Anda di halaman 1dari 19

KONSTITUSI DOGMATIS “LUMEN GENTIUM”

TENTANG GEREJA DAN RELEVANSINYA BAGI GEREJA


DI INDONESIA

(Oleh : Fr. Alexander Sisko, MSC)

Pendahuluan
“TERANG PARA BANGSALAH Kristus itu.” Demikianlah kalimat pembuka dari
Dokumen Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, yang akrab kita kenal dengan sebutan Lumen
Gentium (LG). Gagasan pokok iman kita dari kalimat pembuka Konstitusi ini adalah “Kristus
merupakan terang bagi bangsa-bangsa.”1 Konstitusi ini lahir dari semangat dan usaha
pembaharuan dalam Gereja Katolik Roma dan merupakan buah dari doa dan permenungan
selama diadakannya Konsili Vatikan ke-II (Selanjutnya disingkat KV II), sejak 11 Oktober
1962 sampai 8 Desember 1965.2 Penggagas konsili ini adalah Bapa Suci Yohanes XXIII, yang
terpilih sebagai Paus pada tanggal 28 Oktober 1958, dengan nama asli Angelo Roncalli.
Diadakannya KV II bukan tanpa alasan. Salah satu alasan yang mendesak sehingga perlu
diadakannya konsili ekumenis ini adalah sudah saatnya Gereja harus memperbarui diri.
“Ecclesia semper reformanda.” Situasi dunia di era 1960-an yang sedang berkembang dengan
pesatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga banyak negara-negara
yang “sedang berkembang,” serta bebas dari kolonialisiasi, mau tidak mau menuntut Gereja
harus berbenah dan memperbaharui diri baik secara spiritual maupun instutisional supaya
kehadirannya tetap relevan dan up to date.
Spirit aggiornamento (pembaharuan diri dan penyesuaian dengan masa sekarang) yang
dihembuskan oleh KV II inilah yang menjadi langkah awal sekaligus menjadi bukti nyata
selama kurun waktu setengah abad (1962-2012), dan seterusnya bagi Gereja untuk mampu
berenang di arus zaman selama peziarahannya di dunia ini. LG merupakan salah satu hasil dari
dokumen KV II dan bahkan dikatakan sebagai dokumen utama dari konsili membawa dampak
yang positif bagi perkembangan Gereja saat ini baik di bidang spiritual maupun instutional.3

1 Menarik bahwa dikatakan terang itu sendiri adalah Kristus, bukan Gereja. Jika demikian, apa arti dan
peranan Gereja? Apakah Gereja tidak diperlukan lagi karena toh Yesuslah satu-satunya yang menjadi terang dan
penyelamat para bangsa? Bdk. Indra Sanjaya, dan Mateus Mali (ed.), Kompendium Konsili Vatikan II Konteks
Indonesia, cet-1 (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 72.
2 Menurut padangan tradisional Gereja Katolik Roma, Konsili Vatikan II merupakan Konsili Ekumenis

yang ke-21 dalam sejarah Gereja. Namun sejumlah ahli hanya mengakui tujuh konsili pertama yang murni
ekumenis, sedangkan 14 konsili lainnya sangat tepat dikatakan sebagai Konsili Umum Gereja Barat (Latin,
Katolik Roma). Alasan mengapa tujuh konsili pertama dikatakan murni ekumenis karena konsili-konsili itulah
yang masih mewakili Gereja Timur dan Barat. Pada umumnya, konsili-konsili itu diberi nama sesuai dengan
tempat diselenggarakannya. Bdk. Ibid., hlm. 16.
3 Konsili Vatikan II menghasilkan enam belas dokumen, yakni empat Konstitusi (tentanag Liturgi, tenteng

Gereja, tentang Wahyu Ilahi, dan tentang Gereja dalam Dunia Modern), sembilan Dekrit (tentang Upaya-Upaya
komunikasi sosial, tentang Gereja-Gereja Timur Katolik, tentang Ekumenisme, tentang Tugas Pastoral para
Uskup dalam Gereja, tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, tentang Pembinaan Imam, tentang
Kerasulan Awam, tentang Kegiatan Misioner Gereja, dan tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam), dan tiga
Pernyataan (tentang Pendidikan Kristen, tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristen, dan

1
Salah satu dampak pembaharuan di bidang institusional-eklesial ialah paham tentang Gereja
sebagai communio (persekutuan umat Allah) memperoleh tempatnya yang istimewa, bila
dibandingkan sebelum KV II di mana Gereja menampakkan wajahnya yang sangat hirarkis-
piramidal, kaku dan kurang terbuka dengan perkembangan zaman.
Tulisan ini sedikit membuka persfektif kita tentang apa dan bagaimana itu dokumen LG,
serta dampak dan relevansinya bagi kehidupan menggereja di Indonesia. Berikut ini pema-
parannya.

1. Latar Belakang Dokumen Lumen Gentium


Dokumen LG merupakan hasil refleksi dan rumusan para bapa konsili tentang Gereja.
Dikatakan bahwa untuk menghasilkan dokumen ini secara definitif harus melewati proses yang
panjang dan cukup rumit. Ini merupakan tantangan terbesar yang harus dialami oleh komisi
yang bertugas untuk menyiapkan rancangan dokumen ini. Diskusi demi diskusi, perombakan
demi perombakan tak dapat dihindari agar draf yang mereka susun itu akhirnya dapat diterima
oleh para bapa konsili.
Menurut Paulus Budi Kledan, setidaknya proses penyusunan dokumen ini melewati
empat tahap. Pertama, setelah Paus Yohanes XXIII mengumumkan diadakannya KV II, segara
dibentuk komisi yang bertugas untuk menyusun rancangan dokumen tentang pandangan Gereja
mengenai dirinya. Selama masa persiapan konsili, Komisi ini telah berupaya menyusun
rancangan dokumen yang terdiri dari 11 bab, dengan penjabaran isi tentang hakikat Gereja dan
keanggotaan di dalamnya: para uskup, kaum biarawan/wati, awam; otoritas Gereja: magisteri-
um; kewajiban-kewajiban Gereja dan ekumenisme. Adapun pendekatan yang dipakai dalam
menyusun draft ini adalah pendekatan institusional, dengan bobot penekanannya ialah Gereja
sebagai institusi. Karena itu reaksi yang muncul ketika Kardinal Ottaviani mempresentasikan
rancangan ini kepada para bapa konsili pada tanggal 1 Desember 1962 adalah reaksi penolakan.
Sebagian besar para bapa konsili menolak rancangan tersebut, dengan keberatan bah-wa isi
dokumen yang disusun menampilkan wajah dan paham Gereja yang sangat bercorak legalistik.
Maka dari itu mereka menganjurkan supaya dimensi lain dari Gereja, yakni gagasan mengenai
umat Allah yang berziarah dan misteri Gereja, juga perlu diangkat dan ditekankan dalam doku-
men yang dimaksud.
Kedua, untuk menanggapi usulan tersebut di atas, maka Paus Yohanes XXIII membentuk
sebuah komisi baru. Setelah komisi ini bekerja hampir satu tahun, pada tanggal 30 September
1963 Kardinal Ottaviani memperkenalkan rancangan dokumen yang lebih sederhana kepada
para bapa konsili. Dokumen ini terdiri dari empat bab, yakni misteri Gereja, Hierarki, Umat
Allah (termasuk awam), dan Panggilan kepada Kekudusan (khususnya panggilan hidup
membiara). Dokumen ini masih mendapatkan kritikan. Kali ini kritikan sekaligus usulan
datang dari para uskup Jerman. Mereka mengusulkan agar ditambahkan sebuah bab mengenai
Maria, untuk menghindari sebuah dokumen khusus tentang Maria, karena berefek pada hubu-
ngan dengan Gereja-gereja Kristen lain. Berdasarkan hasil voting, sekitar 1.114 orang bapa
konsili mendukung anjuran tersebut, sedangkan 1.074 orang menolak dan 5 abstain. Dari
jumlah angka tersebut menunjukkan betapa pentingnya tema ini.

tentang Kebebasan Beragama). Lih. Dokpen KWI, Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana, cet-10
(Jakarta: Obor, 2009), hlm. xv.

