Anda di halaman 1dari 6

1

Gerakan Ekumenis di luar Gereja Katolik (Bagian 2)

Koferensi Edinburgh 1910


Konferensi para pekabar Injil kali ini telah dipersiapkan dengan serius dalam beberapa
konferensi pendahuluan seperti pertemuan komite konferensi di Oxfort 1908. Tiga kesadaran
yang dimiliki oleh anggota komite konferensi Edinburgh 1910: 1. Penentukan pokok-pokok
pembahasan yang dapat menyatukan peserta konferensi yaitu karya misi di antara orang-orang
non Kristen, 2. Persoalan mendesak di tanah misi yang harus disikapi oleh Gereja, 3. Persoalan-
persoalan doktrinal dan eklesial tidak akan dibahas mengingat perbedaan-perbedaan yang
dimiliki oleh para peserta. Kesatuan dari para pekabar Injil dan lembaga-lembaga misi lebih
diutamakan daripada perdebatan doktrinal yang akan semakin memunculkan konflik dan
perpecahan. Konferensi tidak bermaksud membuat keputusan yang mengikat semua pihak
namun lebih bersifat konsultatif mengenai misi di wilayah non Kristen. Ide-ide dan
perkembangan persiapan dipublikasikan dalam jurnal-jurnal dan pamflet secara periodik.
Semua pihak juga diajak untuk berdoa dalam pekan-pekan doa.
Walaupun sampai pada saat ini Gereja Katolik Roma belum terlibat dalam gerakan
ekumenis, ada tokoh tertentu yang secara pribadi menunjukkan tanggapan yang positif.
Contohnya adalah Uskup Geremia Bonomelli dari Cremona (Italia) yang mengirim surat ke
konferensi dan menyatakan penghargaannya. Ia menyatakan dukungannya untuk mencari
unsur-unsur yang dapat menyatukan Gereja. Surat uskup ini dibacakan pada saat konferensi.
Pembacaan surat ini menunjukkan pula penghargaan dari peserta konferensi. Kesatuan Gereja
Kristus menjadi kerinduan dari semua pihak. Surat Bonomelli ini merupakan langkah yang
sangat maju sekaligus beresiko mengingat sikap Gereja Katolik yang masih sangat tertutup
terhadap gerakan ekumenis.
Konferensi Edinburgh 1910 tidak hanya melibatkan para misionaris dan lembaga-
lembaga misi namun juga seluruh orang Kristen dengan meminta masukan-masukan dari
banyak pihak. Dengan menggunakan model konferensi di Madras 1902 dan Shanghai 1907,
konferensi Edinburgh menetapkan 8 komite yang masing-masing membahas suatu topik
(pemberitaan Injil pada masyarakat nun-Kristen, Gereja di lapangan misi, pendidikan berkaitan
pengkristenan kehidupan bangsa, pesan misi berkaitan dengan agama-agama non-Kristen,
persiapan misionaris, home base misi, misi dan pemerintah, kerjasama dan pengembangan
kesatuan). Tampak jika tidak ada agenda yang membicarakan mengenai kesatuan Gereja.
Pokok perhatiannya adalah kerjasama dalam penginjilan. Walaupun tidak berbicara mengenai
kesatuan Gereja, konferensi ini menjadi langkah yang sangat penting untuk merintis kesatuan.
Setelah diyakinkan bahwa tidak akan membicarakan persoalan-persoalan intern dari masing-
masing, Gereja Anglikan mau terlibat di dalam Konferensi di Edinburgh ini. Namun sama
seperti Gereja Katolik, Gereja Ortodoks juga belum bergabung kerjasama ini.

Dewan Misi Internasional


Konferensi Edinburgh 1910 memutuskan untuk membentuk panitia yang meneruskan
kerjasama misi yang terbangun di sana. John Mott dan Josef Oldham diangkat sebagai ketua
dan sekretaris panitia. Fokus kerjasama tetap di bidang misi. Pada tahun 1921, terbentuk
Dewan Misi Internasional yang merupakan kerjasama dari berbagai dewan misi nasional.
Sebagaimana Konferensi Edinburgh, Dewan Misi Internasional ini tidak membuat keputusan-
keputusan yang mengikat dan harus dilaksanakan oleh Gereja-Gereja yang terlibat. Masing-
masing Gereja tetap bisa membuat keputusan yang berbeda. Nantinya pada tahun 1961 yaitu
ketika tergabung dalam Dewan Gereja-Gereja Sedunia (DGD) atau World Council of Churches
(WCC), Dewan Misi Internasional menjadi salah satu komisi dari DGD yang bernama „Komisi
bagi Misi dan Evangelisasi“.
2

