diwadahi dalam organisasi „Dewan Ekumene bagi Kehidupan Praktis Ekonomi“. Konferensi
kedua diadakan di Oxford pada tahun 1937.
A. Amsterdam 1948
147 Gereja dari 44 negara mengirim utusannya. Tidak ada utusan dari Gereja Katolik.
Gereja Ortodoks Rusia juga tidak hadir. Namun Gereja Ortodoks Yunani dan Patriak
Konstantinopel hadir. Tema sidang adalah: Kekacauan dunia dan rencana keselamatan Allah.
Dalam sidang ini, dirumuskan formula basis atau jati diri dari Dewan Gereja-Gereja Sedunia
yaitu sebagai „persekutuan Gereja-Gereja yang mengakui Tuhan Yesus Kristus sebagai Allah
dan penyelamat“. Yang menjadi anggota adalah Gereja-Gereja dan bukan pribadi atau
organisasi bebas.
Dalam sidang di Amsterdam ini, DGD didirikan. Namun hal ini tidak berarti bahwa
diskusi selesai. Ada yang menganggap bahwa kesatuan Gereja tercapai dengan adanya DGD
ini. Namun banyak Gereja tidak setuju apabila DGD ditempatkan sebagai „Gereja Super“ yang
sampai mengatur persoalan-persoalan iman. Anggaran dasar DGD menyebutkan bahwa dewan
ini hanya merupakan bagian dari banyak gerakan ekumenis. DGD adalah sarana untuk
membangun relasi dan langkah mewujudkan kesatuan. DGD bukan „Gereja Super“ yang
membawahi banyak Gereja. Hal ini ditegaskan dalam sidang di Toronto tahun 1950 oleh
panitia DGD. DGD tidak membuat keputusan yang mengikat anggota-anggotanya. Namun
suatu Gereja anggota mengakui unsur-unsur Gereja yang benar dari anggota DGD lainnya.
Sidang ketiga Faith and Order diadakan di Lund (Swedia) pada tahun 1952
menggarisbawahi peran dari DGD. Sulit bagi semua anggota DGD untuk merayakan
perjamuan kudus bersama-sama. Maka masing-masing Gereja dipersilahkan merayakan
perjamuannya ketika diadakan pertemuan-pertemuan. Namun paling tidak diadakan ibadat
persiapan secara bersama-sama dengan tema pertobatan.
B. Evenston 1954
Sidang paripurna kedua DGD di USA ini mengambil tema: Yesus Kristus Harapan
Dunia“. Belum banyak kemajuan yang tampak sejak sidang di Amsterdam 1948. Gereja
Katolik dan banyak Gereja Ortodoks tidak ikut serta.
4
D. Uppsala 1968
Dalam sidang di Swedia ini, Gereja Katolik mengirim 14 pengamat dan terlibat dalam
semua kegiatan. Sidang kali ini banyak memberi perhatian pada persoalan kemanusiaan,
kemiskinan dan penindasan di masyarakat. Salah satu seksi dalam sidang DGD kali ini
membahas mengenai „Roh Kudus dan kekatolikan Gereja“. Kekatolikan adalah salah satu ciri
dari seluruh Gereja. Pandangan ini membantu untuk memperjelas tujuan yang mau dicapai
dengan gerakan ekumene. Namun demikian, bukan berarti bahwa tidak ada lagi perbedaan dan
pertentangan. Kelompok evangelikal yang tidak menyetujui apa yang diputuskan dalam sidang
DGD mengadakan konggres sendiri di Lausanne tahun 1974. Mereka melihat bahwa arah DGD
menjadi terlalu „duniawi“ yaitu mengurusi persoalan-persoalan sosial politis.
E. Nairobi 1975
Gereja Katolik mengirim 17 pengamat dalam Sidang DGD di Kenya ini. Untuk
meredakan ketegangan, DGD memberi perhatian pula usulan-usulan dari konggres di
Lausanne 1974. Salah satu tugas DGD adalah: „mengajak Gereja-Gereja menuju tujuan
kesatuan kelihatan dalam iman yang satu dan dalam persekutuan Ekaristi yang satu, yang
mendapat ungkapannya dalam ibadat dan kehidupan bersama dalam Yesus Kristus, agar
mereka melangkah menuju kesatuan yang demikian supaya dunia percaya“.2 Kesatuan harus
mulai kelihatan dalam „kesatuan konsilier“. Arti kesatuan ini belum dijelaskan.