2
Ketiga, tema lain yang mengundang banyak diskusi ialah hubungan antara Paus dan para
uskup setempat, atau relasi antara Gereja universal dengan Gereja lokal. Untuk menjawab pole-
mik ini, maka dibentuklah komisi ketiga. Komisi ini diketuai oleh Kardinal Larrona. Pada
bulan Maret 1964, hasil kerja dari komisi ini diperkenalkan di hadapan para bapa konsili. Al-
hasil, rancangan yang disusun oleh komisi ini mengandung beberapa perubahan dari yang ter-
dahulu. Pendek kata, rancangan tersebut setidaknya mengakomodir beberapa usulan yang telah
disampaikan sebelumnya yakni dimasukkannya bab khusus tentang Maria ke dalam batang
tubuh rancangan dokumen ini. Selain itu ada beberapa perubahan signifikan menyangkut tema
Umat Allah. Tema Umat Allah dibahas langsung setelah bab pendahuluan, dan dipisahkan dari
uraian mengenai kaum awam. Dengan demikian seluruh dokumen memperoleh perspektif
baru. Umat Allah dipandang sebagai dasar bersama baik kaum hirarki maupun awam. Gagas-
an ini menjamin kesetaraan semua orang yang terbaptis dan memiliki tanggungjawab yang sa-
ma bagi pertumbuhan Gereja. Bilamana sebelumnya hirarki dilihat sebagai pusat Gereja, kini
jabatan hirarki dilihat sebagai sebuah panggilan demi pelayanan umat Allah agar umat dapat
melaksanakan tugasnya dan mencapai tujuannya.4
Keempat, meskipun tidak ada lagi tanggapan yang sangat mendasar dan krusial atas ran-
cangan ketiga di atas, namun tetap dibentuk komisi keempat yang bertugas untuk melakukan
sejumlah perbaiksan redaksional. Misalnya, terdapat perubahan judul untuk bab keempat, yang
berbunyi: Ciri eskatologis Gereja Musafir dan Persatunnya dengan Gereja di surga. Dalam
kasus yang lain, gelar Maria sebagai pengantara sempat juga didiskusikan secara hangat dalam
forum ini, terutama bila dikaji dari perspektif ekumenis akan menimbulkan persoalan bagi
anggota gereja-gereja protestan. Selain itu juga, pemberian gelar ini akan memudarkan peran
Yesus sebagai satu-satunya pengantara Allah dan manusia. Kendati demikian, konsili tetap
mempertahankan gelar Maria sebagai pengantara karena peranannya sebagai ibu Yesus,
sehingga menyebut Maria sebagai pengantara sesungguhnya tidak membuat saingan baru bagi
Yesus.
Akhirnya, setelah mengalami proses peredaksian yang cukup panjang, teks ini diterima
pada tanggal 30 September 1965 sebagai salah satu dari dua konstitusi dogmatis dalam KV II.
Terkait dengan itu pula, LG merupakan dasar bagi dokumen-dokumen lain dari KV II dan
dokumen-dokumen sesudahnya.5 LG juga merupakan titik berangkat dari arah eklesiologi ge-
reja pasca KV II hingga masa kini, dari visi eklesiologi yang statis dan yuridis menuju visi
yang terbuka dan dinamis. Sebab, dengan berubahnya pandangan tentang Gereja pasti mem-
bawa perubahan pula dalam hidup Gereja.6 Salah satunya ialah eklesiologi LG membawa dam-
pak yang positif bagi hubungan ekumenis antara Gereja Katolik dengan gereja-gereja Kristen
lainnya, yang menggantikan sikap saling curiga dan bermusuhan dengan sikap dialog dan
kerjasama.7 Dokumen ini terdiri dari delapan bab, yang akan dijelaskan secara ringkas pada
tulisan berikut ini.

4 Bdk. Tom Jacobs, Dinamika Gereja, cet-4 (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 3.
5 Lih. Indra Sanjaya, dan Mateus Mali (ed.), Kompendium Konsili Vatikan II Konteks Indonesia, hlm. 69-
71.
6 Bbk. G. Kirchberger (ed), Gereja dalam Perubahan, cet-1 (Flores: Nusa Indah, 1992), hlm. 22.
7 Dokpen KWI, Dokumen Konsili Vatikan II, hlm. xix.

3
2. Lumen Gentium: Kristus, Terang Para Bangsa (Sebuah Ringkasan).
Dokumen LG terdiri dari delapan bab. Secara ringkas, Bab I berisikan pandangan tentang
Gereja sebagai Misteri, sebagai persekutuan beriman, yang dipanggil untuk ikut menghayati
hidup Tritunggal maha kudus. Bab II berbicara tentang umat Allah. Tema yang cukup men-
dapatkan tekanan adalah tentang kesejahteraan fundamental martabat para anggota, yang men-
dasari pembedaan-pembedaan antara hirarki, kaum awam dan para religius. Orang menjadi
warga penuh dalam Gereja, bila ia memiliki Roh Kristus, dan berada dalam persekutuan iman,
Sakramen-Sakramen, dan tata-laksana serta struktur Gerejawi. Selanjutnya, Bab III mengurai-
kan peranan hirarki (16), khususnya episkopat, dengan maksud mengimbangi tekanan Konsili
Vatikan I pada wewenang dan “tidak dapat sesatnya” (“infallibilitas”) Paus, dengan menempat-
kan pelayanan kesatuan dalam konteks lebih luas Dewan para Uskup. Bab IV “Lumen
Gentium” menguraikan peranan kaum awam (17). Disajikan “gambaran tipologis” awam se-
bagai orang kristen, yang berhak penuh untuk ikut menghayati hidup dan menunaikan misi Ge-
reja, dengan hidup secara kristen dalam dunia sekular. Awam menghadirkan Gereja di dunia,
dan dipanggil untuk menghadapi masalah/persoalan sehari-hari dengan sabda serta rahmat
Kristus. Bab VI tentang para religius dalam Gereja menjelaskan makna tiga kaul, yang diikrar-
kan oleh para religius untuk menerima tantangan nasehat-nasehat Injili. Dalam Bab V dan VII
“Lumen Gentium” kembali memandang Gereja semesta, sambil menekankan panggilan semua
orang untuk kesucian dan persekutuan Gereja di dunia dengan Gereja yang jaya dalam Kera-
jaan Allah. Bab terakhir Konstitusi dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria, dan men-
jadikan peranannya sebagai anggota maupun lambang Gereja kunci untuk menafsirkan teologi
tentang Maria.8

2.1. Misteri Gereja9


Pada bagian pendahuluan dokumen ini dikatakan bahwa maksud dari diselenggarakan-
nya Konsili suci adalah ingin sekali menerangi semua orang dalam cahaya Kristus, yang
bersinar pada wajah Gereja, dengan mewartakan Injil kepada semua makhluk (Lih. Mrk.
16:15). Di sinilah letak makna dan hakikat Gereja menjadi sakramen Kristus. Artinya, Gereja
menjadi tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia,
sehingga melalui persekutuan tersebut mereka diselamatkan. Sesungguhnya sejak awal, Allah
Bapa telah berencana untuk menyelamatkan semua orang. Ia menetapkan bahwa Ia akan
mengangkat manusia untuk ikut serta menghayati hidup ilahi. Ketika manusia jatuh dalam
dosa, Ia tidak meninggalkan mereka, melainkan selalu membantu mereka supaya selamat (LG
2). Bahkan diyakni sebelum segala zaman, Allah telah memilih, menentukan dan mengenal
semua orang untuk menyerupai citra Putra-Nya supaya Dialah yang menjadi sulung di antara
banyak saudara (Rm. 8:29), serta menghimpun mereka yang beriman akan Kristus dalam

8 Paragraf ini disadur dari: Ibid., hlm. xv-xviii.


9 Pada awalnya, dari segi teologis kata misteri dan sakramen memiliki arti yang sama yaitu “rahasia.”
Namun, dalam perkembangan zaman istilah ini pun mengalami perkembangan. Kedua kata ini tetap dipakai untuk
karya Allah yang mewahyukan diri dalam bentuk manusiawi, tetapi terdapat perbedaan tekanan. Kata misteri me-
nekankan aspek tersembunyi, ilahi dan tak tampak, sedangkan kata sakramen menonjolkan aspek pengungkapan,
insani, dan tampak. Nico Syukur Dister,Teologi Sistematika II: Ekonomi Keselamatan, cet-8 (Yogyakarta:
Kanisius, 2013), hlm. 202.

4
Gereja kudus yang sejak semula dipralambangkan dan disiapkan dalam sejarah bangsa Israel
dan sejarah Perjanjian Lama, dan memperoleh kepenuhannya pada akhir zaman.
Untuk memperbaharui segala sesuatu yang ada di dunia dan mengangkat semua orang
menjadi putra-puteri-Nya, Allah Bapa mengutus Yesus Kristus Putra-Nya ke dunia. Ia menjadi
terang yang menyinari kegelapan dunia. Ia menghadirkan Kerajaan Surga di dunia melalui
ketaatan-Nya dalam melaksanakan penebusan kita sekaligus memanggil setiap orang untuk
bersatu dengan-Nya (LG 3). Atau dalam bahasa yang lain, Kerajaan Surga itu tampil dalam
pribadi Kristus, Putra Allah dan Putra manusia, yang datang “untuk melayani dan memberikan
nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk. 4:26-29, LG 5). Setelah menyelesaikan
karya-Nya di dunia, Kristus mencurahkan Roh Kudus pada hari Pentakosta untuk mengu-
duskan orang yang percaya kepada-Nya. Persekutuan orang-orang yang percaya itulah Gereja
(LG 4). Roh yang telah dicurahkan tinggal tetap dalam Gereja dan dalam hati Umat beriman
bagaikan dalam kenisah (1Kor. 3:16, 6:19). Dengan begitu, Umat beriman akan dapat men-
dekati Bapa melalui Kristus dalam satu Roh (Ef. 2:18).
Demikianlah seluruh Gereja tampak sebagai: (1) “Umat yang disatukan berdasarkan ke-
satuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus”; (2) benih dan awal mula Kerajaan Allah di dunia
yang didirikan oleh Kristus Yesus sendiri; (3) kandang, dan satu-satunya pintu yang harus
dilalui ialah Kristus (Yoh. 10:1-10) dan kawanan domba yang digembalakan oleh Allah (Yes.
40:11; Yeh. 34:11 dst), di mana Yesus sendiri bertindak sebagai Gembala yang Baik (Yoh.
10:11; 1Ptr. 5:4); (3) tananam atau ladang Allah (1Kor. 3:9) yang ditanam oleh Petani Surgawi
sebagai kebun anggur terpilih (Mat. 21:33-43); (4) bangunan Allah dan Kristus sendiri sebagai
batu sendinya; (5) Yerusalem yang turun dari atas” dan “bunda kita,” di mana Kristus menjadi
mempelainya (Kol. 3:1-4); (6) Tubuh mistik Kristus: Kristus sebagai kepala tubuh dan kita
adalah angota-anggotanya. Konsekuensinya, semua anggota harus patuh kepada-Nya, meng-
amalkan kebenaran dalam cinta kasih, dan bertumbuh melalui segalanya menjadi serupa
dengan-Nya; (3) akhirnya, gereja juga merupakan persekutuan yang kelihatan sekaligus rohani
atau perpaduan unsur manusiawi dan ilahi. Kongkritnya ada serikat yang dilengkapi dengan
jabatan hierarkis dan Tubuh Mistik Kristus, kelompok yang tampak dan persekutuan rohani,
Gereja di dunia dan Gereja yang diperkaya dengan karunia-karunia surgawi. Oleh karena
kenyataan ini, meskipun Gereja itu suci ia harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus men-
jalankan pertobatan dan pembaruan (LG 8).