Gerakan Faith and Order (Iman dan Tata Aturan Gereja)


Konferensi Edinburgh 1910 menjadi peristiwa yang penting bagi kerjasama dan dialog
dari Gereja-Gereja. Dari sana, muncul ide-ide lebih lanjut mengenai upaya kesatuan Gereja-
Gereja. Uskup Charles H. Brent (Protestant Episcopal Church yang termasuk dalam
persekutuan Anglikan) yang berasal dari Amerika dan sedang berkarya di Filipina berpendapat
bahwa kerjasama tidak cukup apabila dogma dan struktur Gereja tidak dibicarakan. Struktur
atau tata aturan mencakup persoalan jabatan dan kepemimpinannya. Bagi Brent, persoalan
dogmatis dan struktur ini harus dibicarakan agar satu sama lain saling memahami, melihat
perbedaan dan mencari pemahaman bersama. Perlu diadakan konferensi yang membicarakan
hal ini.
Brent mengorganisir idenya tersebut menjadi gerakan yang melibatkan Gereja-Gereja
lainnya. Ia sendiri yang memimpin. Gereja Katolik Roma tidak mau terlibat di dalam Faith
and Order ini. Pada mulanya, Gereja-Gereja Protestan di Jerman tidak mau terlibat setelah
setelah negara mereka kalah dalam Perang Dunia I (1914-1918). Namun Gereja-Gereja
Ortodoks bergabung secara aktif dalam pertemuan-pertemuan.
Sidang pertama Faith and Order diadakan pada tahun 1927 di Lausanne. Yang datang
dalam pertemuan ini adalah utusan dari Gereja-Gereja. Hal ini membedakannya dengan
Konferensi Edinburgh yang mana pesertanya merupakan lembaga dan para pekabar Injil yang
bisa datang sebagai pribadi. Topik-topik yang dibicarakan dalam sidang di Lausanne adalah:
1. Panggilan ke kesatuan, 2. Injil sebagai warta Gereja bagi dunia, 3. Hakekat Gereja, 4.
Syahadat bersama, 5. Jabatan di dalam Gereja, 6. Sakramen-sakramen dan 7. Gereja-Gereja
dan kesatuan Gereja. Sampai akhir sidang, belum ada kesepakatan mengenai kesatuan yang
akan dibangun.
Sidang kedua Faith and Order diadakan di Edinburgh pada tahun 1937. Fokus
perhatian dalam sidang kedua ini mencari faktor-faktor perbedaan yang perlu diatasi dan
faktor-faktor kesamaan yang dapat mempersatukan. Nantinya pada tahun 1948, gerakan Faith
and Order ini akan menjadi salah satu komisi di DGD atau WCC yaitu Commission on Faith
and Order.

Gerakan Life and Work (Hidup dan Karya)


Semangat nasionalisme juga tumbuh dan berkembang di antara para teolog dan Gereja-
Gereja dengan meletusnya Perang dunia I yang meletus 1914. Mereka tergerak untuk membela
negaranya masing-masing. Akibatnya adalah Gereja-Gereja terkotak-kotak dalam batas-batas
negara. Melawan arus ini, Nathan Soderblom (Uskup Agung Lutheran dari Uppsala Swedia)
mulai menyuarakan perdamaian. Ia didukung oleh banyak pimpinan Gereja dari negara-negara
netral di Perang Dunia I. Namun para pemimpin Gereja dari negara-negara yang terlibat dalam
perang tidak mendukungnya.
Ketika Perang Dunia I berhenti pada tahun 1918, Nathan Soderblom merinisiatif
membentuk „Dewan Ekumene“ yang dapat berbicara mengenai persoalan moral, sosial,
kemanusiaan dan religius akibat perang. Tujuannya adalah perdamaian dan keadilan sosial.
Mengingat situasi politik dan sosial yang sangat sulit, „Dewan Ekumene“ seperti itu tidak bisa
dibentuk. Namun berkembanglah gerakan Life and Work. Muncul kesadaran bahwa
keterlibatan negara-negara Kristen dalam perang merupakan batu sandungan bagi dunia untuk
menerima pewartaan Injil.
Konferensi pertama diadakan tahun 1925 di Stockholm dengan tema „Melakukan apa
yang mempersatukan“. Tema-tema yang dibicarakan dalam komisi-komisi adalah: 1.
Kewajiban Gereja bagi dunia, 2. Gereja dan persoalan ekonomi-industri, 3. Gereja dan
persoalan sosial-moral, 4. Gereja dan hubungan internasional, 5. Gereja dan pendidikan, 6.
Kerjasama praktis dan organisatoris antara Gereja-Gereja. Disadari bahwa pelayanan
merupakan faktor yang dapat mempersatukan Gereja-Gereja. Ide dari konferensi pertama ini
3

