia, Siprus, Yunani, Polandia, Ceko, Slowakia dan Albania

2. Perpecahan Gereja Ortodoks dan Roma


Pada tahun 330, Kaisar Konstantinus menetapkan Bizantin di teluk Bosporus sebagai
ibukota Kekaisaran Romawi yang baru dengan alasan politis (melawan Persia) dan alasan religius
(sebelum ini Roma dikenal dengan pengejaran orang Kristen dan diwarnai dengan agama kafir).
Untuk menghormati Konstantinus, kota Bizantin lalu disebut Konstantinopel (sekarang ini disebut
Istambul). Dalam perjalanan, muncul persaingan politik antara Roma dan Konstantinopel yang
merambat ke dalam Gereja. Karena kaisar pindah ke Konstantinopel, Paus di Roma tidak
“tersaingi” di Roma. Sementara uskup di Konstantinopel naik pamor karena menjadi kota kaisar.
Pemisahan antara Gereja Barat dan Timur semakin tajam pada tahun 395 yaitu ketika Kaisar
Theodosius membagi kekaisaran menjadi dua untuk masing-masing anaknya yaitu kekaisaran
Timur dengan ibu kota Konstantinopel dan kekaisaran Barat dengan ibu kota Roma. Baik Gereja
di Timur maupun di Barat lalu memandang diri sebagai Gereja yang berdiri sendiri dan
mengembangkan tradisi liturgi dan teologi yang khas. Ketidaksamaan bahasa yang digunakan juga
menguatkan perbedaan dan melahirkan rumpun-rumpun liturgi. Gereja Timur menggunakan
bahasa Yunani. Sedangkan Gereja Barat menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa liturgi dan
teologi. Akibatnya muncul saling keterasingan antara Barat dan Timur. Sebagai contoh, Agustinus
yang berpengaruh di Barat tidak dikenal di Timur.
Baik Gereja Barat maupun Timur memiliki hukum kanonik sendiri. Contoh perbedaan: di
Timur, orang harus memilih hidup selibat atau menikah sebelum tahbisan diakon. Setelah
ditahbiskan, orang tidak bisa menikah lagi. Uskup dipilih di antara para imam diosesan yang tidak
menikah atau dari antara para imam biarawan.
Persoalan mengenai filioque (dan dari Putera) menjadi pertentangan teologis yang
menonjol antara Gereja Barat dan Timur. Dalam konsili Toledo III di Spanyol tahun 589, kata
filioque ini disisipkan dalam syahadat Nicea. Dengan demikian, rumusan syahadat menjadi: “Kami
percaya akan Roh Kudus … yang berasal dari Bapa dan Putera”. Teks Latin: “Et in Spiritum
Sanctum … qui ex Patre (filioque) procedit. Maksud penyisipan ini adalah untuk melawan
3

arianisme yang sebenarnya sudah dikutuk dalam konsili Nicea (325) namun terus menyebarkan
ajarannya. Dengan kata filioque ini, mau ditunjukkan keallahan Sang Putra. Gereja Timur
keberatan dengan penambahan filioque ini karena kedudukan Roh Kudus menjadi lebih rendah
daripada Putera.
Perbedaan pendapat mengenai primat paus menjadi monumen skisma antara Barat dan
Timur. Gereja Timur tidak mengenal sentralisasi sebagaimana Gereja Barat di bawah Roma.
Setiap patriak bersifat idependen. Primat yang dimiliki oleh patriak Konstantinopel hanya bersifat
kehormatan. Paus Leo IX memerintahkan berperang melawan kaum Norman di Italia Selatan yang
berada di bawah yurisdiksi Patriak Konstantinopel. Menanggapi hal ini, Patriak Konstantinopel
menyebut Roma sebagai bidaah karena praktek-praktek liturginya. Sebagai contoh: Barat
menggunakan roti tidak beragi dalam Ekaristi dan tidak mengucapkan alleluia dalam masa puasa.
Paus Leo IX mengutus Kardinal Humbertus da Silva Candida ke Konstantinopel untuk
menyelesaikan persoalan. Karena tidak ada titik temu, Kardinal Humbertus
mengekskomunikasikan Patriak Konstantinopel. Sebagai tanggapan, Konstantinopel
mengekskomunikasikan Roma. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054. Konflik menjadi terbuka
ketika pada tahun 1204 pasukan Perang Salib ke-4 tidak ke Yerusalem namun justru mengepung
kota Konstantinopel, merampas harta dan membentuk kekaisaran Latin sampai tahun 1261 di sana.