2.2. Umat Allah


Gagasan tentang umat Allah dalam dokumen LG merupakan tema sentral yang mem-
bingkai seluruh uraian mengenai Gereja. Poin penting yang hendak ditekankan di sini adalah
Gereja bukan miliki hierarki, melainkan umat Allah. Dengan demikian terdapat kesejajaran
hirarki dan kaum awam di dalam Gereja. Konstitusi mencatat bahwa, “Di segala zaman dan
pada semua bangsa Allah berkenan akan siapa saja yang menyegani-Nya dan mengamalkan
kebenaran” (Kis. 10:35). Itu artinya sejak semua Allah menghendaki keselamatan bagi semua
bangsa asalkan mereka percaya dan mengabdi kepada-Nya dengan suci. Maka Ia memilih
bangsa Israel sebagai umat pilihan-Nya, mengadakan perjanjian, dan mendidik mereka dengan
sabar serta menguduskan mereka bagi diri-Nya. Bangsa Israel sendiri sesungguhnya merupa-
kan bangsa yang dipersiapkan untuk kedatangan Kristus. Melalui bangsa terpilih itulah Allah
menjelma menjadi daging dalam diri Yesus Kristus. Ia adalah kegenapan perjanjian, yang

5
memanggil semua bangsa (baik Yahudi maupun kafir) untuk bersatu padu bukan lagi menurut
daging melainkan dalam Roh. Mereka akan disebut Umat Allah yang baru. Kepala mereka
adalah Kristus. Kedudukan mereka adalah martabat dan kebebasan anak-anak Allah. Hukum
mereka adalah mencintai, seperti Kristus sendiri mencintai kita (Yoh. 13:34). Tujuan mereka
adalah Kerajaan Allah yang telah dirintis oleh Kristus di dunia, untuk selanjutnya disebarluas-
kan, hingga memperoleh kepenuhannya pada akhir zaman dalam diri Kristus. Oleh sebab itu,
umat yang percaya kepada Kristus, meskipun tidak merangkum semua orang, dan tak jarang
tampak sebagai kawanan kecil, namun bagi seluruh bangsa manusia merupakan benih kesatu-
an, harapan, dan keselamatan yang kuat. Umat itu diangkat-Nya juga menjadi upaya penebusan
bagi semua orang, dan diutus ke seluruh dunia untuk menjadi garam dan terang dunia (LG 9).
Dalam rangka menguduskan dunia, Yesus hadir sebagai Imam Agung yang dipilih dari
antara manusia. Setiap orang yang pecaya kepada-Nya dipanggil kepada kekudusan dan juga
ambil bagian dalam martabat imamat rajawi yang sama entahkan dalam imamat umum kaum
beriman maupun dalam imamat jabatan atau hierarkis, yakni untuk menguduskan dunia ini
dengan memberikan kesaksian hidup suci dan bertekun dalam doa dan memuji Allah. Martabat
imamat itu diperoleh melalui rahmat pembaptisan. Sejak saat itu semua orang beriman dilahir-
kan kembali dan menjadikan dirinya sebagai kediaman rohani. Memang, imamat umum
memiliki hakikat yang berbeda dari imamat jabatan, namun keduanya saling terarahkan.
Imamat jabatan diabdikan untuk menguatkan umat keimaman melalui sakramen-sakramen,
yakni ikut serta menguduskan dunia melalui hidupnya sebagai bentuk pewartaan paling ampuh
dari karya keselamatan Tuhan. Karena itu jelaslah bahwa semua orang berimam: pertama, ber-
kat imamat umum yang mereka terima, dalam keadaan dan status manapun juga, dipanggil oleh
Tuhan untuk menuju kesucian yang sempurna seperti Bapa sendiri sempurna melalui jalannya
masing-masing (LG 11). Kedua, berkat Roh Kudus yang dianugerahkan kepada semua orang
yang dibaptis, mereka hidup dalam persekutuan yang tidak dapat sesat dalam beriman. Roh
Kudus menjamin cita rasa iman yang terpelihara dalam tradisi asali sejak zaman Gereja para
rasul dan mewariskan ajaran iman dan moral yang sama kepada semua anggota Gereja sepan-
jang masa. Mereka yang bertugas memimpin dalam Gereja diminta untuk tidak memadamkan
Roh, melainkan untuk menguji segalanya dan mempertahankan apa yang baik (LG 12). Ketiga,
berkat Tuhan yang satu, meskipun memiliki latarbelakang yang beragam namun hidup dalam
identitas yang sama yakni satu, katolik, dan universal. Itu berarti semua orang beriman yang
tersebar di seluruh dunia, dalam Roh Kudus berhubungan dengan anggota-anggota lain.
Gereja-gereja lokal (misalnya Gereja di Indonesia) terkait erat secara hakiki dengan Gereja uni-
versal yang berpusat di Roma, dan berada di bawah panji yang satu yakni Gereja Kristus. Akan
tetapi, kesatuan itu tidak dimaksudkan untuk sebuah penyeragaman, karena “Gereja memaju-
kan dan menampung segala kemampuan, kekayaan, dan adat istiadat bangsa-bangsa sejauh itu
baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya” (LG
13). Untuk bersatu secara penuh dalam satu Gereja yang katolik-universal, setiap orang hen-
daknya mengikat diri pada pengakuan iman, sakramen-sakramen yang sama dan kepemimpin-
an gerejani serta persekutuan dalam terang Roh Kudus (LG 14). Namun semuanya itu tidak
akan ada artinya bila tidak disertai dengan karya cinta kasih sebagai perwujudan nyata dari
iman. Orang yang hidup tanpa cinta kasih seperti orang yang dengan badannya berada dalam
pangkuan Gereja, tetapi hatinya tidak dibawanya serta.

6
Konsili juga menyadari bahwa Gereja bukanlah penyelamat, namun kehadirannya di
dunia dibutuhkan demi keselamatan umat manusia berkat peranannya sebagai Sakramen Kris-
tus. Oleh sebab itu, andaikata ada orang yang benar-benar tahu bahwa Gereja Katolik itu didiri-
kan oleh Allah melalui Yesus Kristus, namun tidak bersedia menjadi anggotanya, maka orang
itu tidak dapat diselamatkan. Paham ini sesungguhnya mengundang refleksi yang dalam terkait
bagaimana Gereja Katolik hendak menjelaskan hubungannya dengan Kristen non Katolik dan
umat non Kristen. Pertama, LG 15 menjelaskan bahwa Gereja katolik lebih mengangkat unsur
yang sama ketimbang perbedaanya. Misalnya, Gereja tetap mengakui adanya keterjalinan yang
erat dengan sesama anggota Kristen non Katolik, yang karena dibaptis mengemban nama
Kristen, menghormati Kitab Suci sebagai tolak ukur iman dan kehidupan, mengimani Allah
Bapa yang mahakuasa dan akan Yesus Kristus, Putra Allah dan penyelamat, mengakui dan
menerima Sakramen-sakramen lainnya di kalangan gereja mereka sendiri, bahkan ada juga
yang mempunyai uskup-uskup, merayakan Ekaristi suci, dan memelihara hormat bakti kepada
Santa Perawan Bunda Allah. Kedua, dalam hubungannya dengan umat non Kristen, LG 16
menjelaskan bahwa Gereja tetap mengakui keterarahan semua bangsa kepada keselamatan
dalam Allah. Secara istimewa disebutkan bangsa Yahudi sebagai kelompok pertama yang
menerima janji Allah dan Yesus berasal dari sana. Demikian juga kaum muslimin, yang me-
nyatakan bahwa mereka berpegang pada iman Abraham, dan bersama kita bersembah sujud di
hadapan Allah yang tunggal dan maharahim, yang akan menghakimi manusia pada akhir
zaman. Intinya adalah setiap orang yang dengan tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh
rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan
perbuatan nyata, dapat memperoleh kesalamatan kekal. Namun demikian, apapun yang baik
dan benar, yang terdapat dalam diri mereka, oleh Gereja tetap saja dipandang sebagai persiapan
Injil. Sesungguhnya padangan ini membawa Gereja pada teori preparatio dalam menyikapi
agama-agama di luar Katolik. Artinya, semua agama dan cara pandang terhadap dunia dan ke-
hidupan adalah persiapan, yang baru mendapatkan kepenuhan di dalam Kristus. Agama-agama
lain dapat menjadi sarana keselamatan hanya karena mereka dilengkapi oleh Kristus. Oleh se-
bab itu, Gereja memiliki kewajiban misioner untuk mewartakan Kristus kepada semua bangsa
(LG 17).