diwadahi dalam organisasi „Dewan Ekumene bagi Kehidupan Praktis Ekonomi“. Konferensi
kedua diadakan di Oxford pada tahun 1937.

Dewan Gereja-Gereja Sedunia (DGD) atau World Council of Churches (WCC)


Setelah Perang Dunia I selesai, terbentuklah Liga Bangsa-Bangsa yang berpusat di
Genewa Swiss. Persisnya adalah tanggal 10 Januari 1920. Liga Bangsa-Bangsa ini dibentuk
untuk mewujudkan perdamaian dan kerjasama bangsa-bangsa. Seiring dengan terbentuknya
Liga Bangsa-Bangsa ini, Gereja-Gereja tersadar akan perlunya membentuk organisasi yang
bisa memajukan kesatuan Gereja-Gereja dan mendukung upaya perdamaian dunia. Ide ini
didukung oleh Patriak Ekumene di Konstantinopel. Pada bulan Januari 1920 tersebut, Patriak
Konstantinopel mengeluarkan ensiklik yang mengajak semua Gereja membentuk Liga Gereja-
Gereja.
Sementara itu, gerakan Faith and Order dan gerakan Life and Work juga tersadar bahwa
persoalan yang selama ini menjadi fokus perhatian masing-masing ternyata berhubungan satu
sama lain dengan erat. Banyak utusan Gereja-Gereja yang terlibat dalam kedua gerakan
sekaligus. Perlu dicatat bahwa konferensi kedua dari masing-masing gerakan diadakan pada
tahun yang sama yaitu tahun 1937 dan di dua kota yang berdekatan (Edinburgh dan Oxford).
Maka mereka berkeputusan untuk bekerjasama dalam “Dewan Ekumene Gereja-Gereja”.
Sebagai persiapan sidang raya, dibentuk panitia pada tahun 1938 di Utrecht Belanda. Sidang
raya untuk pembentukan dewan hendak diadakan pada tahun 1941. Rencana ini terpaksa
diundur karena Perang Dunia II pecah pada tahun 1939. Beberapa sidang raya atau sidang
paripurna yang terlaksana adalah sebagai berikut:

A. Amsterdam 1948
147 Gereja dari 44 negara mengirim utusannya. Tidak ada utusan dari Gereja Katolik.
Gereja Ortodoks Rusia juga tidak hadir. Namun Gereja Ortodoks Yunani dan Patriak
Konstantinopel hadir. Tema sidang adalah: Kekacauan dunia dan rencana keselamatan Allah.
Dalam sidang ini, dirumuskan formula basis atau jati diri dari Dewan Gereja-Gereja Sedunia
yaitu sebagai „persekutuan Gereja-Gereja yang mengakui Tuhan Yesus Kristus sebagai Allah
dan penyelamat“. Yang menjadi anggota adalah Gereja-Gereja dan bukan pribadi atau
organisasi bebas.
Dalam sidang di Amsterdam ini, DGD didirikan. Namun hal ini tidak berarti bahwa
diskusi selesai. Ada yang menganggap bahwa kesatuan Gereja tercapai dengan adanya DGD
ini. Namun banyak Gereja tidak setuju apabila DGD ditempatkan sebagai „Gereja Super“ yang
sampai mengatur persoalan-persoalan iman. Anggaran dasar DGD menyebutkan bahwa dewan
ini hanya merupakan bagian dari banyak gerakan ekumenis. DGD adalah sarana untuk
membangun relasi dan langkah mewujudkan kesatuan. DGD bukan „Gereja Super“ yang
membawahi banyak Gereja. Hal ini ditegaskan dalam sidang di Toronto tahun 1950 oleh
panitia DGD. DGD tidak membuat keputusan yang mengikat anggota-anggotanya. Namun
suatu Gereja anggota mengakui unsur-unsur Gereja yang benar dari anggota DGD lainnya.
Sidang ketiga Faith and Order diadakan di Lund (Swedia) pada tahun 1952
menggarisbawahi peran dari DGD. Sulit bagi semua anggota DGD untuk merayakan
perjamuan kudus bersama-sama. Maka masing-masing Gereja dipersilahkan merayakan
perjamuannya ketika diadakan pertemuan-pertemuan. Namun paling tidak diadakan ibadat
persiapan secara bersama-sama dengan tema pertobatan.