Peristiwa penting sesudah sidang DGD di Nairobi 1975 adalah konferensi yang
diadakan oleh Faith and Order pada tahun 1982 di Lima Peru. Konferensi ini menghasilkan
dokumen BEM (Baptism, Eucharist and Ministry). Dokumen ini sangat penting untuk gerakan
ekumenis selanjutnya karena berisi pandangan-pandangan bersama mengenai baptis, Ekaristi
dan pelayanan dalam Gereja. Namun demikian, masing-masing Gereja tidak terikat dengan
pandangan-pandangan tersebut.
1
Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene, Maumere: Ledalero, 2010, hlm. 106.
2
Georg Kirchberger, hlm. 112.
5
F. Vancouver 1983
Tema umum yang dibahas dalam sidang di Kanada ini terkait dengan perdamaian dan
keadilan. Terkait dengan kesatuan Gereja, seksi 2 dari DGD menyampaikan: 1. Perlunya
Gereja-Gereja untuk mempelajari dan menanggapi dokumen Lima (1982), 2. Perlunya
merumuskan iman bersama, 3. Komisi Faith and Order perlu membicarakan mengenai
hubungan antara Gereja dan dunia, 4. Perlunya dibuat keputusan dan ajaran yang mengikat
semua.
Dalam sidang kali ini, berhasil diadakan perjamuan kudus secara bersama untuk
pertama kalinya. Dokumen BEM menjadi pegangan bersama. Perjamuan dipimpin oleh Uskup
Agung Runcie (Anglikan). Peserta dari Gereja Ortodoks dan Gereja Katolik hanya mengikuti
bagian doa-doa dan sabda. Mereka tidak ambil bagian dalam komuni. Pengalaman perjamuan
kudus bersama ini menjadi simbol yang penting untuk gerakan ekumenis selanjutnya.
Perjamuan kudus bukan menjadi faktor pemecah namun pemersatu.
G. Canberra 1991
Pertemuan di Australia kali ini bukan merupakan pertemuan para ahli untuk membahas
suatu tema. Namun demikian, tetap ada ceramah-ceramah yang kemudian memancing
perdebatan. Salah satunya adalah pernyataan sekretaris jendral Emilio Castro yang mengajak
anggota DGD untuk membentuk persekutuan perjamuan kudus secara penuh. Muncul pula
desakan untuk mentahbiskan perempuan. Hal-hal ini ditentang oleh para peserta dari Gereja
Ortodoks.
Yang lebih diterima oleh Gereja-Gereja Ortodoks adalah dokumen yang disiapkan oleh
Komisi Faith and Order yaitu „Gereja sebagai koinonia“. Namun demikian arti dari koinonia
sendiri tidak dijabarkan dengan jelas. Perdebatan mengenai koinonia ini akan menjadi tajam
ketika Konggregasi untuk Ajaran Iman dan Moral di Roma pada kesempatan lain
menyampaikan pengertian Gereja sebagai communio yang intinya: Koinonia akan mencapai
kepenuhannya dalam persekutuan dengan paus.
Diskusi mengenai koinonia terus berlanjut dalam konferensi Faith and Order di
Santiago de Compostela Spanyol 1993. Peserta semakin kelihatan terbagi dalam dua
kelompok: 1. Koinonia sebagai persekutuan dalam iman, perayaan sakramen dan di bawah
jabatan yang diakui bersama. 2. Koinonia sebagai persekutuan orang-orang Kristen yang hidup
bersama di suatu tempat dan tampak dalam solidaritas dengan mereka yang tertindas.
H. Harare 1998
Salah satu tema yang dibahas dalam sidang paripurna di Zimbabwe ini adalah mengenai
keterlibatan Gereja-Gereja Ortodoks dalam DGD. Sejak pertemuan di Vancouver 1983,
Gereja-Gereja Ortodoks banyak menarik diri karena ketidaksetujuan mereka terlebih dengan
mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan voting. Dalam sidang kali ini, ditegaskan
bahwa keputusan DGD tidak akan menggunakan cara voting namun dengan mencari
permufakatan. Muncul pula usulan untuk memperbarui struktur DGD yaitu dengan tidak lagi
mengadakan sidang paripurna DGD namun membuat forum yang terbuka bagi semua Gereja
dan organisasi ekumene. Alasannya adalah: DGD hanya menjadi salah satu sarana ekumene.
Banyak kegiatan ekumene di luar DGD. Alasan lainnya adalah agar Gereja Katolik bisa ambil
bagian secara penuh tanpa harus menjadi anggota. Namun Gereja Katolik tetap berhati-hati
terhadap rencana ini.
Di antara tema-tema yang dibahas dalam sidang paripurna di Brasil ini, teks „Dipanggil
untuk menjadi Gereja yang Satu“ cukup mendapatkan perhatian. Di dalamnya termuat
persoalan mengenai kesatuan, katolisitas, baptisan dan doa.