2.3. Peran dan Fungsi Hirarki


Kristus mengadakan aneka pelayanan di dalam Gereja untuk menggembalakan dan me-
ngembangkan umat Allah. Salah satunya adalah kaum hierarki. Berkat kuasa yang diberikan
oleh Kristus, mereka bertugas “melayani saudara-saudara mereka supaya semua yang termasuk
Umat Allah, dan karena itu mempunyai martabat Kristiani sejati, dengan bebas dan teratur be-
kerjasama untuk mencapai kesejahteraan seluruh tubuh/Gereja, dan dengan demikian mencapai
keselamatan” (LG 18). Konsili juga mengakui dengan sungguh keyakinan tua Gereja bahwa
kepemimpinan hierarki dalam Gereja dikehendaki oleh Yesus. Sebab Yesus sendirilah yang
menetapkan adanya hierarki dalam Gereja tatkala Ia memanggil dua belas rasul dari kalangan
para pengikut-Nya, dan mengangkat Petrus sebagai kepala kelompok khusus itu. Berkat
karunia pencurahan Roh Kudus, mereka diberikan tugas khusus untuk menggembalakan Ge-
reja, menguduskan umat dan mewartakan kabar sukacita. Tugas para rasul itu kemudian di-
lanjutkan terus-menerus oleh para pengganti-penggantinya yaitu para uskup bersama pem-
bantu-pembantunya para imam dan diakon (LG 28 & 29), dan Paus sebagai penganti Petrus,

7
Wakil Petrus dan Kepala Gereja semesta yang kelihatan, pemimpin rumah Allah yang hidup.
Paus sebagai pengganti Petrus diberikan wewenang khusus untuk mengajar oleh Kristus.
Wewenang me-ngajarnya tak dapat sesat (infallibilitas), karena mereka diangkat berdasarkan
ketetapan Ilahi. Konsili mengangkat kembali hal ini untuk mengingatkan bahwa itulah
kebenaran iman yang tak dapat disangkal dan hendaknya diyakini oleh semua umat beriman.
Oleh sebab itu, barang-siapa mendengarkan mereka, mendengarkan Kristus; tetapi barangsiapa
menolak mereka, me-nolak Kristus dan Dia yang mengutus Kristus (Luk. 10:16, LG 19-20).
Berdasarkan keyakinan Santo Ireneus, tradisi ini akan terus dinyatakan dan dipelihara di
seluruh dunia dan berlangsung hingga kepenuhan masa.
“Konsili suci juga mengajarkan bahwa dengan tahbisan Uskup diterimakan kepenuhan
Sakramen Imamat, yakni yang dalam kebiasaan liturgi Gereja maupun melalui suara para Bapa
Suci disebut imam tertinggi, keseluruhan pelayanan suci” (LG 21). Berkat tahbisan itu, para
Uskup dan pembantu-pembantunya mengambil bagian dalam tritugas Yesus, Imam Agung
tertinggi yakni tugas menguduskan, mengajar dan membimbing. Namun, menurut hakikatnya,
tugas-tugas itu hanya dapat dilaksanakan dalam kolegialitas hierarkis dengan Kepala serta para
anggota Dewan. Dalam kolegialitas itu, para Uskup berwewenang mengangkat para terpilih
baru ke dalam Dewan para Uskup melalui Sakramen Tahbisan, namun serentak pula mengakui
dengan setia kedudukan utama dan tertinggi Kepalanya yang melaksanakan kuasanya secara
kolegial demi kesejahteraan Umat beriman, bahkan demi kesejahteraan Gereja semesta. Ikatan
kolegialitas para uskup dan paus dinyatakan secara meriah dalam Konsili Ekumenis, dalam
mana paus sendirilah yang berhak mengundang konsili itu secara bebas.
Persekutuan kolegial juga tampak dalam hubungan timbal balik antara masing-masing
uskup dan Gereja-Gereja khusus dan Gereja semesta. Imam Agung di Roma, menjadi asas dan
dasar yang kekal dan kelihatan bagi kesatuan para Uskup maupun segenap kaum beriman.
Sementara setiap Uskup menjadi asas dan dasar kelihatan bagi kesatuan dalam Gereja khusus-
nya, yang terbentuk menurut citra Gereja semesta. Maka dari itu, masing-masing Uskup mewa-
kili Gerejanya sendiri, sedangkan Uskup bersama Paus mewakili seluruh Gereja dalam ikatan
damai, cinta kasih, dan kesatuan (LG 23). Dalam ikatan cinta kasih itu, sejauhmana para Uskup
dengan sukarela memberikan bantuan persaudaraan kepada Gereja-Gereja lain, terutama yang
lebih dekat dan miskin, menurut teladan mulia Gereja kuno.
Berkat penyelenggaran ilahi, didirikan pelbagai Gereja di pelbagai tempat oleh para Ra-
sul serta para pengganti mereka. Meskipun mereka memiliki tata tertib, tata liturgi, warisan
teologis dan warisan rohani sendiri, tetapi mereka tetap satu dalam kesatuan iman, karena tetap
mempertahankan sifat katolik Gereja yang tak terbagi. Kehadiran mereka menunjukkan kebe-
ragaman Gereja yang satu.
Para Imam, baik diosesan maupun religius diangkat oleh uskup untuk membantu mereka
dalam melaksanakan tri-tugas Yesus yakni mengajar, memimpin, dan menguduskan. Dalam
melaksanakan tugas itu, mereka tetap tergantung dari para Uskup. Karena keterlibatan mereka
dalam imamat dan perutusan, para imam seyogyanya memandang Uskup sebagai bapa mereka
dan mematuhinya dengan penuh hormat. Sementara itu, para Uskup hendaknya memandang
para imam sebagai rekan kerja, putra dan sahabat, seperti Kristus sudah tidak lagi menyebut
para murid-Nya hamba melainkan sahabat (Yoh. 15:15).
Selain imam, diakon juga dilantik dan diangkat oleh uskup untuk tugas pelayanan.
Mereka berada pada tingkatan hirarki yang lebih rendah. Tugas mereka adalah mengabdikan

8
diri kepada Umat Allah dalam pelayanan liturgi, sabda, dan amal kasih, dalam pesekutuan
dengan Uskup dan para imamnya. Dewasa ini, tahbisan diakon sebagai satu jenjang menuju
tahbisan imam. Namun, dalam dokumen ini, Konsili menghendaki agar, sesuai dengan tradisi
Gereja, diakonat diadakan lagi sebagai satu jabatan tersendiri, bukan sebagai status antara
sebelum seseorang menjadi imam. Jabatan diakon “permanen” dapat diberikan kepada laki-
laki yang telah berkeluarga, namun bilamana seorang laki-laki menerima tahbisan diakon
sebelum menikah, maka ia wajib menjalani hidup selibat.

2.4. Peran dan Fungsi Kaum Awam.


Yang dimaksudkan dengan kaum awam adalah semua orang beriman Kristiani, yang bu-
kan merupakan anggota hierarki atau status religius yang diakui dalam Gereja (LG 31). Berkat
baptisan, kaum beriman Kristiani menjadi anggota Tubuh Kristus, dan ikut mengemban tugas
imamat, kenabian, dan rajawi Kristus (LG 34-36). Berkat baptisan pula mereka dilahirkan
secara baru dalam Kristus sehingga memiliki martabat yang sama sebagai anak-anak Allah (LG
32). Namun, tugas perutusan itu mereka laksanakan dalam Gereja dan dunia. Di situlah letak
keistimewaan kaum awam. Mereka boleh menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan
duniawi, dan berada di tengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial. Berbeda dengan
para imam dan kaum religius yang membaktikan hidup sepenuhnya untuk pelayanan suci,
walaupun pada kenyataanya mereka juga adalah bagian dari dunia ini.
Hal penting lain yang digarisbawahi oleh konsili yaitu dunia profan menjadi medan bakti
kaum awam untuk untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Agar Kerajaan Allah itu terwujud dan
dialami semakin banyak orang, sesuai dengan semangat Injil mereka harus menjadi garam dan
terang melalui aneka tugas, pekerjaan dan cara hidup mereka. Kesaksian hidup mereka yang
baik dan benar tersebut turut serta memberikan sumbangan bagi pengudusan dunia. Inilah tugas
utama dari kerasulan mereka di tengah-tengah dunia. Kesaksian hidup berdasarkan penghayat-
an nilai-nilai Injili menjadi pewartaan yang efektif dan efisien untuk menguduskan dunia.
Sebab perayaan liturgi dan peribadatan gerejani tidaklah cukup menguduskan dunia, dibu-
tuhkan juga partisipasi aktif dari kaum awam dalam membangun masyarakat yang menjunjung
tinggi keadilan, kejujuran dan menghormati hak-hak asasi manusia serta lingkungan.
Sebagai anggota tubuh Kristus, kaum awam berhak atas pelayanan para Gembala hierar-
kis yang memang berfungsi untuk memberikan pelayanan sabda dan Sakramen-Sakramen
kepada saudara-saudara mereka Umat beriman. Bilamana Umat beriman memiliki keinginan
dan kebutuhan menyangkut iman dan hidup rohani, hendaknya hal itu disampaikan dengan
bebas dan penuh kepercayaan, namun tetap bersedia menerima apa yang ditetapkan oleh para
Gembala hierarkis sejauh menghadirkan Kristus, sebagai guru dan pemimpin Gereja. Seba-
liknya, kaum hierarki pun hendaknya mengakui dan memajukan martabat serta tanggungjawab
kaum awam dalam Gereja. Mereka diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak, serta
dilibatkan secara penuh dalam reksa pastoral Gereja sesuai dengan kecakapan dan kompetensi
mereka demi kesejahateraan Gereja. Tema kaum awam dibicarakan secara khusus dalam dekrit
Apostolicam Actuositiatem.