B. Evenston 1954
Sidang paripurna kedua DGD di USA ini mengambil tema: Yesus Kristus Harapan
Dunia“. Belum banyak kemajuan yang tampak sejak sidang di Amsterdam 1948. Gereja
Katolik dan banyak Gereja Ortodoks tidak ikut serta.
4

C. New Delhi 1961


Sidang di India ini mengambil tema: Yesus Kristus, Terang Dunia. Dalam sidang kali
ini, Gereja Ortodoks Rusia dan beberapa Ortodoks lainya menjadi anggota baru. Maka Gereja-
Gereja Ortodoks menjadi denominasi terbesar dalam DGD. Sidang merumuskan bentuk
kesatuan yang ingin dicapai. „Kesatuan dinyatakan bila pada segala tempat semua orang yang
dibaptis dalam nama Yesus Kristus dan mengakui Dia sebagai Tuhan dan Penyelamat, oleh
Roh Kudus dibimbing de dalam persekutuan, yang mengakui iman apostolik yang satu,
mewartakan Injil yang satu, memecahkan roti yang satu, bergabung dalam doa bersama dan
melakukan kehidupan yang sama, yang terarah kepada semua manusia dalam kesaksian dan
pelayanan“.1
Dalam Sidang DGD kali ini, Dewan Misi Internasional menggabungkan diri dan
menjadi „Komisi Misi dan Evangelisasi“. Penting dicatat juga bahwa Gereja Katolik untuk
pertama kalinya mengirim 5 utusan sebagai pengamat dalam Sidang DGD ini. Pada tahun-
tahun berikutnya terjadi peristiwa-peristiwa penting. Gereja Katolik menyelenggarakan
Konsili Vatikan II dari tahun 1962-1965 yang nantinya membawa perubahan sikap Gereja
Katolik terhadap gerakan ekumene. Relasi antara DGD dan Gereja Katolik membaik. DGD
mengirim utusan sebagai pengamat konsili. Sedangkan Agustin Kardinal Bea mengunjungi
pusat DGD di Jenewa. Namun demikian, Gereja Katolik Roma tidak masuk dalam keanggotaan
DGD. Sementara baik Faith and Order ataupun Life and Work juga terus mengadakan
pertemuan dengan tema-tema tertentu.

D. Uppsala 1968
Dalam sidang di Swedia ini, Gereja Katolik mengirim 14 pengamat dan terlibat dalam
semua kegiatan. Sidang kali ini banyak memberi perhatian pada persoalan kemanusiaan,
kemiskinan dan penindasan di masyarakat. Salah satu seksi dalam sidang DGD kali ini
membahas mengenai „Roh Kudus dan kekatolikan Gereja“. Kekatolikan adalah salah satu ciri
dari seluruh Gereja. Pandangan ini membantu untuk memperjelas tujuan yang mau dicapai
dengan gerakan ekumene. Namun demikian, bukan berarti bahwa tidak ada lagi perbedaan dan
pertentangan. Kelompok evangelikal yang tidak menyetujui apa yang diputuskan dalam sidang
DGD mengadakan konggres sendiri di Lausanne tahun 1974. Mereka melihat bahwa arah DGD
menjadi terlalu „duniawi“ yaitu mengurusi persoalan-persoalan sosial politis.