3. Perpecahan karena Reformasi pada Abad XVI


Berbagai ajaran maupun praktek-praktek dalam Gereja Roma memunculkan reformasi
pada abad XVI. Indulgensi dan pembangunan Basilika St. Petrus di Roma salah satu peristiwa
yang memicu munculnya gerakan reformasi. Di antara para reformator, yang akan dilihat secara
khusus di sini adalah Martin Luther, Ulrich Zwingli dan Yohanes Calvin.

a. Martin Luther (1483-1546)


Luther adalah rahib dari ordo Agustiner di Erfurt dan pada tahun 1507 ditahbiskan menjadi
imam. Tahun 1512 menyelesaikan doktorat dalam bidang teologi dan mengajar Kitab Suci.
Berdasarkan “pengalaman Menara” tahun 1515, ia berkeyakinan bahwa manusia tidak dibenarkan
di hadapan Allah karena perbuatan atau usahanya namun semata-mata karena rahmat Allah.
Tanggal 31 Oktober 1517, Luther mengirimkan 95 tesisnya yang terkait dengan indulgensi ke
Uskup Agung di Mainz (Albrecht von Brandenburg) dan mungkin menempelkannya di gereja di
Wittenberg. Dalam sejarah, tanggal ini dianggap sebagai tanggal mulainya reformasi Protestan dan
diperingati setiap tahunnya sebagai hari Reformasi. Dalam sidang tahun 1521, Luther
mempertahankan diri dengan mengangkat Alkitab sebagai satu-satunya kriteria untuk menilai
kebenaran. Pada tahun 1521 ini, Luther diekskomunikasi setelah membakar bulla kepausan Exurge
Domine secara publik. Luther tidak bermaksud untuk melepaskan diri dan bahkan iman dari
Gereja. Iman selalu dalam kebersamaan dengan Gereja.
Sebenarnya Luther tidak ingin mendirikan Gereja baru. Ia hanya ingin memperbarui
Gereja. Walaupun diekskomunikasi, ia merasa tetap bagian dari Gereja. Pada tahun 1530, Philipp
Melanchthon menyusun Confesio Augustana atau Pengakuan Iman Augsburg yang didasarkan
pada 95 tesis Luther. Pengakuan ini sendiri terdiri dari 28 artikel. Dalam sidang di Augsburg, para
pengikut Luther menanyakan apakah mereka tetap boleh menjadi bagian Gereja namun dengan
pengakuan iman ini. Sebagai tanggapan, Gereja Roma menyatakan ada 400 kesalahan dalam
Confesio Augustana ini. Dengan demikian, terbentuklah Gereja baru dengan berpegang pada
Confesio Augustana ini. Para pengikut Luther yang kemudian memberi nama Gereja Lutheran
untuk persekutuan mereka. Luther sendiri tidak merancangnya. Namun pada kenyataannya,
4

reformasi yang ia nyalakan telah mendorong terbentuknya Gereja-Gereja yang tidak dalam
kesatuan dengan Gereja Roma. Reformasi ini melahirkan perpecahan dalam Gereja Barat.
Gereja Lutheran tidak memiliki pimpinan sentral. Masing-masing Gereja memiliki
otonomi. Namun Gereja-Gereja Lutheran di suatu negara bergabung dalam federasi untuk
membicarakan berbagai hal yang menyangkut kehidupan mereka. Dalam tingkat internasional,
mereka memiliki Federasi Lutheran Sedunia. Berbagai federasi ini tidak memiliki kuasa yurisdiksi
atau membuat keputusan yang mewajibkan. Sifat federasi ini adalah koordinasi. Setiap Gereja
bersifat independen.

Anda mungkin juga menyukai