9
2.5. Panggilan kepada Kekudusan
Konsili suci mengimani bahwa Gereja tidak dapat kehilangan kesuciannya, karena Kris-
tus Sang mempelai akan senantiasa mengasihi Gereja dan melimpahinya dengan karunia Roh
Kudus. Maka dari itu, dalam Gereja, semua anggota, entah kaum hierarki maupun sebagai umat
yang digembalakan olehnya, dipanggil untuk kesucian, menurut amanat Rasul, “Sebab inilah
kehendak Allah: pengudusanmu” (1Tes. 4:3; Ef. 1:4). Secara khas pula tampak dalam peng-
hayatan nasihat-nasihat, yang lazim disebut “nasihat Injil.” Banyak orang Kristiani menghayati
nasihat-nasihat itu atas dorongan Roh Kudus, baik yang dilakukan secara perorangan, maupun
dalam corak atau status hidup yang disahkan oleh Gereja (misalnya kaum religius), yang pada
intinya cara hidup mereka menjadi kesaksian dan teladan kesucian di tengah-tengah dunia (LG
39). Sekali lagi ditegaskan bahwa semua orang Kristiani, dengan aneka status dan corak hidup,
tanpa terkecuali dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta
kasih. Untuk memperoleh kesempurnaan itu, mereka dituntut untuk mengikuti jejak Kristus
dan menyerupai citra-Nya dengan melaksanakan kehendak Bapa secara total dan dalam se-
mangat pembaktian diri kepada Allah dan pengabdian kepada sesama (LG 40). Maksud per-
nyataan ini jelas, agar umat beriman tidak salah kaprah terhadap padangan bahwa panggilan
mencapai kekudusan secara istimewa hanya dapat ditempuh dengan memilih jalan dengan
hidup membiara dan panggilan imamat khusus. Pada hakikatnya semua orang dengan berbagai
status, tugas, dan kondisi yakni sebagai hierarki, para biarawan/ti, para suami-istri, para pekerja
dan buruh, serta orang-orang sakit dan miskin dipanggil kepada kekudusan.
Kekudusan itu bukanlah pertama-tama diraih berkat usaha dan kesetiaan mengikuti ulah
kesalehan dalam peribadatan, melainkan karena rahmat dan kasih karunia Tuhan yang me-
mampukan manusia mengasihi Allah melampau segala-galanya di dunia ini dan mengasihi
sesama demi Dia. Karena itu, benih kekudusan yang sudah ditanamkan oleh Allah kepada
manusia hendaknya mendorong manusia untuk mengusahakan kehidupan yang lebih pantas
dan bermutu bagi sesama manusia sebagai bentuk nyata pengudusan dirinya dan dunia. Cinta
kasih haruslah menjadi semangatnya. Artinya, semuanya itu harus dilaksanakan dalam
semangat cinta kasih yang tulus dan total kepada Allah dan sesama. Oleh karena panggilan
pada kekudusan dicapai bukan karena prestasi manusia sendiri, melainkan melulu karean
panggilan dan anugerah Allah, Gereja pun menyediakan sarana-sarana pengudusan itu melalui
sakramen-sakramen dan ibadat gerejani supaya dapat bekerjasamalah antara usaha manusia
dan rahmat Allah dalam mendatangkan keselamatan bagi umat manusia.

2.6. Para Religius


Bila ditinjau dari sudut susunan Ilahi dan hierarkis Gereja, status religius bukanlah me-
rupakan jalan tengah antara cara hidup imam dan kaum awam. Akan tetapi, dari kedua go-
longan itu ada sejumlah orang beriman Kristiani yang dipanggil oleh Allah untuk menerima
karunia istimewa dalam kehidupan Gereja, dan untuk dengan cara masing-masing menyum-
bangkan jasa mereka bagi misi keselamatan Gereja yakni demi kemuliaan Allah dan pelayanan
kepada manusia (LG 43). Konsili menyadari bahwa kehadiran kaum religius dalam Gereja turut
serta mewarnai kehadiran Gereja di tengah-tengah dunia. Mereka mengambil bagian dalam
cara hidup yang khusus yakni hidup dalam kehidupan menyendiri dan bersama dalam
komunitas-komunitas, baik kontemplatif maupun aktif, dan diikat dengan tiga nasihat Injili

10
yakni ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan. Dasar dari pengikraran kaul ini adalah cinta kasih
kepada Allah melebihi segala sesuatu. Ada pun penyerahan diri secara khusus kepada Allah
akan makin sempurna bila ikatan yang lebih kuat dan tetap makin jelas dilambangkan Kristus,
yang dengan ikatan tak terputuskan bersatu dengan Gereja mempelai-Nya. Maka kehidupan
religius semata-mata dipersembahkan untuk kesejahteraan seluruh Gereja. Dalam hal ini,
kehadiran kaum religius menjadi inspirasi yang efektif dan suara kritis bagi dunia dan bagi
Gereja sendiri. Oleh karena itu, Gereja berkewajiban melindungi dan memajukan corak khas
pelbagai tarekat religius (LG 44).
Hubungan para religius dengan hierarki terletak pada kewajiban para uskup untuk men-
dampingi, mengawasi, dan melindungi para religius agar dapat melaksanakan perutusannya.
Para Uskup juga memiliki kewenangan untuk mempelajari dan mengesahkan ketentuan-
ketentuan (norma-norma/regula) hidup para religius. Sebuah tarekat religius akan diakui secara
resmi oleh Gereja jika ada pengakuan dari keuskupan, dan dalam kasus tertentu paus dapat me-
nempatkan lembaga hidup bakti tertentu langsung di bawah kewenangannya. Maka sekarang
kita mengenal ada tarekat religius keuskupan dan kepausan (LG 45).
Akhirnya, konsili mengajak semua umat beriman untuk menyadari bahwa mengikrarkan
nasihat-nasihat Injili berarti mengurbankan hal-hal yang pantas dinilai tinggi, namun tidak
merintangi apalagi mematikan perkembangan pribadi manusia yang sejati, melainkan pada
hakikatnya sangat mendukung kaum religius untuk mencintai dan melayani Tuhan dan sesama
secara total. Dengan berkaul juga, tidak berarti mematikan peranan kaum religius untuk terlibat
aktif di tengah-tengah dunia, justru mendorong mereka untuk semakin komit terhadap pening-
katan mutu kehidupan manusia, yang dibangun atas dasar kehidupan rohani mereka yang
mendalam (LG 46). Maka dari itu, hendaklah setiap orang yang dipanggil untuk mengikrarkan
tiga nasihat Injili supaya sungguh-sungguh berusaha bertahan dan semakin maju dalam
panggilan yang diterimanya dari Allah, supaya makin dimuliakanlah Tritunggal yang satu tak
terbagi, yang merupakan sumber dan asal segala kesucian (LG 47).

2.7. Gereja yang berziarah


Konsili menegaskan bahwa dalam diri Yesus Kristus, semua orang dipanggil kepada
Gereja, dan di situ mereka memperoleh kesucian berkat rahmat Allah. Akan tetapi, perlu di-
ingat bahwa Gereja yang berziarah di dunia ini akan mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan
di surga dan akan senantiasa diperbaharui secara sempurna di dalam Kristus (LG 48). Meng-
apa? Pertama, karena Gereja sendiri dibentuk oleh Kristus dan digerakkan oleh Roh Kudus
sebagai sakramen keselamatan Allah bagi umat-Nya di dunia, sehingga secara in se ia mem-
bawa dalam dirinya benih keabadian, yang kelak mendapat kesempurnaannya dalam com-
munio Tritunggal. Kedua, sebab sejak di dunia ini Gereja ditandai kesucian yang sesungguhnya
meskipun tidak sempurna. Kesempurnaan akan terwujud sampai tiba saatnya langit dan bumi
yang baru yang diwarnai dengan keadilan. Sehingga sangat tepat bila kita mengatakan bahwa
Gereja yang berziarah sesungguhnya berada di tengah alam tercipta, yang hingga kini masih
berkeluh kesah dan menanggung sakit bersalin untuk menantikan kehadiran anak-anak Allah
yang merupakan ahli waris Kerajaan-Nya. Gereja hidup dalam harapan dan dipanggil untuk
membakar api harapan umat manusia.

11
Konsili juga menggarisbawahi bahwa anggota Gereja terdiri dari tiga komunitas yaitu
komunitas yang masih mengembara di dunia, komunitas yang telah meninggal dan mengalami
api penyucian, dan komunitas yang berbahagia dalam kemuliaan Allah yang memandang
“dengan jelas Allah Tritunggal sendiri sebagaimana adanya.” Nah bagaimana kita menjelaskan
hubungan ketiga komunitas itu? Konsili menyakini bahwa ada kesatuan yang erat antara
anggota Gereja yang masih berziarah dengan anggota Gereja surgawi yang telah mengalami
kehidupan kekal. Mereka yang telah meninggal dan memperoleh kehidupan kekal akan ber-
peran sebagai pendoa dan pembagi harta rohani, serta pengantara peziarah kepada Allah. Oleh
karena itu, betapa pentingnya bagi Gereja peziarah mendoakan saudara-saudarinya yang telah
meninggal dunia, yang masih dalam api penyucian, agar dilepaskan dari dosa-dosa mereka
(2Mak. 12:46). Tindakan ini sesungguhnya dipandang oleh Gereja sebagai tindakan yang saleh
dan mursyid. Kenangan terhadap mereka yang telah berpulang kepada hadirat Allah dapat
membantu peningkatan mutu iman anggota Gereja yang sedang berziarah. Sementara itu ke-
nangan akan para penghuni surga bukan hanya menghadirkan mereka sebagai contah dan
teladan kehidupan beriman, melainkan meneguhkan ikatan persaudaraan yang erat antara
Gereja yang berziarah di dunia ini dengan Gereja surgawi yang telah berbahagia bersama Allah
Bapa, Putra, dan Roh Kudus (LG 49, 50).
Itulah kekayaan iman dan tradisi yang dihormati dan diakui oleh Gereja sebagai warisan
leluhur. Iman akan persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulia di surga, atau
sesudah meninggal masih mengalami penyucian. Dalam rangka memelihara kekayaan dan
tradisi tersebut, konsili mengajak kita untuk menyadari kembali ketetapan-ketetapan atau
pedomanan yang sesuai, yang telah ditetapkan pada konsili-konsili sebelumnya, supaya tidak
terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam hal ulah kesalehan seperti praktek devosi dan
ziarah yang sering dianggap sebagai satu-satunya bentuk yang tepat dalam menghormati orang-
orang kudus. Dalam hal ini orang terlampau jatuh pada praktek lahiriah, daripada apa yang
menjadi substansi dari tindakan tersebut yakni cinta kasih yang disertai dengan tindakan kasih.
Serentak konsili juga mengingatkan akan bahaya eksterm yang lain, yaitu menolak penghor-
matan kepada orang-orang Kudus, karena dianggap mengaburkan penyerahan diri kepada
Allah melalui Kristus dalam Roh Kudus (LG 51).