E. Nairobi 1975
Gereja Katolik mengirim 17 pengamat dalam Sidang DGD di Kenya ini. Untuk
meredakan ketegangan, DGD memberi perhatian pula usulan-usulan dari konggres di
Lausanne 1974. Salah satu tugas DGD adalah: „mengajak Gereja-Gereja menuju tujuan
kesatuan kelihatan dalam iman yang satu dan dalam persekutuan Ekaristi yang satu, yang
mendapat ungkapannya dalam ibadat dan kehidupan bersama dalam Yesus Kristus, agar
mereka melangkah menuju kesatuan yang demikian supaya dunia percaya“.2 Kesatuan harus
mulai kelihatan dalam „kesatuan konsilier“. Arti kesatuan ini belum dijelaskan.
Peristiwa penting sesudah sidang DGD di Nairobi 1975 adalah konferensi yang
diadakan oleh Faith and Order pada tahun 1982 di Lima Peru. Konferensi ini menghasilkan
dokumen BEM (Baptism, Eucharist and Ministry). Dokumen ini sangat penting untuk gerakan
ekumenis selanjutnya karena berisi pandangan-pandangan bersama mengenai baptis, Ekaristi
dan pelayanan dalam Gereja. Namun demikian, masing-masing Gereja tidak terikat dengan
pandangan-pandangan tersebut.

1
Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene, Maumere: Ledalero, 2010, hlm. 106.
2
Georg Kirchberger, hlm. 112.
5

F. Vancouver 1983
Tema umum yang dibahas dalam sidang di Kanada ini terkait dengan perdamaian dan
keadilan. Terkait dengan kesatuan Gereja, seksi 2 dari DGD menyampaikan: 1. Perlunya
Gereja-Gereja untuk mempelajari dan menanggapi dokumen Lima (1982), 2. Perlunya
merumuskan iman bersama, 3. Komisi Faith and Order perlu membicarakan mengenai
hubungan antara Gereja dan dunia, 4. Perlunya dibuat keputusan dan ajaran yang mengikat
semua.
Dalam sidang kali ini, berhasil diadakan perjamuan kudus secara bersama untuk
pertama kalinya. Dokumen BEM menjadi pegangan bersama. Perjamuan dipimpin oleh Uskup
Agung Runcie (Anglikan). Peserta dari Gereja Ortodoks dan Gereja Katolik hanya mengikuti
bagian doa-doa dan sabda. Mereka tidak ambil bagian dalam komuni. Pengalaman perjamuan
kudus bersama ini menjadi simbol yang penting untuk gerakan ekumenis selanjutnya.
Perjamuan kudus bukan menjadi faktor pemecah namun pemersatu.

G. Canberra 1991
Pertemuan di Australia kali ini bukan merupakan pertemuan para ahli untuk membahas
suatu tema. Namun demikian, tetap ada ceramah-ceramah yang kemudian memancing
perdebatan. Salah satunya adalah pernyataan sekretaris jendral Emilio Castro yang mengajak
anggota DGD untuk membentuk persekutuan perjamuan kudus secara penuh. Muncul pula
desakan untuk mentahbiskan perempuan. Hal-hal ini ditentang oleh para peserta dari Gereja
Ortodoks.
Yang lebih diterima oleh Gereja-Gereja Ortodoks adalah dokumen yang disiapkan oleh
Komisi Faith and Order yaitu „Gereja sebagai koinonia“. Namun demikian arti dari koinonia
sendiri tidak dijabarkan dengan jelas. Perdebatan mengenai koinonia ini akan menjadi tajam
ketika Konggregasi untuk Ajaran Iman dan Moral di Roma pada kesempatan lain
menyampaikan pengertian Gereja sebagai communio yang intinya: Koinonia akan mencapai
kepenuhannya dalam persekutuan dengan paus.
Diskusi mengenai koinonia terus berlanjut dalam konferensi Faith and Order di
Santiago de Compostela Spanyol 1993. Peserta semakin kelihatan terbagi dalam dua
kelompok: 1. Koinonia sebagai persekutuan dalam iman, perayaan sakramen dan di bawah
jabatan yang diakui bersama. 2. Koinonia sebagai persekutuan orang-orang Kristen yang hidup
bersama di suatu tempat dan tampak dalam solidaritas dengan mereka yang tertindas.