2.8. Kedudukan dan peran Maria sebagai Bunda Allah dan Bunda Gereja
Gereja Katolik sangat menghormati peranan bunda Maria dalam sejarah keselamatan.
Hal itu dinyatakan secara gamblang dalam LG 52, “Ketika Allah yang mahabaik dan maha-
bijaksana hendak melaksanakan penebusan dunia, ‘setelah genap waktunya, Ia mengutus
Putra-Nya, yang lahir dari seorang wanita ... supaya kita diterima menjadi anak’ (Gal. 4:4-5).
Untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita Ia turun dari surga, dan menjadi daging oleh
Roh Kudus dari Perawan Maria.” Maka dari itu, Gereja mewajibkan kaum beriman untuk
merayakan kenangan “pertama-tama Maria yang mulia dan tetap Perawan, Bunda Allah serta
Bunda Penebus.” Status istimewa ini bukan pertama-tama karena keunggulan pribadi Maria,
melainkan berkat pahala Yesus Putranya yang menjadi penyelamat dunia. Keistimewaan itu
tidak memisahkan Maria dengan semua manusia. Maria tetap menjadi bagian yang tak terpisah-
kan dari anggota Gereja. Bahkan ia dianggapi sebagai pola dan teladan Gereja dalam hal iman,

12
cinta kasih dan persatuan dengan Kristus (LG 63). Dalam Gereja kudus, Maria menduduki
tempat paling luhur sesudah Kristus dan paling dekat dengan kita (LG 54).
Menurut keyakinan Gereja, Maria adalah tokoh yang kehadirannya telah dibicarakan dan
dinubuatkan sejak dalam PL sebagai perempuan yang akan melahirkan penebus (LG 55). Ia
dipilih karena sedari awal tidak tercemar oleh dosa. Kesadaran inilah yang memampukan Maria
untuk memutuskan secara bebas dalam viatnya, dengan mengatakan “ya” pada kehendak
Tuhan, dan siap menjadi ibu Penyelamat (LG 56). St. Ireneus mengatakan, “dengan taat Maria
menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap Umat manusia. Ikatan yang
disebabkan oleh ketidaktaatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat
oleh Perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh Perawan Maria karena
imannya.” Dari keterangan ini, sering muncul istilah, “maut melalui Hawa, hidup melalui
Maria.” Demikianlah, para Bapa Suci Gereja mengimani bahwa Maria tidak secara pasif belaka
digunakan oleh Allah, melainkan bekerjasama dengan penyelamatan Umat manusia dengan
iman serta kepatuhannya yang bebas.
LG 57 mencatat bahwa sebagai bunda penebus, Maria memiliki ikatan yang erat dengan
Yesus Puteranya sejak dalam kandungan hingga wafat-Nya di salib. Pertama-tama, ketika
Maria mengunjungi Elisabeth saudarinya, ia disapa dengan ucapan salam bahagia olehnya
karena Maria beriman akan keselamatan yang dijanjikan dan Anak yang dalam kandungannya
melonjak kegirangan (Luk. 1:41-45). Kemudian, pada hari kelahiran Yesus, Bunda Maria de-
ngan penuh kegembiraan menunjukkan Putranya yang sulung kepada para Gembala dan para
majus, yang tidak mengurangi keutuhan keperawanannya, melainkan justru menyucikannya.
Dan seterusnya, Maria setia mendampingi Putranya dalam karya pelayanannya di depan umum
hingga akhirnya ia harus menyaksikan Putranya wafat di kayu salib. Genaplah apa yang disam-
paikan oleh Simeon kepadanya bahwa “Kelak sebilah pedang akan menembus jiwamu.” Na-
mun dengan hati keibuannya, ia menyimpan segala perkara dan merenungkannya dalam hati.
Demikianlah, Santa Perawan Maria berani melangkah maju dalam perziarahan iman. Dengan
setia ia mempertahankan persatuan dengan Putranya hingga di salib, ketika ia sesuai dengan
rencana Allah berdiri di dekatnya (Yoh. 19:25). Hal ini menunjukkan bahwa persatuan Maria
dengan Yesus Putranya bukan saja terjadi saat momen-momen yang menggembirakan dan
membahagiakan tetapi juga dalam momen-momen yang menyedihkan yang menyebabkan
penderitaan dan kedukaan (LG 58). Karena kesetiaan itulah, Maria diangkat ke surga dengan
jiwa dan raganya untuk menikmati kebahagiaan abadi bersama Putranya (LG 59).
Dalam hubungannya dengan Gereja, Bunda Maria memiliki peran yang sangat istimewa
dalam sejarah keselamatan umat manusia dan praktek devosional kepada Maria yang menonjol
sehingga “menimbulkan” pertanyaan mengenai peran Yesus Kristus sebagai Pengantara Allah
dan manusia. Dengan kata lain, peran Maria dianggap sebagai saingan dari Yesus. Terhadap
pertanyaan ini, Gereja melalui konsili menegaskan kembali bahwa “peran keibuan Maria
terhadap Umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus
yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa
Perawan yang menyelamatkan manusia tidak berasal dari suatu keharusan obyektif, melainkan
dari kebaikan Ilahi, pun dari kelimpahan pahala Kristus” (LG 60). Selain itu, karena keber-
satuannya yang erat dengan Yesus Kristus, Putranya dari peristiwa kelahiran sampai wafat-
Nya yang menghadirkan rahmat keselamatan bagi manusia, menjadikan Maria sebagai Bunda
Gereja. Adapun dalam tata rahmat keselamatan itu, peran Maria sebagai Bunda Gereja akan

13
terus berlangsung, sejak ia menyatakan persetujuan terhadap kehendak Allah dan dengan setia
melaksanaknya. Namun ketika ia diangkat ke surga ia tidak meninggalkan yang membawa
keselamatan itu, melainkan dengan aneka perantaraanya ia terus-menerus memperolehkan bagi
kita karunia-karunia yang menghantar kepada keselamatan kekal. Oleh sebab itu, dalam Gereja
Santa Perawan Maria disapa dengan gelar pembela, pembantu, penolong, perantara. Demikian-
lah sebenarnya bahwa peranan Maria tidak sedikitpun mengurangi ataupun menambahkan
martabat serta daya guna Kristus sebagai satu-satunya Pengantara (LG 62).
Terkait dengan perannya sebagai Bunda Gereja, St. Ambrosius dalam permenungannya
menyatakan bahwa Maria adalah pola Gereja, yakni dalam hal iman, cinta kasih, dan persatuan
sempurna dengan Kristus. Maka, hendaknya Gereja meneladani dan bercermin kepada Santa
Perawan dalam melaksanakan kehendak Bapa dan melahirkan hidup kekal bagi putra-putrinya.
Dengan demikian Gereja dapat semakin maju dalam iman, harapan, dan cinta kasih (LG 65).
Akhir dari dokumen ini, konsili mengingatkan supaya menaruh hormat terhadap aneka bentuk
devosi dan penghormatan kepada Bunda Maria yang dilakukan dalam batas-batas ajaran yang
sehat dan benar, sesuai dengan situasi semasa dan setempat, yang telah disetujui oleh Gereja
supaya tepatlah maknanya. Selanjutnya hendaklah kaum beriman mengingat bahwa bakti yang
sejati tidak terdiri dari perasaan yang mandul dan temporal, tidak pula dalam sikap mudah
percaya tanpa dasar. Bakti yang sejati sesungguhnya bersumber pada iman yang sejati, yang
mengajak untuk mengakui keunggulan Bunda Maria, dan mendorong kita untuk sebagai putra-
putrainya mencintai dan meneladan Bunda Maria dan keutamaan-keutamaannya. Oleh sebab
itu, konsili serentak juga mengajak untuk menghindari sikap ekstrem lain yang menolak segala
macam devosi kepada Bunda Maria, karena kepicikan batin (LG 66-67). Akhirnya, konsili
meyakni dengan sungguh bahwa bila Gereja tetap menghormati Bunda Maria sebagaimana
mestinya maka ia menjadi harapan dan kegembiraan bagi Umat Allah yang berziarah di dunia
ini (LG 68-69).

3. Refleksi Kritis dan Relevansi Lumen Gentium untuk Konteks Gereja di


Indonesia.
Setelah mempelajari isi ringkas dari Konstitusi Dogmatis ini kita akan diajak untuk me-
lihat beberapa catatan kritis untuk memahami lebih jernih dan tajam apa sesungguhnya hakikat
dari dokumen ini bagi kehidupan Gereja, serta apa dan bagaimana relevansinya bagi dunia saat
ini khususnya untuk konteks Gereja di Indonesia. Mari kita simak uraiannya berikut ini.

3.1. Refleksi Kritis terhadap LG


Secara pribadi, saya menilai bahwa dokumen LG ini sungguh merupakan dokumen yang
luar biasa pengaruhnya bagi arah dan perkembangan teologis tentang Gereja, pasca KV II hing-
ga saat ini. Sebagian besar Gereja yang tersebar di dunia ini menerima gagasan-gagasan teo-
logis dan dogmatis sebagai sebagai sesuatu yang baru sehingga mempengaruhi cara pandang
terhadap Gereja secara baru pula. Masing-masing Gereja partikular mencoba untuk mener-
jemahkan gagasan itu serta mengaplikasikannya dalam karya pelayanannya. Pertama, salah
satu gagasan yang penting yang turut serta memberi andil dalam pembaruan Gereja dari dalam
ialah konsep/pandangan Gereja sebagai umat Allah. Gagasan ini sesungguhnya merupakan
antitesis terhadap konsep Gereja yang hierarkis-piramidal yang selama berabad-abad lamanya
dihidupi oleh Gereja, sebelum KV II. Dalam semangat hierarkis-piramidal, Gereja menampak-

14
kan wajahnya yang legalistis, kaku dan kurang terbuka terhadap perkembangan zaman. Segala
hal yang baru yang membawa perubahan dalam Gereja seringkali dihujani dengan nada-nada
kecaman (anathema!) dan tindakan ekskomunikasi kepada tokoh-tokoh penggagasnya. Selain
itu juga, peran aktif kaum awam sebagai Umat Allah dalam tugas perutusan Gereja kurang
diberikan ruang gerak, sehingga tugas misioner Gereja seakan-akan milik kaum hierarkis saja.
Dampak lain lagi yang ditimbulkan dari gagasan ini adalah suara kaum awam seringkali diabai-
kan, bahkan mereka dianggap sebagai orang yang tidak tahu apa-apa tentang ajaran teologi dan
dogma Gereja, apalagi umat pada waktu itu tidak diberikan kebebasan untuk membaca KS.
Kini, berkat gagasan yang terkandung dalam LG membawa angin segar bagi paham yang holis-
tik tentang Gereja, di mana semua orang tanpa terkecuali terlibat aktif dalam karya kerasulan
Gereja, sehingga tidak ada lagi sekat-sekat yang memisahkan kedua kubu itu. Saat ini kita me-
nyaksikan dalam Gereja perkembangan yang luar biasa terhadap situasi di mana kaum hierarkis
mampu bekerjasama dengan awam seturut fungsi dan perananya yang khas dan tanpa meng-
abaikan hakikat panggilannya untuk mengembangkan kehidupan Gereja yang lebih baik. Hal
ini semakin memungkinkan kaum awam untuk juga menjadi ahli di bidang teologi, KS, pas-
toral, dan ajaran-ajaran Gereja lainnya yang selama ini hanya dimonopoli oleh kaum religius
dan hierarki. Kita dapat menyaksikan banyak pakar teologi yang berasal dari kalangan awam.
Sebut saja misalnya teolog awam terkenal masa kini yakni Scott Hahn. Namun, di balik semua
gagasan ini ada sesuatu yang hakiki yang hendak ditegaskan oleh Konsili dalam dokumen ini
yakni bahwa kekudusan bukanlah hanya menjadi bagian dari para imam tetapi bahwa semua
orang Kristen dipanggil untuk hidup kudus. Dengan kata lain, semua orang dalam berbagai tu-
gas, status, dan kondisi sebagai hierarki, biarawan/ti, para suami-istri, para pekerja dan buruh,
serta orang-orang sakit dan miskin, dipanggil kepada kekudusan (bdk. LG 40-42).
Kedua, dokumen ini membuka cakrawala berpikir dan pandangan yang positif terhadap
keberadaan agama-agama, atau gereja-gereja non Katolik. Inilah titik awal bagi Gereja untuk
mengakui adanya keselamatan di luar Gereja Katolik setelah sekian lama Gereja berkutat
dengan adagiumnya yaitu “Extra Ecclesiam Nulla Salus,” meskipun sebenarnya dalam do-
kumen tersebut masih terlihat secara gamblang bahwa Gereja menganut teori preparatio-
kristosentris, yaitu agama-agama dan pandangan-pandangan ketuhanan lain dipandang seba-
gai persiapan Injil yang baru mendapat kepenuhannya hanya di dalam Kristus (LG 16). 10 Ini
tentu menjadi tantangan bagi Gereja dalam membangun dialog yang tulus dengan agama-
agama dan gereja-gereja Kristen non Katolik. Selain itu juga dengan menerima gagasan eku-
menis ini, gereja mendapatkan tantangan kontroversial dari dalam teristimewa dari kelompok
Tradisionalis Katolik. Kendati demikian, setidaknya melalui keyakinan itu semangat keter-
bukaan dan ekumenis semakin meningkat dalam lingkungan Gereja guna membangun dialog
yang sejati dengan agama-agama lain, dibandingkan sebelum KV II di mana Gereja sangat ter-
tutup terhadap agama-agama lain dan secara khusus belum mampu berdamai dengan Gereja-
Gereja Kristen non Katolik. Sampai sejauh ini Gereja terus berupaya membangun dialog de-
ngan agama-agama dan gereja-gereja Kristen lain.
Ketiga, hal baik yang diangkat oleh konsili dalam dokumen ini ialah peranan Bunda Ma-
ria sebagai Bunda Gereja. Dalam sejarah Konsili sebenarnya ada perdebatan yang sengit antara
para bapa konsili untuk memasukkan Bab khusus tentang Maria dalam dokumen. Bagi kelom-

10 Bdk. Tom Jacobs, Dinamika Gereja, hlm. 149-158. F.X. Armada Riyanto, Dialog Agama dalam

Pandangan Gereja Katolik, cet-1 (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 25-31.

15
pok yang kontra, dengan masukkan Bab khusus tentang Maria menunjukkan ketidakkonsisten-
an Konsili dalam mempertahankan sifat ekumenis dari dokumen. Teristimewa bila hal itu dihu-
bungkan dengan Protestantisme yang dengan tegas menolak penghormatan kepada Maria.
Pendapat tersebut akhirnya dikalahkan dengan keteguhan sikap dari Paus sendiri yang meng-
hendaki agar bab tentang Maria tetap dimaksukan dalam batang tubuh dokumen. Alasannya
ialah tempat Maria adalah di dalam Gereja. Oleh karena itu, Gereja menyerukan kepada seluruh
Umat Beriman untuk memberikan penghormatan yang istimewa kepada Bunda Maria terkait
dengan keikutsertaanya dalam karya keselamatan. Penghormatan itu dapat dilakukan dalam
aneka bentuk ulah kesalehan dan devosi-devosi, dengan syarat hal itu dilakukan sewajarnya
dan benar sesuai kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh Gereja. Artinya, dalam penghormatan itu
orang tidak jatuh pada ekstrem kiri ataupun kanan. Di satu sisi, praktek devosi dijadikan
bagaikan kepercayaan kepada tahyul-tahyul dan meng-tuhan-kan peranan Maria. Di sisi lain,
ada sikap yang picik untuk tidak menerima tindakan penghormatan terhadap Maria. Dalam
kenyataan hidup beriman, fakta di lapangan menujukkan bahwa masih banyak orang yang jatuh
pada kedua ekstrem itu. Hal ini merupakan tantangan bagi Gereja dalam mewartakan atau
memberikan pengajaran yang benar kepada Umat Beriman.

3.2. Relevansi LG di Indonesia


Setelah melihat beberapa catatan kritis di atas, lantas pertanyaan selanjutnya yang hendak
dijawab ialah apa dan bagaimana relevansi LG itu sendiri dalam konteks Gereja di Indonesia?
Mengutip beberapa pandangan dari Rm. Petrus Budi Kledan SVD, dokumen LG masih sangat
relevan sampai saat ini dalam hal:

1. Membangun Gereja sebagai sarana communio.


Paham communio atau persekutuan, secara terminologis merupakan terjemahan kata
Latin dari kata Yunani koinonia. KV II mengkhususkan artinya sebagai “hubungan atau perse-
kutuan (communio) dengan Allah melalui Yesus Kristus dalam sakramen-sakramen.”11 Na-
mun, konsili juga menyadari bahwa paham tentang communio tidak hanya dimengerti secara
organisatoris belaka, melainkan dapat pula dipahami sebagai cara berkomunikasi anggota
Gereja baik komunikasi internal antara Gereja setempat dengan Gereja sedunia, maupun komu-
nikasi eksternal antara Gereja Katolik dengan Gereja-gereja Kristen lain, agama-agama non
Kristen, dan pemerintahan bangsa-bangsa. Nah pertanyaannya, bagaimana hal itu diwujudkan
secara kongkrit dalam konteks Indonesia?
Pertama, menurut analisis Rm. Budi Kledan, Gereja di Indonesia dapat bekerjasama de-
ngan berbagai kelompok agama dan LSM dalam memperjuangkan JPIC (Keadilan, perdamai-
an, dan keutuhan alam ciptaan). Terhadap fenomena sosial politik yang dianggap memecah be-
lah communio hidup berbangsa dan bernegara, Gereja semakin berani menyuarakan suara pro-
fetisnya bersama dengan agama-agama lain dalam menyikapi peristiwa-peristiwa kekerasan
yang mengatasnamakan agama atau ideologi. Namun, tak dapat dipungkiri juga kerap sebagai
kelompok minoritas, Gereja di Indonesia kurang berani menyuarakan suara kenabiannya tat-
kala berhadapan dengan diskriminasi agama yang dilakukan oleh kelompok mayoritas. Hal ini

11 Lih. KWI, Iman Katolik, cet-12 (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 340.

16
merupakan tantangan bagi Gereja untuk membangun sebauh communio dalam semangat per-
saudaraan sejati.
Kedua, bentuk paling aktual dalam mewujudkan Gereja sebagai communio secara inter-
nal yakni terungkap dalam Komunitas Basis Gerejani (KBG). Ternyata, model hidup meng-
gereja seperti itu sudah dihidupi sejak tahun 70-an dan diteguhkan lagi dalam Sidang Agung
Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) tahun 2000 sebagai sarana dan sasaran utama kegiatan
menggereja di Indonesia. SAGKI tahun 2000 merumuskan bahwa:

Komunitas Basis adalah persekutuan umat yang relatif kecil, katakanlah di antara 15-
20 keluarga yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman
Allah, berbagi masalah-masalah harian bersama dan mencari pemecahannya dalam
ilham alkitabi-ah. Sebagai dasar kristiani KBG terdiri dari para anggota yang saling
mengenal. Mereka tidak hanya mengenal nama semua anggota lain, tetapi juga
riwayat hidup dan harapan masing-masing rekan.12

Dari kalimat di atas tampak bahwa ciri utama dari KBG adalah menjadikan umat sebagai
subyek kehidupan menggereja. Secara kongkrit hal itu telah dilaksanakan dalam bentuk pem-
berdayaan dewan pastoral paroki, sharing dan pendalaman iman dan KS, melibatkan kaum
awam dalam lingkungan paroki, komisi-komisi dewan pastoral paroki maupun keuskupan, dan
kelompok-kelompok kategorial gerejani. Seperti yang dilaporkan oleh para Uskup di masing-
masing keuskupan dalam buku Mozaik Gereja di Indoensia: Refleksi 50 Tahun Pasca Konsili
Vatikan II, nampak bahwa sebagian besar telah berupaya mengaplikasikan cara hidup meng-
gereja sebagai Komunitas Basis. Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa cara hidup
menggereja Komunitas Basis belum diupayakan secara maksimal dan optimal. Ada kesan bah-
wa KBG di Indonesia masih membatasi kegiatannya pada lingkup Gereja dan bersifat ritual.13
Ketiga, hubungan antara kaum awam dan hierarkis untuk konteks Gereja di Indoensia
cukup dikatakan harmonis. Belum ada ketegangan yang hebat antara kaum awam dan hierarkis
seperti yang terjadi dalam Gereja di banyak negara lain. Umat awam di Indonesia sebagian
besar masih hidup dalam semangat tradisional dengan budaya timur yang sangat kental yang
menjunjung tinggi nilai-nilai keharmonisan, sehingga mereka begitu patuh dan hormat ter-
hadap kaum klerus. Dalam melaksanakan kewajiban hidup menggereja, mereka masih kuat
diatur oleh kaum Klerus dan belum mandiri. Di banyak paroki, iklim pastorsentris ternyata
masih kuat dalam hidup menggereja di Indonesia. Segala sesuatu dikerjakan oleh para imam
tanpa melibatkan kaum awam di dalam karya pastoralnya. Sehingga kesimpulannya ialah ke-
nyataan bahwa terdapat communio yang harmonis antara awam dan klerus sungguh merupakan
sesuatu yang positif, tetapi apabila tidak diimbangi dengan partisipasi aktif kaum awam dalam
hidup menggereja menjadi hal yang negatif karena tidak sejalan dengan amanat konsili.

2. Membangun Gereja yang bersolider


Solidaritas sesungguhnya merupakan konsekuensi dari Gereja sebagai communio. Hanya
dalam communio, anggota Gereja dapat membangkitkan semangat belarasanya terhadap yang

12 Lih. Indra Sanjaya dan F. Purwanto (ed), Mozaik Gereja Katolik Indonesia: 50 Tahun Pasca Konsili
Vatikan II, cet-1 (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 62.
13 Lih. Indra Sanjaya, dan Mateus Mali (ed.), Kompendium Konsili Vatikan II Konteks Indonesia, hlm. 90.

17
lain. Semangat belarasa itu terungkap tatkala Gereja memberikan perhatian kepada orang-
orang kecil dan sesama anggota yang menderita dan mengalami pelbagai persoalan hidup, me-
reka yang sedang mengalami bencana. Dengan latarbelakang penduduk Indonesia yang pada
umumnya sarat hidup di bawah garis kemiskinan yang disertai dengan tingkat pendidikan yang
rendah, Gereja di Indonesia telah berupaya membangun semangat solidaritas itu dengan mere-
ka yang kecil dan malang hidupnya melalui pendidikan dan kesehatan, serta digalakannya ki-
nerja dan fungsi Komisi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) di masing-masing keuskupan.
Selanjutnya, mengingat panggilan religius dan imamat masih cukup subur di Indonesia, seba-
gai bentuk solidaritas antara sesama Gereja partikular, mapuan antara Gereja partikular terha-
dap Gereja universal, Gereja Katolik Indonesia saat ini banyak mengirimkan tenaga-tenaga
pastoral dan biarawan/wati untuk berkarya di daerah-daerah terpencil di dalam negeri, maupun
melaksanakan misi perutusan di luar negeri.

3. Membangun Gereja yang dialogal.


Faktor kondisi masyarakat dan kehidupan beragama di Indonesia yang majemuk me-
nutut Gereja untuk mampu bekerjasama dan membangun dialog dengan agama-agama lain
dalam semangat ekumenis. Selama ini usaha membangun gereja yang dialogal cukup berhasil.
Gereja di Indonesia cukup terlibat aktif dalam menciptakan kerukunan dan keharmonisan hidup
antar umat beragama. Misalnya, dengan adanya anggota Gereja yang terlibat aktif di lembaga
inter fidei untuk mengkampanyekan pandangan dan sikap saling menghormati dan menghargai
satu terhadap yang lain, Gereja Katolik di Indonesia turut berpartisipasi dalam menjaga dan
memelihara kerukunan hidup umat beragama. Catatan kritis yang perlu direnungkan secara
lebih serius yaitu ada bahaya bila Gereja di Indonesia membangun sikap dialogal dengan cara
pikir pragmatisme. Artinya, ada pola pikir bahwa situasi dan kondisilah yang menuntut Gereja
untuk harus berdialog dengan yang lain. Dialog hanya dipandang sebagai keharusan karena
tidak ada alternatif lain lagi. Cukup banyak umat yang tinggal di daerah mayoritas Katolik yang
menganut paham itu, sehingga kurang mampu terbuka dan berdialog dengan umat beragama
lain.

4. Menghadirkan Gereja yang up to date dan membumi.


Sebagaimana spirit Gereja KV II adalah pembaharuan, maka Gereja hendaknya mampu
berenang di arus zaman, kehadirannya senantiasa up to date dan menarik banyak orang untuk
bergabung di dalanya, serta tidak menjadi asing di tengah-tengah dunia. Upaya itu ditanggapi
serius oleh Gereja di Indonesia dengan mengakomodir perkembangan-perkembangan dan ke-
bangkitan-kebangkitan spiritualitas yang terjadi di dalam dunia saat ini ke dalam Gereja.
Misalnya, penggunaan alat-alat teknologi komunikasi di dalam pewartaan Injil, keterbukaan
Gereja terhadap gerakan kharismatik meskipun dalam kenyataanya ada juga umat beriman
yang menolak gerakan tersebut, serta keterbukaan Gereja terhadap budaya lokal dengan tidak
menghilangkannya tetapi justru menyempurnakannya demi kemuliaan Allah. LG 17 mencatat
perihal itu demikian, “Dengan usaha-usahanya, Gereja menyebabkan bahwa segala kebaikan
yang tertaburkan dalam hati serta budi orang-orang, atau dalam upacara-upacara dan kebudaya-
an para bangsa sendiri, bukan saja tidak hilang, melainkan disehatkan, diangkat, dan disem-
purnakan demi kemuliaan Allah, demi tersipu-sipunya setan dan kebahagiaan manusia.”

18
Penutup
Dokumen Konstitus Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja membuka horizon yang
baru tentang pelbagai hal fundamental dalam kehidupan Gereja. Di antaranya ialah bagaimana
Gereja pertama-tama mendefinisikan tentang dirinya sendiri sebagai titik berangkat untuk me-
mulai sebuah perubahan besar yang hingga saat ini masih terus berlangsung di dalam Gereja.
Adapun sejumlah gagasan utama yang telah ditampilkan dalam dokumen diuraikan lebih lanjut
dalam berbagai dekrit dan deklarasi yang termuat secara khusus dalam dokumen-dokumen lain.
Ambil saja contoh gagasan tetang hubungan Gereja Katolik dengan gereja kristen lain
dijabarkan dalam Dekrit Unitatis Redintegration dan Orientalium Ecclesiarum sedangkan
hubungan dengan agama-agama non Kristen dijelaskan secara lebih rinci dalam Dekrit Ad
Gentes dan Deklarasi Dignitatis Humane; Gagasan tentang kaum awam dijelaskan lebih
komprehensif dalam Dekrit Apostolicam Actuositatem; tentang Hierarki diuraikan secara
panjang lebar dalam Dekrit Christus Dominus, Presbyterorum Ordinis, dan Optatam Totius;
tentang panggilan hidup religius dijabarkan secara rinci dalam dekrit Perfectae Caritatis. Hal
ini menunjukkan betapa vitalnya konstitusi ini bagi Gereja. Ia senantiasa menjadi sumber inspi-
rasi terus-menerus bagi upaya pembaharuan dalam Gereja. Tugas setiap anggota Gereja adalah
bagaimana menerjemahkan dan mengaplikasikan gagasan-gagasan itu dalam kehidupan nyata
sesuai dengan konteksnya.

Dafar Pustaka

Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika II: Ekonomi Keselamatan. Cet-8. Yogyakarta:
Kanisius, 2013.
Dokpen KWI. Dokumen Konsili Vatikan II. Terjemahan R. Hardawiryana. Cetakan-10.
Jakarta: Obor, 2009.
Jacobs, Tom. Dinamika Gereja. Cetakan-4. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Kirchberger (ed), G. Gereja dalam Perubahan. Cetakan-1. Flores: Nusa Indah, 1992.
KWI. Iman Katolik. Cetakan-12. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Riyanto, F.X. Armada. Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik. Cetakan-1.
Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Sanjaya, Indra dan F. Purwanto (ed). Mozaik Gereja Katolik Indonesia: 50 Tahun Pasca Konsili
Vatikan II. Cetakan-1. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Sanjaya, Indra dan Mateus Mali (ed.). Kompendium Konsili Vatikan II Konteks Indonesia.
Cetakan-1, Yogyakarta: Kanisius, 2012.

19

Anda mungkin juga menyukai