H. Harare 1998
Salah satu tema yang dibahas dalam sidang paripurna di Zimbabwe ini adalah mengenai
keterlibatan Gereja-Gereja Ortodoks dalam DGD. Sejak pertemuan di Vancouver 1983,
Gereja-Gereja Ortodoks banyak menarik diri karena ketidaksetujuan mereka terlebih dengan
mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan voting. Dalam sidang kali ini, ditegaskan
bahwa keputusan DGD tidak akan menggunakan cara voting namun dengan mencari
permufakatan. Muncul pula usulan untuk memperbarui struktur DGD yaitu dengan tidak lagi
mengadakan sidang paripurna DGD namun membuat forum yang terbuka bagi semua Gereja
dan organisasi ekumene. Alasannya adalah: DGD hanya menjadi salah satu sarana ekumene.
Banyak kegiatan ekumene di luar DGD. Alasan lainnya adalah agar Gereja Katolik bisa ambil
bagian secara penuh tanpa harus menjadi anggota. Namun Gereja Katolik tetap berhati-hati
terhadap rencana ini.

I. Porto alegre 2006


6

Di antara tema-tema yang dibahas dalam sidang paripurna di Brasil ini, teks „Dipanggil
untuk menjadi Gereja yang Satu“ cukup mendapatkan perhatian. Di dalamnya termuat
persoalan mengenai kesatuan, katolisitas, baptisan dan doa.

Struktur DGD atau WCC


Yang bisa menjadi anggota adalah Gereja. Sedangkan pribadi dan organisasi tertentu
tidak dapat menjadi anggota. Suatu Gereja diterima sebagai anggota apabila mengajukan diri,
menerima formula basis DGD dan jemaatnya minimal 25 ribu. Formula basis atua jati diri
DGD adalah: „Dewan Gereja-Gereja Sedunia merupakan suatu persekutuan Gereja-Gereja
yang seturut Alkitab mengakui Tuhan Yesus Kristus sebagai Allah dan penyelamat, dan karena
itu mereka berusaha untuk bersama-sama melaksanakan panggilan mereka demi kemuliaan
Allah, Bapa, Putra dan Roh Kudus“.
Otoritas tertinggi DGD adalah sidang paripurna yang diadakan kurang lebih tujuh tahun
sekali. Pusat sekretariat, komisi-komisi dan badan keuangan DGD berada di Jenewa Swiss.
Sekretariat juga ada di New York. Gerakan-gerakan yang ada sebelum terbentuknya DGD
seperti gerakan Faith and Order dan gerakan Life and Work menjadi komisi-komisi dalam
DGD.

Hubungan DGD dengan Gereja Katolik


Sebelum diadakannya Konsili Vatikan II, Gereja Katolik bersikap hati-hati dan
menjaga jarak dengan DGD. Dengan KV II, Gereja Katolik lebih terbuka dan ambil bagian
secara aktif dalam berbagai gerakan ekumenis. Namun demikian, perubahan sikap dari Gereja
Katolik tidak tiba-tiba dengan KV II sebagaimana tampak dalam sejarah perkembangan DGD.
Pada bulan Mei 1965 dibentuk kelompok kerja antara DGD dan Gereja Katolik. Pada tahun
1969, Paus Paulus VI mengunjungi pusat DGD di Jenewa dan ia menyatakan bahwa Gereja
Katolik tidak masuk dalam keanggotaan DGD. Sampai sekarang ini, Gereja Katolik juga tidak
menjadi anggota DGD.
Langkah kerjasama pertama adalah membentuk komite Sodepax (Society,
Development, Pax) yang merupakan kerjasama dalam bidang sosial. Pada tahun 1980, komite
ini dibubarkan karena perbedaan pandangan dalam etika sosial. Perbedaan struktural yang
sentralistis di Gereja Katolik dan DGD yang tidak berwenang membuat keputusan yang
mengikat juga menjadi alasan pembubaran ini. Namun kerjasama dan dialog antara kedua
pihak terus berlangsung. Terutama melalui komisi Faith and Order, dihasilkan beberapa hasil
studi bersama. Bahkan beberapa teolog Katolik menjadi anggota penuh dari komisi Faith and
Order ini. Pada tahun 1998, dihasilkan dokumen „Hakekat dan Tujuan Gereja. Satu Langkah
di Jalan Menuju Pengertian Bersama“. Dalam dokumen ini, kata kunci Communio dipakai
untuk menggambarkan faktor-faktor persamaan dan perbedaan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai